Anda di halaman 1dari 23

Upaya Manusia Sebagai Ahsanu Taqwim dalam Menumbuhkan Rasa Hazan

dan Istihya’ Untuk Meningkatkan Kualitasi Diri Pada Konteks Pendidikan

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Pada Mata Kuliah


“Psikologi Pendidikan Islam”

Disusun Oleh

Kelompok 4

1. Fatimah Arsy Yani (NIM. 1911540039)


2. Nurhijrah Gusmadia Tama Nasution (NIM. 1911540054)
3. Sismi Leni (NIM. 1911540066)

Dosen Pengampu :

Dr. Qolbi Khoiri, M.Pd.I

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM (S2) PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohiim.

Assalaamu’alaikum warohamtullahi wa barokaatuh.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang kita nantikan
syafaatnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas


limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa nikmat sehat fisik maupun akal pikiran,
sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah Psikologi
Pendidikan Islam dengan judul “Upaya Manusia Sebagai Ahsanu Taqwim dalam
Menumbuhkan Rasa Hazan dan Istihya’ Untuk Meningkatkan Kualitasi Diri
Pada Konteks Pendidikan”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih terdapat kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis
mengharapkan krtitik serta saran, supaya makalah ini dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
terlibat dalam pembuatan makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat, terimakasih. Wassalaamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh.

Bengkulu, 12 Agustus 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... i
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... ii
C. Tujuan Penulisan............................................................................................ ii

BAB II PEMBAHASAN

A. Manusia Sebagai Ahsanu Taqwim................................................................. 3


B. Upaya Manusia Sebagai Ahasanu Taqwim dalam Menumbuhkan Rasa
Hazan Untuk Meningkatkan Kualitas Diri Pada Konteks Pendidikan .......... 4
C. Upaya Manusia Sebagai Ahsanu Taqwim dalam Menumbuhkan Rasa
Istihya’ Untuk Meningkatkan Kualitas Diri Pada Konteks Pendidikan......... 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................... 17
B. Saran............................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 19

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia atau Insan di dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 65 kali.
Penekanan kata Insan ini lebih mengacu pada peningkatan manusia ke derajat
yang dapat memberinya potensi dan kemampuan. Manusia dibekali potensi
ilmu, akal dan nurani. Dengan potensi ini manusia siap dan mampu
menghadapi permasalahan sekaligus mengantisipasinya.1
Selain itu manusia sebagai makhluk Ahsanu Taqwim sebagaimana
yang terdapat dalam QS At-Tin ayat 4 dikatakan bahwa manusia adalah
sebaik-baiknya bentuk, ini artinya manusia diciptakan dalam tampilan dan
sosok fisikal yang sedemikian rupa memenuhi standar dan syarat untuk
menjalani kehidupan di dunia yang penuh tantangan ini.
Dalam fisikal manusia yang sedemikian itu terdapat fitrah manusia,
artinya sesuatu yang pasti ada dalam diri manusi. Pada ciri-ciri manusia
sempurna dalam pandangan islam terdapat rohani yang berkualitas seperti
qolbu yang gejalanya jelas : sedih, gelisah, malu, sabar, putus asa, cinta,
benci, iman, dan lain sebagainya.
Menurut Ramayulis fitrah manusia ini adalah kemampuan dasar bagi
perkembangan manusia yang dianugerahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang tidak ternilai harganya dan harus dikembangkan agar manusia dapat
mencapai tingkat kesempurnaan.2
Maka dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai bagaimana
manusia mengelolah fitrah manusia yaitu Hazan (sedih) dan Istihya’ (malu)
untuk meningkat kualitas dirinya pada konteks pendidikan.
1
Remiswal, Konsep Fitrah dalam Pendidikan Islam, Yogyakarta : Diandra Kreatif, 2018,
hlm 51
2
Hamriah S. Fungsi-fungsi Pendidikan dalam Hidup dan Kehidupan Manusia, Vol 8 (2)
2013, hlm 154

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian manusia sebagai Ahsanu Taqwim?
2. Bagaimana upaya manusia sebagai Ahsanu Taqwim dalam menumbuhkan
rasa Hazan untuk meningkatkan kualitas diri pada konteks pendidikan?
3. Bagaimana upaya manusia sebagai Ahsanu Taqwim dalam menumbuhkan
rasa Istihya’ untuk meningkatkan kualitas diri pada konteks pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui ;
1. Pengertian manusia sebagai Ahsanu Taqwim
2. Upaya manusia sebagai Ahsanu Taqwim dalam menumbuhkan rasa Hazan
untuk meningkatkan kualitas diri pada konteks pendidikan
3. Upaya manusia sebagai Ahsanu Taqwim dalam menumbuhkan rasa
Istihya’ untuk meningkatkan kualitas diri pada konteks pendidikan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Manusia Sebagai Ahsanu Taqwim


Secara umum, kata Ahsanu atau al-Insan berarti manusia. Dalam al-Qur’an,
ungkapan yang seakar dengan kata al-Insan dipergunakan kurang lebih sebanyak
331 kali dengan bentuk kata yang berbeda. Secara morfologis, asal kata al-insan
ini diperselisihkan, segolongan ahli bahasa Arab berpendapat bahwa kata al-insan
berasal dari kata nasiya-yansa yang berarti lupa. Pendapat lain menyatakan
bahwa asal kata al-insan adalah insiyan yang berakar kata ins yang berarti sesuatu
yang tampak dan jinak. Apabila pendapat tersebut dilihat berdasarkan relevansi
makna masing-masing kata tersebut maka kata (nasiya, ins dan nasa) dipandang
lebih kuat. Sebab, akar kata ins sendiri yang berarti sesuatu yang tampak dan
jinak, makna ini relevan dengan sifat dan fisik manusia. Kata taqwim merupakan
bentuk masdar dari kata kerja qawwama yang berarti menghilangkan
kebengkokan (menyelaras-kan), membudayakan dan memberi nilai. Al-Raghib
mengartikan kata qawwama tersebut dengan kata tasqif dalam artian bahwa
ungkapan ini merupakan kekhususan manusia dari hewan-hewan, yang mana
manusia memiliki kemampuan akal, pemahaman dan bentuk tegak lurus. 3 Dari
pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa konsep yang terkandung dalam kata
taqwim tidak hanya berkonotasi fisik tetapi juga psikis.
Dalam al-Qur’an surah at-Tin ayat 4

ٍ‫َأحسن َت ْق ٍومْي‬ ‫ىِف‬


ُ َ ْ ‫لََق ْد َخلَ ْقنَا اِإل َسا َن‬
Terjemah arti : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya

3
Abu Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Ashfahani al-Raghib, al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an, Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1961, hal. 47.

3
Oleh karena itu, ahsanu taqwim sendiri memiliki makna bahwa manusia (al-
insan) adalah makhluk yang memiliki kekhususan dari makhluk lainnya, yaitu
bahwa manusia memiliki kemampuan akal dan pemahaman, juga memiliki
kesempurnaan fisik dan psikis yang berbeda dengan makhluk lainnya seperti
hewan dan tumbuhan. Ini artinya, manusia diciptakan dengan memenuhi standar
kelayakan untuk mampu menjalani kehidupan, yakni diberi organ tubuh yang
lengkap dan sehat sebagaimana lazimnya. Bahasa teknisnya, manusia lahir ke
dunia dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Jadi, yang dimaksud dengan
ahsanu taqwim bukanlah berkaitan dengan persoalan estetika erotis: cantik,
tampan, langsing, atletis, dan sejenisnya.
B. Upaya Manusia Sebagai Ahsanu Taqwim dalam Menumbuhkan Rasa Hazan
atau Sedih Untuk Meningkatkan Kualitas diri Pada Konteks Pendidikan
a. Ayat yang dijadikan landasan Q.S yusuf ayat 13
        
    
b. Artinya
Berkata Ya'qub: "Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf Amat
menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau Dia dimakan serigala, sedang
kamu lengah dari padanya."
c. Mufrodat yang dijadikan subjek
‫ لَيَح ُ يِن‬.artinya menyedihkankuSecara etimologi kata sedih berasal dari
ْ ُ‫ْزن‬
kata - ‫ َح ِز َن‬- ‫حَيَْز ُن‬  lalu menyedihkan dalam bahasa arab berasal dari kata – - ُ‫يُحْ ِزن‬
‫أحْ َز َن‬  Kata dasar dari kesedihan adalah sedih, diberi imbuhan ke-an. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, kata sedih diartikan sebagai perasaan sangat pilu
dalam hati dan atau menimbulkan rasa susah dalam hati. Sedangkan kesedihan
memiliki makna perasaan yang sedih, duka cita, kesusahan.

d. Tafsir menurut para ahli


1) Tafsir Jalalayn

4
(Berkata Yakub, "Sesungguhnya amat menyedihkan aku
kepergian kalian) bila kalian pergi (bersama Yusuf) karena merasa
berat berpisah dengannya (dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan
serigala) makna yang dimaksud adalah jenis, yaitu mencakup semua
binatang buas. Tersebutlah bahwa daerah tempat tinggal mereka
terkenal banyak hewan buasnya (sedangkan kalian lengah
daripadanya.") lalai daripadanya.4

Adapun dalam tafsir psikologi lathaif penafsiran ayat tersebut


sebagaimana dalam ayatnya

    

Sesungguhnya kepergian kalian bersamannya (Yūsuf) sangat


membuatku sedih‛, kalimat ini menggambarkan betapa besar cinta
dan kasih sayang Ya’qūb kepada Yūsuf. Namun, masalah itulah yang
selama ini dipersoalkan saudara-saudara Yūsuf. Mereka cemburu dan
dengki karena menganggap ayah mereka lebih mencintai Yūsuf
dibanding mereka. Karena itulah mereka bersekongkol untuk
menjauhkan Yūsuf dari ayah mereka. Ungkapan Ya’qūb itu
sekan-akan menjadi isyarat nyata yang membuat mereka semakin
berhasrat menjauhkan Yūsuf dari ayah mereka.5

Baqhawi, dalam Ma’lim Al-Tanzil, menafsirkan bahwa


kesedihan yang dimaksud dalam ayat 13 surat Yūsuf adalah
kesedihan hati karena berpisah dengan orang yang dicintai.6 Emosi

4
Tafsir Jalalayn qs yusuf ayat 13, https://www.pecihitam.org/surah-yusuf-ayat-13-14-
terjemahan-dan-tafsir-al-quran/, diakses pada tanggal 12 agustus 2020, pukul 9.00 WIB.
5
Fuad Al-Aris, Tafsir Psikologi Latha’if Al-Tafsir Min Surah Yūsuf, trj, Fauzi Bahrezi,
dengan Judul, Pelajaran Hidup Surah Yūsuf, (Jakarta: Zaman, 2013), hlm. 77-78.
6
Baqhawi, Abu Muhammad Al-Husayn Ibn Ud Al Farra, Ma’lim Al Tanzil Dari Al Maktabah
Al Syamilah, Tafsir Surat Yusuf Ayat 13( Bairut Dar Ihya At- Tutars Al-Arabi, 1420), Jilid. 2, Hlm.
479.

5
sedih merupakan perasaan yang banyak dialami manusia.
Sebagimana kesedihan Nabi Ya’qūb. Namun jika kesedihan itu
semakin menguat maka semakin lama akan mengusik kondisi
jiwa yang pada gilirannya akan mengganggu kondisi fisik. Salah
satunya adalah penyakit yang oleh para ilmuan biasa disebut
dengan istilah melankolik (murung). Ciri umumnya adalah
kesedihan yang menguasai kesedihan seseorang sehingga
memunculkan keinginan untuk bunuh diri.7

e. Upaya manusia sebagai ahsanu taqwim dalam menumbuhkan rasa Hazan


atau sedih untuk meningkatkan kualitas diri pada konteks pendidikan
Untuk menumbuhkan rasa sedih jika tidak melakukan kebaikan
beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya faktor pendidikan
informal (keluarga) dan formal (lingkungan sekolah)
1. Keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan pribadi anak. Pola asuh orang tua yang penuh kasih
sayang dan pendidikan mengenai nilai-nilai kehidupan, baik agama
maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang
sangat kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan
anggota masyarakat yang sehat.
Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan suatu hal yang
sangat penting bagi perkembangan emosi anggota keluarga, terutama
anak, dan kebahagiaan ini dapat diperoleh jika keluarga dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi dasar keluarga adalah
memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan
mengembangkan hubungan yang baik diantara anggota keluarga. 8
Orang tua merupakan orang yang pertama kali yang mengajarkan
7
Fuad Al-Aris, Tafsir Psikologi Latha’if Al-Tafsir Min Surah Yūsuf, trj, Fauzi Bahrezi,
dengan Judul, Pelajaran Hidup Surah Yūsuf, (Jakarta: Zaman, 2013), hlm. 79.

6
kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan contoh teladan
yang baik.9Sehingga peran orang tua penting dalam meningkatkan
kecerdasan emosi anak. Dengan ditanamkan nilai-nilai sosial dan
agamis sejak dini maka perkembangan dan pertumbuhan anak akan
terbiasa melakukan kebaikan-kebaikan dikehidupan sehari-hari.
Orangtua bisa mendidik kecerdasan emosi anak dengan metode
motivasi yaitu dengan memotivasi anak untuk selalu memperbaiki
kualitas diri, memperbaiki prestasi, dan menanamkan pada diri anak
rasa Hazan atau sedih apabila prestasinya menurun, sedih kalau tidak
ada perubahan pada diri dalam kurun waktu yang terus berubah-ubah,
akan tetapi rasa sedih ini tidak boleh larut atau berkepanjangan, tapi
rasa Hazan atau sedih ini dijadikan motivasi pada anak agar lebih
semangat, lebih giat lagi memperbaiki kualitas diri maupun
prestasinya di sekolah.
2. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan lembaga pendidikan formal
yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran
dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu
mengembangkan potensinya, baik hal-hal yang berhubungan dengan
moral, spiritual, intelektual, emosional, dan sosial.10 Kegiatan proses
belajar mengajar dikelas adalah bertujuan untuk menghasilkan
perubahan-perubahan positif didalam ciri anak yang sedang menuju
kedewasaan, sejauh berbagai perubahan tersebut dapat diusahakan
melalui usaha belajar.
Dengan belajar yang terarah dan terpimpin, anak memperoleh
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan nilai yang
8
Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan anak & Remaja. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), Hal.37.
9
Yusuf, Syamsu. Hal.40
10
Hariwijaya. Tes EQ. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), Hal. 11

7
mengantarnya menuju kedewasaan, sehingga penentuan perumusan
tujuan pendidikan Nasional menentukan hasil proses belajar yang
diperoleh, baik dibidang kognitif, motorik, maupun afektif. Selain itu,
peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock
mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi
perkembangan kepribadian anak, baik dalam pola berpikir, bersikap
maupun berperilaku.11
Peranan guru sebagai pendidik professional sangat kompleks,
tidak terbatas pada saat berlangsungnya interaksi edukatif didalam
kelas atau proses belajar mengajar, namun juga berperan sebagai
administrator, evaluator, dan konselor, menilai baik buruknya suatu
perbuatan, mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada peserta didik.12
Begitu juga dengan upaya guru dalam menumbuhkan rasa hazan
atau sedih dalam diri anak, sama halnya dengan peran orang tua yang
telah di paparkan sebelumnya guru harus bisa menumbuhkan rasa
sedih yang positif dalam diri anak, sedih jika prestasi menurun, sedih
jika tidak bisa mengerjakan pelajaran dan menjadikan semua itu
sebagai motivasi untuk selalu memperbaiki kualitas diri pada anak,
menjadikan rasa sedih sebagai suatu cara untuk menyadari eksistensi
dirinya yang seharusnya.
Oleh karena itu, tugas seorang guru menjadi penting disekolah
dalam mengontrol perilaku peserta didik, sedangkan orang tua
mengontrol perilaku anak ketika dirumah. sehingga dibutuhkan
kerjasama yang baik antara sekolah dengan orang tua.
Berdasarkan paparan diatas dapat dikatakan bahwa faktor yang
dapat menumbuhkan rasa hazan atau sedih dalam diri anak ada 2 yaitu
11
Yusuf, Syamsu. Hal. 38.
12
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar Di Sekolah, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997),
hal 3.

8
faktor keluarga dan faktor sekolah. Kerjasama antara pihak sekolah
dengan orang tua sangat penting bagi perkembangan anak terkhusus
dalam menumbuhkan rasa sedih yang positif sehingga prestasi anak
selalu meningkat, perilakunya lebih terarah dan baik, guru menjadi
kontrol bagi anak ketika disekolah dan menjadi tanggung jawab
orangtua dalam mengontrol perilaku anak ketika dirumah sehingga
anak dapat berkembang dengan baik, secara moral maupun sosial.
C. Upaya Manusia Sebagai Ahsanu Taqwim dalam Menumbuhkan Rasa
Istihya’ Untuk Meningkatkan Kualitas Diri Pada Konteks Pendidikan
1. Ayat yang dijadikan landasan (Q.S Al-Qoshosh : 25)

ٍ ‫فَجآءتْه ِإحد ٰىهما مَتْ ِشى علَى ٱستِحي‬


ِ َ ‫آء قَالَت ِإ َّن َأىِب ي ْدع‬
‫َأجَر َما‬
ْ ‫ك‬ َ َ‫وك ليَ ْج ِزي‬ُ َ ْ َْ ْ َ َُ َْ ُ َ َ
‫ت ِم َن ٱلْ َق ْوِم‬
َ ‫ف ۖ جَنَ ْو‬
ْ َ‫ال الَ خَت‬
َ َ‫ص ق‬
َ ‫ص‬
ِ َّ َ‫س َقيت لَنَا ۚ َفلَ َّما جآءهۥ وق‬
َ ‫ص َعلَْيه ٱلْ َق‬ َ َُ َ ََْ
ِ ِٰ
َ ‫ٱلظَّلم‬
‫ني‬

Terjemah : Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari


kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya
bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap
(kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami”. Maka tatkala Musa
mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita
(mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu
telah selamat dari orang-orang yang zalim itu”.

2. Tafsir Ayat (Tafsir Sayyid Quthb)

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua


wanita itu berjalan kemalu-maluan. (Al-Qashash: 25)

9
Sebagaimana layaknya jalan wanita yang bersih, mulia, terjaga
kemaluannya dan suci, ketika bertemu dengan laki-laki dengan
kemalu-maluan, tidak genit, menor dan menggoda. Ia datang kepada
Musa untuk menyampaikan kepadanya undangan yang ia ucapkan
dalam kata yang amat singkat namun dipahami. Seperti yang
diceritakan dalam al-Qur’an

“Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi


balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum(ternak) kami”

Hal itu ia iringi dengan sikap malu tapi jelas, tepat dan dapat
dipahami dengan tidak berputar-putar, sulit atau kacau. Hal itu juga
merupakan ungkapan dari fitrah yang bersih dan lurus, karena seorang
wanita yang lurus akhlaknya, akan merasa malu secara fitrah ketika
bertemu dengan laki-laki dan berbicara dengannya. Namun karena
keyakinan dan kesuciannya dan kelurusannya ia tidak menjadi gugup.
Kegugupan yang berupa keinginan, tindakan menggoda dan
merangsang. Namun ia berbicara dengan jelas sesuai dengan kadar
yang diperlukan, tidak lebih.13

3. Pengertian Istihya’ atau malu


Malu atau istihya’ berasal dari bahasa Arab al-haya’ yang secara
etimologi adalah masdar dari hayiya - yahya - hayah yang berarti hidup.
Orang tangguh dalam hidupnya tangguh dipastikan memiliki sifat malu
disebabkan kemampuan dirinya dalam mengatahui hal-hal yang buruk.
Selain dari ketangguhannya tersebut, sifat malu juga dapat berasal dari
kekuatan panca indera seorang manusia dan kelembutannya.

13
Sayyid Quthb diterjemahkan As’ad Yasin, Tafsir Fii Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-
Qur’an Jilid 17, (Jakarta ; Gema Insani Press 2004), hlm 54

10
Malu menurut al-Jauziyyah adalah salah satu akhlak yang dapat
mendorong manusia menjauhi perkataan dan perbuatan yang buruk dan
mencegah diri dari sikap acuh terhadap hak orang lain.14
Imam Ibnul Qoyyim menulis “ Haya‘ (Malu) berasal dari kata
Hayah (hidup). Sekadar apa hati hidup sekadar itu pula kekuatan akhlak
malu. Sedikitnya akhlak malu menunjukkan matinya hati dan ruh kepada
kealpaan disisi lain. Gambaran ini khusus untuk malu kepada al-Maula yaitu
Allah.15
Sedangkan menurut Fadhullah al-Jailani malu adalah perubahan
yang menyelubungi seseorang lantaran khawatir kepada sesuatu tercela,
sesuatu yang sejatinya buruk.16
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

َّ ‫ َو‬، ‫إن لِ ُك ِّل ِدي ٍن ُخلُ ًقا‬


‫إن ُخلُ َق اإلسْالَِم احلَيَاء‬ َّ
“ sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak dan akhlak islam
adalah malu”17
Menurut Gillbert malu adalah emosi yang muncul dari ketidaksadaran
terhadap sesuatu yang tidak berharga, menggelikan, tidak pantas, aib, emosi
terhadap perilaku atau keadaan diri seseorang (atau pada orang yang memiliki
kehormatan) atau sedang berada dalam situasi yang melanggar kesopanan.18

14
Supian Sauri , URGENSI PENDIDIKAN SIFAT MALU DALAM HADITS (Telaah Hadits
Imran Ibn Husain tentang Sifat Malu dalam Kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal) Jurnal Studi dan
Penelitian Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 2 Agustus 2019 .hlm 70
15
Abu ‘Amar Mahmud al-Mishry diterjemahkan Imtihan Asy-Syafi’I diterjemahkan
Manajemen Akhlak Salaf ( Membentuk akhlak seorang muslim dalam hal amanah, tawadhu dan
malu), (Solo : Pustaka Arafah, 2007 ) hlm 174
16
Abu ‘Amar Mahmud al-Mishry diterjemahkan Imtihan Asy-Syafi’I, Manajemen Akhlak Salaf
( Membentuk akhlak seorang muslim dalam hal amanah, tawadhu dan malu)… hlm 175
17
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan dinyatakan Hasan oleh al-albani di dalam shahih al-
Jami’ ash-Shaghir no 2149
18
Nurhayani, Peran Rasa Malu dan Rasa Bersalah Terhadap Pengajaran Moral Anak, Al-
Irsyad : Jurnal Pendidikan dan Konseling, Vol 7 (1), 2017 hlm 64

11
Rasa malu memicu seseorang memodifikasi perilakunya agar mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Malu menjadi faktor penentu perilaku
sosial. Seseorang berprilaku sesuai dengan nilai atau norma yang sudah menjadi
kesepakatan bersama. Nilai atau norma tersebut dijadikan parameter bertingkah
laku, apakah itu benar atau salah, tepat atau tidak tepat, sesuai atau tidak sesuai.
Artinya malu merupakan emosi psikologis yang mencerminkan konteks sosial
yaitu norma-norma sosial. Merujuk pada konteks sosial ini maka rasa malu akan
memotivasi individu untuk membatalkan perilaku yang tidak sesuai dengan
norma kelompoknya.19
Jadi berdasarkan pengertian diatas diketahui bahwa malu adalah akhlak
(perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan
yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan
dosa dan maksiat serta mecegah sikap melalaikan orang lain.
4. Macam-macam Malu
Ibnu Rajab menjelaskan malu ada dua macam, yaitu :
a. Malu yang menjadi karakter dan tabiat bawaan, dia tidak diusahakan. Ini
merupakan salah satu akhlak mulia yang Allah anugerahkan kepada
seorang hamba-Nya.
b. Malu yang diperoleh dari mengenal Allah dan mengenal keagungan-Nya,
kedekatan-Nya dengan para hamba-Nya dan karena keyakinan mereka
tentang Maha Tahu-nya Allah, mengetahui pandangan khianat dan sesuatu
yang terpendam dalam dada manusia. 20
5. Rasa Malu Dalam Pendidikan Islam
Rasa malu adalah fitrah, sifat yang telah ada sejak manusia dilahirkan.
Maka perlu diperhatikan dengan benar arti dan wilayah rasa malu itu atau

19
E. Constant Giawa, Nani Nurrachman, Representasi Sosial Tentang Makna Malu Pada
Generasi Muda di Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Vol 17 (1), hlm 78
20
https://muslimah.or.id/8705-sifat-malu-dan-keutamaannya.html , diakses pada Selasa 07
Juli 2020, pukul 11.42 WIB

12
dalam arti kata harus bisa menempatkan rasa malu itu sesuai koridornya
yaitu pada hal-hal yang dilarang agama.
Kita tidak boleh malu pada suatu kebenaran, karena hal itu dapat
menghambat kita untuk maju, berkembang dan berprestasi. Maka dalam hal
ini malu dalam pendidikan dapat dikategorikan kedalam 2 jenis, yaitu malu
yang diperbolehkan dan malu yang tidak diperbolehkan.
a. Malu yang diperbolehkan (terpuji)
Rasa malu dapat diartikan sebagai perasaan tidak enak hati dan
rendah diri karena kurang baik, berbeda dengan kebiasaan, serta
mempunyai cacat atau kekurangan. Adapun malu dalam islam adalah
akhlak atau perangai yang mendorong seseorang meninggalkan
perbuatan-perbuatan buruk dan tercela.
Rasa malu yang diperbolehkan menurut ilmu psikologi adalah
merupakan rasa malu dalam melakukan perilaku tercela. Saat seseorang
melakukan perilaku tersebut akan timbul rasa tidak tenang dalam hati
seseorang.
Rasa malu merupakan perilaku terpuji yang hendaknya
diterapkan dalam keseharian. Sebagai peserta didik rasa malu dapat
diterapkan dengan mengerjakan soal ujian sesuai kemampuan sendiri
atau rasa malu berbuat curang saat ujian.21
Adapun contoh malu yang diperbolehkan lainnya adalah malu
terlambat ke sekolah, malu tidak belajar, malu tidak mengerjakan PR,
malu membolos sekolah, malu tidak piket kelas, malu berkelahi, dan
malu membuang sampah sembarangan.
b. Malu yang tidak diperbolehkan (tercela)

21
Ma’sumatun Ni’mah, Tata Kramah, Sopan Santun dan Malu,( Klaten : Cempaka Putih,
(Tanpa Tahun)), hlm 6

13
Rasa malu yang tidak diperbolehkan adalah rasa malu yang
salah, malu dalam melakukan hal yang terpuji, seseorang yang memiliki
rasa malu yang salah akan merasa menyesal.
Rasa malu seperti ini sangat tidak dibenarkan dalam Islam
karena menjauhkan seseorang dari perilaku terpuji, rasa malu ini
mengarahkan manusia untuk menjauhi kebaikan.
Adapun contoh malu yang tidak diperbolehkan dalam pendidikan
adalah malu dalam belajar. Imam Mujahid berkata “Orang yang malu
dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.”
Dalam riwayat hadis al-Bukhori dikatakan “dari Aisyah
Rodhiyallahu aanha pernah memuji sifat wanita Anshar ; Wanita terbaik
adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk
memperdalam ilmu Agama.”
Demikianlah seseorang tidak boleh malu dalam melakukan yang
haq dan dalam menjauhi kesalahan dan dosa. Malu ketika akan
melakukan yang haq atau malu untuk menjauhi kesalahan dan dosa, pada
hakekatnya itu bukanlah malu dalam pandangan syari’at.
6. Upaya Manusia Sebagai Ahsanu Taqwim dalam Menumbuhkan Rasa
Istihya’ Untuk Meningkatkan Kualitas Diri Pada Konteks Pendidikan
Perbedaan yang hakiki manusia dengan makhluk lainnya adalah
memiliki rasa malu, malu itu tumbuh dan berkembang pada diri manusia
dimulai sejak lahir. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang
sifat malu yang disebut sebagai sifat baik. Sifat seperti ini hendaknya dimiliki
oleh setiap orang. Sebab, hal baik dapat dipastikan akan mendatangkan
kebaikan pula. Sifat malu ini adalah fitroh setiap manusia, seperti pada saat
masih balita, ketika sehabis mandi belum dipakaikan pakaian pada balitanya,
biasanya balita tersebut masih belum mau melepaskan handuk, maka sifat malu
merupakan fitrah bagi manusia. Menumbuhkan rasa malu hati pada diri, akan
meminimalisir pelanggaran nilai-nilai internal dan kode etik yang dibangun

14
sedemikian rupa di masyarakat. Malu meninggalkan perbuatan dan tingkah laku
yang tercela, malu bila berada pada kelompok masyarakat yang hanya akan
meberikan kesan tidak baik dan menjadi beban dan penghambatan di keluarga
maupun kelompok masyarakat.22
Menumbuh kembangkan rasa malu atau budaya malu dapat diterapkan
dengan beberapa langkah strategis, yaitu:23
a. Selalu menyadari apa yang hendak dikatakan dan dilakukan, sehingga
terhindar dari melakukan hal-hal yang akan mengakibatkan rasa malu.
Misalnya berkata-kata kotor, berbohong, mengingkari janji dan sebagainya.
b. Senantiasa meningkatkan kualitas diri dengan ‘tidak malu’ bertanya jika
tidak mengetahui   tentang sesuatu, terutama tentang ilmu Islam. Sehingga
akan bertambah keimanan dan ketakwaan.
c. Jika melihat orang lain melakukan hal yang tidak terpuji yang bertentangan
dengan aturan Islam, hendaknya mengingatkan dan menasehatinya dengan
cara yang baik. Ingatkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala melihat apa
yang dia kerjakan.
d. Jika melihat orang merasa malu dan bertobat setelah melakukan
kemaksiatan, hendaknya kita memuji bahwa apa yang dia lakukan itu
adalah benar. Dan memberikan semangat agar senantiasa istiqomah pada
perbuatan tersebut.
e. Bagi para orangtua, hendaklah menanamkan rasa malu pada Allah
Subhanahu wa ta’ala pada anak-anak sejak kecil. Misalnya membiasakan
menutup aurat jika keluar rumah, berkata sopan dan sebagainya. Gunakan
bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti anak-anak.

22
Supian Sauri, Urgensi Pendidikan Sifat Malu Dalam Hadits, (Telaah Hadits Imran Ibn
Husain Tentang Sifat Malu Dalam Kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal), Jurnal Studi dan Penelitian
Pendidikan Islam, Volume 2 Nomor 2 Agustus 2019
23
Fitri Yunizar, Menumbuhkan Rasa Malu (Shame) Dalam Menanggulangi Kenakalan
Remaja Di Lembaga Pendidikan, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam al Bahstu, Volume 4 Nomor 2
Desember 2019.

15
Sungguh, kesadaran akan rasa malu pada Allah Subhanahu wa ta’ala
merupakan hal penting yang harus dimiliki semua orang, baik pemimpin
maupun rakyat, orang kaya maupun orang miskin, tua dan muda. Karena rasa
malu inilah yang akan melindungi manusia dari kerusakan. Tanpa rasa malu,
orang tidak akan canggung lagi berbuat dosa. Sehingga kemaksiatan akan
tersebar dimana-mana.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

16
Ahsanu taqwim memiliki makna bahwa manusia (al-insan) adalah
makhluk yang memiliki kekhususan dari makhluk lainnya, yaitu bahwa
manusia memiliki kemampuan akal dan pemahaman, juga memiliki
kesempurnaan fisik dan psikis yang berbeda dengan makhluk lainnya seperti
hewan dan tumbuhan. Ini artinya, manusia diciptakan dengan memenuhi
standar kelayakan untuk mampu menjalani kehidupan, yakni diberi organ
tubuh yang lengkap dan sehat sebagaimana lazimnya.
Upaya manusia sebagai ahsanu taqwim dalam menumbuhkan rasa
Hazan atau sedih untuk meningkatkan kualitas diri pada konteks pendidikan
ada 2 cara yaitu melalui orangtua dan lingkungan sekolah dengan cara harus
bisa menumbuhkan rasa sedih yang positif dalam diri anak, sedih jika prestasi
menurun, sedih jika tidak bisa mengerjakan pelajaran dan menjadikan semua
itu sebagai motivasi untuk selalu memperbaiki kualitas diri pada anak,
menjadikan rasa sedih sebagai suatu cara untuk menyadari eksistensi dirinya
yang seharusnya.
Upaya manusia sebagai ahsanu taqwim dalam menumbuhkan rasa
Istihya’ atau malu untuk meningkatkan kualitas diri pada konteks pendidikan
Selalu menyadari apa yang hendak dikatakan dan dilakukan, sehingga
terhindar dari melakukan hal-hal yang akan mengakibatkan rasa malu.
Misalnya berkata-kata kotor, berbohong, mengingkari janji dan sebagainya.
1. Senantiasa meningkatkan kualitas diri dengan ‘tidak malu’ bertanya jika
tidak mengetahui   tentang sesuatu, terutama tentang ilmu Islam.
Sehingga akan bertambah keimanan dan ketakwaan.
2. Jika melihat orang lain melakukan hal yang tidak terpuji yang
bertentangan dengan aturan Islam, hendaknya mengingatkan dan
menasehatinya dengan cara yang baik. Ingatkan bahwa Allah Subhanahu
wa ta’ala melihat apa yang dia kerjakan.
3. Jika melihat orang merasa malu dan bertobat setelah melakukan
kemaksiatan, hendaknya kita memuji bahwa apa yang dia lakukan itu

17
adalah benar. Dan memberikan semangat agar senantiasa istiqomah pada
perbuatan tersebut.
4. Bagi para orangtua, hendaklah menanamkan rasa malu pada Allah
Subhanahu wa ta’ala pada anak-anak sejak kecil. Misalnya membiasakan
menutup aurat jika keluar rumah, berkata sopan dan sebagainya. Gunakan
bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti anak-anak.
B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan karena keterbatasan sumber buku yang dimiliki oleh penulis.
Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai makalah ini,
agar makalah ini dapat disempurnakan dengan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

18
Al-Aris, Fuad . 2013. Tafsir Psikologi Latha’if Al-Tafsir Min Surah Yūsuf, trj,
Fauzi Bahrezi, dengan Judul, Pelajaran Hidup Surah Yūsuf, (Jakarta:
Zaman,)

‘Amar, Abu Mahmud al-Mishry, diterjemahkan Imtihan Asy-Syafi’I, 2007


Manajemen Akhlak Salaf ( Membentuk akhlak seorang muslim dalam hal
amanah, tawadhu dan malu), Solo : Pustaka Arafah
Baqhawi, Abu Muhammad Al-Husayn Ibn Ud Al Farra, 1420. Ma’lim Al Tanzil Dari
Al Maktabah Al Syamilah, Tafsir Surat Yusuf Ayat 13( Bairut Dar Ihya At-
Tutars Al-Arabi) Jilid. 2,
E. Constant Giawa, Nani Nurrachman, Representasi Sosial Tentang Makna Malu
Pada Generasi Muda di Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya,
Vol 17 (1)

Al-Aris, Fuad. 2013. Tafsir Psikologi Latha’if Al-Tafsir Min Surah Yūsuf, trj, Fauzi
Bahrezi, dengan Judul, Pelajaran Hidup Surah Yūsuf, (Jakarta: Zaman)

Hariwijaya. 2006. Tes EQ. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

https://muslimah.or.id/8705-sifat-malu-dan-keutamaannya.html , diakses pada


Selasa 07 Juli 2020, pukul 11.42 WIB
Ni’mah, Ma’sumatun. Tata Kramah, Sopan Santun dan Malu, Klaten : Cempaka
Putih, (Tanpa Tahun)

Nurhayani, Peran Rasa Malu dan Rasa Bersalah Terhadap Pengajaran Moral Anak,
Al-Irsyad : Jurnal Pendidikan dan Konseling, Vol 7 (1), 2017

Remiswal, 2018. Konsep Fitrah dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Diandra


Kreatif).
Sauri, Supian. Urgensi Pendidikan Sifat Malu Dalam Hadits, (Telaah Hadits Imran
Ibn Husain Tentang Sifat Malu Dalam Kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal),

19
Jurnal Studi dan Penelitian Pendidikan Islam, Volume 2 Nomor 2 Agustus
2019
Sayyid Quthb diterjemahkan As’ad Yasin, 2004, Tafsir Fii Zhilalil Qur’an di Bawah
Naungan Al-Qur’an Jilid 17, Jakarta ; Gema Insani Press

Suryosubroto, 1997. Proses Belajar Mengajar Di Sekolah, (Jakarta: PT Rineka Cipta)

Syamsu, Yusuf. 2006. Psikologi Perkembangan anak & Remaja. (Bandung: PT


Remaja Rosdakarya)

Tafsir Jalalayn qs yusuf ayat 13, https://www.pecihitam.org/surah-yusuf-ayat-13-14-


terjemahan-dan-tafsir-al-quran/, diakses pada tanggal 12 agustus 2020, pukul
9.00 WIB.
S. Hamriah . Fungsi-fungsi Pendidikan dalam Hidup dan Kehidupan Manusia, Vol 8
(2) 2013

Qasim, Abu Abu al-Husain bin Muhammad al-Ashfahani al-Raghib, 1961. al-
Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi

Yunizar, Fitri. Menumbuhkan Rasa Malu (Shame) Dalam Menanggulangi Kenakalan


Remaja Di Lembaga Pendidikan, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam al
Bahstu, Volume 4 Nomor 2 Desember 2019

20

Anda mungkin juga menyukai