MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Tafsir dan Hadist Tarbawi
Disusun oleh :
KATA PENGATAR
1
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam
Makalah ini kami membahas tentang “Fitrah Manusia” dan disusun untuk
memenuhi tugas dari mata kuliah Tafsir dan Hadist Tarbawi
Kami ucapkan terimaksih kepada Dr. Slamet Firdaus, M.Ag selaku dosen
mata kuliah Tafsir dan Hadist Tarbawi yang telah membimbing kami dalam
penulisan makalah ini. Besar harapan kami makalah ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Kami sadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna untuk itu kami mengharapkan kritik dan sarannya
supaya kami dapat memperbaiki penulisan makalah ini dilain kesempatan.
Semoga Bermanfaat ....
Terimakasih
Cirebon, Juni 2018
Penulis,
DAFTAR ISI
2
KATA PENGANTAR ................................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................2
A. PENDAHULUAN .........................................................................................3
B. Makna Etimoligi.............................................................................................4
C. Makna Fitrah dalam Al-Quran.......................................................................6
D. Macam-macam Fitrah....................................................................................9
E. Fitrah Sebelum dan Setelah Lahir..................................................................11
F. Relevansi Fitrah dalam Tarbiyah....................................................................16
G. Penutup...........................................................................................................17
Daftar Pustaka............................................................................................................19
Fitrah Manusia
3
Oleh : Abd. Rachman Mildan
A. Pendahuluan
Al-Quran yang merupakan sumber utama dalam Islam tak jarang
berbicara mengenai fitrah, yang secara normative sarat dengan nilai-nilai
transendental-ilahiyah dan insaniyah. Artinya, di satu sisi memusatkan perhatian
pada fitrah manusia dengan sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun
ruhaniah sebagai potensi yang siap dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya
melalui proses humanisering sehingga keberadaan manusia semakin bermakna.
Di sisi lain, pengembangan kualitas sumber daya manusia tersebut dilaksanakan
selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun tauhid
uluhiyah.1 Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan
kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada
untuk pertama kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya
telah memiliki agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai
agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga
dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini
menjadikan eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang sempurna.
B. Makna Etimologi
Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata al-fathara yang berarti
menjadikan. Kata tersebut berasal dari dari akar kata al-fathr yang berarti
belahan atau pecahan.1 Sementara itu Quraish Sihab dari segi bahasa, kata
fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini
lahir makna-makna lain antara lain "penciptaan" atau "kejadian". Konon sahabat
Nabi, Ibnu Abbas tidak tahu persis makna kata fathir pada ayat-ayat yang
berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran
tentan kepemilikan satu sumur. Salah seorang berkata, "Ana fathar tuhu". Ibnu
Abbas memahami kalimat ini dalam arti, "Saya yang membuatnya pertama kali."
Dan dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan
atau kejadian sejak awal. 2
1 Samsul Nizar, Dasar- dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Cet.1:Jakarta:Gaya media pratama,2001) h. 73.
2 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Cet. II; Bandung, Mizan, 1996). h, 271
4
Menurut istilah fitrah merupakan potensi-potensi dasar manusia yang
memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh)
dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran. Dalam perspektif
pendidikan Islam fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah potensi yang
menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan
hidup, upaya mempertahankan dan melestarikan kehidupannya, kekuatan
rasional (akal), dan kekuatan spiritual (agama).3 Secara umum, para pemikir
muslim cendrung memaknainya sebagai potensi manusia untuk untuk beragama
(tauhid ila Allah) (Sayyid Muhammad Husein ath-Thabahaba, Tafsir al-Mizan,
Juz, 8, (Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991). Menurut Zakiah
Daradjat fitrah manusia adalah sebagai suatu wadah atau tempat yang dapat diisi
dengan kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang sesuai dengan
kedudukan dan tanggung jawab sebagai hamba khalifah di muka bumi.4
Dalam gramatika bahasa Arab, sumber kata fitrah wazannya fi'lah, yang
artinya al-ibtida', yaitu menciptakan sesuatu tanpa contoh. Fi'lah dan fitrah
adalah bentuk masdar (infinitif) yang menunjukkan arti keadaan. Demikian pula
menurut Ibn al-Qayyim dan Ibnu Katsir, karena fiţir artinya menciptakan, maka
fitrah berarti keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Menurut hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, fitrah adalah awal mula penciptaan manusia.
Sebab lafadz fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Quran dalam konteksnya
selain dengan manusia.5
Fitrah manusia berbeda dengan watak atau tabi'at. Juga berbeda dengan
naluri/garizah. Watak atau tabi'at adalah sifat dasar, seperti kalimat watak
oksigen adalah mudah terbakar. Jadi watak adalah karakteristik yang terdiri dari
pada bentuk, dan materi (mâddah). Inilah yang merupakan watak atau tabi'at
3 Ibid. Hal 175
4 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 17
5 Murtadha Muthahhari, Fitrah (Jakarta: Paramadina, 1989), cet. ke-1, hlm. 6-17
6 Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna, 1991). h. 21.
5
suatu benda. Sedangkan naluri atau garizah adalah sifat dasar. Sifat dasar ini
bukan muktasabah (bukan diperoleh). Misalnya, anak kuda begitu lahir langsung
bisa berdiri. Semut, meskipun binatang kecil namun mampu mengumpulkan
makanan. Inilah yang disebut naluri atau garizah. Dalam naluri tidak terdapat
kesadaran yang penuh. Untuk binatang, fitrah ini disebut naluri. Fitrah sama
dengan watak (tabi'at) dan naluri ini juga bukan diperoleh melalui usaha
(muktasabah). Bukan pula karena khuduri (perolehan). Istilah fitrah lazimnya
untuk manusia, naluri lazimnya untuk hewan, dan watak lazimnya untuk benda.7
6
Allah yang ditetapkan kepada manusia, yaitu bahwa manusia sejak lahir dalam
keadaan suci, dalam artian tidak mempunyai dosa. 8 Jika dikaitkan dengan agama
kesucian tersebut berarti bahwa manusia manusia dilahirkan dalam keadaan suci
ia terbebas dari dosa-dosa oarang tuanya, atau dosa warisan. Fitrah manusia
mempunyai sifat suci , yang dengan nalurinya tersebut secara terbuka menerima
kehadiran tuhan.
Artinya :
8 Al-Qurthubi, Tafsīr Al-Qurţubī, Juz VI (Cairo: Dārus Sa’ab, t.t.), hlm. 5106.
9 Imam Muslim, Al-Jami‘ Şohih al-Musamma' Şohih Muslim Juz VIII (Bairut: Dâr al-Ma‘âri, t.t.), hlm.310.
10 Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), Cet. I hlm. 68.
7
manusia sejak lahir telah membawa tauhid, atau paling tidak ia
berkecenderungan untuk meng-Esa-kan Tuhannya, dan berusaha terus mencari
untuk mencapai ketauhidan tersebut.11 Setiap manusia menurut pandangan islam
dilahirkan dengan membawa fitrah tauhid, yaitu mengesakan Allah SWT. Dalam
hal ini menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata bahwa
manusia dikaruniai tabiat dan kecenderungan mengesakan tuhan (tauhid). Ada
tahap selanjutnya fitrah ini perlu dikembangkan agar jiwa tauhid yang sudah
tertanam didalam diri manusia kepada Allah SWT tidak alan tergoyahkan
apalagi berpindah tuhan. Dengan kata lain seorang anak lahir dengan membawa
“potensi keimanan” kepada Allah SWT.12
8
terhadap Allah SWT, telah ada pada diri mereka kecenderungan untuk menerima
kebenaran. Maka siapapun manusia yang telah melakukan suatu kemaksiatan
sesungguhnya hati kecilnya (sanubari) merasa bahwa telah melakukan suatu
kesalahan, karena faktor eksogenlah yang mempengaruhinya berpaling terhadap
kebenaran.13
9
22. mengapa aku tidak menyembah (tuhan) yang telah
menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan
dikembalikan?
D. Macam-macam Fitrah
Menurut M. Quraish Shihab bahwa manusia sejak asal kejadiannya,
membawa potensi beragama yang lurus. Manusia tidak dapat menghindar dari
fitrah itu. Fitrah keagamaan itu akan melekat pada diri manusia untuk
selamalamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya. Fitrah
adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah
yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia
yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya. Manusia berjalan dengan kakinya
adalah fitrah jasadiahnya, sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis
10
adalah fitrah akliahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila ditimpa
musibah juga adalah fitrahnya.16
16 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Cet. II; Bandung, Mizan, 1996), h. 284-285
17 Ibn Taimiyah, dalam Juhaja, Epistimologi Ibn Taimiyah, Jurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7
18 Nurchalish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 191), h.8
11
buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-
Esakan Tuhannya. Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang
dimiliki manusia yang mampu menginduksi objek-objek yang menyenangkan
dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah
secara serasi dan seimbang. Daya defensif (quwwat alghadhab) yaitu potensi
dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang
membahayakan dirinya, namun demikian menurutnya, di antara ketiga potensi
tersebut, di samping agama, potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat
kendali (control) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan dapat
teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana
yang disinyalir oleh Allah dalam Kitab dan ajaran-ajarannya. Pengingkaran dan
pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan
menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.
19 Tim LPP SDM, 2010, Ensiklopedi Pendidikan Islam, Depok :Binamuda , hal 44
12
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah.
13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim).
14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah
Allah, Pencipta yang paling baik.
13
kedudukan manusia dan tujuan hidupnya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang
wajar karena al-Qur‟an memang diyakini oleh kaum muslimin sebagai firman
Allah Swt yang ditujukan kepada dan untuk manusia. Sungguh menakjubkan
fase-fase penciptaan manusia yang dijelaskan secara detail oleh rangkaian ayat
di atas, karena ternyata fase-fase yang dijelaskannya terbukti sejalan dengan
penemuan ilmiah embriologi modern dewasa ini.
20 Saryono, Konsep Fitrah dalam perspektif islam, Medina-Te, Jurnal Studi Islam Volume 14, Nomor 2,
Desember 2016
14
172. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
15
pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak
menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".
Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak semula Adam
dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka, melainkan juga berarti
bahwa aurat masing-masing tertutup sehingga mereka sendiri pun tidak dapat
melihatnya. Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan
akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka, dan mereka
menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha menutupinya dengan
daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan adanya naluri pada diri
manusia sejak awal kejadiannya bahwa aurat harus ditutup dengan cara
berpakaian. Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt. telah mengilhami
manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk berpakaian, bahkan
kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana diisyaratkan oleh surat Thaha (20):
117-118, yang mengingatkan Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan,
tentu ia akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan, dan
papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri manusia yang memiliki
kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya terlihat bahwa manusia primitifpun
selalu menutupi apa yang dinilainya sebagai aurat.21
21 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Cet. II; Bandung, Mizan, 1996), h. 152-153
16
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan
dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama
mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian
mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya "perkawinan", dan
beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam
istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah terambil dari akar kata sakana
yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya
mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan
binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta.
Sakinah karena perkawinan adalah ketenangan yang dinamis dan aktif,
tidak seperti kematian binatang. 22
17
Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu
pada tujuan bersama dalam menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan
kepribadian setelah seseorang mengalami proses pendidikan. Menjadi masalah
adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda (indikator) orang yang beriman dan
bertaqwa. Maka konsep fitrah terhadap pendidikan Islam dimaksudkan di sini,
bahwa seluruh aspek dalam menunjang seseorang menjadi menusia secara
manusiawi adanya penyesuaian akan aktualisasi fitrah-nya yang diharapkan,
yakni pertama, konsep fitrah mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu
positif (fitrah), baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani
(spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia
adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Di samping jasad,
akal, manusia memiliki qalbu. Dengan qalbu tersebut manusia dapat mengetahui
sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang
salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan
mempengaruhi benda dan peristiwa. 23
18
Akan tetapi tidak berati individu tersebut dapat diperlakukan sebagai manusia
pasif, melainkan memiliki kemampuan dan keaktifan yang mampu membuat
dilihat dan penilaian, menerima, menolak atau menentukan alternatiflaternatif
yang lebih sesuai dengan pilihannya sebagai perwujudan dari adanya kehendak
dan kemauan bebasnya. 25
G. Kesimpulan
Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata al-fathara yang berarti
menjadikan. Kata tersebut berasal dari dari akar kata al-fathr yang berarti
belahan atau pecahan. Menurut istilah fitrah merupakan potensi-potensi dasar
manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan
(pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran. Dalam
perspektif pendidikan Islam fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah potensi
yang menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi
kekuatan hidup, upaya mempertahankan dan melestarikan kehidupannya,
kekuatan rasional (akal), dan kekuatan spiritual (agama).
25 Muhammad Fu‟ad „Abdul Baqi, 1988, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-
Karim, (Dar al-Hadits, al-Qahiroh, 1998) hal : 453
19
Daftar Pustaka
Al-Quran Al Karim
20
Saryono, Konsep Fitrah dalam perspektif islam, Medina-Te, Jurnal Studi
Islam Volume 14, Nomor 2, Desember 2016
Muis Sadiman, Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan
Progresifisme John Dewey (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2004), 22
Imam Muslim. Al-Jami‘ Şohih al-Musamma' Şohih Muslim Juz VIII. Bairut:
Dâr al-Ma‘âri
21