Anda di halaman 1dari 13

Hakekat Manusia dan Implikasinya pada Pendidikan Islam

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat dan Ilmu Pendidikan

Disusun Oleh:
M. Hafizh Mumtaz
M. Lucky Hazami
Dosen Pembimbing:
Drs. Mukroni AB,MA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT PEMBINA ROHANI ISLAM JAKARTA (IPRIJA)

TAHUN AKADEMIK 2022/2023

SEMESTER 5

REGULER PAGI

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan karunia-Nya,penulis
dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Belajar dan pembelajaran
tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang
syafa’atnya kita nantikan kelak.

Alhamdulillah penulisan makalah berjudul “Hakekat Manusia dan Implikasi nya pada
Pendidikan Islam ” yang kami ambil dan susun dapat diselesaikan dan Penyusu
berharap makalah ini dapat menjadi referensi bagi pihak yang tertarik Selain itu, Penulis
juga berharap agar pembaca mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca
makalah ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen


pengampu Mata kuliah Filsafat dan Ilmu Pendidikan , Bpk, Drs . Mukroni.AB , MA yang
telah memberikan dukungan,dan kepercayaan yang begitu besar.Penulis menyadari
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.Demikian yang dapat
penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 27 Oktober 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. ii
PENDAHULUAN
BAB I
a. Latar Belakang…………………………………………………………….1
b. Rumusan Masalah…………………………………………………………2
c. Tujuan Penulisan………………………………….……………………….2
PEMBAHASAN
BAB II
a. Pengertian Hakikat Manusia………………………………………………3
b. Hakikat Manusia dan Implikasinya terhadap
Pendidikan Islam…………………………………………………………9
PENUTUP
a. Kesimpulan…………………………………………………………..12
DAFTAR PUSTAKA

3
A. Latar Belakang
Dalam Al-Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya, dan berulang kali juga
direndahkan. Manusia dihargai sebagai khalifah dan makhluk yang mampu menaklukan
alam (taskhir). Namun, posisi ini bisa merosot ke tingkat “yang paling rendah dari
segala yang rendah” (asfala safilin).
Gambaran menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang
namanya manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, ada di antara predisposisi
negative dan positif. Penciptaan manusia sebagai mahluk yang tertinggi sesuai dengan
maksud dan tujuan terciptanya manusia, yaitu untuk menjadi khalifah.
Dalam memahami manusia tentu harus dipedomani dengan pandangan islam sebagai
tolak ukur yang mendasar untuk mengetahui sesungguhnya apa hakikat manusia.
Dalam pandangan Islam manusia tercipta dari dua unsur yaitu unsur materi dan non
materi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia secara hakikatnya yang ditinjau dari
kualitas dan kuantitas dalam pandangan pendidikan islam merupakan gabungan dua
unsur yang terdiri dari unsur jasmani dan unsur rohani.
Adapun salah satu kemampuan yang dimiliki manusia yakni kemampuan menalar.
Kemampuan menalar inilah yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaan-Nya. Secara simbolik
manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia
harus hidup berbekal pengetahuan. Dia mengetahui mana yang baik dan mana yang
tidak untuk dirinya. Jadi, manusia adalah salah satunya makhluk yang mengembangkan
pengetahuan secara bersungguh-sungguh. [1]

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari hakikat manusia ?
2. Bagaimana implikasinya terhadap pendidikan Islam ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu agar para pembaca dapat mengetahui apa
sebenarnya hakikat seorang, serta pandangan dari sisi ilmu pengetahuan dan

4
implikasinya terhadap pendidikan islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hakikat Manusia


Manusia adalah satu kata yang sangat bermakna dalam, dimana manusia adalah
makhluk yang sangat sempurna dari makhluk-makhluk lainya. Makhluk yang sangat
spesial dan berbeda dari makhluk yang ada sebelumnya. Makhluk yang bersifat nyata
dan mempunyai akal fikiran dan nafsu yang diberikan Tuhan untuk berfikir, mecari
kebenaran, mencari Ilmu Pengetahuan, membedakan mana yang baik atau buruk, dan
hal lainya.
Karena begitu banyak kesempurnaan yang di miliki manusia tidak terlepas dari tugas
mereka sebagai khalifah di Bumi ini. Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian
manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki
kualitas dan kesejatian semulia itu. Manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-
potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, disamping itu adapula kecenderungan-
kecenderungan ke arah yang tidak baik. Al-Qur'an juga menegaskan kualitas dan nilai
manusia dengan menggunakan empat macam istilah yang satu sama lain saling
berhubungan, yakni al-insan ,an-naas ,al-basyar, dan bani Adam :[2]
a. Manusia disebut al-insan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan
teguran dan peringatan.
b. Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-naws yang berarti gerak dan ada
juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak
digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau
sekelompok tertentu dari manusia.
c. Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga
perlu disabarkan dan didamaikan.
d. Manusia disebut sebagai bani Adam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang
bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya,
dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali.

5
Sebagai kesimpulan dapatlah di terangkan bahwa kualitas manusia berada diantara
naluri dan nurani. Dalam rentetan seperti itulah manusia berperilaku, baik perilaku yang
positif maupun yang negatif. Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke tingkat
yang lebih tinggi. Namun intelegensi saja tidaklah cukup melainkan harus diikuti
dengan nurani yang tajam dan bersih. Kualitas dan nilai manusia akan terkuak bila
manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan naluri bebasnya itu berdasarkan
pertimbangan akal yang dikaruniai Allah SWT kepadanya dan dibimbing oleh cahaya
iman yang menerangi nuraninya yang paling murni.
Adapun nilai esensi yang terdapat dalam diri manusia diantaranya adalah ruh, jasad,
jiwa, qalbu, dan akal.
1. Ruh
Manusia tersusun dari unsur materi, yaitu tubuh yang mempunyai hayat dan unsur
materi yaitu ruh yang mempunyai dua daya. Seperti daya rasa di dada dan daya fikir di
kepala. Daya rasa jika diasah dengan baik akan mempertajam hati nurani, dan daya fikir
jika di latih akan mempertajam penalaran.[3]
Dalam bahasa Arab Kata ruh berasal dari bahasa Al-Qur’an yakni Al-Ruh yang bermakna
pancaran zat kehidupan yang menggerakkan suatu makhluk ciptaan-Nya menjadi hidup,
yang berasal dari zat Kemaha Hidup-Nya. Al-Hayyi Rabb Tuhan semesta alam, atau
dalam bahasa Indonesia kata ruh hanya dapat diterjemahkan dengan kata roh atau yang
dikenal dengan sebutan nyawa.
Maka dalam Al-Qur’an diberitakan bahwa seluruh unsur jati diri manusia pada akhirnya
bakal kembali kepada Tuhannya. Allah berfirman dalam QS. 89.Al-Fajr : 27-30 yakni :
٣٠﴿ ‫ﺟَّﻨِﺘﻲ‬
َ ‫ﺧِﻠﻲ‬
ُ ‫﴾ َواْد‬٢٩﴿ ‫ﻋَﺒﺎِدي‬
ِ ‫ﺧِﻠﻲ ِﻓﻲ‬
ُ ‫﴾ َﻓﺎْد‬٢٨﴿ ‫ﺿَّﻴًﺔ‬
ِ ‫ﺿَﻴًﺔ َّﻣْﺮ‬
ِ ‫ﻚ َرا‬
ِ ‫ﻰ َرِّﺑ‬
ٰ ‫ﺟِﻌﻲ ِإَﻟ‬
ِ ‫﴾ اْر‬٢٧﴿ ‫ﻄَﻤِﺌَّﻨُﺔ‬
ْ ‫ﺲ اْﻟُﻤ‬
ُ ‫﴾ا َأَّﻳُﺘَﻬﺎ اﻟَّﻨْﻔ‬
Artinya : “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam
surga-Ku “
Kemudian dalam ayat ini diberitakan tentang adanya golongan lain dari kalangan
manusia. Mereka tidak termasuk yang ditimpa siksaan tiada tara itu. Mereka justru
mendapat kabar gembira dan dimasukkan ke dalam surga-Nya misalnya seperti dalam
beberapa penafsiran dibawah ini :
a) Menurut Ibnu Abbas, dia adalah al-muthmainnah bi tsawâbil-Lâh (jiwa yang
tenteram dengan pahala Allah) juga bermakna jiwa yang mukmin.
b) Al-Hasan menafsirkannya sebagai al-mu’minah al-mûqînah (jiwa yang mukmin dan
yakin). Athiyah berpendapat, ia adalah jiwa yang ridha terhadap qadha Allah.
c) al-Khazin, yang dimaksud dengannya adalah jiwa yang teguh di atas iman dan
keyakinan, membenarkan apa yang difirmankan Allah SWT, meyakini Allah SWT sebagai
Tuhannya, serta tunduk dan taat terhadap perintah-Nya.
d) Ibnu Jarir ath-Thabari memaknainya sebagai orang yang tenteram dengan janji

6
Allah SWT yang disampaikan kepada ahli iman di dunia berupa kemuliaan bagi dirinya di
akhirat, kemudian dia membenarkan janji itu.
e) Abu Hayyan al-Andalusi menyatakan, al-muthmainah adalah al-âminah (orang yang
aman dan tenteram) tidak diliputi oleh ketakutan dan kekhawatiran; atau tenteram
dengan kebenaran dan tidak dicampuri dengan keraguan.
f) Fakhruddin ar-Razi, al-itmi’nân berarti al-istiqrâr wa ats-tsabbât (kekokohan dan
keteguhan) meyakini kebenaran dengan pasti.

2. Jasad
Terdiri dari Jasmani, Tubuh, dan daging. Salah satu elemen manusia terdiri dari
prototype tulang yang diselubungi daging beserta seluruh komponen system
metabolismenya yang asal usulnya berasal dari tanah. Maka dari itu, seluruh aktifitas
dan mekanisme perkembangan tubuh manusia ini tetap di bawah kekuasaan Roh Al-
Idhofi atau Ruh Al-Hayat atau dalam bahasa indonesia menyebutnya nyawa, yang
menguasai seluruh peredaran darah dan urat syaraf serta memberi energi pada
pergerakan/kerja paru-paru dan jantung.
Karena adanya roh yang menguasai jasad/jasmani ini maka manusia dapat merasakan
adanya rasa sakit, lesu, lelah, segar dan lain-lainnya. Bila Roh Al-Idhofi yang menguasai
badan ini keluar dari raganya, maka ditusuk jarum pun tubuh tidak terasa sakit atau
tubuh dalam keadaan mati rasa. Roh jasmani ini menguasai nafsu amarah dan nafsu
hewani. Nafsu hewani ini memiliki sifat dan kegemaran seperti binatang, misalnya:
malas, suka setubuh, serakah, mau menang sendiri dan lain sebagainya.
3. Jiwa
Jiwa (al-nafs al-nathiqah ) adalah salah satu nilai esensi yang terdapat dalam diri
manusia. Menurut Al-Ghazali memiliki hubungan erat dengan badan, hubungan badan
tersebut diibaratkan seorang penunggang kuda dengan kudanya. Hubungan ini
merupakan hubungan aktivitas dalam arti bahwa yang memegang kendali adalah si
penunggang kuda bukan kudanya. Kuda hanya alat untuk mencapai tujuan, ini berarti
bahwa badan itu merupakan alat bagi jiwa. Jadi, badan tidak mempunyai tujuan pada
dirinya dan tujuan itu akan ada apabila dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat
untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya.
Dalam tempat lain Al-Ghazali menjelaskan bahwa hubungan jiwa dengan badan
diibaratkan seperti seorang tuan menggunakan sahayanya, pemimpin menerima
layanan rakyatnya, dan pekerja terhadap perkakasnya. Jiwa menggunakan badan
bagaikan kendaraannya. Hubungan jiwa dengan badan menurut Al-Ghazali
sesungguhnya tidak terbatas hanya di dunia saja, tapi di akhirat nanti juga masih

7
berhubungan. Jiwa itu tidak mati, tetapi hanya meninggalkan badan dan menunggu
kembali kepada Tuhannya di hari kiamat.
4. Qalbu Qalbu (hati) tidak sebanyak jumlah pemakainnya dalam Al- qur’an dengan
kata nafs. Tampaknya kebanyakan artinya berkisar pada arti perasaan atau emosi dan
intelektual pada manusia. Oleh sebab itu, qalbu merupakan dasar bagi fitrah yang sehat,
berbagai perasaan (emosi), baik mengenai perasaan cinta dan benci, dan tempat
petunjuk,iman,kemauan,kontrol,dan pemahaman. Tentang qalbu sebagai wadah bagi
fithrah yang sehat disebutkan dalam al Qur’an:
Artinya :“Kecuali orang yang mendatangi Allah dengan qalb (hati) yang sehat” (al-
Syu’ara: 89)
Dari semua yang tedahulu jelas bahwa arti qalb (hati) dalam al-Qur’an lebih khusus
daripada arti nafs (jiwa). Ia tidak menunjukkan motivasi naluriah tetapi khusus
mengenai aspek yang sadar saja.[4] Qalbu (hati), mengandung dua arti:[5]
a. Suatu bentuk yang runung mengerucut dari sepotong daging yang berada di
sebelah kiri dari dada, tugasnya mengedarkan darah, merupakan sumbernya watak
hayawaniyah. Hati ini terdapat pula pada binatang-binatang. Hati yang di maksud
dengan istilah ini termasuk dalam alam lahir,jadi oleh karenanya ia dapat dilihat oleh
mata.
b. Suatu perwujudan yang sangat ajaib dari alam Ketuhanaan yang mempunyai
hubungan dengan hati yang terwujud benda itu, seperti halnya hubungan antara
penghuni rumah dengan rumahnya atau anatara seorang tukang dengan alat-alat
perkakasnya. Ia sendirilah yang bertanggung jawab dan merasakan apa yang pernah
dirasakan.
5. Akal
Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk yang paling sempurna bila
dibandingkan makhluk lain. Karena itu manusia harus menggunakan akal dan inderanya
untuk memahami mana kebenaran yang sesungguhnya, atau kebenaran yang
dibenarkan. Eksistensi manusia yang padat itu harus dimengerti dan dipikirkan.
Manusia adalah makhluk religius, dimana manusia memperlakukan agama sebagai
suatu kebenaran yang harus dipatuhi dan di yakini membangun manusia yang sanggup
melakukan pembangunan duniawi yang berarti bagi hidup pribadi di akhirat kelak.
[6]seperti dalam surah-surah :
Al-Baqarah: 44
َ ‫ب َأَﻓﻻ َﺗْﻌِﻘُﻠﻮ‬
‫ن‬ َ ‫ن اْﻟِﻜَﺘﺎ‬
َ ‫ﻢ َﺗْﺘُﻠﻮ‬
ْ ‫ﻢ َوَأْﻧُﺘ‬
ْ ‫ﺴُﻜ‬
َ ‫ن َأْﻧُﻔ‬
َ ‫ﺴْﻮ‬
َ ‫س ِﺑاْﻟِﺒِّﺮ َوَﺗْﻨ‬
َ ‫ن اﻟَّﻨﺎ‬
َ ‫َأَﺗْﺄُﻣُﺮو‬
Artinya :“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka
tidaklah kamu berpikir?”
Lebih dari itu dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu agama dan filsafat saling

8
memanfaatkan diri, sehingga secara ringkas dapat dikatakan bahwa titik mula kajian
rasional dikalangan umat islam sebenarnya berkisar pada perpaduan akal dengan
agama. Umpama, ilmu ushul fiqih, sebagai salah-satu metode kajian fiqh, banyak
memanfaatkan filsafat dan logika Aristoteles. Ilmu tafsir lebih menjelaskan perpaduan
ini, ia didominasi oleh dua kecendrungan, yang pertama bertumpu pada naql sementara
kecenderungan lain bertumpu pada akal. Dan didalam penafsiran yang rasional berpadu
ilmu pengetahuan dan filsafat. Gaya ini oleh Fakhruddin al-Razi, dalam bukunya yang
popular, Fath al-Rahman, benar-benar telah dioptimasikan. Secara umum para pemikir
besar islam tidak pernah kehilangan kesempatan untuk mengetahui aneka ragam aspek
ini dan meneguk lautan peradaan dengan segala keberagamaannya.
Al-Hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam ternyata juga memberi kedudukam
tinggi pada akal. Telah dijelaskan bahwa agama adalah penggunaan akal, tiada agama
bagi orang-orang yang berakal. Dalam hadis qudsi Allah bersabda kepada akal :
“ Demi kekuasaan dan keagungan-Ku tidaklah kuciptakan makhluk lebih mulia dari
engkau. Karena engkau Aku mengambil dan memberi dan karena engkau Aku
menentukan pahala dan menjatuhkan hukuman.”[7

B. Hakikat Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam


Semenjak manusia mengkhendaki kemajuan dalam kehidupan, maka sejak itu timbul
gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan
melalui pendidikan. Maka dari itu dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan
senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi
demi generasi dengan tuntutan kemajuan masyarakat. Dengan demikian, maka
pendidikan islam dalam prosesnya harus berlangsung secara intelektual dengan nilai-
nilai, karena islam sebagai agama wahyu mengandung system nilai yang menjadi
pedoman hidup umat manusia dalam segala bidang, termasuk dalam bidang
pendidikan.[8]
Dilihat dari segi tujuan Agama Islam diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan-
Nya (Muhammad SAW) tidak lain adalah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Tujuan tersebut mengandung Implikasi bahwa islam sebagai Agama wahyu
mengandung petunjuk dan peraturan yang bersifat menyeluruh, dimana sekalian alam
ini akan memperoleh rahmat secara menyeluruh, meliputi kehidupan duniawi, dan
ukhrawi, lahiriah dan batinniah, jasmaniah dan rohaniah.
Implikasi adalah suatu keadaan yang dimana manusia ikut dalam sebuah
keterlibatan[9] . Misalnya dalam sebuah penelitian yang memungkinkan menimbulkan
sebuah manfaat atau keuntungan bagi dirinya sendiri. Pola dasar pendidikan Islam yang

9
dilaksanakan dalam suatu system memberikan kemungkinan berprosesnya bagian-
bagian menuju ke tujuan yang telah di tetapkan sesuai ajaran islam. Dengan demikian
suatu system pendidikan islam harus berkembang dari pola dasarnya yang akan
membentuk menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak serta berjiwa Islam. Sifat
konsisten dan konstan dari proses pendidikan tersebut tidak akan keluar dari pola
dasarnya sehingga hasilnya juga sama sebangun dengan dasar tersebut.
Untuk tujuan itu maka kita harus memahami falsafah pendidikan islam, karena ia
menjadi dasarnya dan sekaligus mengarahkan tujuan. Oleh karena menyangkut
permasalahan falsafah, maka dalam pola dasar pendidikan Islam itu mengandung
pandangan Islam tentang prinsip-prinsip alam raya, prinsip-prinsip kehidupan manusia
sebagai pribadi, dan prinsip-prinsip kehidupannya sebagai makhluk social. Ketiga
prinsip tersebut akan melibatkan pembahasan secara dalam menurut istilah teknis
filosofis berturut-turut sebagai berikut :[10]
a. Ontologi : Yang membahas tentang asal usul kejadian alam nyata dan di balik
alam nyata.
b. Epistimologi : Yang membahas tentang kemungkinan manusia mengetahui gejala
alam.
c. Axiologi : Yang membahas tentang system nilai-nilai dan teori nilai atau yang
disebut etika.

Azyumardi Azra mengutip pendapat Omar Mohammad al-Toumy al- Syaibani


menjelaskan tujuan antara manusia dalam pendidikan Islam sebagai berikut :
a. Tujuan Individual yang berkaitan dengan individu-individu, pelajaran (learning) dan
dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu
tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku,aktivitas dan
pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang di ingini pada pribadi mereka, dan pada
persiapan yang di mestikan kepada mereka yang bertujuan dunia dan akhirat.
b. Tujuan-tujuan social yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dengan apa yang berkaitan
dengan kehidupan ini tentang perubahan yang di ingini dan pertumbuhan yang
memperkaya pengalaman dan kemajuan yang di ingini.
c. Tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai
ilmu ,sebagai seni ,sebagai profesi dan sebagai suati aktivitas di antara aktivitas-
aktivitas masyarakat.[11]

10
Dengan demikian, jelaslah bahwa pengertian pendidikan Islam hal ini adalah usaha
sadar yang dilakukan oleh orang dewasa muslim yang bertaqwa untuk mengarahkan
dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah manusia atau anak didik
menuju kepribadian yang sempurna dan utama berdasarkan ajaran Islam. Pendidikan
Islam sebagai suatu kegiatan yang terencana mempunyai kejelasan tujuan yang ingin
dicapai. Karena tujuan merupakan penentu ke mana pendidikan Islam itu diarahkan.
Setiap aktivitas yang dilakukan pasti mempunyai tujuan tertentu, sebab tanpa memiliki
tujuan yang akan dicapai maka aktivitas tersebut tidak akan jelas ke mana harus
melangkah, sehingga tidak dapat menyatakan aktivitasnya berhasil atau tidak.
Pendidikan Islam adalah kebutuhan untuk dapat melaksanakan Islam sebagaimana
yang dikehendaki oleh Allah SWT. Berdasarkan makna ini maka tujuan pendidikan Islam
mempersiapkan diri manusia guna melaksanakan amanah yang dipikul oleh manuisa
harus dilandasi Al-Qur'an dan Al-Hadits. Sebagai sumber seluruh aspek hukum dengan
menurut Islam.

BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Manusia adalah satu kata yang sangat bermakna dalam, dimana manusia adalah
makhluk yang sangat sempurna dari makhluk-makhluk lainya. Makhluk yang sangat
spesial dan berbeda dari makhluk yang ada sebelumnya. Makhluk yang bersifat nyata
dan mempunyai akal fikiran dan nafsu yang diberikan Tuhan untuk berfikir, mecari
kebenaran. Pola dasar pendidikan Islam yang dilaksanakan dalam suatu system
memberikan kemungkinan berprosesnya bagian-bagian menuju ke tujuan yang telah di
tetapkan sesuai ajaran islam.

11
Dengan demikian suatu system pendidikan islam harus berkembang dari pola dasarnya
yang akan membentuk menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak serta berjiwa
Islam. Sifat konsisten dan konstan dari proses pendidikan tersebut tidak akan keluar
dari pola dasarnya sehingga hasilnya juga sama sebangun dengan dasar tersebut.
Pendidikan Islam adalah kebutuhan untuk dapat melaksanakan Islam sebagaimana
yang dikehendaki oleh Allah SWT. Berdasarkan makna ini maka tujuan pendidikan Islam
mempersiapkan diri manusia guna melaksanakan amanah yang dipikul oleh manuisa
harus dilandasi Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai sumber seluruh aspek hukum dengan
menurut Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muhammad, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 2000.

Azyumardi ,Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam(Jakarta: Logos Wacana


Ilmu,1998)

Hamid, Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap ( Surabaya : Appolo Lestari )

Jalaluddin, dan Idi, Abdullah. FILSAFAT PENDIDIKAN : Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta
Selatan: Gaya Media Pratama Jakarta. 1997.

Langgulung,Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna,1987.

12
Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam Metode dan Penerapan, Jakarta : CV. Rajawali,1991.

Nasution, Harun, Islam Rasional, Jakarta : Penerbit Mizan,1998

Taufiq, Ismail, Sadjak Ladang Djagung ( Jakarta : Budaja Djaja, 1973),

[1] Ismail Taufiq, Sadjak Ladang Djagung ( Jakarta : Budaja Djaja, 1973), hlm. 54.

[2] Jalaluddin, dan Idi, Abdullah. Filsafat Pendidikan : Manusia, Filsafat dan Pendidikan. (Jakarta
Selatan: Gaya Media Pratama Jakarta. 1997). Hal. 95.

[3] Harun Nasution. Islam Rasional, (Jakarta : Penerbit Mizan,1998), hlm. 38.

[4]Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna,1987).hlm 28.

[5] Ibid.,hlm. 10.

[6] Ibrahim Madkour. Filsafat Islam Metode dan Penerapan,(Jakarta : CV. Rajawali,1991), hlm.9

[7] Harun Nasution. Islam Rasional, (Jakarta : Penerbit Mizan,1998), hlm. 55.

[8] Muhammad Arifin. Ilmu Pendidikan Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hlm.5-7.

[9] Farida Hamid. Kamus Ilmiah Populer Lengkap ( Surabaya : Appolo Lestari ), hlm. 215.

[10] Muhammad Arifin. Ilmu Pendidikan Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hlm.54-55.

[11] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam(Jakarta: Logos Wacana
Ilmu,1998), hlm. 7.

13

Anda mungkin juga menyukai