Anda di halaman 1dari 32

TUGAS AKHIR MODUL 5

KEKUASAAN, SISTEM POLITIK DAN DEMOKRASI

Oleh: Muhammad Iqbal

20225054186001

1. Setelah Anda menguasai konsep-konsep utama kajian politik dan kekuasaan, coba Anda rumuskan sendiri
menurut pemahaman Anda dengan argumentasi yang tepat tentang:
a. Pengertian konsep politik menurut pemahaman konsep akademik!
b. Pengertian dan dimensi-dimensi kekuasaan (Politik)!
c. Struktur Politik (suprastruktur politik dan infrastruktur politik)
d. Konflik, proses politik, perilaku politik dan partisipasi politik

Analisis:

A. Pengertian konsep politik menurut pemahaman konsep akademik!


Kata politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “Politeia”, yang akar katanya adalah polis dan
teia. Kata polis ini memiliki arti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara. Adapun kata teia
memiliki arti urusan. Maka, kata politik bisa diartikan sebagai urusan kehidupan negara. Sejak zaman Yunani
kuno kata politik telah dikenal dengan nama “politeke techne” (kemahiran politik) dan “politeke episteme”
(ilmu politik), dan politikos (kewarganegaraan atau Civics). Selanjutnya kata “polis” tersebut berkembang
menjadi “politikos” yang berarti hak-hak kewarganegaraan tertentu. Akhirnya memiliki pengertian yang lebih
luas yaitu pelaksanaan hak-hak warga negera dalam turut serta berperan untuk mengambil bagian di dalam
pemerintahan.
Dalam bahasa Indonesia, politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa.
Politik merupakan suatu rangkaian azas, prinsip, keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai
tujuan tertentu yang kita kehendaki.
Dalam bahasa Inggris, politics adalah suatu rangkaian asas atau prinsip, keadaan, cara dan alat yang
digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Politik secara umum menyangkut tujuan negara dan
cara melaksanakannya.
Pengertian politik menurut etimologi adalah sebagai berikut :
a. Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (sistem pemerintahan/dasar pemerintahan).
Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap orang lain.
b. Cara bertindak dalam menghadapi dan menangani suatu masalah.
Untuk memahami konsep politik sebagai konsep akademik, terlebih dahulu harus memahami definisi
ilmu politik dari para pakar, baik yang berasal dari Barat maupun dari Timur. Definisi dari Barat berarti definisi
yang diberikan oleh pakar ilmu politik yang berasal dari negara-negara maju baik yang berasal dari Eropa
maupun Amerika. Sedangkan definisi dari Timur berarti definisi yang diberikan oleh pakar ilmu politik yang
berasal bukan dari Eropa maupun Amerika tetapi dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Adapun pengertian politik beserta pengertian ilmu politik menurut para ilmuwan dikemukakan sebagai
berikut :
 Harol Laswell mengemukakan bahwa politik membahas tentang masalah apa, mendapat apa, kapan, dan
bagaimana.
 Willem Zeven Berger berpendapat bahwa politik dihubungkan dengan dua hal, yaitu seni (kunst) dan ilmu
(wetwens cahp).
 Prof. Miriam Budiarjo berpendapat bahwa politik merupakan bermacam-macam kegiatan yang
menyangkut penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan
masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Selain itu, politik juga menyangkut kegiatan berbagai
kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan perorangan.
 Joyce Mitchel menyatakan bahwa politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau perbuatan
kebijaksanaan untuk masyarakat atau melalui cara umum.
 Karl W. Duetch menyatakan bahwa politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum.
 Aristoteles Bahwa arti pengertian politik adalah upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang
dikehendaki.
 Johan Kaspar Blunchli mengatakan Politik adalah ilmu yang memerhatikan masalah kenegaraan, dengan
memperjuangkan pengertian dan pemahaman tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya
dalam berbagai bentuk atau manifestasi pembangunannya. Menurutnya, politik juga membuat konsep-
konsep pokok tentang negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision marking),
kebijaksanaan (policy of beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
 Roger F. Soltau; Definisi politik adalah ilmu yang mempelajari negara, tujuan-tujuan negara, dan lembaga-
lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu.
 W.A Robson; Politik adalah ilmu yang mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar,
proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil.
 Hans Kelsen menjelaskan bahwa politik mempunyai dua arti, yaitu sebagai berikut:
a. Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar tetap hidup secara
sempurna.
b. Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai
tujuan.
 Paul Janet; Pengertian politik adalah Ilmu yang mengatur perkembangan negara begitu juga prinsip-
prinsip pemerintahan.
 Andrew Heywood membagi pengertian politik menjadi asumsi yaitu :
a. Politik sebagai seni pemerintahan – Pengertian politik sebagai seni pemerintahan penerapan kendali
di dalam masyarakat lewat pembuatan dan pemberdayaan keputusan kolektif. Asumsi ini adalah yang
paling tua dan berkembanga sejak masa Yunani Kuno.
b. Pengertian politik sebagai hubungan publik – Menurut Aristoteles dalam bukunya Politics bahwa
manusia adalah binatang politik. Maknanya secara kodrati manusia hanya dapat memperoleh
kehidupan yang baik lewat suatu komunitas politik. Lalu, dilakukan pembedaan antara lingkup ‘publik’
dan ‘privat’. Kedua lingkup tersebut diperbesar menjadi state terletak institusi seperti pengadilan,
aparat pemerintah, polisi, tentara, sistem kesejahteraan sosial, dan sejenisnya. Sementara dalam ‘civil
society’ terletak institusi seperti keluarga, kekerabatan, bisnis swasta, serikat kerja, klub-klub,
komunitas dan sejenisnya.
c. Pengertian Politik sebagai komponen kompromi dan konsensus – Kompromi dan konsensus
dilawankan dengan brutalitas, pertumpahan darah dan kekerasan. Dalam politik, tidak ada pihak yang
kepentingannya terselenggarakan 100 %. Masing masing memoderasi tuntutan agar tercapai
persetujuan dengan pihak lain. Baiknya politik suatu negara adalah ketika masalah pergesekan
kepentingan diselesaikan lewat kompromi dan konsensus di atas meja dan bukan dengan
pertumpahan darah.
d. Pengertian Politik sebagai kekuasaan – Politik dalam pengertiannya sebagai kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain guna
menuruti kehendaknya. Dalam konteks politik, distribusi dan penggunaan sumber daya suatu
masyarakat. Dalam asumsi ini, politik dilihat sebagai penggunaan kapital (yaitu kekuasaan) dalam
konteks produksi, distribusi, dan penggunaan sumber daya tersebut.

 Sri Sumantri; Politik adalah pelembagaan dari hubungan antar manusia yang dilembagakan dalam
berbagai badan politik, baik suprastruktur politik dan infrastruktur politik.
 Ramlan Surbakti; Politik adalah proses interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk menentukan
kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
 F. Isjwara; Politik adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai teknik
menjalankan kekuasaan-kekuasaan.
 Carl Schmidt; Pengertian politik menurut Carl Schmidt adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang
lebih membuat keputusan-keputusan dari pada lembaga-lembaga abstrak.
 Maurice Duverger; Definisi politik menurut Maurice Duverger adalah kekuasaan, kekuatan seluruh
jaringan lembaga-lembaga (institusi) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal ini suasana
didominasi beberapa orang atas orang lain.
 Wilbur White; Arti politik adalah ilmu yang mempelajari asal mula, bentuk-bentuk dan proses-proses
Negara dan pemerintah.
 Max Weber; Pengertian politik menurut Max Weber adalah sarana perjuangan untuk sama-sama
melaksanakan politik atau perjuangan untuk mempengaruhi pendistribusian kekuasaan baik di antara
Negara-negara maupun diantara hukum dalam suatu Negara.
 Gabriel A. Almond mengatakan bahwa politik adalah kegiatan yang berhubungan dengan kendali
pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong
lewat instrumen yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa). Politik
mengacu pada penggunaan instrumn otoritatif dan koersif ini-siapa yang berhak menggunakannya dan
dengan tujuan apa.
 Kartini Kartolo; menurutnya politik adalah aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan
untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah
masyarakat.
Pemahaman konsep-konsep politik, baik dari Barat maupun dari Timur, dapat dipahami dan dirangkum
bahwa konsep politik dan ilmu politik itu mencakup aktivitas yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal Negara
b. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal (negara dan) pemerintahan
c. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal gejala kekuasaan
d. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari pengambilan keputusan
e. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal kebijakan public
f. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal pembagian
g. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal kelembagaan masyarakat
h. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari hal-ikhwal kegiatan politik
Pada dasarnya walaupun definisi politik sangat beragam, namun berbagai definisi tersebut memiliki
beberapa konsep-konsep pokok: pertama, negara (state); kedua, pemerintahan; ketiga, kekuasaan (power);
keempat pengambilan keputusan (decision making); kelima, kebijakan (policy); keenam, pembagian
(distribution) dan alokasi (allocation), kedelapan, kegiatan dan perilaku politik (political activity and behavior).

Berdasarkan penjelasan di atas, konsep-konsep yang menjelaskan pengertian politik dibaca kembali
dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya politik mengandung empat aspek, yakni perilaku politik;
pemerintah dan masyarakat (interaksi); kemampuan mengikat yang dimiliki setiap keputusan politik;
keputusan untuk masyarakat umum (demi kebaikan bersama dan unit politik); dan konflik, konsensus, dan
perubahan.

B. Dimensi-Dimensi Kekuasaan Politik


Berbicara politik tentu saja tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan kekuasaan karena untuk
memahami politik itu sendiri dapat dikaji dari pendekatan kekuasaan. Menurut pendekatan ini politik dilihat
sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekluasaan. Sehingga ilmu politik adalah ilmu yang
mempelajari hakikat, kedudukan daan penggunaan kekuasaan. Menurut Robson, salah seorang sarjana politik
yang mengembangkan pendekatan ini, ilmu politik adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada
perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, memperngaruhi
pihak lain ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah
laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan
dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Pengertian lain dari kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok
guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh
dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk
memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam
Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan
berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan
pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan
bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung
dengan jalan memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg
tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg diperintah. Manusia
berlaku sebagau subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, ia membuat UU (subyek dari
kekuasaan) tetapi juga harus tunduk pada UU (objek dari kekuasaan).
Adapun hakikat dari kekuasaan adalah:
a. Menurut C. Wright Mills : kekuasaan adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan
kendatipun orang lain menentangnya(T. Liang Gie, 1986:20)
b. Menurut Max Weber, kekuasaan adalah kemampuan untuk dalam suatu hubungan sosial, melakukan
kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apa-pun dasar kemampuan ini (M. Budiardjo, ed.,
1983:16)
Definisi kekuasaan dikutip dari buku The Power of Elite karya C. Wright Mills adalah kemampuan
untuk melaksanakan kemauan kendati orang lain menentang. Dalam konsep kekuasaan, terdapat beberapa
hal yang berkaitan erat satu sama lain, yaitu:
a. Pengaruh (influence), yaitu kemampuan untuk memengaruhi sikap dan perilaku seseorang secara
sukarela guna memenuhi kepentingan pihak yang berkuasa
b. Force, yaitu penggunaan tekanan fisik seperti membatasi kebebasan, menimbulkan rasa sakit, ataupun
membatasi pemenuhan biologis terhadap pihak lain agar melakukan sesuatu
c. Persuasi, yaitu kemampuan meyakinkan orang lain melalui alasan kuat untuk melakukan sesuatu
d. Manipulasi, yaitu menggunakan pengaruh yang tidak disadari orang lain untuk memenuhi keinginan
pemegang kekuasaan;
e. Coercion, yaitu peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang dilakukan oleh seseorang atau
kelompok kepada pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai kehendak pemilik kekuasaan.

Sebelum melihat berbagai dimensi kekuasaan yang terjadi, maka dapat dilihat beragam rumusan dan
pendekatan yang menganalisis sebuah kekuasaan yang muncul. Menurut Ratnawari dan Dwipayana (2005)
dalam Modul Teori Politik, untuk memahami lebih jauh tentang rumusan kekuasaan dapat dilihat dari
perdebatan empat kubu utama dalam merumuskan hakekat kekuasaan yakni (1) Kubu pluralis, (2) Kubu
pengkritik pluralis, (3) Kubu radikal dan (4) Kubu Realis. Keempat kubu ini adalah pendekatan-pendekatan
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi kekuasaan.

1. Pendekatan one dimension view of power (Kubu Pluralis)

Persepektif satu dimensi ini menjelaskan sebuah kondisi dimana salah satu kelompok didominasi oleh
kelompok yang lain, sehingga kelompok yang didominasi tidak bisa melakukan apapun tanpa ada “perintah”
dari kelompok yang mendominasi.

Berkaitan dengan konsep kekuasaan potensial dan aktual, menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005),
dalam melakukan analisisnya, penganut pliralisme menggunakan behavioralisme yang mempunyai sifat
empiris dan observable, sehingga lebih menekankan pada analisa aktor. Metodenya lebih menekankan pada
studi tingkah laku (behavior) yang konkret dan dapat diamati dari para aktor dala pembuatan keputusan atas
isu-isu kunci atau penting yang melibatkan konflik aktual dan bisa diamati. Para penganut pluralis dalam
mengidentifikasi kekuasaan adalah dengan mempelajari proses pembuatan kebijakan karena dalam
pendangan ini pembuatan kebijakan merupakan konflik langsung dan bias diamati. Kaum pluralis
beranggapan bahwa kepentingan harus dipahami sebagai preferansi, sehingga konflik kepentingan dianggap
sebagai konflik preferensi. Dalam melakukan analisa terhadap kekuasaan, factor yang paling penting adalah
konflik, dimana ada kompetisi dan ada disharmoni antara aktor yang mempunyai kepentingan yang
berlawanan sehingga pengamatan dapat secara lebih mudah dilakukan. Namun keseluruhan pengamatan
terhadap objek, diasumsikan dilakukan oleh objek dalam keadaan sadar terhadap konsekuensi-konsekuensi
tindakan untuk memperoleh preferensi.

Pendekatan pluralis melihat arena politik sebagai sebuah sistem terbuka dengan kesempatan yang
sama dengan semua orang untuk dapat terlibat, bukan hanya berputar disebuah elite saja. Setiap orang akan
ikut terlibat dan berpartisipasi dalam proses kebijakan, apabila merasa terkait dengan satu isu dan ingin
menyampaikan pendapatnya mengenai isu tersebut.
Jadi dalam pandangan pluralis ini untuk memahami kekuasaan adalah dengan melihat aktor sebagai
komponen utama analisisnya. Semakin sering banyak seorang aktor menggunakan sumber-sumber kekuasaan
dengan intensitas yang tinggi dalam mempengaruhi keputusan politik guna memperoleh preferensinya maka
dapat dikatakan semakin besar pula kekuasaan dari seorang aktor tersebut.

2. Pendekatan two dimensi of power (Kubu Pengkritik Pluralis)

Pendekatan yang digunakan oleh kubu kedua ini sering disebut pendekatan elit atau pendekatan dua
dimensi yang dikemukakan oleh Peter Bachrach dan Morton Baratz. Kubu kedua ini mengkritik kubu pluralis
yang melihat kekuasaan dari satu dimensi saja yakni bagaimana seseorang menggunakan sumber-sumber
kekuasaannya untuk mempengaruhi kebijakan sesuai dengan preferensinya. Menurut kubu kedua ini
kekuasaan tidak hanya dilihat dari bagaimana seseorang menggunakan sumber-sumber kekuasaan untuk
mempengaruhi kebijakan sesuai dengan preferensinya saja melainkan juga dapat dilihat dari dimensi
bagaimana seorang elit menggunakan sumber-sumber kekuasaannya untuk menutup atau menghambat isu-
isu atau kepentingan-kepentingan lain yang tidak menguntungkan bagi dirinya atau bahkan membahayakan
dirinya.

Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005) poin sentral pada pendekatan dari kubu ini adalah bahwa
pada tingkat mana seseorang atau kelompok secara sadar atau tidak menciptakan dan memperkokoh
hambatan bagi munculnya konflik kebijakan dipermukaan, maka dapat dikatakan bahwa seseorang atau
kelompok tersebut mempunyai kekuasaan. Pendekatan ini menekankan pada kekuasaan dipraktekan atau
digunakan dengan membatasi ruang lingkup dari pembuatan keputusan pada isu-isu yang relatif aman bagi
mereka yang menggunakan kekuasaan tersebut. Isu politik terpenting dari kubu ini adalah mengidentifikasi
isu potensial yang tidak mampu atau terhambat untuk diaktualkan.

Jadi pandangan kubu ini melihat kekuasaan dari dua dimensi yakni dimensi pertama melihat arena
sebagai sebuah sistem terbuka dan walaupun distribusi kekuasaan tidak tersebar merata, akan tetapi tidak
berpusat pada satu kelompok saja. Dimensi yang kedua adalah sistem ketidakmerataan yang monopolistik
diciptakan dan dipertahankan oleh kelas dominator. Elite mempunyai kekuatan dan sumber daya untuk
mencegah tindakan politik yang tidak menguntungkan mereka. Elite menentukan agenda untuk
mempertahankan dominasinya.

3. Pendekatan Three dimension of power (Kubu Radikal)

Kubu radikal adalah kubu yang mengkritik pendekatan kubu kedua diatas. Pendekatan kubu radikal
ini diungkapkan oleh Steven lukes dalam bukunya Power; A Radical view. Salah satu kritikan yang
dikemukakan adalah pada dasarnya pendekatan ini tidak berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yakni
memfokuskan analisis pada sebuah konflik yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak terjadi konflik,
maka sudah terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber daya yang menyebabkan tidak terjadi sebuah
konflik. Pendekatan pada kubu radikal ini menerangkan bahwasanya manipulasi dan kewenangan merupakan
sebuah bentuk kekuasaan yang tidak perlu melibatkan konflik terbuka.

Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005) lukes tidak sepakat dengan konsepsi konflik aktual sebagai
satu satunya bahan analisa sistem politik melainkan juga konflik laten dan potensial. Konflik laten terjadi
dimana ketika tidak ada kesesuaian antara kepentingan penguasa dengan kepentingan riil dari mereka yang
tidak terlibat dalam pembuatan keputusan. Ia tidak sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa jika
dalam masyarakat tidak ada konflik yang terbuka, maka disana tidak ada fenomena relasi kekuasaan. Menurut
Lukes, pihak yang berkuasa mampu membuat pihak yang dikuasai tidak punya kekuatan untuk melakukan
konfrontasi dengan cara yang sistemik. Sehingga kubu radikal ini menolak pandangan kaum pluralis yang
melihat bahwa kepentingan pribadi adalah subjektif. Menurut Lukes kepentingan individu adalah hasil
konstruksi dari adanya kekuasaan pihak lain.

Jadi dalam pandangan kubu radikal ini melihat kekuasaan dari tiga dimensi yakni Dimensi pertama,
yaitu kekuasaan, dilihat dari perilaku dalam pengambilan keputusan dari sebuah isu yang terdapat konflik
terbuka dari sebuah kepentingan subjektif. Dimensi kedua mencoba menjelaskan bagaimana proses
pembuatan keputusan sedapat mungkin berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah konflik
terbuka dari sebuah kepentingan subjektif semata sehingga menyingkirkan atau menghambat isu-isu atau
kepentingan yang tidak menguntungkan atau bahkan dapat membahayakan dirinya. Dimensi yang ketiga
adalah bagaimana kekuasaat tidak hanya dilihat pada kondisi konflik aktual saja melainkan juga dilihat dalam
konflik laten dan potensial. Dimana konflik aktual tidak terjadi karena pihak yang berkuasa mampu membuat
pihak yang dikuasai tidak punya kekuatan untuk melakukan konfrontasi. Dalam dimensi ketiga ini terdapat
sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau individu bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha
meloloskan kepentingan mereka, tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki oleh
kelompok atau individu.

4. Pendekatan Four Dimension of Power (Kubu Realis)

Menurut Ratnawati dan Dwipayana (2005) Kubu realis yang dipelopori oleh Jefrey Isaac dan Ted
Benton berpendapat bahwa analisis kekuasaan seharusnya menekankan bukan pada tingkah laku yang teratur
melainkan pada hubungan sosial yang membentuk mereka. Analisis kekuasaan bukan pula diletakan pada
individu-individu yang diantara mereka belum tentu mempunyai keterikatan, namun ditekankan pada
kecenderungan yang sama.

Pendekatan four dimension of power ini menekankan analisa terhadap relasi struktural yang
melibatkan lingkungan. Bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, diperlukan analisa terhadap aktor lain, karena
terdapat relasi saling bergantung diantara banyak aktor. Tujuan-tujuan tersebut terintegrasi dalam
kepentingan-kepentingan (real interest) yang berupa nilai, norma dan tujuan-tujuan yang ada dalam praktek
sosial. Menurut Benton interest berbeda dengan preferences. Menurutnya keinginan, preferensi, kesenangan
atau pilihan belum tentu menjadi interest seseorang. Baginya setiap aktor tidak mampu menjadi otonom.
Kalau Lukes pada pendekatan Three dimension of power memahami kekuasaan berdasarkan sudut pandang
ontologi dan metodologi individualisme, Benton mendasarkan pada sudut pandang metodologi
relasionalisme, dimana individu adalah sebagai bagian dari lingkungan sosial.

Untuk memahami gejala politik kekuasan secara mendalam maka kekuasan ditinjau enam dimensi,
yaitu dimensi potensial dan aktual, positif dan negatif, konsensus dan paksaan, jabatan dan pribadi, implisit
dan eksplisit, langsung dan tidak langsung (Andrain and Putnam dalam Surbakti, 1992: 59-63) Dimensi-
dimensi kekuasaan tersebut dapat kita ikuti penjelasannya berikut ini:

1. Kekuasaan Potensial dan Aktual


Kekuasaan potensial merupakan kekuasaan yang belum diaktualisasikan. Seseorang dipandang
mempunyai kekuasaan potensial apabila dia memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan,
tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas status sosial yang tinggi, massa yang terorganisasi,
dan jabatan. Sebaliknya, seseorang dipandang memiliki kekuasaan actual apabila ia telah menggunakan
sumber-sumber yang dimilikinya ke dalam kegiatan politik secara efektif guna mencapai tujuannya.
2. Kekuasaan Positif dan Negatif
Dimaksud dengan kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai
tujuan yang dipandang penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negative ialah penggunaan
sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah pihak lain mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang
perlu, tetapi juga merugikan pihaknya.

3. Konsensus dan Paksaan


Menganalisis kekuatan dapat menekan pada aspek konsensus dan paksaan. Analisis yang menekan aspek
konsensus dari kekuasaan cenderung melihat elite politik sebagai orang yang tengah berusaha
menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan analisis
yang menekan pada aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai
perjuangan, pertentangan, dominasi, dan konflik. Dan cenderung melihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai
oleh elite politik tidak menyangkut masyarakat secara keseluruhan, melainkan menyangkut kepentingan
kelompok kecil masyarakat. Perbedaan dimensi ini menyangkut dua hal yaitu alasan penaatan dan sarana
kekuasaan yang digunakan. Pada umumnya alasan untuk menaati kekuasaan paksaan berupa rasa takut
baik rasa takut akan paksaan fisik seperti dipukul, ditangkat, dibunuh atau dipenjara maupun rasa takut
akan paksaan non-fisik seperti kehilangan pekerjaan, dikucilkan atau diintimidasi. sedangkan, alasan
untuk menaati kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan secara sadar dari pihak yang
dikuasai. Sementara itu, sarana kekuasaan paksaan dapat berupa senjata, pekerjaan atau kesempatan
berusaha dan intimidasi. Sedangkan sarana kekuasaan konsensus dapat berupa nilai-nilai kebaikan
bersama, moralitas, ajaran agama, keahlian dan popularitas.

4. Jabatan dan Pribadi


Dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan, kekuasaan terkandung erat dalam jabatan-jabatan,
seperti presiden-presiden, perdana menteri, menteri-menteri, dan senator. Maksudnya tanpa
memandang kualitas pribadinya, kekuasaan formal yang ada pada jabatan tersebut tetap besar. Namun
memang diakui efektifitasnya dalam pelaksanaan kekuasaan yang terkandung dalam jabatan sangat
tergantung pada kualitas pribadi yang dimiliki. Oleh karena itu , dalam masyarakat yang maju dan mapan
baik jabatan maupun kualitas pribadi yang menduduki jabatan merupakan sumber kekuasaan. Sebaliknya
pada masyarakat yang sederhana, maka kualitas pribadi tampak lebih menonjol. Sehingga efektivitas
kekuasaannya terutama berasal dari charisma, penampilan diri, asal usul keluarga dan wahyu.

5. Kekuasaan Implisit dan Eksplisit


Kekuasaan implisit adalah pengaruh yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan
eksplisit adalah pengaruh yang secara jelas terlihat dan terasakan.

6. Kekuasaan Langsung dan Tidak langsung


Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana
kebijakan secara langsung tanpa melalui perantara. Sedangkan kekuasaan tidak langsung adalah
penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik melalui
perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh besar terhadap pembuat dan pelaksana
keputusan politik.
C. Struktur Politik (suprastruktur politik dan infrastruktur politik)
Struktur politik berasal dari dua kata yaitu, struktur dan politik. Struktur berarti badan atau organisasi,
sedangkan politik berarti urusan Negara. Jadi secara harafiah struktur politik adalah badan atau organisasi
yang berkenaan dengan urusan Negara. Untuk itu struktur politik selalu berkenan dengan alokasi nilai-nilai
yang bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Menurut Muhtar
Afandi, kekuasaan adalah kapasitas, kapabilitas, atau kemampuan untuk mempengaruhi, meyakinkan,
mengendalikan, menguasai dan memerintah orang lain.
Struktur Politik adalah pelembagaan organisasi antara komponen-komponen yang membentuk
bangunan itu. Struktur politik sebagai satu spesies struktur pada umumnya, selalu berkenaan dengan alokasi-
alokasi nilai yang bersifat otoriratif yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan.
Kekuasaan merupakan substansi pokok pembahasan ilmu politik ia merupakan hal pokok seperti energy
dalam konsep ilmu alam (Bertrand Russel). Kekuasaan adalah sebuah kapasitas, kapabilitas atau kemampuan
untuk mempengaruhi, meyakinkan, mengendalikan, menguasai dan memerintah orang lain. Kapasitas
demikian erat hubungannya dengan wewenang (authority) Hak (right), dan kekuasaan (force, naked power).
Menurut Almond dan Powwel Jr., struktur politik dapat dibedakan dalam system, proses, dan aspek-
aspek kebijakan. Struktur system merujuk pada organisasi dan institusi yang memelihara atau mengubah
(maintain or change) struktur politik, dan secara khusus struktur menampilkan fungsi-fungsi sosialisasi politik,
rekrutmen politik, dan komunikasi politik. Ketiga fungsi ini hampir selalu ada dalam sistem politik.
Sistem politik suatu negara akan selalu meliputi dua suasana kehidupan politik atau terdapat dua
struktur politik, yaitu pelembagaan hubungan organisasi anata unsur-unsur berkenaan dengan alokasi nilai-
nilai yang bersifat otonom yang dipengaruhi oleh distribusi serta pengguanaan kekuasaan. Suasana
kehidupan politik tersebut yaitu:
a. The Governmental Political Sphere, yaitu suasana kehidupan politik pemerintahan disebut juga
Suprastruktur Politik. Suasana kehidupan politik ini berkaitan dengan kehidupan lembaga-lembaga negara
yang ada serta hubungan kekuasaan antara lembaga dengan yang lain. Suprastruktur untuk lebih
singkatnya merupakan lembaga politik yang menaungi kinerja trias politica oleh Mosterquieu yaitu
legislative, eksekutif and yudikatif.
 Legislative; merupakan lembaga yang menerima pendapat dan aspirasi masyarakat dimana di
Indonesia lembaga ini disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sementara di Malaysia atau
Amerika Serikat dapat disebut senat yang memiliki fungsi untuk merancang undang-undang atau
peraturan.
 Eksekutif; merupakan lembaga di atas legislative yang memiliki wewenang dalam memutuskan dan
melaksanakan kebijakan atau undang-undang dengan susunan mulai dari kementerian hingga
presiden termasuk pengaturan untuk hampir seluruh jajaran birokrasi dengan sistem terpusat.
 Yudikatif; Lembagai ini mungkin memiliki wewenang lebih tinggi dibanding legislative dan eksekutif
karena terikat dengan hukum yang sah dalam konstitusi. Yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung
dengan hakim yang bertugas untuk mengawasi seluruh jajaran birokrasi dan mengadillinya sesuai
dengan hukum yang berlaku.
b. The Socio Political Sphere atau Infrastruktur Politik, yaitu suasana kehidupan politik dalam masyarakat
yang memberikan terhadap tugas-tugas lembagalembaga negara dalam suasana pemerintahan. Antara
suprastruktur politik dan infrastruktur politik mempunyai hubungan fungsional yaitu antara yang satu
struktur dengan struktur yang lainnya saling mempengaruhi. Struktur politik suatu negara sekaligus
menggmbarkan susunan kekuasaan dalam suatu negara. Dalam susunan kekuasaan itu nampak
kewenangan setiap lembaga yang ad dan bagaimana hubungan satu sama lain sehingga mewujudkan
sebuah sistem yang menghasilkan kebijakan yang sifatnya otoritatif. Ada lembaga yang memjalankan
fungsi masukan berupa aspirasi dan dukungan, ada yang menjalankan fungsi mengolah masukan tersebut
menjadi keluaran berupa segala bentuk kebijkan pemerintah.
Di Indonesia banyak sekali organisasi atau kelompok yang menjadi kekuatan infrastruktur politik,
akan tetapi jika diklasifikasikan terdapat empat kekuatan sebagai berikut:
a. Partai Politik, yaitu organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Indonesia secara
sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota,
masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Pendirian partai politik biasanya didorong
adanya persamaan kepentingan, persamaan cita-cita politik, dan persamaan keyakinan keagamaan.
b. Kelompok Kepentingan (interest group), yaitu kelompok yang mempunyai kepentingan terhadap
kebijakan politik negara. Kelompok kepentingan bisa menghimpun atau mengeluarkan dana dan
tenaganya untuk melaksanakan tindakan politik yang biasanya berada di luar tugas partai politik.
Seringkali kelompok ini bergandengan erat dengan salah satu partai politik dan keberadaannya
bersifat independen (mandiri). Untuk mewujudkan tujuannya, tidak menutup kemungkinan kelompok
kepentingan dapat melakukan negosiasi dan mencari dukungan kepada masyarakat perseorangan
ataupun kelompok masyarakat. Contoh dari kelompok kepentingan adalah elite politik, pembayar
pajak, serikat dagang, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serikat buruh dan sebagainya.
c. Kelompok Penekan (pressure group), yaitu kelompok yang bertujuan mengupayakan atau
memperjuangkan keputusan politik yang berupa undang-undang atau kebijakan publik yang
dikeluarkan pemerintah sesuai dengan kepentingan dan keinginan kelompok mereka. Kelompok ini
biasanya tampil ke depan dengan berbagai cara untuk menciptakan pendapat umum yang
mendukung keinginan kelompok mereka. Misalnya dengan cara berdemonstrasi, melakukan aksi
mogok dan sebagainya.
d. Media komunikasi politik, yaitu sarana atau alat komunikasi politik dalam proses penyampaian
informasi dan pendapat politik secara tidak langsung, baik terhadap pemerintah maupun masyarakat
pada umumnya. Sarana media komunikasi ini antara lain adalah media cetak seperti koran, majalah,
buletin, brosur, tabloid dan sebagainya, sedangkan media elektronik seperti televisi, radio, internet
dan sebagainya. Media komunikasi diharapkan mampu mengolah, mengedarkan informasi bahkan
mencari aspirasi/pendapat sebagai berita politik.
Adapun beberapa fungsi infrastruktur politik sebagai berikut:
1. Pendidikan politik
Adanya wadah untuk terjun dalam dunia politik adalah dengan melalui infrastruktur ini seperti
keterlibatan dalam partai politik, media masa, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya
masyarakat atau sekedar mengikuti berbagai pemilu mulai dari daerah hingga nasional diman dengan
hanya bertindak sebagai partisipan pendidikan politik secara tidak langsung sudah tertanam.
2. Media penyalur kepentingan
Hadirnya interest group atau kelompok kepentingan dalam birokrasi pemerintahan bukan lagi sebuah
aib namun memang seperti ada paket khusus bahwasannya setiap pengambilan keputusan pemerintah
pastilah merupakan penyaluran dari beberapa kelompok kepentingan sebagai ajang timbal balik dalam
suatu misi demi kelancaran proses pemilu.
3. Seleksi kepemimpinan
Infrastruktur dalam politik ini juga dimanfaatkan sebagai ajang penyeleksian kepemimpinan tingkat
desa hingg nasional yang dapat dilihat dari partai politik atau kelompok kepentingan yang
menyokongnya.
4. Komunitas politik
Fungsi dari adanya komunitas politik ini dapat dijadikan wadah sosialisasi masyarakat agar dapat
bertukar pemikiran mengenai situasi politik yang ada. Dari sekedar komunitas nanti nya akan
menuntun pada institusi yang sah sehingga dapat juga mengarah pada pembentukan organisasi
masyarakat.

Suprastruktur dan infrastruktur dalam politik berkaitan erat dengan birokrasi dan aktor-aktor yang
bermain baik itu secara dependen mau pun independen yang salah satu fungsi nya memang dapat memberi
gambaran pada masyarakat mengenai papan permainan catur yang terjadi di negera mereka.

D. Konflik, proses politik, perilaku politik dan partisipasi politik


D.1. Konflik

Dalam studi-studi ilmu-ilmu sosial dikenal dua pendekatan, yakni pendekatan struktural fungsional
(konsensus) dan struktural konflik. Pendekatan konsensus, berasumsi masyarakat mencakup bagian-bagian
yang berbeda fungsi tetapi saling berhubungan satu sama lain secara fungsional. Sementara itu pendekatan
konflik berasumsi bahwa masyarakat mencakup berbagai bagian yang memiliki kepentingan yang saling
bertentangan. Di samping itu masyarakat terintegrasi dengan suatu paksaan dari kelompok dominan sehingga
masyarakat dalam keadaan konflik. Konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga
masyarakat yang diarahkan untuk memenangkan kebijakan umum dan pelaksanaannya, juga perilaku
penguasa, beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan di antara
partisipan politik (Surbakti, 1992: 151).

Kritik perspektif konflik terhadap pandangan fungsionalis adalah bahwa nilai-nilai bersama yang
diyakini telah menjadi kesepakatan antar masyarakat, bukanlah suatu nilai yang diciptakan bersama,
melainkan terlebih dahulu diciptakan oleh kekuatan yang dominan. Nilai-nilai tersebut bukanlah suatu
konsesus yang nyata, tetapi tak lebih dan rekayasa kekuatan dominan yang dipaksakan kepada masyarakat.

Dahrendorf (Johnson, 193) meringkas asumsi teori fungsionalis (atau konsesus atau integritas) yang
bertentangan dengan teori konflik menurutnya, teori fungsional menyatakan bahwa :

1) Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang secara relatif mantap dan stabil.
2) Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang terintegritas dengan baik
3) Setiap elemen dalam suatu masyarakat memiliki fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya
mayarakat itu sebagai suatu sistem.
4) Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsesus nilai diantara para anggotanya.

Sementara teori konflik menurut Dahrendorf adalah :

a) Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial ada dimana-mana.
b) Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik, konflik sosial ada dimana-
mana.Setiap elemen pada setiap masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan, dan
c) Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.

Berangkat dari persfektif dan asumsi konflik politik diatas, tampaknya pertentangan dan perbedaan
menjadi kunci dalam mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan konflik politik. Hal ini misalnya tergambar
dari beberapa definisi tentang konflik itu sendiri yang dikemukakan oleh para sarjana, sebagai berikut:
1. Konflik didefinisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan didasari antara individu-individu
atau kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang sama (Achmad Fedyani Syarifudin: 1986:7)
2. Konflik adalah suatu gejala yang wajar terjadi dalam setiap masyarakat yang selalu mengalami perubahan
sosial dan kebudayaan (Lewis S. Cosen, dalam Syarifudin, 1986).
3. Konflik politik adalah percekcokan, pertentangan, perselisihan dan ketegangan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1995).

Dari titik ini, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah “gejala pertentangan dalam masyarakat yang
berkenaan dengan mata rantai kekuasaan dan Negara. Konflik merupakan salah satu konsep dasar ilmu politik,
sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa terlepas dari interaksi dengan orang lain utamanya dalam
pemenuhan hasrat maupun tujuannya. Akan tetapi, sebagai makhluk yang memiliki hawa nafsu dan emosi,
dalam interaksi sosial di kehidupan sehari-hari sering kita temui adanya pertentangan dalam masyarakat, baik
antar indicidu maupun antar kelompok atau golongan. Karena memang, pada hakikatnya manusia akan
senantiasa berkonflik dan dihadapkan dengan perbedaan satu dengan lainnya.

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses
penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana-
sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.

Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin
mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik
mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk.

Pengertian konflik menurut para ahli diantaranya dikemukakan oleh Menurut Myes (dalam Ramlan
Surbakti, 2005 :15), Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan
individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik.

Menurut Stewart & Logan, (dalam Ramlan Surbakti, 2005 :15). Konflik pun tidak hanya diungkapkan
secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang
mengekpresikan pertentangan. Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam
antara dua pihak bersetaru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai “perang dingin” antara dua pihak karena
tidak diekpresikan langsung melalui kata-kata yang mengandung amarah. (dalam Skripsi Helmi, Fuad, 2011
:12).

Sementara Raven dan Rubin, menjelaskan kepentingan adalah perasaan orang mengenai apa yang
sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang
membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan minat (intensi)-nya.(Dean, & Jeffrey, 2011 :21)

Dengan melihat beragam definisi diatas, dapat dikatakan konflik adalah pertentangan oleh karena
terjadi perbedaan kepentingan antara dua atau lebih baik individu maupun kelompok dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dan berusaha menjadi dominan atas pihak lain.

Adapun yang dimaksud dengan konflik dalam politik adalah konflik dalam ruang lingkup, isu, dan aktor
yang terlibat menjadi pembeda dengan konflik pada umumnya. Konflik politik mengarah pada conflict of
interest atau konflik kepentingan.
Simon Fisher, dkk. (2000), dalam bukunya Working With Conflik: Skill dan Strategis For Action
(diterjemahkan S.N. Kartikasari, dkk., “ mengelola konflik ketampilaan dan strategi untuk bertindak),
menjelaskan tentang berbagai teori penyebab terjadinya konflik :

1. Teori hubungan mayarakat

Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya polarisasi yang terus terjadi dalam masyarakat
sehingga menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :

a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antar kelompok yang mengalami konflik.

b. Mengusahakan toleransi agar masyarakat bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.

2. Teori negoisasi prinsip

Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan
pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang hendak dicapai
dalam teori negoisasi prinsip ini adalah:

a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai
masalah dan isu,dan mendorong pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang berkonflik untuk
melakukan negoisasi yang dilandasi kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.

b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah
pihak atau semua pihak (win-win solution for all).

3. Teori kebutuhan manusia

Teori ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia. Teori ini
berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi
atau sengaja dihambat oleh pihak lain. Kebutuhan dasar manusia biasanya menyangkut tiga hal, yakni
kebutuhan fisik, mental, dan sosial. Sasaran yang dicapai teori ini adalah :

a. Membantu pihak-pihak yang sedang berkonflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan secara
bersama-sama mengenai kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi sehingga memperoleh pilihan-
pilihan (alterantif-alternatif) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

b. Membantu agar pihak-pihak yang mengalami konflik dapat meraih kesepakatan untuk memenuhi
kebutuhan dasar semua pihak.

4. Teori identitas

Teori ini berasumsi bahwa konflik terjadi akibat adanya identitas yang terancam yang sering berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan masalalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang hendak dicapai dalam
teori ini adalah :

a. Melalui fasilitas komunikasi dan dialog antar pihak yang mengalami konflik. Mereka diharapkan dapat
mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk
membangun mepati dan rekonsiliasi diantara mereka (pihak-pihak yang berkonflik).
b. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.[8]

5. Teori kesalahpahaman antarbudaya

Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan adanya ketidakcocokan dalam cara berkomunikasi diantara
berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :

a. Menambah pengetahuan bagi pihak-pihak yang mengalami konflik.

b. Mengurangi stereotip negative yang mereka miliki tentang pihak atau kelompok lain.

c. Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.

6. Teori Transformasi Konflik

Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah social, budaya, dan ekonomi. Sasaran
yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :

a. Mengubah beberapa struktur yang dapat menimbulkan terjadinya ketidaksetaraan, ketidakadilan,


dan kesenjangan ekonomi.

b. Meningkatkan ikatan hubungan sikap jangka panjang di antarpihak atau antarkelompok yang
mengalami konflik.

c. Mengembangkan berbagai proses dan system untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan ,


perdamaian, rekonsiliasi, dan legitimasi atau pengakuan.

D.2. Proses Politik

Proses politik merupakan dinamika perjalanan politik dalam sebuah negara. Proses politik ini tak
ubahnya sebuah rotasi dalam sistem politik baik secara historis maupun secara realita dengan perspektif
pendekatan sistem . Pergantian rezim kekuasaan dan pengambil kebijakan merupakan sebuah proses politik
dalam perspektif historis. Proses politik secara historis merupakan sebuah upaya deskriptif-obyektif
beberapa kejadian dan korelasinya dengan kejadian lainnya. Lebih lanjut diperlukan pendekatan yang
integratif untuk menjelaskan unsur-unsur yang berinteraksi dan berproses (fungsional) dalam sistem politik.

Proses politik ini merupakan tolak ukur keberhasilan sebuah sistem politik. Akan tetapi dalam
analisanya tidak cukup hanya dengan pendekatan sejarah, melainkan diperlukan pendekatan sistem yang
integratif termasuk didalamnya pendekatan pelaku-sarana-tujuan dan pengambilan keputusan. Pendekatan
integratif ini didorong oleh adanya interaksi fungsional (sebuah proses sub sistem yang menjaga eksistensi
sebuah sistem) dalam sistem tersebut.

Melalui pendekatan yang integratif ini dapat diperoleh gambaran proses politik saat ini bahkan yang
akan datang. Proses politik dapat dilihat dari lingkungan sistem politik. Kualitas sumberdaya Manusia para
pelaku politik serta sarana berpolitik baik yang berupa teknologi maupun ilmu pengatahuan yang digunakan
untuk mencapai tujuan merupakan satu sudut pandang terhadap sebuah proses politik dengan pendekatan
Pelaku-sarana-tujuan. Proses politik juga dipengaruhi oleh pengambilan keputusan (decision making) para
pelaku politik. Karl W Deutsch mengutarakan bahwasanya pencapaian tujuan sosial seyogyanya dilakukan
melalui keputusan-keputusan yang aplikatif.
Konflik dan proses politik memiliki keterkaitan yang sangat erat. Konflik merupaka gejala serba-
hadir dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu, dimensi penting proses politik
ialah penyelesain konflik yang melibatkan pemerintah. Proses “penyeleseian” konflik politik yang tak bersifat
kekerasan dibagi menjadi tiga tahap:

a. Politisasi dan/atau koalisi


b. Pembuatan keputusan
c. Pelaksanaan dan integrasi

D.3. Prilaku Politik

Pengertian perilaku politik dapat dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang
mendefinisikan “perilaku” sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.
Definisi ini juga dapat menunjukkan adanya nilaibahwa perilaku adalah reaksi terhadap stimulus yang
diberikan secara internal (psikologis) maupun eksternal (sosiologis).

Artinya, dapat dikatakan bahwa definisi perilaku politik ini adalah tanggapan atau reaksi individu
terhadap aktivitas perpolitik dalam suatu negara. Karakteristik perilaku politik dari suatu masyarakat dapat
dilihat dari sejauh mana kadar kekentalan budaya politik pada suatu masyarkat. Artinya, budaya politik itulah
yang paling banyak berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam merespon politik. Budaya politik ini pula
yang mengikat perilaku politik.

Perilaku politik seseorang dapat dipengaruhi oleh berbagai hal. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku politik, meliputi :

1. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu secara pribadi.


2. Lingkungan sosial politik tak langsung. Dalam hal ini seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem
budaya,dan media massa.
3. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor, seperti
keluarga, agama,sekolah, dan kelompok pergaulan.
4. Lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara
langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan.
5. Basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian diri, eksternalisasi dan pertahanan diri.

Dalam kajian perilaku politik, dapat dilihat adanya dua model perilaku politik secara umum.
Adapun model perilaku politik ini berupa individu sebagai aktor politik dan agregasi politik.

Individu aktor politik meliputi pemimpin politik, aktivis politik, dan individu warga Negara biasa.
Sementara agregasi politik adalah individu aktor politik yang bertindak secara kolektif. Agregasi politik ini
meliputi kelompok kepentingan, birokrasi, parpol, lembaga pemerintahan dan bangsa.

Sumber perilaku politik yang paling utama adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku
politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.Kesepakatan ini tidak selalu bersifat
terbuka, dalam artian, tidak setiap kesepakatan dalam budaya politik ditegaskan secara gamblang.

Ada juga budaya politik yang sifatnya tertutup tetapi tetap dipahami oleh kelompok masyarakat.
Misalnya saja, ketika akan dilangsungkan pemilihan umum, ada budaya politik dalam masyarakat yang sering
meminta sumbangan, atau amplop, atau materi lainnya dari para calon, yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi sikap politiknya.
D.4. Partisipasi Politik

Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan
politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara
ataupun partai yang berkuasa.

Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini,
partisipasi politik " ... a series of activities related to political life, aimed at influencing public decisions in a more
or less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious.[3] Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala
aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan
baik secara langsung maupun tidak langsung -- dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.

Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya
penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka,
Huntington and Nelson memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke
dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam
melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi
Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa)
hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap
melakukan partisipasi politik.

Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan
dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi
Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara
dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo,
dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. [4] Warganegara di
negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya
ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).

Landasan Partisipasi Politik

Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi
politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:

a. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
b. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang
serupa.
c. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
d. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang
berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif
pemerintahan, dan
e. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus
antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang
dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
Mode Partisipasi Politik

Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2
bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti
Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an
dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru
(New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist),
gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan teror.

Bentuk Partisipasi Politik

Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka
bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan
Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:

a. Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana
partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang
berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
b. Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud
mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
c. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun
pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
d. Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-
pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
e. Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi
keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini
adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.

Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi
partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi
politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi
politik adalah masuk ke dalam kajian ini.

Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum
memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau
lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Misalnya, Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-
bentuk partisipasi politik dapat meliputi: (1) Opini publik; (2) Polling; (3) Pemilihan umum; dan (4) Demokrasi
langsung.
2. Uraikan evaluasi Anda tentang proses bekerjanya sistem politik Indonesia berdasarkan pendekatan dan
model analisis di bawah ini:
a. Pendekatan Analisis sistem politik menurut David Easton
b. Pendekatan struktural fungsional menurut Gabriel Almon
c. Pendekatan atau model analisis menurut David Apter, Mitchell, dan Hoogerwerf

Analisis:

a. Pendekatan Analisis Sistem Politik David Easton


Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa pemikiran Easton dapat di rujuk pada tiga tulisannya yaitu The
Political System, A Framework for Political Analysis, dan A System Analysis of Political Life. Di dalam buku
pertama yang terbit tahun 1953 (The Political System) Easton mengajukan argumentasi seputar perlunya
membangun satu teori umum yang mampu menjelaskan sistem politik secara lengkap. Teori tersebut harus
mampu mensistematisasikan fakta-fakta kegiatan politik yang tercerai-berai ke dalam suatu penjelasan yang
runtut dan tertata rapi.
Easton mendefinisikan politik sebagai proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif.
Kata secara otoritatif membuat konsep sistem politik Easton langsung terhubungan dengan negara. Atas
definisi Easton ini Michael Saward menyatakan adanya konsekuensi-konsekuensi logis berikut:

1. Bagi Easton hanya ada satu otoritas yaitu otoritas negara;


2. Peran dalam mekanisme output (keputusan dan tindakan) bersifat eksklusif yaitu hanya di tangan lembaga
yang memiliki otoritas;
3. Easton menekankan pada keputusan yang mengikat dari pemerintah, dan sebab itu: (a) keputusan selalu
dibuat oleh pemerintah yang legitimasinya bersumber dari konstitusi dan (b) Legitimasi keputusan oleh
konstitusi dimaksudkan untuk menghindari chaos politik; dan
4. Bagi Easton sangat penting bagi negara untuk selalu beroperasi secaralegitimate.

Menurut Chilcote, dalam tulisannya di The Political System, Easton mengembangkan empat asumsi
(anggapan dasar) mengenai perlunya suatu teori umum (grand theory)sebagai cara menjelaskan kinerja
sistem politik, dan Chilcote menyebutkan terdiri atas:

1. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi untuk mensistematisasikan fakta-fakta yang ditemukan.
2. Para pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai keseluruhan, bukan parsial.
3. Riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data psikologis dan data situasional. Data psikologis terdiri
atas karakteristik personal serta motivasi para partisipan politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas
yang muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini muncul dari lingkungan fisik (topografi,
geografis), lingkungan organis nonmanusia (flora, fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan reaksinya).
4. Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu disequilibrium(ketidakseimbangan).

Fakta cenderung tumpang-tindih dan semrawut tanpa adanya identifikasi. Dari kondisichaos ini, ilmu
pengetahuan muncul sebagai obor yang menerangi kegelapan lalu peneliti dapat melakukan klasifikasi
secara lebih jelas. Ilmu pengetahuan melakukan pemetaan dengan cara menjelaskan hubungan antar fakta
secara sistematis. Politik adalah suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan politik memiliki
dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Easton memaksudkan teori yang dibangunnya mampu
mewakili ketiga unsur ilmiah tersebut.
Dalam konteks bangunan keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum yang mampu
mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik sistem politik untuk kemudian merangkum
keseluruhannya dalam satu penjelasan umum. Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan
kembali lagi ke awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu merekam seluruh proses
tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton menghendaki analisis yang dilakukan atas
suatu struktur tidak dilepaskan dari fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian sistem
politik bersifat menyeluruh, bukan parsial. Misalnya, pengamatan atas meningkatnya tuntutan di struktur
input tidak dilakukan secara per semelainkan harus pula melihat keputusan dan tindakan yang dilakukan
dalam struktur output.
Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya. Sebab itu pengamatan atas
suatu sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini disistematisasi
ke dalam dua jenis data, psikologis dansituasional. Kendati masih abstrak, Easton sudah mengantisipasi
pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih dimaksudkan pada tingkatan unit-unit sosial dalam
masyarakat ketimbang perilaku warganegara (seperti umum dalam pendekatan behavioralisme). Easton
menekankan pada motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan di dalam sistem politik.
Menarik pula dari Easton ini yaitu antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi geografis
ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain tentunya
lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik. Easton juga
menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam kondisidisequilibriun (tidak seimbang). Ketidakseimbangan
inilah yang merupakan bahan bakarsehingga sistem politik dapat selalu bekerja.
Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu penjelasan atas sistem
politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan
fenomena sistem politik, lembaga-lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk
pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini.
Lebih lanjut, Chilcote menjelaskan bahwa setelah mengajukan empat asumsi seputar perlunya
membangun suatu teori politik yang menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton mengidentifikasi
empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiapkajian sistem politik, yang terdiri atas:
1. Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik
Serupa dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik pun terdapat unit-unit
yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik.
Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti
legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di
dalam batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan
sejenisnya.
2. Input-output
Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang masuk dari masyarakat
ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan dandukungan. Tuntutan secara sederhana dapat disebut
seperangkat kepentingan yang alokasinya belum merata atas ejumlah unit masyarakat dalam sistem
politik.Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat untuk mendukung keberadaan sistem politik
agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun
dukungan masyarakat. Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh
pemerintah.Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan
yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat.
3. Diferensiasi dalam sistem
Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan) kerja. Di masyarakat
modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam
proses penyusunan Undang-undang Pemilu, tidak bisa hanya mengandalkan DPR sebagai penyusun utama,
melainkan pula harus melibatkan Komisi Pemilihan Umum, lembaga-lembaga pemantau kegiatan pemilu,
kepresidenan, ataupun kepentingan-kepentingan partai politik, serta lembaga-lembaga swadaya
masyarakat. Sehingga dalam konteks undang-undang pemilu ini, terdapat sejumlah struktur (aktor) yang
masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
4. Integrasi dalam sistem
Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Undang-
undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi
antara DPR, Kepresidenan, KPU, Bawaslu, Partai Politik, dan media massa.
Hasil pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut:

Skema Kerja Sistem Politik Easton


Dalam gambar diatas, Easton memisahkan sistem politik dengan masyarakat secara keseluruhan oleh sebab
bagi Easton sistem politik adalah suatu sistem yang berupaya mengalokasikan nilai-nilai di tengah masyarakat
secara otoritatifAlokasi nilai hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan
yang legitimate (otoritatif) di mata warganegara dan konstitusi. Suatu sistem politik bekerja untuk
menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan (action) yang disebut kebijakan (policy) guna
mengalokasikan nilai.
Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik (political actions) yaitu kondisi seperti
pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap Presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah,
dan sejenisnya. Dalam awal kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit input.
Input adalah pemberi makan sistem politik. Input terdiri atas dua jenis: tuntutan dandukungan. Tuntutan
dapat muncul baik dalam sistem politik maupun dari lingkunganintrasocietal maupun extrasocietal. Tuntutan
ini dapat berkenaan dengan barang dan pelayanan (misalnya upah, hukum ketenagakerjaan, jalan, sembako),
berkenaan dengan regulasi (misalnya keamanan umum, hubungan industrial), ataupun berkenaan dengan
partisipasi dalam sistem politik (misalnya mendirikan partai politik, kebebasan berorganisasi).
Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan aktor-aktor di dalam sistem politik yang
bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di
dalam sistem politik. Di sisi lain, dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk melestarikan
ataupun menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat disebutkan bahwa dukungan memiliki dua
corak yaitu positif (forwarding) dan negatif (rejecting) kinerja sebuah sistem politik.
Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya disebut sebagai output, yang
menurut Easton berkisar pada dua entitas yaitu keputusan (decision) dan tindakan (action). Output ini pada
kondisi lebih lanjut akan memunculkanfeedback (umpan balik) baik dari kalangan dalam sistem politik
maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali ke dalam format tuntutan dan dukungan, dan
secara lebih lanjut meneruskan kinerja sistem politik. Demikian proses kerja ini berlangsung dalam pola siklis.
Di dalam karyanya yang lain - A Framework for Political Analysis (1965) dan A System Analysis of Political
Life (1965) Chilcote menyebutkan bahwa Easton mulai mengembangkan serta merinci konsep-konsep yang
mendukung karya sebelumnya – penjelasan-penjelasannya yang abstrak – dengan coba mengaplikasikannya
pada kegiatan politik konkrit dengan menegaskan hal-hal sebagai berikut:[9]

 Masyarakat terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di dalamnya serta bersifat terbuka;
 Sistem politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas perilaku sosial, dengan mana
nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara otoritatif. Kalimat ini sekaligus merupakan definisi politik
dari Easton; dan
 Lingkungan terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal.

Lingkungan intrasocietal terdiri atas lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luarbatasan sistem politik
tetapi masih di dalam masyarakat yang sama. Lingkunganintrasocietal terdiri atas:[10]

 Lingkungan ekologis (fisik, nonmanusia). Misal dari lingkungan ini adalah kondisi geografis wilayah yagng
didominasi misalnya oleh pegunungan, maritim, padang pasir, iklim tropis ataupun dingin;
 Lingkungan biologis (berhubungan dengan keturunan ras). Misal dari lingkungan ini adalah semitic,
teutonic, arianic, mongoloid, skandinavia, anglo-saxon, melayu, austronesia, caucassoid dan sejenisnya;
 Lingkungan psikologis. Misal dari lingkungan ini adalah postcolonial, bekas
penjajah, maju, berkembang, terbelakang, ataupun superpower; dan
 Lingkungan sosial. Misal dari lingkungan ini adalah budaya, struktur sosial, kondisi ekonomi, dan
demografis.

Lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan sistem
politik dan masyarakat tempat sistem politik berada. Lingkunganextrasocietal terdiri atas:

 Sistem Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial internasional adalah kondisi pergaulan masyarakat
dunia, sistem ekonomi dunia, gerakan feminisme, gerakan revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya
apa yang kini dikenal dalam terminologi International Regime (rezim internasional) yang sangat banyak
variannya.
 Sistem ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi internasional adalah keterpisahan negara berdasar
benua (amerika, eropa, asia, australia, afrika), kelangkaan sumber daya alam, geografi wilayah berdasar
lautan (asia pasifik, atlantik), isu lingkungan seperti global warming atau berkurangnya hutan atauparu-
paru dunia.
 Sistem politik internasional. Misal dari sistem politik internasional adalah PBB, NATO, ASEAN,
ANZUS, Europa Union, kelompok negara-negara Asia Afrika, blok-blok perdaganan dan poros-poros politik
khas dan menjadi fenomena di aneka belahan dunia. Termasuk ke dalam sistem politik internasional adalah
pola-pola hubungan politik antar negara seperti hegemoni, polarisasi kekuatan, dan tata hubungan dalam
lembaga-lembaga internasional.

Seluruh pikiran Easton mengenai pengaruh lingkungan ini dapat dilihat di dalam bagan model arus sistem
politik berikut:
Model Arus Sistem Politik Easton
Model arus sistem politik di atas hendak menunjukkan bagaimana lingkungan,
baikintrasocietal maupun extrasocietal, mampu mempengaruhi tuntutan dan dukungan yang masuk ke
dalam sistem politik. Terlihat dengan jelas bahwa skema ini merupakan kembangan lebih rumit dan rinci dari
skema yang dibuat Easton dalam karyanya tahun 1953. Keunggulan dari model arus sistem politik ini adalah
Easton lebih merinci pada sistem politik pada hakikatnya bersifat terbutka. Dua jenis
lingkungan, intrasocietal danextrasocietal mampu mempengaruhi mekanisme input (tuntutan dan
dukungan) sehingga struktur proses dan output harus lincah dalam mengadaptasinya.
Tuntutan dan dukungan dikonversi di dalam sistem politik yang bermuara pada output yang dikeluarkan
oleh Otoritas. Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan keputusan
maupun tindakan dalam bentuk policy(kebijakan), bukan sembarang lembaga, melainkan menurut Easton
diposisikan oleh negara (state). Output ini kemudian kembali dipersepsi oleh lingkungan dan proses siklis
kembali berlangsung.

b. Pendekatan struktural fungsional menurut Gabriel Almond


Gabriel Abraham Almond adalah salah satu pengguna teori sistem politik Easton, namun Almond
melakukan sejumlah modifikasi atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand theory, maka Almond
membangun suatu middle-range theory. Selain itu Almond menekankan pada teori makro, tidak seperti
Easton yang lebih fokus kearah politik mikro. Dalam tulisan yang berjudul Comparative Polititical System tahun
1956 Almond mengajukan tiga asumsi yang dipertimbangkan dalam kajian sistem politik. Yang pertama
mengenai sistem penandaan totalitas interaksi di antara unit-unit politik dan keseimbangan di dalam sistem
yang selalu berubah. Yang kedua yaitu hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata lembaga formal,
melainkan juga struktur informal serta peran yang dijalankan. Dan yang ketiga adalah budaya politik memiliki
kecenderungan utama dalam sistem politik, yang berarti budaya inilah yang dapat membedakan satu sistem
politik dengan sistem politik lain.
Menurut Almond (1956), sistem politik adalah totalitas interaksi antar unit-unit yang ada di dalamnya.
Interaksi tersebut tidak hanya sebatas pada lembaga-lembaga atau aktor politik formal saja melainkan aktor
informal. Keseimbangan di dalam sistem politik menurut Almond selalu berubah sehingga sistem politik lebih
bersifat dinamis. Perubahan keseimbangan ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh lingkungan intrasocietal
dan extrasocietal. Pengaruh tersebut membuat perimbangan kekuatan antar struktur formal berubah,
contohnya adalah dominasi kekuatan lembaga kepresidenan atas legislatif dan yudikatif di masa pra transisi
politik tahun 1998 yang berganti rezim di periode selanjutnya. Almond bersama Sidney Verba secara khusus
menyelidiki budaya politik ini yang tersusun di dalam buku The Civic Culture : Political Attitudes and
Democracy in Five Nations yang terbit tahun 1963. Pada perkembangannya, konsep budaya politik ini semakin
populer dan luas sehingga digunakan para peneliti di dunia termasuk Indonesia mengenai budaya politik.
Budaya politik adalah hasil sosialisasi politik di masa kanak-kanak, pendidikan, media massa, dan akibat
fenomena yang berbungan dengan kinerja sosial dan ekonomi yang ditunjukkan pemerintah. Budaya politik
terdiri atas komponen-komponen kognitif yang berisi pengetahuan dan kepercayaan tentang realitas politik,
afektif yakni rasa penghargaan atas politik, dan evaluatif yaitu komitmen atas nilai-nilai politik. Sehingga
dampak yang ditimbulkan dari budaya politik cenderung mengikat struktur dan kinerja pemerintah.
Almond mendasarkan beberapa hal utama dalam sistem politik. Pertama, sistem politik merupakan
sistem yang ada dalam masyarakat yang bebas. Kedua, tujuan ilmu politik adalah untuk mencapai suatu
integrasi masyarakat. Ketiga, sistem politik absah dalam menggunakan kekuatan paksaan, paksaan ini
sebagian besar dilakukan dengan paksaan hukum. Almond membandingkan lembaga-lembaga dalam proses
politik yang terdapat didalamnya melalui tiga tahapan. Yang pertama adalah kegiatan deskriptif, yaitu dengan
melihat dan memusatkan perhatian pada semua rangkaian sistem politik. Yang kedua adalah memilah-milah
dan mengelompokkan unit-unit dalam proses politik. Yang ketiga adalah mencari hubungan antar unit yang
tergabung dalam sistem politik.
Menurut Almond ada tiga konsep yang digunakan dalam membandingkan berbagai sistem politik,
yaitu sistem, struktur, dan fungsi. Sistem digunakan sebagai konsep dengan adanya organisasi yang
berinteraksi masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu, dan agar sistem berjalan dengan baik maka
memerlukan struktur sebagai proses berjalannya fungsi politik tersebut. Lembaga politik mempunya tiga
fungsi yaitu sosialisasi politik, yakni merupakan fungsi untuk mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap
politik di kalangan penduduk, untuk menjalankan peranan-peranan politik, administratif, dan yudisial. Fungsi
yang kedua adalah rekruitmen politik, yakni merupakan fungsi yang digunakan untuk menyeleksi rakyat dalam
kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota
organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu. Yang ketiga adalah komunikasi politik, yaitu merupakan
jalan mengalirnya informasi melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam sistem politik.
Gabriel Almond menggunakan pendekatan dalam memahami dan menganalisis sistem politik di
beberapa negara asal teori perbandingan politik ini muncul. Yang menjadi subjek klasifikasi sistem politik
Gabriel Almond adalah negara-negara Anglo-American (Inggris dan Amerika), negara Pre Industri atau Partially
Industrial State, negara Totaliter, dan negara-negara Eropa kontinental (Italia, Perancis, dan Jerman). Dalam
sistem politik Anglo-Amerika, memuat tentang homogenitas dan budaya politik yang sekuler. Homogenitas
mengandung maksud kesamaan tujuan seperti kesatuan nilai kemerdekaan, kesejahteraan dan keamanan.
Selanjutnya adalah sistem politik Pre industrial atau Partially Industrial State,sistem politik ini identik dengan
sistem politik secara campuran kultural. Sehingga peran yang dilakukan oleh lembaga politik dan parlemen,
namun tidak hanya terbatas pada kedua lembaga tersebut. Peran masing-masing lembaga politik bisa saling
bercampur satu sama lain dan bersifat unpredictable. Karena kecenderungan yang bercampur inilah, ada dua
kemungkinan yang tidak bisa diprediksi yang mana sewaktu-waktu sistem politik yang ada dapat mengalami
transformasi menuju sistem yang baru, atau menuju kembali ke sistem politik lama, berkultur tradisional.
Kemudian sistem politik totaliter, bersifat homogen tetapi homogenitas di sini memiliki arti homogen yang
sintetik yaitu dibuat dengan sengaja oleh aktor-aktor yang terlibat. Peran struktural identik dengan tidak
adanya legitimasi kekuasaan atas wargnegara yang dipimpin. Karakteristik dari politik totaliter adalah
penggunaan kekerasan, adanya dominasi kuat oleh penguasa, sehingga menciptakan ketidakstabilan. Yang
terakhir adalah sistem politik negara-negara kontinental Eropa, sistem kontinental Eropa merupakan pola
budaya politik yang terkarakteristik oleh pola ketidakseimbangan perkembangan. Variasi kebudayaan ini
merupakan outcroppings dari kebudayaan-kebudayaan sebelumnya dan dengan adanya manifestasi politik.

c. Pendekatan atau model analisis menurut David Apter, Mitchell, dan Hoogerwerf
Menurut David Apter, sistem politik di suatu Negara dapat dilihat dari lembaga yang menjadi struktur
inti dalam proses kekuasaan. Pendekatan kelembagaan ini, sebagaimana yang diungkap David Apter berasal
dari para filsuf Yunani seperti Plato atau Aristoteles sampai dengan filsuf politik modern mengadopsi
pendekatan ini. Sehingga pendekatan ini dianggap lebih berat pada landasan filosofis dari ilmu politik.

Pada awal perkembangannya, pendekatan ini berkembang sejalan dengan ilmu hukum. Karena itu
pada masanya pendekatan ini banyak mengambil pembahasan mengenai mana yang „hitam dan mana yang
„putih‟. Karena itulah pembahasan yang menjadi turunan dari pendekatan ini memiliki kecenderungan yang
legal-formal.

Alasan mengapa legal adalah karena dalam pendekatan ini politik selalu dikaitkan dengan persoalan
hukum. Sehingga pembahasannya banyak mengacu pada konstitusi dan hukum-hukum yang ada di dalam
sebuah negara. Kita bisa mengambil Indonesia sebagai contoh. UUD 1945 adalah dasar konstitusional negara.
Sehingga apa yang tercantum di dalam yang menjadi pembahasan analisa politik. Seperti contohnya dasar
negara, bentuk negara, sistem pemerintah kita, dan lain sebagainya. Semua yang ada di UUD 1945
dianggap sebagai suatu hal yang ideal dan harus dijalankan tanpa melihat kembali bagaimana relevansi dan
signifikansinya di dalam realita.

David E. Apter (1977). The Institutional Approach to Politics

Pendekatan ini disebut formal karena pembahasannya hanya seputar lembaga-lembaga dan struktur
politik yang formal. Pembahasan yang akan muncul dengan demikian adalah mengenai lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, partai-partai politik, sampai dengan sistem pemilu. Semuanya ini adalah lembaga
formal yang ketentuannya diatur oleh negara. Yang menjadi unit analisanya adalah kewenangan dari tiap-
tiap lembaga tersebut yang terdapat dalam konstitusi. Tetapi apakah lembaga berfungsi dengan benar tidak
menjadi unit analisa dari pendekatan kelembagaan. Selain itu pendekatan ini cenderung tidak melihat
kekuatan-kekuatan politik yang berada di luar lembaga formal tersebut. Baik kelompok-kelompok informal,
kepentingan, maupun media tidak menjadi bahan pengkajian dari pendekatan ini.
Analisa Apter cukup bisa menjelaskan hal ini. Ia memandang bahwa kelompok-kelompok tersebut
berusaha untuk mempengaruhi kebijakan tanpa memiliki kekuatan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kemampuan kelompok- kelompok ini sangat terbatas. Berbeda dengan partai-partai politik yang memang
secara konstitusional memiliki kemampuan untuk mempengaruhi langsung kebijakan dengan mengirimkan
wakil mereka yang akan bersentuhan langsung dengan pembuatan kebijakan. Sehingga para teoritisi
kelembagaan melihat bahwa kekuatan kelompok ini sangat kecil dan tidak signifikan. Apter menilai bahwa
pendekatan kelembagaan mencoba mengatakan bahwa saluran aspirasi maupun kekuatan untuk
mempengaruhi hanya bisa terjadi melalui representasi pemerintah yang ada dalam sebuah negara.

Dalam buku Introduction to Political Analysis, David E. Apter menjelaskan bagaimana pendekatan
kelembagaan memberikan gambaran mengenai tujuan filosofis dari adanya pemerintah. Kajian yang
berputar pada kegunaan lembaga-lembaga pemerintahan sesungguhnya banyak memberikan kontribusi
untuk pembangunan ilmu politik itu sendiri. Karena tak bisa dipungkiri pendekatan ini adalah yang pertama
kali muncul dalam analisa-analisa politik.

Menurut Apter, masing-masing pendekatan baik itu kelembagaan, perilaku, pluralis, strukturalis,
atau marxis memiliki penekanan dan areanya masing-masing. Dan untuk pendekatan kelembagaan, area
pengaplikasiannya banyak terdapat di kajian soal perbandingan politik, partai-partai politik, dan konstitusi.

Dapat kita lihat bahwa sebenarnya sumbangsih pendekatan kelembagaan adalah penjelasan
mengenai fungsi-fungsi lembaga politik dan juga pendekatan dengan melihat fungsi negara dan pemerintah.
Peran masing-masing lembaga dalam trias politica menjadi jelas dengan analisa yang menggunakan
pendekatan ini. Karena bersifat normatif, maka sebenarnya kita bisa melihat secara fungsional masing-
masing lembaga politik tersebut dalam sistem yang terbentuk di sebuah negara. Pendekatan neo-
institusionalis juga hadir karena dirasa dalam pendekatan perilaku peran negara seakan tidak lagi dianggap
penting. Padahal negara sesungguhnya sangat berperan dalam membentuk pola perilaku yang terjalin antar
aktor-aktor politik maupun masyarakat. Pendekatan kelembagaan dapat membantu kita sebagai pedoman
dalam melihat fungsi-fungsi negara tersebut dengan penjelasannya yang deskriptif dan historis.

Salah satu peninggalan paling penting yang dihasilkan oleh pendekatan kelembagaan adalah
bagaimana merumuskan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Kedua sistem ini terus menjadi
perdebatan karena menyangkut representasi politik dalam sebuah negara dan pembagian kekuasaan. Kedua
sistem ini juga yang menjadi pilihan sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Sehingga pakem yang
telah dibuat dari kedua sistem ini menjadi dasar bagi perkembangan ilmu politik dalam menganalisa sistem
pemerintahan di sebuah negara.

Kajian perbandingan politik juga banyak sekali mengacu pada pendekatan ini. Fokus yang
perbandingan politik adalah membandingkan unit-unit politik maupun sistem politik antar dua negara atau
lebih. Unit yang biasa diteliti meliputi partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam
metode perbandingan kita memerlukan pengertian deskriptif terlebih dahulu perihal fungsi-fungsi unit
tersebut sebelum bisa membandingkan bagaimana penerapannya di tiap-tiap negara.

Di Indonesia sendiri pendekatan kelembagaan banyak digunakan di awal berdirinya bidang ilmu
politik. Dalam Jurnal Politik, Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa dosen-dosen politik di masa-masa awal
banyak berasal dari lulusan ilmu hukum. Mereka tidak mempelajari teori-teori politik tetapi lebih pada
praktisi yang sedikit banyak mengerti praktek-praktek politik. Itu sebabnya pendekatan legal-formal menjadi
warna ilmu politik awal di Indonesia karena didominasi oleh orang-orang hukum. Barulah pada tahun 1960-
an mulai banyak berdatangan lulusan-lulusan luar negeri yang datang kembali ke Indonesia membawa
perspektif baru dalam melihat ilmu politik. Mereka inilah yang mulai memasukkan pendekatan perilaku ke
Indonesia dan mulai mengurangi pendekatan legal-formal terdahulu.

Sementara itu, menurut Joyce Mitchell, politik lebih ditekankan pada proses pengambilan
keputusan. Menurutnya, seperti dalam bukunya politikal analisis and public policy: ilmu politik adalah ilmu
yang mempelajari tentang pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk
masyarakat seluruhnya.

Pengambilan keputusan (decision-making), keputusan (decision) adalah membuat pilihan di antara


beberapa alternatif pengambilankeputusan (decision-making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai
keputusan itu dicapai.

Kegiatan pengambilan keputusan adalah kegiatan yang kompleks. Pengalaman banyak manajer yang
berkecimpung dalam memecahkin masalah sehari-hari dan hasil-hasil penelitian menunjukkan, bahwa
kegiatan pengambilan keputusan akan menjadi lebih efektif bila didekati dengan:

1. Pendekatan yang interdisipliner.

2. Proses yang sistematis.

3. Proses berdasarkan informasi.

4. Memperhitungkan faktor-faktor ketidakpasian.

5. Diarahkan pada tindakan nyata.

Proses pengambilan keputusan tidak bisa dilihat sebagai suatu tindakan tunggal. tidak pula ia dapat
dipanddng sebagai suatu tindakan yang seragam yang berlaku untuk semua keadaan, serta dapat digunakan
oleh pengambil keputusan yang berbeda dengan tingkat efektivitas yang sama. Proses pengambilan
keputusan terdiri dari berbagai ndakan dengan memanfaatkan berbagai ragam keterampilan dan
pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dalam kehidupan berorganisasi.

Telah terlihat bahwa pengambilan keputusan, baik pada tingkat individu, tingkat kelompok, maupun
tingkat organisasi, pada umumnya berarti secara sadar menjatuhkan pilihan atas berbagai alternatif tertentu
setelah mengalami proses seleksi yang teliti. Proses pengambilan keputusan memerlukan penggunaan ide
atau persepsi tentang yang baik dan yang tidak baik, yang benar dan yang ialah, yang layak dan yang tidak
layak dilakukan serta yang harus dilakukan dan yang sebaiknya tidak dilakukan.

Artinya, proses pengambilan keputusan mau tidak mau harus memperhitungkan nilai-nilai
organisasional dan nilai-nilai sosial. Bahkan nilai moral dan etika pun harus diperhitungkan. Di samping itu,
karena dalam proses pengambilan keputusan manusia memainkan peranan yang paling menentukan, maka
filsafat hidup, nilai-nilai yang dianut, latar belakang pendidikan, pengalaman, pandangan atau persepsi
seseorang, turut pula berperan. Dengan segala faktor tersebut pun masih tetap tidak ada kepastian, bahwa
keputusan yang diambil benar-benar akan mendatangkan hasil yang diharapkan. Itulah sebabnya kalau orang
berbicara tentang proses pengambilan keputusan, ia selalu berbicara tentang probabilitas, baik yang
menyangkut keberhasilan maupun ketidak berhasilan.

Adapun menurut Hoogerwerf, sistem politik suatu negara dilakukan dengan menggunakan
perwakilan politik, yang dalam hal ini adalah partai politik. Perwakilan politik dapat didefinisikan sebagai
pelimpahan sementara atas kewenangan politik warga negara kepada (sekelompok) orang yang mereka pilih
secara bebas, untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan rakyat yang secara jelas dirumuskan.

Varian perwakilan menurut Hoogerwerf dalam sudut pandang hubungan antara wakil dengan pihak
yang diwakili dapat digolongkan kedalam lima tipe:

a. Tipe Utusan; Yakni wakil yang bertindak sesuai dengan perintah dari pihak yang diwakilinya.

b. Tipe Wali; Yakni wakil memperoleh kuasa penuh dari pihak yang diwakili, dan ia dapat bertindak atas
dasar pertimbangan sendiri. Dengan demikian keberadaan wakil tidak tergantung pihak yang diwakilinya.

c. Tipe Politics; Yakni kombinasi antara tipe utusan an tipe wali.Tergantung pada situasi, wakil kadang harus
berperan sebagai wali, kadang sebagai utusan.

d. Tipe Kesatuan; Yakni seluruh anggota lembaga perwakilan dipandang sebagai wakil dari seluruh rakyat,
tanpa membedakan asal partai politik yang mempromosikan mereka.

e. Tipe penggolongan; Yakni anggota lembaga perwakilan dilihat sebaga wakil dari kelompok teritorial,
sosial, dan politik tertentu

3. Implementasi Hubungan Pemrintah Pusat dan Daerah


Hubungan antara Pemerintah Pusat (Pusat) dan Daerah mencakup isi yang sangat luas, bisa terkait
dengan isu nasionalisme dan nation building, bisa pula dengan isu demokrasi nasional dan demokrasi lokal, dan
oleh karena itu terkait pula dengan isu hubungan antara negara dan masyarakat. Hubungan antara Pusat dan
Daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan, karena masalah tersebut dalam praktiknya sering
menimbulkan upaya tarik menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan.
Terlebih dalam negara kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan
pemerintahan sangat jelas (Huda, 2009:1). Model Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
secara teoritis menurut Clarke dan Stew- ard dapat dibedakan menjadi tiga, yakni: (Huda, 2009:248) Pertama,
The relative Autonomy Model, memberikan kebebasan yang relatif besar kepada pemerintah daerah dengan
tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat. Penekanannya adalah pada pemberian kebebasan bertindak
bagi pemerintah daerah dalam kerangka kekuasaan/tugas dan tanggung jawab yang telah dirumuskan oleh
peraturan perundang-undangan; kedua The Agency Model. Model dimana pemerintah daerah tidak
mempunyai kekuasaan yang cukup berarti sehingga keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah
pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Karenanya pada model ini
berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundangan sebagai mekanisme kontrol sangat menonjol. Pada
model ini pendapatan asli daerah bukanlah hal penting dan sistem keuangan daerahnya didominasi oleh
bantuan dari pemerintah pusat; ketiga The Interaction Model. Merupakan suatu bentuk model dimana
keberadaan dan peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
Menurut Bagir Manan, paling tidak ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan derah
dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan dan hubungan yang
timbul dari susunan organisasi pemerintahan di daerah (Manan, 2001:37). Hubungan kewenangan antara lain
bertalian dengan cara pembagian urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu
bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila; pertama
urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-
cara tertentu pula. Kedua; apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga
daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus
rumah tangga daerahnya. Ketiga; sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-
hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.
Otonomi luas biasa bertolak dari prinsip semua urusan pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah
tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat.
Upaya menemukan format hubungan antara pusat dan daerah yang ideal dalam kerangka negara
kesatuan bukanlah persoalan yang mudah ditemukan, karena hal itu merupakan proses yang berjalan seiring
dengan perjalanan bangsa In- donesia. Salah satu aspek yang dapat mempengaruhi pola hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah susunan organisasi pemerintahan daerah, terlebih dalam
negara kesatuan yang desentralistik. Kewenangan yang dijalankan oleh pemerintah pusat dalam negara
kesatuan sangatlah luas dan mencakup seluruh warga negara yang ada di dalam maupun di luar negeri. Oleh
karena itu, mutlak dilakukan delegasi kewenangan (delegation of au- thority) baik dalam rangka desentralisasi
maupun dekonsentrasi. Sebagai konsekuensi dibentuknya satuan pemerintahan di tingkat daerah, sudah
barang tentu disertai dengan tindakan lain yakni urusan-urusan pemerintahan apa saja yang dapat diserahkan
dan dijalankan oleh satuan pemerintahan di daerah. Atau urusan-urusan pemerintahan yang akan diserahkan
kepada pemerintah daerah sebagai konsekuensi pelaksanaan desentralisasi, titik berat pelaksanaan akan
diletakkan pada daerah yang mana. Berdasarkan hal tersebut, maka susunan organisasi pemerintahan di
daerah akan berpengaruh terhadap hubungan antara pusat dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peran dan
fungsi masing-masing susunan atau tingkatan dalam penyelenggaaan otonomi. Artinya peran dan fungsi
tersebut dapat ditentukan oleh pelaksanaan titik berat otonomi yang dijalankan. Pengaturan dan pelaksanaan
titik berat otonomi sangat ditentukan oleh beberapa faktor yaitu:
(a) sistem rumah tangga daerah; (b) ruang lingkup urusan pemerintahan; dan (c) sifat dan kualitas
suatu urusan (Manan, 1995:194-195).
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dapat diterjemahkan pola hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah sebagai berikut:
1. Desentralisasi adalah penyerahan sebagian kewenangan eksekutif dari Pemerintah Pusat kepada
Daerah, dimana dalam pasal 9 (sudah disebutkan di halaman sebelumnya) bahwa Urusan pemerintahan
Konkuren inilah yang menjadi dasar Otonomi Daerah. Urusan Pemerintahan Konkuren yang diserahkan
meliputi Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Pada Urusan Wajib ada Urusan Wajib Pelayanan dasar dan Urusan
Wajib Non Pelayanan Dasar. Berdasarkan pembagian urusan kewenangan tersebut, merujuk pada teori Model
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara teoritis menurut Clarke dan Steward
termasuk The Agency Model. Model dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup
berarti sehingga keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk
menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Karenanya pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam
peraturan perundangan sebagai mekanisme kontrol sangat menonjol.
2. Pembagian urusan pemerintahan konkuren tersebut berdasarkan Pasal 13 didasarkan pada
prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Prinsip akuntabilitas
dimaksudkan bahwa Penanggungjawabnya berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan
dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan. Adapun yang dimaksud dengan
prinsip efisiensi adalah Perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Sedangkan
Prinsip eksternalitas merupakan Luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan
suatu Urusan Pemerintahan. Dan Prinsip kepentingan strategis nasional bahwa dalam rangka menjaga
keutuhan dan kesatuan bangsa, kedaulatan Negara, implementasi hubungan luar negeri, pencapaian program
strategis nasional dan pertimbangan lain.
3. Berdasarkan pasal 13 ayat (2) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah
Pusat; dan/atau
e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional
4. Sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3)
meliputi;
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah
Provinsi;
5. Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (4) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah
kabupaten/kota; dan/ atau;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh
Daerah kabupaten/kota.
6. Pembagian urusan kewenangan tersebut dikontrol oleh pemerintah pusat dengan menerapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria (NPSK) dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah. Hal ini tercantum dalam Pasal 16. Norma, standar, prosedur, dan kriteria tersebut berupa
ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang
menjadi kewenangan Daerah. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria dilakukan paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkruen
diundangkan. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun Pemerintah Pusat belum menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria, penyelenggara Pemerintahan Daerah melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
7. Pada pasal 18 ditentukan adanya skala prioritas pelaksanaan urusan, bahwa Pemerintahan
Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
Juga ditekankan bahwa Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar berpedoman pada standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Dengan kata lain, Pemerintah provinsi dan Pemerintah kabupaten/Kota wajib memprioritaskan 6 (enam)
urusan Pelayanan Dasar yang disebut pada Pasal 12, yaitu: pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan
penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan
perlindungan masyarakat; dan sosial. Artinya keenam program pelayanan dasar ini mendapatkan prioritas
pembiayaan, sumber daya manusia, Sarana/prasarana, dan manajemennya sehingga bisa berjalan baik
ditingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Berkaitan dengan urusan wajib pemerintahan berkaitan dengan
pelayanan dasar (8 urusan) tidak perlu diatur lagi di Daerah karena sudah memiliki SPM dan NSPKnya, sehingga
Daerah sudah langsung dapat melaksanakannya;
8. Sedangkan berkaitan dengan urusan wajib non pelayanan dasar (18 urusan) perlu dilakukan
pemetaan urusan masing-masing Daerah (Pasal 24), dimana bahwa intensitas masing-masing urusan tersebut
pasti berbeda, hal ini dilakukan untuk menentukan tipologi SKPD. Semakin tinggi tipologi urusannya, maka
alokasi APBN akan semakin besar, tidak selama ini yang dibuat sama rata di semua daerah. Pemetaan dilakukan
dengan vari- able umum, terdiri dari jumlah penduduk, besaran APBD, dan luas wilayah, sedangkan untuk
variable khususnya dapat disusun bersama-sama dengan kementerian/ lembaga terkait.
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini pun berpedoman dengan Undang-Undang Nomor 5
tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dimana tujuan umumnya antara lain: (a) Untuk menjaga
profesionalisme dan menjauhkan birokrasi dari intervensi politik maka perlu diatur Standar Kompetensi
Jabatan dalam birokrasi pemerintah daerah dan (b) Selain memenuhi kompetensi teknis, kompetensi
manajerial dan kompetensi social cultural menjadi pertimbangannya.
11. Berkaitan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015
perlu ditekankan kembali bahwa:
(a) Dengan berlakunya Undang-Undang 23 Tahun 2014 otomatis urusan pemerintahan harus beralih,
sedangkan yang diberikan tenggang waktu diselesaikan 2 tahun ke depan adalah yang berkaitan dengan
Personel, pendanaan, Sarana dan prasarana serta dokumen (P3D). Hal ini sesuai dengan Pasal 404 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan
(b) Perubahan SOTK dilakukan setelah adanya pemetaan urusan pemerintahan, Provinsi perlu
melakukan pemetaan urusan Kabupaten/Kota didampingi oleh Kementerian/ Lembaga Pemerintah Non
kementerian. Yang perlu diperhatikan adalah akibat adanya peralihan kewenangan, seperti personil/pegawai,
aset dan pendanaannya. Apabila dicermati, Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, masih menerapkan
pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah
absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal
9) urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama) urusan
pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi
dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masih sama kedudukannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah .
Adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut mencerminkan bahwa
Indonesia masih menjalankan adanya bentuk negara kesatuan. Daerah diberi kewenangan namun sudah
diperinci dalam undang- undangnya, hal ini memberikan penafsiran bahwa pemberian kewenangan tersebut
masih di bawah kontrol dan kendali dari pemerintah pusat. Apabila dikaitkan dengan teori Clarke dan Steward,
model hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bisa dikategorikan menganut The Agency Model. Model
dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berarti sehingga keberadaannya terlihat
lebih sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya.
Karenanya pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundangan sebagai mekanisme kontrol
sangat menonjol.
Hal ini sangat wajar mengingat proses pemberian kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor dan sistem politik yang terjadi di Indonesia. Pemerintah pusat tidak
menginginkan adanya kebebasan pemerintah daerah dalam menjalankan kewenangan yang diberikan dalam
undang-undang, namun masih ada pengawasan dan kontrol yang harus dilakukan pemerintah pusat.

4. Dinamika Perkembangan Sistem Politik dan Demokrasi di Indonesia


Sampai saat ini, sistem demokrasi masih menjadi icon utama bagi negaranegara modern, khususnya
negara hukum yang menempatkan sistem demokrasi sebagai bagian dalam menentukan arah politik hukum
negaranya. Pada sisi yang bersamaan, juga tidak sedikit negara-negara yang mengaku sebagai negara
demokrasi, justeru jauh dari pengadopsian nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Indonesia negara yang
menyatakan sebagai bentuk negara demokrasi, tentunya nilai legalitasnya harus dilihat dalam hukum dasar
yang dianutnya, dalam hal ini UUD NRI 1945. Semakin tinggi nilai demokrasi yang terkadung dalam legalitas
tersebut, maka semakin memiliki legitimasi yang kuat. Karena pada prinsipnya dalam diri demokrasi
mengandung nilai-nilai kebaikan untuk masyarakat dan negara. Salah satu nilai kebaikan demokrasi di
Indonesia diimplementasikan melalui proses menentukan pemimpin negara yang ditentukan oleh rakyat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22E UUD NRI menyakatan: (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Ayat (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam penelitian ini ada 2 (dua) permasalahan yang dikaji, yaitu: Pertama,
Apakah sistem pemilihan umum di Indonesia sudah mengadopsi nilai-nilai dalam sistem demokrasi yang
sesungguhnya. Kedua, Bagaimana formulasi pengadopsian nilainilai sistem demokrasi dalam politik hukum
kenegaraan tentang pemilihan umum. Hasil penelitian yang di dapat menunjukkan: Pertama, Dalam
menentukan arah politik hukum tentang pemilihan umum, konsep demokrasi yang dianut Indonesia
menggunakan Pancasila sebagai pedoman utama. Karena nilai dalam sistem demokrasi yang sesungguhnya
itu tidak berhenti pada rakyat yang menentukan pemimpin dan kebijakan negara, tetapi juga dalam sustem
demokrasi tersebut mengandung nilai yang lebih luas dari itu. Kedua, Sebagai negara yang menganut civil law
system, formulasi politik hukum pemilihan umum dilakukan dengan cara penormaan dalam hukum dasar yaitu
UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sistem demokrasi yang ideal sebenarnya bilamana dibangun atas dasar dan sesuai dengan nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang di tengahtengah warga masyarakat suatu negara. Dengan demikian, tidak
harus sama antara sistem demokrasi yang berlaku di negara yang satu dengan demokrasi negara yang lain.
Namun ketidaksamaan sistem demokrasi antar negara itu bukan berarti dibenarkan negara yang satu
mengganggu negara yang lain. Oleh karena sistem demokrasi bersumber dari rakyat, akibatnya kekuasaan
yang di miliki oleh negara itu hakikatnya merupakan kekuasaan penjelmaan rakyat, bukan kekuasaan yang
hanya di miliki dan dikendalikan oleh satu orang, beberapa orang atau kelompok-kelompok tertentu saja. Nilai
yang terkadung pada sistem demokrasi bukan hanya sebatas pada penentuan untuk memilih peminpin itu
diserahkan kepada rakyat secara langsung. Melainkan filosofis sistem demokrasi adalah kedaulatan dan
kekuasaan rakyat yang ada itu membawa nilai manfaat bagi semua elemen bangsa dan negara, dengan
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Oleh karena itu, sebuah negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi senantiasa kadungan yang
terdapat dalam sistem demokrasi itu menjadi bagian dalam merumuskan pasal-pasal dalam hukum dasarnya.
Namun demikian, kadangkala sebuah negara terlalu mengkultuskan atau mengagung-agungkan sistem
demokrasi menjadi sebuah sistem yang tidak ada perbandingannya dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahan. Sampai-sampai sebuah negara bisa terlena dengan sistem demokrasi dan melupakan apa yang
menjadi kehendak warga negaranya. Dengan demikian, seharusnya pengadospsian nilai-nilai dalam sistem
demokrasi antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak harus sama. Karena karakter dan nilai-nilai
yang tumbuh di tengah-tengah masyarakatnya berbeda-beda. Berdasarkan dari latarbelakang tersebut
permasalahan yang dikaji, yaitu: Pertama, Apakah sistim pemilihan umum di Indonesia sudah mengadopsi
nilai-nilai sistem demokrasi yang sesungguhnya. Kedua, Bagaimana formulasi pengadopsian nilai-nilai sistem
demokrasi dalam politik hukum kenegaraan tentang pemilihan umum.

Impelementasi nilai-nilai sistem demokrasi di Indonesia, tidak harus mengadopsi sistem demokrasi
yang berlaku dan digunakan oleh negaranegara barat ataupun eropa. Tetapi nilai-nilai sistem demokrasi
Indonesia harus dibangun dan sesuai dengan karakter dan apa yang hidup ditengahtengah masyarakat
Indonesia. Dengan demikian itu, maka sebagai negara yang berdaulat dapat menunjukkan kedaulatannya
melalui nilai-nilai kehidupa berbangsa dan bernegara secara mandiri. Namun bukan berarti nilai-nilai sistem
demokrasi yang digunakan dan hidup di negara-negara barat dan eropa, merupakan nilai sistem demokrasi
yang kita antikan atau kita nafikan. Secara faktualnya saat ini, sistem demokrasi yang diterapkan di negara-
negara barat dan eropa tampaknya mulai meunjukkan keinginan untuk memisahkan urusan-urusan
kenegaraan dengan urusan ketuhanan. Sistem demokrasi yang demikian pelan-pelan akan meinggalkan
hakikat nilai yang terkandung dalam demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasi tidak hanya dapat diartikan
bahwa proses dalam pemerintahan itu dilakukan oleh rakyat, tetapi selain itu dalam sistem demokrasi juga
menjunjung tinggi nilai-nilai kemaslahatan bagi semua termasuk golongan minuritas.

Arah politik hukum tentang Pemilihan Umum yang berlaku di Indonesia tidak boleh terlepas dari
Pancasila sebagai ideologi bangsa, Pancasila sebagai pandangan hidup dan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia, di sisi yang lain arah politik hukum tentang Pemilihan Umum
juga harus berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (disebut UUD 1945) sebagai hukum
dasar dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Antara Pancasila dan UUD 1945 menjadi patokan
baku bagi penentuan arah politik hukum negara dalam hal ini mengenai pemilihan umum. Pancasila lahir dan
dibentuk atas dasar nilai-nilai yang ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pancasila lahir sebagai
pengejawantahan karakter bangsa yang plural, majemuk, budaya yang berbeda-beda, dan lain sebagainya.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka didalamnya mengandung nilai-nilai filosofis yang
menaungi setiap peraturan perundang-undangan yang ada. Nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam
Pancasila terlihat melalui sila-sila yang termaktub dalam Pancasila. Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum berfungsi sebagai cita-cita atau ide. Sebagai cita-cita semestinya Pancasila selalu diusahakan
untuk dicapai oleh tiap-tiap manusia Indonesia sehingga cita-cita itu terwujud menjadi suatu kenyataan. Di
lihat dari kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi, yaitu sebagai cita-cita dan pandangan
hidup bangsa dan negara. Di lihat dari fungsinya Pancasila mempunyai fungsi utama sebagai dasar negara. Di
lihat dari segi materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan
kepribadian bangsa Indoensia. Pancasila dapat dikatakan bahwa Pancasila dibuat dari materi atau bahan
dalam negeri, bahan asli murni dan merupakan kebanggaan bagi suatu bangsa patriotik

Anda mungkin juga menyukai