Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

HAKIKAT FITRAH MANUSIA DAN POTENSI ROHANI


MANUSIA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Filsafat Pendidikan Islam

Yang diampu oleh dosen Prof. Dr. H. Akhyak, M.Ag.

Disusun Oleh :

1. Ahmad Irzaquz Zamzami (126211211003)


2. Amalia Intan Safira (126211211004)

PROGRAM STUDI TADRIS FISIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
AGUSTUS 2022
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah- Nya, sehingga penyusunan makalah dengan judul “HAKIKAT FITRAH
MANUSIA DAN POTENSI ROHANI MANUSIA ” dimana tugas ini merupakan
prasyarat dari aspek penilaian mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam dapat
terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sayyid

Ali Rahmatullah Tulungagung.

2. Muhammad Luqman Hakim Abbas, S.Si, M.Pd. Selaku Ketua Progam

Studi Tadris Fisika.

3. Prof. Dr. H. Akhyak, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat

Pendidikan Islam yang selalu membimbing kami sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini.

4. Seluruh sivitas akademik yang ada di Universitas Islam Negeri Sayyid Ali

Rahmatullah Tulungagung.

5. Semua teman-teman yang telah memberi bantuan baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Disadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari


sempurna. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak demi penyempurnaan dimasa yang akan datang.

Tulungagung, 30 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

PRAKATA.............................................................................................................. i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PEMBAHASAN

A. Hakikat Fitrah Manusia ........................................................................... 1

1. Pengertian Fitrah Manusia .................................................................... 2

2. Macam-Macam Fitrah........................................................................... 4

3. Urgensi Fitrah bagi Manusia................................................................. 5

B. Hakekat Potensi Rohani Manusia ............................................................7

1. Dimensi Keindividualan ......................................................................10

2. Dimensi Kesosialan .............................................................................10

3. Dimensi Kesusilaan .............................................................................11

4. Dimensi Keberagamaan .......................................................................11

BAB II PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................. 16

B. Saran ........................................................................................................ 16

DAFTAR RUJUKAN .......................................................................................... iii

ii
BAB I

PEMBAHASAN

A. Hakikat Fitrah Manusia

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna. Selain

menyembah Allah SWT, tugas manusia adalah mengelola alam beserta isinya. Dalam

menjalankan peran dan fungsinya itu, manusia diberikan bekal berupa potensi atau fitrah.

Oleh karena itu manusia harus mampu menggunakan potensi itu agar pengelolaan bumi,

alam, dan kekayaan yang ada di dalamnya, dapat berjalan sesuai dengan irodat Allah

SWT.

Bekal potensi yang dimiliki oleh manusia berupa kelengkapan jasmaniyah

(fisiologis) dan bekal ruhaniah (psikologis). Secara fisik manusia adalah makhluk Allah

yang diciptakan dengan bentuk sebaik-baiknya. Firman Allah dalam Surrat At-Tiin ayat 4

yang artinya: “Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.”

Jika diperbandingkan dengan makhluk-makhluk kasat mata lainnya, seperti hewan dan

tumbuh-tumbuhan, manusia memiliki bentuk yang paling baik. Keindahan itu masih

dilengkapi dengan akal dan budi yang sengaja diberikan oleh Allah agar manusia bisa

menjadi khalifah di muka bumi.

Bekal akal dan budi yang dimiliki manusia, merupakan potensi yang paling

penting dalam kehidupan manusia. Potensi itu juga yang dapat menentukan level kualitas

dan kemuliaan manusia. Secara fisik, bisa jadi tidak semua manusia memiliki bentuk yang

sempurna. Tetapi, akal dan budi yang dimiliki oleh manusia dapat melengkapi sehingga ia

bisa tetap menjalankan peran dan fungsinya sebagai khalifah. Sebaliknya bentuk fisik

yang sempurna tidak menjamin seseorang menjadi manusia yang mulia. Apalagi jika akal

dan budinya tidak baik atau tidak selaras dengan tujuan penciptaannya. Oleh karena itu,

1
keterpaduan dalam menggunakan dua macam potensi itu sangat diperlukan, agar manusia

benar-benar menjadi makhluk Allah SWT yang mulia dihadapan-Nya.

1. Pengertian Fitrah Manusia

Fitrah merupakan asal kata dari fathara yang mempunyai makna asal

‘menjadikan’. Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr yang berarti “belahan atau

pecahan”. Fitrah mengandung arti “yang mula-mula diciptakan Allah”, “keadaan yang

mula-mula”, “yang asal”, atau “yang awal” Sedangkan dalam Bahasa Arab fitrah

dengan segala derivasinya mempunyai arti belahan, muncul, kejadian, dan

penciptaan.1

Fitrah secara bahasa juga mempunyai arti belahan, muncul, kejadian, dan

penciptaan. Lebih lanjut Achmad Mubarok menjelaskan bahwa jika fitrah

dihubungkan dengan manusia, maka yang dimaksud dengan fitrah manusia adalah apa

yang menjadi kejadian atau bawaannya semenjak lahir, dalam bahasa Melayu sering

disebut semula jadi (kejadian semula). Selain itu, fitrah manusia dapat dicari rumusan

karakteristiknya melalui penelitian empirik, tetapi juga dapat dipahami melalui teks

al-Qur’an. Fitrah juga mengandung arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah berasal dari

kata fathara yang berarti “menjadikan”. Makna fitrah secara etimologi juga

mengandung arti “kejadian”, oleh karena itu makna fitrah itu berasal dari kata kerja

fathara yang berarti “menjadikan”2

Adapun menurut M. Quraish Shihab dari segi bahasa kata fitrah terambil dari

kata fatrh yang berarti belahan, dan dari makna ini lahirlah makna-makna yang

lainnya seperti, penciptaan atau kejadian. Selanjutnya dipahami juga bahwa fatrh

adalah bagian dari khalq (penciptaan) Allah swt. Sedangkan mengenai hal apakah

1
Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Sisi Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta:
Ali Husna Zikra. 1995), hlm.44
2
Achmad Mubarok, Sunatullah dalam Jiwa Manusia; IIIT Indonesia, Jakarta, Sebuah Pendekatan Psikologi
Islam, 2003, hlm. 24

2
fitrah yang Allah swt. Berikan kepada manusia tersebut terbatas hanya kepada fitrah

agama saja, Muhammad bin Askur yang dikutip M. Quraish Shihab mengatakan

bahwa: “fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah swt. pada setiap

makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah

swt. pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (rohaninya)3

Dalam Al-Qur’an, dalam surat Ar-Rum ayat 30 dijelaskan, yaitu :

‫ا َ كد نُِا‬ ‫ا ّٰللاا كۗذ ند يكا ا لد ن يِّْنُ ن‬


‫ا لدَي نْي ُۙ ي‬ ‫ق هن‬ ‫علي نْ يه ۗا ي‬
‫ا َلا ت ي نب نِّ نْليا ندخ نيل ن‬ ‫اسا ي‬ ‫ا ّٰللانا لدتن نيا في ي‬
‫ط يرا لدن ي‬ ‫ا َجن يهكي ا ندل ن يِّْ ننُا يحنن نْفً ۗاا فن ن‬
‫ط يرتي ه‬ ‫فيايقن ن ُۙ ي‬

‫ا َلا يْ نعليم نَُيا‬


‫اس ي‬‫ل ي نِث ي يرا لدن ن‬

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya

(sesuai dengan kecenderungan asli) itulah fitrah Allah yang Allah menciptakan

manusia diatas fitrah itu tak ada perubahan atas fitrah ciptaannya. Itulah agama yang

lurus namun kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.”

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa fitrah adalah suatu perangkat yang

diberikan oleh Allah yaitu kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkarya

yang disebut dengan potensialitas dan manusia diciptakan Allah dalam struktur yang

paling tinggi, yaitu memiliki struktur jasmaniah dan rohaniah yang membedakannya

dengan makhluk lain.

Fitrah juga dapat diartikan sebagai suatu dorongan keingintahuan manusia

kepada kebenaran yang dibawanya semenjak lahir. Motivasi atau dorongan

keingintahuan manusia terhadap kebenaran ini, Allah swt. anugerahkan kepada setiap

individu manusia, sedangkan digunakan atau tidaknya fitrah ini oleh manusia

tergantung pada manusianya itu sendiri. Dengan demikian fitrah pada dasarnya baik

dan sempurna, fitrah juga memiliki probabilitas untuk menjadi baik dan buruk. Oleh

3
M. Quraih Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1995, hlm. 283

3
karena itu, fitrah juga dapat diartikan sebagai dasar-dasar kemampuan manusia untuk

menerima pendidikan dan pengajaran.4

2. Macam-Macam Fitrah

Bahwa fitrah mengacu kepada potensi yang dimiliki manusia. Potensi itu diantaranya

yaitu:

a) Potensi beragama.

Perasaan keagamaan adalah naluri yang dibawa sejak lahir bersama ketika

manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan kepada zat tertinggi yang

Maha Unggul di luar dirinya dan dan diluar dari alam benda yang dihayati

olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh apabila manusia dihadapkan pada

persoalan persoalan yang melingkupinya. Akal akan menyadari kekerdilannya dan

mengakui akan kudratnya yang terbatas.5

Akal akan insaf bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam

jagat raya ini, yaitu Allah. Islam bertujuan merealisasikn penghambaan sang

hamba kepada Tuhannya saja. Memberantas perhambaan sesame hamba Tuhan.

Insan dibawa menyembah kehadirat Allah penciptanya dengan tulus ikhlas tersisih

dari syirik atau sebarang penyekutuannya.

b) Kecenderungan moral.

Kecenderungan moral erat kaitannya dengan potensi beragama. Ia mampu untuk

membedakan yang baik dan buruk. Atau yang memiliki hati yang dapat

mengarahkan kehendak dan akal. Apabila dipandang dari pengertian fitrah seperti

di atas, maka kecenderungan moral itu bisa mengarah kepada dua hal sebagaimana

terdapat dalam surat Asy-Syam ayat 7-8, yang artinya :

4
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta, Bumi Aksara, 1991, hlm. 65
5
Omar M. Al Toumy al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Terjemahan), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
hlm. 122

4
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu (jalan) dan ketakwaannya.”

c) Manusia bersifat luwes, lentur (fleksible).

Manusia mampu dibentuk dan diubah. Ia mampu menguasai ilmu pengetahuan,

menghayati adat adat, nilai, tendeni atau aliran baru. Atau meninggalkan adat,

nilai dan aliran lama, dengan cara interaksi social baik dengan lingkungan yang

bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman tentang bagaimana sifat manusia

yang mudah lentur, terdapat dalam surat Al Insan ayat 3; “Sesungguhnya Kami

telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.

d) Kecenderungan bermasyarakat.

Manusia juga memiliki kecendrungan bersosial dan bermasyarakat.

3. Urgensi Fitrah bagi Manusia

Urgensi fitrah bagi manusia tidak akan pernah pernah bisa dilepaskan dari peranan

dan fungsi manusia diciptakan Allah swt. dan dalam hal ini, penciptaan manusia

memiliki tujuan yang sangat jelas sebagaimana dapat dilihat dari pernyataan Allah

swt. kepada para Malaikat yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 30, ayat ini pada

dasarnya memberikan petunjuk kepada manusia bahwa secara ontologis kodrat

manusia pada dasarnya adalah makhluk, artinya diciptakan, karena manusia sebagai

ciptaan maka secara logika Penciptanya pasti memiliki rencana untuk tujuan dan

fungsi tertentu. Sedangkan manusia diciptakan oleh Allah swt. sehingga manusia tidak

dapat menentukan rencana, tujuan, dan fungsinya, maka secara langsung maupun

tidak hanya Allah swt. sebagai khaliq-nya manusia yang memiliki kompetensi untuk

menentukan tujuan, fungsi, dan peranan manusia di muka bumi.6

6
Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta, LESFI, 2002, hlm. 229

5
Dalam pandangan Islam diciptakannya manusia oleh Allah swt. memiliki

tujuan-tujuan sebagai berikut:

a. Menjadi hamba Allah swt. (‘abd Allah) yang tugasnya mengabdi kepada Allah swt.

b. Menjadi khalifah Allah fi al-ard (wakil Tuhan) yang tugasnya mengolah alam dan

memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk dalam rangka ubudiyah kepada-

Nya.7Agar tujuan tersebut bisa tercapai secara maksimal oleh manusia, maka Allah

swt.memberikan anugerah kepada manusia berupa berbagai potensi yang iharus

dikembangkan dan dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.

Urgensi fitrah manusia pun dapat dilihat dari sisi kemanusiaannya manusia,

yang disamping memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya

juga memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat menjerumuskannya ke posisi yang

lebih rendah dari binatang sekalipun. Akan tetapi di sisi lain, kelemahan dan

kelebihan yang dimiliki manusiamerupakan dua kombinasi yang menjadikan manusia

sebagai satu-satunya makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna.

Pemberian fitrah (potensi) bagi manusia sama pentingnya dengan penciptaan

manusia itu sendiri. Penciptaan manusia memiliki tujuan, peran, dan fungsi seperti

yang telah diutrakan di atas, kesemua itu tidak akan pernah tercapai tanpa adanya

bekal potensi yang memadai untuk melaksanakan semuanya. Kedudukan fitrah

(potensi) baik itu potensi lahir maupun batin, jasmani maupun rohani, bagi manusia

adalah suatu keniscayaan dalam usahanya memenuhi tujuan, peran, dan fungsinya

sebagai khalifah di muka bumi sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada khaliq-nya

Menurut Ramayulis8 fitrah (potensi) manusia perlu dikembangkan dalam

rangka memperkuat hubungan manusia khaliknya karakter manusia yang terdiri dari

badan (unsur jasmaniah) dan roh (unsur rohaniah), dengan daya aql dan qalb-nya

7
Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2004, hlm. 145
8
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1998, hlm. 112

6
dalam proses pendidikan sehingga balancing (keseimbangan) antara pendidikan

agama dan moral terus tetap terjaga. Sedangkan untuk mengetahui tentang konsep

manusia, watak dasar, serta karakteristiknya, Ramayulis berpendapat bahwa hal

tersebut tidak dapat dilakukan dengan keilmuan atau teori-teori empirik, pendekatan

rasional- falsafi. Hal ini dikarenakan pendektan semacam itu tidak akan dapat

menyentuh esensi dan hakikat manusia yang sesungguhnya, akan tetapi bisa dilakukan

dengan pendekatan qur’ani (bimbingan wahyu). Selain itu, pendekatan yang sifatnya

empirik dan rasional falsafi hanya diperlukan sebagai sarana untuk memahami wahyu

yang kebenarannya bersifat absolut.9 Sedangkan apabila pengembangan fitrah

(potensi) manusia tidak dilakukan secara menyeluruh (komprehensif) dan berimbang,

maka yang terjadi adalah ketimpangan yang bisa menyebabkan kehancuran manusia

itu sendiri, baik secara fisik maupun psikis.

B. Hakekat Potensi Rohani Manusia

Pengetahuan tentang hakikat manusia merupakan bagian esensial, karena dengan

pengetahuan tersebut dapat diketahui tentang hakikat manusia di alam semesta ini.

Pengetahuan ini sangat penting karena dalam proses pendidikan manusia bukan saja

sebagai objek tetapi juga sebagai subjek, sehingga pendekatan yang harus dilakukan dan

aspek yang diperlukan dapat dirancang secara matang.

Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang lebih mulia dan lebih

tinggi derajatnya dari makhluk Tuhan lainnya. Ia memiliki ciri khas yang tidak dimiliki

oleh makhluk lain.

9
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1998, hlm. 205

7
Al-Thoumy al-Syaibany (1979: 103-106), meletakkan ciri khas manusia sesuai

dengan ruh Islam melalui prinsip-prinsip tertentu yang disebutnya dengan “prinsip-prinsip

yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap manusia”. Ia secara komprehensif

merincikan pandangan Islam tentang manusia ke dalam delapan prinsip. Prinsip

pertamamenyatakan bahwa manusia adalah makhluk termulia dari makhluk dan wujud

lain di alam jagat raya ini; kedua kepercayaan akan kemuliaan manusia sebagai khalifah

di bumi ini; ketiga, kepercayaan bahwa manusia sebagai “hewan yang berkata”; keempat,

kepercayaan bahwa manusia memiliki tiga dimensi, yaitu badan, akal, dan ruh; kelima,

kepercayaan bahwa pertumbuhan manusia dipengaruhi oleh faktor warisan (endogen) dan

faktor lingkungan (eksogen); keenam, kepercayaan bahwa manusia bermotif,

berkecendrungan, memiliki kebutuhan baik yang diwarisi atau yang diperolehnya dalam

bersosialisasi, dengan elemen lingkungan; ketujuh, kepercayaan bahwa manusia memiliki

perbedaan sifat di antara yang satu dengan lainnya; terakhir, kepercayaan bahwa manusia

memiliki keluwesan sifat dan selalu berubah (Fleksible).

Manusia sebagai makhluk psikis memiliki potensi rohani seperti fitrah (Q.S. 30:

30), qalb (Q.S. 22: 46), ‘aql (Q.S. 3: 190-191). Potensi tersebut menjadikan manusia

sebagai makhluk yang tertinggi martabatnya (Q.S. 17: 70) yang berbeda dengan makhluk-

makhluk lainnya, dalam arti bila potensi psikis tersebut tidak digunakan, ia tak ubahnya

seperti binatang, bahkan lebih hina (Q.S. 7: 179 dan Q.S. 25: 44), sedangkan bentuk

insaniahnya (humanisme) terletak pada iman dan amalnya (Q.S. 95: 6).

Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial

terhadap alam semester. Klasifikasi ketiga ini sebab manusia berfungsi tidak hanya

sebagai khalifatullah (Q.S. 2: 30) dan Q.S. 10: 14) untuk mewujudkan kemakmuran (Q.S.

11: 61), kebahagiaan (Q.S. 33: 71 dan Q.S. 13: 29) dalam kehidupan dunia akhirat.

8
Manusia adalah makhluk alternatif dan makhluk eksploratif. Sebagai makhluk

alternatif, manusia memiliki kemampuan memilih, dan mempunyai kemampuan untuk

menentukan jalan hidupnya. Namun kemampuan itu tergantung pada kondisi seperti usia,

pengalaman, keturunan, pendidikan, dan lain-lainnya. Sedangkan sebagai makhluk

eksploratif, manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan (Jalaluddin dan Usman

Said, 1994: 109-110).

Dalam Alquran, istilah ruh sering disebutkan, tetapi mempunyai maknamakna

yang berbeda. Adakalanya ruh sebagai pemberian hidup dari Allah kepada manusia

adakalanya penciptaan terhadap nabi Isa, ruh menun,jukkan Al-quran, juga menunjukkan

wahyu dan malaikat yang membawanya. Semua pengertian tersebut tidak satupun

menjukkan badan atau badan ruh, sehingga menunjukkan bahwa ruh berbeda dengan

Nafs.4 Setinggi apa pun ilmu seseorang, ia tidak mungkin menernukan hakikatruh, karena

ruh bagian dari misteri Ilahi dan manusia tidak mempunyai pengetahuan penuh untuk

memahaminya.

Hakikat qalb (Hati).Al-quran termasuk rahasia manusia, yang merupakan

anugerah Allah SWT yang paling mulia.Hal ini karena dengan qalbini, manusia mampu

beraktivitas sesuai dengan hal-hal yang dititahkan oleh Allah.qalb berperan sebagai

sentral kebaikan dan kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya cenderung pada

kebaikan. Sentral aktivitas manusia bukan ditentukan oleh "badan yang sehat"

sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan para ahli biologi.10

Dalam usaha manusia menyiapkan dirinya dan mengembangkan potensinya agar

sama pada kedudukan sebagai "pembawa amanah" yang berhasil, tidak dapat bekerja

sendiri tanpa memanfaatkan bimbingan Allah, mencari hidayahnya, menggapai

rahmatnya memegang teguh fitrah yang diberikannya, baik fitrah "Mukholaqah" (fitrah

10
Abdul Aziz, "Hakikat Manusia dan Potensi..." (Tulungagung, Ta'alum: 2013), h.21

9
yang dibekalkan pada manusia sejak diciptakan), maupun fitrah "Munazzalah" (doktrin

kehidupan yang diberikan kepada Allah sebagai acuan bagi manusia dalam menyusuri

perjalanan hidupnya yang penuh tantangan).11

1. Dimensi Keindividualan

Setiap anak manusia yang dilahirkan ke dunia ini sebenarnya telah memiliki potensi.

Potensi yang dimaksud menurut penulis seperti yang dikemukakan oleh Gardner. Ia

menyatakan bahwa manusia memiliki tujuh kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik,

kecerdasan logika matematika, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestik tubuh, kecerdasan

musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intra personal.12

Kecerdasan-kecerdasan ini yang selanjutnya kita sebut sebagai potensi tentu saja tidak

sama dimiliki oleh setiap individu. Ada individu yang memiliki kelebihan dalam hal

kebahasaan, tetapi kurang pintar dalam hal musik, ada individu yang lebih pintar matematika,

tetapi tidak pintar tentang kebahasaan. Oleh karena itu, setiap individu tidak boleh

diperlakukan sama. Mereka ingin terlihat berbeda dengan yang lain atau menjadi seperti

dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi ini. Penulis sangat setuju

dengan dimensi keindividualan seperti yang telah diungkapkan di atas. Memang benar bahwa

tidak ada manusia yang identik dengan manusia lain di atas permukaan bumi ini. Bahkan,

anak yang terlahir kembar pun pada hakikatnya tidak memiliki karakter yang persis sama.

Dengan kata lain, masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya sendiri

2. Dimensi Kesosialan

Setiap anak yang dilahirkan memiliki potensi sosialitas. Artinya, mereka dikaruniai

benih kemungkinan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul ini, setiap orang

ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga penjara

11
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2004),
h.84
12
Herman Firdaus, Dimensi Hakikat Manusia Serta Potensi, Keunikan dan Dinamikannya, (Campbel, 2006),
h.2-3

10
merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh setiap manusia karena dengan

diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul itu secara

mutlak.Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk

bergaul. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan

memberi, seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaanya

3. Dimensi Kesusilaan

Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan

tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tidak cukup hanya dengan berbuat yang

pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu terkandung kejahatan terselubung. Oleh

karena itu, pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan

yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan istilah yang mempunyai konotasi berbeda

yaitu etiket (persoalan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan

tidak beretika dan tidak bermoral, sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket.

Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket

hanya mengakibatkan ketidaksenangan orang lain.

4. Dimensi Keberagamaan

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk beragama. Beragama merupakan kebutuhan

manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat

bertopang. Manusia memerlukan agama untuk keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa

agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses

pendidikan manusia.

Manusia diciptakan tuhan terdiri dari unsur roh dan tubuh dengan cara yang rumit dan

penuh misteri, dan tak terduga.perangkat pembentukan zat insaniyah dan menunjuk pada

potensinya. Al-Qur’an menggunakan beberapa terma diantaranya; insan, basyar, al-jism, ‘aql,

11
qalb, nafs, dan fitrah. Semua terma tersebut membentuk manusia dan satu sama lain tidak

dapat dipisahkan.13

1. Terma Insan

Manusia jika merujuk kepada kata insan, nasiya mengacu kepada manusia dari

aspek mental-spiritualnya. Kata insan dari asal kata nasiya yang artinya lupa.

Sedangkan insan dilihat dari asalnya al-uns dapat berarti jinak. Insan dari asal kata

nasiya yang berarti lupa atau salah. Manusia memiliki sifat salah dan lupa. Manusia

lupa terhadap suatu hal disebabkan ia kehilangan kesadaran terhadap sesuatu.

Insan dilihat dari asalnya al-uns dapat berarti jinak. Manusia pada dasarnya

adalah makhluk yang jinak, yang berbudaya, dan dapat mendidik dan dididik serta

dapat beradaptasi dengan lingkungan, baik alam maupun sosial.

2. Terma Basyar

Manusia jika merujuk kepada kata albasyar mengacu manusia dari aspek

lahiriahnya. Kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk, baik laki-laki

maupun perempuan, baik secara individu maupun kolektif. Dengan demikian jika

manusia mengacu pada aspek lahiriah yang dapat tumbuh secara alami sesuai

dengan makanan dan minuman yang dikonsumsinya.

3. Terma Jism

Manusia jika merujuk jism (tubuh) menunjukkan bahwa jasad manusia

termasuk tabiat manusia dan harus diperhatikan pula, bahwa kekuatan fisik dapat

membantu seseorang dalam menjalankan tugasnya. Namun sebaliknya anggota

tubuh juga dapat menjerumuskan seseorang ke dalam maksiat. Keperkasaan tubuh

dan kesempurnaan kekuatanya merupakan modal untuk sehat pikiran. Dalam

perumpamaan dikatakan bahwa di dalam akal yang sehat terdapat tubuh

13
Zalik Nuryana, "Kajian Potensi Manusia Sesuai dengan Hakikatnya dalam Pendidikan Holistik "(Yogyakarta,
Urecol Proceeding: 2017), h.1237

12
4. Terma al-‘Aql

Kata ‘aql dengan kata jadiannya dimuat dalam Al-Qur’an dalam 49 kali.

Sedangkan kata al-albab dalam 16 kali. AlQur’an tidak menjelaskan secara

eksplisit mengenai arti yang menggunakan akar kata ‘aql dan albab, namun dari

konteks ayatayat dapat dipahami maknanya sebagai berikut:

a. Akal sebagai alat untuk memahami dan menggambarkan sesuatu

agarseseorang mencapai hakikat yang menuntun agar beriman kepada-Nya.

b. Penggambaran dan perumpamaan yang diberikan Al-Qur’an untuk menuntun

seseorang memahami dan mengantarkannya kepada keimanan.

c. Akal berfungsi sebagai dorongan moral.

d. Akal sebagai daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah

dari sesuatu peristiwa.

5. Terma al-Qalb

Kata al-qalb dan al-qulub dan segala kata jadiannya tidak kurang dari 170

ayat yang tersebar di beberapa surah A-Qur’an. Menurut Imam al-Ghazali bahwa

kalbu itu mempunyai dua pengertian. Pertama, ia segumpal daging yang berbentuk

bulat memanjang yang terletak di pinggir dada sebelah kiri yang mempunyai tugas

khusus di dalamnya ada rongga yang mengandung darah hitam sebagai sumber roh.

Kedua, ia berupa sesuatu yang halus bersifat ketuhanan dan kerohanian yang ada

hubunganya dengan jasmani.

Qalb adalah salah satu gelajala dari perangkat hakikat manusia yang asasi

karena iman bersemayam di kalbu yang dengannya dapat menangkap segala

rasa.Dengan demikian kalbu merupakan tempat bersemayam iman, pusat kesadaran

normal, dan alat memperoleh ilmu.

13
6. Terma Nafs

Kata nafs bermacam maknanya. Menurut Quraish Shihab, terkadang diartikan

sebagai totalitas manusia. Kata nafs yang berkaitan dengan manusia menunjuk

kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.

7. Terma Fitrah

Kata fitrah dan segala bentuk kata jadiannya tertera pada 19 ayat 17 surat.

Dari segi bahasa, kata fitrah diambil dari kata al-fatr yang berarti cara penciptaan,

sifat pembawaan lahir, watak manusia, agama dan sunnah. Dapat dirangkum bahwa

fitrah adalah sistem aturan atau potensi yang diciptkan kepada setiap makhluk sejak

keberadaannya baik ia makhluk manusia atau lainnya. Seperti bawaan dasar

manusia cenderung kepada agama tauhid, kebenaran, keadilan, wanita, harta benda,

anak, dan lain-lain.

8. Kedudukan manusia di dunia

Penentuan kedudukan manusia diciptakan ini, tentu bukan berasal dari

manusia, tapi sungguh-sungguh berasal dari penciptanya. Karena manusia tidak

pernah menentukan dan berkompromi kapan ia lahir, dimana dia lahir, dari rahim

siapa ia lahir dan fungsi apa yang harus dijalankan. Menurut Zuhairini, setidaknya

ada tujuh kedudukan manusia di dunia :

a. Sebagai pemanfaat dan penjaga kelestarian alam.(QS.al-Jum’at:10 dan al-

Baqarah:60)

b. Sebagai peneliti alam dan dirinya untuk mencari Tuhan.(QS.al-Baqarah:164)

c. Sebagai khalifah di muka bumi.(QS.alAn’am:165)

d. Sebagai makhluk yang paling tinggi dan paling mulia.(QS.at-Tin:4 dan

alIsra’:70)

e. Sebagai hamba Allah.(QS.ali-Imran:83 dan adz-Dzariat:56)

14
f. Sebagai makhluk yang bertanggung jawab.(QS.at-Takatsur:8 dan an-Nur:24-

25

g. Sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik.(QS.al-Baqarah:31 dan

alAlaq:1-5)

Manusia merupakan makhluk sempurnya yang dibekali akal untuk dapat berfikir,

pendidikan merupakan perwujudan dari cita-cita hidup manusia untuk dapat

menginternalisasikan, mentransformasikan, dan mengembangkan nilai ilahiyah dan insaniyah

dengan membekali kemampuan untuk berfungsi sesuai dengan perkembangan. Pendidikan

merupakan manifestasi dari cita-cita hidup manusia untuk melestarikan, mengalihkan,

menanamkan, serta mentransformasikan nilai-nilai ilahiah dan insaniah serta membekali

peserta didik dengan kempuan yang produktif agar dapat berfungsi dan berkembang seirama

dengan perkembangan zaman.

Manusia punya potensi yang berbeda. Respon terhadap sesuatu hal tentu berbeda

antara satu dengan yang lain. Pendidikan harus mampu memahami perbedaan ini, pendidikan

harus merespon secara menyeluruh dan menyadari bahwa pendidikan bukan memaksakan dan

menyamakan kemampuan anak, tetapi pendidikan mampu mengembangkan potensi dasar

manusia (ketuhanan) dalam proses pendidikan. Pengembangan potensi, pengembangan aspek

dasar, dan juga menumbuhkan sifat dasar manusia tidak akan bisa dilaksanakan tanpa sebuah

proses, proses inilah yang kita kenal dengan pendidikan.

15
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fitrah dalam konteks surat Ar-Rum ayat 30 berkedudukan sebagai potensi

dasar yang dimiliki oleh manusia. Fitrah manusia cenderung bersifat ganda, artinya

fitrah bisa mendorong timbulnya perbuatan baik, dan juga bisa mendorong perbuatan

jelek, karena di dalam fitrah itu sendiri terdapat potensi rohani lainnya seperti nafsu.

Kecenderungan perubahan suatu fitrah sangat bergantung kepada factor yang

mempengaruhi dari lingkungan di luarnya. Apabila manusia sejak kecil sudah

berinteraksi dengan lingkungan yang baik, maka jaminan kehidupan yang lebih baik

akan dimiliki manusia. Namun sebaliknya, apabila manusia sejak kecil sudah

berinteraksi dengan lingkungan yang buruk, maka kepribadian dan perilaku manusia

tersebut akan menjadi buruk kelak.

Manusia ternyata memiliki dimensi-dimensi yang meliputi dimensi individual,

sosial, Susila dan agama. Dalam suatu proses pembelajaran, baik wujud sifat hakikat

manusia maupun dimensi-dimensi manusia yang telah dimiliki oleh setiap peserta

didik perlu dikembangkan. Tujuannya tentu saja agar mereka lebih tahu eksistensi

mereka di atas permukaan bumi ini dan agar makhluk ciptaan Allah yang pada

hakikatnya berbeda dengan makhluk yang lain sehingga akan terlahir manusia

Indonesia seutuhnya seperti yang diinginkan masyarakat, bangsa dan agama.

B. Saran

Dengan selesainya makalah ini kami sangat berharap atas pemberian kritik dan

saran yang diberikan. Oleh karena itu, kami meminta kritik dan saran dari pembaca

untuk menunjukkan kekurangan-kekurangan dari makalah kami agar menjadi lebih

baik dan memiliki kualitas yang lebih baik. vhvhvhvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv

16
DAFTAR RUJUKAN

Achmad Mubarok, Sunatullah dalam Jiwa Manusia; IIIT Indonesia, Jakarta, Sebuah

Pendekatan Psikologi Islam, 2003

Anzizhan, Syafaruddin. 2004. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta: PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia.

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Thomy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta:

Bulan Bintang.

Daudy, Ahmad. 1989. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Firdaus, Herman. (2006). Dimensi Hakikat Manusia Serta Potensi, Keunikan Dan

Dinamikannya. Campbel

Gazalba, Sisi. (1981). Sistematika Filsafat Buku Iii. Jakarta: Bulan Bintang

Hasan, Muhammad Tholhah. (2004) . Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia. Jakarta:

Lantabora Press

Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Sisi Psikologi, Filsafat dan

Pendidikan, (Jakarta: Ali Husna Zikra. 1995)

Hasbi, Muhammad. (2013). Manusia Dan Potensi Pendidikannya;

Jalaluddin Dan Usman Said. 1994. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep Dan Perkembangan

Pemikirannya. Jakarta: Grafindo Persada.

M. Quraih Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1995

Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta, LESFI, 2002

Nurwadjah Ahmad E.Q., Tafsir Ayat-ayat Pendidikan; Hati yang Selamat Hingga Kisah

Luqman, Bandung, Penerbit MARJA, 2006

Nuryana, Zalik. (2017). Kajian Potensi Manusia Sesuai Dengan Hakikatnya Dalam

Pendidikan Holistik. Yogyakarta: Urecol Proceeding.

iii
Omar M. Al Toumy al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Terjemahan), (Jakarta: Bulan

Bintang, 1979).

Perspektif Filsafat Pendidikan Islam. Vol. Xviii, No. 01. Palembang: Ta’dib

Pendidikan Islam : Sebuah Kajian Ontology. Tulungagung: Ta'alum

Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2004

Umary, Barmawie. (1989). Materi Akhlak. Solo: Ramadhani

Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta, Bumi Aksara, 1991

iv

Anda mungkin juga menyukai