Anda di halaman 1dari 9

SMK NEGERI 2 TUBAN

TUGAS REMIDI BAHASA INDONESIA


KELAS X SEMESTER GANJIL
TP 2022 - 2023

NAMA : RIZKY EKA MEI R


NO.ABS : 30
KELAS : AKUTANSI 3
AKSARAGUSTUS

Kamu terus terusan bertanya


bagaimana suara hati yang patah
lantas kau mematahkanku menjadi
beberapa bagian dan pergi tanpa
berpikir untuk berbalik badan

Kamu bilang,
hati tidak punya tulang
agar bisa dikatakan patah,
Sayangnya, hati hanya
jaringan penawar
Racun yang selalu bingung
mencari jalan untuk pulang

Semua terasa,
aku tidak pernah sampai padamu,
Sedekat apapun kau kembali,
mencoba untuk menyambungkannya lagi,
Ini hati kak, salah letak bisa retak.

titik 28
RUANG RINDU

Di daun yang ikut mengalir lembut


Terbawa sungai ke ujung mata
Dan aku mulai takut terbawa cinta
Menghirup rindu yang sesakkan dada

Jalanku hampa dan ku sentuh dia,


Terasa hangat di dalam hati
Kupegang erat dan kuhalangi waktu,
Tak urung jua ku lihatnya pergi

Tak pernah kuragu dan selalu kuingat


Kerlingan matamu dan sentuhan hangat
Ku saat itu takut mencari makna,
Tumbuhkan rasa yang sesakkan dada

Kau datang dan pergi begitu saja,


Semua ku terima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam,
Di ruang rindu kita bertemu

Kau datang dan pergi begitu saja,


Semua ku terima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam,
Di ruang rindu kita bertemu

titik 29
DI AMBANG PILU

Tak berdaya ku berada


Dia ambang waktu
Tuk memulai pilu
Ku tenggelamkan ke dalam sepi
Ku dutelani sunyi memikirkanmu

Bintang yang sendiri


Datang malam ini
Biar tak sendiri
Tak cemas karena pagi
Melayang-layang ke dadaku

Ada rindu yang hangat disitu


Mendamba masa untuk bersua
Dengan dia yang melintas di malam syahdu
Melepas semua curah rasa
Menghempas semua beban dan nestapa

titik 30
TEMARAMEI

Menulis itu
kepuasan saat
pena bertemu kertas
dan jari bertemu keyboard.

Kepuasan, tidak ada yang lain.


untuk menyayangi diri sendiri
meskipun isi tulisannya menyakiti
diri sendiri.

Menulis itu
mengabadikan detik dan menit
yang melintas di udara.
Karena kita tahu bahwa detik dan menit
itu tidak akan terulang kembali.

Tidak bisa dipaksa


tulisan itu bagus tulisan itu jelek

sebuah tulisan itu akan luar biasa


jika bukan hanya ditulis dengan jari

namun juga dengan hati.

titik 01
MESIN WAKTU

Kalau harus mengingat lagi,


takkan sanggup dengan yang terjadi,
jika melupakan hal yang mudah,
ini takkan berat takkan membuatku lelah.

Kalah, jika ku bisa ku akan kembali,


akan merubah takdir yang kupilih,
meskipun tak mungkin,
walaupun ku mau,
membawanya lewat mesin waktu.

Di sini aku berdiri,


menanti waktu yang tepat,
panjang perjalanan yang harus ku lalui,
merelakan.

titik 02
SEPOTONG KISAH DI PENGHUJUNG SENJA IBU
KOTA

Lelaki di penghujung senjanya, dengan helai-helai rambut yang


mengelabu,
duduk di belakang gerobak dorong bermuatan jejeran jam tangan.
Melepas mentari menuju peraduanya. Pandangannya tampak
menerawang. Sementara aku berjalan melewatinya tanpa berpikir apa-
apa. Melenggang begitu saja. Kemudian terbesit untukku menyapa.
Kucoba mengeluarkan kata, menembus bisingnya derum tak beraturan
suara kendaraan.
“Jualan apa, Pak?” tanyaku mengawali percakapan.
“Ada jam tangan ada juga jam dinding, Nak. Mau beli kah?” Ia
melontarkan tanya yang kusambut dengan anggukan.
Laki-laki tua itu dengan tangan keriputnya perlahan membungkuskan jam
tangan. Ia masukkan ke plastik dan disodorkannya padaku.
“Berapa harganya, Pak?” tanyaku
“Tiga puluh lima ribu kan tadi?” tanyaku lagi
“Iya, Nak. Ini.”
Kuserahkan selembar uang bergambar W.R. Supratman padanya.
Kemudian ia merogoh kantong mencari kembalian untukku. Namun
hasilnya nihil. Lirih ia berkata,
“maaf, Nak. Tidak ada kembalian.”
“Tak apa, Pak. Buat bapak saja kembaliannya,” kataku. Ia nampak
keberatan tapi akhirnya mau menerimanya. Aku melantujkan bercakap
dengannya hingga terdengar suara seruan untuk menegakkan Sholat
Maghrib. Wajah rentanya menunduk.
titik 01
Ia tampak menelan ludah. Jakun tuanya naik turun. Tampak rindu
akan siraman air pelepas dahaga.
“Bapak puasa?” tanyaku. Ia mengangguk. Kemudian kuserahkan
sebungkus makanan dan sebotol air minum yang tadi memang kubeli
untuk berbuka puasa.
“Ini, Pak. Tadi kebetulan saya beli makanan lebih, untuk bapak saja,”
kataku dengan sopan.
Sejenak ia ragu untuk menerimanya. Namum, aku sedikit memaksakan
agar ia mau menerima.
Ia menerimanya sambil mengucapkan terima kasih berulang kali.
Kemudian aku pamit untuk pulang meninggalkannya.

Senja ini, aku tengah menikmati tenggelamnya mentari dari balik


jendela lantai 2 rumahku di Ibu Kota dengan penuh syukur. Di langit,
gerimis juga menyusut perlahan. Digantikan sepotong pelangi yang
menghiasi sorenya langit. Di tanganku tergenggam jam tangan yang
masih terbungkus elok dari wadahnya yang kubeli kala itu. Sayup-sayup
kembali kudengar percakapanku dengan laki-laki penjual jam tangan
beberapa tahun silam. Wajah tuanya bersama gerobak yang berisi jejeran
jam tangan kembali membayang di depan mata.
“Laa haulla wa laa quwwata illa billah. Tidak ada daya dan kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah, Nak,” jawab laki-laki itu ketika
kutanya apa yang menjadikannya tetap bertahan berjualan meskipun
sudah berusia lanjut.

titik 02
“Setiap kekuatan, setiap harta, setiap prestasi yang kita miliki itu
atas campur tangan Allah, Nak. Dan juga rizki datang ketika kita mau
berusaha, itu yang membuatku tidak mau mengadahkan tangan di jalanan.
Setidaknya aku masih mampu memberikan kemanfaatan dengan jam
tangan ini, Nak,” lanjutnya.
Hatiku merasa tersentil. Selama ini aku mengeklaim apa yang kumiliki
adalah atas usaha sendiri dan melupakan campur tangan Allah SWT. Aku
malu, sungguh aku malu. Malu melihat orang yang setua itu masih mau
berusaha sedemikian rupa untuk menggapai rizki-Nya. Sedangkan aku
merengek-rengek dan bermalas-malasan tapi maunya hidup enak.

Aku kembali dengan pola pikir yang baru. Nasihat lelaki itulah
yang menjadi salah satu pengantar aku berada di sini. Di sebuah gedung
yang menjulang tinggi. Yang dari atasnya aku bisa memandang sebagian
Ibu Kota. Yang dulu hanya bisa kusaksikan dari televisi hitam berbentuk
tabung. Beruntung Allah SWT mempertemukan aku dengan laki-laki itu.
Atau barangkali Allah sengaja menegurku melalui penjual jam tangan
gerobak itu. Entahlah, yang pasti kejadian itu mampu membuatku
berubah. Dan setiap mengingat hal itu aku juga tersenyum sendiri. Karena
kejadian itu membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bukan karena
intropeksi diri tapi karena sejujurnya aku tidak membeli makanan lebih
dan selembar uang lima ribu itu adalah lembar terakhir yang ada
didompetku.

titik 03

Anda mungkin juga menyukai