Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN KASUS

Faktor Risiko Dermatitis Seboroik

Disusun Oleh:

Alifia Firdiansari

H1A321088

Pembimbing:

dr. Farida Hartati, M.Sc., Sp.KK., FINSDV., FAADV

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

SMF/BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS

KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

PATUT PATUH PATJU GERUNG NUSA TENGGARA BARAT

2022
BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini banyak individu yang tidak perhatian terhadap kesehatan tubuhnya sendiri,

salah satunya adalah bagian kulit. Secara awam penggunaan sampo atau produk kecantikan yang

lain dianggap cukup untuk merawat kesehatan kulit, namun faktanya angka insidensi penyakit

kulit di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak setelah infeksi saluran napas bagian atas

akut dan hipertensi esensial. Salah satu penyakit kulit yang menempati urutan atas adalah

Dermatitis Sebororik [1]. Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamasi kulit yang biasanya

dimulai pada kulit kepala, dan kemudian menjalar ke muka, leher dan badan [2]. Inflamasi

merupakan respon tubuh dalam melindungi diri dari infeksi mikroorganisme asing seperti virus,

bakteri, dan jamur. Istilah dermatitis seboroik digunakan untuk segolongan kelainan kulit yang

didasari oleh faktor konstitusi dan tempat predileksinya di sekitar kelenjar seboroik [3].

Berdasarkan hasil survei terhadap 1.116 anak-anak di Indonesia yang mencakup semua

umur didapatkan prevalensi dermatitis seboroik adalah 10% pada anak laki-laki dan 9.5% terjadi

pada anak perempuan, sedangkan pada orang dewasa kasunya di yunani (4,05) %), Cina (7%),

mirip dengan Iran, dan lebih tinggi di Inggris (2,35%) [4].

Faktor risiko dermatitis seboroik meliputi gangguan kekebalan tubuh, akibat penerimaan

transplantasi organ, pasien dengan riwayat HIV/AIDS, pankreatitis alkoholik kronis, virus

hepatitis C, kanker (penyakit ganas lainnya), jenis kulit berminyak, stress dan factor genetic [5].

Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai faktor risiko yang dapat menyebabkan dermatitis

seboroik pada wanita.


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Nn. R

Umur : 19 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Mahasiswa

2.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama: Pasien mengeluhkan rasa gatal dan ketombe pada kulit kepala.

b. Riwayat Penyakit Sekarang: Seorang wanita berusia 18 tahun datang ke Poliklinik

Kulit dan Kelamin RSUD Patut Patuh Patju pada hari Selasa, 20 September 2022.

Keluhan utama pasien adalah rasa gatal dan ketombe pada kulit kepala. Awal mula

keluhan muncul semenjak 2 tahun yang lalu setelah pasien melakukan smoothing rambut.

Saat itu pasien mengatakan keramas 2 kali seminggu dengan shampoo H&S, namun

keluhan dirasakan semakin berat, pasien juga mengatakan kulit kepala pasien terasa panas

dan perih saat keramas sehingga pasien mengganti shampomya dengan LB. Pasien

sempat menggunakan lidah buaya dan baby oil yang digosok di kulit kepala, namun

tidak lagi dilakukan karena keluhan ketombe berkurang tetapi rambut pasien rontok.

Pasien merasa dirinya sedang tidak banyak pikiran, hanya saja pasien sering

begadang karena mengerjakan tugas. Nafsu makan pasien baik, namun pasien tidak suka

mengonsumsi sayur dan buah.


c. Riwayat Penyakit Terdahulu

Riwayat penyakit terdahulu oleh pasien disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluhan serupa pada keluarga pasien disangkal.

e. Riwayat pengobatan

Pasien hanya menggosok kulit kepala dengan lidah buaya dan baby oil. Belum ada

menggunakan obat obatan.

f. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien seorang mahasiswa yang kesehariannya disibukkan dengan mengerjakan tugas

kuliah.

2.3 Pemeriksaan fisik

a. Keadaan Umum: Tampak baik, kesadaran kompos mentis

b. Tanda vital

 Tekanan darah : 120/80 mmHg

 Nadi : 80x/menit

 Frekuensi napas : 18x/menit

 Suhu : 36,0C

c. Status dermatologis

1. Inspeksi lesi kulit

- Lesi sekunder: Skuama tebal terdistribusi regional di scalp

2. Lokasi: Kulit kepala (scalp)

3. Deskripsi lesi: Regio scalp tampak skuama tebal putih halus terdistribusi regional

(Gambar 1).
2.4 Diagnosis Banding

- Dermatitis seboroik

- Tinea Kapitis

- Psoriasis

2.5 Diagnosis Kerja

- Dermatitis Seboroik

2.6 Tatalaksana

- Terapi sistemik: Cetirizine 10 mg, apabila merasa gatal.

- Terapi topikal: Shampo Ketokonazol 2%

2.7 Edukasi

- Memberikan informasi kepada pasien untuk menjaga hygiene

- Memberikan informasi kepada pasien terkait pengobatan yang secara teratur

- Memberikan penjelasan kepada pasien agar tidak menggaruk kulit kepala dan

memotong kuku hingga pendek

(Gambar 1). Regio scalp tampak skuama tebal putih halus terdistribusi
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit inflamasi yang ditandai adanya patch dan plak

eritematosa disertai skuama berminyak. Lesi muncul di area yang kaya akan kelenjar sebasea,

yaitu area kulit kepala, wajah, batang tubuh bagian atas, dan lipatan tubuh [1]. Faktor risiko

seperti mikrobiota diduga sebagai penyebab utama pada proses patogenesis dermatitis seboroik,

dimana spesies Malassezia yang merupakan flora normal kulit dianggap berperan. Awal mula

keluhan pada pasien yaitu gatal dan muncul ketombe pada kulit kepala. Keluhan muncul pada

kulit kepala semenjak 2 tahun yang lalu setelah pasien melakukan smoothing rambut. Dari

identifikasi awal, distribusi lesi dermatitis seboroik pada pasien tersebar pada area kelenjar

sebasea yang merupakan daerah koloni Malassezia. Spesies Malassezia yang sering dijumpai

adalah M. globosa dan M. restricta. M. globosa mampu menstimulasi sitokin lebih banyak

daripada M. restricta. Populasi Malassezia diduga dipengaruhi fungsi kelenjar sebasea yang

berbeda pada tiap individu, komposisi lipid, dan fungsi imun. Adanya perubahan pada inang

seperti disfungsi epidermis mengganggu mikrobioma kulit, membantu proliferasi Malassezia.

Dermatitis seboroik dapat merupakan hasil reaksi imun terhadap Malassezia atau produknya.

Metabolit jamur ini menginfiltrasi ke barrier epidermis dan menyebabkan inflamasi, yang

menyebabkan kerusakan barrier dan gangguan mikrobiota kulit lebih lanjut akibat sitokin yang

dihasilkan. Hasil akhirnya adalah Malassezia dan produknya makin mudah berpenetrasi ke

dalam epidermis dan kembali menyebabkan siklus inflamasi [2].

Selain itu, faktor risiko lainnya pada pasien dalam laporan kasus adalah stress. Stress

akan menimbulkan banyak masalah pada kulit. Stress dapat timbul dari waktu mengerjakan tugas

yang lama sehingga dapat menyebabkan tubuh akan lelah secara fisik maupun psikis. Dari

identifikasi
lebih lanjut, pasien pada laporan kasus oleh karena pekerjaannya sebagai mahasiswa sehingga

pasien lebih banyak menghabiskan waktu mengerjakan tugas kuliah. Hal ini dapat menjadi faktor

pencetus pasien mengalami dermatitis seboroik dikarenakan stress akan memicu tubuh untuk

mensekresi hormone kortisol yang menyebabkan pelepasan glukosa pada darah meningkat serta

penyempitan pembuluh darah arteri. Peningkatan glukosa darah akan meningkatkan viskositas

darah. Viskositas darah yang meningkat ini membuat tubuh lebih prone untuk terkena masalah di

kulit salah satunya menimbulkan status seboroik aktif [6]. Pada kondisi seseorang yang

mengalami stress dan lelah juga dapat mempengaruhi status imunitas tubuh. Penurunan status

imunitas ini berhubungan dengan regulasi mekanisme inflamasi yang menjadikan tubuh

mensekresi lebih banyak mediator pro-inflamasi seperti sitokin dan hormon stress yaitu kortisol.

Mediator tersebut nantinya akan menjadikan tubuh lebih mudah terkena infeksi bakteri, virus

atau jamur [7].

Faktor risiko lainnya yang terjadi pada pasien laporan kasus adalah pasien tidak suka

mengkonsumsi buah. Seseorang yang mengkonsumsi tinggi buah dikaitkan dengan risiko

dermatitis seboroik lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi buah.

Konsumsi buah dapat mengurangi risiko dermatitis seboroik karena vitamin dan komponen

antioksidan dapat mengurangi inflamasi. Hipotesis lain adalah kandungan psoralen pada buah

sitrus dapat meningkatkan sensitivitas kulit terhadap radiasi UV, membantu perbaikan dermatitis

seboroik [8]. Diagnosis dermatitis seboroik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis umumnya

kronis, persisten, dan berulang. Lesinya bervariasi dari ringan, patchy, dan berskuama, hingga

lesi luas dengan krusta tebal dan lengket [9]. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan

adalah dermatitis seboroik, tinea kapitis, psoriasis. Psoriasis karena memiliki tanda dan

gejala yang hampir sama dengan dermatitis seboroik. Pada psoriasis terdapat skuama yang lebih

tebal berlapis transparan seperti mika, kasar, putih seperti mutiara, sakit dan sisik perak yang

bisanya meluas ke
dahi, leher, dan telinga seseorang dan psoriasis pada kulit kepala menyebabkan kulit kering dan

gatal [10].

Secara umum, penatalaksanaan pada penderita berupa edukasi, terapi sistemik dan terapi

topikal. Pengobatan ditujukkan untuk mengidentifikasi dan menangani faktor penyebab

dermatitis seboroik serta lokasi dari peradangannya [9]. Edukasi pada pasien berupa penjelasan

kepada penderita bahwa garukan akan memperburuk keadaan sehingga harus dihindari. Terapi

topikal yang diberikan pada kasus ini adalah shampo yang mengandung obat anti Malassezia,

misalnya yang mengandung 1-2,5% selenium sulfida, imidazoles (misalnya 2% ketokonazole)

[8]. Terapi sistemik pada pasien diberi Cetirizin tablet 10 mg 1x1 selama sepuluh hari. Cetirizin

adalah antihistamin non sedatif, diberikan untuk mengurangi rasa gatal sehingga mencegah

garukan [10].
BAB IV

RESUME

Dilaporkan seorang wanita beusia 19 tahun, warga negara Indonesia, datang ke Poliklinik

Kulit dan Kelamin RSUD Patut Patuh Patju Gerung pada hari Selasa, 20 September 2022 dengan

keluhan rasa gatal dan ketombe pada kulit kepala. Keluhan muncul sejak 2 tahun yang lalu

setelah melakukan smoothing rambut.

Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat mendorong terjadi dermatitis seboroik pada

pasien, yaitu kolonisasi Malassezia pada area kulit yang mengandung lipid, kondisi psikologis

seperti stress serta kurangnya konsumsi buah pada pasien. Berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan dermatologis, pasien memiliki diagnosis kerja dermatitis seboroik. Pemeriksaan

dermatologis dermatitis seboroik pada regio scalp.


DAFTAR PUSTAKA

1. Suh DH. Seborrheic dermatitis. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis

DJ, McMichael AJ, et al. editors. Fitzpatrick’s dermatology. 9th ed. Vol 1. New York:

McGraw-Hill Education; 2019. pp. 428-36.

2. Widaty S, Bramono K, Listiawan MY, Yosi A, Miranda E, Rahmayunita G, et al. The

management of seborrheic dermatitis 2020: An update. J Gen Proced Dermatol Venereol

Indones. 2020;5(1):19-27.

3. Borda LJ, Wikramanayake TC. Seborrheic dermatitis and dandruff: A comprehensive

review. J Clin Investig Dermatol. 2015;3(2):10.13188/2373-1044.1000019.

4. Clark GW, Pope SM, Jaboori KA. Diagnosis and treatment of seborrheic dermatitis. Am

Fam Physician 2015;91(3):185-90.

5. Elgash M, Dlova N, Ogunleye T, Taylor SC. Seborrheic dermatitis in skin of color:

Clinical considerations. J Drugs Dermatol. 2019;18(1):24-7.

6. Adalsteinsson JA, Kaushik S, Muzumdar S, Guttman-Yassky E, Ungar J. An update on

the microbiology, immunology and genetics of seborrheic dermatitis. Experimental

Dermatol. 2020;29:481-9.

7. Kurniati DD. Dermatitis seboroik, gambaran klinis. In: Rihatmaja R, editor. Metode

diganostik dan penalaksanaan psoriasis dan dermatitis seboroik. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI; 2003. p. 53-59.

8. Byung In Ro TLD. The Role of Sebaceous Gland Activity and Scalp Microfloral

Metabolism in the Etiology of Seborrheic Dermatitis and Dandruff. Desember 2015;Vol.

10(No. 3):194–7.
9. Sanders MGH, Pardo LM, Ginger RS, Jong JCK, Nijsten T. Association between diet

and seborrheic dermatitis. J Invest Dermatol. 2019;139(1):118-4.

10. Tucker D, Masood S. Seborrheic Dermatitis. StatPearls [Internet]. 2020. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551707/

Anda mungkin juga menyukai