Anda di halaman 1dari 31

Politik dalam islam

2.1. Sejarah Politik

Sejarah politik adalah analisis peristiwa-peristiwa politik, narasi (oral history), ide,
gerakan dan para pemimpin yang biasanya disusun berdasarkan negara bangsa dan walaupun
berbeda dengan ilmu bidang sejarah akan tetapi tetap berhubungan antara lain dengan bidang
sejarah lain seperti sejarah sosial, sejarah ekonomi, dan sejarah militer.

Secara umum, sejarah politik berfokus pada peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
negara-negara dan proses politik formal. Menurut Hegel, Sejarah Politik "adalah gagasan tentang
negara dengan kekuatan moral dan spiritual di luar kepentingan materi pelajaran: itu diikuti
bahwa negara merupakan agen utama dalam perubahan sejarah" Ini salah satu perbedaan dengan,
misalnya, sejarah sosial, yang berfokus terutama pada tindakan dan gaya hidup orang biasa, atau
manusia dalam sejarah yang merupakan karya sejarah dari sudut pandang orang biasa.

2.2. Pengertian Politik

Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara
kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang
berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan
politikus yang berarti kewarganegaraan. Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang
pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia
sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial
adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan
politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari
manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia
berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar
menerima pandangannya.

Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan


mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain.
Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik
sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek
kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut
segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau
alokasi (allocation). Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-
macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan
(decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut
seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah
dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan
umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi
(allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.

Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki


kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina
kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-
cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan
(coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan
(statement of intent) belaka.

Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun
banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan
negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek
kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial,
maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan
dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals).Politik
menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan
perseorangan (individu).

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik
yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara
konstitusional maupun nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(teori klasik Aristoteles)

politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara

politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan


kekuasaan di masyarakat

politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan
politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga
tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

2.3. Perilaku Politik

Perilaku politik (Politic Behaviour) adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau
kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik. Seorang
individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna
melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah:

Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin

Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol,
mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM)

Ikut serta dalam pesta politik

Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas

Berhak untuk menjadi pimpinan politik

Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan
perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan
hukum yang berlaku

2.4. Politik Islam

2.4.1. Pengertian Politik Islam

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminta, politik


diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara
pemerintah, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan
dan tindakan (kebijaksaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau
terhadap negara lain.

Selanjutnya sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana kekuasaan
tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan
melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung
jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.

Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili oleh kata al-siyasah dan daulah, walaupun
kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik seperti kadilan,
musyawarah, pada mulanya buka ditujukan untuk masalah politik.Kata siyasah dijumpai dalam
bidang kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam fiqih dikenal
adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah.Demikian pula kata daulah pada mulanya dalam Al-
qur’an digunakan untuk kasus penguasaan harta dikalangan orang-orang kaya, yaitu bahwa
dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan orang yang
kaya.Karena menurut sifatnya harta tersebut harus mengalir atau berputar, dan tidak hanya
dikuasai oleh orang-orang yang kaya (dulatan baina agniya), kata daulah tersebut juga
digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya.
Demikian juga kata keadilan banyak digunakan untuk memutuskan perkara dalam kehidupan;
dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus suami istri yang akan menyerahkan
anaknya untuk diasuh oleh perempuan lain yang dalam hal ini perlu dimusyawarahkan.

Namun dalam perkembangan selanjutnya sejarah menggunakan kata siyasah dan kata-
kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk pengertian
pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya yang terkait
dengannya.

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :

"Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika
seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan
ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim).

Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat.
Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara
menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh
kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka
mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang
mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran
bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT
melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah,
dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia
bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim).

Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab :
"Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.
Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa
ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh
mereka yang beraqidahkan sekulerisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat
Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh
para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman
mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat
memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa
memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu
propaganda kaum sekuleris bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang
yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam
politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang
demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga
sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran
yang digunakan untuk kebathilan. Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.

2.4.2. Sejarah Politik Islam

a) Politik Islam Masa Nabi

Islam adalah agama pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana ia diturunkan. Kota
Makkah dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima
sepenuhnya kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang mengakar untuk
mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat sosial Makkah dapat kita lihat
dari penindasan-penindasan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad
dan para pengikutnya.

Peristiwa tersebut menjadikan umat Islam merasa pesimis akan diterima oleh kabilah-kabilah
yang ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi Muhammad oleh kabilah Thaqif dari Ta’if yang
kemudian disusul dengan penolakan-penolakan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda,
Kalb, Banu ‘Amir dan Banu Hanifa.

Sejarah perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam tumbuh berkembang pesat di wilayah
Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh beberapa kabilah diantaranya, kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi.
Perkembangan Islam di Yatsrib dipengaruhi oleh adanya pertentangan perebutan kedaulatan
dan kekuasaan antara kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Selain itu, perkembangan Islam juga
didukung oleh adanya keyakinan pada tubuh kaum Yahudi dengan aliran monotheismenya yang
mencelah para penyembah berhala dan berkeyakinan bahwa akan datang suatu saat seorang
Nabi yang akan mendukung mereka (Yahudi) dengan memberantas para penyembah berhala.
Dari peristiwa-peristiwa lalu dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama islam juga mempunyai
kaitan yang erat dengan aspek politik.
Langkah politik Nabi Muhammad untuk mencari dukungan dari penduduk Yatsrib pertama kali
nampak pada peristiwa Ikrar Aqabah, peristiwa tersebut menandai akan adanya kebebasan
menyebarkan agama Islam sehingga secara otomatis akan berdampak pada kekuatan Islam.
Hal itu bisa kita lihat dari sikap kaum kafir Qurasy yang terus-menerus menyelidiki para
pengikut Ikrar Aqabah untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Peristiwa itu terjadi karena
kekhawatiran kaum Qurasy akan munculnya kekuatan baru pada tubuh umat Islam sehingga
akan mengganggu eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy.

Setelah peristiwa Ikrar Aqabah, Nabi Muhammad kembali memikirkan langkah politik
selanjutnya dengan mengizinkan para pengikutnya melakukan hijrah ke kota Yatsrib. Sementara
Nabi Muhammad masih memilih berdomisi di Kota Makkah mencari masa-masa tenang
sekaligus menunggu perintah dari Allah Swt.

Pakar berpendapat bahwa gerakan politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan
langkah yang cerdas dan penuh dengan perhitungan. Hal itu terbukti dengan adanya
keberhasilan Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam melakukan perintah hijrah.

Para peneliti sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak politik yang diterapkan
oleh nabi Muhammad adalah bercorak teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang
dalam setiap menyelesaikan persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian
menunggu ketetapan dari tuhan.

Kehidupan Yatsrib (kemudian terkenal dengan sebutan Madinah) pada masa Nabi Muhammad
menjadi batu pijakan utama dalam mencatat sejarah perpolitikan umat Islam. Para pakar
sejarah berpendapat bahwa politik Islam dalam konteks negara, pertama kali muncul dan
berkembang di Madinah.

Perpolitikan Islam di Madiah terbentuk secara prural dengan kolaborasi dari berbagai kalangan
dan aliran, antara umat Islam, kaum Yahudi, para penyembah berhala (kabilah Aus dan
Khazraj). Secara garis besar, suasana politik pada waktu itu dipengarui oleh dua imperium besar
yaitu Romawi dan Persia.

Langkah politik Nabi Muhammad pertama kali adalah menyatukan kaum muslimin muhajirin
dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan cukup cerdas, karena untuk membentuk kekuatan
komunitas, syarat utama yang harus dipenuhi adalah solidaritas antar penduduk. Kemudian
Nabi Muhammad membentuk sebuah nota kesepakatan antara penduduk Madinah secara
umum yang tercatat sebagai piagam Madinah.

Piagam ini merupakan dokumen politik yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama
kurun waktu seribu empat ratus dua puluh lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah yang telah
menetapkan adanya kebebasan beragama, menyatakan pendapat, berserikat, dan pelarangan
akan tindak kejahatan. Dengan piagam itu, kota Madinah menjadi tempat yang memiliki
peradapan tinggi karena benar-benar telah menghormati seluruh penduduk yang berdomosili
di dalamnya. Madinah yang semula dipenuhi dengan tindak kejahatan, kekerasan dan
peperangan menjadi kota yang menjunjung tinggi hak dan egaliter.

Menurut al-Sayyid Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi seorang pengajar di universitas Paris


mengatakan bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam Madinah adalah memuat
tentang prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Para sejarawan berselisih pendapat dalam menentukan ketokohan Nabi Muhammad dalam
menjalankan roda perpolitikan di kota Madinah. Hal itu disebbakan adanya perbedaan
pemahaman akan tugas seorang nabi. Apakah sikap politik yang diambil oleh Nabi Muhammad
sebagai aplikasi dari perintah yang berupa wahyu atau merupakan hasil dari ijtihat sebagai
seorang pemimpin atau hakim sebagai jawaban dari kebutuhan dan situasi masyarakat?

Perbedaan pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas kenabian dalam bidang politik


menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai. Apakah Islam memiliki sistem politik, apakah
Islam merupakan agama yang menjunjung demokrasi? Kalau kita mau jujur untuk kembali
membuka lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang
bersifat duniawi seperti; politik, ekonomi dan sebagainya, berawal dari problema masyarakat
masa Nabi, kemudian wahyu datang sebagai upaya penyelesaian akan kebutuhan masyarakat.
Berbeda dengan unsur akidah yang secara langsung turun dari langit tanpa melihat pada
kondisi masyarakat.

Terlebih, sepeninggal nabi Muhammad, umat Islam tidak memiliki sistem tatanan sosial politik
yang baku sehingga peristiwa perebutan kekuasaan untuk menggantikan posisi nabi
Muhammad sebagai pimpinan menyebabkan umat Islam terbelah menjadi berbagai golongan.
Demikian halnya dengan persoalan demokrasi, kalau kita menilik makna demokrasi sebagai
sebuah sistem yang mengedepankan asas musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama
yang paling demokrasi. Namun, jika kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang
berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama demokrasi karena
secara hukum syari’ah Islam berasal dari Tuhan untuk kemaslahatan manusia.

2.4.3. Prinsip-prinsip Dasar Politik Islam

Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu
pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin Anshari (1986:167) mengatakan,
“Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh
karena itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai
abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan
Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam
lingkungannya

Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir politik Islam era klasik, menurut Mumtaz
Ahmad dalam bukunya State, Politics, and Islam, menekankan tiga ciri penting sebuah negara
dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat Muslim (ummah), hukum Islam (syari’ah),
dan kepemimpinan masyarakat Muslim (khilafah).

Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada yang berupa prinsip-prinsip dasar yang
mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada prinsip-prinsip tambahan
yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih.

Prinsip-prinsip dasar politik adalah:

a. pertama, kedaulatan, yakni kekuasaan itu merupakan amanah. Kedaulatan yang mutlak
dan legal adalah milik Allah. Abu al-A’la al-Maududi menyebutnya dengan “asas pertama dalam
teori politik Islam.” Al-Maududi dalam bukunya It’s Meaning and Message (1976: 147-148)
menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan kedaulatan Allah adalah landasan dari
sistem sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan
satu-satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam.”

Kedaulatan ini terletak di dalam kehendak-Nya seperti yang dapat dipahami dari syari’ah.
Syari’ah sebagai sumber dan kedaulatan yang aktual dan konstitusi ideal, tidak boleh dilanggar.
Sedang masyarakat Muslim, yang diwakili oleh konsensus rakyat (ijma’ al-ummah), memiliki
kedaulatan dan hak untuk mengatur diri sendiri.

b. Kedua, syura dan ijma’. Mengambil keputusan di dalam semua urusan kemasyarakatan
dilakukan melalui konsensus dan konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan
pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan persetujuan rakyat melalui pemilihan secara adil,
jujur, dan amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah otoritas (sulthan) yang ditegakkan dengan
cara-cara non-syari’ah adalah tidak dapat ditolerir dan tidak dapat memaksa kepatuhan rakyat.

c. Ketiga, semua warga negara dijamin hak-hak pokok tertentu. Menurut Subhi Mahmassani
dalam bukunya Arkan Huquq al-Insan,beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi adalah:
jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri dan harta benda, kemerdekaan untuk
mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil
tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan
kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.
d. Keempat, hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun yang oposan atau yang
bertentangan pendapat dengan pemerintah sekalipun, mesti tunduk kepada otoritas negara yaitu
kepada hukum-hukum dan peraturan negara.

e. Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga negara yang non-Muslim
memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika itu adalah negara ideologis, maka
tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-
amr), mereka harus sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip
dan kerangka kerja konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap dalam Konstitusi Madinah
atau “Piagam Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang mengayomi
masyarakat yang plural.

f. Keenam, ikhtilaf dan konsensus yang menentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat


diselesaikan berdasarkan keputusan dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh
masyarakat. Prinsip mengambil keputusan menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk
mencapai tujuan bersama.

Selain prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya berdasar syari’ah, ada juga prinsip-
prinsip tambahan (subsider) yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam bidang fikih
siyasah (hukum ketatanegaraan dalam Islam). Prinsip-prinsip tambahan tersebut adalah
mengenai pembagian fungsi-fungsi pemerintahan yaitu hubungan antara Badan Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam hubungan ketiga badan (lembaga negara) tersebut prinsip-
prinsip berkonsultasi (syura) mesti dilaksanakan di dalam riset, perencanaan, menciptakan
undang-undang dan menjaga nilai-nilai syari’ah dengan memperhatikan otoritas (kewenangan)
yang dimiliki masing-masing lembaga tersebut.

2.4.4. Ciri-ciri Politik Islam

Dalam pelaksanaannya politik islam memiliki beberapa ciri-ciri yang sangat mengikat pada
politik islam itu, diantaranya :

1. Rabbaniyah

Rabbaniyah merupakan suatu system politik islam yang bersumber dari wahyu Allah Azza
wajala, yaitu Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih. Artinya dalam system rabbaniyah ini segala
peraturan yang dibuat tidak akan dapat diganggu gugat seperti halnya peraturan-peraturan yang
dibuat oleh manusia.

2. Syumul

Pengertian dari syumul itu adalah segala perkara yang menyangkut urusan duniawiyah ataupun
ukhrowiyah. Dimana dalam perkara ini memang meliputi semua sisi kehidupan manusia.
3. Muwafiqotul fithrah

Yaitu aturan yang sesuai dengan fitrah atau sifat dasar manusia. Maksudnya adalah bahwa politik
islam dalam hal ini sangat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban pemerintah dengan
rakyatnya.

4. Nizhomul Akhlak

Nizhomul akhlak yaitu dasar dalam politik islam yang selalu menekankan terhadap pembinaan
akhlak yang mulia, seperti halnya sikap adil dan bijaksana serta perbuatan terpuji, juga melarang
semua perbuatan yang tercela, sehingga politik politik islam itu tidak pernah melegalkan
perjudian, pelacuran, miras dan narkoba apapun alasannya. Karena memang semua itu sudah
dilarang oleh agama.

2.4.5 Peran Politik Islam

1. Peran Kepala Negara dalam Politik Islam

Untuk mengurusi tanggung jawab kepentingan masyarakat, maka secara syara’ tanggung jawab
itu diberikan kepada penguasa, dan penguasa disini bias dikatakan sebagai kepala Negara
(khalifah). Inilah yang dapat menjadikan peran kepala Negara dalam politik islam, yaitu :

a) Menjalankan hukum islam sebagai konstitusi Negara.

b) Bertanggung jawab terhadap politik dalam dan luar negeri.

c) Mengangkat dan memberhentikan ketua MA, Dirjen Departemen.

d) Berhak menerima dan menolak duta-duta asing.

2. Peran Masyarakat dalam Politik Islam

Tidak jauh berbeda dari peranan kepala Negara dalam politik islam, masyarakat juga mempunyai
peran dalam menjalankan kewajiban untuk taat kepada Amir (penguasa).

Islam di Indonesia

A. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia


Pada tahun 30 H/651M, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW,
Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam
yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan
Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya
tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera.
Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang
Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini
sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran.
Aceh adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam
pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat
persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan
Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi yang ketika
singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i.
Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik,
Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang
Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082
M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk
asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara
besar-besaran. Pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para
pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran
pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang
berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan
Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini
berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya
Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan
pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.
Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah
sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara
dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk
ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-


pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari
pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin
banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai
daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama
di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan
oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh
kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di
Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut
berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan
ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-
ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan
akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab
dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur
makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka
mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, sehingga semangat
Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam
memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut
Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah
menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda
Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini
gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu
membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini
dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang
lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan
Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan
ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin
Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan
pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab
Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi
pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup
Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-
ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak
diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang
sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil
ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang
gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam
di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa,
Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus
rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku
Umar).

B. Perkembangan Islam di Indonesia


1. Babak Pertama, Abad 7 Masehi (Abad 1 Hijriah)

Pada abad 7 M, islam sudah sampai ke Nusantara. Para da’i yang datang ke Indonesia berasal
dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga
yang beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni jalur sutera (jakur perdagangan)
dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.

Sampainya dakwah di Indonesia yakni melalui para pelaut dan pedagang yang membawa
dagangannya dan juga membawa akhlak islami dan sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang
islami.

Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas Muslim yang berada di


daerah-daerah pesisir yang terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

2. Babak Kedua, Abad 13 Masehi

Pada abad ini berdiri kerajaan-kerajaan Islam di berbagai penjuru Nusantara. Pada abad 13
Masehi ada fenomena yang disebut Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah
di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Wali Songo mengembangkan dakwah atau melakukan
proses Islamisasinya melalui berbagai cara dan saluran, antara lain:

a. Perdagangan

b. Pernikahan

c. Pendidikan (pesantren)

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya Indonesia, dan juga adopsi
dan adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam yang dapat
dimanfaatkan dalam penyebaran islam.

d. Seni dan Budaya

Wali Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan mewarnai wayang tersebut
dengan nilai-nilai Islam. Para wali juga mengubah lagu-lagu tradisional dalam langgam islami.
Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai-nilai Islam.

e. Tasawuf

Ajaran tasawuf pada dasarnya mirip dengan ajaran Hindu, yaitu praktek Islam yang
mengedepankan kehidupan yang sederhana dan banyak mendekatkan diri pada sang Khalik.
Dengan ini, Islam dengan mudah dapat diterima karena memiliki keserupaan dengan alam
pikiran penduduk pribumi yang sudah memiliki latar belakang agama nenek moyang mereka.
3. Babak Ketiga, Masa Penjajahan Belanda

Pada abad 17 Masehi tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda ke Indonesia
dengan kamar dagangnya VOC, semenjak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dijajah oleh
Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat
membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah
terpotong.

Pada masa itu, ketika penjajahan datang, pesantren-pesantren diubah menjadi markas-markas
perjuangan, santri-santri menjadi jundullah (pasukan Allah SWT) yang siap melawan penjajah
sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Ulama-ulama menggelorakan jihad melawan
Belanda.

4. Babak Keempat, Abad 20 Masehi

Awal abad 20 masehi, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi
yang sebenarnya hanya membawa manfaat bagi lapisan masyarakat yang dapat membantu
mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan
pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebsenarnya bertujuan untuk
mensosialkan ilmu-ilmu Barat yang jauh dari Al Quran dan Hadits dan akan dijadikannya
boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan untuk lapisan birokrasi yang tidak
mungkin dipegang lagi oleh orang-orang Belanda. Yang mendapat pendidikan tidak seluruh
masyarakat melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu pemimpin-pemimpin
pergerakan adalah dari golonhan bangsawan. Strategi perlawanan terhadap penjajah pada masa
ini lebih bersifat organisasi formal daripada dengan senjata.

5. Babak Kelima, Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, perkembangan islam dengan sendirinya mengalami pergeseran.


Dakwah Islam di Indonesia banyak dikembangkan oleh institusi-institusi seperti
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis, dan lain-lain. Hingga sekarang dakwah Islam lebih
banyak dimainkan oleh organisasi-organisasi Islam ini, terutama Muhammadiyah dan NU.

Pada masa ini juga berlangsung “pemurnian Islam” yang merupakan pengaruh dari
perkembangan pemurnian Islam di Timur Tengah. Jadi pengertian Islamisasi pada ranah ini
adalah usaha untuk “mengislamkan” orang Islam. Maksudnya membersihkan umat Islam dari
unsur-unsur keyakinan lama yang tidak ada kaitannya dan bahkan dianggap bertentangan dengan
ajaran Islam, berupa bid’ah, khufarat, dan tahayul.

Usaha Muhammadiyah untuk melakukan pemurnian agama sebagian mendapat tantangan dari
NU. Ini disebabkan karena beberapa praktek NU, seperti tahlilan, talqin. Dan mengazani orang
mati dianggap bid’ah (mengada-ada) oleh Muhammadiyah. Sampai sekarang perbedaan
pendapat masih ada. Namun, sekarang ini masing-masing pihak sudah dapat menerima satu
dengan yang lainnya.

Di era reformasi, kekuatan-kekuatan Islam yang baru bermunculan. Ini disebabkan karena
beberapa hal:

1. Adanya kebebasan mengemukakan pendapat pendapat di muka umum.

2. Jalur pendidikan Islam di luar negeri, baik di Timur Tengah maupun negeri-negeri Barat.

3. Krisis ekonomi yang berdampak pada krisis-krisis lain baik dibidang sosial, pendidikan,
maupun agama.

Perkembangan model-model pemahaman Islam tersebut dengan sendirinya menambah


keragaman Islam di Indonesia. Tampaknya Islam yang dapat diterima di Indonesia sudah pasti
adalah Islam yang dapat berdamai dengan Negara. Sejauh ini, Muhammadiyah dan NU tetap
konsisten pada semangat ini.

Pada babak ini proses dakwah di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi informasi
dengan gerakan-gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan
Islam lebih utuh meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah
maka proses dakwah di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural dan
membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awal masuknya Islam yg secara
manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra (kelompok
struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat.

Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-
kota yangg perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain Islam
di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan
terkuat. Walaupun demikian, Allah Subhanahu wa ta’ala mentakdirkan Indonesia menjadi negara
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

C. Karakteristik Islam di Indonesia

1. Majemuk / Plural

Kemajemukan merupakan ciri khas masyarakat Indonesia pada umumnya. Keragaman model-
model beragama dapat ditemukan di dalam Islam. Seorang antropolog Amerika Serikat bernama
Clifford Geertz pernah membagi perilaku keberagaman umat Islam Indonesia ke dalam tiga
kelompok, yaitu abangan, santri dan priyai.
Abangan merupakan turunan dari kata abang (Jawa: merah). Istilah abangan dipakai bagi
pemeluk Islam yang tidak begitu memperhatikan perintah-perintah agama Islam dan kurang teliti
dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agamanya.

Santri merupakan penganut islam yang taat. Istilah ini seringkali kita dengar untuk menyebut
orang-orang yang belajar di pesantren.

Priyai adalah kelompok ketiga penganut Islam, yang menurut Greetz adalah kelompok Islam
kelas elit. Biasanya adalah mereka yang disebut sebagai Muslim birokrat atau Muslim berdasi.

2. Toleran

Toleransi adalah salah satu semangat dari Islam. Semangat ini tumbuh seiring dengan
“perkawinan” antara budaya Islam dan budaya lokal. Sehingga corak singkretisme (campuran
faham) tidak isa dihindarkan.

Sifat toleransi Muslim Indonesia muncul karena bangsa Indonesia disatukan dalam rumpun
budaya. Muslim Indonesia sudah terbiasa dengan ragam budaya dan agama sejak mula
kedatangannya.

3. Moderat

Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat. Moderat dalam hal ini dimaksudkan untuk
menggambarkan kehidupan keagamaan yang berada di tengah-tengah, tidak ekstrim dan tidak
liberal. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, umat Islam adalah mayoritas di negeri ini,
iini berarti bahwa religiusitas bangsa Indonesia adalah cerminan religiusitas umat Islam itu
sendiri. Islam indonesia merupakanagama yang melindungi kehidupan agama dan kepercayaan
lain. Agama dan kepercayaan lain dapat hidup aman dan damai di tengah-tengah mayoritas umat
Islam. Hal ini tentu saja berbeda dengan keadaan umat Islam di beberapa negara yang hidup
mayoritas di tengah-tengah mayoritas agama lain.

4. Singkretik

Singkretisme juga bisa dikatakan merupakan akibat dari akulturasi Islam dan budaya lokal.
Makna singkretik di sini maksudnya adalah adanya campuran unsur Islam dan budaya lokal yang
tidak bertentangan dengan semangat fundamental Islam itu sendiri.

Singkretisme Islam dan budaya lokal inilah yang melahirkan Islam dalam bentuknya sekarang.
Sebagai contoh, tradisi menggunakan peci hitam sebenarnya adalah tradisi orang-orang Turki
yang kemudian menjadi pakaian orang Indonesia, terutama oleh orang-orang Islam. Demikian
pula dalam ritual-ritual Islam, unsur-unsur budaya lokal masih sangat jelas, termasuk pada
sebagian bangunan masjid. Jadi meskipun berasal dari Timur Tengah, tampilan Islam di
Indonesia tidak selalu bernuansa Arab.

D. Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat yang Adil dan Makmur
1. Di Bidang Politik dan Ekonomi

Sejak awal kedatangannya, sebenarnya umat Islam sudah mulai memainkan peran politik
mereka. Sultan atau raja adalah penguasa sekaligus pengembang Islam. Sultan atau Raja
mengadakaan konsultasi dengan para ulama dalam setiap kebijakan yang hendak dijalankan,
sebagaimana terlihat misalnya pada Raden Fatah, raja Kesultanan Demak yang selalu
menghargai petunjuk Wali Songo.

Pada sisi lain dapat dilihat bahwa semenjak abad ke-16 sampai abad ke-20 umat Islam di bawah
para pemimpinnya menghadapi berbagai corak tantangan kekuasaan Barat dan mengadakan
perlawanan bagi setiap fase penjajahan, misalnya pada:

a. Fase persaingan dagang

b. Fase penetrasi

c. Fase perluasan daerah jajahan

d. Fase penindasan

Ajaran Islam untuk cinta tanah air mendorong segenap penduduk Nusantara untuk memberontak
melawan penjajah. Maka lahirlah pemimpin-pemimpin Islam yang demikian besar yang
menentukan arah pergerakan di Indonesia..

Sejak itu peran umat Islam dalam dunia politik semakin jelas. Dalam Panitia Persiapaan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) para ulama dan pemimpin Islam berperan aktif dalam menyusun
dasar kehidupan negara, dan ikut serta merumuskan UUD 1945.

Setelah Indonesia merdeka, peran unat Islam tetap besar di bawah Soekarno. Meskipun ia
berhaluan nasionalis-sosialis, tetapi pandangan-pandangan agamnya menjadi ilham bagi
pembangunan bangsa. Hingga masa reformasi umat Islam tetap menunjukkan sikap politik yang
luar biasa. Setelah berhasil menjalankan pemilu 1999, 2004, dan 2009, dunia Internasional
semakin kagum bahwa masyarakat Islam di Indonesia adalah yang paling berhasil menjalankan
demokrasi.

2. Di Bidang Agama dan Sosial

Agama dan sosial adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Ini disebabkan karena sejak
kedatangannya di Nusantara, Islam telah berpadu dengan masyarakat yang kemudian
membentuk sebuah masyarakat Muslim Indonesia.
Sebagai bangsa yang religius dan berketuhanan Yang Maha Esa, pemerintah memiliki perhatian
besar tehadap agama, terutama agama Islam yang penganutnya adalah mayoritas. Perhatian
tersebut diwujudkan dalam pembinaan kehidupan beragama, antara lain:

a. Mendirikan Departemen Agama pada tanggal 3 januari 1945.

b. Menetapkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

c. Menyelenggarakan pengurusan ibadah haji dari tanah air.

d. Membentuk MUI pada tahun 1975 dengan struktur organisasi yang menyebar sampai ke
tingkat desa.

e. Melembagakan MTQ secara nasional dari tingkat pusat sampai tingkat desa, mendirikan dan
meresmikan mesjid Istiqlal sebagai masjid yang sepenuhnya dibiayai pemerintah, membentuk
Badan Amil Zakat dan sebagainya.

3. Di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan

Di bidang pendidikan dan kebudayaan, peran Islam sangatlah besar. Sejak Islamisasi negeri ini
telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan, khususnya pesantren dan surau yang telah menjadi
benteng Islam yang demikian kuat dan berpengaruh. Pemerintah telah mendirikan madrasah dari
tingkat dasar, menengah hingga tingkat atas.

Lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia telah berdiri sejak 1940. Kemudian berdiri pula
lembaga pendidikan tinggi Islam yang dikelola negara dan swasta di seluruh Indonesia, seperti
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTIAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN),
Universitas Islam Negeri (UIN), Universitas Islam Indonesia (UII), dll.

Dalam bidang kebudayaan di Indonesia, Islam mempunyai peranan penting, antara lain di
bidang:

a. Arsitektur, khususnya pada bangunan mesjid.

b. Hidup rohani, paham sufismi atau mistik yang tumbuh pada hidup rohani orang Indonesia
sejak awlnya masuknya Islam di Indonesia, seperti Kadiriah, Khalwatiah, Naksyabandiah, dan
sebagainya.

c. Hari-hari besar Islam.

d. Seni kaligrafi

e. Bahasa Indonesia, yang menyerap sebagian bahasa Al Quran (Arab) ke dalam bahasa
Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia sehingga bahasa Arab itu terabadikan dalam bahasa
Indonesia, seperti pada kata rakyat (ra’iyyah). Musyawarah, shalat, zakat, dan sebagainya.
E. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara

Akhir-akhir ini muncul kekhawatiran di tengah-tengah umat Islam khusunya dan bangsa
Indonesia pada umumnya, mualii pudarnya nilai-nila Pancasila di tengah-tengah anak bangsa ini,
hal ini dapat dilihat dalam beberapa gambaran, seperti munculnya radikalisme di tengah-tengah
masyarakat.

Di era reformasi yang ditandai dengan kebebasan di segala bidang, kebebasan tersebut juga turut
dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif dan radikal. Ironisnya, perjuangan besar
itu bermuara pada obsesi mengganti pancasila sebagai dasar negara Indonesia, meski melalui
banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi tersebut. Varian
tersebut antara lain pendirian khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat
Islam dan sebagainya. Apalagi tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa
meluasnya krisis multidimensi, baik sosial, politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga kondisi
tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal
membawa negara ini ke arah yang lebih baik.

Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai
sebagai negara Islam dan golongan nasionalis, yang menginginkan pemisahan urusan negara dan
urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Golongan
nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat kenyataan bahwa
non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Golongan ini
juga menegaskan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam akan tidak adil
memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga kelad dua.

Bagi tokoh golongan nasionalis seperti Soekarno, ia berpendirian bahwa Islam tidak relevan
sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini
adalah spirit kebangsaan. Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian sempit sehingga mengarah
kepada chauvinisme, melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme.

Pada tanggal 17 agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia menyambut penuh antusias Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Namun, “duri dalam daging” dalam UUD 1945 dengan Piagam Jakarta
sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota BPUPKI. Duri dalam daging yang
dimaksud adalah tambahan 7 kata dalam sila 1. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika ada
pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Kristen asal Sulawesi
Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius telah memprotes kalimat
tambahan 7 kata sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakarta. Sehingga setelah melakukan konsultasi,
sebuah kalimat ditambahkan dalam sila 1 dari kata Ketuhanan, menjadi kalimat Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Saat ini, kekuatan-kekuatan politik dan sosial kemasyarakatan umat Islam Indonesia sampai pada
kesimpulan menerima Pancasila dan pilar bangsa yang lain sebagai penerimaan yang final. Sikap
umat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat di
pertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Umat Islam Indonesia sebagai
penduduk mayoritas, secara langsung maupun tidak langsung menjadi gambaran dari Indonesia.

Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa proses untuk memutuskan Pancasila sebagai dasar
negara bukan main sulit perjuangannya. Hal itu juga menunjukkan betapa para founding fathers
kita telah berkorban dan secara bijaksana mencari titik temu tentang ideologi yang disepakati
bersama. Pancasila tidak hanya menonjolkan spirit demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)
yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik peran negara untuk mengaturnya,
tetapi juga meletakkan bingkai ketuhanan Yang Maha Esa.

Dan tentu saja nilai-nilai dasar Pancasila yang seperti di atas tidak bertentangan dan dibenarkan
di dalam ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Islam di Indonesia pada umumnya berada di
jalan tengah, tidak mendukung radikalisme dan tidak pula setuju dengan liberalisme. Islam inilah
yang sering di gambarkan sebagai Islam moderat. Islam yang insyaallah menjadi harapan dan
cita-cita semua bangsa Indonesia.

Kebudayaan Islam

A. Konsep Kebudayaan dalam Islam

Dari segi etimologis, kata kebudayaan adalah kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa Sansekerta buddhi yang berarti intelek (pengertian). Kata buddhi berubah menjadi budaya
yang berarti “yang diketahui atau akal pikiran”. Budaya berarti pula pikiran, akal budi,
kebudayaan, yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, beradab, maju
(Poerwadarminta,1982:157).

Dari pengertian budaya di atas, dapat diutarakan dengan bahasa lain bahwa kebudayaan
merupakan gambaran dari taraf berpikir manusia. Tinggi-rendahnya taraf berpikir manusia akan
terlihat pada hasil budayanya. Kebudayaan merupakan cetusan isi hati suatu bangsa, golongan,
atau individu. Tinggi-rendahnya, kasar-halusnya pribadi manusia, golongan, atau ras, akan
terlihat pada kebudayaan yang dimiliki sebagai hasil ciptaannya. Maka dapat juga dikatakan
bahwa kebudayaan merupakan orientasi dan pola pikir manusia, golongan, atau bangsa.
Kebudayaan merupakan suatu konsep yang sangat luas ruang lingkupnya. Hal ini tidak terlepas
dari latar belakang timbulnya suatu kebudayaan itu sendiri. Dawson (1993:57) memberikan
empat faktor yang menjadi alasan pokok yang menentukan corak suatu kebudayaan, yaitu faktor
geografis, keturunan atau bangsa, kejiwaan, dan ekonomi.
Dalam Islam , memang tidak ada suatu rumusan yang kongkret mengenai suatu kebudayaan.
Berkaitan dengan masalah kebudayaan. Islam memberi kerangka asas atau prinsip yang bersifat
hakiki atau esensial. Dengan kata lain, Islam hanya memberikan konsep dasar yang dalam
perwujudannya tergantung pada pemahaman pendukungnya.Dalam keadaan atau waktu yang
berbeda, esensinya diwujudkan oleh aksidensi yang sangat ditentukan oleh aspek ekonomi,
politik, sosial budaya, teknik, seni, dan mungkin juga oleh filsafat.

Ciri-ciri yang membedakan antara kebudayaan Islam dengan budaya lain, diungkapkan oleh
Siba’i bahwa ciri-ciri kebudayaan Islam adalah yang ditegakkan atas dasar aqidah dan tauhid,
berdimensi kemanusiaan murni, diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia, dijiwai oleh semangat
ilmu (Zainal, 1993:60).

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudyaan Islam dapat dipahami sebagai
hasil olah akal, budi, cipta, karya, karsa, dan rasa manusia yang bernafaskan wahyu ilahi dan
sunnah Rasul. Yakni suatu kebudayaan akhlak karimah yang muncul sebagai implementasi Al-
Qur’an dan Al-Hadist dimana keduanya merupakan sumber ajaran agama Islam, sumber norma
dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dengan demikian kebudayaan Islam dapat
dipilah menjadi tiga unsur prinsipil, yaitu kebudayaan Islam sebagai hasil cipta karya orang
Islam, kebudayaan tersebut didasarkan pada ajaran Islam, dan merupakan pencerminan dari
ajaran Islam.

Ketiga unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisah satu dengan yang
lainnya. Dengan demikian, sebagus apapun kebudayaannya, jika itu bukan merupakan produk
kaum Mslimin tidak bisa dikatakan dan diklaim sebagai budaya Islam. Demikian pula
sebaliknya, meskipun budaya tersebut merupakan produk orang-orang Islam, tetapi substansinya
sama sekali tidak mencerminkan norma-norma ajaran Islam. Dengan kata lain, Al-Faruqi (2001)
menegaskan bahwa sesungguhnya kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan Al-Qur’an“, karena
semuanya berasal dari rangkaian wahyu Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW pada abad
ketujuh. Tanpa wahyu kebudayaan Islami Islam, filsafat Islam, hukum Islam, masyarakat Islam
maupun organisasi politik atau ekonomi Islam.

B. Prinsip-Prinsip Kebudayaan dalam Islam

Islam, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik
dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah
dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar
umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa
madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing
kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan
serta mempertinggi derajat kemanusiaan.

Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia,
pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat
menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke
arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri,
serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.

Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :

Ø Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. seperti ; kadar besar kecilnya
mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya,
menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas.

Ø Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, Contoh yang paling
jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan
dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah
dengan telanjang.

Ø Ketiga : Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ ngaben “ yang
dilakukan oleh masyarakat Bali.

C. Sejarah Intelektual dalam Islam

Ada banyak faktor penyebab proses pertumbuhan peradaban Islam. Namun secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua faktor penyebab tumbuh berkembangnya peradaban Islam, hingga
mencapai lingkup mondial, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor pertama (internal) berasal dari dalam norma-norma atau ajaran Islam sendiri.

Faktor kedua(eksternal) pada hakikanya merupakan implikasi dari faktor pertama. Motivasi
internal yang begitu kuat telah mengkristal dalam kehidupan umat Islam sejalan dengan
perkembangan sejarah, dan nilai-nilai atau norma-norma ajaran Islam menjiwai dalam setiap
kehidupannya.

Tonggak-tonggak sejarah peradaban Islam, tak pernah lepas dari sejarah intelektual Islam. Untuk
memahami dengan baik perkembangan tersebut, idealnya diperlukan pemahaman yang memadai
tentang periodisasi sejarah perkembangan Islam. Dengan menggunakan teori yang
dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual
Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu: masa klasik antara 650-1250 M, masa
pertengahan antara tahun 1250-1800 M, dan masa modern antara tahun 1800 sampai sekarang.

Pada masa klasik, lahir ulama’ mahzab, seperti: Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i ,
dan Imam Maliki. Sejalan dengan itu lahir pula filosof muslim pertama,Al-Kindi 801 M.
Diantara pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum Muslimin menerima filsafat sebagai bagian
dari kebudayaan Islam. Selain, Al-Kindi, pada abad itu lahir pula filosof besar seperti: Al-Razi
(865 M) dan Al-Farabi (870 M). keduanya dikenal sebagai pembangun agung sistem filsafat.
Pada abad berikutnya, lahir filosof agung Ibn Miskawaih 930 M. Pemikirannya yang terkenal
tentang pendidikan akhlak. Kemudian Ibn Sina tahun 1037 M, Ibn Bajjah tahun 1138 M, Ibn
Tufail tahun 1147 M,dan Ibn Rusyd tahun 1126 M.

Masa pertengahan dalam catatan sejarah pemikiran Islam masa kini, merupakan fase
kemunduran karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam sehingga ada kecenderungan akal
dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih
ada sampai sekarang. Sebagai pemikir muslim kontemporer sering melontarkan tuduhan pada
Al-Ghazali sebagai orang pertama yang menjauhkan filsafat dari agama. Sebagaimana tertuang
dalam tulisannya “Tahafut al-Falasifah” (Kerancuan Filsafat). Tulisan Al-Ghazali dijawab oleh
Ibn Rusyd dengan tulisan Tahafut al-Tahafut (Kerancuan di atas kerancuan).

D. Budaya yang Boleh dan Tidak Boleh dalam Islam

Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik bila dibandingkan
dengan ajaran Islam di berbagai negara Muslim lainnya. Menurut banyak studi, Islam di
Indonesia adalah Islam yang akomodaatif dan cenderung elastis dalam berkompromi dengan
situasi dan kondisi yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang sedang
terjadi pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas, terutama
dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah terjadi dialog dan
dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas
Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” dimaknai sebagai
Islam yang berbau kebudayaan Indonesia. Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang
menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara”
atau “Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan
plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.

Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh dan
berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu yang sama sangat berpengaruh di bumi
Indonesia yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme, serta agama besar seperti Hindu
dan Budha. Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang
khas Indonesia, wajah Islam yang berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan
kebudayaan masyarakat Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.

Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan dialektika antara Islam
dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam
kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak
simple, walaupun sumber utamanya tetap pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Islam Indonesia
bergelut dengan kenyataan negara-negara, modernitas, globalisasi, kebudayaan likal, dan semua
wacana kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.

Tulisan ini ditulis dalam konteks sebagaimana tersebut diatas dalam memandang event
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam realitanya memang terdapat berbagai tradisi
umat Islam dibanyak Negara Muslim seperti Indonesia, Malasyia, Brunai, Mesir, Yaman,
Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya yang menimbulkan “kontroversi” dari perspektif hukum
tentang boleh atau tidaknya atau halal atau haramnya untuk mengamalkannya. Di Antara tradisi
yang menimbulkan kontroversi itu Antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Muharram, dan
lain-lain.

Oleh karena kontroversi-kontroversi yang menyelimuti peringatan-peringatan tersebut, maka


tulisan ini berupaya menjelaskan posisi peringatan Maulid Nabi Saw, perspektif hukum Islam,
akan tetapi tidak bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang memungkinkan kita
untuk bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak yang berbeda pahamnya.

Dari riwayat Rasulullah Saw, Islam membiarkan beberapa adat kebiasaan manusia yang tidak
bertentangan dengan syariat dan adab-adab Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu,
Rasulullah Saw tidak menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat Arab (pada masa itu) yang
ada sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah Saw melarang budaya-budaya yang
mengandung unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang, dan budaya-
budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.

E. Masjid sebagai Pusat Peradaban dalam Islam

Dalam sejarah perkembangan Islam, Masjid memiliki fungsi yang sangat vital dan dominan bagi
kaum Muslimin, di antaranya:

1. Mesjid pada umumnya dipahami masyarakat sebagai tempat ibadah khusus, seperti sholat.

2. Sebagai “prasasti” atas berdirinya masyarakat Muslim. Jika dewasa ini bendera sebagai
simbol sebuah Negara yang telah merdeka, maka kaum Muslimin pada tempo dulu jika berhasil
“menaklukkan” sebuah Negara, mereka menandainya dengan membangun sebuah masjid sebagai
pertanda bahwa wilayah tersebut menjadi bagian dari “Negara Islam” (Shini,T.T:158)

3. Masjid merupakan sumber komunikasi dan informasi antar warga masyarakat Islam.

4. Di zaman Nabi SAW masjid sebagai pusat peradaban

5. Sebagai simbol persatuan umat Islam.

6. Sebagai pusat gerakan.


7. Di Masjid kaum tua-muda Muslim mengabdikan hidup untuk belajar ilmu-ilmu Islam,
mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadist , kritisme, tafsir, cabang-cabang syariat, sejarah,
astronomi, geografi, tata bahasa, dan sastra arab.

F. Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia

Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam berasal dari jazirah Arab,
maka Islam masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya.

Kedatangan Islam dengan segala komponen budayanya di Indonesia secara damai telah menarik
simpati sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik yang
tengah terjadi saat itu.

Dalam pandangan Nurcholis Majid (1988:70) bahwa daya tarik Islam yang pertama dan utama
adalah besifat psikologis, Islam yang secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat
keilmuan merupakan konsep revolusioner yang sangat memikat dalam membebaskan orang-
orang lemah (mustadh’afin) dari belenggu hidupnya.

Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran Islam melalui
bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh Wali Songo di tanah Jawa. Karena kehebatan para
wali Allah SWT itu dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat sehingga
masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan
sehari-hari mereka.

Iptek dan seni dalam islam

2.1 Pengertian IPTEK dan Seni

2.11 IPTEK

Definisi IPTEK sebagai singkatan dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah sesuatu yang
sangat berkaitan dengan teknologi. Dalam sudut pandang filsafat ilmu, ilmu dengan pengetahuan
sangat berbeda maknanya. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasikan, disistemasi dan
di interpretasikan sehingga menghasilkan kebenaran obyektif serta sudah diuji kebenarannya
secara ilmiah, sedangkan Pengetahuan adalah apa saja yang diketahui oleh manusia baik melalui
panca indra, instuisi, pengalaman maupun firasat. Jadi Ilmu pengetahuan adalah himpunan
pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar serta
diterima oleh akal. (Saifulloh,2009).

Teknologi adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang
menolong manusia menyelesaikan masalahnya. Teknologi dibuat atas dasar ilmu pengetahuan
dengan tujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia. Kata teknologi sering menggambarkan
penemuan dan alat yang menggunakan prinsip dan proses penemuan saintifik yang baru
ditemukan.

Dalam dunia ekonomi, teknologi dilihat dari status pengetahuan kita yang sekarang dalam
bagaimana menggabungkan sumber daya untuk memproduksi produk yang diinginkan( dan
pengetahuan kita tentang apa yang bisa diproduksi). Oleh karena itu, kita dapat melihat
perubahan teknologi pada saat pengetahuan teknik kita meningkat.

Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil
penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki
karakteristik obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena
memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah letak perbedaan ilmu
pengetahuan dengan teknologi. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan
kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa
ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat
kehancuran alam semesta.

Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh
dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akal budinya berdasarkan
tuntunan Al-Qur’an dan sunnah rasul. Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran Islam ada yang
bersifat abadi (perennial knowledge) tingkat kebenarannya bersifat mutlak, karena bersumber
dari Allah. Ada pula ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge) tingkat kebenarannya
bersifat nisbi, karena bersumber dari akal pikiran manusia.

Islam, agama yang sesuai dengan fitrah semula jadi manusia,maka syariatnya bukan saja
mendorong manusia untuk mempelajari sains dan teknologi, kemudian membangun dan
membina peradaban, bahkan mengatur umatnya ke arah itu agar selamat dan menyelamatkan
baik di dunia terlebih lagi di akhirat kelak.

Ilmu sangat penting dalam kehidupan. Rasulullah pernah bersabda bahwa untuk hidup bahagia di
dunia ini manusia memerlukan ilmu dan untuk hidup bahagia di akhirat pun manusia
memerlukan ilmu. Untuk bahagia di dunia dan di akhirat, manusia juga memerlukan ilmu. Jadi
kita harus menuntut ilmu, baik ilmu untuk keselamatan dunia, terlebih lagi ilmu yang membawa
kebahagiaan di akhirat. Atas dasar itulah Islam mewajibkan menuntui Ilmu.

Pesatnya perkembangan Sains dan Teknologi semakin terasa dari hari ke hari. Banyak hasil dari
perkembangan Sains dan Teknologi yang tadinya diluar angan-angan manusia sudah menjadi
keperluan harian manusia. Contohnya : penyampaian informasi yang dahulu memerlukan waktu
hingga berbulan-bulan, kini dengan adanya telepon, handphone, internet dapat sampai ke tujuan
hanya dalam beberapa detik saja, bahkan pada masa yang (hampir) bersamaan. Melalui TV,
satelit dan alat komunikasi canggih lainnya, kejadian di satu tempat di permukaan bumi atau di
angkasa dekat permukaan bumi dapat diketahui oleh umat manusia di seluruh dunia dalam masa
yang bersamaan. Selain dalam bidang komunikasi, perkembangan dalam bidang lain pun seperti
material, alat-alat transportasi, alat-alat rumah tangga, bioteknologi, kedokteran dan lain-lain
begitu maju dengan pesat. Kita mengakui bahwa sains dan teknologi memang telah mengambil
peranan penting dalam pembangunan peradaban material atau lahiriah manusia.

2.12 Seni

Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan
ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya
manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran.
Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian. Seni yang lepas dari nilai-nilai keTuhanan
tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai
daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah.

Seni adalah sebuah keindahan yang dapat mengungkap rasa sampai jauh kedalam jiwa
seseorang. Jadi, apabila pernah merasakan sebuah getaran keindahan yang begitu dalam dan
membuat kita tidak dapat lagi melupakannya maka artinya kita sudah dapat menangkap arti kata
seni dalam arti yang sebenarnya. Kata “seni” adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan
mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda. Konon kata seni berasal dari
kata “SANI” yang kurang lebih artinya “Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Namun menurut
kajian ilmu di Eropa mengatakan “ART” (artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/
atau karya dari sebuah kegiatan. Pandangan Islam tentang seni.Seni merupakan ekspresi
keindahan. Dan keindahan menjadi salah satu sifat yang dilekatkan Allah pada penciptaan jagat
raya ini. Allah melalui kalamnya di Al-Qur’an mengajak manusia memandang seluruh jagat raya
dengan segala keserasian dan keindahannya.

2.1 Integrasi Iman, Ilmu, Teknologi, dan Seni

Dalam pandangan Islam ,antara agama,Ilmu pengetahuan ,teknologi dan seni terdapat hubungan
yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi dalam suatu sistem yg disebut dinul Islam.

Di dalamnya terkandung tiga unsur pokok yaitu akidah, syariah, dan akhlak(iman ,ilmu, dan
amal shalih). Sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim (14:24-25)

Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan Allah telah membuat perumpamaan kalimat yg baik(Dinul
Islam) seperti sebatang pohon yg baik,akarnya kokoh(menghujam ke bumi)dan cabangnya
menjulang ke langit.pohon itu mengeluarkan buahnya setiap musim dg seizin Tuhannya.Allah
membuat perumpamaan –perumpamaan itu agar manusia selalu ingat.
Ayat di atas menganalogikan bangunan Dienul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik, iman
diidentikkan dengan akar dari sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu
diidentikkan dengan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan/ cabang-cabang ilmu
pengetahuan. Sedangkan amal ibarat buah dari pohon itu identik dengan teknologi dan seni.

Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah akan
memberikan jaminan kebaikan bagi kehidupan umat manusia termasuk bagi lingkungannya.
Pengembangan IPTEK yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta
tidak akan menghasilkan manfaat bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan
menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri. (M. Saifulloh, 2009).

2.3 Keutamaan Orang yang Berilmu

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan karena dibekali
dengan seperangkat potensi, dan potensi yang paling utama adalah akal, dengan akal manusia
mampu melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Bagi orang yang
berakal dan senantiasa bernalar untuk mengembangkan ilmunya, Allah menyebutnya dengan
sebutan Ulil Albab (Qs. Ali imron:190)

Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan

siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

Tentang keutamaan orang yang berilmu, di dalam Al-Qur’an surat Al Mujadalah:11, Allah
menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Derajat yang
diberikan Allah berupa kemuliaan pangkat, kedudukan, jabatan, harta dan kelapangan hidup. Jika
manusia ingin mendapatkan derajat yang tinggi dari Allah, manusia harus berupaya semaksimal
mungkin meningkatkan kualitas keimanan dan keilmuannya dengan keikhlasan dan hanya untuk
mencari ridha Allah semata.

Dan kelebihan mereka yang beriman lagi berilmu dibandingkan orang yang beriman tapi tidak
berilmu sangat nampak dalam hadits Abu Ad-Darda` di atas yaitu:

1. Dia akan dinaungi oleh para malaikat dengan sayap-sayap mereka.

2. Segala sesuatu akan memintaampunkan dosanya kepada Allah mulai makhluk yang berada
di bawah lautan sampai makhluk yang ada di atas langit (para malaikat).
3. Dia diibaratkan sebagai bulan yang menerangi alam semesta, sementara orang yang hanya
beriman tapi tidak berilmu hanya diibaratkan sebagai bintang yang hanya menerangi dirinya
sendiri.

4. Mereka adalah pewaris para nabi, dan cukuplah ini menunjukkan keutamaan mereka.

5. Dia bisa mengajarkan ilmunya kepada orang lain, yang dengannya pahala akan terus
mengalir kepadanya -sampai walaupun dia telah meninggal- selama ilmu yang diajarkan masih
diamalkan oleh orang-orang setelahnya.

Dan kelima perkara ini tidak akan didapatkan oleh orang yang hanya beriman tapi tidak berilmu
(ahli ibadah). Karenanya sangat wajar sekali kalau Allah tidak menyamakan kedudukan orang
yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu karena mereka adalah mujahid yang memperbaiki
dirinya, memperbaiki orang lain, dan melindungi agama Allah dari setiap perkara yang bisa
merusaknya, berbeda halnya dengan ahli ibadah yang kebaikannya hanya terbatas pada dirinya.

Bahkan dalam ayat lain Allah memberikan penghargaan secara khusus kepada orang-orang
berilmu dalam firmanNya surat Az Zumar: 9

Artinya : "Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui? Sesungguhnya orang berakallah yang dapat menerima pelajaran"

Imam Az Zamakhsyari mengutip sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan orang-orang


berilmu dari orang-orang yang tidak berilmu.

"Jarak antara seorang alim (orang yang berilmu) dan seorang abid (tukang ibadah yang tidak
berilmu) adalah seratus derajat/tingkat. Jarak diantara dua tingkat itu adalah perjalanan kuda
selama 70 tahun" (HR Abu Ya'la dan Ibnu Adi).

"Keutamaan seorang alim atas seorang abid bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh
bintang-bintang" (HR Ashabu as-Sunan)

"Pada hari kiamat nanti ada tiga golongan yang akan memberi syafa'at, para nabi, lalu para
ulama, lalu para syuhada" (HR Ibnu Majah, Abu Ya'la, Ibnu Adi, al Aqili dan al Baihaqi).

Kata Az Zamakhsyari, agungnya martabat orang-orang berilmu berdasarkan kesaksian


Rasulullah adalah berada diantara para nabi dan para syuhada. Kini jelaslah bahwa ilmu menjadi
sebab naiknya derajat seseorang, bukan nilai rapor, gelar-gelar akademis, ijazah atau sertifikat.

Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam tidak terlepas satu sama lain. Keduanya saling
membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat.
Maka dari itu, kita harus menguasai IPTEK, dan memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk
meningkatkan martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT.
Kebenaran IPTEK menurut Islam adalah sebanding dengan kemanfaatannya IPTEK itu sendiri.
IPTEK akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan
menjauhkannya, (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik), (3)
dapat memberikan pedoman bagi sesama, (4) dapat menyelesaikan persoalan umat.

2.4 Tanggungjawab Ilmuwan Terhadap Lingkungan

Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai ‘abdun’ (hamba Allah) dan sebagai
khalifah Allah dibumi. Esensi “abdun’ adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada
kebenaran dan keadilan Allah sedangkan esensi khalifah adalah tanggungjawab terhadap diri
sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Keengganan
manusia menghambakan diri kepada Allah swt sebagai pencipta akan menghilangkan rasa
syukur atas anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta berupa potensi yang sempurna yang
tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu potensi akal dan keikhlasan manusia
menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah kehambaan kepada sesama manusia
termasuk kepada dirinya.

Allah berfirman dalam surat QS. Asy-Syams ayat 8

Artinya : “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”

Dengan kedua kecenderungan tersebut Allah memberikan petunjuk berupa agama sebagai alat
bagi manusia untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan ketaqwaan bukan pada
kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah, serta berfungsi sebagai khalifah/wakil Allah
dimuka bumi agar manusia mampu mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan
alam dan lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga manusia diberi kebebasan untuk
mengeksplorasi, menggali sumber daya alam serta dapat memanfaatkannya dengan sebaik-
baiknya, akan tetapi manusia juga harus dapat menyadari terlebih dahulu bahwa potensi sumber
daya alam akan habis terkuras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, manusia
mendapat amanah dari Allah untuk memelihara alam, agar terjaga kelestariannya dan
keseimbangannya untuk kepentingan umat manusia.

Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memadai. Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah tangan
manusia sendiri (QS. Ar rum:41). Mereka banyak menghianati perjanjian kepada Allah. Mereka
tidak menjaga amanat sebagai khalifah yang bertugas unuk menjaga dan melestarikan alam ini.
Dengan memiliki ilmu pengetahuan kita pasti bisa tidak akan mengeksploitasi alam ini secara
berlebihan paling hanya kebutuhan primernya bukan untuk memenuhi kepuasan hawa nafsu saja.
Untuk itu dalam melaksanakan tanggung jawabnya, manusia diberikan keistimewaan berupa
kebebasan untuk memilih dan berkreasi sekaligus untuk menghadapkannya dengan tuntutan
kodratnya sebagai makhluk psikofisik. Namun ia akan sadar akan keterbatasannya yang menurut
ketaatan dan ketundukan terhadap aturan Allah swt baik dalam konteks ketaatan terhadap
perintah beribadah secara langsung maupun dalam kontes ketaatan terhadap sunnatullah “hukum
alam” perpaduan antara ibadah dan khalifah akan mewujudkan manusia yang ideal yakni
manusia yang selamat di dunia dan di akhirat.

Anda mungkin juga menyukai