Anda di halaman 1dari 21

1

Manusia Makhluk Bidimensional


Telaah tentang Potensi dan Tanggungjawab dalam Perspektif Al-Quran
Manusia itu secara fisik tak ubahnya seperti belalang kecil
yang hinggap di pohon-pohon.
Tetapi dalam diri yang kecil itu terdapat arsy Tuhan,
yang luasnya lebih luas dari bumi dan langit. (Jalaludin Rumi).
Pendahuluan
Manusia, dalam pandangan Islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri.
Di dalamnya, manusia tidak semata-mata digambarkan sebagai hewan tingkat tinggi
yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan pandai berbicara. Lebih dari itu,
menurut al-Quran, manusia lebih luhur dan gaib dari apa yang dapat didefinisikan oleh
kata-kata tersebut. Ia memiliki potensi dalam dirinya, yang menjadikannya dalam
bahasa al-Quran makhluk unik, berbeda dari yang lain.
Dalam al-Quran, manusia disebut sebagai makhluk yang amat terpuji dan
disebut pula sebagai makhluk yang amat tercela. Hal tersebut ditegaskan dalam berbagai
ayat, bahkan ada pula yang ditegaskan dalam satu ayat.
1
Ini bukan berarti bahwa ayat-
ayat al-Quran bertentangan satu dengan lainnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut
menunjukkan bahwa dalam diri manusia terdapat dimensi ganda. Menurut al-Aqqad,
pujian dan celaan yang dialamatkan kepada manusia, tidak berarti bahwa manusia dipuji
dan dicela dalam waktu yang bersamaan, melainkan berarti bahwa dengan fitrah yang
telah disiapkan baginya, manusia dapat menjadi makhluk yang sempurna dan dapat pula
menjadi makhluk yang serba kurang. Karena ia dibebani kewajiban (taklif) maka ia
dapat menjadi makhluk yang berbuat baik dan dapat pula menjadi makhluk yang
berbuat buruk.
2


1
Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti
pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (Q.s. al-Tin/95:
5), dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk itu dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk
Allah yang lain (Q.s. al-Isra/17: 70). Tetapi di samping itu, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan
karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (Q.s. Ibrahim/14: 34), sangat banyak membantah (Q.s. Al-
Kahf/18: 54), dan masih banyak lagi.
2
Abbas Mahmud, al-Aqqad, Manusia diungkap al-Quran. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 11.
2

Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan sebagai
keajaiban alam, berada di dalamnya tetapi melampauinya.
3
Bagaimana manusia mampu
melampaui alam dimana ia berada? Adalah karena kesadarannya, sebab manusia
merupakan makhluk free consious actifity (bertindak secara sadar),
4
kesadaran
mengenai realitas yang ada dan mengenai alternatif-alternatif untuk memperbaikinya.
Dalam kaitan itu di sisi lain, terdapat pandangan bahwa manusia lahir secara organis
dalam kondisi belum selesai dalam kaitannya dengan sifat yang relatif dari struktur
instinktifnya. Dunia manusia tidak terprogram dengan sempurna (sekali jadi), tetapi
mesti dibentuk oleh aktivitas manusia itu sendiri. Pembentukan dunia manusia tidak
dapat berlangsung secara individual, tetapi dalam proses dialektik-fundamental yang
terjadi di dalam interaksi antar manusia di tengah-tengah masyarakat melalui
eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.
5
Dalam pandangan tersebut, manusia
dalam realitas kehidupannya selalu berada dalam proses menjadi yang tiada pernah
henti. Menjadi (becoming) dalam arti berproses, selalu berkembang, bertambah-
berkurang ke arah martabat kemanusiaan yang hendak dicapainya yakni manusia
seutuhnya, atau sebaliknya.
Memahami manusia berarti memahami bahwa manusia tidak hanya tertancap di
bumi, melainkan juga merupakan nur-ruh Ilahi. Bahwa manusia mampu mengalahkan
malaikat dalam hal kearifan, merdeka dan karenanya mampu menghidupi diri dan
bertanggungjawab.
6
Dengan demikian bisa dipahami sebagaimana al-Aqqad bahwa
manusia adalah makhluk bertanggungjawab dan berkewajiban, yang diciptakan dengan

3
Lihat, Erich Fromm, Revolusi Harapan. Penerjemah Kamdani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 61.
4
Ungkapan tersebut merupakan definisi yang paling signifikan mengenai karakteristik manusia
oleh Karl Marx sesuai kutipan Erich Fromm, Revolusi Harapan, h. 59.
5
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia,
baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas
itu, suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula dalam bentuk kefaktaan yang
eksternal terhadap, dan lain dari, para produsen itu sendiri. Sedangkan internalisasi adalah peresapan
kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur
dunia obyektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subyektif. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat
merupakan produk manusia. Melalui obyektifasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas seni generis,
unik. Dan melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat. Lihat, Peter L. Berger,
Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Penerjemah Hartono (Jakarta: LP3ES, 1991), h. 4-7.
6
Lihat, Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Quran Tentang Manusia dan Agama. Penerjemah
Sugeng Rijono dan Farid Gaban (Bandung: Mizan, 1992), h. 134.
3

unsur-unsur ketuhanan.
7
Dalam konteks tersebut, roh merupakan dimensi ketuhanan
dalam diri manusia, yang memungkinkannya dapat mencapai ketinggian derajat hingga
mampu berhubungan dengan Tuhan. Pengaruh roh pada manusia adalah timbulnya
dorongan untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Jasad yang berasal dari tanah lumpur
merupakan simbol yang menunjuk pada kecenderungan manusia pada keburukan,
kejahatan, kerendahan, kehinaan, stagnasi, dan mati. Pengaruh unsur tanah ini membuat
manusia memiliki dorongan-dorongan primitif (nafsu). Hal senada pada dasarnya
banyak disinggung dalam al-Quran di antaranya seperti Q.s. al-Syams/91: 7-8.
Muthahhari melihat bahwa dalam mengisahkan tentang Adam, al-Quran
menyampaikan banyak ajaran moral dan didikan, seperti manusia mampu mencapai
stasiun kreativitas Ilahi, kapasitas pengetahuan manusia tak terhingga, kekurangan
malaikat di bidang pengetahuan, kapasitas manusia untuk melampaui derajat malaikat,
akibat-akibat buruk kerakusan dan kesombongan, bagaimana dosa dapat menjatuhkan
manusia dari derajat wujud yang tertinggi, bagaimana penyesalan dan tobat dapat
menyelamatkan manusia dan mengembalikannya ke stasiun yang dekat dengan Allah,
dan peringatan agar manusia tidak membiarkan dirinya disesatkan oleh nafsu setaniah.
8

Dengan komposisi seperti itu bisa dimaklumi, bila kemudian manusia mengandung
potensi benturan dan ketegangan di dalam dirinya.
Tulisan ini berusaha mendiskusikan masalah kecenderungan manusia terhadap
kebaikan dan keburukan, makhluk dua dimensi yang secara sadar berkehendak
menentukan pilihan dan menyadari urgensi mempertanggungjawabkan perbuatannya,
berangkat dari petunjuk al-Quran.
Istilah Manusia Dalam al-Quran
Apakah dan siapakah manusia? Pertanyaan ini selalu menarik perhatian manusia
untuk dijawab oleh manusia sepanjang zaman. Sebagian potensi dan sifat manusia telah
terungkap lama tetapi sebagian lainnya belum dan bisa jadi tidak. Bahkan menurut
Alexis Carrel, manusia adalah kunci misteri bagi ilmu pengetahuan. Manusia dalam

7
al-Aqqad, Manusia diungkap al-Quran, h. 20.
8
Murtadha Muthahari, Ruh, Materi dan Kehidupan. Penerjemah Yuliani L. dan A. Hasan
(Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993), h. 45-46.
4

banyak hal dapat diketahui oleh dirinya, tetapi akan lebih banyak hal yang tidak ia
ketahui. Meneliti manusia sama saja dengan meneliti kemustahilan.
9

Dari pendapat di atas, agamawan dapat berkomentar, bahwa pengetahuan
tentang manusia demikian itu disebabkan karena manusia adalah satu-satunya makhluk
yang dalam penciptaannya terdapat roh Ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan
tentang roh, kecuali sedikit. Jika apa yang dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima,
satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah dengan merujuk
kepada wahyu Ilahi agar kita dapat menemukan jawabannya.
Ada beberapa istilah yang digunakan al-Quran untuk menunjuk kepada
manusia, yang masing-masing memiliki pemaknaan tersendiri, yaitu al-basyar, al-nas,
al-ins dan al-insan.
10

Penggunaan kata basyar dalam keseluruhan al-Quran, mengindikasikan bahwa
al-basyariah pada konteks tersebut berarti dimensi material dari manusia, yang suka
makan dan berjalan-jalan di pasar. Pada dimensi inilah, seluruh anak cucu adam
bertemu dalam keserupaan yang paling sempurna. Menurut al-Raghib, kata basyar
adalah jamak dari kata basyarat kulit. Manusia disebut basyar karena kulit manusia
tampak berbeda dibanding dengan kulit hewan lainnya. Kata ini di dalam al-Quran
secara khusus merujuk kepada tubuh dan lahiriah manusia.
11

Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan
sekali dalam bentuk mutsanna (dual), untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya
serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad Saw.
diperintahkan untuk menyampaikan keserupaannya dengan manusia pada umumnya
dalam hal kemanusiawian dengan sifat-sifatnya yang material:
_ !..| !. :, >l.. _-`, _|| !.. >.l| .l| .>
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". (Q.s. al-
Kahf/18: 110).

9
Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), 44-45.
10
Lihat, Aisyah Abdurrahman Bintusy-Syathi, Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Quran.
Penerjemah M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 7.
11
Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Gharib
al-Quran (Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1961), h. 28.
5


Adapun kata al-nas, al-ins dan al-insan dalam al-Quran tidak pernah digunakan
untuk arti manusia secara fisik, melainkan masing-masing memiliki intensi makna yang
khusus, saling berbeda satu sama lain.
Kata al-nas, dalam al-Quran disebutkan sekitar 240 kali sebagai nama jenis
(secara mutlak) untuk keturunan Adam, satu spesies di alam semesta. Antara lain:
!!., '_!.l !.| >..1l> _. : _.. >..l-> !,`-: _!, ! -.l |
>. ..s < >1. | < ,ls ,,> .
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.s. al-Hujurat/49: 13).
Sedangkan kata al-ins dan al-insan, keduanya mempunyai intensi makna yang
serumpun karena berasal dari akar kata yang sama yaitu , yang menunjukkan arti
lawan dari kebuasan. Namun, di dalam retorika al-Quran masing-masing dari kedua
kata tersebut mendapat intensi makna yang berbeda.
Kata al-ins selalu disebutkan bersama dengan kata al-jin sebagai perbandingan.
Dalam al-Quran disebutkan sebanyak 18 kali. Di sini, intensi makna al-insiyyah
sebagai lawan dari kebuasan adalah arti yang sangat jelas karena perbandingannya
dengan kata al-jin yang dalam pengertiannya yang asli adalah kesamaran yang seram
seirama dengan kebuasan. Oleh karena itu, penyebutan al-insiyyah ini sekaligus
menunjukkan bahwa jenis kita berbeda dengan jenis-jenis lain yang menakutkan, tidak
terketahui, tidak terproses menjadi kita dan mempunyai kehidupan yang lain dari
kehidupan kita.
Kemudian, kata al-insan tersebut di dalam al-Quran sebanyak 65 kali. Dalam
kata al-insan, nilai kemanusiaannya tidak hanya terbatas pada kenyataan spesifiknya
untuk tumbuh menjadi al-ins, sebagaimana juga ia tidak hanya sebagai manusia secara
fisik yang suka makan makanan dan berjalan-jalan di pasar. Tetapi lebih dari itu, ia
6

sampai pada tingkat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di bumi, menerima
beban taklif dan amanat kemanusiaan.
12

Karena hanya manusia saja lah yang dibekali dengan al-ilmu, al-bayan, al-aql
dan al-tamyiz. Sekaligus dengan konsekuensi dia harus berhadapan dengan ujian
kebaikan dan kejahatan, serta ilusi tentang kekuatan dan kemampuannya. Juga
optimisme untuk mencapai tingkat perkembangan yang paling tinggi di antara spesies-
spesies lain di alam semesta. Namun, keangkuhan dan kesombongan membuatnya lupa
bahwa ia adalah makhluk yang lemah, yang melintasi perjalanan dunia dari alam misteri
sampai alam ghaib, di atas jembatan yang mengantarkannya ke liang lahat.
_..l !. _... . :> _| .
Apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya?. (Tidak), Maka hanya
bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. (Q.s. Al-Najm/53: 24-25).

Antara Tanah dan Roh; Positivitas dan Negativitas
Hampir semua agama meyakini bahwa hidup manusia didukung oleh dua unsur
atau komponen, yaitu unsur yang bersifat fisik dan unsur metafisik (rohani, spiritual).
Fisik terdiri atas tubuh atau raga, sedangkan metafisik adalah unsur dalam (inner self)
diri manusia yang biasanya disebut ruh atau nafs (jiwa).
13
Namun, substansi roh atau
jiwa sampai saat ini baik secara ilmiah maupun agama tetap merupakan sesuatu yang
misterius. Kalaupun bisa diketahui masih terbatas pada gejala-gejalanya yang dalam
ilmu modern disebut dengan psikologi, ilmu tentang gejala-gejala jiwa. Bahkan Nabi
Muhammad saw. pun saat ditanya oleh seseorang mengenai hakikat roh ini, Tuhan
memberi jawaban lewat Nabi: Katakan Muhammad bahwa persoalan ruh adalah
urusan Tuhanku. Ilmu yang diberikan kepadamu sangat terbatas sehingga tidak
mungkin menjangkau atau mengetahui secara hakiki tentang substansi ruh itu. (Q.s.
al-Isra/17: 85).
Rupanya nalar manusia tidak dipersiapkan untuk mengetahui hal-hal yang
memang di luar jangkauan dan kapasitasnya, salah satunya adalah masalah roh.
Keyakinan seperti itu terdapat juga pada agama-agama budaya, misalnya Mesir Kuno,

12
Lihat analisis Bintusy-Syathi, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Quran, h. 12-15, dan M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, cet. 10 (Bandung: Mizan, 2000), h. 278-280.
13
Muhammad Quthb, Dirasat fi al-Nafs al-Insaniyah (al-Qahirah: Dar al-Syuruq, 1993), h. 43-
44.
7

Babilonia dan Yunani Kuno. Temuan terhadap kuburan-kuburan dan kuil-kuil yang
mereka buat menunjukkan keyakinan mereka bahwa di samping kehidupan yang
bersifat fisik, ada kehidupan lain di sana yang bersifat metafisik. Mereka meyakini
bahwa kehidupan ini berbeda dengan dunia fisik. Karena sifatnya yang di luar
kehidupan fisik maka bukan fisik yang bertempat di sana, melainkan roh. Di Mesir
terdapat banyak kuburan-kuburan yang berada di museum maupun pyramid. Keyakinan
mereka bahwa dengan disimpannya mayat seseorang di dalam pyramid nantinya akan
ada reuni di akhirat antara nyawa-nyawa yang ada di dunia dengan nyawa-nyawa
yang tersimpan terlebih dahulu di pyramid. Jadi, mereka menganggap bahwa mati
bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan sebagai terminal dari satu fase kehidupan
menuju ke kehidupan yang lain.
14

Dalam ajaran Islam, telah jelas termaktub dalam al-Quran, bahwa penciptaan
manusia wakil dan khalifahNya dari tanah, dan kemudian Ia tiupkan sebagian roh-
Nya sendiri pada acuan tanah itu dan kemudian lahirlah manusia.
15
Manusia tersebut
lahir dari dua hakikat yang berbeda; tanah bumi dan roh suci. Menurut Shariati, simbol
kerendahan, kenistaan dan kekotoran adalah lumpur. Tidak ada suatu pun di dalam alam
yang lebih rendah dan hina daripada lumpur, yang dengannya manusia telah diciptakan.
Dan Tuhan adalah Maha Sempurna dan Maha Suci. Dan dalam setiap makhluk, bagian
yang paling sempurna, paling murni dan paling suci adalah spirit atau rohnya. Akan
tetapi roh Yang Maha Suci adalah spirit Maha Sempurna, yang paling suci di antara
semua spirit dan di antara seluruh entitas yang ada dalam alam semesta. Dan manusia
adalah makhluk yang langsung turun dari roh Yang Maha Abadi itu, namun hakikat
manusia yang lain berasal dari bentuk yang paling rendah dari tanah bumiair yang
nista.
16

Jadilah manusia gabungan dari tanah dan spirit suci, telah tercipta menjadi
makhluk dua dimensional, dengan dua arah dan kecenderungan. Yang satu

14
Lihat, Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius (Jakarta: PT. Listafariska
Putra, 2000), h. 96.
15
Al-Quran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam, yang oleh mayoritas ulama
dinamai manusia pertama. Yang disampaikannya dalam konteks ini hanya bahwa awal manusia adalah
tanah, kemudian bahan tersebut disempurnakan, setelah proses penyempurnaan selesai, ditiupkan
kepadanya ruh Ilahi. (Q.s. al-Hijr/15: 28-29; Q.s. Shad/38: 71-71). Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran, h. 281.
16
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah M. Amien Rais, cet. 2 (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 6.
8

membawanya ke bawah kepada stagnasi sedimenter, ke dasar hakikatnya yang rendah,
di mana seluruh dorongan dan gerak kehidupannya akan membeku, terbenam ke dalam
rawa-rawa hakikatnya yang hina. Akan tetapi dimensi manusia yang lain, yaitu dimensi
spiritualnya, cenderung naik ke puncak spiritual tertinggi yaitu ke Zat Yang Maha Suci.
Dengan demikian, manusia adalah makhluk dengan dua unsur yang kontradiktif, akan
tetapimenurut Shariatikebesarannya dan kejayaannya yang unik justru berasal dari
kenyataan bahwa ia adalah dua dimensional, makhluk dengan dua kutub yang saling
berlawanan. Pada hakikatnya, dua kutub itu memungkinkannya untuk memiliki
kebebasan memilih antara dua pilihan, yaitu antara kutub suci dan kutub kehinaan, yang
keduanya berada dalam dirinya, dengan kekuatan potensial yang mengubah dan
kekuatan yang menarik. Perjuangan tanpa henti dan peperangan terus menerus yang
dilakukan oleh kedua kutub itu dalam diri manusia akhirnya akan memaksa untuk
memilih salah satu kutub tersebut dan pilihan inilah yang akan menentukan nasibnya.
17

Nilai tambah manusia dalam kehidupan sesungguhnya tidak ditentukan oleh
unsur fisiknya, tetapi oleh unsur metafisiknya yang berupa roh atau jiwa dan kualitas-
kualitas internal lainnya. Karena fisik manusia nilainya tidak terlalu mahal. Seorang
peserta praktikum di laboratorium fakultas kedokteran pernah membeli mayat di rumah
sakit yang harganya hanya Rp. 1.500.000,- Dalam perspektif ini benar apa yang
dikatakan oleh Prof. Muhammad al-Ghazali, salah seorang cendekiawan dan ulama
Mesir. Menurut dia, sekiranya dihitung atau diuraikan unsur-unsur apa yang terdapat
dalam tubuh manusia, maka sebetulnya tubuh manusia sangat murah dan t idak ada
nilainya. Dalam setiap raga manusia, katanya, kira-kira ada satu unsur lemak yang kalau
dikumpulkan hanya cukup untuk membuat tujuh potong sabun kecil-kecil. Kemudian
ada unsur karbon yang kalau dikumpulkan (dijadikan satu) kira-kira cukup untuk
membuat beberapa potong isi pensil. Ada lagi unsur fosfor (besi) yang kira-kira paling
banyak bisa dipakai untuk membuat 120 batang korek api. Di samping itu, ada unsur
garam magnesium yang cukup untuk minum obat sakit perut sekali. Selain itu, unsur zat
besi yang kira-kira bisa dipakai untuk membuat satu potong pasak ukuran sedang.
Kemudian unsur kapur yang hanya bisa dipakai untuk mengapur tembok berukuran
kira-kira 1 X 1 meter. Ada lagi unsur belerang yang kira-kira bisa dipakai untuk
menyiram dan membersihkan kutu seekor anjing. Dan yang terbanyak adalah unsur air

17
Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 6-7.
9

kira-kira 10 galon. Menurut al-Ghazali, jika seluruh unsur atau bahan-bahan kimiawi
yang dikandung tubuh manusia (sempurna) itu dijual atau dibeli dari sebuah toko
niscaya tidak akan mengeluarkan uang banyak. Apalagi suatu saat ditakdirkan
mengalami kelainan misalnya gila, maka jelas tubuh itu akan mengalami penurunan
harga. Itu baru dari segi otaknya yang mengalami kelainan, semua nilai organ tubuh
menjadi turun.
18

Lalu apa yang menjadikan manusia mahal dan dihargai tinggi? Mengapa
seseorang dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain padahal tubuhnya sama,
warna kulit dan rambutnya sama, kelengkapan tubuhnya sama dan mungkin pakainnya
juga sama. Ada dua orang berjalan bersama, yang satu pejabat dan seorang lagi ulama
besar, tetapi mengapa penghoramatan orang terhadap ulama lebih besar daripada
pejabat. Di sini tentu saja ada nilai tambah yang bukan fisik, melainkan non-fisik
(metafisik).
Menyadari kenyataan ini, Islam melarang umatnya hanya memikirkan hal-hal
yang bersifat fisik.
19
Sebaliknya, Islam mengajak kepada umatnya agar memperhatikan
unsur yang mendukung hidup terutama menyangkut unsur metafisik, seperti ilmu,
agama dan moral. Pilihan terhadap model dan cara hidup seseorang bisa dilihat
sejauhmana orang tersebut memberikan perhatian dan apresiasi terhadap unsur-unsur
penunjang kehidupan. Orang yang mengapresiasi unsur-unsur fisik maka yang dikejar
dalam hidupnya adalah hal-hal yang dapat memuaskan unsur-unsur tubuhnya.
Sebaliknya, orang yang mengapresiasi unsur metafisik tampak pada cara hidupnya yang
mengutamakan kepuasan spiritual, penghoramatan terhadap nilai dan menjunjung tinggi
moralitas.
Dalam al-Quran, manusia berulang kali diangkat derajatnya, berulang kali pula
direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para
malaikat. Tetapi, pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan setan
terkutuk dan binatang jahanam sekali pun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang
mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi yang paling

18
Pendapat Muhammad al-Ghazali tersebut, sesuai kutipan Muhammad Tholhah Hasan,
Dinamika Kehidupan Religius, 96-97.
19
Dalam istilah al-Quran, orang yang hanya mengikuti kemauan fisiknya disebut yakulu wa
tamattau (hanya urusan perut dan bersenang-senang). Q.s. al-Hijr/15: 3.
10

rendah dari segala yang rendah. Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah yang
harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri.
20

Di antara potensi-potensi positif manusia, antara lain:
1. Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi. (Q.s. al-Baqarah/2: 30, dan Q.s. al-
Anam/6: 165).
2. Dibanding dengan semua makhluk lain, manusia mempunyai kapasitas intelegensia
yang paling tinggi. (al-Baqarah/2: 31-33).
3. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain,
manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi, segala
keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari
fitrah mereka sendiri. (Q.s. al-Araf/7: 172, dan Q.s. al-Rum/30: 43).
4. Manusia dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, yang
berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhan dan benda-
benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata
dan metafisis, antara jiwa dan raga. (Q.s. al-Sajdah/32: 7-9).
5. Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan,
diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi dan dikaruniai rasa
tanggung jawab. (Q.s. al-Ahzab/33: 72, dan Q.s. al-Insan/76: 2-3).
6. Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang
jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka. (Q.s. al-Syams/91: 7-8).
Dan di antara potensi-potensi negatif manusia, antara lain:
1. Manusia itu amat zalim dan bodoh. (Q.s. al-Ahzab/33: 72).
2. Manusia sangat mengingkari nikmat. (Q.s. al-Hajj/22: 66).
3. Manusia suka melampaui batas. (Q.s. al-Alaq: 6-7).
4. Manusia sangat banyak membantah. (Q.s. al-Kahf/18: 54).
5. Manusia bersifat keluh kesah lagi kikir. (Q.s. al-Maarij/70: 19-21).
6. Manusia bersifat tergesa-gesa. (Q.s. al-Isra/17: 11).
Demikianlah manusia dinilai oleh al-Quran sebagai makhluk yang memiliki
potensi ganda, setengah dipuji dan setengah dicela. Dipuji karena pembawaan
fithrahnya yang mulia dan kecenderungannya untuk melangit menuju hal-hal

20
Lihat, Muthahhari, Perspektif al-Quran Tentang Manusia dan Agama, h. 117.
11

spiritual, dan dicela karena pilihannya untuk mengikuti kecenderungan negatif yang
terdapat dalam dirinya.
Kebebebasan dan Tanggung Jawab
Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dibekali sejumlah potensi dan
kemampuan untuk mengetahui, memilih dan bertindak. Berbeda dengan makhluk
lainnya, manusia diberi kepercayaan untuk menjadi khalifatullah fi al-ardh (pengganti
Allah di muka bumi). Dengan status ini, manusia dipercaya mengelola alam semesta
sesuai dengan ketentuan kauniyah (sunnatullah) dan qauliyah (syariat).
Fakta yang menarik tentang manusia ialah, bahwa hanya manusia sajalah di
antara seluruh makhluk yang ada di alam semesta, yang mampu menjadi pemegang dan
pengemban amanat Tuhan. Ketika Tuhan menawarkan kepada seluruh makhlukNya
langit dan bumi, gunung-gunung, lautan dan sungai-sungai, fauna dan flora apakah di
antara mereka ada yang sanggup mengemban amanat Tuhan, maka sekali lagi manusia
sajalah yang secara sukarela menerima amanat tersebut.
21
Oleh karena manusia
memiliki keyakinan dan kemampuan untuk menjadi pengemban amanat Tuhan, penjaga
karuniaNya yang paling berharga, maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi
keberanian dan keutamaan serta kebijakan di alam semesta. Seperti dikatakan oleh
Bintusy Syathi, bahwa keberanian manusia mengemban amanat termasuk di antara
keistimewaan tanda kemanusiaan (dilalah al-insaniyyah), di dalam retorika Qurani (al-
bayan al-Qurani) yang membedakannya dari sekedar spesies yang tidak buas (al-
insiyyah) dan kemanusiawian (al-basyariah). Karena dalam Q.s. al-Ahzab/33: 72,
sangat jelas menyandarkan kata pada kata bukan kepada atau , atau
.
22

Demikianlah manusia bukan sekedar khalifah Tuhan di bumi ini, melainkan juga
pemegang amanatNya. Namun apakah arti amanat ini? Amanat berat apakah ini yang
manusia bersedia mengembannya, sementara langit, bumi dan gunung menolak
memikulnya karena takut berkhianat?

21
Kisah penawaran Tuhan untuk memikul amanat kekhalifahan, sesuai dengan firmanNya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (Q.s. al-Ahzab/33:
72).
22
Bintusy-Syathi, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Quran, h. 61.
12

Terdapat banyak pendapat yang berbeda-beda terhadap takwil kata ini. Al-
Thabari di dalam tafsirnya, memilih memaknai amanat secara umum sebagai seluruh
amanat-amanat di dalam agama dan amanat-amanat dalam kehidupan manusia.
23

Sedangkan al-Raghib al-Ashfahani memilih akal, karena berkat akallah dihasilkan
pengertian tauhid, pelaksanaan keadilan, pelajaran huruf-huruf hijaiyah, segala hal yang
dapat diketahui dan diperbuat manusia tentang keindahan. Dengan akal, manusia
diunggulkan di atas makhluk-makhluk lain.
24
Sementara itu al-Zamakhsyari lebih
memilih makna ketaatan, sambil mentakwilkan kata dalam makna penolakan.
25

Maulana Jalal al-Din Rumi mengatakan bahwa amanat itu berarti kehendak
bebas (free will) manusia yang merupakan hadiah dari Tuhan, karena hanya manusia
yang bersedia mengemban amanat yang telah ditawarkan Tuhan kepada langit, bumi
dan gunung. Menurut Rumi, tidaklah mungkin Tuhan memberi perintah dan larangan
kepada manusia, kalau manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih tindakan-
tindakannya, atau kalau seluruh tindakan-tindakannya telah ditentukan secara pasti
sebelumnya. Diberikannya perintah oleh Tuhan, mengandung arti bahwa manusia yang
diperintah atau dilarangNya, memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, atau
bahkan untuk menolaknya. Karena tidak mungkin Tuhan memerintah manusia, kalau
manusia itu sendiri tidak punya daya apa pun untuk melaksanakannya. Kalau semua
yang dilakukan manusia telah ditentukan Tuhan, maka diperintah atau tidak, niscaya
manusia akan melakukan apa pun yang telah ditentukan baginya. Tetapi kenyataan
bahwa Tuhan telah dalam al-Quran banyak memerintah dan melarang manusia,
menunjukkan dengan jelas bahwa manusia memiliki kebebasan.
26

Pendapat Rumi tersebut, diamini oleh oleh Ali Shariati. Menurutnya, keutamaan
paling menonjol dari manusia yang menandai superioritasnya atas makhluk-makhluk
lain adalah kekuatan kemauannya atau kekuatan iradatnya. Ia adalah satu-satunya
makhluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya, sesuatu yang hewan

23
al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Jami al-Bayan fi Tawil al-Quran, Juz 10 (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 339.
24
al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Quran.
25
al- Zamakhsyari, Mahmud bin Umar Muhammad. al-Kasysyf, Juz 3 (Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, t.t.), h. 564.
26
Pendapat Rumi, sesuai kutipan Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar
Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 122-123.
13

maupun tumbuh-tumbuhan tidak dapat melakukannya. Hanya manusia saja yang dapat
melawan dirinya menentang hakikatnya, dan memberontak terhadap kebutuhan-
kebutuhan fisik dan spiritualnya. Dan hanya manusia yang dapat berbuat menentang apa
yang baik dan utama. Ia bebas memilih untuk bersikap rasional atau irasional, saleh atau
jahat, seperti malaikat atau seperti iblis. Kemauan bebas oleh karena itu merupakan sifat
manusia terpenting dan menjadi penghubung kedekatannya dengan penciptanya.
27

Permasalahan takdir dan kebebasan ini, sebenarnya telah menjadi objek
perdebatan yang panjang dan kadang panas, khususnya di kalangan teolog muslim
(Mutakallimun). Kaum Jabbariyah mengatakan bahwa apa pun yang dilakukan manusia
semua telah ditentukan terlebih dahulu oleh Tuhan, manusia tidak memiliki daya untuk
berkehendak. Tapi Kaum Qadariyyah menyatakan sebaliknya bahwa manusia adalah
pencipta bagi tindakan-tindakannya, dan harus bertanggung jawab atas apa pun yang dia
lakukan, dalam hal ini mereka menyatakan bahwa sekali pun daya-daya yang dimiliki
manusia dicipta Tuhan, namun manusia memiliki kebebasan untuk menggunakan daya-
daya tersebut dalam memilih perbuatannya. Tetapi baik paham Jabariyyah maupun
Qadariyyah terdapat masalah yang masih sulit dipecahkan.
28

Baik secara tersurat maupun tersirat, al-Quran banyak berbicara tentang
kebebasan manusia untuk menentukan sendiri perbuatannya yang bersifat ikhtiari. Yang
dimaksud dengan perbuatan ikhtiari adalah perbuatan yang dapat dinisbatkan kepada
manusia dan menjadi tanggungjawabnya karena memang ia mempunyai kemampuan
untuk melakukan atau meninggalkannya.
29
Kedua sikap ini merupakan perbuatan
ikhtiari. Orang dapat memilih dan melakukan sikap pertama atau kedua, dan karenanya
ia akan dibalas dengan siksaan atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Lain halnya
dengan gerak reflek yang terjadi pada seseorang karena rangsangan yang sangat kuat
pada kulitnya. Orang yang tanpa sadar tersentuh bara api pada ujung jarinya akan
menarik tangannya dengan tiba-tiba. Ia tidak menyadari perbuatannya itu sejak semula.
Dalam keadaan seperti ini ia tidak mempunyai pilihan untuk menarik atau tidak menarik

27
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 9-10.
28
Lihat kritik-kritik Imam al-Ghazali terhadap kedua aliran ini, dalam Abdul Hamid Ali dan
Ismail Muhammad Husain, Dirasat Haul al-Iqtishad fi al-Itiqad; al-Qism al-Tsani (Kairo: Jamiah al-
Azhar, 2002), h. 19-25.
29
Misalnya, yang seringkali disebutkan di dalam al-Quran, menerima atau menolak ayat-ayat
yang dibawa para rasul. Q.s. Luqman/31: 21-22, disebutkan sikap orang-orang yang menolak untuk
mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan orang-orang yang menerimanya.
14

tangannya. Menurut H. Agus Salim, ada lima hal berkenaan dengan kehidupan dan
perbuatan manusia yang tidak dapat dikuasainya sepenuhnya: (1) nyawa, (2) alat
kelengkapan badan, semisal panca indera, kerja pencernaan, jantung dan sebagainya, (3)
kesehatan badan, (4) paham, pikiran, pengetahuan dan keyakinan yang terbentuk sejak
kanak-kanak tanpa kehendak dan pilihannya sendiri, dan (5) hubungan ke luar.
30

Dalam kenyataannya, perilaku manusia selalu bergerak dan berubah dalam dua
kategori, yaitu perilaku baik dan perilaku buruk. Allah sendiri telah menjadikan kedua
kriteria itu (baik dan buruk) sebagai pilihan yang tersedia dan mungkin ditempuh oleh
manusia, seperti terdapat dalam surat al-Balad ayat 10: Dan Kami telah menunjukkan
kepadanya dua jalan. Dan dalam surat al-Syams ayat 7-8, Allah menegaskan: Dan
jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
jalan kefasikan dan ketakwaannya.
Dari kedua potensi tersebut, manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan
untuk memelihara perbuatan baik. Meskipun dalam aktualisasinya, kecenderungan dasar
atau kecenderungan awal itu dapat terkalahkan oleh kecenderungan selanjutnya
(belakangan). Akan tetapi, dalam kesadaran akhlak yang mulia, kecenderungan
belakangan yang sudah terlanjur teraktualisasikan itu pun sangat mungkin untuk
kembali pada kecenderungan awal (baik).
Dalam ajaran Islam, potensi dasar manusia yang secara esensial tidak dapat
diubah walaupun secara aktual tidak selalu muncul itu, dikenal dengan konsep
fithrah.
31
Dalam surah al-Rum ayat 30, Allah menegaskan:
`! ,> _l !,.> ,L < _.l L _!.l !,l . _,.,. _l>l < l:
_ `,1l _>.l . _!.l .l-, .
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada

30
Pendapat H. Agus Salim tersebut sesuai kutipan, Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 30-31.
31
Penafsiran linguistik dan religius terhadap kata fitrah, memiliki satu hal yang sama, keduanya
menetapkan fitrah sebagai kecenderungan alamiah bawaan yang tidak bisa berubah. Apa yang
menjadikan pemahaman religius kita positif adalah bahwa ia bukan saja mengakui fitrah sebagai suatu
kecenderungan alamiah, tetapi juga sesuatu yang cenderung kepada tindakan yang benar dan ketundukan
kepada Allah yang Maha Esa. Lihat Yasien Mohamed, Insan Yang Suci; Konsep Fithrah Dalam Islam.
Penerjemah Masyhur Abadi (Bandung: Mizan, 1997), h. 17.
15

fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(Q.s. al-Rum/30: 30).
Dengan fitrahnya, manusia mengemban tangung jawab secara mandiri dalam
bertingkah laku. Apa yang diperbuat manusia pada akhirnya akan dikembalikan pada
dirinya sendiri. Dalam akhlak Islam, kebebasan memilih antara jalan yang baik dan
jalan yang buruk diberikan kepada manusia secara penuh, sehingga ia dapat
mempertanggungjawabkan tindakannya sendiri. Faktor di luar diri pribadi orang tua,
teman, keluarga, sekolah dan masyarakat tidak menanggung beban tangung jawab
akhir perbuatan pribadi manusia, meskipun dalam kenyataannya ikut mempengaruhi
lahirnya suatu perbuatan.
32
Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sebagai
individu dan sebagai jamaah, seseorang tidak diharuskan memikul dosa kesalahan orang
lain, dan suatu umat tidak diharuskan memikul dosa kesalahan umat yang lain.
33

Perbuatan yang dipertanggungjawabkan oleh manusia adalah tindakan yang lahir
dari proses pemilihan atau usaha yang sadar (ikhtiar). Artinya, perbuatan itu dilakukan
atas dasar pengetahuan, kesadaran dan kemampuannya sendiri. Sebaliknya, perbuatan
yang dilakukan seseorang karena kelalaian atau karena paksaan yang benar-benar
menekan padahal ia sendiri tidak menyukainya tidak membebani manusia untuk
mempertanggungjawabkannya. Dan juga ditemukan ayat-ayat yang menegaskan bahwa
pertanggungjawaban tersebut berkaitan dengan perbuatan yang disengaja, bukan gerak
refleks yang tidak melibatkan kehendak.
34

Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk
memilih, maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya. Atas dasar
ini pula, maka niat dan kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam
nilai amal sekaligus dalam pertanggungjawabannya.
35



32
Taufik Abdullah, dkk., Akhlak dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. III (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 326-327.
33
Lihat, Q.s. al-Isra/17: 14, Q.s. al-Thur/52: 21, dan Q.s. al-Baqarah/2: 141.
34
Lihat, Q.s. al-Baqarah/2: 173 dan 225, dan Q.s. al-Nahl/16: 106. Dari ayat-ayat tersebut dapat
dipahami bahwa ketentuan pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya dibatasi oleh sekurang-
kurangnya dua kondisi. Pertama, manusia tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang lahir di
luar pengetahuannya sendiri dalam pengertian yang sesungguhnya. Kedua, manusia tidak harus
mempertanggungjawabkan perbuatan yang memang tidak dilakukannya.
35
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 258.
16

Catatan Akhir
Bahwa al-Quran menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan
Tuhan, sebagai khalifahNya di muka bumi, serta sebagai makhluk bidimensional.
Memiliki kecenderungan positif dan negatif, sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya,
rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta karunia keunggulan
atas alam semesta, langit dan bumi. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam
kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki suatu keluhuran
dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka, dalam banyak hal, tidak
bersifat kebendaan. Mereka dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia
yang dilimpahkan kepada mereka, namun pada saat yang sama, mereka harus
menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.
Manusia adalah makhluk ciptaan yang belum selesai, dan karenanya sangat
berkepentingan untuk secara aktif-kreatif turut dalam proses penyelesaian ke arah yang
diinginkannya. Apakah ke arah yang mulia sampai ke posisi insan kamil ataukah ke
arah yang rendah-hina (Q.s. al-Balad/90: 4). Bila hendak meningkat, ia harus mencari
dan meniti pembimbingan dan pendakian, bila tidak, ia cukup membiarkan dirinya
dalam posisi stagnasi, dan ia akan terseret ke arah yang sebaliknya.
Paulo Freire (1971) percaya bahwa manusia , sebagai makhluk yang tidak
sempurna, punya panggilan ontologis dan historis untuk menjadi manusia yang lebih
sempurna. Apa yang dia maksud dengan ontological vocation adalah panggilan
alamiah dari dalam diri manusia untuk merealisasikan potensinya sebagai manusia
secara penuh. Dalam proses menjadi, manusia diajak untuk secara terus menerus
memanusiakan diri mereka lewat menamakan (naming) dunia dalam aksi-refleksi
dengan manusia yang lain.
36

Model pembimbingan yang diperlukan dapat merunut kedua unsur dasar
komponen kejadiannya yang dari tanah-fisikal dan dari roh Allah-rohaniah. Dapat
dilakukan secara kolektif-bersama orang lain, dan dapat secara personal-solo training.
Dalam kerangka teknis yang terakhir, perenungan tentang diri sendiri dan pengamalan
doa dan ibadah tertentu lebih ditingkatkan, disertai usaha-usaha intensif lainnya untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Hasil latihan ini biasanya menimbulkan pandangan

36
M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis (Yogyakarta: Resist Book, 2008), h. 40.
17

baru tentang diri sendiri, relasi dengan lingkungan sekitar dan dengan Tuhan.
Formatnya dapat dipolakan seperti berikut:
37

Keunggulan Kelemahan
Potensi Dikembangkan Dihambat
Aktualisasi Dipertahankan Dikurangi
Akhirnya, manusia perlu terus menyadari bahwa hidup adalah satu dan terus
menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk selalu menerima cahaya-cahaya yang
baru dari suatu Realitas Yang Tak Terbatas, yang setiap saat muncul sebagai
kemegahan yang baru. Dan sang penerima cahaya ketuhanan bukanlah hanya seorang
penerima yang pasif belaka. Setiap perbuatan ego yang merdeka menciptakan suatu
situasi baru, dan dengan begitu, memberikan kemungkinan lebih jauh untuk kerja
kreatif.
Wa Allah alam bi al-shawab

Penulis,








37
Lihat, Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan
Pengalaman Tragis (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 66-67.
18

Daftar Pustaka
Abd al-Baqi, Muhammad Fuad. Al-Mujam al-Mufahras li Alfadzh al-Quran al-
Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Abdullah, Taufik. dkk. Akhlak. dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. III.
Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
Ali, Abdul Hamid dan Husain, Ismail Muhammad. Dirasat Haul al-Iqtishad fi al-
Itiqad; al-Qism al-Tsani. al-Qahirah: Jamiah al-Azhar, 2002.
al-Aqqad, Abbas Mahmud. Manusia diungkap al-Quran. Penerjemah Tim Pustaka
Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
al-Ashfahani, Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Raghib. Al-Mufradat fi
Gharib al-Quran. Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1961.
Bastaman, Hanna Djumhana. Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan
Pengalaman Tragis. Jakarta: Paramadina, 1996.
Berger, Peter L. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Penerjemah Hartono.
Jakarta: LP3ES, 1991.
Bintusy-Syathi, Aisyah Abdurrahman. Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Quran.
Penerjemah M. Adib al-Arief. Yogyakarta: LKPSM, 1997.
Fromm, Erich. Revolusi Harapan. Penerjemah Kamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Hasan, Muhammad Tholhah. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: PT. Listafariska
Putra, 2000.
Hidayati, Heny Narendrany dan Yudiantoro, Andri. Psikologi Agama. Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007.
Kartanegara, Mulyadi. Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta:
Lentera Hati, 2006.
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Mohamed, Yasien. Insan Yang Suci; Konsep Fithrah Dalam Islam. Penerjemah
Masyhur Abadi. Bandung: Mizan, 1997.
19

Muthahari, Murtadha. Ruh, Materi dan Kehidupan. Penerjemah Yuliani L. dan A.
Hasan. Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993.
-------------. Perspektif al-Quran Tentang Manusia dan Agama. Penerjemah Sugeng
Rijono dan Farid Gaban. Bandung: Mizan, 1992.
Nuryatno, M. Agus. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book, 2008.
Quthb, Muhammad. Dirasat fi al-Nafs al-Insaniyah. al-Qahirah: Dar al-Syuruq, 1993.
Shariati, Ali. Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah M. Amien Rais, cet. 2. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran, cet. 10. Bandung: Mizan, 2000.
al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Jami al-Bayan fi Tawil al-Quran, Juz ... Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1999.
al-Zamakhsyari, Ab al-Qsim Muhammad bin Umar Muhammad. al-.Tafsr al-
Kasysyf, Juz . Baerut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1971.
















20

IDENTITAS DIRI
Nama : Zulfan Taufik
TTL : Ambon, 17 Juli 1988
NIM : 105060002175
Semester : VIII (delapan)
Fakultas : Dirasat Islamiyah
Universitas : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Alamat (rumah) : Jl. Semangka no. 12 Sukaraja Timur Ampenan-Mataram, NTB.
Alamat (kosan) : Desa Pisangan Ciputat, Rt/Rw: 05/08 No. 20E.
Email : Joe_opick@yahoo.com
Handphone : 085722270036

Pengalaman Organisasi :
- 2005 2006 : Anggota KAMMI UIN Syahid.
- 2007 sekarang : Anggota HMI Komfakdisa.
- 2007 2008 : Ketua LITBANG BEM FDI.

Pengalaman Lomba Penulisan :
- Juara 1 Lomba Penulisan Essay antar komisariat HMI Cab. Ciputat, Maret 2007.
- Juara 1 Lomba Penulisan Essay se-FDI 2008.
- Partisipasi Lomba Penulisan Opini kampusku, LPM UIN Syahid 2008.




21



MANUSIA MAKHLUK BIDIMENSIONAL
Telaah tentang Potensi dan Tanggungjawab dalam Perspektif Al-Quran.







Karya Ilmiah
Diajukan Dalam Rangka Partisipasi
Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional Mahasiswa PTAIN & PTAIS




Oleh
Zulfan Taufik
105060002175


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2009

Anda mungkin juga menyukai