DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 8
MEULANI ERVIA (201926017)
MUTIA AMANDA (201926020)
DOSEN PENGAMPU :
SURIANA, S.PD.I., M.A.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................4
B. Rumusan Masalah.....................................................................................4
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Modernisasi.............................................................................6
B. Lahirnya Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas Al-Azhar).....................7
C. Dikotomi Ilmu Pengetahuan....................................................................11
D. Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam...........................................17
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................26
B. Saran-saran..............................................................................................26
DAFTAR REFERENSI.........................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Modernisasi Pendidikan Islam?
2. Bagaimana lahirnya Madrasah tingkat tinggi ?
3. Apa definisi dikotomi ilmu pengetahuan ?
4. Siapa sajakah tokoh pembaharuan pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Modernisasi
Modernisasi merupakan suatu proses menuju masa kini atau proses
menuju masyarakat modern. Modernisasi dapat pula diartian sebagai
proses perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
Pengertian dari pendidikan itu sendiri adalah Pendidikan berasal
dari kata didik yang diberi awalan pe dan akhiran an yang berarti proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan,
proses, perbuatan, cara mendidik. Istilah Pendidikan berasal dari bahasa
Yunani, pedagogy, yang memiliki arti seorang anak yang pergi dan pulang
sekolah diantar oleh seorang pelayan. Awalnya, istilah paedagogoa berarti
pelayan atau pelayanan, tetapi pada perkembangan selanjutnya,
paedagogos dimaknai sebai seseorang yang tugasnya membimbing anak
pada masa pertumbuhannya sehingga menjadi anak yang mandiri dan
bertanggung jawab. Menurut bahasa, pendidikan dapat diartikan
perubahan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula
pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan dan
sebagainya) badan, batin dan sebagainya. Adapun pengertian pendidikan
menurut istilah adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang
dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk
memengaruhi anak agar mempunyai sifat-sifat dan tabiat sesuai cita-cita
pendidikan.
Selanjutnya adalah definisi Islam. Islam dari segi bahasa berarti
patuh, tunduk, taat dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari
keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun kata Islam menurut istilah ialah mengacu pada agama yang
bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT bukan berasal dari
Nabi Muhammadsaw, posisi Nabi dalam Islam diakui sebagai utusan
Allah untuk menyebarkan ajaran Islam kepada umat manusia.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
Modernisasi Pendidikan Islam ialah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mngenal, memahami, menghayati hingga
mengimani agama Islam serta bertakwa dan berakhlak mulia dalam
mengamalkan ajaran agama Islam dan keterampilan yang diperlukan dari
cara tradisional menuju ke cara yang lebih modern.1
B. Lahirnya Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas Al-Azhar)
Universitas Al-Azhar atau lembaga pendidikan tinggi Al-Azhar
didirikan pada tahun 359 H/970 M pada masa pemerintahan al-Mu’iz
Lidinillah (952-975 M) dari Dinasti Fatimiyah dan selesai dibangun pada
tahun 361 H/971 M.13 Universitas ini dahulu adalah sebuah masjid yang
digunakan untuk tempat shalat dan ibadah lainnya, khususnya ketika
Dinasti Fatimiyah berkuasa, masjid ini digunakan sebagai sarana
penyebarluasan paham Syi’ah. Pada awal berdirinya masjid ini diberi
nama Jami’ul Kahhirah (Kairo) karena mengambil nama tempat
universitas tersebut didirikan, Belakangan, namanya diubah menjadi Al-
Azhar mengikuti nama putri Rasulullah SAW.
1
A. Munir, Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hlm 51-53.
2
Muhammad Atiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta:Bulan
Bintang;1993), hlm. 61.
memindahkan ibu kota Daulah Fatimiyah dari kota Qairawan (Tunisia) ke
kota al-Qahirah (Kairo/Mesir), dan pada tahun 975 M ia meresmikan
berdirinya perguruan Al-Azhar.3 Sudah tentu tujuan pendirian Al-Azhar
semata-mata karena dorongan untuk melestarikan dan mengembangkan
mazhab yang dianut oleh khalifah tersebut. Namun seiring waktu
perkembangan itu meyakinkan terjadinya proses pembelajaran di tingkat
dewasa. Nuansa keilmuan yang marak dalam lembaga pendidikan tinggi
Al-Azhar tersebut menjadikan tata kelola pendidikannya mendapat
perhatian dari khalifah Dinasti Fatimiyah agar diatur secara profesional.
5
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidyakarya Agung, 1990), hlm. 174.
6
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Hidyakarya Agung, 1990), hlm. 96.
7
Bayard Dodge, Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning (Washington DC: The Middle East
Instituate, 1961), hlm. 17.
sebahagian yang mengadakan pengajian khusus bagi wanita di dalam
gedung AlAzhar. Demikian juga sebahagian laki-laki mengadakan
pembelajaran di dalam gedung.
Bahasa yang digunakan oleh para pengajar sangat baik dan puitis
sesuai dengan kondisi pendengarnya. Materi disampaikan dalam bentuk
pidato singkat dan efektif untuk diikuti dan didiskusikan secara informal.
Meskipun materi utama yang disampaikan berhubungan dengan moral dan
hukum-hukum al-Quran, akan tetapi setiap mereka (para pengajar)
menggunakan kiasan dan penafsiran yang secara tidak langsung
mengarahkan pendengar mengikuti idiologi khalifah Dinasti Fatimiyah.
Pada akhir pembelajaran mereka (para murid) masing-masing berdiri dan
mencium tangan guru.
8
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Hidyakarya Agung, 1990), hlm. 92.
9
Salah Zaimeche, Cairo (Unites Kingdom : FSCT Limited, 2005), hlm. 10.
lembaga-lembaga pendidikan kontemporer berhutang banyak kepada para
pendiri Al-Azhar.
Sistem pendidikan yang baik dan maju pada masa Dinasti Fatimiyah
dapat menjadi penunjang terhadap kemajuan peradaban Islam. Kemajuan
peradaban ini karena adanya dukungan dari sistem politik yang aman,
sistem ekonimi yang stabil, sistem sosial yang nyaman sehingga
pergolakan pemikiran menjadi tumpuan dalam menciptakan komunitas
yang berperadaban. Kegairahan dalam menuntut ilmu dan memajukan
pengetahuan mewujudkan lahirnya para intelektual-intelektual. Muslim
pada masa Dinasti Fatimiyah ini. Karya-karya para intelektual masa ini
memenuhi perpustakaan-perpustakaan yang didirikan di daerah kekuasaan
Dinasti Fatimiyah ini.
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III
(Cet.II;Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm.220.
kemungkinana yang terakhir disebut (kontradiksi) yang timbul lalu ditarik
benang merah, maka ia semakna dengan dikotomi secara lahiriah.
Melemahnya orientasi sosial umat Islam ini secara tidak sadar telah
memilah-milah pengertian parsial dalam hakikat hidup bermasyarakat.
Islam hanya dipandang dari arti ritual saja. Sementara urusan lain banyak
didominasi dan dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, umat
Islam lebih kenal budaya Barat ketimbang budaya sendiri/Islam.
16
A. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran, Bandung: Mizan, 1991, hlm. 97.
17
A. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran, Bandung: Mizan, 1991, hlm. 103.
Panjang dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu ahama dan
ilmu-ilmu umum bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang memiliki
ajaran integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisah
dengan urusan akhirat.
18
A. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran, Bandung: Mizan, 1991, hlm.105
19
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Cet.I; Jakarta: Amisco, 1996), h. 21.
1. Dari segi epistemologi, umat Islam harus berani megembangkan
kerangka pengetahuan masa kini yang teraktualisasi sepenuhnya.
Ini berarti kerangka pengetahuan yang dirancang harus aplikatif.
Kerangka pengetahuan dimaksud setidaknya dapat
menggambarkan metpde-metode dan pendekatan yang tepat dan
nantinya dapat membantu para pakar Muslim dalam mengatasi
masalah-masalah moral dan etika yang sangat dominan di masa
sekarang.
2. Perlu ada suatu kerangka teoritis ilmu dan teknologi yang
menggambarkan beberapa gaya dan metode aktivitas ilmiahserta
teknologi yang sesuai tinjauan dunia yang mencerminkan nilai
dan norma budaya Muslim.
3. Perlu diciptakan teori-teori pendidikan yang memadukan ciri-ciri
terbaik sistem tradisional dan sistem modern. Sistem pendidikan
integralistik itu secara sentral harus mengacu pada konsep ajaran
Islam, seperti tazkiah al-nafsu, tauhid dan sebagainya. Selain itu
sistem tersebut juga harus mampu memenuhi kebutuhan-
kebutuhan masyarakat Muslim secara multidimensional masa
depan. Hal penting lainnya adalah pemaknaan pendidikan,
mencari ilmu sebagai pengalaman belajar sepanjang hidup.20
20
Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung: Mizam, 1986, hlm. 280-
281.
D. Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam.
1. Jamaluddin Al-Afghani.
21
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 130.
sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam
Islam.
2. Tahtawi.
23
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin, Sejarah dan
Kebudayaan Islam (Ujungpandang:IAIN Alauddib, 1993), hlm. 220.
24
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin, Sejarah dan
Kebudayaan Islam (Ujungpandang:IAIN Alauddib, 1993), hlm. 221
Dalam proses belajar mengajar, Al-Tahtawi menganjurkan
terjalinnya cinta dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana
Ayah dan Anaknya. Pendidik hendaknya memiliki kesabaran dan kasih
sayang dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui penggunaan
kekerasan, pemukulan dan semacamnya sebab merusak perkembangan
anak didik.25 Dengan demikian, dipahami bahwa Al-Tahtawi sangat
memperhatikan metode mengajar dengan pendekatan psikologi belajar.
3. Muhammad Abduh.
25
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin, Sejarah dan
Kebudayaan Islam (Ujungpandang:IAIN Alauddib, 1993), hlm. 221-222.
untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara dan
kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.
4. Rasyid Rida
5. Qasim Amin.
Qasim amin dilahirkan di kota Kairo pada tahun 1863, dari seorang
Ayah bernama Muhammad Beik Amin yang berdarah Turki dan
26
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
hlm.280.
27
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 151.
28
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 75.
29
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambutan,
1992)), hlm. 163.
Ibundanya berdarah Mesir kelahiran sha’id. Keluarga Muhammad
Beik berasal dari keluarga penguasa negara dan tergolong kaya.
6. Thaha Husein.