Anda di halaman 1dari 38

Case Report Session

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A219001/Oktober 2020


** Pembimbing : dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.DV

Dermatitis Kontak Alergi

Oleh:
Yesti Paramita, S.Ked*
G1A219001

Pembimbing:

dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.DV

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H ABDUL MANAP
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

Dermatitis Kontak Alergi

Oleh:
Yesti Paramita, S.Ked
G1A219001

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H ABDUL MANAP
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
Jambi, Oktober 2020
Pembimbing

dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.DV

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab
karena rahmatnya, tugas baca jurnal atau case report session (CRS) yang
berjudul“Dermatitis Kontak Alergi” ini dapat terselesaikan. Tugas ini dibuat agar
penulis dan teman – teman sesama koass periode ini dapat memahami tentang
etiologi, patogenesis, gejala klinis, dan pengobatan dari kasus ini. Selain itu juga
sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
penyakit Kulit dan Kelamin RSUD H Abdul Manap Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV),
Sp.DV selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya
pembimbing dalam tugas case report session ini. Penulis menyadari bahwa laporan
ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih
baik kedepannya. Akhir kata, semoga tugas baca jurnal ini bermanfaat bagi kita
semua dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, Oktober 2020

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Kulit adalah organ kompleks yang melindungi host dari lingkungannya dan pada
waktu yang bersamaan memungkinkan interaksi dengan lingkungan. Luas kulit orang dewasa
kira-kira 1,5 m2 dengan berat kurang lebih 15% berat badan. Keadaan tersebut menjadikan
kulit menjadi organ yang esensial dan vital. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif,
bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh. 1,2
Fungsi utama kulit adalah proteksi, absorbsi, eksresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh
(termoregulasi), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D dan keratinisasi. Kulit yang
berbatasan langsung dengan lingkungan juga berisiko terkena paparan dan gangguan bahan
kimia serta agen fisik eksogen.1,2,3
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap
pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa
efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda
polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik).
Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. Dermatitis disebabkan oleh berbagai faktor
(multifaktorial).1,2,4
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang
menempel pada kulit dan merupakan salah satu kelainan kulit paling umum yang berkaitan
dengan pekerjaan. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu Dermatitis Kontak Iritan
(DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi (DKA) dan keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik yang tidak
melibatkan stimulasi sel T, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergi terjadi pada seseorang yang telah mengalami
sensitisasi terhadap suatu alergen yang melibatkan stimulasi terjadap sel T.2,5,6,7,8,9

Asumsi awal berbagai penelitian adalah bahwa DKI lebih sering terjadi dibandingkan
dengan DKA yaitu sekitar 70-80%. Namun, beberapa penelitian terbaru menemukan DKA
lebih banyak ditemukan. DKI merupakan efek toksik yang lokal ketika kulit kontak dengan
bahan iritan kimia seperti sabun, bahan pelarut, asam dan alkali. DKA merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat yang didapat ketika kulit kontak dengan bahan kimia pada orang
yang sebelumnya telah tersensitasi. Respon kulit terhadap DKA dan DKI tergantung pada

4
bahan kimia, durasi dan sifat dasar dari kontak serta kelemahan individu. Bahan kimia yang
menyebabkan dermatitis kontak ditemukan pada perhiasan, produk untuk perawatan diri,
tanaman, pengobatan topikal ataupun sistemik. Gambaran klinik antara DKA dan DKI sulit
dibedakan, dibutuhkan tes tempel untuk membantu mengidentifikasi alergen atau
meniadakan alergen yang dicurigai. 1,2,3,7,8,9

BAB II

LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
JJl. Letjen Soeprapto Samping RSUD Raden Mattaher Telanaipura Jambi telp/fax (0741) 60246

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Nita

Umur : 38 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

5
Alamat : RT 09 Mayang Mangurai

Pekerjaan : IRT

Status Pernikahan : Menikah

Suku Bangsa : Melayu

I. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Gatal pada kulit lengan atas dan tungkai bawah kanan dan kiri sejak ± 2 minggu
yang lalu.

B. Keluhan Tambahan :
Bintil-bintil dan kulit kering pada kulit lengan atas, tungkai bawah kanan dan
kiri
C. Riwayat Perjalanan Penyakit :

Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Abdul Manap dengan keluan
gatal pada kulit lengan atas kiri dan tungkai bawah kanan dan kiri sejak ± 2 minggu
yang lalu. Keluhan dirasakan pertama sekali setelah pasien pindah kerumah barunya
di Kota Jambi yang sebelumnya berada di Kalimantan sekitar lebih kurang 7 bulan
yang lalu. Pada bulan awal tinggal dirumah baru, pasien mengaku tidak memiliki
keluhan apa-apa . Namun, seiring berjalannya waktu, pasien merasa gatal pada tubuh
pasien yang didahului oleh bintil-bintil kecil kemerahan di kulit terutama di daerah
lengan atas dan tungkai bawah. Pasien sering menggaruk karena merasa sangat gatal.
Pasien awalnya tidak mengetahui apa penyebab pastinya, namun pasien
curiga karena air dirumahnya tidak cocok dengan kulit pasien. Hal ini disadari ketika
pasien pergi berkunjung dan tinggal dirumah saudaranya selama lebih kurang 1
minggu. Selama disana, pasien mengaku keluhannya berkurang dan tidak pernah
kambuh. Namun ketika pasien kembali kerumahnya, keluhan dirasakan muncul
kembali dan terasa gatal. Kemudian lebih kurang 3 bulan yang lalu, pasien berobat ke
puskesmas dan diberi obat salep kulit kloderma, pasien mengaku keluhan berkurang
namun tidak hilang sempurna. Pasien mengaku masih menggunakan air yang sama

6
untuk keperluan mandi dan sehari-harinya. Mengganti sabun disangkal,
menggunakan deterjen yang berbeda saat menyuci disangkal, menggunakan
perlengkapan mandi yang berbeda dari sebelumnya disangkal.
D. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat keluhan serupa : (+) berulang sejak ± 7 bulan yll


Riwayat sakit kulit lain : (-)
Riwayat asma : (-)
Riwayat rhinitis : (-)
Riwayat penyakit infeksi : (-)
Riwayat Alergi : (-)

E. Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat keluhan serupa : (-)


Riwayat sakit kulit lain : (-)
Riwayat asma : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat Rhinitis : (-)

F. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah berobat ke dokter di puskesmas, keluhan dirasa membaik bila
menggunakan obat yang diberikan namun bila obat habis keluhan kembali
timbul.

G. Riwayat Sosial Ekonomi


- Pasien sudah menikah
- pasien seorang ibu rumah tangga

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan

7
2. Tanda Vital :
Kesadaran : Compos Mentis RR : 20 x/menit
TD : 110/80 Nadi : 72 x/menit
Suhu : 36,8 0C
3. Kepala :
a. Bentuk : Normochepal
b. Mata : Simetris, konjungtivitis (-)
c. THT : Keluar secret (-),
d. Leher : Pembesaran KGB (-)
4. Thoraks :
a. Jantung : bunyi jantung I/II regular, gallop (-)
b. Paru : Bunyi vesikuler (+/+), murmur (-), ronki (-)
5. Genitalia : tampak berbula-bula, secret (-)
6. Ekstremitas :
a. Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, 5/5
b. Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, 5/5
B. Status Dermatologi :

8
Lokasi : regio brachialis sinistra , antebrachial sinistra
Efloresensi :
 Lesi utama : papul
 Morfologi dan konfigurasi lesi
o Bentuk : Papul
o Ukuran : Miliar
o Jumlah : Multipel
o Batas : Tegas
o Warna : Eritem
o Tepi : Tidak Aktif
o Distribusi : Regional

Lokasi : regio cruris medial dextra


Efloresensi :
 Lesi Utama : makula
 Morfologi dan konfigurasi Lesi
o Bentuk : makula
o Ukuran : miliar
o Jumlah : multiple
o Batas : Tidak Tegas
o Warna : Hiperpigmentasi
o Tepi : Tidak Aktif
o Distribusi : Regional

C. Status Venerelogi :
1. Inspeksi :
o Inspekulo : Tidak dilakukan pemeriksaan

9
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak Dilakukan

IV. DIAGNOSIS BANDING


- Dermatitis Kontak Alergi
- Dermatitis Kontak Iritan
- Dermatitis Atopi

V. DIAGNOSIS KERJA
- Dermatitis Kontak Alergi

VI. TERAPI
1. Umum
 Memberikan penjelasan pada pasien tentang penyakit yang diderita
 Menghindari agen penyebab alergi. Pada kasus ini dicurigai adalah air
yang dicurgai mengandung zat-zat tambahan. Sebaiknya mengganti
sumber air.
 Disarankan pasien untuk menyaring air dengan alat penyaring air
terlebih dahulu sebelum menggunakannya bila tidak ada alternative
pengganti air lainnya.
 Mengurangi menggaruk pada daerah kulit yang gatal karena dapat
menimbulkan perlukaan.
2. Khusus
 Prednisone PO 30mg/hari. 3 x 10 mg selama 7 hari
 Cetirizin PO 1 x 10 mg
 Kompres terbuka dengan NaCl bila ada lesi yang basah
 Bethametason o,1% salep dioles tipis 3x1 tidak lebih dari 4-6 minggu

VII. PROGNOSIS

10
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN


- Uji Tempel (Patch Test)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah
kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Alergen yang menyebabkan DKA adalah
bahan kimia sederhana dengan berat molekul yang umunya rendah. DKA terjadi akibat
pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama, atau
mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang telah tersensitasi sebelumnya.
Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut
klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T.2,5,6,7,8, 9,10,11
3.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi dermatitis kontak pada populasi umum diperkirakan sekitar 26-40% pada
orang dewasa dan 21-36% pada anak-anak. Kejadian DKA meningkat seiring pertambahan
umur, namun angka sensitisasi tertinggi terjadi pada anak-anak umur 0-3 tahun. Pada studi
yang dilakukan North American Contact Dermatitis Group antara tahun 1998-2000
didapatkan 60% kasus DKA, sementara hanya 32% yang disebabkan oleh zat iritan.1,2,6,10

11
Sebuah penelitian yang dilakukan di negara Kopenhagen ditemukan bahwa nikel
merupakan alergen yang paling banyak ditemukan. Diperkirakan ada 4-5% populasi umum
yang alergi terhadap nikel dan 1-3% yang alergi terhadap bahan-bahan kosmetik. Sebuah
penelitian di India juga mengungkapkan sekitar 66% yang positif terhadap uji tempel
kosmetik.1,5
Pada studi yang dilakukan di Amerika Serikat, Templet, Hall dan Belsito mencatat
bahwa dermatitis pada tangan merupakan salah satu alasan rujukan pasien ke pusat
pemeriksaan uji tempel. Studi yang dilakukan pada sekitar 1934 pasien selama 8 tahun,
ditemukan 32% mengalami dermatitis pada tangan yang mana 54% diantaranya merupakan
DKA dan hanya 27% yang didiagnosa menderita DKI.1
DKA lebih banyak ditemukan pada kelompok pekerja. Pada pemeriksaan uji tempel
yang dilakukan pada pekerja tukang batu didapatkan bahwa para pekerja ini mengalami
dermatitis kontak alergi terhadap semen dan karet. Sebuah studi tentang prevalensi DKA
pada perawat dan mahaiswa keperawatan ditemukan 34,8% perawat dan 19% mahasiswa
keperawatan mengalami gejala dermatitis kontak serta sebagian besar bereaksi positif
terhadap nikel sulfat dan thimerosal.7,12,13
Di Eropa dan sebagian besar negara di dunia, alergen yang paling sering mensensitisasi
adalah nikel, thiomersal dan parfum. Alergi terhadap nikel ditemukan sebanyak 13-17% pada
orang dewasa, 10% pada remaja, dan 7-9% pada anak-anak. Wanita lebih berisiko alergi
terhadap nikel dibanding laki-laki.4,10
3.3 ETIOLOGI
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah
(<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik,
sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di
bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi
sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu
dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan
kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik
(misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari) .1,2,14
Alergen penyebab dermatitis kontak alergi yang umum pada pekerja yaitu logam
(nikel, kromium, kobalt, merkuri, emas dan platinum), karet tambahan (pedal gas:
mercaptobenzothiazole, carbamates, thiurams dan thioureas, Antioksidan: N-phenyl-N-
isopropyl-paraphenylenediamine), plastik dan damar (Epoxy, phenolic dan acrylic

12
monomers, amine, anhydride dan peroxide catalysts, colophony, turpentine, catechols),
biosida (Formaldehyde dan glutaraldehyde, isothiazolinones, methyldibromoglutaronitlire,
iodopropynyl butylcarbamate), kosmetik (paraphenylenediamine, glyceryl thioglycolate,
cocamidopropylbetaine, paraben dan pengawet lainnya, parfum dan minyal esensial) dan
tanaman (pentadecylcatehols, heptadecylcatehols dan sesquiterpene lactones)3
3.4 PATOGENESIS
Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV (hipersensitivitas tipe lambat) pada
lebih dari 3700 bahan kimia eksogen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed atau cytotoxic
type cell mediated hypersensitivity) ini dijalankan oleh komponen imunitas seluler yaitu
limfosit T. Sel T yang telah tersensitisasi oleh suatu antigen tertentu, pada pemajanan
berikutnya dengan antigen yang sama akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin. Sitokin
yang diproduksi antara lain macrophages chemotactic factor, macrophages inhibitory factor,
interleukin 1, tumor necrosis factor alpha (TNF α) dan interpheron gamma (IFN γ). Sitokin
ini akan berfungsi merekrut sel-sel radang terutama sel T dan makrofag di tempat antigen. 1,4

Gambar 1. Mekanisme Hipersensitivitas tipe IV.16

Patogenesis DKA melalui 2 fase yaitu fase induksi (fase sensitisasi) dan fase elisitasi.
Fase induksi saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai limfosit mengenal dan
memberi respons memerlukan waktu 2-3 minggu. Sedangkan fase elisitasi ialah saat terjadi
pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbul gejala klinis. 2,16,17

13
Gambar 2. Peristiwa imunologi pada dermatitis kontak alergi. Gambar sebelah kiri
merupakan fase sensitisasi dan sebelah kanan merupakan fase elisitasi.17

1. Fase Sensitisasi1,2,3,4,8,17
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi
sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka oleh bahan kontaktan yang disebut
alergen kontak.
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap
oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom
atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada
awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat dan hanya berfungsi sebagai makrofag
dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan oleh
hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan
mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan
mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1)
serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3, dan
B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF, yang dapat
mengaktivasi sel T, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin
juga meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNF  menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada epidermis,
juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel Langerhans melewati

14
membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di
dalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada
sel T penolong spesifik, yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR
sel Langerhans dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah
diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk mensekresi IL-2 dan
mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulai proliferasi sel T spesifik,
sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel T-memori (sel-T teraktivasi) akan
meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut
individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung 2-3 minggu.
Menurut konsep, bahwa sinyal antigenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan
toleransi sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya
sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen
kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan, dari bahan kimia
inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya. Jadi sinyal ‘bahaya’ yang
menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik sendiri, melainkan dari iritasi
yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.
Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk
mengalami dermatitis kontak alergik.
2. Fase Elisitasi2,3,4,17
Jika seseorang telah tersensitisasi mengalami paparan alergen berulang, Hal ini berarti
bahwa sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Reaksi klinik
yang terjadi biasanya sangat cepat dan terjadi dalam kurun waktu 24-48 jam, namun hal ini
juga tergantung pada derajat sensitivitas, penetrasi dan faktor lainnya.
Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi
IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan
merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang
langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan
mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi
dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti
eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau
penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi
antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan

15
Prostaglandin E-1 dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2
berfungsi menekan produksi IL-2 sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit.
Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi
setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang
bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen
spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan. Fase elisitasi umumnya
berlangsung antara 24-48 jam.

Gambar 3. Patofisiologi Dermatitis Kontak.9

3.5 DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis kontak alergi dapat ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang
A. Anamnesis
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan pada kelainan kulit yang
ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular disekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah
penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel).

16
Pada anamnesa penting menanyakan lokasi awal lesi serta pengobatan yang telah dilakukan.
Riwayat penyakit kulit, atopi, dan kesehatan umum juga ditanyakan guna menyingkirkan
kemungkinan dermatitis atopi dan penyakit lainnya. Gambaran klinis DKA tergantung pada
jenis alergen yang menyebabkan. Biasanya, dermatitis terjadi pada lokasi aplikasi alergen
tetapi penyebaran dermatitis juga mungkin terjadi.. Paparan alergen pewarna rambut pada
pasien harus ditanyakan seperti penggunaan anastesi, ester, sulfonilurea dan lainnya. Data
yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah
digunakan, obat sistemik, kosmetika, daerah predileksi, durasi, gaya hidup, sumber alergi,
alergi terhadap bahan-bahan tertentu, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit
pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis) 1,2,14

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan
kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya pada muka oleh bahan
kosmetik, kepala oleh pewarna rambut, ketiak oleh deodoran, dipergelangan tangan oleh jam
tangan dan dikedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh
permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab
endogen. Diagnosis dari DKA jelas terlihat ketika area inflamasi merupakan daerah yang
tepat ditutupi oleh alergen. Hal yang sama mungkin timbul pada dermatitis pada tangan,
namun banyak kasus dermatitis alergi dan dermatitis iritan tangan tidak dapat disingkirkan
dengan hanya melihat manifestasi klinisnya. Inflamasi pada tangan, apapun penyebabnya,
meningkat pada paparan lebih lanjut oleh bahan kimia, mencuci, goresan, pengobatan dan
infeksi. Inflamasi pada bagian dorsum tangan lebih sering iritan atau atopik dibanding
alergi.2,14
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis dan lokalisasinya. Durasi dari DKA bervariasi pada setiap orang. DKA akan
bertambah parah selama alergen terus kontak dengan kulit. Ada beberapa tipe dari dermatitis
kontak alergi:2,4
1. Akut1,2,3,4
Eritema yang berbatas tegas dan edema, vesikel, dan/atau papul. Pada reaksi yang
hebat dapat berupa bula, erosi dengan serum, dan krusta.
2. Subakut3

17
Plak dengan eritema ringan, bersisik, kadang dengan papul yang kecil, merah, dan
berkelompok.
3. Kronik2,3,4
Plak dengan likenifikasi (penebalan epidermis dengan garis kulit yang mendalam
dengan pola pararel atau rhomboidal), pengelupasan dengan papul yang kecil, padat,
berkelompok, ekskoriasi, eritema, dan pigmentasi.

Daerah predileksi untuk dermatitis kontak alergi adalah :


1. Tangan dan lengan.
Dermatitis pada tangan biasanya disebabkan karena banyak faktor, mungkin karena
tangan merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk melakukan
pekerjaan sehari-hari. Sekitar dua pertiga dari seluruh kasus dermatitis kontak
melibatkan tangan yang merupakan tempat penting untuk dermatitis kontak alergi dan
iritan. Dermatitis dengan gambaran bergaris-garis pada jari, punggung tangan, dan
lengan bawah biasanya disebabkan karena tanaman. Pada pekerjaan yang basah (kontak
lama dengan air), misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur rambut di
salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi. Lengan terkena alergen yang sama
seperti tangan, tetapi biasanya belakangan. Jika sarung tangan digunakan saat bekerja,
lengan bawah biasanya merupakan tempat utama dari dermatitis okupasional.1,2,4,8

Gambar 4. Dermatitis kontak alergi pada tangan akibat alergen racun ivy.
Tampak kulit mengalami eritema disertai bulla pada daerah ekstremitas superior 8

2. Wajah

18
Wajah selalu terpapar oleh sejumah besar alergen. Dermatitis pada wajah dapat terjadi
sendiri atau berhubungan dengan eksema pada tangan.Semua alergen yang kontak
dengan tangan dapat mengenai muka, kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka
keringat. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, spons
(karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata), dan
alergen lain yang kontak dengan tangan. Dermatitis yang terjadi karena kosmetik
biasanya diawali dengan kulit kering, kaku, dan gatal. Banyak wanita yang segera
mengganti produk kosmetik mereka pada tahap ini dan tidak menemui dokter
spesialis.1,2,4,8

Gambar 5. Dermatitis kontak alergi di wajah akibat hipersensifitas terhadap


phosphorus sesquisulphide. Wajah tampak eritem.6

3. Telinga
Anting atau jepit telinga yang terbuat dari nikel merupakan penyebab dermatitis kontak
pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat
bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan
plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada
telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga
mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada
dermatitis kontak kronik.2,4,8

19
Gambar 6. Dermatitis kontak alergi di daerah telinga akibat dari reaksi
hipersensitifitas terhadap nikel. Tampak makula eritema di sekitar telinga.8

4. Badan.
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna kancing logam,
karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian. 1,2,4,8

Gambar 7. Dermatitis kontak alergi di daerah badan disebabkan oleh reaksi


hipersensitifitas terhadap nikel pada ikat pinggang. Tampak papul eritema pada
regio abdomen8

5. Genitalia
Penyebabnya adalah antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita alergen
yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Bila mengenai daerah anal
mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid.2,4

20
Gambar 8. Dermatitis kontak alergi. Tampak edema dan eritema pada distal penis
akibat penggunaan neomisin topikal.1

6. Paha dan tungkai bawah.


Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki
nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal.Pada kaki dapat disebabkan oleh sepatu dan
kaus kaki pada athlete’s foot, antiseptik, dan antiperspiran.1,2,4,8

Gambar 9. Dermatitis kontak alergi pada kaki. Makula hiperpigmentasi dan


madidans pada daerah digitorum pedis dekstra et sinistra.8

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan histopatologis

21
Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi dermis dan
epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan
ini secara histologi tidak spesifik.1,15
a. Epidermis:15
Dalam epidermis, spongiosis adalah tanda yang hampir selalu ada akibat akumulasi
cairan di sekitar keratinosit dan akibatnya peregangan kompleks antar desmosom. Spongiosis
secara fokal merata sepanjang epidermis dan terbatas hanya pada lapisan bawah atau
memanjang dari basal ke lapisan granular. Dalam beberapa kasus, saluran folikel sel-sel
keringat biasanya terlibat dalam proses spongiotik. Dengan demikian, pada dermatitis kontak
alergi.
Spongiosis vesikuler dapat didefinisikan sebagai rongga intraepidermal dengan dinding
yang tidak teratur dan terdapat spongiosis di sekitarnya. Sel-sel inflamasi bermigrasi ke
dalam epidermis (eksositosis). Sel-sel ini, terutama limfosit dan kadang-kadang
polimorfonuklear neutrofil dan eosinofil, yang terakumulasi dalam vesikel spongiotik.
Beberapa vesikel berbentuk bulat dan berada dalam stratum spinosum, sedangkan yang
lainberbentuk datar dan terletak di stratum korneum. Pada akhirnya vesikel ini pecah di
permukaan epidermis..
b. Dermis15
Pada stratum papiler seringkali terdesak dan melebar sehingga menyebabkan dilatasi
pembuluh limfatik dan ini sangat mencolok pada beberapa kasus. Edema dermal menonjol
karena adanya deposit asam mukopolisakarida. Sel mononuklear biasanya terdapat di sekitar
pembuluh darah lapisan bawah dermis dan bahkan sampai ke dalam jaringan subkutan. Sel-
sel bermigrasi dari ruang perivaskular ke epidermis dan ditemukan di seluruh jaringan kulit.
Infiltrasi dermal sering terlihat di sekitar folikel rambut dan saluran sebaseus, yang
menunjukkan terjadinya spongiosis dan degenerasi selular. Hal ini dikarenakan oleh penetrasi
langsung alergen.

22
Gambar 10. Spongiotik vesikuler pada epidermis dengan eksositosis sel
mononuklear dan edema dermal9

2. Uji tempel2,3,5,8,10,14,18
Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergi perlu dilakukan uji tempel yang
merupakan gold standart. Tes ini digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas pada bahan-
bahan yang berkontak dengan kulit. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas di antara
70-80 %. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji
tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn Chamber
System Kit dan T.R.U.E. Test, keduanya buatan Amerika Serikat.

Gambar 11. Antigen standar buatan pabrik yang siap digunakan, TRUE test.18

23
Terdapat pula antigen standar bikinan pabrik di Eropa dan negara lain. Adakalanya tes
dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan kimia, dapat berupa bahan
kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja,
atau tempat rekreasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:
1. Dermatitis harus sudah tenang. Sebab bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat
terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’, reaksi positif palsu, atau dapat juga
mengakibatkan penyakit yang dideritanya semakin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian kortikosteroid (topikal
dan sistemik) dihentikan sebab dapat memberikan reaksi negatif palsu (toleransi
pemakaian prednisone <20mg/hari atau dosis yang ekuivalen dengan itu). Luka bakar
karena sinar matahari (sun burn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga
dapat memberikan hasil negatif palsu.
3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar
karena dapat memberi hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-
kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji
tempelnya hingga pembacaan selesai.
5. Tidak melakukan uji pada penderita dengan riwayat urtikaria dadakan.

24
Gambar 12. A. Menempatka alergen pada kit. B. Menempelkan sediaan uji pada
punggung atas. C. Menandai daerah uji tempel. D. Sediaan uji telah ditempelkan pada
punggung atas.18

Gambar 13. Notasi hasil postif terhadap uji tempel menurut International Contact
Dermatitis Research Group (ICDRG). (?+) reaksi meragukan, (+) reaksi lemah, (++)
reaksi kuat, (+++) reaksi ekstrim, (IR) reaksi iritan. 10

Gambar 14. Hasil uji tempel pada punggung atas. A. Uji tempel masih
berlangsung dan sesaat setelah pelepasan salah satu kit. B. Pelepasan kit setelah
penempelan selama 2 hari, reaksi positif (++) terhadap nikel (N), reaksi positif (+++)
terhadap campuran parfum (F). E. Pada hari ke-3, reaksi yang meragukan (+?)
terhadap phenylediamine (P). D. Setelah hari ke-4, perkembangan lebih jauh pada
reaksi terhadap nikel (+++) dan phenylediamine (+).10
Uji tempel dilekatkan selama 48 jam. Kemudian dilakukan pembacaan hasil uji tempel
pada: menit 15-30, jam 72-96, >96 jam. Reaksi tersebut dinilai sebagai:
1+ : eritema.
2+ : eritema, edema, papul.

25
3+ : eritema, edema, papul, vesikel.
4+ : sama dengan 3+, tetapi disertai vesikel yang berkonfluensi.
5+ : sama dengan 4+, tetapi keadaan mandidans dengan atau tanpa nekrosis.
Interpretasi pada pemeriksaan uji tempel biasanya membingungkan antara DKA dan
DKI meskipun ini merupakan standar penilaian, pembacaannya harus dilakukan dua kali. 9
3. Uji kulit intradermal19
Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml semprit tuberkulin disuntikkan secara
superfisial pada kulit sehingga timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi
terendah yang menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing dengan
konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm. Uji intradermal ini
seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada kulit.Tes alergi pengujian injeksi intradermal
tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens dan makanan, tetapi
mungkin untuk mendeteksi  racun dan diagnosis alergi obat. Ini membawa resiko lebih besar
anafilaksis dan harus dilakukan dengan tenaga medis yang berkompeten melalui pelatihan
spesialis.
4. Uji tusuk19
Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup, alergen
di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah
dengan jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen
dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan
dicungkit ke atas dengan jarum khusus untuk uji tusuk.6 Hasil positif bila wheal yang
terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat
mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit paling
baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun.
5. Hitung eosinofil total19
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis dan
mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil
darah lebih dari 450 eosinofil/µL. Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih akurat
dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan hitung
leukosit total. Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit,
pajanan obat, keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-
90%) ditemukan pada migrasi larva.
6. Kadar serum IgE total19

26
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi sehingga
seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi. Pasien dengan dermatitis
atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi
dibandingkan rinitis alergi. Meskipun rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih
tinggi dibandingkan pasien non-alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada
populasi alergi dan non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah. Kadar IgE total
didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat pada penyakit non-
alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan).
7. Kadar IgE spesifik19
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat dilakukan secara in
vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode RAST (Radio Allergosorbent Test),
ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), atau RAST enzim. Kelebihan metode RAST
dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun
kelainan kulit. Hasil RAST berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun
sensitivitas RAST lebih rendah.
3.6 DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding pada DKA dipengaruhi oleh banyak faktor seperti gambaran klinik
dan distribusi lesi serta manifestasi sistemik. Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan
gambaran morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis seboroik,
psoriasis. Diagnosis banding yang yang terutama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan.1,7
1. Dermatitis Kontak Iritan
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis.
DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada
umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbulnya
lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit
dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan
yang dicurigai.
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non imunologik, jadi
kerusakan kulit dapat secara langsung tanpa didahului proses sensitisasi sebaliknya dermatitis
2
kontak alergi terjadi pada seseorang yang mengalami sensitisasi pada suatu alergen.
Pada DKI, onsetnya berlangsung cepat sedangkan pada DKA berlangsung sekitar 12-
48 jam setelah tersensitisasi. Selain itu pada DKI pasien mengeluh nyeri serta rasa terbakar
sedangkan pada DKA pasien mengeluhkan rasa gatal. 3

27
Gambar 15. Dermatitis kontak iritan. Tampak krusta dan erosi pada tangan. 8
2. Dermatitis Atopik
Pada pasien dengan lesi terlokalisir, dermatitis atopik mungkin dicurigai karena
riwayat pribadi yang khas, sejarah keluarga, atau karena adanya stigmata dermatitis seperti
pucat perioral, sebuah lipatan tambahan di bawah kelopak mata bawah (garis Dennie's),
meningkatnya garis-garis pada telapak tangan, dan kejadian peningkatan infeksi kulit,
terutama dengan Staphylococcus aureus. Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian
mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural). 1,2
Pedoman diagnosis Dermatitis Atopik yaitu harus ada kondisi gatal ditambah dengan
3 atau lebih kriteria berikut : riwayat terkena pada lipatan kulit, riwayat asma bronchial atau
hay fever, riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir, adanya dermatitis yang
tampak pada lipatan serta awitan di bawah usia 2 tahun. 2

Gambar 16. Dermatitis Atopik pada anak. Tampak papul eritem pada wajah.8
3. Dermatitis Seboroik

28
Dermatitis seboroik merupakan peradangan kronik dan superfisial pada daerah-
daerah predileksi seperti kepala, alis, kelopak mata, lipatan nasolabial, bibir, telinga, daerah
sternal, axilla, lipatan submammae, umbilikus, pangkal paha, dan lipatan glutea. 8

Gambar 17. Dermatitis seboroik. Tampak papul eritema pada dada dan axilla. 8
4. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit inflamasi yang umum, sering dan kambuhan pada kulit
dengan karakteristik berupa eritema, kering, plak dengan berbagai ukuran. Dermatitis pada
tangan dapat menyerupai psoriasis. Secara umum, lesi pada psoriasis cenderung berbatas
tajam, kadang-kadang susah dibedakan. Pada psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas, yakni
skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetesan lilin, dan fenomena
Auspitz.1,2

Gambar 18. Psoriasis. Tampak skuama kasar yang berlapis-lapis pada kulit
tangan.8
3.7 PENATALAKSANAAN
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya
pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan

29
kulit yang timbul.Selain itu, beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita
dermatitis kontak alergi adalah sebagai berikut: 1,6,15
1. Terapi farmakologik
a. Terapi sistemik
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan
pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif
(madidans), misalnya prednisone 30 mg/hari.2
Jika DKA melibatkan daerah kulit yang luas (> 20%), terapi kortikosteroid sistemik
sering diperlukan dan efeknya terjadi dalam waktu 12 sampai 24 jam. Dosis yang dianjurkan
adalah 0,5-1 mg / kg sehari selama 5 sampai 7 hari, dan jika pasien merasa nyaman, dosis
dikurangi sebesar 50% selama 5 sampai 7 hari berikutnya. Setelah itu, tingkat pengurangan
dosis steroid tergantung pada faktor-faktor seperti keparahan, durasi DKA, dan seberapa
efektif kontraktan dapat dihindari. Efek anti-inflamasi obat ini tidak mengubah riwayat alami
DKA, tetapi obat ini dapat membantu mengatasi reaksi inflamasi. 14
Terapi Prednisone oral20
1. Initial dosis adalah sebanyak 60 mg /per hari diberikan selama 4 hari,
2. Dosis kemudian diturunkan secara bertahap selama 10 hari (50 mg / per hari diberikan
selama 2 hari, 40 mg / diberikan selama 2 hari, 30 mg / per hari diberikan untuk 2 hari,
20 mg / per hari diberikan selama 2 hari, kemudian 10 mg / per hari diberikan selama 2
hari).
b. Terapi topikal
Terapi topikal, sabun pengganti dan emolien merupakan terapi DKA yang telah
diterima secara luas. Jika lesi hanya pada daerah kecil di tubuh, steroid topikal mungkin
cukup, tapi jika lebih dari 20% tubuh yang terlibat, maka terapi sistemik dibenarkan. Salep
kortikosteroid terfluorinasi potensi kuat harus dihindari pada kulit yang lebih tipis (misalnya
kelopak mata dan wajah), penggunaan steroid potensi rendah adalah yang paing baik untuk
area ini. Pasien harus diinstruksikan untuk mengoleskan steroid topikal dengan tipis dan
dilakukan setelah membersihkan kulit (yaitu mandi atau shower). Penggunaan obat lebih dari
dua kali sehari tidak dianjurkan. Lesi akut berespon baik terhadap steroid potensi sedang
sampai tinggi. Ada beberapa studi yang mengemukakan adanya efek yang terbatas pada
penggunaan steroid yang dikombinasikan dengan antibiotik.5,14
2. Terapi nonfarmakologik
a. Menghindari pajanan

30
Identifikasi dan hilangkan agen penyebab.1,2,5,6,15
b. Kompres dingin dengan Burrow’s solution
Kompres ini dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel, kompres ini diganti
setiap 2-3 jam. Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris dan
sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Di samping itu terjadi perlunakan dan pecahnya
vesikel, bula, dan pustula. Hasil akhir pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi
kering, permukaan menjadi besih sehingga mikroorganisme tidak dapat sembuh dan mulai
terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna untuk menghilangkan gejala, misalnya
rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam dermatosis. 14
c. Fototerapi
Fototerapi dilakukan pada pasien dengan DKA yang sulit sembuh dan tidak responsif
terhadap kortikosteroid dan ditujukan untuk pasien yang tidak bisa menghindari faktor
pencetus dari lingkungan.1
3.8 KOMPLIKASI
Bila tidak diobati, dermatitis kontak dapat berkembang menjadi satu siklus diman rasa
pruritus yang kronis menyebabkan penderita menggaruk dan akhirnya terjadi trauma
mekanis pada kuli hingga bisa menyebabkan timbulnya peradangan dan luka terbuka. Dalam
beberapa kasus, menggaruk berlebihan dapat menjadi port de entry bakteri atau jamur ke
dalam lapisan kulit akibat dari luka terbuka, sehingga bisa terjadi infeksi yang kronis.
Komplikasi termasuk:21
1. Infeksi bakteri atau jamur pada luka terbuka
2. Selulitis (infeksi kulit dan jaringan sekitarnya yang disebabkan oleh infeksi bakteri
atau jamur yang tumbuh)
3. Perubahan permanen pada tekstur kulit dan terjadinya jaringan parut
4. Perubahan warna kulit yang permanen
5. Luka terbuka
Pada individu berkulit hitam dapat timbul area hiperpigmentasi atau hipopigmentasi
dari dermatitis kontak alergi. Depigmentasi terjadi pada daerah dermatitis kontak alergi yang
kontak terhadap bahan kimia tertentu.21
3.9 PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi tergantung pada penyebab dan bagaimana caranya
menghindari pajanan alergen yang berulang-ulang.Prognosis dermatitis kontak alergi
umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan

31
menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik,
dermatitis numularis atau psoriasis) atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin
dihindari.2,5

BAB IV
ANALISA KASUS
Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau reaksi
imunologi tipe IV, dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang
menyebabkan peradangan dan edema pada kulit. 4, 5 Penyebab dermatitis kontak alergi adalah
bahan-bahan kimia yang termasuk nikel, karet, latex, pengawet, pewarna, kosmetik, parfum,
dan lain-lain.10 Setelah kulit terpapar pertama kali oleh alergen dan telah terjadi proses
sensitisasi, bila terpapar alergen yang sama dikemudian hari, maka akan terjadi proses
elisitasi yang umumnya berlangsung 24-48 jam. Disini akan mulai terlihat perubahan kulit
akibat reaksi imunologi berupa gatal, eritem, kemudian timbul papul, vesikel, erosi, dan
krustosa. Apabila proses berlangsung kronik, maka akan timbul plak dan terjadi likenifikasi.
Pasien mengeluh gatal gatal pada kulit lengan atas kiri dan tungkai bawah kanan dan
kiri sejak ± 2 minggu yang lalu. Keluhan dirasakan pertama sekali lebih kurang sejak 7 bulan
yang lalu, pasien mengeluh rasa gatal yang sering berulang pada kulit daerah lengan atas dan
tungkai bawah kanan kirinya. Keluhan diawali munculnya bintik-bintik kemerahan yang

32
lama kelamaan akan hilang namun kulit berubah menjadi lebih merah dan terasa gatal. Bintil
tidak disertai dengan nanah, rasa perih, rasa terbakar, gatal pada malam hari dan demam.
Keluhan dirasakan pertama sekali setelah pasien pindah kerumah barunya di Kota
Jambi yang sebelumnya berada di Kalimantan. Pada bulan awal tinggal dirumah baru, pasien
mengaku tidak memiliki keluhan apa-apa . Namun, seiring berjalannya waktu, pasien merasa
gatal pada tubuh pasien yang didahului oleh bintil-bintil kecil kemerahan di kulit terutama di
daerah lengan atas dan tungkai bawah. Pasien sering menggaruk karena merasa sangat gatal.
Pasien awalnya tidak mengetahui apa penyebab pastinya, namun pasien curiga karena air
dirumahnya tidak cocok dengan kulit pasien. Hal ini disadari ketika pasien pergi berkunjung
dan tinggal dirumah saudaranya selama lebih kurang 1 minggu. Selama disana, pasien
mengaku keluhannya berkurang dan tidak pernah kambuh. Namun ketika pasien kembali
kerumahnya, keluhan dirasakan muncul kembali dan terasa gatal. Kemudian lebih kurang 3
bulan yang lalu, pasien berobat ke puskesmas dan diberi obat salep kulit kloderma, pasien
mengaku keluhan berkurang namun tidak hilang sempurna. Pasien mengaku masih
menggunakan air yang sama untuk keperluan mandi dan sehari-harinya. Pada kasus ini,
pasien mengaku tidak pernah mengganti jenis sabun, detergen dan bahan peralatan mandi
lainnya yang digunakan saat ini.
Pada regio brachialis sinistra , antebrachial sinistra dan regio cruris medial dextra et
sinistra terdapat papul multiple ukuran miliar dengan batas tegas warna eritem denga tepi
tidak aktif dan terdistribusi regional.. Pada regio cruris medial, terdapat makula
hiperpigmentasi multiple ukuran miliar dengan batas tidak tegas dan tepi tidak aktif yang
terdistribusi regional.
Diagnosis dermatitis kontak alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang tepat. Dari anamnesis, gejala yang dirasakan pasien, riwayat
kebiasaan dan pekerjaan, serta riwayat penyakit dahulu, mengarah pada dermatitis kontak
alergi. Tidak adanya riwayat atopi pada pasien maupun keluarga dapat menyingkirkan
diagnosis dermatitis atopi. Hasil pemeriksaan fisik, lesi yang tampak pada pasien sesuai
dengan teori lesi pada dermatitis kontak alergi. Dimana awal lesi yang timbul adalah papul,
sedangkan pada dermatitis kontak iritan lesi awal yang sering timbul adalah vesikel. Selain
itu dermatitis kontak iritan berlangsung akut dan pasien biasanya langsung menyadari bahan
iritan apa yang baru saja kontak dengan pasien atau pada kontak pertama sementara pada
kasus ini pasien tidak langsung menyadari penyebab keluhan karena dermatitis kontak alergi
timbul setelah kontak berulang. Jika dermatitis kontak iritan kronik, bisa juga berlangsung

33
setelah beberapa hari, namun lesi biasanya kering dan akan tampak fisura. Selain itu kelainan
kulit pada dermatitis kontak iritan lebih hebat dibandingkan dermatitis kontak alergi karena
disebabkan oleh bahan iritan dan DKA oleh bahan alergen.
Namun untuk lebih memperjelas dan membantu diagnosis, dapat kita lakukan uji
tempel (Patch Test) yang merupakan gold standar pada dermatitis kontak. Uji tempel bisa
kita lakukan pada pasien yang sudah stabil, karena jika dilakukan uji ketika lesi masih aktif,
akan memperparah penyakitnya. Patch test digunakan untuk menentukan substansi yang
menyebabkan kontak dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis DKA. Patch test dilepas
setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan reaksi positif dicatat bila reaksi menetap atau bertambah.
Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam
berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik (negatif), maka dapat
didiagnosis sebagai DKI. Pada kasus ini uji tempel (Patch Test) tidak dilakukan.
Penatalaksanaan pada kasus ini terbagi menjadi penatalaksanaan umum dan khusus.
Penatalaksanaan umum bertujuan untuk menghindari eksaserbasi, dengan cara menghindari
agen penyebab alergi. Pada kasus ini yang dicurigai adalah air yang digunakan sehari-hari
oleh pasien. Mengurangi menggaruk daerah gatal tersebut karena akan menimbulkan
perlukaan. Penatalaksaan khusus bertujuan untuk mengurangi proses inflamasi, rasa gatal
dan mengeringkan lesi dengan cara kompres terbuka, pemberian kortikosteroid sistemik dan
topikal, serta pemberian antihistamin. Kortikosteroid sistemik bermanfaat untuk mengatasi
peradangan. Prednisone 30 mg/hari. Diminum 3 x 10 mg. Selama 1-2 minggu. Kompres
terbuka dengan NaCl bertujuan agar lesi yang basah cepat kering. Basahi kassa sebanyak 3
lembar, peras, kemudian letakkan kassa tersebut ke lesi yang basah sebanyak 3 kali setiap 5-
10 menit selama 3 jam. Jangan sampai lesi menjadi maserasi. Dipakai hingga lesi tampak
kering. Kortikosteroid topikal digunakan ketika lesi sudah tampak mengering, gunakan
kortikosteroid golongan V betamethasone valerate 0,1%. Dioles tipis 3 kali sehari tidak
boleh lebih dari 4-6 minggu untuk menghindari gejala takifilaksis.
Prognosis pada kasus ini adalah baik karena bahan iritan berupa air yang mengandung
zat-zat tambahan yang diduga memicu alergi dapat dihindari. Selain itu dari anamnesis
pasien tidak memiliki riwayat atopi ataupun riwayat keluarga dengan atopi.

34
BAB V
KESIMPULAN

Dermatitis kontak alergi ( DKA) merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau
reaksi imunologi tipe IV, dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi,
yang menyebabkan peradangan dan edema pada kulit.
Perubahan kulit akibat reaksi imunologi berupa gatal, eritem, kemudian timbul papul,
vesikel, erosi, dan krustosa. Apabila proses berlangsung kronik, maka akan timbul plak dan
terjadi likenifikasi.
Letak lesi biasanya di tangan, lengan, wajah, telinga, badan, paha dan tugkai bawah.
Letak lesi bergantung pada pajanan alergen, tapi terkadang lesi dapat timbul pada tempat
yang tidak terpajan alergen.
Dermatitis kontak alergi dapat didiagnosis banding dengan dermatitis kontak alergi
dan dermatitis atopi. Terapi yang dapat diberikan pada pasien seperti ini adalah preventif dan
kuratif. Preventif berupa edukasi untuk menghindari kontak ulang pada bahan alergen.

35
Kuratif berupa pengobatan sistemik dan lokal dengan tujuan mengatasi proses inflamasi dan
menyembuhkan lesi. Prognosis DKA umumnya baik selama bahan alergen dapat
disingkirkan dan tidak terjadi komplikasi karena tidak mendapat penanganan yang tepat.
Pada tulisan ini telah dibahas kasus Ny. N umur 38 tahun dan bekerja sebagai Ibu
rumah tangga. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik pasien didiagnosa dermatitis kontak
alergi. Pasien telah diberi edukasi untuk menghindari alergen , dalam hal ini adalah air yang
mengandung zt tambahan yang tidak cocok dengan kulit pasien dan telah diberi terapi
medikamentosa untuk menekan proses inflamasi serta untuk menyembuhkan lesi. Prognosa
pada pasien ini baik, karena tidak ada riwayat atopi baik pada pasien maupun keluarga, serta
alergen dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cohen DE, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis. In: Wolf K., Goldsmith L.A., Katz
S.I., editors. Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8thEd. New York:
McGrawHill; 2018. P. 135-46
2. Sulastri SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Ed-7. Jakarta: Fk-UI; 2015
3. Sasseville D. Occupational Contact Dermatitis. Allergy, Asthma, and Clinical
Immunology. 2014;4(2):59-65
4. Beck M.H, Wilkinson S.M. Contact Dermatitis: Allergic. In: Rook’s, Textbook of
Dermatology. 9thEd. Oxford: Blackwell; 2016. P. 20.1-2
5. Bourke J, Coulson I, English J. Guidelines for management of contact dermatitis : an
update. British Journal of Dermatology.2011;160:946-54
6. Imbesi S, Minciullo P.L, Isola S, Gangemi S. Allergic contact dermatitis: Immune system
involvement and distinctive clinical cases. AllergolImmunopathol. 2011;39(6):374-7

36
7. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Contact Dermatitis. In Thieme Clinical Companions
Dermatology. New York: Thieme New York Publication; 2006. P. 195-203
8. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of The Skin Clinical
Dermatology. 13th Ed. Philadelphia: Elsevier Inc 2015. Chapter 6, Contact Dermatitis and
Drug Eruption
9. Nosbaum A, Vocanson M, Rozieres M, Hennino A, Nicolas JF. Allergic And Irritant
Contact Dermatitis. EJD.2012;19(4):325-32
10. Spiewak R. Patch Testing For Contact Allergy And Allergic Contact Dermatitis.
Jagieollonian University Medical College, Krakow Poland. The Open Allergy Journal.
2014;1:42-51
11. Duarte I, Malvestiti A, Lazzarini R. Evaluation of the permanence of skin sensitization to
allergens in patients with allergic contact dermatitis. An Bras Dermatol. 2012;87(6):8337
12. Akan A, Toyran M, Erkocoglu M, Kaya A, Kocabas CN. The prevalence of Allergic
Contact Sensitization of Practicing and Student Nurses. International Journal of
Occupational and Environmental medicine. 2014;3(1):10-8
13. Lazzarini R, Sumita J.M. Allergic contact dermatitis among construction workers
detected in aclinic that did not specialize in occupational dermatitis. An Bras Dermatol.
2015;87(4):567-71
14. Beltrani VS, Bernstein IL, Cohen DE, Fonacier L. Contact Dermatitis: A Practice
Parameter. Annals of Allergy, Asthma & Immunology. 2011;97:1-36
15. Frosch PJ, Menne T, Lepoittevin JP. Histopathological & Immunohistopathological
Features Of Irritant And Allergic Contact Dermatitis. In: Contact dermatitis. 6th ed.
Berlin. Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2013. P.107-15
16. Shimizu H. Shimizu’s Textbook of Dermatology. Hokkaido: Hokkaido University Press;
2007. Chapter 3, Immunology of the skin; P.39-47
17. Rustemeyer T, Hoogstraten IM, Blomberg BM, Scheper RJ. Mechanisms in Allergic
Contact Dermatitis. In: Contact dermatitis. 5th ed. Berlin. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg; 2011. P.11-33
18. Wahleberg JE, Lindberg M. Patch Testing. In: Contact dermatitis. 5th ed. Berlin.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2011. P.11-33
19. Sudewi NP, Kurniati N, Suyoko EMD, Munasir Z, Akib AAP, et al. Berbagai Teknik
Pemeriksaan Untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Sari Pediatri.
2009;11(3):174-8

37
20. Craig K, Susan E. What Is The Best Duration Of Steroid Theraphy For Contact
Dermatitis. The Journal of Family Practice. 2010; 55(2): 166-7
21. Brian M. Contact Dermatitis. British Association of Dermatologists.2017;176:317-329

38

Anda mungkin juga menyukai