Di susun oleh :
Kelompok 2 (4C Farmasi)
1. Nuraeni 2048201073
2. Sinta Mufkihah 2148201140
3. Siti Ulfah 2148201142
4. Tria Septiawati 2148201148
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas keharidat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Empat Fitrah
Manusia dan Mampu Mengelolanya secara Positif (Batiniyah, Subu’iyah, Syaithaniyah,
Rububiyah)” untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Berakhlak Mulia 1. Tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa dalam makalah ini. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang “Empat Fitrah
Manusia dan Mampu Mengelolanya secara Positif (Batiniyah, Subu’iyah, Syaithaniyah,
Rububiyah)” ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
3. Bagaimana cara mengelola fitrah manusia secara positif?
1.3 Tujuan
1. untuk mengetahui pengertian dari fitrah
2. untuk mengetahui macam-macam fitrah manusia
3. untuk mengetahui cara mengelola fitrah manusia secara positif
1.4 Manfaat
Mengetahui makna dari fitrah manusia dan mampu mengelola secara positif
2
BAB 2
TINJAUN PUSTAKA
ع ٰلى اَنفُسِ ِهم اَلَستُ ِب َر ِبكُم قَالُوا َب ٰلى َش ِهدنَا اَن تَقُولُوا َيو َم ال ِق ٰي َم ِة اِنَّا
َ َواِذ اَ َخذَ َربُّكَ مِن َبنِي ٰاد ََم مِن ظُ ُهو ِرهِم ذُ ِريَّتَ ُهم َواَش َه َدهُم
َعن ٰهذَا ٰغ ِفلِين َ كُنَّا
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang)
anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh
3
mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.
(Al-A”raf : 172)”
Prof. Dr. Abdul Mujib mengutip dari imam al-qurtubi mengartikan fitrah jika
dikorelasikan dengan kalimat lain, mempunyai banyak makna;
1. fitrah dapat berarti suci (al-thuhr).
2. Fitrah berarti potensi ber-islam (al-din Al-islamiy), ini bermakna bahwa fitrah
berarti beragama islam.
3. Fitrah mengakui keesaan Allah (Tawhid Allah).
4. Fitrah berarti kondisi selamat (al-salamah) dan kontinuitas (istiqomah).
5. Fitrah berarti perasaan yang tulus (al-Iklas), manusia dilahirkan membawa potensi
baik.
6. Fitrah berati kesanggupan menerima kebenaran.
7. Fitarh berarti potensi dasar manusia atau prasaan untuk beribadah.
Hasan Langgulung menambahkan bahwa, makna fitrah berarti;
1. Fitrah berarti ketetapan atau taqdir asal manusia mengenai kebahagian (al-sa’adat)
atau kesengsaraan (al-syaqawat) hidup.
2. Fitrah berarti tabiat atau watak asli manusia.
3. Fitrah berarti sifat-sifat Allah, yang ditiupkan kepada manusia sebelum lahir
Istilah “fitrah” dalam Alqur’an terdapat dalam Surah Al-Rum ayat 30. Kata fitrah
tersebut berasal dari kata fatara, yafturu, fatran. Apabila merunut dari asal kata dan
bentuk musytaq-nya, Alqur’an menyebutkan sebanyak 19 kali. Sementara pemaknaan
fitrah secara bahasa dapat diartikan sebagai penciptaan sesuatu, seperti Khalaqallahus
samawati wal ard (Allah telah menciptakan langit dan bumi). Contoh lain terdapat pada
surah al’Alaq ayat 2 yaitu Khalaqal insan min ‘alaq (dia Allah telah menciptakan
manusia dari segumpal darah). Dengan begitu, pada tiap penggal ayat yang memakai
istilah khalaqa menisbatkan pelakunya kepada Allah, dalam artian hanya Allah yang
bisa menciptakan tiap-tiap dari sesuatu yang tidak mempunyai bahan mentah pada
dasarnya.
2.2.2 Jenis-Jenis Fitrah
Fitrah memiliki banyak dimensi, tetapi demensi yang terpenting adalah:
4
a. Fitrah Agama, Manusia sejak lahir mempunyai naluri atau insting yang
beragama,dan mengakui adanya dzat Allah, namun ketika dia lahir cenderung
pada al-hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak Allah
b. Fitrah Intelek, Intelek adalah potensi bawaan manusia untuk memperoleh
pengetahuan yang dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. Karena
daya dan fitrah ini hingga dapat membedakan antara manusia dan hewan.
c. Fitrah Sosial, kecendrungan manusia untuk hidup berkelompok yang mempunyai
ciri khas yang disebut kebudayaan.
d. Fitrah seni, Kemampuan manusia untuk menimbulkan daya estetika, yang
mengacu pada sifat al-jamal Allah swt.
e. Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta
tanah air, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainya. Semua kebutuhan kehidupan
manusai merupakan fitrah yang menuntut untuk dipenuhi,.
Sayyid Quthub mengemukakan kebutuhan pokok manusia terbagi menjadi empat
macam, yaitu:
a. Kebutuhan hati nurani setiap manusia untuk memperoleh kepuasan,
ketentraman,dan ketenangan.
b. Kebutuhan akal pikiran, setiap insan untuk memperoleh kebebasan, kemerdekaan,
dan kepastian.
c. Kebutuhan perasaan setiap insan dapat memperoleh rasa saling pengertian, kasih
sayang, dan perdamaian.
d. Kebutuhan hak dan kewajiban setiap insan untuk memperoleh perundang-
undangan, ketertiban dan keadilan.
Sesungguhnya tubuh manusia terdiri dari dua jenis, yaitu: Tubuh kasar dan tubuh
halus, atau jasmani/fisik dan ruhani/ruh. Manusia tanpa jasmani belum bisa dikatakan
manusia, demikian dengan manusia tanpa ruh tidak dapat dikatakan manusia
hidup.Jasmani manusia berasal dari materi tanah, sedangkan ruh manusia berasal dari
Allah yaitu Tuhan semesta alam (Unila, 2014)
2.2.3 Empat fitrah manusia
Imam Nawawi mendefinisikan fitrah sebagai kondisi yang belum pasti (unconfirmed
state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar keimanannya.
Sementara menurut Abu Haitam fitrah berarti bahwa manusia yang dilahirkan dengan
memiliki kebaikan atau ketidak baikan (prosperous or unprosperous) yang berhubungan
dengan jiwa. Bila tidak berlebihan dalam memahami terminologi Abu Haitam dapat
5
dipahami, pada awalnya setiap makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dibekal dengan
fitrah (keseimbangan) yang bilamana keseimbangan ini mampu dijaga dengan baik
maka yang bersangkutan akan senantiasa berada dalam kebaikan. Sebaliknya bila
keseimbangan ini sudah tidak mampu dipertahankan maka menyebabkan seseorang akan
terjerumus kepada ketidakbaikan
Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia pasti dihinggapi oleh sifat-sifat baik dan sifat-
sifat buruk sebab di dalam diri seseorang itu sudah ada kekuatan untuk hal-hal tersebut.
Dalam surat asy-Syams: 7-8 yaitu akal dan nafsunya, dan sudah ada pendorong
kearah hal-hal tersebut, yaitu malaikat dan setan. Secara garis besar, sifat-sifat manusia
dibagi menjadi dua yaitu sifat mahmudah (sifat terpuji) dan sifat madzmumah (sifat
tercela).
Manusia sejak di lahirkan mempunyai fitrah yang alami. Allah memberikan 4 unsur
Fitrah, yaitu: Kesucian, Kepandaian, Kesempurnaan, dan Kemuliaan. Di samping itu
manusia mempunyai dosa atas empat fitrah tersebut, Kemudian dosa-dosa ini dibagi
menjadi empat macam, Rububiyah, syaithaniyah, batiniyah dan sabu'iya :
1. Rububiyah
Sifat "ketuhanan” yang terdapat pada diri manusia yang apabila telah menguasai
diri manusia maka ia ingin menguasai, menduduki jabatan yang tinggi, menguasai
ilmu apa saja, suka memaksa orang lain dan tak mau direndahkan,ini merupakan dosa
yang merusak, meskipun banyak orang yang melalaikannya diantara sifat ini adalah
munculnya takabur, bangga diri, mencintai pujian dan sanjungan, mencari popularitas
dan ketenaran.
2. Syaithaniyah
Yaitu sifat "kesetanan" yang ada pada diri manusia yang apabila telah menguasai
dirinya ia akan suka merekayasa dengan tipu daya dan meraih segala sesuatu dengan
cara-cara yang jahat. Di sini manusia suka mengajak pada perbuatan bid'ah,
kemunafikan dan berbagai kesesatan
3. Batiniyah
Yaitu sifat manusia berupa "kehewanan" yang apabila telah menguasai dirinya ia
akan rakus, tamak, suka mencuri, makan berlebihan, tidur berlebihan dan bersetubuh
berlebihan, suka berzina, berperilaku homoseks dan lain sebagainya. Yang darinya
bercabang tamak, rakus, dan ambisi dalam memenuhi ambisi nafsu perut dan biologis.
Kemudian termasuk pula perbuatan zina, sodomi, pencurian, tindakan memakan harta
anak yatim, serta pengumpulan harta untuk melayani syahwat.
6
4. Subu'iyah
Yaitu sifat "kebuasan" yang apabila menguasai diri manusia ia akan suka
bermusuhan, berkelahi, suka marah, suka menyerang, suka memaki, suka berdemo,
anarkis, cemburu berlebihan dan lain sebagainya. Bercabang sifat amarah, dendam,
agresifitas kepada orang lain. dengan memukul, mencaci maki dan membunuh serta
menghambur- hamburkan kekayaan, di samping pula bercabang dosa-dosa yang lain.
Semua sifat tersebut mempunyai jenjanggan dalam fitrah manusia, ibnu qudamah
menyatakan bahwa sifat yang paling dominanunya adalah sifat kebinatangan yang
pada akhirnya akan lupa terhadap tuhan sehingga muncul sifat penuhanan dalam diri
sendiri.
Empat sifat tersebut di atas tidak tumbuh dan berkembang secara sekaligus tetapi
melalui tahapan-tahapan atau secara berangsur-angsur. Pertama kali yang tumbuh
adalah sifat kehewanan "al-batiniyah". Melalui sifat ini manusia suka makan, tidur,
seks agar dapat tumbuh sehat.
Selanjutnya yang kedua adalah sifat kebuasan "alsabu'iyah". Dengan sifat ini
manusia dapat menolak sesuatu yang dapat megancam dan merugikan dirinya seperti
ingin menyerang, membunuh, memaki, berkelahi dan lain sebagainya.
Yang ketiga yang tumbuh adalah sifat kesetanan "al-syalthaniyah". Sifat ini
tumbuh pada diri manusia setelah tumbuh sifat kehewanan dan kebuasan. Bilamana
kedua sifat tersebut sudah ada pada diri manausia, maka berbagai cara akan dilakukan
untuk memenuhi nafsunya. Di sini manusia akan melakukan tipu daya, makar,
rekayasa demi mencapai apa yang diinginkannya.
Yang terakhir tumbuh dan berkembang dalam diri manusia adalah sifat ketuhanan
"al-rububiyah". Melalui sifat ini manusia ingin menguasai, memiliki segalanya, ingin
berkuasa, menduduki jabatan setinggi-tingginya. Di sini manusia akan merasa
berbangga diri, sombong, ingin dipuji, merasa paling benar dan lain sebagainya.
Inilah biang-biang dari segala dosa serta sumber-sumbernya, kemudian
memancarlah beragam dosa dari sumber-sumber ini kepada seluruh anggota tubuh,
dimana sebagiannya hanya terbatas kepada hati seperti kufur, bid'ah dan nifaq.
2.2.4 Hakikat fitrah manusia
Pemaknaan fitrah memiliki kecenderungan manusia lebih bersikap pasif dan
fatalis. Manusia hanya menerima iman yang diterima sejak alam mistbaq sebagai suatu
bentuk keterpakasaan. Dengan iman yang dibawanya tersebut, manusia di tuntut untuk
7
mampu mengetahui hakikat Tuhannya dan melaksanakan semua perintahnya dengan
sebaik-baiknya.
Hakikat fitrah manusia adalah pola dasar kejadian manusia dapat dijelaskan
dengan meninjau dari:
1. hakikat wujud manusia,
2. tujuan penciptaanya,
3. sumber daya insani (SDM),
4. citra manusia dalam Islam.
Empat unsur tersebut menjelaskan bahwa hakikat wujud manusia adalah:
1. manusia adalah mukallaf (makhluk yang diberi amanah/memikul tanggung jawab)
2. manusia adalah makhluk yang merupakan gambar Tuhan. Adapun tentang tujuan
manusia adalah pertama, melihat dari ayat Al-Qur’an surat az-Zariyat: yang
bunyinya “tujuan utama penciptaan manusia ialah agar menusia beribadah kepada-
Nya. Karena tujuan beribadah dalam Islam bukan hanya membentuk kesalihan
individual, tetapi juga kesalihan sosial, yang keduanya tidak dapat dipisahkan.
Kedua, surat al-Baqarah: 30, Yunus: 14, al-An’am: 165 yang berbunyi: “ manusia
diciptakan untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di muka bumi”. Karena Allah Zat
yang menguasai dan memilihara alam semesta, maka tugas manusia sebagai wakil
Tuhan ialah menata dan memilihara serta melestarikan dan menggunakan alam ini
dengan sebaik- baiknya. Ketiga, Al-Qur’an surat al-Hujarat: 133
3. menegaskan perlunya tanggung jawab bersama dalam menciptakan tatanan
kehidupan dunia yang damai. Adapun sumber daya manusia (SDM) dijelaskan
bahwa dengan potensi atau sumber daya insani memungkinkan manusia tumbuh
berkembang, termasuk pengembangan fitrahnya menuju kesempurnaan hidup sesuai
dengan tujuan hidup manusia yang sebenar-benarnya.
Jadi implikasinya, jika manusia dipandang sebagai sosok individual- religiustik,
bukan sebagai sosok insan-sosial religiustik. Batasan ini dianalisis lebih lanjut, akan
membatalkan fungsi manusia sebagai :wakil Tuhan” Allah dimuka bumi guna
memakmurkan alam semesta. Sebab dalam pelaksanaannya manusia senantiasa tetap
memerlukan interaksi dari orang lain atau makhluk lainnya. Namun dalam Al-Maraghi
bahwa fitrah merupakan kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan
untuk menerima kebenaran. Secara fitranya, manusia cenderung berusaha mencari serta
menerima kebenaran walaupun hanya besemayam dalam hati kecilnya.
8
Adakalanya manusia telah menemukan kebenaran, namun karena faktor luar yang
mempengaruhinya, ia berpaling dari kebenaran yang diperolehnya, sebagaimana fira’un
dalam hidupnya, ia tidak mengaku adanya kebenaran Allah, akan tetapi setelah ia
tenggelam dan ajalnya sudak dekat ia mengakui dengan adanya kebenaran itu.
Untuk itu, para pemikir muslim mencoba untuk mencari definisi lain kata fitrah yang
telah representative sesuai dengan kemampuan, fungsi dan kedudukannya sebagai
makhluk Allah yang paling sempurna kejadiannya. Hasan Langgulung mengartikan
fitrah tersebut sebagai potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi tersebut
merupakan suatu keterpaduan yang tersimpul dalam As ma’al Husna Allah.Batasan
tersebut memberikan arti bahwa inisial jika Allah mempunyai sifat al-Ilmu (Maha
Mengetahui), maka manusiapun memiliki potensi untuk bersifat sebagaimana sifat al-
‘Ilmu-Nya, begitu juga seterusnya. Akan tetapi, bukanlah berarti kemampuan manusia
(makhluk) sama setingkat dengan kemampuan Allah.
2.2.5 Cara mengelola fitrah manusia secara positif
Konsep fitrah pada dasarnya mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia
secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan fujur. Manusia pada dasarnya
diciptakan dalam keadaan memiliki potensi positif dan ia dapat bergerak ke arah taqwa.
Bila manusia berjalan lurus antara fitrah dan Allah, maka ia akan menjadi taqwa (sehat,
selamat). Bila tidak selaras antara fitrah dan Allah, maka ia akan berjalan ke pilihan
yang sesat (fujur). Secara fitrah manusia diciptakan dengan penuh cinta, memiliki cinta,
namun ia dapat berkembang ke arah agresi.
Kejadian manusia sangat sesuai dengan ajaran agama Islam yang telah di jelaskan.
Allah Swt dalam al-Qur’an. Karena manusia diciptakan untuk melaksanakan agama
(beribadah). Hal ini berlandaskan pada al-Qur’an surat adz-Dzariyat: 56. Yang artinya
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”. Hakikatnya manusia ini Allah Swt ciptakan dengan tujuan untuk beribadah
dengan melaksanakan apapun yang telah diperintahkan dan meninggalkan apapun yang
menjadi larangan, karena ketika seseorang dilahirkan kedunia ini telah membawa fitrah
keimanan sebagaimana Allah Swt jelaskan dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat : 30 yang
artinya “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”
9
Ayat diatas menyatakan bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Artinya agama itu
dirancang oleh Allah Swt sesuai dengan fitrah atau sifat asli kejadian manusia. Dengan
demikian, pada diri manusia sudah melekat (menyatu) satu potensi kebenaran
(dinnullah). Jika potensinya ini digunakan, ia akan senantiasa berjalan di atas jalan yang
lurus. Karena Allah Swt telah membimbingnya semenjak dalam alam ruh (dalam
kandungan). Potensi ruhiyah ialah potensi yang dilekatkan pada hati Nurani untuk
membedakan dan memilih jalan yang hak dan yang batil, jalan menuju ketaqwaan dan
jalan menuju kedurhakaan. Bentuk dari ruh ini sendiri pada hakikatnya tidak dapat
dijelaskan. Potensi ini terdapat pada surat Asy-Syams ayat 7-8 yaitu : Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketaqwaannya
Berikut cara mengelola fitrah dengan positif :
10
Maryam:43, QS. Ar-Ruum:29 dan 56, QS. Az Zumar:9, QS. Muhammad:16, QS.
Saba’:46, QS. AlAnkabut:20, QS. Al-Haj:46,QS. Al-A’raf:185.
11
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari sisi Bahasa makna fitrah adalah suatu kecenderungan bawaan alamiah
manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna keyakinan agama, yakni bahwa
manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu mengesakan
Tuhan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia pasti dihinggap oleh sifat-sifat baik
dan sifat-sifat buruk sebab di dalam diri seseorang itu sudah ada kekuatan untuk hal-
hal tersebut Manusia sejak di lahirkan mempunyai fitrah yang alami. Allah
memberikan 4 unsur Fitrah, yaitu: Kesucian, Kepandaian, Kesempurnaan, dan
Kemuliaan. Di samping itu manusia mempunyai dosa atas empat fitrah tersebut,
Kemudian dosa-dosa ini dibagi menjadi empat macam, Rububiyah, syaithaniyah,
batiniyah dan sabu'iyah Adapun cara mengleloa fitrah secara positif yaitu
diantaranya Kembali kepada agama Allah SWT, menyucikan jiwa, dan Memikirkan
ayat-ayat Allah SWT (Qauliyah dan kauniyah).
12
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syekh Muhammad , Risalat al-Tauhid. Diterjemahkan oleh K.H. Firdaus A.N. dengan judul
Risalah Tauhid (Jakarta-Idonesia: Bulan Bintang, 1992)
Amir, D. (2012). Konsep Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam. Al-Ta’lim2, 1(3), 188–200.
Arifin, H. M. (1994). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Ismail, S. (2013). Tinjauan Filosofis Pengembangan Fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam.
At-Ta’dib, 8(2), 242–263
Lukis Alam, Perspektif Pendidikan Islam Mengenai Fitrah Manusia, Jurnal Tarbawi Volume 1 No. 2
Tahun 2015
Mualimin, konsep fitrah manusia dan implikasinya dalam Pendidikan islam, al-tadzkiyah jurnal
Pendidikan islam, Volume 8, No. II Tahun 2017
13