Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM

MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 8
MEULANI ERVIA (201926017)
MUTIA AMANDA (201926020)

DOSEN PENGAMPU :
SURIANA, S.PD.I., M.A.

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
TAHUN 2019 / 2020
KATA PENGANTAR
Puji-puji dan syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Hanya kepada-Nya
lah kami memuji dan hanya kepada-Nya lah kami memohon pertolongan. Tidak
lupa shalawat serta salam kami hanturkan pada junjungan nabi agung kita, Nabi
Muhammad SAW. Risalah beliau lah yang bermanfaat bagi kita semua sebagai
petunjuk menjalani kehidupan.

Dengan pertolongan-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah berjudul


“Modernisasi Pendidikan Islam”. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata
Kuliah Sejarah Peradaban Islam. Kami menantikan kritik dan saran yang
membangun dari setiap pembaca agar perbaikan dapat dilakukan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Lhokseumawe, 10 November 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................4
B. Rumusan Masalah.....................................................................................4
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Modernisasi.............................................................................6
B. Lahirnya Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas Al-Azhar).....................7
C. Dikotomi Ilmu Pengetahuan....................................................................11
D. Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam...........................................17
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................26
B. Saran-saran..............................................................................................26
DAFTAR REFERENSI.........................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia pada awal permulaan


masih dilaksanakan secara tradisional belum tersusun kurikulum
seperti saat ini. Baik itu pendidikan di surau maupun pesantren.
Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia sangat di perlukan.
Modernisasi pendidikan Islam diakui tidaklah bersumber dari kalangan
Muslim sendiri, melainkan diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial
Belandan pada awal abad 19.

Program modernisasi pendidikan Islam mempunyai akar-akarnya


tentang “Modernisasi” pemikiran dan institusi Islam secara
keseluruhan. Dengan kata lain modernisasi pendidikan Islam tidak bisa
dipisahkan dengan gagasan dan program modernisasi Islam. Kerangka
dasar yang berada dibalik modernisasi Islam secara keseluruhan adalah
modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan persyarat
bagi kebangkitan kaum muslim di masa modern.

Pendidikan Islam baik itu kelembagaan dan pemikiran haruslah


dimodernisasi, mempertahankan kelembagaan Islam tradisional hanya
akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslimin dalam
berhadapan dengan kemajuan dunia modern.

Pembaharuan atau modernisasi pendidikan Islam di Indonesia di


awali oleh para pelajar-pelajar Muslim Indonesia yang belajar ke
Timur Tengah lebih khusus di Mekkah. Setelah selesai mereka
kembali dengan membawa perubahan dalam pendidikan Islam dari
cara tradisional ke pendidikan secara modern.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Modernisasi Pendidikan Islam?
2. Bagaimana lahirnya Madrasah tingkat tinggi ?
3. Apa definisi dikotomi ilmu pengetahuan ?
4. Siapa sajakah tokoh pembaharuan pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Modernisasi
Modernisasi merupakan suatu proses menuju masa kini atau proses
menuju masyarakat modern. Modernisasi dapat pula diartian sebagai
proses perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
Pengertian dari pendidikan itu sendiri adalah Pendidikan berasal
dari kata didik yang diberi awalan pe dan akhiran an yang berarti proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan,
proses, perbuatan, cara mendidik. Istilah Pendidikan berasal dari bahasa
Yunani, pedagogy, yang memiliki arti seorang anak yang pergi dan pulang
sekolah diantar oleh seorang pelayan. Awalnya, istilah paedagogoa berarti
pelayan atau pelayanan, tetapi pada perkembangan selanjutnya,
paedagogos dimaknai sebai seseorang yang tugasnya membimbing anak
pada masa pertumbuhannya sehingga menjadi anak yang mandiri dan
bertanggung jawab. Menurut bahasa, pendidikan dapat diartikan
perubahan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula
pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan dan
sebagainya) badan, batin dan sebagainya. Adapun pengertian pendidikan
menurut istilah adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang
dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk
memengaruhi anak agar mempunyai sifat-sifat dan tabiat sesuai cita-cita
pendidikan.
Selanjutnya adalah definisi Islam. Islam dari segi bahasa berarti
patuh, tunduk, taat dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari
keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun kata Islam menurut istilah ialah mengacu pada agama yang
bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT bukan berasal dari
Nabi Muhammadsaw, posisi Nabi dalam Islam diakui sebagai utusan
Allah untuk menyebarkan ajaran Islam kepada umat manusia.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
Modernisasi Pendidikan Islam ialah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mngenal, memahami, menghayati hingga
mengimani agama Islam serta bertakwa dan berakhlak mulia dalam
mengamalkan ajaran agama Islam dan keterampilan yang diperlukan dari
cara tradisional menuju ke cara yang lebih modern.1
B. Lahirnya Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas Al-Azhar)
Universitas Al-Azhar atau lembaga pendidikan tinggi Al-Azhar
didirikan pada tahun 359 H/970 M pada masa pemerintahan al-Mu’iz
Lidinillah (952-975 M) dari Dinasti Fatimiyah dan selesai dibangun pada
tahun 361 H/971 M.13 Universitas ini dahulu adalah sebuah masjid yang
digunakan untuk tempat shalat dan ibadah lainnya, khususnya ketika
Dinasti Fatimiyah berkuasa, masjid ini digunakan sebagai sarana
penyebarluasan paham Syi’ah. Pada awal berdirinya masjid ini diberi
nama Jami’ul Kahhirah (Kairo) karena mengambil nama tempat
universitas tersebut didirikan, Belakangan, namanya diubah menjadi Al-
Azhar mengikuti nama putri Rasulullah SAW.

Masjid Al-Azhar merupakan pusat ilmu pengetahuan, tempat diskusi


bahasa, dan mendengarkan kisah dari orang-orang yang ahli bercerita.
Masjid ini diperuntukkan bagi Dinasti Fatimiyah yang merupakan sarana
diskusi sebagaimana kekhalifahan Abbasiyah memperlakukan masjidnya
di Baghdad. Usaha yang dilakukan adalah mengajarkan mazhab Syi’ah
kepada kader-kader muballigh yang bertugas meyakinkan masyarakat akan
kebenaran mazhab yang dianutnya.2 Perkembangan diskusi mengalami
perkembangan hanya sebagai informasi mazhab berkembang menjadi
informasi keilmuan.

Kemunculan Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tinggi bermula


ketika Khalifah al-Mu’iz Lidinillah pada tahun 362 H/ 973 M

1
A. Munir, Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hlm 51-53.
2
Muhammad Atiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta:Bulan
Bintang;1993), hlm. 61.
memindahkan ibu kota Daulah Fatimiyah dari kota Qairawan (Tunisia) ke
kota al-Qahirah (Kairo/Mesir), dan pada tahun 975 M ia meresmikan
berdirinya perguruan Al-Azhar.3 Sudah tentu tujuan pendirian Al-Azhar
semata-mata karena dorongan untuk melestarikan dan mengembangkan
mazhab yang dianut oleh khalifah tersebut. Namun seiring waktu
perkembangan itu meyakinkan terjadinya proses pembelajaran di tingkat
dewasa. Nuansa keilmuan yang marak dalam lembaga pendidikan tinggi
Al-Azhar tersebut menjadikan tata kelola pendidikannya mendapat
perhatian dari khalifah Dinasti Fatimiyah agar diatur secara profesional.

Universitas Al-Azhar pada masa Dinasti Fatimiyah merupakan


lembaga pendidikan yang menjadi corong dan alat untuk propaganda
kekuasaan kekhalifahan sekaligus sebagai alat penyebaran Doktrin
Syi’ah.4 Sebagaimana yang kita maklum bahwa di mana rezim berkuasa di
situ pula ideologi mereka disebarkan melalui berbagai macam cara, tidak
terkecuali pendidikan. Mahmud Yunus mencatat bahwa ada lima tujuan
dari universitas Al-Azhar ketika itu:

a. Mengemukakan kebenaran dan pengaruh turas (peradaban)


Islam terhadap kemajuan ummat manusia dan jaminannya
terhadap kebahagiaannya didunia dan akhirat.
b. Memberikan perhatian penuh terhadap peradaban ilmu,
pemikiran dan keruhanian bangsa Arab Islam.
c. Menyuplai dunia Islam dengan ulama-ulama aktif yang
beriman, percaya terhadap diri sendiri, mempunyai keteguhan
mental dan ilmu yang mendalam tentang akidah, syariat dan
bahasa al-Quran.
d. Mencetak ilmuwan agama yang aktif dalam semua bentuk
kegiatan, karya, kepemimpinan dan menjadi contoh yang baik
serta mencetak ilmuwan dari berbagai ilmu pengetahuan yang
3
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern Dalam Islam (Jakarta: Rajawali
Press, 1998), hlm. 200.
4
Asriati Amaliyah, “Eksistensi Pendidikan Islam Di Mesir Pada Masa Daulah Fatimiyah,” dalam
Lentera Pendidikan, Vol. XVI, hlm. 105.
sanggup aktif dalam berdakwah Islam yang dipimpin dengan
hikmah dan kebijaksanaan dan pelajaran yang baik di luar dan
di dalam Republik Arab Mesir.
e. Meningkatkan hubungan kebudayaan dan ilmiah dengan
universitas dan lembaga ilmiah Islam di luar negeri.5

Pada mulanya pengajaran di Universitas Al-Azhar sama dengan


institusi pendidikan yang lain, yaitu sistem halaqah (melingkar). Seorang
pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan kemauannya.
Umumnya guru atau syaikh yang mengajar duduk bersama para pelajar,
tetapi kadang-kadang duduk di kursi ketika menerangkan kitab yang
diajarkannya. Di samping itu, metode diskusi sangat dikembangkan
sebagai metode dalam proses pembelajaran antar pelajar. Seorang guru
hanya berperan sebagai fasilitator dan memberi penajaman dari materi
yang didiskusikan.6

Terdapat tiga kelas sebagai tempat pembelajaran di Al-Azhar.


Tempat pertama adalah kelompok orang-orang yang datang ingin belajar
al-Quran, di tempat yang kedua, murid-murid duduk melingkar di lantai,
sementara sang guru duduk di atas kursi yang agak rendah lalu
mendiktekan pelajaran kepada para siswa, kemudian menjawab pertanyaan
dari siswa. Pada tempat yang ketiga, para murid belajar dengan cara
berhadapan langsung secara mandiri antar teman, di mana yang berperan
sebagai guru adalah dari kalangan mereka sendiri yang telah ditentukan
oleh pimpinan Al-Azhar.7

Secara rutin juga diadakan ceramah pengkajian tentang


nasehatnasehat bijak setiap hari senin yang terbuka untuk umum.
Sedangkan pada hari kamis khusus untuk kelompok tertentu. Kebanyakan
mereka melaksanakan pengajian di halaman depan istana, ada juga

5
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidyakarya Agung, 1990), hlm. 174.
6
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Hidyakarya Agung, 1990), hlm. 96.
7
Bayard Dodge, Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning (Washington DC: The Middle East
Instituate, 1961), hlm. 17.
sebahagian yang mengadakan pengajian khusus bagi wanita di dalam
gedung AlAzhar. Demikian juga sebahagian laki-laki mengadakan
pembelajaran di dalam gedung.

Bahasa yang digunakan oleh para pengajar sangat baik dan puitis
sesuai dengan kondisi pendengarnya. Materi disampaikan dalam bentuk
pidato singkat dan efektif untuk diikuti dan didiskusikan secara informal.
Meskipun materi utama yang disampaikan berhubungan dengan moral dan
hukum-hukum al-Quran, akan tetapi setiap mereka (para pengajar)
menggunakan kiasan dan penafsiran yang secara tidak langsung
mengarahkan pendengar mengikuti idiologi khalifah Dinasti Fatimiyah.
Pada akhir pembelajaran mereka (para murid) masing-masing berdiri dan
mencium tangan guru.

Untuk menunjang kegiatan pendidikan dan pengajaran, Al-Azhar


dilengkapi dengan asrama untuk para fuqaha (dosen, tenaga pendidik)
serta semua urusan dan kebutuhannya ditanggung oleh khalifah. 8 Al-azhar
juga menyediakan asrama bagi mahasiswa yang belajar disana secara
gratis, sementara bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan ekonomi
yang lebih mereka tinggal di penginapan yang lebih bagus dan dekat
dengan masjid.9 Fasilitas lainnya adalah dapur dan toilet serta
perpustakaan dengan komposisi buku yang memadai, tidak hanya buku-
buku yang berbahasa Arab tetapi juga buku-buku terjemahan dari Yunani.

Dari berbagai paparan terdahulul, maka tampak jelas bahwa sistem


pendidikan Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam yang
tertua, memiliki dampak yang besar terhadap pertumbuhan lembaga
pendidikan sesudahnya. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan yang ada di
Al-Azhar dahulu hingga saat ini banyak diadopsi oleh lembaga pendidikan
Islam dan lembaga pendidikan umum lainnya. Oleh karena itu sebenarnya

8
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Hidyakarya Agung, 1990), hlm. 92.
9
Salah Zaimeche, Cairo (Unites Kingdom : FSCT Limited, 2005), hlm. 10.
lembaga-lembaga pendidikan kontemporer berhutang banyak kepada para
pendiri Al-Azhar.

Sistem pendidikan yang baik dan maju pada masa Dinasti Fatimiyah
dapat menjadi penunjang terhadap kemajuan peradaban Islam. Kemajuan
peradaban ini karena adanya dukungan dari sistem politik yang aman,
sistem ekonimi yang stabil, sistem sosial yang nyaman sehingga
pergolakan pemikiran menjadi tumpuan dalam menciptakan komunitas
yang berperadaban. Kegairahan dalam menuntut ilmu dan memajukan
pengetahuan mewujudkan lahirnya para intelektual-intelektual. Muslim
pada masa Dinasti Fatimiyah ini. Karya-karya para intelektual masa ini
memenuhi perpustakaan-perpustakaan yang didirikan di daerah kekuasaan
Dinasti Fatimiyah ini.

C. Dikotomi Ilmu Pengetahuan

Dikotomi adalah pembagian dua kelompok yang saling


bertentangan.10 Dalam implikasinya disebutkan sebagai ilmu umum dan
ilmu Islam, pendidikan umu dan pendidikan Islam, guru pendidikan umum
dan guru pendidikan Islam, sekolah umum dan sekolah agama. Dengan
demikian, dikotomi ilmu yang dimaksud di sini adalah pembagian dua
kelompok ilmu pengetahuan, secara lahiriah kelihatan bertentangan, yang
diklaim bahwa ilmu agama berasal dari Islam, sementara ilmu umum
diklaim berasal dari Barat.

Karena terlanjur ada pendikotomian ilmu yang dilakukan oleh


sebagian pakar pendidikan, maka pada gilirannya pula melahirkan istilah
lain yang disebut dengan “dualisme pendidikan”, yakni pendidikan agama
dan pendidikan umum. Istilah dualisme diartikan dua paham atau
pemahaman yang berkembang dan dianut dalam suatu komunitas.
Pemahaman itu mungkin tampak sejalan dan mungkin kontradiksi. Jika

10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III
(Cet.II;Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm.220.
kemungkinana yang terakhir disebut (kontradiksi) yang timbul lalu ditarik
benang merah, maka ia semakna dengan dikotomi secara lahiriah.

Kembali kepada istilah dualisme, secara semantik term ini berarti


dua macam pengetahuan, atau du macam pandangan, yaitu:

1.Pengetahuan (ilmu) yang rasional pemerolehannya (epistemoogi-


nya) melalui akal.
2.Pengetahuan (ilmu) non rasional pemerolehannya melalui wahyu.

Kaitannya dengan pendidikan, ilmu rasional itu disebut ilmu umum


yang kemudian melahirkan sekolah umum. Ilmu non rasional disebut ilmu
agama yang kemudian melahirkan bidang-bidang studi agama pemisahan
diantara keduanya.

Berdasarkan uraian diatas dapat dinyatakan bahwa dualisme


pendidikan bukan terpisah-pisahnya ilmu pada beberapa disiplin,
melainkan fungsi ilmu sendiri yang seharusnya terdapat hubungan
fungsional lalu hubungan itu dipisahkan. Sehingga muncullah istilah
pendidikan agama dan pendidikan umum.

Penjajahan Barat terhadap dunia Muslim telah dicatat para sejarawan


berlangsung sejak abad VIII hingga abad XIX M. Pada saat itu dunia
Muslim benar-benar tidak berdaya di bawah kekuasaan imperialisme
Barat. Dalam kondisi seperti itu tentu tidaklah mudah dunia Muslim
menolah upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama unjeksi budaya dan
peradaban modern Barat. Karenanya pendidikan budaya setempat yang
dibangun sejak lama, bahkan dapat dikatakan, pendidikan ilmu-ilmu Barat
telah mendominasi kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah pada dunia
Muslim.

Dengan demikian, integrasi ilmu pengetahuan tidak diupayakan


apalagi dipertahankan. Ini sebagai dampak mengalirnya gaya pemikiran
sarjana Barat yang memang berusaha memisahkan antara urusan ilmu
dengan urusan agama. Bagi mereka, kajian keilmuan harus dipisahkan dari
kajian keagamaan. Sehingga di dunia Muslim juga berkembang hal yang
sama, yakni kajian ilmu dan teknologi harus terpisah dari kajian agama.
Pendekatan keilmuan seperti ini, tepatnya menjelang akhir abad XIX M
mulai mempengaruhi cabang ilmu lain terutama ilmu yang menyangkut
masyarakat, seperti ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi dan
politik.11

Faktor lain yang dianggap telah menyebabkan munculya dikotomi


sistem pendidikan di dunia Muslim adalah modernisasi. Yang harus
disadari, modernisasi itu m uncul sebagai suatu perpaduan antara dua
ideologi Barat, teknikisme dan nasionalisme.12 Teknikisme muncul sebagai
reaksi terhadap dogma, sedangkan nasionalisme ditemukan di Eropa dan
diinjeksikan secara paksa kepada rakyat Muslim.

Perpaduan kedua paham modernisme inilah, menurut Zianuddin,


yang sangat membahayakan dibandingkan dengan tradisionalisme yang
sempit.13 Selain itu, penyebab dikotomi sistem pendidikan adalah
diterimanya budaya Barat secara total bersama adopsi ilmu pengetahuan
dan teknologinya.14

Sementara itu, Amrullah Ahmad menilai bahwa penyebab utama


terjadinya dikotomi adalah peradaban umat Islam yang tidak dapat
menyajikan Islam secara kaffah.15 Sebagai akibat dari dikotomi itu,
lahirnya pendidikan umat Islam yang sekularistik, rasionalistik dan
materialistik.

Ketergantungan bangsa Muslim dalam bidang pendidikan, disadari


sebagai faktor terpenting dalam membina umat, hampir tidak dapat
dihindarkan dari pengaruh Barat. Ujungnya, krisis identitas pun tidak
11
Syed Ali Ashaf, New Hoizons in Muslim Education, Terj. Soni Siregar dengan judul Baru Dunia
Islam, Jakarta: Logos: Pustaka Firdaus, 1991, hlm. 33.
12
Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung: Mizam, 1986, hlm. 75.
13
Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung: Mizam, 1986, hlm 76.
14
Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung: Mizam, 1986, hlm 77.
15
Amrullah Ahmad (ed), Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, dalam Muslih
Musa, Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991,
hlm. 52.
dapat dihindarkan melanda umat Islam. Menurut istilah AM. Saefuddin,
ketidakberdayaan umat Islam membuatnya bersifat taqiyyah. 16 Artinya,
kaum Muslimin lebih menyembunyikan identitas Islamnya, karena rasa
takut dan malu. Ternyata sikap seperti itu yang banyak melanda umat
Islam di segala tingkatan dimanapun berada, baik di infrastruktur, maupun
suprastruktur.

Melemahnya orientasi sosial umat Islam ini secara tidak sadar telah
memilah-milah pengertian parsial dalam hakikat hidup bermasyarakat.
Islam hanya dipandang dari arti ritual saja. Sementara urusan lain banyak
didominasi dan dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, umat
Islam lebih kenal budaya Barat ketimbang budaya sendiri/Islam.

Salah satu dampak negatif adanya dikotomi sistem pendidikan,


terutama di Indonesia adalah munculnya ambivalensi orientasi pendidikan
Islam.17 Sementara ini, dengan pendidikan pesantren, masih dirasakan
adanya kekurangan dalam program yang diterapkan. Misalnya dalam
bidang mu’amalah (ibadah dalam arti luas) yang mencakup penguasaan
berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, terdapat anggapan, bahwa seolah
semua itu bukan merupakan bidang garapan Islam, melainkan bidang
garapan khusus sistem pendidikan sekuler.

Sistem madrasah apalagi sekolah dan perguruan tinggi Islam, telah


membagi forsi materi pendidikan Islam dan materi pendidikan umum
dalam presentase tertentu. Hal itu tentu menunjukkan bahwa pendidikan
Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan pendidikan Islam.
Namun ironisnya, juga tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Barat.
Pada akhirnya, pendidikan Islam di sekolah dan perguruan tinggi
(terutama umum) diketahui sebagai materi pelengkap yang menempel
sebagai pencapaian orientasi pendidikan sekuler.

16
A. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran, Bandung: Mizan, 1991, hlm. 97.
17
A. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran, Bandung: Mizan, 1991, hlm. 103.
Panjang dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu ahama dan
ilmu-ilmu umum bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang memiliki
ajaran integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisah
dengan urusan akhirat.

Implikasinya, bila merujuk pada ajaran Islam ilmu-ilmu umum


seharusnya dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari ilmu-ilmu agama.
Oleh karenanya, bila paha dikotomi dan ambivalen dipertahankan, output
pendidikannya itu tentu jauh dari cita-cita pendidikan Islam itu sendiri.

Hingga saat ini, boleh dikatakan, bahwa dalam sistem pendidikan


kurang terjadinya perpaduan (usaha integralisasi). Kenyataan ini
diperburuk oleh ketidakpastian hubungan antara pendidikan umum dan
pendidikan agama. Bahkan hal itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara
wawasan guru agama dan kebutuhan anak didik, terutama disekolah
umum.18

Senada dengan pernyataan diatas, menurut Marwan Saridjo bahwa,


akibat dan dampak negatif dari sistem pendidikan dualistik, yaitu

1. Arti agama telah dipersempit yaitu sejauh yang berkaitan dengan


aspek teologi Islam seperti yang diajarkan disekolah-sekolah
agama selama ini;
2. Sekolah-sekolah agama dan perguruan tinggi Islam rata-rata ber
IQ rendah dari kelompok residual.19

Sementara itu, Zianuddin Sardar memberikan solusi untuk


menghilangkan dikotomi itu dengan cara meletakkan epistemologinya dan
teori sistem pendidikan yang bersifat mendasar. Menurutnya, untuk
menghilangkan sistem pendidikan dikotomi di dunia Islam perlu dilakukan
usaha-usaha sebagai berikut:

18
A. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran, Bandung: Mizan, 1991, hlm.105
19
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Cet.I; Jakarta: Amisco, 1996), h. 21.
1. Dari segi epistemologi, umat Islam harus berani megembangkan
kerangka pengetahuan masa kini yang teraktualisasi sepenuhnya.
Ini berarti kerangka pengetahuan yang dirancang harus aplikatif.
Kerangka pengetahuan dimaksud setidaknya dapat
menggambarkan metpde-metode dan pendekatan yang tepat dan
nantinya dapat membantu para pakar Muslim dalam mengatasi
masalah-masalah moral dan etika yang sangat dominan di masa
sekarang.
2. Perlu ada suatu kerangka teoritis ilmu dan teknologi yang
menggambarkan beberapa gaya dan metode aktivitas ilmiahserta
teknologi yang sesuai tinjauan dunia yang mencerminkan nilai
dan norma budaya Muslim.
3. Perlu diciptakan teori-teori pendidikan yang memadukan ciri-ciri
terbaik sistem tradisional dan sistem modern. Sistem pendidikan
integralistik itu secara sentral harus mengacu pada konsep ajaran
Islam, seperti tazkiah al-nafsu, tauhid dan sebagainya. Selain itu
sistem tersebut juga harus mampu memenuhi kebutuhan-
kebutuhan masyarakat Muslim secara multidimensional masa
depan. Hal penting lainnya adalah pemaknaan pendidikan,
mencari ilmu sebagai pengalaman belajar sepanjang hidup.20

Walaupun gagasan para ahli pendidikan Muslim telah banyak


dilontarkan, tetapi disadari benar bahwa masalah dualisme sistem
pendidikan tidak mudah diselesaikan. Oleh karenanya, sikap optimisme
dan berani menjadi modal penting. Modal tersebut lambat laun membuat
usaha-usaha para pakar dan sambutan positif masyarakat Islam akan
menjadi kenyataan.

20
Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung: Mizam, 1986, hlm. 280-
281.
D. Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam.
1. Jamaluddin Al-Afghani.

Jamaluddin A-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik


Kabul, Afghanistas tahun 1839 dan meninggal di Istanbul tahun
1897.21 Tetapi penelitian para sarjana menunjukkan bahwa ia
sebenarnya lahir di kota yang bernama (As’adabad) tetapi bukan di
Afghanistan, melainkan Iran. Ini menyebabkan banyak orang,
khususnya mereka di Iran lebih suka menyebut oemikir pejuang
muslim modernis itu Al-As’adabi bukam Al-Afghani, walaupun dunia
telah terlanjur mengenalnya sebagaimana dikehendaki oleh yang
bersangkutan sendiri, dengan sebutan Al-Afghani. Ia mempunyai
pertalian darah dengan Husein bin Ali melalui Ali At-Tirmizi, ahli
hadist terkenal. Keluarganya mengikuti mazhab Hanafi. Ia adalah
seorang pembaharu yang berpengaruh di Mesir. Ia menguasai bahasa-
bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia.

Pendidikannya sejak kecil sudah diajakan mengaji Al-Quran dari


ayahnya sendiri, di samping bahasa Arab dan Sejarah. Ayahnya
mendatangkan seorang guru ilmu tafsir, hadist dan fiqih yang
dilengkapi dengan ilmu tasawuf dan ilmu ketuhanan, kemudia dikirim
ke India untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern (Eropa).

Ia menetap di Kairo dan menjauhkan urusan politik untuk


berkonsentrasi ke bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat
tinggalnya menjadi pusat pertemuan bagi para mahasiswa, diantaranya
adalah Muhammad Abduh.

Melihat kepada kegiatan politik yang demikian besar dan daerah


yang demikian luas, maka dapat dikatakan bahwa Al-Afghani lebih
banyak bersifat pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir
pembaharuan dalam Islam, tetapi kehiatan di jalankan Al-Afghani

21
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 130.
sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam
Islam.

Menururt Afghani, ilmu pengetahuan yang dapat menundukkan


suatu bangsa, dan ilmu pula sebenarnya yang berkuasa di dunia ini
yang kadangkala berpusat di Timur ataupun Barat. Ilmu juga yang
mengembangkan pertanian, industri dan perdagangan yang
menyebabkan penumpukan kekayaan dan harta. Tetapi filsafat
menurutnya merupakan ilmu yang paling teratas kedudukannya di
antara ilmu-ilmu yang lain.

Selain itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egalister


yang universal. Salah satu gagasannya adalah persamaan manusia
antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya keduanya mempunya akal
untuk berpikit, maka tidak ada tantangan bagi wanita bekerja di luar
jika situasi menginginkan.22

Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas


umat agar umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan menuju
kemajuan. Dalam hal menuntut ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki
saja melainkan perempuan pun harus ikut andil dalam bidang
pendidikan tersebut.

2. Tahtawi.

Al-Tahtawi memiliki nama lengkap Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-


Tahtawi, ia merupakan pembawa pemikiran pembaharuan yang besar
pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19. Ia lahir di Tahta
pada tahun 1801. Tahta merupakan kota yang berada di bagian selatan
Mesir dan wafar pada tahun 1873 di Kairo. Ketika Muhammad Ali
mengambil alih kekayaan di Mesir, harta orang tua Al-Tahtawi
termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu dan ia terpaksa menempuh
pendidikan masa kecilnya oleh bantuan dari keluarganya Ibunya.
22
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambutan,
1992)), hlm. 300.
Ketika berumur 16 tahun Al-Tahtawi memutuskan untuk melanjutkan
studinya ke Al-Azhar dan pada tahun 1822 ia menyelesaikan studinya.

Al-Tahtawi merupakan murid kesayangan dari gurunya Syaikh


Hasan Al-Attar yang banyak mempunyai hubungan dengan Napoleon
ketika ia datang ke Mesir. Gurunya Al-Tahtawi ini sering mengadakan
kunjungan kepada ahli-ahli dari Perancis tersebut untuk mengetahui
kemajuan ilmu pengetahuan mereka. Dan mereka pun menerima
kunjungan itu dengan senang hati karena mereka bisa belajar bahasa
Arab dari gurunya Al-Tahtawi.

Diantara pendapat baru yang dikemukakannya adalah ide


pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya terutama ditujukan
kepada pemberian kesempatan yang sama antara laki-laki dan
perempuan ditengah masyarakat. menurutnya, perbaikan pendidikan
hendaknya dimulai dengan memberikan kesempatan belajar yang sama
antara pria dan wanita, sebab wanita itu memegang posisi yang
menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi
istri danibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diharapkan
melahirkan putra-putri yang cerdas.23

Bagi Al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga


tahapan. Tahap I adalah pendidikan dasar, diberikan secara umum
kepada anak-anak dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung,
Al-Quran, agama dan matematika. Tahap II, pendidikan menengah,
materinya berkisar pada ilmu sastra, ilmu alam, biologi, bahasa asing
dan ilmu-ilmu keterampilan. Tahap III adalah pendidikan tinggi yang
tugas utamanya adalah menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai displin
ilmu.24

23
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin, Sejarah dan
Kebudayaan Islam (Ujungpandang:IAIN Alauddib, 1993), hlm. 220.
24
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin, Sejarah dan
Kebudayaan Islam (Ujungpandang:IAIN Alauddib, 1993), hlm. 221
Dalam proses belajar mengajar, Al-Tahtawi menganjurkan
terjalinnya cinta dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana
Ayah dan Anaknya. Pendidik hendaknya memiliki kesabaran dan kasih
sayang dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui penggunaan
kekerasan, pemukulan dan semacamnya sebab merusak perkembangan
anak didik.25 Dengan demikian, dipahami bahwa Al-Tahtawi sangat
memperhatikan metode mengajar dengan pendekatan psikologi belajar.

3. Muhammad Abduh.

Syekh Muhammad Abduh bernama lengkap Muhammad bin


Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr
di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari
keluarga yang tidak tergolong kaya dan bukan pula keturunan
bangsawan.

Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani


dipedesaan. Namun demikian, Ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua saudaranya
membantu Ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad
Abduh yang oleh Ayahnya ditugaskanuntuk menuntut ilmu
pengetahuan. Pilihan ini bisa jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin
juga karena ia sangat dicintai oleh Ayah dan Ibunya. Hal tersebut
terbukti dengan sikap Ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh
Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua minggi sejak kepergiannya,
Ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang
sangat muda yaitu pada tahun 1865, saat ia baru berusia 16 tahun.

Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari Masjid Al-Ahmadi


Thantha (sekitar 80 km dari Kairo) untuk mepelajari tajwid Al-Quran.
Setelah dua tahun berjalan di sana, pada tahun 1864 ia memutuskan

25
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin, Sejarah dan
Kebudayaan Islam (Ujungpandang:IAIN Alauddib, 1993), hlm. 221-222.
untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara dan
kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.

Menurut Abduh, pendidikan merupakan lembaga yang paling


strategis untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial secara
sistematis. Gagasannya yang paling mendasar dalam sistem pendidikan
adalah bahwa ia sangat menentang sistem dualisme. Menurutnya,
dalam lembaga-lembaga pendidikan umum harus diajarkan agama.
Sebaliknya, dalam lembaga-lembaga pendidikan agama harus
diajarkan ilmu pengetahuan modern.

Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam mewujudkan gagasan


pembaharuannya adalah melalui Universitas Al-Azhar. Menurutnya,
seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu.
Ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelummnya tidak diajarkan,
dihidupkankembali. Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu
diajarkan di Al-Azhar. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan
modern ke lembaga-lembaga pemdidikan agama dan sebaliknya,
dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan
ulama dan ahli modern, dan diharapkan kedua golongan ini bersatu
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di zaman
modern.

4. Rasyid Rida

Nama lengkap Muhammad Rasyid Rida adalah Al-Sayyid


Muhammad Rasyid rida bin Ali Rida bin Muhammad Syamsuddin bin
Al-Sayyid Baharuddin bin Al-Sayyid Munla Ali Khalifah Al-
Baghdadi. Beliau dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 kn
dari Tripoli, Libanon, pada bulan Jumadil ‘Ula 1282 H (1864 M). Dia
adalah seoramg bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan
langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah
putri Rasulullah Saw.26

Pada tahun 1898 M, Muhammad Rasyid Rida hijrah ke Mesir


untuk menyebar luaskan pembaharuan di Mesir. Dua tahun kemudia ia
menerbitkan majalah yang diberi nama “Al-Manar” untuk menyebar
luaskan ide-idenya dalam usaha pembaharuan.

Dalam bidang pendidikan, Rasyid Rida memandang bahwa ilmu


pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh
karena itu, peradaban Barat modern harus dipelajari oleh umat Islam.
Hal ini relevan dengan pendapat gurunya (Muhammad Abduh) bahwa
ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat wajib di pelajari umat
Islam untuk kemajuan mereka.27 Beliau juga berpendapat bahwa
mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya mengambil
kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.28

Usaha yang dilakukan di bidang pendidikan adalah membangun


sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-kader
Mubaligh yang tangguh, sebagai imbangan terhadap sekolah
misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di
Kairo dengan nama Madrasah Al-Dakwah wa Al-Irsyad.29 Dalam
lembaga tersebut Rida memadukan antara kurikulum Barat dan
kurikulum yang biasa diberikan madrasah tradisional.

5. Qasim Amin.

Qasim amin dilahirkan di kota Kairo pada tahun 1863, dari seorang
Ayah bernama Muhammad Beik Amin yang berdarah Turki dan

26
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
hlm.280.
27
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 151.
28
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 75.
29
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambutan,
1992)), hlm. 163.
Ibundanya berdarah Mesir kelahiran sha’id. Keluarga Muhammad
Beik berasal dari keluarga penguasa negara dan tergolong kaya.

Muhammad Beik juga merupakan sosok pratisi yang tergolong


ilmuan dan kaya dengan pengalaman praktis, terutama dari
pengalaman sebagai pegawai tinggi Turki, beliau juga turut berperan
dalam karir Amin. Karena sang Ayah tidak rela jika anaknya hanya
sekedar mempunyai kemampuan teoritis.

Cara beliau mewujudkan kepeduliannya yaitu dengan cara


menjalin hubungan yang baik dengan Mustafa Fahmi. Yaitu dengan
cara menitipkan putranya untuk dilatih secara praktis di kantor
pengacara tersebut.

Qasim Amin ialah sosok intelektual Mesir yang memiliki basis


pendidikan dan pergaulan yang perjalanannya pun mulai dari Dunia
Arab khas Timur Tengah hingga dunia Eropa dan Amerika yang
metropolis. Qasim Amin bisa diandalkan sebagai ikon yang begitu
getol memperjuangkan terciptanya peradaban baru Islam yang
berbingkai keadilan, kesetaraan dan kemuliaan bagi laki-laki dan
perempuan sekaligus.

Usaha Amin memberdayakan dan mengangkat martabat


perempuan, di mata Amin adalah usaha untuk menegakkan apa saja di
pandangnya sebagai prinsip ideal Islam vis avis realitas sosial
perempuan Mesir, dan juga demi sebuah kemajuan bangsa.

Gagasan ini muncul sebagai refleksi dan wujud kepedulian


intelektual Amin terhadap realitas perempuan Mesir. Ia juga melihat
perempuan di Mesir telah dipinggirkan dalam relasi laki-laki. Ide
emansipasi wanita yang dicetuskan oleh Qasim Amin timbul karena
sentakan tulisan wanita Prancis Duc. D’Haorcourt yang mengkritik
struktur sosial masyarakat Mesir, terutama keadaan perempuan
disana.30

Qasim Amin begitu menaruh harapan kepada kaum perempuan


untuk dapat menempuh pendidikan. Karena terdapat hubungan yang
posisitif antara pendidikan perempuan dengan kemajuan perempuan.
Pendidikan untuk perempuan di yakini sebagai salah satu cara untuk
melepaskan kaum perempuan Mesir dari perlakuan diskriminatif.

6. Thaha Husein.

Thaha Husein dilahirkan tahun 1889 M di Izbat Al-Kilu. Ketika


berumur dua tahun telah terkena penyakit optualmia (kebutaan),
penyakit yang biasa menyerang anak-anak ketika itu, namun penyakit
tersebut tidak menghalanginya menuntut ilmu. Ia belajar Al-Quran dan
dapat menghapalnya pada usia sembilan tahun.

Pada tahun 1902, ia dikirim orang tuanya untuk belajar di Al-


Azhar dengan harapan agar kelak Thaha Husein menjadi alim Azhar,
memberi pelajaran agama dalam halaqah yang besar. Akan tetapi
Thaha Husein keluar dari Al-Azhar, ia kecewa dengan sistem
pengajarannya yang sempit dan tidak berkembang serta materi
pelajarannya amat tradisional dan manjemukan.

Pada tahun 1905, ia mendalami pemikiran Muhammad Abduh,


salah satu yang amat menonjol dari keterpengaruhannya adalah
sikapnya yang menentang praktek tawassul di desanya sehingga dicap
sebagai seorang yang tersesat dan menyesatkan. Pada tahun 1908
bersamaan dengan dibukanya Universitas Kairo, Thaha Husein
mendaftarkan diri, disinilah ia berkenalah dengan sederetan orientasi
semisal Iguazio Buidi, Enno Litman, Santilana, Nallino dan Masignon.
Pada tanggal 5 Mei 1914 Thaha Husein mempertahankan disertasinya
yang berjudul Dzikra Abi Al-‘Ala dan berhasil yudisium jayyid jiddan
30
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambutan,
1992)), hlm. 109.
pada tahun itu juga Thaha Husein dikirim ke Perancis untuk belajar
sejarah.

Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, beliau melihat bahwa


perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga
ahli yang diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental
yang dapat memajukan Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi
yang memprihatinkan dan terbelakang dalam berbagai bidang
khususnya pendidikan, dibanding dengan dunia Barat.

Menurut Beliau, Universitas tersebut mencerminkan intelektual,


keilmiahan dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan
intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya hanya bisa diperoleh
melalui kemerdekaan ilmu dan intelktual.

Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka


beliau menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan
pada sistem dan metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke
Perguruan Tinggi, demikian juga metode penelitiannya. Gagasan
Thaha Husein ini memiliki arti penting bagi kemajuan ilmu
pengetahuan di Mesir karena mampu melahirkan inovasi-inovasi baru
dalam bidang pendidikan dan disinilah muncul kemampuan belajar
efektif dalam belajar yang sesungguhnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembaharuan Islam, dalam pengertian sempit, yaitu upaya dalam
menyesuaikan pemahaman nilai-nilai keagamaan dengan
perkembangan dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan. Modernisasi
pada dasarnya adalah sebuah rasionalisasi yakni upaya untuk memberi
jawaban secara rasional atas persoalan-persoalan yang muncul pada
zaman modern, dan dampak yang ditimbulkan modernisasi Barat
dengan tetap berpegang pada doktrin Islam Modernisasi dalam Islam,
berbeda dengan modernisasi di dunia Barat, dalam Islam modernisasi
pemikiran dan intuisi di dunia Islam disemangati oleh nilai agama,
sementara modernisasi di dunia Barat lebih didorong oleh paham
materialism.
B. Saran-saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan baik di segi pembahasannya maupun
susunan makalahnya, oleh karena itu penulis menyarankan kepada
pembaca agar sudi kiranya memberikan kritikan dan saran yang
membanguun demi sempurnanya makalah ini di masa yang akan
datang.
DAFTAR REFERENSI
A. Munir, Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994).
Muhammad Atiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam
(Jakarta:Bulan Bintang;1993).
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern Dalam Islam
(Jakarta: Rajawali Press, 1998).
Asriati Amaliyah, “Eksistensi Pendidikan Islam Di Mesir Pada Masa Daulah
Fatimiyah,” dalam Lentera Pendidikan, Vol. XVI.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidyakarya Agung, 1990).
Bayard Dodge, Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning (Washington DC:
The Middle East Instituate, 1961).
Salah Zaimeche, Cairo (Unites Kingdom : FSCT Limited, 2005).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
III (Cet.II;Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
Syed Ali Ashaf, New Hoizons in Muslim Education, Terj. Soni Siregar dengan
judul Baru Dunia Islam, Jakarta: Logos: Pustaka Firdaus, 1991.
Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung: Mizam,
1986.
Amrullah Ahmad (ed), Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam,
dalam Muslih Musa, Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
A. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran, Bandung: Mizan, 1991.
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Cet.I; Jakarta:
Amisco, 1996).
Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung: Mizam,
1986.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambutan, 1992).
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin, Sejarah
dan Kebudayaan Islam (Ujungpandang:IAIN Alauddib, 1993).
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.

Anda mungkin juga menyukai