Anda di halaman 1dari 5

Pohon Harapan

9 Januari Tahun ke-203 Millenium 1

Terdengar teriakan dan rintihan dimana-mana, bau besi berkarat bercampur bau
darah menyatu di udara. Saat itulah aku membuka mataku. Seorang lelaki tua bertubuh
tinggi kurus dan bersimbah darah jatuh di hadapanku. Ketika aku menoleh ke belakang,
terlihat pasukan kavaleri membawa senjata lengkap. Mereka tetap mengacungkan
senjatanya di punggungku. Mungkinkah ini saatnya? Mungkinkah aku akan pergi menyusul
kedua orangtuaku? Aku tidak tahu, untuk terakhir kalinya aku menghirup napas dalam-
dalam. Aku bersiap untuk mati.

Kututup kedua mataku, perlahan-lahan mengatur detak jantung. Aku benar-benar


siap untuk mati. Untuk terakhir kalinya terlukis senyum yang sudah pernah hilang,
senyumanku yang terakhir untuk dunia yang busuk ini. Selamat tinggal dunia penuh besi
berkarat, selamat tinggal dunia penuh udara kotor dan limbah, selamat tinggal orang-orang
kejam yang selalu menyiksa kami. Selamat tinggal semuanya. Aku mendengar suara
tembakan dan kehilangan kesadaran.

***

“Nona baik-baik saja?” terdengar seseorang mengatakan kalimat itu di telingaku.


Aku membuka kedua mata, terlihat wajah seorang anak lelaki kecil menatapku khawatir.
Wajah anak itu penuh lumpur. Matanya yang bulat berkaca-kaca. Ia mulai menangis
ketakutan.

“Aku baik-baik saja.” Anak kecil itu membantuku duduk. Saat aku melihat sekitar,
aku melihat apa yang tak pernah masuk ke dalam lensa dan terekam di otakku. Lahan luas
yang hijau, tanaman berbunga, pepohonan beraneka ragam, suara hewan, serta suara tawa
yang tulus dari orang-orang. Tanpa sadar aku bergumam,“Apakah ini surga?”

“Bukan Nona, ini bukan surga. Ini Bumi.” Anak kecil itu menatapku aneh sambil
menyeka air mata yang tidak jadi menetes.

“Bumi? Benarkah? Bumi yang kuingat bukan bumi yang seperti ini. Bumi yang
kuingat adalah lahan bersemen, dengan tumpukan besi berkarat serta beton diatasnya.
Tidak ada pepohonan, tidak ada sungai yang jernih, tidak ada udara bersih untuk dihirup.”
Anak kecil itu tertawa terbahak-bahak. Ia menyatakan kalau aku sedang bermimpi, ia tidak
percaya tentang adanya ‘Bumi’ yang kusebutkan tadi. Aku meyakinkannya, tetapi ia tetap
tidak percaya.

“Namaku James Watt, kalau Nona?” ia—James, mengulurkan tangannya mengajakku


bersalaman. Aku membalas uluran tangannya, menjabat erat tangan kecil itu dan
menyebutkan namaku, “Alkeshia Roman. Panggil aku Alkeshia.”
“Nama yang unik, aku belum pernah mendengarnya. Nona orang Rusia?” tanyanya
sambil menatapku dari atas sampai bawah, “atau imigran gelap yang lari dari Rusia karena
dijadikan budak?” ia menatapku tajam, “kalau itu benar, aku harus melaporkanmu ke kepala
desa.”

“Aku bukanlah seorang budak seperti yang kau pikirkan. Aku adalah... penjelajah
yang kehabisan bekal.” Ujarku asal, semoga James percaya.

“Baiklah kalau begitu, karena Nona Penjelajah kehabisan bekal dan kemungkinan
sedang lapar. Bagaimana kalau kita ke rumahku dan membersihkan badanmu?” James
menarik tanganku, ia menuntunku ke sebuah rumah besar agak jauh dari tempat kami
bertemu. Rumah itu terletak dekat dengan pelabuhan dan menghadap ke arah lautan biru
yang luar biasa indah dan jernih. Laut itu memantulkan sinar matahari, tampak seperti
ribuan berlian terapung di permukaannya. Suatu hal yang langka dan hanya dapat dilihat
dari buku di Bumi-ku.

“James, kau dari mana saja? Lihat bajumu! Penuh lumpur.” Seorang wanita anggun
menghampiriku dan James, wanita itu melihatku penuh selidik. “Siapa nona muda ini
James? Teman barumu?”

“Ibu, dia adalah seorang penjelajah yang kutemukan pingsan di lahan Mrs. Moore. Ia
bernama Alkeshia Roman dari Rusia, dan nona Alkeshia Roman ini sedang kelaparan serta
membutuhkan tempat tinggal. Bolehkah ia tinggal di sini untuk sementara?”

Ibu James mengiyakan permintaan putra kecilnya, dengan senang hati Ibu James—
Mrs. Agnes Muirhead—menerimaku. Setiap hari, ketika matahari berada tepat di atas
kepala, Mrs. Muirhead mengajari putranya tentang matematika dan pelajaran lain. Tapi,
James hanya menaruh hatinya pada matematika. Pada malam hari ketika perapian di kamar
James menyala, aku membacakan cerita rakyat Skotlandia dan legenda kesukaannya. Aku
juga menceritakan Bumi yang kutinggali. Dimana manusia modern memanfaatkan uap dan
listrik sebagai energi pencahayaan, transportasi, dan sebagainya. James mulai tertarik, ia
ingin membuat alat dengan uap sebagai energinya. Kemudian James menatap perapian,
“asap dari perapian yang tak berguna ternyata ada gunanya juga.” ujar James sambil
tersenyum, ia berjanji akan membuat alat impiannya itu suatu hari.

“Tapi James, berjanjilah padaku. Jika kau berhasil membuat alat itu, aku ingin kau
juga mengatasi gas buangan yang dapat mengotori bumi di masa depan. Jika tidak, alat itu
akan memusnahkan jiwa-jiwa yang berhak untuk hidup di bumi ini.”

“Kenapa?” tanya James polos. “Kenapa alat itu bisa membunuh?”

Karena kau akan berhasil membuat mesin itu, mesin itu adalah leluhur dari mesin
yang tidak ramah lingkungan dan menghabiskan kekayaan alam seperti batu bara,
pepohonan, minyak bumi dan sebagainya, pikirku. Dan ketika generasi mesin itu bertambah
dan semakin canggih, mesin-mesin itu mengeluarkan emisi gas yang membuat kadar gas
rumah kaca bertambah dan menimbulkan ozon menipis, sehingga kadar oksigen di bumi
semakin sedikit. Itulah kenapa pada zamanku, alat itu membunuh banyak orang. Dimana
setiap orang terlantar yang berumur tua serta sakit-sakitan akan dimusnahkan, karena
mereka dianggap menghabiskan pasokan oksigen di udara. Walaupun manusia modern
membuat perangkat pengurang emisi, tetap saja emisi yang dihasilkan cukup besar.

“Suatu hari kau akan mengerti James, aku bukanlah orang yang tepat untuk
menjawab pertanyaanmu.” Ujarku mantap. Aku tidak ingin merubah sejarah dengan
mengatakan sebab dari ‘pemusnahan’ itu. Karena suatu hari seorang James Watt akan
menjadi pemikir sekaligus teknisi yang hebat, ia juga akan memikirkan bagaimana cara
mengatasi emisi dari alatnya. Walupun menurutku, pemikiran dari seorang James Watt
untuk mengurangi emisi yang dihasilkan oleh alat uapnya gagal total.

“Baiklah kalau begitu, aku berjanji padamu Alkeshia.” James tersenyum lebar,
“Umm, Alkeshia... esok adalah hari ulang tahunku kesepuluh, dan esok juga adalah hari
kesepuluh setelah pertama kali kita bertemu pada tanggal 9 Januari 1746. Bolehkah aku
meminta sebuah hadiah darimu? Karena menurutku angka sepuluh sangat istimewa.”

“Apa yang kau inginkan dariku, James?” tanyaku lembut sambil mengusap
kepalanya.

“Aku ingin kau menjawab pertanyaanku dengan sejujur-jujurnya. Kau berasal dari
mana?” James menatapku penasaran, “karena Bumi-mu yang kau ceritakan berbeda dengan
Bumi-ku.”

“Agak susah mengatakannya. Tapi, baiklah. Aku berasal dari London tahun ke-203
Milenium 1. 14 abad dan 57 tahun dari sekarang di masa depan.”

James tertawa terbahak-bahak, ia mengatakan bahwa aku sedang bercanda.


Kemudian ia turun dari tempat tidurnya dan mengambil sebuah toples berisikan penuh
dengan biji beragam warna dan ukuran dari kolong tempat tidurnya. Lalu ia meletakkan
toples itu di kedua telapak tanganku.

“Kau pernah bilang, di Bumi-mu tidak ada pohon sebatang pun. Jadi... aku mohon,
tanamlah biji ini di Bumi-mu. Aku tidak tahu biji apa saja di dalam toples ini. Karena biji ini
dikumpulkan oleh pekerja ayahku yang berlayar melintasi dunia luas. Jadi, biji-biji ini berasal
dari berbagai negara. Aku ingin kau menikmati udara segar yang dihasilkan oleh biji-biji ini
ketika mereka sudah menjadi pepohonan yang besar dan sehat. Berjanjilah untuk
merawatnya sampai menjadi pohon yang besar dan sehat.” James kembali berbaring di atas
tempat tidurnya. Ia tertidur dengan pulasnya.

“Terima kasih banyak James, tapi permasalahannya adalah... aku tidak tahu
bagaimana cara kembali ke Bumi-ku.” Aku mulai mengantuk, dengan pelan mataku tertutup
sepenuhnya. Aku tertidur pulas untuk pertama kalinya seumur hidupku.
***

“Tunggu dulu! Ia masih muda dan sehat, ia masih bisa berguna. Tahan tembakan
kalian!” Teriak seseorang. Aku tidak tahu suara siapa itu. Tapi yang jelas, teriakan itu
membuatku terbangun.

Ketika aku membuka mata, terlihat seorang lelaki tua berambut putih dengan jas
laboratorium menghampiriku. Ia bertanya siapa namaku. “Baiklah, Alkeshia Roman... secara
pribadi sebagai kepala profesor, aku memintamu untuk menjadi asisten di laboratoriumku.”
Ujar lelaki tua itu kepadaku.

“Maaf, tanggal berapakah sekarang?” tanyaku bingung.

“Sekarang? 9 Januari Tahun ke-203 Millenium 1.” Profesor itu menatapku aneh,
“Alkeshia Roman, benda apakah yang ada di pelukanmu itu?”

Aku melihat benda yang berada dalam pelukan eratku. Benda itu adalah sebuah
toples kaca berisikan beragam aneka biji yang diberikan oleh James kepadaku. Tapi, kenapa
toples itu bisa ada di sini? Maksudku di zaman ini? Kukira pertemuanku dengan James
adalah sebuah mimpi. Jika toples ini berada di zaman ini, berarti perjalananku ke masa lalu
memang benar-benar terjadi. Keajaiban macam apa ini?

“Apa yang terjadi padaku?” gumamku pelan.

“Ketika pasukan kavaleri melepaskan tembakan pertama untuk memusnahkanmu,


tiba-tiba muncul cahaya putih yang terang sekali. Ketika cahaya itu memudar, aku
melihatmu terduduk dengan mata tertutup. Untung saja tembakan mereka meleset. Akhir-
akhir ini pasukan kavaleri sering melanggar protokol dan membunuh orang-orang yang tidak
sepantasnya untuk dimusnahkan.” Profesor tua itu menghirup napas panjang dan
melanjutkan kata-katanya. “Alkeshia Roman, kau belum menjawab pertanyaanku. Benda
apakah yang sedang kau peluk itu?”

“Ini?” aku menatap toples itu dengan senyum lebar, “sebuah hadiah kecil dari
temanku yang berharga. Biji-biji pohon dari berbagai negara.”

Profesor itu memintaku untuk membuka tutup toples, kemudian ia memasukkan


tangan keriputnya ke dalam toples dan mengambil beberapa biji pohon. Ia terdiam,
wajahnya pucat pasi. Sambil tergagap ia mengatakan kalau biji-biji pohon dari James adalah
biji pohon yang sangat langka dan sebagian besar sudah punah. Lalu ia bertanya, di
manakah keberadaan seorang teman yang memberiku biji-bijian itu.

“Dari sebuah kota kecil di dekat pelabuhan laut Firth Clyde, Skotlandia. Tahun 1746.
Aku mendapatkannya dari 14 abad dan 57 tahun di masa lampau.” Jawabku mantap tanpa
ada keraguan di dalamnya. Profesor tua itu tertawa terbahak-bahak dan mengatakan bahwa
aku adalah seorang pemimpi dan pengkhayal ulung. Baiklah, tertawalah sepuasnya. Aku
sudah pernah diperlakukan dengan hal yang sama seperti ini sebelumnya. Oleh James
tentunya.

“Katakanlah padaku, temanmu itu, apakah salah satu dari anggota Black Market?”
profesor itu menatapku tajam.

“Terserah anda, percaya atau tidak... aku memang melakukan perjalanan ke masa
lampau dan bertemu dengan seorang calon penemu yang menjadi perintis revolusi industri
dan orang itu juga yang memberikanku setoples biji ini.”

Profesor itu menatapku serius, “Tunggu, maksudmu.. James Watt? Hahahaha... itu
tidak mungkin.”

“Aku sudah berjanji padanya untuk merawat biji ini sampai tumbuh besar dan sehat,
sehingga aku dapat menikmati udara segar yang dihasilkan dari pepohonan itu. Walaupun
kau tidak percaya asal muasal dari biji-biji ini. Aku akan tetap mewujudkan janjiku.”

“Baiklah, aku akan membantumu menumbuhkan biji-biji ini dan membantu


merawatnya di laboratoriumku.” Profesor itu menuntunku ke dalam mobil, kemudian ia
membawaku ke sebuah bangunan tinggi dengan banyak panel surya menempel di dinding.
“Aku akan membantumu merawat dan mengembangkan biji-biji itu di bangunan ini.”

Aku mengangguk setuju. Akhirnya, sebentar lagi aku akan memenuhi janjiku pada
James. Janjiku untuk menikmati segarnya udara dari pohon yang berasal dari biji-biji yang
diberikan olehnya di Bumi-ku sendiri. Tapi, ada sedikit rasa sesal di benakku. Aku belum
mengucapkan terima kasihku padanya secara langsung ketika ia benar-benar terbangun dan
dapat mendengar suaraku.

“Profesor, ketika pohon dari biji ini sudah besar dan menghasilkan biji-biji yang
banyak. Bolehkah aku memberikan biji-biji itu kepada orang lain? Karena aku yakin akan
satu hal. Satu biji akan menyelamatkan nyawa satu orang dari kemusnahan, serta dapat
mengurangi emisi gas rumah kaca di udara.”

“Ide bagus, tergantung mereka bisa atau tidak merawat biji itu sampai tumbuh
menjadi pohon yang besar dan sehat, sehingga dapat membebaskan mereka dari
kekurangan oksigen.” Profesor tersenyum lebar.

Anda mungkin juga menyukai