20225054186001
1. Setelah Anda menguasai konsep-konsep utama kajian politik dan kekuasaan, coba Anda rumuskan sendiri
menurut pemahaman Anda dengan argumentasi yang tepat tentang:
a. Pengertian konsep politik menurut pemahaman konsep akademik!
b. Pengertian dan dimensi-dimensi kekuasaan (Politik)!
c. Struktur Politik (suprastruktur politik dan infrastruktur politik)
d. Konflik, proses politik, perilaku politik dan partisipasi politik
Analisis:
Sri Sumantri; Politik adalah pelembagaan dari hubungan antar manusia yang dilembagakan dalam
berbagai badan politik, baik suprastruktur politik dan infrastruktur politik.
Ramlan Surbakti; Politik adalah proses interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk menentukan
kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
F. Isjwara; Politik adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai teknik
menjalankan kekuasaan-kekuasaan.
Carl Schmidt; Pengertian politik menurut Carl Schmidt adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang
lebih membuat keputusan-keputusan dari pada lembaga-lembaga abstrak.
Maurice Duverger; Definisi politik menurut Maurice Duverger adalah kekuasaan, kekuatan seluruh
jaringan lembaga-lembaga (institusi) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal ini suasana
didominasi beberapa orang atas orang lain.
Wilbur White; Arti politik adalah ilmu yang mempelajari asal mula, bentuk-bentuk dan proses-proses
Negara dan pemerintah.
Max Weber; Pengertian politik menurut Max Weber adalah sarana perjuangan untuk sama-sama
melaksanakan politik atau perjuangan untuk mempengaruhi pendistribusian kekuasaan baik di antara
Negara-negara maupun diantara hukum dalam suatu Negara.
Gabriel A. Almond mengatakan bahwa politik adalah kegiatan yang berhubungan dengan kendali
pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong
lewat instrumen yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa). Politik
mengacu pada penggunaan instrumn otoritatif dan koersif ini-siapa yang berhak menggunakannya dan
dengan tujuan apa.
Kartini Kartolo; menurutnya politik adalah aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan
untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah
masyarakat.
Pemahaman konsep-konsep politik, baik dari Barat maupun dari Timur, dapat dipahami dan dirangkum
bahwa konsep politik dan ilmu politik itu mencakup aktivitas yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal Negara
b. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal (negara dan) pemerintahan
c. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal gejala kekuasaan
d. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari pengambilan keputusan
e. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal kebijakan public
f. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal pembagian
g. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal kelembagaan masyarakat
h. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal kegiatan politik
Pada dasarnya walaupun definisi politik sangat beragam, namun berbagai definisi tersebut memiliki
beberapa konsep-konsep pokok: pertama, negara (state); kedua, pemerintahan; ketiga, kekuasaan (power);
keempat pengambilan keputusan (decision making); kelima, kebijakan (policy); keenam, pembagian
(distribution) dan alokasi (allocation), kedelapan, kegiatan dan perilaku politik (political activity and behavior).
Berdasarkan penjelasan di atas, konsep-konsep yang menjelaskan pengertian politik dibaca kembali
dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya politik mengandung empat aspek, yakni perilaku politik;
pemerintah dan masyarakat (interaksi); kemampuan mengikat yang dimiliki setiap keputusan politik;
keputusan untuk masyarakat umum (demi kebaikan bersama dan unit politik); dan konflik, konsensus, dan
perubahan.
Sebelum melihat berbagai dimensi kekuasaan yang terjadi, maka dapat dilihat beragam rumusan dan
pendekatan yang menganalisis sebuah kekuasaan yang muncul. Menurut Ratnawari dan Dwipayana (2005)
dalam Modul Teori Politik, untuk memahami lebih jauh tentang rumusan kekuasaan dapat dilihat dari
perdebatan empat kubu utama dalam merumuskan hakekat kekuasaan yakni (1) Kubu pluralis, (2) Kubu
pengkritik pluralis, (3) Kubu radikal dan (4) Kubu Realis. Keempat kubu ini adalah pendekatan-pendekatan
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi kekuasaan.
Persepektif satu dimensi ini menjelaskan sebuah kondisi dimana salah satu kelompok didominasi oleh
kelompok yang lain, sehingga kelompok yang didominasi tidak bisa melakukan apapun tanpa ada “perintah”
dari kelompok yang mendominasi.
Berkaitan dengan konsep kekuasaan potensial dan aktual, menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005),
dalam melakukan analisisnya, penganut pliralisme menggunakan behavioralisme yang mempunyai sifat
empiris dan observable, sehingga lebih menekankan pada analisa aktor. Metodenya lebih menekankan pada
studi tingkah laku (behavior) yang konkret dan dapat diamati dari para aktor dala pembuatan keputusan atas
isu-isu kunci atau penting yang melibatkan konflik aktual dan bisa diamati. Para penganut pluralis dalam
mengidentifikasi kekuasaan adalah dengan mempelajari proses pembuatan kebijakan karena dalam
pendangan ini pembuatan kebijakan merupakan konflik langsung dan bias diamati. Kaum pluralis
beranggapan bahwa kepentingan harus dipahami sebagai preferansi, sehingga konflik kepentingan dianggap
sebagai konflik preferensi. Dalam melakukan analisa terhadap kekuasaan, factor yang paling penting adalah
konflik, dimana ada kompetisi dan ada disharmoni antara aktor yang mempunyai kepentingan yang
berlawanan sehingga pengamatan dapat secara lebih mudah dilakukan. Namun keseluruhan pengamatan
terhadap objek, diasumsikan dilakukan oleh objek dalam keadaan sadar terhadap konsekuensi-konsekuensi
tindakan untuk memperoleh preferensi.
Pendekatan pluralis melihat arena politik sebagai sebuah sistem terbuka dengan kesempatan yang
sama dengan semua orang untuk dapat terlibat, bukan hanya berputar disebuah elite saja. Setiap orang akan
ikut terlibat dan berpartisipasi dalam proses kebijakan, apabila merasa terkait dengan satu isu dan ingin
menyampaikan pendapatnya mengenai isu tersebut.
Jadi dalam pandangan pluralis ini untuk memahami kekuasaan adalah dengan melihat aktor sebagai
komponen utama analisisnya. Semakin sering banyak seorang aktor menggunakan sumber-sumber kekuasaan
dengan intensitas yang tinggi dalam mempengaruhi keputusan politik guna memperoleh preferensinya maka
dapat dikatakan semakin besar pula kekuasaan dari seorang aktor tersebut.
Pendekatan yang digunakan oleh kubu kedua ini sering disebut pendekatan elit atau pendekatan dua
dimensi yang dikemukakan oleh Peter Bachrach dan Morton Baratz. Kubu kedua ini mengkritik kubu pluralis
yang melihat kekuasaan dari satu dimensi saja yakni bagaimana seseorang menggunakan sumber-sumber
kekuasaannya untuk mempengaruhi kebijakan sesuai dengan preferensinya. Menurut kubu kedua ini
kekuasaan tidak hanya dilihat dari bagaimana seseorang menggunakan sumber-sumber kekuasaan untuk
mempengaruhi kebijakan sesuai dengan preferensinya saja melainkan juga dapat dilihat dari dimensi
bagaimana seorang elit menggunakan sumber-sumber kekuasaannya untuk menutup atau menghambat isu-
isu atau kepentingan-kepentingan lain yang tidak menguntungkan bagi dirinya atau bahkan membahayakan
dirinya.
Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005) poin sentral pada pendekatan dari kubu ini adalah bahwa
pada tingkat mana seseorang atau kelompok secara sadar atau tidak menciptakan dan memperkokoh
hambatan bagi munculnya konflik kebijakan dipermukaan, maka dapat dikatakan bahwa seseorang atau
kelompok tersebut mempunyai kekuasaan. Pendekatan ini menekankan pada kekuasaan dipraktekan atau
digunakan dengan membatasi ruang lingkup dari pembuatan keputusan pada isu-isu yang relatif aman bagi
mereka yang menggunakan kekuasaan tersebut. Isu politik terpenting dari kubu ini adalah mengidentifikasi
isu potensial yang tidak mampu atau terhambat untuk diaktualkan.
Jadi pandangan kubu ini melihat kekuasaan dari dua dimensi yakni dimensi pertama melihat arena
sebagai sebuah sistem terbuka dan walaupun distribusi kekuasaan tidak tersebar merata, akan tetapi tidak
berpusat pada satu kelompok saja. Dimensi yang kedua adalah sistem ketidakmerataan yang monopolistik
diciptakan dan dipertahankan oleh kelas dominator. Elite mempunyai kekuatan dan sumber daya untuk
mencegah tindakan politik yang tidak menguntungkan mereka. Elite menentukan agenda untuk
mempertahankan dominasinya.
Kubu radikal adalah kubu yang mengkritik pendekatan kubu kedua diatas. Pendekatan kubu radikal
ini diungkapkan oleh Steven lukes dalam bukunya Power; A Radical view. Salah satu kritikan yang
dikemukakan adalah pada dasarnya pendekatan ini tidak berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yakni
memfokuskan analisis pada sebuah konflik yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak terjadi konflik,
maka sudah terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber daya yang menyebabkan tidak terjadi sebuah
konflik. Pendekatan pada kubu radikal ini menerangkan bahwasanya manipulasi dan kewenangan merupakan
sebuah bentuk kekuasaan yang tidak perlu melibatkan konflik terbuka.
Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005) lukes tidak sepakat dengan konsepsi konflik aktual sebagai
satu satunya bahan analisa sistem politik melainkan juga konflik laten dan potensial. Konflik laten terjadi
dimana ketika tidak ada kesesuaian antara kepentingan penguasa dengan kepentingan riil dari mereka yang
tidak terlibat dalam pembuatan keputusan. Ia tidak sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa jika
dalam masyarakat tidak ada konflik yang terbuka, maka disana tidak ada fenomena relasi kekuasaan. Menurut
Lukes, pihak yang berkuasa mampu membuat pihak yang dikuasai tidak punya kekuatan untuk melakukan
konfrontasi dengan cara yang sistemik. Sehingga kubu radikal ini menolak pandangan kaum pluralis yang
melihat bahwa kepentingan pribadi adalah subjektif. Menurut Lukes kepentingan individu adalah hasil
konstruksi dari adanya kekuasaan pihak lain.
Jadi dalam pandangan kubu radikal ini melihat kekuasaan dari tiga dimensi yakni Dimensi pertama,
yaitu kekuasaan, dilihat dari perilaku dalam pengambilan keputusan dari sebuah isu yang terdapat konflik
terbuka dari sebuah kepentingan subjektif. Dimensi kedua mencoba menjelaskan bagaimana proses
pembuatan keputusan sedapat mungkin berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah konflik
terbuka dari sebuah kepentingan subjektif semata sehingga menyingkirkan atau menghambat isu-isu atau
kepentingan yang tidak menguntungkan atau bahkan dapat membahayakan dirinya. Dimensi yang ketiga
adalah bagaimana kekuasaat tidak hanya dilihat pada kondisi konflik aktual saja melainkan juga dilihat dalam
konflik laten dan potensial. Dimana konflik aktual tidak terjadi karena pihak yang berkuasa mampu membuat
pihak yang dikuasai tidak punya kekuatan untuk melakukan konfrontasi. Dalam dimensi ketiga ini terdapat
sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau individu bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha
meloloskan kepentingan mereka, tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki oleh
kelompok atau individu.
Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005) Kubu realis yang dipelopori oleh Jefrey Isaac dan Ted
Benton berpendapat bahwa analisis kekuasaan seharusnya menekankan bukan pada tingkah laku yang teratur
melainkan pada hubungan sosial yang membentuk mereka. Analisis kekuasaan bukan pula diletakan pada
individu-individu yang diantara mereka belum tentu mempunyai keterikatan, namun ditekankan pada
kecenderungan yang sama.
Pendekatan four dimension of power ini menekankan analisa terhadap relasi struktural yang
melibatkan lingkungan. Bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, diperlukan analisa terhadap aktor lain, karena
terdapat relasi saling bergantung diantara banyak aktor. Tujuan-tujuan tersebut terintegrasi dalam
kepentingan-kepentingan (real interest) yang berupa nilai, norma dan tujuan-tujuan yang ada dalam praktek
sosial. Menurut Benton interest berbeda dengan preferences. Menurutnya keinginan, preferensi, kesenangan
atau pilihan belum tentu menjadi interest seseorang. Baginya setiap aktor tidak mampu menjadi otonom.
Kalau Lukes pada pendekatan Three dimension of power memahami kekuasaan berdasarkan sudut pandang
ontologi dan metodologi individualisme, Benton mendasarkan pada sudut pandang metodologi
relasionalisme, dimana individu adalah sebagai bagian dari lingkungan sosial.
Untuk memahami gejala politik kekuasan secara mendalam maka kekuasan ditinjau enam dimensi,
yaitu dimensi potensial dan aktual, positif dan negatif, konsensus dan paksaan, jabatan dan pribadi, implisit
dan eksplisit, langsung dan tidak langsung (Andrain and Putnam dalam Surbakti, 1992: 59-63) Dimensi-
dimensi kekuasaan tersebut dapat kita ikuti penjelasannya berikut ini:
Suprastruktur dan infrastruktur dalam politik berkaitan erat dengan birokrasi dan aktor-aktor yang
bermain baik itu secara dependen mau pun independen yang salah satu fungsi nya memang dapat memberi
gambaran pada masyarakat mengenai papan permainan catur yang terjadi di negera mereka.
Dalam studi-studi ilmu-ilmu sosial dikenal dua pendekatan, yakni pendekatan struktural fungsional
(konsensus) dan struktural konflik. Pendekatan konsensus, berasumsi masyarakat mencakup bagian-bagian
yang berbeda fungsi tetapi saling berhubungan satu sama lain secara fungsional. Sementara itu pendekatan
konflik berasumsi bahwa masyarakat mencakup berbagai bagian yang memiliki kepentingan yang saling
bertentangan. Di samping itu masyarakat terintegrasi dengan suatu paksaan dari kelompok dominan sehingga
masyarakat dalam keadaan konflik. Konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga
masyarakat yang diarahkan untuk memenangkan kebijakan umum dan pelaksanaannya, juga perilaku
penguasa, beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan di antara
partisipan politik (Surbakti, 1992: 151).
Kritik perspektif konflik terhadap pandangan fungsionalis adalah bahwa nilai-nilai bersama yang
diyakini telah menjadi kesepakatan antar masyarakat, bukanlah suatu nilai yang diciptakan bersama,
melainkan terlebih dahulu diciptakan oleh kekuatan yang dominan. Nilai-nilai tersebut bukanlah suatu
konsesus yang nyata, tetapi tak lebih dan rekayasa kekuatan dominan yang dipaksakan kepada masyarakat.
Dahrendorf (Johnson, 193) meringkas asumsi teori fungsionalis (atau konsesus atau integritas) yang
bertentangan dengan teori konflik menurutnya, teori fungsional menyatakan bahwa :
1) Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang secara relatif mantap dan stabil.
2) Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang terintegritas dengan baik
3) Setiap elemen dalam suatu masyarakat memiliki fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya
mayarakat itu sebagai suatu sistem.
4) Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsesus nilai diantara para anggotanya.
a) Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial ada dimana-mana.
b) Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik, konflik sosial ada dimana-
mana.Setiap elemen pada setiap masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan, dan
c) Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
Berangkat dari persfektif dan asumsi konflik politik diatas, tampaknya pertentangan dan perbedaan
menjadi kunci dalam mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan konflik politik. Hal ini misalnya tergambar
dari beberapa definisi tentang konflik itu sendiri yang dikemukakan oleh para sarjana, sebagai berikut:
1. Konflik didefinisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan didasari antara individu-individu
atau kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang sama (Achmad Fedyani Syarifudin: 1986:7)
2. Konflik adalah suatu gejala yang wajar terjadi dalam setiap masyarakat yang selalu mengalami perubahan
sosial dan kebudayaan (Lewis S. Cosen, dalam Syarifudin, 1986).
3. Konflik politik adalah percekcokan, pertentangan, perselisihan dan ketegangan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1995).
Dari titik ini, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah “gejala pertentangan dalam masyarakat yang
berkenaan dengan mata rantai kekuasaan dan Negara. Konflik merupakan salah satu konsep dasar ilmu politik,
sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa terlepas dari interaksi dengan orang lain utamanya dalam
pemenuhan hasrat maupun tujuannya. Akan tetapi, sebagai makhluk yang memiliki hawa nafsu dan emosi,
dalam interaksi sosial di kehidupan sehari-hari sering kita temui adanya pertentangan dalam masyarakat, baik
antar indicidu maupun antar kelompok atau golongan. Karena memang, pada hakikatnya manusia akan
senantiasa berkonflik dan dihadapkan dengan perbedaan satu dengan lainnya.
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses
penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana-
sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin
mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik
mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk.
Pengertian konflik menurut para ahli diantaranya dikemukakan oleh Menurut Myes (dalam Ramlan
Surbakti, 2005 :15), Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan
individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik.
Menurut Stewart & Logan, (dalam Ramlan Surbakti, 2005 :15). Konflik pun tidak hanya diungkapkan
secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang
mengekpresikan pertentangan. Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam
antara dua pihak bersetaru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai “perang dingin” antara dua pihak karena
tidak diekpresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amarah. (dalam Skripsi Helmi, Fuad, 2011
:12).
Sementara Raven dan Rubin, menjelaskan kepentingan adalah perasaan orang mengenai apa yang
sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang
membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan minat (intensi)-nya.(Dean, & Jeffrey, 2011 :21)
Dengan melihat beragam definisi diatas, dapat dikatakan konflik adalah pertentangan oleh karena
terjadi perbedaan kepentingan antara dua atau lebih baik individu maupun kelompok dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dan berusaha menjadi dominan atas pihak lain.
Adapun yang dimaksud dengan konflik dalam politik adalah konflik dalam ruang lingkup, isu, dan aktor
yang terlibat menjadi pembeda dengan konflik pada umumnya. Konflik politik mengarah pada conflict of
interest atau konflik kepentingan.
Simon Fisher, dkk. (2000), dalam bukunya Working With Conflik: Skill dan Strategis For Action
(diterjemahkan S.N. Kartikasari, dkk., “ mengelola konflik ketampilaan dan strategi untuk bertindak),
menjelaskan tentang berbagai teori penyebab terjadinya konflik :
Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya polarisasi yang terus terjadi dalam masyarakat
sehingga menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antar kelompok yang mengalami konflik.
b. Mengusahakan toleransi agar masyarakat bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan
pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang hendak dicapai
dalam teori negoisasi prinsip ini adalah:
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai
masalah dan isu,dan mendorong pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang berkonflik untuk
melakukan negoisasi yang dilandasi kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah
pihak atau semua pihak (win-win solution for all).
Teori ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia. Teori ini
berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi
atau sengaja dihambat oleh pihak lain. Kebutuhan dasar manusia biasanya menyangkut tiga hal, yakni
kebutuhan fisik, mental, dan sosial. Sasaran yang dicapai teori ini adalah :
a. Membantu pihak-pihak yang sedang berkonflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan secara
bersama-sama mengenai kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi sehingga memperoleh pilihan-
pilihan (alterantif-alternatif) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
b. Membantu agar pihak-pihak yang mengalami konflik dapat meraih kesepakatan untuk memenuhi
kebutuhan dasar semua pihak.
4. Teori identitas
Teori ini berasumsi bahwa konflik terjadi akibat adanya identitas yang terancam yang sering berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan masalalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang hendak dicapai dalam
teori ini adalah :
a. Melalui fasilitas komunikasi dan dialog antar pihak yang mengalami konflik. Mereka diharapkan dapat
mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk
membangun mepati dan rekonsiliasi diantara mereka (pihak-pihak yang berkonflik).
b. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.[8]
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan adanya ketidakcocokan dalam cara berkomunikasi diantara
berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
b. Mengurangi stereotip negative yang mereka miliki tentang pihak atau kelompok lain.
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah social, budaya, dan ekonomi. Sasaran
yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
b. Meningkatkan ikatan hubungan sikap jangka panjang di antarpihak atau antarkelompok yang
mengalami konflik.
Proses politik merupakan dinamika perjalanan politik dalam sebuah negara. Proses politik ini tak
ubahnya sebuah rotasi dalam sistem politik baik secara historis maupun secara realita dengan perspektif
pendekatan sistem . Pergantian rezim kekuasaan dan pengambil kebijakan merupakan sebuah proses politik
dalam perspektif historis. Proses politik secara historis merupakan sebuah upaya deskriptif-obyektif
beberapa kejadian dan korelasinya dengan kejadian lainnya. Lebih lanjut diperlukan pendekatan yang
integratif untuk menjelaskan unsur-unsur yang berinteraksi dan berproses (fungsional) dalam sistem politik.
Proses politik ini merupakan tolak ukur keberhasilan sebuah sistem politik. Akan tetapi dalam
analisanya tidak cukup hanya dengan pendekatan sejarah, melainkan diperlukan pendekatan sistem yang
integratif termasuk didalamnya pendekatan pelaku-sarana-tujuan dan pengambilan keputusan. Pendekatan
integratif ini didorong oleh adanya interaksi fungsional (sebuah proses sub sistem yang menjaga eksistensi
sebuah sistem) dalam sistem tersebut.
Melalui pendekatan yang integratif ini dapat diperoleh gambaran proses politik saat ini bahkan yang
akan datang. Proses politik dapat dilihat dari lingkungan sistem politik. Kualitas sumberdaya Manusia para
pelaku politik serta sarana berpolitik baik yang berupa teknologi maupun ilmu pengatahuan yang digunakan
untuk mencapai tujuan merupakan satu sudut pandang terhadap sebuah proses politik dengan pendekatan
Pelaku-sarana-tujuan. Proses politik juga dipengaruhi oleh pengambilan keputusan (decision making) para
pelaku politik. Karl W Deutsch mengutarakan bahwasanya pencapaian tujuan sosial seyogyanya dilakukan
melalui keputusan-keputusan yang aplikatif.
Konflik dan proses politik memiliki keterkaitan yang sangat erat. Konflik merupaka gejala serba-
hadir dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu, dimensi penting proses politik
ialah penyelesain konflik yang melibatkan pemerintah. Proses “penyeleseian” konflik politik yang tak bersifat
kekerasan dibagi menjadi tiga tahap:
Pengertian perilaku politik dapat dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang
mendefinisikan “perilaku” sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.
Definisi ini juga dapat menunjukkan adanya nilaibahwa perilaku adalah reaksi terhadap stimulus yang
diberikan secara internal (psikologis) maupun eksternal (sosiologis).
Artinya, dapat dikatakan bahwa definisi perilaku politik ini adalah tanggapan atau reaksi individu
terhadap aktivitas perpolitik dalam suatu negara. Karakteristik perilaku politik dari suatu masyarakat dapat
dilihat dari sejauh mana kadar kekentalan budaya politik pada suatu masyarkat. Artinya, budaya politik itulah
yang paling banyak berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam merespon politik. Budaya politik ini pula
yang mengikat perilaku politik.
Perilaku politik seseorang dapat dipengaruhi oleh berbagai hal. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku politik, meliputi :
Dalam kajian perilaku politik, dapat dilihat adanya dua model perilaku politik secara umum.
Adapun model perilaku politik ini berupa individu sebagai aktor politik dan agregasi politik.
Individu aktor politik meliputi pemimpin politik, aktivis politik, dan individu warga Negara biasa.
Sementara agregasi politik adalah individu aktor politik yang bertindak secara kolektif. Agregasi politik ini
meliputi kelompok kepentingan, birokrasi, parpol, lembaga pemerintahan dan bangsa.
Sumber perilaku politik yang paling utama adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku
politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.Kesepakatan ini tidak selalu bersifat
terbuka, dalam artian, tidak setiap kesepakatan dalam budaya politik ditegaskan secara gamblang.
Ada juga budaya politik yang sifatnya tertutup tetapi tetap dipahami oleh kelompok masyarakat.
Misalnya saja, ketika akan dilangsungkan pemilihan umum, ada budaya politik dalam masyarakat yang sering
meminta sumbangan, atau amplop, atau materi lainnya dari para calon, yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi sikap politiknya.
D.4. Partisipasi Politik
Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan
politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara
ataupun partai yang berkuasa.
Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini,
partisipasi politik " ... a series of activities related to political life, aimed at influencing public decisions in a more
or less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious.[3] Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala
aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan
baik secara langsung maupun tidak langsung -- dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya
penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka,
Huntington and Nelson memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke
dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam
melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi
Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa)
hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap
melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan
dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi
Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara
dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo,
dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. [4] Warganegara di
negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya
ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi
politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:
a. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
b. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang
serupa.
c. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
d. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang
berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif
pemerintahan, dan
e. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus
antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang
dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
Mode Partisipasi Politik
Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2
bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti
Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an
dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru
(New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist),
gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan teror.
Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka
bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan
Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
a. Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana
partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang
berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
b. Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud
mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
c. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun
pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
d. Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-
pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
e. Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi
keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini
adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi
partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi
politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi
politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum
memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau
lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Misalnya, Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-
bentuk partisipasi politik dapat meliputi: (1) Opini publik; (2) Polling; (3) Pemilihan umum; dan (4) Demokrasi
langsung.
2. Uraikan evaluasi Anda tentang proses bekerjanya sistem politik Indonesia berdasarkan pendekatan dan
model analisis di bawah ini:
a. Pendekatan Analisis sistem politik menurut David Easton
b. Pendekatan struktural fungsional menurut Gabriel Almon
c. Pendekatan atau model analisis menurut David Apter, Mitchell, dan Hoogerwerf
Analisis:
Menurut Chilcote, dalam tulisannya di The Political System, Easton mengembangkan empat asumsi
(anggapan dasar) mengenai perlunya suatu teori umum (grand theory)sebagai cara menjelaskan kinerja
sistem politik, dan Chilcote menyebutkan terdiri atas:
1. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi untuk mensistematisasikan fakta-fakta yang ditemukan.
2. Para pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai keseluruhan, bukan parsial.
3. Riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data psikologis dan data situasional. Data psikologis terdiri
atas karakteristik personal serta motivasi para partisipan politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas
yang muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini muncul dari lingkungan fisik (topografi,
geografis), lingkungan organis nonmanusia (flora, fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan reaksinya).
4. Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu disequilibrium(ketidakseimbangan).
Fakta cenderung tumpang-tindih dan semrawut tanpa adanya identifikasi. Dari kondisichaos ini, ilmu
pengetahuan muncul sebagai obor yang menerangi kegelapan lalu peneliti dapat melakukan klasifikasi
secara lebih jelas. Ilmu pengetahuan melakukan pemetaan dengan cara menjelaskan hubungan antar fakta
secara sistematis. Politik adalah suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan politik memiliki
dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Easton memaksudkan teori yang dibangunnya mampu
mewakili ketiga unsur ilmiah tersebut.
Dalam konteks bangunan keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum yang mampu
mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik sistem politik untuk kemudian merangkum
keseluruhannya dalam satu penjelasan umum. Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan
kembali lagi ke awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu merekam seluruh proses
tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton menghendaki analisis yang dilakukan atas
suatu struktur tidak dilepaskan dari fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian sistem
politik bersifat menyeluruh, bukan parsial. Misalnya, pengamatan atas meningkatnya tuntutan di struktur
input tidak dilakukan secara per semelainkan harus pula melihat keputusan dan tindakan yang dilakukan
dalam struktur output.
Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya. Sebab itu pengamatan atas
suatu sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini disistematisasi
ke dalam dua jenis data, psikologis dansituasional. Kendati masih abstrak, Easton sudah mengantisipasi
pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih dimaksudkan pada tingkatan unit-unit sosial dalam
masyarakat ketimbang perilaku warganegara (seperti umum dalam pendekatan behavioralisme). Easton
menekankan pada motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan di dalam sistem politik.
Menarik pula dari Easton ini yaitu antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi geografis
ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain tentunya
lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik. Easton juga
menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam kondisidisequilibriun (tidak seimbang). Ketidakseimbangan
inilah yang merupakan bahan bakarsehingga sistem politik dapat selalu bekerja.
Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu penjelasan atas sistem
politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan
fenomena sistem politik, lembaga-lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk
pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini.
Lebih lanjut, Chilcote menjelaskan bahwa setelah mengajukan empat asumsi seputar perlunya
membangun suatu teori politik yang menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton mengidentifikasi
empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiapkajian sistem politik, yang terdiri atas:
1. Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik
Serupa dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik pun terdapat unit-unit
yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik.
Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti
legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di
dalam batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan
sejenisnya.
2. Input-output
Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang masuk dari masyarakat
ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan dandukungan. Tuntutan secara sederhana dapat disebut
seperangkat kepentingan yang alokasinya belum merata atas ejumlah unit masyarakat dalam sistem
politik.Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat untuk mendukung keberadaan sistem politik
agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun
dukungan masyarakat. Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh
pemerintah.Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan
yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat.
3. Diferensiasi dalam sistem
Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan) kerja. Di masyarakat
modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam
proses penyusunan Undang-undang Pemilu, tidak bisa hanya mengandalkan DPR sebagai penyusun utama,
melainkan pula harus melibatkan Komisi Pemilihan Umum, lembaga-lembaga pemantau kegiatan pemilu,
kepresidenan, ataupun kepentingan-kepentingan partai politik, serta lembaga-lembaga swadaya
masyarakat. Sehingga dalam konteks undang-undang pemilu ini, terdapat sejumlah struktur (aktor) yang
masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
4. Integrasi dalam sistem
Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Undang-
undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi
antara DPR, Kepresidenan, KPU, Bawaslu, Partai Politik, dan media massa.
Hasil pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut:
Masyarakat terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di dalamnya serta bersifat terbuka;
Sistem politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas perilaku sosial, dengan mana
nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara otoritatif. Kalimat ini sekaligus merupakan definisi politik
dari Easton; dan
Lingkungan terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal.
Lingkungan intrasocietal terdiri atas lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luarbatasan sistem politik
tetapi masih di dalam masyarakat yang sama. Lingkunganintrasocietal terdiri atas:[10]
Lingkungan ekologis (fisik, nonmanusia). Misal dari lingkungan ini adalah kondisi geografis wilayah yagng
didominasi misalnya oleh pegunungan, maritim, padang pasir, iklim tropis ataupun dingin;
Lingkungan biologis (berhubungan dengan keturunan ras). Misal dari lingkungan ini adalah semitic,
teutonic, arianic, mongoloid, skandinavia, anglo-saxon, melayu, austronesia, caucassoid dan sejenisnya;
Lingkungan psikologis. Misal dari lingkungan ini adalah postcolonial, bekas
penjajah, maju, berkembang, terbelakang, ataupun superpower; dan
Lingkungan sosial. Misal dari lingkungan ini adalah budaya, struktur sosial, kondisi ekonomi, dan
demografis.
Lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan sistem
politik dan masyarakat tempat sistem politik berada. Lingkunganextrasocietal terdiri atas:
Sistem Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial internasional adalah kondisi pergaulan masyarakat
dunia, sistem ekonomi dunia, gerakan feminisme, gerakan revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya
apa yang kini dikenal dalam terminologi International Regime (rezim internasional) yang sangat banyak
variannya.
Sistem ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi internasional adalah keterpisahan negara berdasar
benua (amerika, eropa, asia, australia, afrika), kelangkaan sumber daya alam, geografi wilayah berdasar
lautan (asia pasifik, atlantik), isu lingkungan seperti global warming atau berkurangnya hutan atauparu-
paru dunia.
Sistem politik internasional. Misal dari sistem politik internasional adalah PBB, NATO, ASEAN,
ANZUS, Europa Union, kelompok negara-negara Asia Afrika, blok-blok perdaganan dan poros-poros politik
khas dan menjadi fenomena di aneka belahan dunia. Termasuk ke dalam sistem politik internasional adalah
pola-pola hubungan politik antar negara seperti hegemoni, polarisasi kekuatan, dan tata hubungan dalam
lembaga-lembaga internasional.
Seluruh pikiran Easton mengenai pengaruh lingkungan ini dapat dilihat di dalam bagan model arus sistem
politik berikut:
Model Arus Sistem Politik Easton
Model arus sistem politik di atas hendak menunjukkan bagaimana lingkungan,
baikintrasocietal maupun extrasocietal, mampu mempengaruhi tuntutan dan dukungan yang masuk ke
dalam sistem politik. Terlihat dengan jelas bahwa skema ini merupakan kembangan lebih rumit dan rinci dari
skema yang dibuat Easton dalam karyanya tahun 1953. Keunggulan dari model arus sistem politik ini adalah
Easton lebih merinci pada sistem politik pada hakikatnya bersifat terbutka. Dua jenis
lingkungan, intrasocietal danextrasocietal mampu mempengaruhi mekanisme input (tuntutan dan
dukungan) sehingga struktur proses dan output harus lincah dalam mengadaptasinya.
Tuntutan dan dukungan dikonversi di dalam sistem politik yang bermuara pada output yang dikeluarkan
oleh Otoritas. Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan keputusan
maupun tindakan dalam bentuk policy(kebijakan), bukan sembarang lembaga, melainkan menurut Easton
diposisikan oleh negara (state). Output ini kemudian kembali dipersepsi oleh lingkungan dan proses siklis
kembali berlangsung.
c. Pendekatan atau model analisis menurut David Apter, Mitchell, dan Hoogerwerf
Menurut David Apter, sistem politik di suatu Negara dapat dilihat dari lembaga yang menjadi struktur
inti dalam proses kekuasaan. Pendekatan kelembagaan ini, sebagaimana yang diungkap David Apter berasal
dari para filsuf Yunani seperti Plato atau Aristoteles sampai dengan filsuf politik modern mengadopsi
pendekatan ini. Sehingga pendekatan ini dianggap lebih berat pada landasan filosofis dari ilmu politik.
Pada awal perkembangannya, pendekatan ini berkembang sejalan dengan ilmu hukum. Karena itu
pada masanya pendekatan ini banyak mengambil pembahasan mengenai mana yang „hitam dan mana yang
„putih‟. Karena itulah pembahasan yang menjadi turunan dari pendekatan ini memiliki kecenderungan yang
legal-formal.
Alasan mengapa legal adalah karena dalam pendekatan ini politik selalu dikaitkan dengan persoalan
hukum. Sehingga pembahasannya banyak mengacu pada konstitusi dan hukum-hukum yang ada di dalam
sebuah negara. Kita bisa mengambil Indonesia sebagai contoh. UUD 1945 adalah dasar konstitusional negara.
Sehingga apa yang tercantum di dalam yang menjadi pembahasan analisa politik. Seperti contohnya dasar
negara, bentuk negara, sistem pemerintah kita, dan lain sebagainya. Semua yang ada di UUD 1945
dianggap sebagai suatu hal yang ideal dan harus dijalankan tanpa melihat kembali bagaimana relevansi dan
signifikansinya di dalam realita.
Pendekatan ini disebut formal karena pembahasannya hanya seputar lembaga-lembaga dan struktur
politik yang formal. Pembahasan yang akan muncul dengan demikian adalah mengenai lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, partai-partai politik, sampai dengan sistem pemilu. Semuanya ini adalah lembaga
formal yang ketentuannya diatur oleh negara. Yang menjadi unit analisanya adalah kewenangan dari tiap-
tiap lembaga tersebut yang terdapat dalam konstitusi. Tetapi apakah lembaga berfungsi dengan benar tidak
menjadi unit analisa dari pendekatan kelembagaan. Selain itu pendekatan ini cenderung tidak melihat
kekuatan-kekuatan politik yang berada di luar lembaga formal tersebut. Baik kelompok-kelompok informal,
kepentingan, maupun media tidak menjadi bahan pengkajian dari pendekatan ini.
Analisa Apter cukup bisa menjelaskan hal ini. Ia memandang bahwa kelompok-kelompok tersebut
berusaha untuk mempengaruhi kebijakan tanpa memiliki kekuatan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kemampuan kelompok- kelompok ini sangat terbatas. Berbeda dengan partai-partai politik yang memang
secara konstitusional memiliki kemampuan untuk mempengaruhi langsung kebijakan dengan mengirimkan
wakil mereka yang akan bersentuhan langsung dengan pembuatan kebijakan. Sehingga para teoritisi
kelembagaan melihat bahwa kekuatan kelompok ini sangat kecil dan tidak signifikan. Apter menilai bahwa
pendekatan kelembagaan mencoba mengatakan bahwa saluran aspirasi maupun kekuatan untuk
mempengaruhi hanya bisa terjadi melalui representasi pemerintah yang ada dalam sebuah negara.
Dalam buku Introduction to Political Analysis, David E. Apter menjelaskan bagaimana pendekatan
kelembagaan memberikan gambaran mengenai tujuan filosofis dari adanya pemerintah. Kajian yang
berputar pada kegunaan lembaga-lembaga pemerintahan sesungguhnya banyak memberikan kontribusi
untuk pembangunan ilmu politik itu sendiri. Karena tak bisa dipungkiri pendekatan ini adalah yang pertama
kali muncul dalam analisa-analisa politik.
Menurut Apter, masing-masing pendekatan baik itu kelembagaan, perilaku, pluralis, strukturalis,
atau marxis memiliki penekanan dan areanya masing-masing. Dan untuk pendekatan kelembagaan, area
pengaplikasiannya banyak terdapat di kajian soal perbandingan politik, partai-partai politik, dan konstitusi.
Dapat kita lihat bahwa sebenarnya sumbangsih pendekatan kelembagaan adalah penjelasan
mengenai fungsi-fungsi lembaga politik dan juga pendekatan dengan melihat fungsi negara dan pemerintah.
Peran masing-masing lembaga dalam trias politica menjadi jelas dengan analisa yang menggunakan
pendekatan ini. Karena bersifat normatif, maka sebenarnya kita bisa melihat secara fungsional masing-
masing lembaga politik tersebut dalam sistem yang terbentuk di sebuah negara. Pendekatan neo-
institusionalis juga hadir karena dirasa dalam pendekatan perilaku peran negara seakan tidak lagi dianggap
penting. Padahal negara sesungguhnya sangat berperan dalam membentuk pola perilaku yang terjalin antar
aktor-aktor politik maupun masyarakat. Pendekatan kelembagaan dapat membantu kita sebagai pedoman
dalam melihat fungsi-fungsi negara tersebut dengan penjelasannya yang deskriptif dan historis.
Salah satu peninggalan paling penting yang dihasilkan oleh pendekatan kelembagaan adalah
bagaimana merumuskan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Kedua sistem ini terus menjadi
perdebatan karena menyangkut representasi politik dalam sebuah negara dan pembagian kekuasaan. Kedua
sistem ini juga yang menjadi pilihan sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Sehingga pakem yang
telah dibuat dari kedua sistem ini menjadi dasar bagi perkembangan ilmu politik dalam menganalisa sistem
pemerintahan di sebuah negara.
Kajian perbandingan politik juga banyak sekali mengacu pada pendekatan ini. Fokus yang
perbandingan politik adalah membandingkan unit-unit politik maupun sistem politik antar dua negara atau
lebih. Unit yang biasa diteliti meliputi partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam
metode perbandingan kita memerlukan pengertian deskriptif terlebih dahulu perihal fungsi-fungsi unit
tersebut sebelum bisa membandingkan bagaimana penerapannya di tiap-tiap negara.
Di Indonesia sendiri pendekatan kelembagaan banyak digunakan di awal berdirinya bidang ilmu
politik. Dalam Jurnal Politik, Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa dosen-dosen politik di masa-masa awal
banyak berasal dari lulusan ilmu hukum. Mereka tidak mempelajari teori-teori politik tetapi lebih pada
praktisi yang sedikit banyak mengerti praktek-praktek politik. Itu sebabnya pendekatan legal-formal menjadi
warna ilmu politik awal di Indonesia karena didominasi oleh orang-orang hukum. Barulah pada tahun 1960-
an mulai banyak berdatangan lulusan-lulusan luar negeri yang datang kembali ke Indonesia membawa
perspektif baru dalam melihat ilmu politik. Mereka inilah yang mulai memasukkan pendekatan perilaku ke
Indonesia dan mulai mengurangi pendekatan legal-formal terdahulu.
Sementara itu, menurut Joyce Mitchell, politik lebih ditekankan pada proses pengambilan
keputusan. Menurutnya, seperti dalam bukunya politikal analisis and public policy: ilmu politik adalah ilmu
yang mempelajari tentang pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk
masyarakat seluruhnya.
Kegiatan pengambilan keputusan adalah kegiatan yang kompleks. Pengalaman banyak manajer yang
berkecimpung dalam memecahkin masalah sehari-hari dan hasil-hasil penelitian menunjukkan, bahwa
kegiatan pengambilan keputusan akan menjadi lebih efektif bila didekati dengan:
Proses pengambilan keputusan tidak bisa dilihat sebagai suatu tindakan tunggal. tidak pula ia dapat
dipanddng sebagai suatu tindakan yang seragam yang berlaku untuk semua keadaan, serta dapat digunakan
oleh pengambil keputusan yang berbeda dengan tingkat efektivitas yang sama. Proses pengambilan
keputusan terdiri dari berbagai ndakan dengan memanfaatkan berbagai ragam keterampilan dan
pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dalam kehidupan berorganisasi.
Telah terlihat bahwa pengambilan keputusan, baik pada tingkat individu, tingkat kelompok, maupun
tingkat organisasi, pada umumnya berarti secara sadar menjatuhkan pilihan atas berbagai alternatif tertentu
setelah mengalami proses seleksi yang teliti. Proses pengambilan keputusan memerlukan penggunaan ide
atau persepsi tentang yang baik dan yang tidak baik, yang benar dan yang ialah, yang layak dan yang tidak
layak dilakukan serta yang harus dilakukan dan yang sebaiknya tidak dilakukan.
Artinya, proses pengambilan keputusan mau tidak mau harus memperhitungkan nilai-nilai
organisasional dan nilai-nilai sosial. Bahkan nilai moral dan etika pun harus diperhitungkan. Di samping itu,
karena dalam proses pengambilan keputusan manusia memainkan peranan yang paling menentukan, maka
filsafat hidup, nilai-nilai yang dianut, latar belakang pendidikan, pengalaman, pandangan atau persepsi
seseorang, turut pula berperan. Dengan segala faktor tersebut pun masih tetap tidak ada kepastian, bahwa
keputusan yang diambil benar-benar akan mendatangkan hasil yang diharapkan. Itulah sebabnya kalau orang
berbicara tentang proses pengambilan keputusan, ia selalu berbicara tentang probabilitas, baik yang
menyangkut keberhasilan maupun ketidak berhasilan.
Adapun menurut Hoogerwerf, sistem politik suatu negara dilakukan dengan menggunakan
perwakilan politik, yang dalam hal ini adalah partai politik. Perwakilan politik dapat didefinisikan sebagai
pelimpahan sementara atas kewenangan politik warga negara kepada (sekelompok) orang yang mereka pilih
secara bebas, untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan rakyat yang secara jelas dirumuskan.
Varian perwakilan menurut Hoogerwerf dalam sudut pandang hubungan antara wakil dengan pihak
yang diwakili dapat digolongkan kedalam lima tipe:
a. Tipe Utusan; Yakni wakil yang bertindak sesuai dengan perintah dari pihak yang diwakilinya.
b. Tipe Wali; Yakni wakil memperoleh kuasa penuh dari pihak yang diwakili, dan ia dapat bertindak atas
dasar pertimbangan sendiri. Dengan demikian keberadaan wakil tidak tergantung pihak yang diwakilinya.
c. Tipe Politics; Yakni kombinasi antara tipe utusan an tipe wali.Tergantung pada situasi, wakil kadang harus
berperan sebagai wali, kadang sebagai utusan.
d. Tipe Kesatuan; Yakni seluruh anggota lembaga perwakilan dipandang sebagai wakil dari seluruh rakyat,
tanpa membedakan asal partai politik yang mempromosikan mereka.
e. Tipe penggolongan; Yakni anggota lembaga perwakilan dilihat sebaga wakil dari kelompok teritorial,
sosial, dan politik tertentu
Sistem demokrasi yang ideal sebenarnya bilamana dibangun atas dasar dan sesuai dengan nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang di tengahtengah warga masyarakat suatu negara. Dengan demikian, tidak
harus sama antara sistem demokrasi yang berlaku di negara yang satu dengan demokrasi negara yang lain.
Namun ketidaksamaan sistem demokrasi antar negara itu bukan berarti dibenarkan negara yang satu
mengganggu negara yang lain. Oleh karena sistem demokrasi bersumber dari rakyat, akibatnya kekuasaan
yang di miliki oleh negara itu hakikatnya merupakan kekuasaan penjelmaan rakyat, bukan kekuasaan yang
hanya di miliki dan dikendalikan oleh satu orang, beberapa orang atau kelompok-kelompok tertentu saja. Nilai
yang terkadung pada sistem demokrasi bukan hanya sebatas pada penentuan untuk memilih peminpin itu
diserahkan kepada rakyat secara langsung. Melainkan filosofis sistem demokrasi adalah kedaulatan dan
kekuasaan rakyat yang ada itu membawa nilai manfaat bagi semua elemen bangsa dan negara, dengan
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, sebuah negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi senantiasa kadungan yang
terdapat dalam sistem demokrasi itu menjadi bagian dalam merumuskan pasal-pasal dalam hukum dasarnya.
Namun demikian, kadangkala sebuah negara terlalu mengkultuskan atau mengagung-agungkan sistem
demokrasi menjadi sebuah sistem yang tidak ada perbandingannya dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahan. Sampai-sampai sebuah negara bisa terlena dengan sistem demokrasi dan melupakan apa yang
menjadi kehendak warga negaranya. Dengan demikian, seharusnya pengadospsian nilai-nilai dalam sistem
demokrasi antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak harus sama. Karena karakter dan nilai-nilai
yang tumbuh di tengah-tengah masyarakatnya berbeda-beda. Berdasarkan dari latarbelakang tersebut
permasalahan yang dikaji, yaitu: Pertama, Apakah sistim pemilihan umum di Indonesia sudah mengadopsi
nilai-nilai sistem demokrasi yang sesungguhnya. Kedua, Bagaimana formulasi pengadopsian nilai-nilai sistem
demokrasi dalam politik hukum kenegaraan tentang pemilihan umum.
Impelementasi nilai-nilai sistem demokrasi di Indonesia, tidak harus mengadopsi sistem demokrasi
yang berlaku dan digunakan oleh negaranegara barat ataupun eropa. Tetapi nilai-nilai sistem demokrasi
Indonesia harus dibangun dan sesuai dengan karakter dan apa yang hidup ditengahtengah masyarakat
Indonesia. Dengan demikian itu, maka sebagai negara yang berdaulat dapat menunjukkan kedaulatannya
melalui nilai-nilai kehidupa berbangsa dan bernegara secara mandiri. Namun bukan berarti nilai-nilai sistem
demokrasi yang digunakan dan hidup di negara-negara barat dan eropa, merupakan nilai sistem demokrasi
yang kita antikan atau kita nafikan. Secara faktualnya saat ini, sistem demokrasi yang diterapkan di negara-
negara barat dan eropa tampaknya mulai meunjukkan keinginan untuk memisahkan urusan-urusan
kenegaraan dengan urusan ketuhanan. Sistem demokrasi yang demikian pelan-pelan akan meinggalkan
hakikat nilai yang terkandung dalam demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasi tidak hanya dapat diartikan
bahwa proses dalam pemerintahan itu dilakukan oleh rakyat, tetapi selain itu dalam sistem demokrasi juga
menjunjung tinggi nilai-nilai kemaslahatan bagi semua termasuk golongan minuritas.
Arah politik hukum tentang Pemilihan Umum yang berlaku di Indonesia tidak boleh terlepas dari
Pancasila sebagai ideologi bangsa, Pancasila sebagai pandangan hidup dan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia, di sisi yang lain arah politik hukum tentang Pemilihan Umum
juga harus berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (disebut UUD 1945) sebagai hukum
dasar dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Antara Pancasila dan UUD 1945 menjadi patokan
baku bagi penentuan arah politik hukum negara dalam hal ini mengenai pemilihan umum. Pancasila lahir dan
dibentuk atas dasar nilai-nilai yang ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pancasila lahir sebagai
pengejawantahan karakter bangsa yang plural, majemuk, budaya yang berbeda-beda, dan lain sebagainya.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka didalamnya mengandung nilai-nilai filosofis yang
menaungi setiap peraturan perundang-undangan yang ada. Nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam
Pancasila terlihat melalui sila-sila yang termaktub dalam Pancasila. Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum berfungsi sebagai cita-cita atau ide. Sebagai cita-cita semestinya Pancasila selalu diusahakan
untuk dicapai oleh tiap-tiap manusia Indonesia sehingga cita-cita itu terwujud menjadi suatu kenyataan. Di
lihat dari kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi, yaitu sebagai cita-cita dan pandangan
hidup bangsa dan negara. Di lihat dari fungsinya Pancasila mempunyai fungsi utama sebagai dasar negara. Di
lihat dari segi materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan
kepribadian bangsa Indoensia. Pancasila dapat dikatakan bahwa Pancasila dibuat dari materi atau bahan
dalam negeri, bahan asli murni dan merupakan kebanggaan bagi suatu bangsa patriotik