Anda di halaman 1dari 17

Istihya’ atau Malu dalam Q.

S Al-Qoshosh Ayat 25

(Tinjauan Psikologi Pendidikan Islam)

OLEH

Fatimah Arsy Yani


(NIM. 1911540039)

Dosen Pengampu :

Dr. Qolbi Khoiri, M.Pd.I

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM (S2) PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU

TAHUN 2020
A. Redaksi Ayat

ٍ ‫فَجآءتْه ِإحد ٰىهما مَتْ ِشى علَى ٱستِحي‬


ِ َ ‫آء قَالَت ِإ َّن َأىِب ي ْدع‬
ۚ ‫ت لَنَا‬
َ ‫َأجَر َما َس َقْي‬
ْ ‫ك‬ َ َ‫وك ليَ ْج ِزي‬ُ َ ْ َْ ْ َ َُ َْ ُ َ َ
ِ ِٰ ِ ِ ‫ف ۖ جَن و‬ ِ َّ َ‫َفلَ َّما جآءهۥ وق‬
َ ‫ت م َن ٱلْ َق ْوم ٱلظَّلم‬
‫ني‬ َ ْ َ ْ َ‫ص قَ َال الَ خَت‬
َ ‫ص‬
َ ‫ص َعلَْيه ٱلْ َق‬ َ َُ َ

(Q.S Al-Qoshosh : 25)

Terjemah : Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari


kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku
memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi
minum (ternak) kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan
menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah
kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu”.

Dalam ayat diatas penulis hanya akan membahas inti pokok pada kata
“ Istihya’” atau malu.

B. Pendapat Ahli Tafsir


1. Tafsir Ibnu Katsir
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita
itu berjalan kemalu-maluan. (Al-Qashash: 25)

Yakni seperti jalannya perawan, sebagaimana yang telah diriwayatkan


oleh Amirul Mukminin Umar Rodhiyallahu anhu yang telah mengatakan
bahwa wanita itu datang dengan menutupi wajahnya memakai lengan
bajunya (sebagaimana layaknya seorang perawan).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu


Na'im, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Amr ibnu
Maimun yang mengatakan, "Umar ibnul Khattab Rodhiyallahu anhu pernah
mengatakan bahwa wanita itu datang berjalan kaki dengan kemalu-maluan
seraya menutupkan kain bajunya ke wajahnya dengan sikap yang sopan dan
tutur kata yang halus." Sanad riwayat ini sahih.

Ia berkata, "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi


balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." (Al-
Qashash: 25)

Undangan tersebut diungkapkannya dengan sopan dan tutur kata yang


beretika. Ia tidak mengundangnya secara langsung agar tidak menimbulkan
kecurigaan atau tanda tanya, bahkan ia mengatakan: "Sesungguhnya
bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan
terhadap (kebaikan)mu memberi minum ternak kami.” (Al-Qashash-25)
Yakni untuk memberimu imbalan atas jasamu memberi minum ternak kami.1

2. Tafsir Sayyid Quthb

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita


itu berjalan kemalu-maluan. (Al-Qashash: 25)

Sebagaimana layaknya jalan wanita yang bersih, mulia, terjaga


kemaluannya dan suci, ketika bertemu dengan laki-laki dengan kemalu-
maluan, tidak genit, menor dan menggoda. Ia datang kepada Musa untuk
menyampaikan kepadanya undangan yang ia ucapkan dalam kata yang amat
singkat namun dipahami. Seperti yang diceritakan dalam al-Qur’an

“Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan


terhadap (kebaikan)mu memberi minum(ternak) kami”

1
www.ibnukatsironline.com/2015/07/tafsir-surat-al-qashash-ayat-25-28.html?m=1, diakses
pada 04 Agustus 2020, pukul 09.55 WIB
Hal itu ia iringi dengan sikap malu tapi jelas, tepat dan dapat dipahami
dengan tidak berputar-putar, sulit atau kacau. Hal itu juga merupakan ungkapan
dari fitrah yang bersih dan lurus, karena seorang wanita yang lurus akhlaknya,
akan merasa malu secara fitrah ketika bertemu dengan laki-laki dan berbicara
dengannya. Namun karena keyakinan dan kesuciannya dan kelurusannya ia tidak
menjadi gugup. Kegugupan yang berupa keinginan, tindakan menggoda dan
merangsang. Namun ia berbicara dengan jelas sesuai dengan kadar yang
diperlukan, tidak lebih.2

C. Malu
1. Pengertian Malu
Malu atau istihya’ berasal dari bahasa Arab al-haya’ yang secara
etimologi adalah masdar dari hayiya - yahya - hayah yang berarti hidup.
Orang tangguh dalam hidupnya tangguh dipastikan memiliki sifat malu
disebabkan kemampuan dirinya dalam mengatahui hal-hal yang buruk.
Selain dari ketangguhannya tersebut, sifat malu juga dapat berasal dari
kekuatan panca indera seorang manusia dan kelembutannya.
Malu menurut al-Jauziyyah adalah salah satu akhlak yang dapat
mendorong manusia menjauhi perkataan dan perbuatan yang buruk dan
mencegah diri dari sikap acuh terhadap hak orang lain.3
Imam Ibnul Qoyyim menulis “ Haya‘ (Malu) berasal dari kata
Hayah (hidup). Sekadar apa hati hidup sekadar itu pula kekuatan akhlak
malu. Sedikitnya akhlak malu menunjukkan matinya hati dan ruh kepada
kealpaan disisi lain. Gambaran ini khusus untuk malu kepada al-Maula yaitu
Allah.4
2
Sayyid Quthb diterjemahkan As’ad Yasin, Tafsir Fii Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-
Qur’an Jilid 17, Jakarta ; Gema Insani Press 2004, hlm 54
3
Supian Sauri , URGENSI PENDIDIKAN SIFAT MALU DALAM HADITS (Telaah Hadits
Imran Ibn Husain tentang Sifat Malu dalam Kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal) Jurnal Studi dan
Penelitian Pendidikan Islam Volume 2 Nomor 2 Agustus 2019 .hlm 70
4
Abu ‘Amar Mahmud al-Mishry diterjemahkan Imtihan Asy-Syafi’I diterjemahkan
Manajemen Akhlak Salaf ( Membentuk akhlak seorang muslim dalam hal amanah, tawadhu dan malu),
Sedangkan menurut Fadhullah al-Jailani malu adalah perubahan
yang menyelubungi seseorang lantaran khawatir kepada sesuatu tercela,
sesuatu yang sejatinya buruk.5
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

‫اإلسالَِم احلَيَاء‬ َّ ‫ َو‬، ‫إن لِ ُك ِّل ِدي ٍن ُخلُ ًقا‬


ْ ‫إن ُخلُ َق‬ َّ
“ sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak dan akhlak islam
adalah malu”6
Jadi berdasarkan pengertian diatas diketahui bahwa malu adalah
akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi
seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mecegah sikap melalaikan
orang lain.
2. Macam-macam Malu
Ibnu Rajab menjelaskan malu ada dua macam, yaitu :
a. Malu yang menjadi karakter dan tabiat bawaan, dia tidak diusahakan.
Ini merupakan salah satu akhlak mulia yang Allah anugerahkan kepada
seorang hamba-Nya.
b. Malu yang diperoleh dari mengenal Allah dan mengenal keagungan-
Nya, kedekatan-Nya dengan para hamba-Nya dan karena keyakinan
mereka tentang Maha Tahu-nya Allah, mengetahui pandangan khianat
dan sesuatu yang terpendam dalam dada manusia. 7
3. Kategori Malu dalam Q.S al-Qoshosh Ayat 25
Adapun malu dalam Q.S al-Qoshosh ayat 25 adalah sebagai berikut :

Solo : Pustaka Arafah, 2007 hlm 174


5
Abu ‘Amar Mahmud al-Mishry diterjemahkan Imtihan Asy-Syafi’I, Manajemen Akhlak Salaf
( Membentuk akhlak seorang muslim dalam hal amanah, tawadhu dan malu)… hlm 175
6
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan dinyatakan Hasan oleh al-albani di dalam shahih al-
Jami’ ash-Shaghir no 2149
7
https://muslimah.or.id/8705-sifat-malu-dan-keutamaannya.html , diakses pada Selasa 07 Juli 2020,
pukul 11.42 WIB
a. Malu ketika memakai pakaian yang terbuka
Dalam Q.S al-Qoshosh ayat 25 telah dijelaskan bagaimana
seharusnya kaum wanita berakhlak dan bersifat malu. Allah menyifati
gadis yang mulia ini, gadis yang punya rasa malu dan terhormat.
Amirul Mukminin Umar bin Khatab Rodhiyallahuanhu dalam
Tafsir al-Qur’an al-Adim , Ibnu Katsir mengatakan “ Gadis itu
menemui Musa dengan pakaian yang tertutup”8
Jadi disini kita dapat mengetahui bahwa Islam itu mengajarkan
kepada perempuan agar memakai pakaian Syar’I dan tertutup dan malu
jika seorang perempuan itu membuka atau memperlihatkan auratnya
kepada lelaki Ajnabi (laki-laki asing).
Jadi disini orang tua atau guru harus mengajarkan kepada anak-
anaknya untuk mengetahui batasan aurat, mana yang boleh diperlihatkan
dan mana yang harus ditutup. Dan malu jika aurat itu terlihat walaupun
hanya seujung kaki yang tidak memakai kaos kaki.
b. Malu ketika tidak menjaga kehormatan
Sebagian ahli yang menafsirkan surah al-Qoshosh ayat 25
menjelaskan seharusnya begitulah sikap seorang wanita yang senantiasa
menjaga kehormatan dirinya ketika berhadapan dengan orang yang
belum dikenalnya.
Ahmad Bahjat dalam bukunya Sejarah Nabi-nabi Allah
menyebutkan “ ketika salah seorang anak perempuan Nabi Syu’aib
memintanya untuk datang menemui orang tuanya. Musa berjalan di
belakang wanita tersebut. Musa senantiasa menundukkan pandangannya
ke bawah tanpa melihat ke arah depan, dimana perempuan itu menjadi
petunjuk jalan. Ketika angina bertiup kencang sehingga menerpa tubuh,

8
Ya’cub Chamidi , Farich Fiddaroin al-Mahdi, Menjadi Wanita Shalihah & Mempesona,
Surabaya : CV. Pustaka Media, 2019, hlm 265
tersingkaplah pakaian yang menutupi kaki si wanita. Maka, dengan serta
merta Musa merasa bersalah dan malu, maka ia meminta si wanita untuk
berada di belakangnya dan Musa di depan. Ia berkata “ saya akan
berjalan di depanmu dan tunjukkanlah jalan kepadaku”
Sayyid Quthb dalam tafsirnya fii Zhilal al-Qur’an menjelaskan
sikap Musa “ Berjalanlah di belakang saya. Selanjutnya tunjukkanlah
saya jalan.”
Dalam keterangan lain disebutkan “ jika saya salah jalan,
lemparkanlah batu ke jalan yang benar” ini menunjukkan sikap Musa
dalam menjaga kehormatan dirinya dan si wanita.9
Rasulullah telah berpesan kepada Usamah bin Zaid “ Tidak ada
godaan yang kutinggalkan yang lebih dahsyat para pria selain godaan
para wanita” ( HR. Bukhari dan Muslim)
Disini kita dapat mengetahui bahwa perempuan itu adalah fitnah,
maka dari itu perempuan harus menjaga kehormatannya terlebih dari
laki-laki asing yang belum dikenalnya.
Sebagai orang tua atau guru sungguh disini sangat penting
peranannya untuk mengingatkan dan menjaga anak-anaknya dari sikap
hilangnya rasa malu apabila tidak memiliki harga diri atau tidak
menjaga kehormatannya. Anak-anak dilarang Bermudah-mudahan
dalam berkhalwat atau bergaul dengan lawan jenis yang sangat dilarang
dalam agama Islam.

c. Malu Ketika Berbicara Lemah Lembut Kepada Lelaki Ajnabi


Sebagaimana dalam Q.S al-Qoshosh menjelaskan bahwa perempuan itu
datang kepada Musa untuk menyampaikan kepadanya undangan yang ia

9
Syahruddin El-Fikri, SITUS-SITUS DALAM AL QUR'AN: Dari Banjir Nabi Nuh hingga
Bukit Thursina,Jakarta : Republika, 2010 hlm 220
ucapkan dalam kata yang amat singkat namun dapat dipahami. Seperti yang
diceritakan dalam al-Qur’an

“Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan


terhadap (kebaikan)mu memberi minum(ternak) kami”

Hal itu ia iringi dengan sikap malu tapi jelas, tepat dan dapat dipahami
dengan tidak berputar-putar, sulit atau kacau.
Sebagaimana dalam Q.S al-Ahzab ayat 32 “ Hai istri-istri Nabi, kamu
sekalian tidaklah seperti wanita yang bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk
dalam berbicara dengan mendayu-dayu sehingga berkeinginanlah orang yang
ada penyakit dalam hatinya”

Dalam hal ini kita dapat mengetahui bahwa Islam mengajarkan


perempuan untuk berbicara dengan tegas, tidak menggoda ataupun berbelit-
belit kepada laki-laki asing. Berbicara dengan singkat dan mudah dipahami.
Maka malulah jika seorang perempuan berbicara dengan laki-laki dengan
nada suara yang menggoda ataupun menarik dengan tujuan yang lain.

Jadi hal ini sangat penting ditanamkan dalam diri anak-anak agar
memiliki rasa malu ketika berbicara, berbicara hendaklah dengan sekadarnya
dan seperlunya saja, tidak perlu menggunakan nada yang mendayu-dayu
sehingga membuat orang yang memiliki penyakit hati tergoda dengan cara
berbicaranya seorang perempuan.

Rasa malu merupakan cerminan manusia terdidik karena hanya


manusia yang primitif yang tidak memiliki rasa malu. Itulah sebabnya rasa
malu adalah budaya manusia beriman baik laki-laki ataupun perempuan
walaupun karakter malu pada laki-laki maupun perempuan jauh berbeda. Rasa
malu wanita lebih kuat dibanding laki-laki, di dalam Q.S al-Qoshosh ayat 25
dijelaskan bagaimana rasa malu seorang perempuan walaupun sekedar untuk
menyampaikan pesan. Rasa malu membungkus segala perasaan di hati. 10

Rasa malu sangat bermanfaat dalam mengendalikan hawa nafsu.


Orang yang memiliki rasa malu adalah orang yang mapu menjaga diri. Harkat
martabat diri seseorang sangat tergantung pada rasa malu yang dimilikinya.
Semakin tinggi rasa malunya semakin tinggi pula harga diri dan martabatnya.
Sebaliknya semakin rendah rasa malunya, semakin rendah pula harga diri dan
martabatnya.11

D. Rasa Malu Dalam Pendidikan Islam


Rasa malu adalah fitrah, sifat yang telah ada sejak manusia dilahirkan. Maka
perlu diperhatikan dengan benar arti dan wilayah rasa malu itu atau dalam arti
kata harus bisa menempatkan rasa malu itu sesuai koridornya yaitu pada hal-hal
yang dilarang agama.
Kita tidak boleh malu pada suatu kebenaran, karena hal itu dapat
menghambat kita untuk maju, berkembang dan berprestasi. Maka dalam hal ini
malu dalam pendidikan dapat dikategorikan kedalam 2 jenis, yaitu malu yang
diperbolehkan dan malu yang tidak diperbolehkan.
1. Malu yang diperbolehkan (terpuji)
Rasa malu dapat diartikan sebagai perasaan tidak enak hati dan rendah
diri karena kurang baik, berbeda dengan kebiasaan, serta mempunyai cacat
atau kekurangan. Adapun malu dalam islam adalah akhlak atau perangai yang
mendorong seseorang meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk dan tercela.
Rasa malu yang diperbolehkan menurut ilmu psikologi adalah
merupakan rasa malu dalam melakukan perilaku tercela. Saat seseorang

10
Nurhayani, Peran Rasa Malu dan Rasa Bersalah Terhadap Pengajaran Moral Anak, Al-Irsyad :
Jurnal Pendidikan dan Konseling, Vol 7 (1), 2017, hlm 66
11
Emilia Susanti, Budaya Malu Cerminan bagi Perempuan Melayu , UIN Sultan Syarif Kasim
Riau, Vol 11 (2) 2014 hlm 229
melakukan perilaku tersebut akan timbul rasa tidak tenang dalam hati
seseorang.
Rasa malu merupakan perilaku terpuji yang hendaknya
diterapkan dalam keseharian. Sebagai peserta didik rasa malu dapat
diterapkan dengan mengerjakan soal ujian sesuai kemampuan sendiri
atau rasa malu berbuat curang saat ujian.12
Adapun contoh malu yang diperbolehkan lainnya adalah malu
terlambat ke sekolah, malu tidak belajar, malu tidak mengerjakan PR,
malu membolos sekolah, malu tidak piket kelas, malu berkelahi, dan
malu membuang sampah sembarangan.
2. Malu yang tidak diperbolehkan (tercela)
Rasa malu yang tidak diperbolehkan adalah rasa malu yang
salah, malu dalam melakukan hal yang terpuji, seseorang yang memiliki
rasa malu yang salah akan merasa menyesal.
Rasa malu seperti ini sangat tidak dibenarkan dalam Islam
karena menjauhkan seseorang dari perilaku terpuji, rasa malu ini
mengarahkan manusia untuk menjauhi kebaikan.
Adapun contoh malu yang tidak diperbolehkan dalam pendidikan
adalah malu dalam belajar. Imam Mujahid berkata “Orang yang malu
dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.”
Dalam riwayat hadis al-Bukhori dikatakan “dari Aisyah
Rodhiyallahu aanha pernah memuji sifat wanita Anshar ; Wanita terbaik
adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk
memperdalam ilmu Agama.”
Demikianlah seseorang tidak boleh malu dalam melakukan yang
haq dan dalam menjauhi kesalahan dan dosa. Malu ketika akan

12
Ma’sumatun Ni’mah, Tata Kramah, Sopan Santun dan Malu, Klaten : Cempaka Putih, (Tanpa
Tahun), hlm 6
melakukan yang haq atau malu untuk menjauhi kesalahan dan dosa, pada
hakekatnya itu bukanlah malu dalam pandangan syari’at.
E. Rasa Malu dalam Pandangan Psikologi Barat
Menurut Gillbert malu adalah emosi yang muncul dari ketidaksadaran
terhadap sesuatu yang tidak berharga, menggelikan, tidak pantas, aib, emosi
terhadap perilaku atau keadaan diri seseorang (atau pada orang yang memiliki
kehormatan) atau sedang berada dalam situasi yang melanggar kesopanan.13
Menurut Konstan Rasa malu dapat bertindak sebagai tanda peringatan
dari dalam diri akan adanya ancaman dan tantangan pada diri, dengan suatu
pencetus pertahanan diri otomatis khususnya keinginan untuk melarikan diri dan
perilaku untuk tunduk (submissive), marah, dan bersembunyi.
Dalam bahasa Inggris “Have you no shame?” berarti “ Have you no sense
of shame” keduanya berarti negative tidak punya rasa malu. Sedangkan dalam
bahasa Yunani “malu/shame” merupakan suatu emosi sementara “rasa malu
(sense of shame) , merupakan ciri etika/sopan santun.
Rasa malu memicu seseorang memodifikasi perilakunya agar mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Malu menjadi faktor penentu perilaku
sosial. Seseorang berprilaku sesuai dengan nilai atau norma yang sudah menjadi
kesepakatan bersama. Nilai atau norma tersebut dijadikan parameter bertingkah
laku, apakah itu benar atau salah, tepat atau tidak tepat, sesuai atau tidak sesuai.
Artinya malu merupakan emosi psikologis yang mencerminkan konteks sosial
yaitu norma-norma sosial. Merujuk pada konteks sosial ini maka rasa malu akan
memotivasi individu untuk membatalkan perilaku yang tidak sesuai dengan
norma kelompoknya.14
Berdasarkan hasil penelitian Anggarasari dan Kumolohadi (2012)
menyatakan bahwa rasa malu diartikan sebagai tanda harga diri, karena

13
Nurhayani, Peran Rasa Malu dan Rasa Bersalah Terhadap Pengajaran Moral Anak,… hlm 64
14
E. Constant Giawa, Nani Nurrachman, Representasi Sosial Tentang Makna Malu Pada
Generasi Muda di Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Vol 17 (1), hlm 78
seseorang dapat dikatakan memiliki harga diri apabila dia memiliki rasa malu.
Rasa malu merupakan sesuatu yang sehat karena dapat mendorong seseorang
untuk menjaga sikap dan harga dirinya.15
Rasa malu berpengaruh terhadap perkembangan moral, sebagaimana yang
terdapat dalam buku Mendidik Perspektif Psikologi Abdul Kadir Sahlan
mengatakan Pengaruh perkembangan moral adalah perilaku seseorang yang
sesuai dengan kode etik dan standard sosial. Bentuk-bentuk pendidikan yang
dapat mengembangkan moral adalah :
1. memberikan kesempatan pada anak untuk berinteraksi dengan sosial dan
belajar apa saja yang diharapkan oleh anggota kelompok dan masyarakat
2. memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan apa saja yang
benar dan yang salah dan kemudian dijelaskan mengapa ini benar dan
mengapa itu salah
3. mengembangkan keinginan anak untuk melakukan hal-hal yang benar
4. menumbuhkan rasa malu dan rasa bersalah jika melanggar norma dan
aturan yang berlaku.16
Rasa malu menurut Lawrence mendatangkan kesan yang sulit dihapuskan
pada diri anak-anak, jauh lebih sulit daripada peristiwa-peristiwa yang
melibatkan perasaan positif. Berdasarkan teori-teori anatomi saraf, emosi-emosi
ekstrem yang ditimbulkan oleh rasa malu cenderung menempuh jalan pintas dan
menghindari jalur normal ketika menuju tempat pencatatan informasi dan
penyimpangan ingatan dalam otak. Emosi ekstrem nampaknya sengaja
menghindari bagian berpikir pada otak, yaitu korteks dan mengirimkan sinyal-
sinyal listrik langsung ke pusat pengendalian emosi pada otak yaitu amigdala,
tempat berlangsungnya proses pembelajaran dan ingatan emosi. Jadi setiap
pengalaman yang melibatkan emosi ekstrem akan memberikan efek langsung

15
E. Constant Giawa, Nani Nurrachman, Representasi Sosial Tentang Makna Malu Pada
Generasi Muda di Jakarta… hlm 82
16
Abdul Kadir Sahlan, Mendidik Perspektif Psikologi, hlm 80
yang lebih nyata pada anak sekaligus efek jangka lebih panjang pada
perkembangan kepribadian mereka.17
Adapun dalam penelitian Journal of school psychology menunjukkan
bahwa anak-anak yang sangat pemalu berisiko tertingal pelajaran disbanding
teman-temannya yang aktif.
Rebecca Bolutsky-Shearer dari University Of Miami Dilansir dari
HealthDay, Senin 10/9/2012 mengatakan “anak-anak pemalu mendapat prestasi
lebih rendah disbanding rata-rata anak prasekolah.Guru bisa jadi mengalami
kesulitan dalam mengidentifikasi kebutuhan sang anak dalam materi
pengajaran”.
Bagi sebagian anak, rasa malu dapat menjadi tanda adanya masalah lain
yang menyebabkan ia tidak mampu terlibat aktif dalam kegiatan kelas. Rasa
malu menjadi tidak sehat karena menciptakan kecemasan yang tinggi.
Jadi dalam pandangan psikologi barat, malu juga harus ditempatkan pada
koridornya malu pada hal-hal yang memperbaiki moral anak sangat dibutuhkan
akan tetapi malu yang berlebihan ketika pembelajaran akan menurunkan prestasi
anak.

Kesimpulan

17
Nurhayani, Peran Rasa Malu dan Rasa Bersalah Terhadap Pengajaran Moral Anak,… hlm 74
Jadi berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan diatas mengenai rasa malu
adalah sesuatu yang wajar karena itu adalah fitrah manusia. Pada umumnya semua
manusia memiliki rasa malu.

Islam mengajarkan agar memiliki rasa malu, karena rasa malu merupakan
akhlak islam. Malu bisa mencegah seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
tercelah, malu bisa membuat seseorang untuk berpikir mana yang boleh dilakukan
dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Berdasarkan surah al-Qoshosh ayat 25 dijelaskan bahwa wanita yang


terhormat adalah wanita yang memiliki rasa malu, wanita yang menutup auratnya
dengan pakaian syar’I dan wanita yang berbicara dengan tegas dan tidak mendayu-
dayu sehingga menimbulkan penyakit bagi hati orang yang mendengarnya.

Dalam pandangan psikologi pendidikan Islam malu dapat dikategorikan ke


dalam dua jenis, yaitu malu yang diperbolehkan (terpuji) seperti malu ketika berbuat
curang dalam ujian dan malu yang tidak diperbolehkan (tercela) yaitu malu dalam
berbuat kebaikan seperti malu dalam belajar.

Dalam pandangan Psikolog barat, Rasa malu memicu seseorang


memodifikasi perilakunya agar mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Malu
menjadi faktor penentu perilaku sosial. Seseorang berprilaku sesuai dengan nilai atau
norma yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Nilai atau norma tersebut dijadikan
parameter bertingkah laku, apakah itu benar atau salah, tepat atau tidak tepat, sesuai
atau tidak sesuai. Artinya malu merupakan emosi psikologis yang mencerminkan
konteks sosial yaitu norma-norma sosial. Merujuk pada konteks sosial ini maka rasa
malu akan memotivasi individu untuk membatalkan perilaku yang tidak sesuai
dengan norma kelompoknya.
Akan tetapi malu juga harus ditempatkan pada koridornya malu pada
hal-hal yang memperbaiki moral anak sangat dibutuhkan akan tetapi malu yang
berlebihan ketika pembelajaran akan menurunkan prestasi anak.
DAFTAR PUSTAKA

‘Amar, Abu Mahmud al-Mishry diterjemahkan Imtihan Asy-Syafi’I, 2007,


Manajemen Akhlak Salaf ( Membentuk akhlak seorang muslim dalam hal
amanah, tawadhu dan malu), Solo : Pustaka Arafah

Chamidi , Ya’cub , Farich Fiddaroin al-Mahdi, 2019, Menjadi Wanita Shalihah &
Mempesona, Surabaya : CV. Pustaka Media
E. Constant Giawa, Nani Nurrachman, Representasi Sosial Tentang Makna Malu
Pada Generasi Muda di Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya,
Vol 17 (1), hlm 78

El-Fikri, Syahruddin , 2010, SITUS-SITUS DALAM AL QUR'AN: Dari Banjir Nabi


Nuh hingga Bukit Thursina,Jakarta : Republika
Kadir , Abdul Sahlan, Mendidik Perspektif Psikologi

Quthb, Sayyid, diterjemahkan As’ad Yasin, 2004, Tafsir Fii Zhilalil Qur’an di
Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid 17, Jakarta ; Gema Insani Press
Sauri , Supian, URGENSI PENDIDIKAN SIFAT MALU DALAM HADITS (Telaah
Hadits Imran Ibn Husain tentang Sifat Malu dalam Kitab Musnad Ahmad
Ibn Hanbal) Jurnal Studi dan Penelitian Pendidikan Islam Volume 2 Nomor
2 Agustus 2019
https://muslimah.or.id/8705-sifat-malu-dan-keutamaannya.html , diakses pada
Selasa 07 Juli 2020, pukul 11.42 WIB
Ni’mah, Ma’sumatun , Tata Kramah, Sopan Santun dan Malu, Klaten : Cempaka
Putih, (Tanpa Tahun)

Nurhayani, Peran Rasa Malu dan Rasa Bersalah Terhadap Pengajaran Moral Anak,
Al-Irsyad : Jurnal Pendidikan dan Konseling, Vol 7 (1), 2017

Susanti, Emilia, Budaya Malu Cerminan bagi Perempuan Melayu , UIN Sultan Syarif
Kasim Riau, Vol 11 (2) 2014
www.ibnukatsironline.com/2015/07/tafsir-surat-al-qashash-ayat-25-28.html?m=1, diakses
pada 04 Agustus 2020, pukul 09.55 WIB

Anda mungkin juga menyukai