Anda di halaman 1dari 4

Analisis Fatimah Arsy Yani

al-Quran merupakan kitab suci umat islam, yang di dalam memahami kitab
tersebut tidak bisa hanya dengan membaca langsung dari kitabnya. Untuk itu para
ulama terdahulu atau para mufasir telah menggunakan berbagai metode tafsir atau
cara yang digunakan untuk menjelaskan isi kandungan / makna yang terdapat dari
kitab suci al-Quran. Tentunya dalam menafsirkan ayat al-Quran tidak bisa ditafsirkan
oleh sembarang orang. Mufasir adalah orang yang harus benar-benar mengerti bahasa
Arab secara fasih, mengerti nahwu, sharf, maupun balaghoh.

Menurut al-Farmawi terdapat 4 metode yang digunakan dalam penafsiran al-


Quran, yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqoran, dan metode maudhu’i.
Di samping itu, juga ada ragam corak kecenderungan dalam penafsiran alQur’an,
seperti corak lughawi, sufi, fikih, filsafat, sosial dan lain-lain. Dari berbagai metode
tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menjelaskan ayat-ayat al-
Quran yang masih samar atau belum bisa dipahami secara mutlak ketika membacanya
sehingga masih dibutuhkan penafsiran al-Quran.

Dalam setiap metode yang digunakan dalam penafsiran al-Quran tentunya


terdapat kelemahan dan kelebihan, namun metode yang paling sesuai dan paling
mudah dipahami untuk menjawab permasalahan yang ada di dunia ini yaitu
penafsiran al-Quran yang menggunakan metode maudhu’i, Yang dimaksud dengan
metode maudhu’i ialah cara mengkaji dan mempelajari ayat al-Qur'an dengan
menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-
sama membicarakan satu topik masalah menyusunnya berdasar kronologi serta sebab
turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan
penjelasan serta mengambil kesimpulan.

Pentingnya metode maudhu’i ini dikarenakan hasil tafsir maudhu’i


memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis,
sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-
Qur’an hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata
dan tafsir maudhu’I ini juga memberikan penjelasan yang mendalam dan lebih tuntas
dalam membahas masalah. Maka dari itu metode maudhu’I ini adalah metode yang
memiliki kedudukan yang sangat penting. Oleh karenanya metode ini perlu dimiliki
oleh para ulama, khususnya oleh para mufassir atau calon mufassir agar mereka dapat
memberikan kontribusi menuntun kehidupan di muka bumi ini ke jalan yang benar
demi meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat sesuai dengan maksud
diturunkannya Al-Qur’an.

Contoh tafsir menggunakan metode maudhu’I :

Syari’at Infaq dalam setiap harta yang dimiliki : Tafsir Q.s al-imran : 92

‫لن تنالوا الرب حىت تنفقوا مما حتبون وما تنفقوا من شيء فإن اهلل به عليم‬

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum


kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (Q.S. Ali 'Imran: 92)

Abu Bakr al-Jaziri menyatakan bahwa makna al-Birr adalah kalimat yang
mencakup kebaikan, dalam arti yang lebih khusus yaitu syurga. ‫ تفقوا‬maknanya adalah
menyedekahkan harta bendanya . ‫ مماتحبون‬dari harta-harta yang sangat dicintainya
dan menjadi milik kesayangannya. ‫ من شيء‬menunjukkan sedikit atau banyak. ‫فإن هللا به‬
‫ عليم‬dan Dia akan membalasnya sesuai dengan besarnya sedekah yang
dikeluarkannya.

Ketika turun ayat ini para sahabat Nabi segera menginfakkan harta-harta yang
mereka cintai, seperti ‘Umar yang memerdekakan hamba perempuan yang menjadi
kesayangannya. Zaid bin Haritsah bersedekah dengan kuda kesayangannya.
Imam Waki’ dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan dari Syarik, dari Abu
Ishaq, dari Amr bin Maimunba bahwa lafaz ‫ تنالوا البر‬adalah surga. Imam Ahmad telah
meriwayatkan yang sanadnya sampai kepada Anas bin Malik yang berkata Abu
Thalhah adalah seseorang yang kaya di kalangan Anshar di Madinah, dan dia
mempunyai harta yang sangat banyak, diantara harta yang sangat dicintainya adalah
kebun yang berada di dekat masjid, suatu ketika Nabi memasukinya dan meminum
air darinya. Anas berkata “ maka ketika turun ayat ini (3 : 92) Abu Thalhah berkata “
Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah telah berfirman “ kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai “ maka aku sedekahkan dia untuk Allah dan aku
mengharapkan ganjarannya tersimpan di sisi-Nya. Hal ini diikuti oleh Umar bin
Khatab yang mewakafkan bagiannya dari tanah di Khaibar untuk kepentingan kaum
muslimin, dan tidak ketinggalan pula anaknya Ibnu Umar yang berkata “ telah
datang kepadaku ayat ini “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai” maka dia
menyebutkan semua karunia Allah yang telah didapatkannya, maka dia tidak
mendapatkan sesuatu yang lebih dicintai lebih dari Jariyah (budak perempuan) maka
aku berkata “ Dia bebas merdeka karena Allah”.

Sesungguhnya ayat ini mengajak kepada setiap mukmin untuk mengorbankan


hartanya untuk kebaikan agamanya dengan cara menyampaikan kewajiban atas
hartanya untuk diinfakkan di jalan-Nya. Tingkatan yang lebih utama dan afdhal
adalah ketika seorang muslimin menginfakkan harta yang paling disukainya.

Ayat-ayat yang selaras dengan ayat ini adalah

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah kami berikan kepadamu…
(Q.S al-Munafiqun: 10)
Dan belanjakanlah (harta bendamu ) di jalan Allah ( Qs. Al-Baqarah : 195)

Ayat-ayat diatas secara gamblang menganjurkan untuk menginfakkan


sebagian harta kita sebagai rasa syukur kita kepada Allah. Adapun dari hadis Nabi
telah menjelaskan keutamaan dari berinfak ini

Dari Abi Hurairah , Rasulullah telah bersabda “Allah berfirman wahai anak
Adam berinfaklah kalian , niscaya karunia-Ku akan tercurah kepada kalian.

Sedekah itu dapat melenyapkan kesalahan (dosa) seperti air yang


memadamkan api ( HR. Tirmidzi)

Menginfakkan harta kepada orang-orang yang berhak adalah salah satu dari
melaksankan perintah-Nya yang berkaitan dengan harta yang menjadi amanah kita.

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi (Q.S al-Baqarah : 284)

Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa semua harta yang ada di dunia ini
adalah milik-Nya. Manusia hanya sebagai pemegang amanah . namun sangat
disayangkan banyak manusia yang lupa untuk melaksanakan hak dari harta tersebut
yaitu menginfakkannya kepada orang-orang yang berhak. Infak yang paling utama
diambil dari harta yang paling kita sukai.

Anda mungkin juga menyukai