Anda di halaman 1dari 26

LANDASAN PENGEMBANGAN METODOLOGI

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Pengembangan Metodologi pendidikan
Agama Islam

Dosen Pengampu Dr. Muslihudin, M.Ag

Disusun oleh :

Abd. Rachman Mildan (17086030018) PAI-A


Asri Dwi Sari (17086030019) PAI-A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2018

1
KATA PENGATAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam Makalah ini kami
membahas tentang “Landasan Pengembangan Metodologi Pendidikan Agama Islam” dan
disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Pengembangan Metodologi Pendidikan
Agama Islam.
Kami ucapkan terimaksih kepada Dr. Muslihudin, M.Ag selaku dosen mata kuliah
Pengembangan Metodologi Pendidikan Agama Islam yang telah membimbing kami dalam
penulisan makalah ini. Besar harapan kami makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi para pembaca. Kami sadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna untuk itu kami mengharapkan kritik dan sarannya supaya kami dapat
memperbaiki penulisan makalah ini dilain kesempatan.
Semoga Bermanfaat ....
Terimakasih
Cirebon, Maret 2018

Penulis,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................2


DAFTAR ISI..............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................4
B. Rumusan Masalah..........................................................................................4
C. Tujuan Penulisan............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................6
A. Metodologi Pembelajaran..............................................................................6
B. Pendidikan Agama Islam...............................................................................6
C. Landasan Pengembangan Metodologi PAI ...................................................7
1. Landasan Filosofis...................................................................................9
2. Landasan Sosiologis.................................................................................10
3. Landasan Psikologis.................................................................................11
4. Landasan Normative................................................................................13
5. Landasan Pedagogis.................................................................................17
BAB III PENUTUP....................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................21

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Jalaludin (2003:67) Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari hidup dan kehidupan manusia. Hubungan dua variable, antara manusia dengan
pendidikan diawali sebuah pertanyaan yang mendasar: “apakah manusia dapat dididik?”.
Ataukah manusia dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa melalui pendidikan? Lantas
bagaimana cara mendidiknya? Dan seterusnya.
Pertanyaan diatas telah lama menjadi bahan kajian para ahli pendidikan, bahkan
sejak zaman Yunani kuno. Pendapat yang umum dikenal dalam pendidikan barat mengenai
mungkin dan tidaknya manusia dididik, sehingga melahirkan tiga aliran filsafat
pendidikan;nativisme, empirisme dan konvergensi.
Terlepas dari pembahasan tentang ketiga aliran filsafat tersebut, manusia secara
alamiah pada dasaranya bersifat tumbuh dan berkembang. Pola perkembangan manusia
dan alam semesta berlangsung di atas hukum alam yang ditetapkan Allah
swt(Sunnatullah).
Realitas perkembangan manusia juga tidak terlepas dari lingkungan (sosiokultural),
sehingga Metodologi pendidikan yang mengiringi manusia itu sendiri juga secara otomatis
diperlukan adanya perkembangan sehingga sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam makalah ini penulis hendak memaparkan sekilas tentang landasan
pengembangan metodologi pembelajaran tersebut, yang berpijak atas dasar-dasar filosofis,
sosiologis, psikologis, normative dan pedagogik.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah :
1. Bagaimana landasan filosofis dalam pengembangan metode PAI ?
2. Bagaimana landasan Normative Religius dalam pengembangan metode PAI ?
3. Bagaimana landasan Sosiologis dalam pengembangan metode PAI ?
4. Bagaimana landasan Psikologis dalam pengembangan metode PAI ?
5. Bagaimana landasan Pedagogis dalam pengembangan metode PAI ?

4
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana landasan filosofis dalam pengembangan metode
PAI
2. Untuk mengetahui bagaimana landasan Normative Religius dalam pengembangan
metode PAI
3. Untuk mengetahui bagaimana landasan Sosiologis dalam pengembangan metode
PAI
4. Untuk mengetahui bagaimana landasan Psikologis dalam pengembangan metode
PAI .
5. Untuk mengetahui bagaimana landasan Pedagogis dalam pengembangan metode
PAI

5
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Metodologi Pembelajaran
Menurut Arief (2002:40) Kata Metodologi berakar dari dari kata “metode” yang
berasal dari kata bahasa Yunani “metodos” yang terdiri dari dua kata “metha” yang berarti
melalui atau melewati, dan kata “hodos”yang berarti jlan atau cara. Sedangkan metodologi
adalah ilmu metode; ilmu cara-cara dan langkah-langkah yang tepat (untuk menganalisa
sesuatu); penjelasan serta penerapannya.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu rekayasa yang diupayakan untuk
membantu peserta didik agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan maksud dan tujuan
penciptaannya (Muhaemin, 2004:184). Sementara itu Asrori (2007:6) dalam Psikologi
Pembelajaran  mendefiniskan pembelajaran sebagai berikut Pembelajaran merupakan
suatu proses perubahan tingkah laku yang diperoleh dari pengalaman individu yang
bersangkutan. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
merupakan proses perubahan dan pengembangan tingkah laku seseorang (peserta didik)
dengan maksud dan tujuan tertentu.

B.     Pendidikan Agama Islam


Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia ; aspek
rohaniah, dan jasmaniah, juga harus berlangsung secara bertahap. Sebab tidak ada satupun
makhluk ciptaan Allah yang secara langsung tercipta dengan sempurna tanpa melalui suatu
proses.Kematangan dan kesempurnaan yang diharapkan bertitik tolak pada pengoptimalan
kemampuannya dan potensinya. Tujuan yang diharapkan tersebut mencakup dimensi
vertikal sebagai hamba Tuhan dan dimensi horizontal sebagai mahluk individual dan
sosial. Hal ini dimaknai bahwa tujuan pendidikan dalam pengoptimalkan kemampuan atau
potensi manusia terdapat keseimbangan dan keserasian hidup dalam berbagai dimensi.
“Pendidikan Islam” dapat diartikan sebagai pendidikan yang (bercorak) islami,
yakni pendidikan yang berdasarkan Islam. Sehingga diperlukan definisi pendidikan
menurut Islam.
Guna membahas pendidikan menurut Islam, sebelumnya perlu dikedepankan
definisi “pendidikan” menurut para ahli, yang nantinya dikorelasikan dengan al-Quran/

6
Hadist, atau pendapat para pakar pendidikan Muslim, yang tentunya tidak akan terlepas
dari filsafat yang dianut oleh pakar tersebut (Tafsir, 2005:24).
Kata “Pendidikan” berasal dari kata “Rabba” dengan bentuk
mashdarnya “Tarbiyah”.
Pendidikan menurut beberapa ahli di Barat,  antara lain pendapat Mortimer J. Adler
yang dikutip Muzayyin dalam bukunya filsafat pendidikan islam, mengartikan: pendidikan
adalah proses dengan semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh)
yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk
membantu orang lain atu dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan
yang baik. Selain itu, Herman  H. Horne memandang pendidikan sebagai suatu proses
penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan sesama manusia,
dengan tabiat tertinggi dari kosmos. Tidak jauh berbeda, William Mc Gucken, S.J.
mendefiniskan pendidikan sebagai suatu perkembangan dan kelengkapan dari kemampuan-
kemampuan manusia baik moral, intelektual, maupun jasmaniah yang diorganisasikan,
dengan atau untuk kepentingan  individual atau sosial dan diarahkan kepada kegiatan-
kegiatan yang bersatu dengan penciptanya sebagai tujuan akhir.
Sedangkan menurut Marimba yang dikutip Ahmad Tafsir (2005:24) menyatakan
bahwa “pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama”.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai suatu
proses harus mampu mengarahkan, membimbing serta mengembangkan kemampuan
dalam diri manusia menjadi suatu kegiatan hidup yang berhubungan dengan Tuhan
(Pencipta), baik kegiatan itu bersifat pribadi maupun bersifat sosial.
Pengertian Pendidikan seperti diatas, secara definitif belum terdapat di Zaman
Rasulullah saw. Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan
seruan agama dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih
keterampilan berbuat, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang
mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu, telah mencakup arti
pendidikan dalam pengertian yang luas (Sudiyono, 2000:6).

7
Adapun “Pendidikan Islam”, banyak para ahli yang berbeda pendapat, namun disini
peneliti mengemukakan definisi pendidikan Islam menurut  Marimba, yang dikutip
Sudiyono menyatakan :
“Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama
Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”
Dari definisi diatas, dapat diambil pemahaman bahwa Pendidikan Islam sebagai
suatu proses pengembangan manusia (jasmani dan rohani) untuk mencapai suatu tujuan
pendidikan Islam, yakni membentuk kepribadian Muslim. Dengan arti, keprobadian yang
memiliki nilai-nilai Agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan
nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sedangkan “Pendidikan Agama Islam” dalam GBPP PAI di sekolah umum,
dijelaskan “usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati
dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan
dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan antar
umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

C.    Landasan-landasan Pengembangan PAI


Setelah memahami arti pendidikan Agama Islam yang seharusnya terus
berkembang, dalam kaitannya dengan pendidikan nasional.
Landasan dalam pengembangan metodologi pembelajaran PAI merupakan sesuatu
yang sangat urgen dalam proses pembelajaran. Seorang guru tidak akan mampu
menggunkan suatu metode sebelum mengetahui landasan atau pijakannya, karena jika
demikian maka akan berujung pada pembelajaran yang kering-gersang dari nilai-nilai yang
terkandung dari materi yang diajarkan. Fenomena yang sering kali terjadi adalah
kesenjangan antara guru dan peserta didik, materi dengan metode, dan menimbulkan
diskomunikasi.
Sebelum membahas lebih jauh terkait dengan landasan-landasan dalam
pengembangan metodologi pembelajaran PAI, maka perlu diketahui dulu tentang landasan
dalam pelaksanaan pendidikan Islam. konteks ini perlu untuk mengetahui pijakan dasar
dalam pelaksanaan pendidikan Islam dan dari landasan inilah baru dirumuskan landasan
dalam pengembangan metodologi pembelajaran PAI, maka dibawah ini adalah Landasan-
landasan dalam pengembangan metodologi PAI sebagai berikut  :

8
1. Landasan Filosofis
Nilai filosofis yang kemudian dijadikan landasan / dasar filosofis pendidikan,
memiliki makna bahwa kegiatan pendidikan itu harus bersumber pada pndangan hidup
yang paling mendasar. Jika pandangan hidup atau cara berfikir manusia yang paling
mendasar bersumber dari nilai-nilai fundamental, maka muncul semacam pertanyaan
dari mana manusia itu ada dan dari mana sumber ilmu diperoleh. Pertanyaan semacam
itu kemudia dijadikan sebagai cara berfikir manusia untuk menemukan jawaban
melalui pendidikan. Jika pandangan hidup manusia itu bersumber dari nilai-nilai
ajaran agama (nilai-nilai teologis), maka visi dan misi pendidikan adalah
memberdayakan manusia sebagai manusia yang menjadikan agama sebagai pandangan
hidupnya sehingga mengakui akan pentingnya sikap tunduk dan patuh kepada hukum-
hukum tuhan yang bersifat trasendental. Demikian juga sebaliknya, jika pandangan
hidup manusia itu bersifat keduniawian dan sumber dari manusia, maka visi dan misis
ediologis pendidikan adalah untuk meraih cita-cita kepuasan hidup manusia yang
bersifat duniawi semata, hingga mengenyampingkan dan tidak memperdulikan nilai-
nilai trasendental. Kedua pandangan hidup manusia ini diharapakan dapat di
integrasikan, yakni landasan filosofis pendidikan seharusnya mengandung nilai-nilai
trasendental yang bersumber dari tuhan, dan dari manusia (Yasin, 2008:32).
Selanjutnya abu Muhammad Iqbal (2003:24) mengatakan nilai-nilai teologis
ini merupakan landasan filosifis dalam mengembangkan metodologi pembelajaran
PAI sehingga pembelajaran yang dikelola oleh guru selalu berlandaskan pada landasan
ini. Tujuan utama dari proses pendidikan selalu dikaitkan dengan pencarian jati diri
yang sesungguhnya, agar manusia bisa mengerti dari mana mereka berasal, siapa yang
menciptakan mereka. Nilai fundamental ini mengarahkan peserta didik untuk
mengenal tuhannya. Al-Ghazali menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Abu
Muhammad Iqbal bahwa tujuan ahkir dari pendidikan adalah tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah .
1. Filsafat Pendidikan Progresivisme

Filsafat pendidikan progresiv lahir di Amerika Serikat. Filsafat ini sejalan


dengan jiwa bangsa Amerika pada waktu itu, sebagai bangsa yang dinamis
berjuang mencari hidup baru di negeri seberang. Bagi mereka tidak da hidup yang
tetap, apalagi nilai-nilai yang abadi. Yang ada adalah perubahan. Mereka sangat

9
menekankan kehidupan sehari-hari, maka segala tindakan mereka diukur dari
kegunaan praktisnya.

Karena tujuan tidak pasti, maka cara atau alat untuk mencapai tujuan itu
pun tidak pasti pula. Tujuan dan alat bagi mereka adalah satu, artinya bila tujuan
berubah maka alat pun berubah pula. Tokoh filsafat pendidikan progresivisme ini
adalah John Dewey (Pidarta, 2007:92).

Menurut penganut aliran ini bahwa kehidupan manusia berkembang terus


menerus dalam suatu arah positif. Apa yang dipandang benar sekarang belum tentu
benar pada masa yang akan dating. Oleh sebab itu, peserta didik bukan
dipersiapkan untuk menghidupi kehidupan masa kini, melainkan mereka harus
dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan masa datang. Permasalahan hidup kini
tidak akan sama dengan permasalahan hidup masa yang akan dating. Untuk itu,
peserta didik harus diperlengkapi dengan strategi-strategi menghadapi kehidupan
masa dating dan pemecahan masalah yang memungkinkan mereka mengatasi
permasalahan-permasalahn baru dalam kehidupan dan untuk menemukan
kebenaran-kebenaran yang relevan pada masa itu (Edward dan Yusnadi, 2015:28).

Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas


progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan untuk tetap survive
terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala
sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan instrumentalisme,
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Dinamakan eksperimental atau empirik karena aliran tersebut menyadari dan
mempraktekkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori.
Progresivisme dinamakan environtalisme karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup ini mempengaruhi pembinaan kepribadian (Imam Muis, 2004).

Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan


yang meliputi: ilmu hayat, bahwa manusia untuk mengetahui semua masalah
kehidupan. Antropologi yaitu bahwa manusia memiliki pengalaman, pencipta
budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan

10
berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, pengelaman-pengalamannya, sifat-
sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.

Prinsip-prinsip pendidikan menurut pandangan progresivisme menurut


Kneller (dalam Uyoh Sadullah, 2010:148) meliputi:

a. Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.


b. Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak, minat
individu yang dijadikan sebagai motivasi belajar.
c. Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap
pemberian subject matter. Jadi, belajar harus dapat memecahkan masalah yang
penting dan bermanfaat bagi kehidupan anak. Dalam memecahkan suatu
masalah, anak dibawa berpikir melewati beberapa tahapan yang disebut metode
berpikir ilmiah, sebagai berikut:
 Anak menghadapi keraguan, merasakan adanya masalah
 Menganalisis masalh tersebut dan menduga atau menyusun hipotesis-
hipotesis yang mungkin
 Mengumpulkan data yang akan membatasi dan memperjelas masalah
 Memilih dan menganalisis hipotesis
 Mencoba, menguji, dan membuktikan
d. Peranan guru tidak langsung, melainkan memberi petunjuk kepada siswa
e. Sekolah harus memberi semangat bekerja sama, bukan mengembangkan
persaingan.
f. Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi
pertumbuhan.
2. Filsafat Pendidikan Perenialisme

Filsafat ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan agama
Katolik-Kristen. Pada zaman itu tokoh-tokoh agam menguasai hamper semua
bidang kemasyarakatan. Sehingga sangat logis kalau sekolah-sekolah yang
berintikan ajaran agama muncul di sana-sini. Ajaran agam itulah merupakan suatu
kebenaran yang patut dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh
filsafat ini ialah Agustinus dan Thomas Aquino.

11
Ajaran Plato tentang dunia ide dalam filsafat Idealis, yang muncul lebih
dahulu dari perenialis, mirip dengan paham Agustinus. Sebab menurut Plato
kebenaran hanya ada di dunia ide, diluar itu adalah semu saja. Sebab iti Plato sering
dimasukkan sebagai penganut perenialis.

Pengaruh filsafat ini menyebar ke seluruh dunia. Bukan saja di kalangan


Katolik dan Protestan, tetapi juga pada agama-agama lain. Demikianlah kita lihat di
Indonesia banyak sekolah diwarnai keagaam seperti Muhammadiyah dan Nahdatul
Ulama di samping sekolah-sekolah Katolik dan Kristen (Pidarta, 2007:91-92).

Perenialisme merupakan aliran yang menentang ajaran progesivisme.


Perenialisme mengambil jalan regresif karena mempunyai pandangan bahwa tidak
ada jalan kecuali kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah menjadi dasar
tingkah laku dan perubahan zaman kuno dan abad pertengahan. Motif perenialisme
dengan mengambil jalan regresif bukanlah hanya nostalgia atau rindu akan nilai-
nilai lama untuk diingat atau dipuja, melainkan berpendapat bahwa nilai tersebut
mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan abad kedua puluh.
Prinsip-prinsip aksiomatis yang terikat oleh waktu terkandung dalam sejarah.

Berikut ini ada beberapa prinsip pendidikan perenialisme, sebagai berikut:

a. Pada hakekatnya manusia adalah sama dimanapun dan kapanpun ia berada,


yang walau lingkungannya berbeda. Tujuan pendidikan adalah
b. sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebijakan dan kebajikan,
untuk memperbaiki manusia sebagai manusia atau dengan kata lain pemuliaan
manusia. Oleh karena itu maka pendidikan harus sama bagi semua orang
kapanpun dan dimanapun.
c. Bagi manusia, pikiran adalah kemampuan yag paling tinggi. Karena itu
manusia harus menggunakan pikirannya untuk mengembangkan bawaannya
sesuai dengan tujuannya.manusia memiliki kebebasan namun harus belajar
untuk mempertajam pikiran dan dapat mengintrol hawa nafsunya. Kegagalan
yang dialami peserta didik jangan dengan cepat menyalahkan lingkungan yang
kurang menguntungkan atau nuansa psikologis yang kurang menyenangkan,
namun guru hendaknya dapat mengatasinya dengan pendekatan intelektual
yang sama bagi semua peserta didik.

12
d. Fungsi utama pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran
yang pasti dan abadi. Pengetahuan yang penting diberikan kepada peserta didik
adalah mata pelajaran pendidikan umum atau general education, bukan mata
pelajaran yang hanya penting sesaat atau menarik minat pada saat tertentu saja
atau seketika. Mata pelajaran yang esensi adalah pelajaran bahasa, sejarah,
matematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3 R’s; membaca, menulis, dan
menghitung.
e. Pendidikan adalah persiapan untuk hidup bukan peniruan untuk hidup.
f. Peserta didik harus mempelajari karya-karya besar dalam literature yang
menyangkut sejarah, filsafat, seni, kehidupan sosial terutama politik dan
ekonomi (Edward dan Yusnadi, 2015:30).
3. Filsafat Pendidikan Esensialisme

Esensialisme bukan merupakan suatu aliran filsafat tersendiri, yang


mendirikan suatu bangunan filsafat tersendiri, melainkan sutu gerakan dalam
pendidikan yang memprotes pendidikan progresivisme. Penganut faham ini
berpendapat bahwa betul-betul ada yang esensial dari pengalaman peserta didik
yang memiliki nilai esensial dan perlu dipertahankan. Esensi (essence) ialah hakikat
barang sesuatu yang khusus sebagai sifat terdalam dari sesuatu sebagai satuan yang
konseptual dan akali. Esensi adalah apa yang membuat sesuatu menjadi apa adanya.
Esensi mengacu pada aspek-aspek yang lebih permanen dan mantap dari sesuatu
yang berlawanan dengan yang berubah-ubah, parsial, atau fenomenal (Edward dan
Yusnadi, 2015: 30-31).

Filsafat pendidikan esensial bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti
berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah
suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah
kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang menggunakan buku-
buku klasik yang ditulis dengan bahasa Latin yang dikenal dengan nama Great
Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusia-manusia
berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini merupakan suatu
kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain Brameld. Tekanan pendidikanya
adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan
Yunani-Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit itu, diyakini otak

13
peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin
sangat diperhatikan. Pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran
berupa warisan kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga
mempercepat kebiasaan berpikir efektif. Pengajaran terpusat pada guru (Pidarta,
2007: 90-91).

Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai


tinjauan yang berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan
kebudayaan. Jika progressivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas,
serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu,
toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme ini
memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas
dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-
ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil.
Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan
kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan terseleksi. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari
kebudayaan dan filsafat yang korelatif, Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada
pertengahan kedua abad ke sembilan belas (Imam Barnadib, 1987:29).

Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C.


Bagley adalah sebagai berikut :

1. Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar
awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam
diri siswa.
2. Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat
dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus
pada spsies manusia.
3. Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan
pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk
mencapai tujuan tersebut.
4. Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan,
sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah
teori yang lemah.
14
4. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme

Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme merupakan variasi dari


progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umunya harus diperbaiki.
Mereka bercita-cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia secara total.
Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat baru aliran yang ekstrim ini
berupaya merombak tata susunan masyarakat lama dan membangun tata susunan
hidup yang baru sama sekali, melalui lembaga dan protes pendidikan. Proses
belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak berbeda
dengan aliran progresivisme (Pidarta, 2007:93).

Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct  yang berarti menyusun


kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu
aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang  bercorak modern. Aliran ini dipelopori oleh George Count
dan Harold Rugg pada tahun 1930 ( Teguh, 2013:189).

Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme adalah sepaham dengan aliran


perennialisme dalam hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja jalan
yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme, tetapi
sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha membina konsensus yang
paling luas dan  paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam
kehidupan manusia  restore to the original form. Untuk mencapai tujuan itu,
rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan
utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru
seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan,
rekonstruksioonisme ingin “merombak tata susunan lama, dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru” (Zuhairini, 1995:29).

Brameld mengemukakan teori pendidikan rekonstruksionisme terdiri dari


lima tesis, yakni:

a. Pendidikan berlangsung saat ini untuk menciptakan tata sosial baru yang akan
mengisi nilai-nilai dasar budaya masa kini, selaras dengan yang mendasari
kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.

15
b. Demokrasi sejati merupakan dasar dari kehidupan masyarakat baru. Lembaga
utama di masyarakat ditentukan dan dikontrol oleh masyarakat itu sendiri.
Segala harapan dan kepentingan/kebutuhan masyarakat menjadi tanggung
jawab rakyat melalui wakil-wakil yang dipilih.
c. Anak, sekolah dan pendidikan diatur oleh kekuatan dan budaya sosial.
Rekonstruksionisme memandang kehidupan beradab adalah hidup
berkelompok, sehingga sekolah harus berlangsung dalam kelompok yang
berarti bahwa kelompok memegang peran yang sangat penting di sekolah.
Sekolah adalah realisasi dari sosial (social self realization); melalui sekolah
akan dikembangkan bukan hanya sifat sosialnya akan tetapi kemampuan untuk
melibatkan diri dalam perencanaan sosial.
d. Guru memegang peran penting dalam pendidikan di sekolah akan tetapi dalam
pelaksanaan tugasnya harus selalu memperhatikan prosedur demokratis.
e. Tujuan pendidikan adalah untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang
berhubungan dengan krisis budaya, dan untuk menyesuaikan kebutuhan
dengan sains sosial yaitu nilai-nilai yang universal.
f. Penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur
administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih, sebaiknya harus ditinjau
kembali dan disesuaikan dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia
secara rasional dan ilmiah (Edward dan Yusnadi, 2015:32-33).
2. Landasan Sosiologis
Menurut Partanto (1994:461) istilah Sosiologi berakar pada kata sosiologi yang
berarti ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, terutama
didalamnya perubahan-perubahan sosial. Tidak jauh berbeda definisi sosiologi
menurut J.A.A van Doorn danC.J. Lammaers yang dikutip Soerjono (2005:20)
mengatakan bahwa sosiologi adalah Ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan
proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
Nilai sosiologis memiliki gambaran bahwa, manusia yang hidup dalam
pergaulan dan interaksi sosial antar manusia yang bersifat harmonis, damai dan
sejahtera merupakan cita-cita yang harus dipertahankan oleh pendidikan. Dengan
landasan ini, maka visi dan misi pendidikan adalah menumbuhkan dan menggerakkan
semangat peserta didik (murid) untuk melakukan interaksi dan kerjasama dengan yang
lain dengan baik dan benar (Yasin, 2008:34).

16
3. Landasan Psikologis
Djaali (2009:21) mengatakan Perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan dari
pertumbuhannya. Pertumbuhan adalah sesuatu yang menyangkut materi jasmaniah
yang dapat menumbuhkan fungsi dan bahkan perubahan fungsi pada materi jasmaniah.
Perubahan jasmaniah ini dapat menghasilkan kematangan atas fungsinya. Kematangan
fungsi jasmaniah sangat mempengaruhi pada perubahan pada fungsi psikologis. Oleh
karena itu perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhannya.
Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi/materi
pembelajaran tematik yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan
kedalamannya sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Sementara Psikologi
belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana isi/materi pembelajaran tematik
tersebut disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya.
Dalam hal ini Psikologi sebagai landasan pengembagan metode pembelajaran dapat
menjadi tolak ukur penggunaan metode sehingga proses pembelajaran dengan metode
tersebut dapat mengembangkan dengan tepat aspek kognitif, psikomotirik, dan afektif
peserta didik sesuai dengan masa pekembangan psikologisnya.

A. Behaviorisme

Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang


individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek
mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat,
minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata
melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu.
Menurut (Kartono:2000) Dalam Kamus Psikologi disebutkan juga beberapa
pengertian Behaviorisme:
1. Pandangan beberapa ahli psikologi pada awal abad 20 yang menentang metode
introspeksi; dan menganjurkan agar psikologi dibatasi pada penelaahan
perilaku yang terlihat (observable behavior) untuk dijadikan dasar
pertimbangan data ilmiah.

17
2. Suatu aliran (dan sistem) psikologi yang dikembangkan oleh John B. Watson;
suatu pandangan umum yang menekankan peranan perilaku yang bias diamati
(terbuka, overt behavior) serta memperkecil arti dari proses-proses mental.
3. Pandangan yang menyatakan bahwa perilaku manusia dan hewan bias
dimengerti, bias diramalkan dan dikontrol tanpa bantuan keterangan-
keterangan yang menyangkut keadaan mentalnya. Suatu aliran psikologi, yang
menekankan agar psikologi dibatasi pada studi mengenai perilaku saja.
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh
John B. Watson pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa perilaku harus
merupakan unsure subyek tunggal psokologi. Behaviorisme merupakan aliran
revolusioner, kuat dan berpengaruh, serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam.

4. Landasan Normative
Al-quran sebagai acuan dasar dan sumber hukum islam yang primer menegaskan
perlunya manusia mencari jalan (metode) untuk mendekatkan diri kepadanya dan
bersungguh-sungguh dijalannya. Seperti yang di firmankan Allah SWT
       
     
35. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah:35).
Dalam hal ini pendidikan sebagai sarana untuk mengenal dan mendekatkan diri
kepada Allah perlu juga menggunakan pendekatan dan metode pembelajaran.
Pengunakan metode tidak berarti tepat untuk semua aktifitas pendidikan dalam hal ini
pendidikan islam, satu metode memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing,
karenanya perlunya diadakan pengembangan metode untuk menutupi kelemahan satu
metode yang sudah ada.
Landasan nilai-nilai agama ini didasarkan pada nilai-nilai Islam yang terkandung
dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnh sebagai pijakan dalam melakukan segala aktivitas,
terutama dalam hal pendidikan. Di dalam kedua sumber tersebut banyak dijelaskan
berbagai aturan-aturan, baik dalam hal muamalah, syariah dan aqidah. Dengan muatan

18
Al-Qur’an dan Al-Hadis yang begitu komplek-universal mencakup setiap lini
kehidupan manusia.
Kaitannya dengan ini, Yasin (2008:34) mengatakan bahwa Landasan pendidikan Islam
pada hakikatnya sama dengan asas pendidikan Islam. Yakni berdasarkan al-Quran dan
hadits Nabi. Artinya semua kegiatan pendidikan harus mengacu dan bertitik tolak dari
al-Quran sebagai firman Allah swt dn mencontoh sunnah Rasulullah saw. Selain itu
nilai-nilai agama tidak berhenti sampai disitu, karena al-Quran yang memiliki
sifat “Dzanniyuddilalah” atau multi tafsir, sehingga menjadi ranah Ijtihad para
Ulama.  Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber nilai yang menjadi dasar pendidikan
Islam adalah al-Quran dan Sunnah Nabi yang dapat dikembangkan dengan Ijtihad, 
Al-Mashlahh Al-Mursalah, Istihsan dan Qiyas. 
Nilai yang mengandung pengembangan pendidikan ini dapat dilihat dalam al-Quran 
- al-Mukminun {23} 12-16,
          
         
       
         
        
 
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah.
13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim).
14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami
jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang
paling baik.
15. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.
16. Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari
kiamat.

- al-Hajj {22} 5

19
          
           
          
         
         
         
        
5. Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka
(ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian
dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging
yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada
kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu
yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian
(dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara
kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan
umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang
dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila
telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan
menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.
- Shad {38} 72[27].
         
72. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku;
Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".
Menurut Hamruri (2008:6) Dalam ayat-ayat tersebut terlihat jelas bahwa manusia
(peserta didik) tidak hanya terdiri dari fisik (Jasmani), akan tetapi juga psikis
(Rohani), yang keduanya berpotensi dan dapat dikembangkan.
Dari uraian diatas, maka nilai-nilai Agama sebagai landasan pendidikan dapat
dipetakan menjadi dua :
a.    Al-Quran dan al-Hadits  sebagai landasan Ideal-Operasional Pendidikan Islam,
artinya kegiatan pendidikan Islam itu harus diarahkan untuk meraih cita-cita yang
setinggi-tingginya. Sebagaimana yang tergambar dalam al-Quran dan
diaktualisasikan oleh Rasulullah saw.

20
b.   Hasil Ijtihad Ulama sebagai landasan pengembangan Pendidikan Islam, artinya
hasil pemikiran para ulama dijadikan sebgai rujukan atau dasar untuk
melaksanakan kegiatan pendidikan.
Metodologi Pendidikan Islam yang dinyatakan dalam al-Quran menggunakan
sistem multi approuch  yang meliputi :
a. Pendidikan religius, bahwa manusia diciptakan memiliki potensi
dasar (Fitrah) atau bakat agama.
b. Pendekatan filosofis, bahwa manusia adalah makhluk rasional atau berakal pikiran
untuk mengembangkan diri dan kehidupannya.
c. Pendekatan rasio-kultural, bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat
dan berkebudayaan sehingga latar-belakangnya mempengaruhi proses pendidikan
d. Pendekatan scientific, bahwa manusia memiliki kemampuan kognitif, dan afektif
yang harus ditumbuh kembangkan (Arief, 2002: 41).
Kaitannya dengan pengembangan metodologi pembelajaran PAI, Armai Arif
(2002:41) juga mengetengahkan beberapa pmetodologi yang terdapat di dalam Al-
Qur’an yaitu: a) pendidikan religius, bahwa manusia diciptakan memiliki potensi dasar
(fitrah) atau bakat agama; b) pendekatan filosofis, bahwa manusia adalah mahluk
rasional atau berakal pikiran untuk mengembangkan diri dan kehidupannya; c)
pendekatan rasio-kultural, bahwa manusia adalah mahluk yang bermasyarakat dan
berkebudayaan sehingga latar belakangnya mempengaruhi proses pendidikan; d)
pendekatan scientific, bahwa manusia memiliki kemampuan kognitif dan afektif yang
harus ditumbuhkembangkan.
5. Landasan Pedagogis
Landasan pedagogis merupakan landasan yang mengacu pada sikap profesionalisme
guru dalam mengajar. Seorang guru hendaknya harus melakukan hal-hal yang bersifat
penelitian, penyelidikan dan menemukan solusi-solusi bagi permasalahan pendidikan,
agar guru tidak memaksakan kehendak dalam mengajar. Atau dengan kata lain guru
mengajar hanya berdasarkan pada kebiasaan-kebiasaan dan bukan didasarkan pada
hasil penelitian dan kajian ilmiah-rasional.
Landasan pedagogis merupakan suatu landasan yang digunakan oleh pendidik
untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan baik dan mencapaI
tujuannya, yaitu membimbing peserta didik ke arah tujuan tertentu, yaitu agar
peserta didik dapat menyelesaikan masalah dengan mandiri. Landasan pedagogis ini

21
sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembelajaran, karena dapat dijadikan sebagai
dasar oleh pendidik.
Menurut Ramayulis (2010: 56) dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut
dengan murabbi, muallim, dan muaddib. Kata Murabbi berasal dari kata rabaa,
yurabbi. Kata muallimisim fail dari allama, yuallimu sebagaimana ditemukan dalam
Al-Qur'an Q.S. Al-Baqarah: 31, sedangkan kata muaddib, berasal darai addaba,
yuaddibu seperti sabda Rasul: "Allah mendidikku, maka Ia memberikan kepadaku
sebaik-baik pendidikan".
Pendidikan Islam menggunakan tujuan sebagai dasar untuk menentukan pengertian
pendidik. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan kewajiban agama, dan
kewajiban hanya dipikulkan kepada orang yang dewasa. Kewajiban itu pertama-tama
bersifat personal. Dalam arti bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan
dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial dalam arti bahwa setiap orang bertanggung
jawab atas pendidikan orang lain.
Di Indonesia pendidik disebut juga guru yaitu "orang yang digugu dan ditiru".
Menurut Hadari Nawawi guru adalah orang-orang yang kerjanya mengajar atau
memberikan pelajaran di sekolah atau di kelas. Lebih khususnya diartikan orang yang
bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran, yang ikut bertanggung jawab dalam
membentuk anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.
Dari pemaparan tersebut dapat diartikan bahwa guru pada hakikatnya mengamban
misi rahmat li al-alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan
patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa
tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa guru yang ideal haruslah memiliki
pengetahuan yang luas, serta mempunyai budi pekerti yang layak disebut suri
tauladan. Oleh karena itu, guru agama haruslah memiliki syarat-syarat tertentu, antara
lain kualifikasi akademik dan kompetensi. Kualifikasi akademik adalah adalah ijazah
jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan
jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati,
dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugasnya.(Soebahar, 2009: 182)

22
Kompetensi mempunyai arti, kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan atau
memutuskan sesuatu, maksudnya bahwa seseorang yang memiliki kompetensi berarti
memiliki kewenangan dan tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya, guru
yang berkompetensi harus tetap menjaga eksistensinya dan menjaga wibawanya
dihadapan anak didik.
Menurut McAshan, Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan
kemapuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya
sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik
dengan sebaik-baiknya.
Sedangkan menurut Yasin (2008: 72) Kompetensi adalah “serangkaian tindakan
dengan peniuh rasa tanggung jawab yang dimiliki oleh seseorang sebagai persyaratan
untuk dapat dikatakan berhasil dalam melaksanakan tugasnya”.
Dalam hal ini setidaknya guru agama haruslah memiliki kompetensi pedagogik yang
menjadi landasan bagi terselenggaranya pembelajaran yang efektif. Kompetensi
pedagogik adalah kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik
yang sekurang-kurangnya meliputi: pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
pemahaman terhadap peserta didik; pengembangan kurikulum atau silabus;
perancangan pembelajaran; pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
pemanfaatan teknologi pembelajaran; evaluasi hasil belajar; dan pengembangan
peserta didik untuk mengaktulisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.(Soebahar,
2009: 183)
Kompetensi pedagogik harus dimiliki oleh setiap guru, termasuk guru agama Islam.
Hendaknya guru agama islam itu bertaqwa kepada Allah, berilmu dan berakhlak yang
baik. Karena menurut Prof. DR. Zakiah bahwa segala yang ada pada dirinya
merupakan unsur pembinaan anak didik.
Disamping guru mampu dan terampil dalam mengajarkan ilmu pengetahuan sekaligus
mendidik siswa-siswinya seperti anaknya sendiri, diharapkan guru juga cakap dalam
menyampaikan pesan-pesan keislaman. Dengan adanya syarat itu, guru dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik, karena ia mempunyai tanggung jawab sebagai
pendidik dan Pembina.

23
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang landasan metodologi diatas, maka dapat disimpulkan beberapa
point penting, yaitu:
1. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang memiliki dua unsur, jasmani dan
rohani, yang terus berkembang bersamaan dengan pengetahuannya.
2. Keterikatan manusia dengan proses belajar, diperlukan adanya desing khusus agar
proses belajar tetap terarah menuju tujuan pendidikan (khususnya Pendidikan Agama
Islam)

24
3. Guna mengembangkan design tersebut, dibutuhkan sebuah metodologi yang
mencakup berbagai metode, proses, dan lain-lain.
4. Landasan pengembangan tersebut dibagi menjadi 5 landasan, mulai dari landasan
filosofis, Psikologis, Sosiologis, Normative Religious dan pedagogis.

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin. (2003) . Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada


Muzayyin, A. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara
Arief, A. (2002) .Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Press)
Pius A Partanto, P.A, dkk. (1994). Kamus Ilmiah Poluer. Surabaya: Arkola
Muhaimin, et. all. (2004). Paradigma Pendidikan Islam;  Upaya mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

25
Asrori, M. (2007). Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana prima
Tafsir, A. (2005). Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Ofset
Yasin, A.F. (2008). Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Malang Press
Soekanto, S. (2005). Sosiologi; Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Djaali. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Hamruni. (2008). Konsep Edutaiment dalam Pendidikan Islam. Yogyakarta: Bidang
Akademik UIN Sunan Kalijaga
Iqbal, A, M. (2008). Konsep Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan. Madiun : Jaya Star
Nine
Syah, M. (2012). Psikologi Belajar. Jakarta : Raja Grafindo Persana
Assegaf, A, R. (2011). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ramayulis. (2010). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Soebahar, Abd. Halim, (2009). Matriks Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Marwa

26

Anda mungkin juga menyukai