Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

DERMATITIS ATOPIK

Pembimbing:

dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid

Disusun oleh:

Ragiel Pramana

030.13.158

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT


RSK DR. SITANALA TANGERANG
PERIODE 23 SEPTEMBER – 25 OKTOBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

LAPORAN KASUS

Judul:

“DERMATITIS ATOPIK”

Disusun oleh:

Ragiel Pramana

(030.13.158)

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid untuk
dipresentasikan

Tangerang, Oktober 2019

Mengetahui,

dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah


SWT atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Dermatitis Atopik”. Penulisan laporan kasus ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Kulit di RSK dr. Sitanala Tangerang periode 23 september – 25 oktober
2019

Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Prima
Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid sebagai dokter pembimbing, dokter dan staf-staf di
poliklinik kulit RSK dr. Sitanala, rekan-rekan sesama koasisten ilmu penyakit
kulit dan semua pihak yang turut serta berperan memberikan doa, semangat dan
membantu kelancaran dalam proses penyusunan makalah kasus ini.

Saya menyadari bahwa makalah kasus ini masih terdapat banyak kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Pada kesempatan ini, saya memohon maaf kepada
para pembaca. Masukan, kritik, dan saran akan saya jadikan bahan pertimbangan
agar makalah kasus ini kedepannya menjadi lebih baik. Akhir kata, saya
mengucapkan terima kasih.

Tangerang, Oktober 2019

Ragiel Pramana

ii
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ...............................................................................i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS ..............................................................................2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................7

BAB IV KESIMPULAN ....................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................28

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit keradangan kulit yang kronis,


ditandai rasa gatal ringan sampai berat, bersifat kumat-kumatan, sebagian besar
1,2
muncul pada saat bayi dan anak. Prevalensi DA meningkat tiga kali lipat Sejak
1
tahun 1960. Peningkatan insidensi DA kemungkinan disebabkan oleh beberapa
3
faktor misalnya urbanisasi, polusi, dan hygiene hypothesis. DA merupakan
masalah kesehatan masyarakat dunia, dengan prevalensi pada anak sebesar 10-
1
20% dan pada dewasa sekitar 1-3%. Sebesar 50% kasus DA muncul pada tahun
2
pertama kehidupan. Prevalensi DA di Asia Tenggara bervariasi antar negara dari
1,1% pada usia 13-14 tahun di Indonesia sampai 17,9% pada usia 12 tahun di
4
Singapura. Jumlah kunjungan pasien DA pada tahun 2009-2011 di Divisi Alergi
Imunologi URJ Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebanyak 353
5
pasien.

Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis DA, antara lain faktor
genetik terkait dengan kelainan sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor
6
lingkungan. Terdapat peningkatan transepidermal water loss (TEWL), kulit
kering, dan peningkatan kadar serum IgE pada pasien DA. Kulit kering
3
memudahkan masuknya alergen, iritan, dan keadaan patologik kulit. Sitokin IL-
7
2, IL-6, dan IL-8 berperan pada pruritus pasien DA. Berdasarkan gambaran
klinis, DA dapat dibagi menjadi 3 bentuk yaitu DA pada bayi (2 bulan-2 tahun),
anak (2–10 tahun), dan dewasa (lebih dari 10 tahun). Gejala utama DA berupa
2
gatal didapatkan pada semua tingkatan DA.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. F
Tanggal lahir : 5 Mei 2019
Usia : 5 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kebon Cau kec. Teluk naga, Tanggerang

II. ANAMNESIA
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan pasien di poli kulit RSK
dr. Sitanala tanggal 25 September 2019

Keluhan Utama
Pasien bayi laki-laki berusia 5 bulan diantar oleh orang tuanya datang ke poli
klinik RSK dr. Sitanala dengan keluhan kemerahan di pipi sejak 2 hari yang
lalu, terlihat gatal.
Keluhan Tambahan
Keluhan disertai rasa gatal, anak terlihat rewel dan disertai demam sejak 2
hari yang lalu .
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien bayi laki-laki berusia 5 bulan diantar oleh orang tuanya datang
datang ke poli klinik RSK dr. Sitanala dengan keluhan kemerahan di pipi
sejak 2 hari SMRS kemerahan di pipi semakin melebar sampai hampir ke
seluruh tubuh dan kulit menjadi terlihat kering dan mengelupas, Keluhan
disertai gatal dan pasien terlihat rewel. Keluhan juga disertai demam yang
dirasakan sejak 2 hari SMRS , demam timbul bersamaan dengan kemerahan

2
pada pipi, demam dirasakan hilang timbul. Pasien masih mengkonsumsi ASI
ekslusif.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Nenek pasien mempunyai riwayat urtikaria ketika terkena cuaca dingin.
Riwayat Alergi
Makanan : (-)
Rhinitis alergi, konjungtivitis alergi, asma disangkal pasien.
Riwayat Persalinan dan kelahiran

Pasien lahir di Rumah Sakit ditolong oleh Dokter, spontan, lewat masa
kehamilan, dan tidak terdapat kelainan selama masa kehamilan dan kelahiran.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
- Tekanan Darah : tidak dilakukan
- Nadi : tidak dilakukan
- Suhu : tidak dilakukan
- Pernafasan : 20x/menit
- Berat Badan : 6,3 kg
Kepala : Rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut, skuama (+), krusta (-)
Leher : Tidak didapati pembesaran KGB
Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan

3
b. Status Dermatologikus

Gambar 1. Regio facialis

Regio : Facialis
Efloresensi primer : Plak Eritematosa
Efloresensi sekunder : Skuama
Distribusi : Diskret
Bentuk : Tidak teratur
Batas : Difuse
Ukuran : Lentikuler, Numular dan plakat
Efloresensi : Regio facialis Plak Eritematosa9, difus, multiple,
diskret, ukuran lentikular, numukar dan plakat , Skuama (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Tidak dianjurkan pemeriksaan penunjang
-
4
V. RESUME
Pasien bayi laki-laki berusia 5 bulan diantar oleh orang tuanya datang
datang ke poli klinik RSK dr. Sitanala dengan keluhan kemerahan di pipi
sejak 2 hari SMRS kemerahan di pipi semakin melebar sampai hampir ke
seluruh tubuh dan kulit menjadi terlihat kering dan mengelupas, Keluhan
disertai gatal dan pasien terlihat rewel. Keluhan juga disertai demam yang
dirasakan sejak 2 hari SMRS , demam timbul bersamaan dengan kemerahan
pada pipi, demam dirasakan hilang timbul. Pasien masih mengkonsumsi ASI
ekslusif.
Pada pemeriksaan fisik didapati keadaan umum pasien tampak sakit ringan
dan kesadaran compos mentis, tekanan darah, nadi , suhu, tidak dilakukan
pemeriksaan, pernapasan 30x/menit. Pada status dermatologi Regio facialis
Plak Eritematosa, difus, multiple, diskret, ukuran lentikular, numular dan
plakat.

VI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Darah : p↑ IgE serum, eosinofilia.
- Tes alergi pd kulit

VII. DIAGNOSIS BANDING


- Dermatitis Kontak Alergi
- Dermatitis kontak iritan
- Psoriasis

VIII. DIAGNOSIS KERJA


Dermatitis Atopik

IX. PENATALAKSANAAN
a. Non-medika mentosa
- Edukasi tentang penyakit pasien

5
- Edukasi agar minum obat teratur
- Edukasi cara perawatan kulit
- Mandi dan Emolien

b. Medikamentosa
- Kortikosteroid topical potensi rendah : Hidrocortison 1%

X. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad cosmeticum : Ad bonam

6
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit keradangan kulit yang kronis,
ditandai rasa gatal ringan sampai berat, bersifat kumat-kumatan, sebagian besar
1,2
muncul pada saat bayi dan anak.

Dermatitis atopik merupakan bentuk eksim yang paling umum pada anak,
istilah atopik sejak lama telah diungkapkan oleh coca dan coke ( 1923), kata
tersebut berasal dari kata Atopos ( Yunani ) yang berarti Out of Place atau
Strange diseases. Menurut wise dan Sulzberger (1933) memberi nama dermatitis
atopik yaitu dermatitis yang sangat gatal, timbul ditempat predileksi tertentu ,
didasari oleh adanya reaksi hipersensitivitas yang diturunkan secara herediter dan
berlangsung secara kronis residif.

Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi
keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial) (Sularsito
S.A., & Djuanda A., 2005).

3.2 Epidemiolgi
Dermatitis atopik (DA) dapat terjadi pada segala usia akan tetapi paling sering
timbul pada balita, 45% kasus DA terjadi pada usia 6 bulan pertama, 60% terjadi
pada 1 tahun pertama dan 85% muncul pada anak usia 5 tahun. menurut
International Study Of Ashma and Allergies in Children prevalensi DA pada anak
terbesar terjadi di amerika serikat yaitu sebesar 17,2 %. Sebagian besar kasus
dermatitis atopic anak akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa.
Prevalensi DA di Asia Tenggara bervariasi antar negara dari 1,1% pada usia 13-

7
14 tahun di Indonesia sampai 17,9% pada usia 12 tahun di Singapura. Jumlah kunjungan
pasien DA, pada tahun 2009-2011 di Divisi Alergi Imunologi URJ Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebanyak 353 pasien.5

3.3 Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan
oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik
berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi
imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem
saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan
kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan temperatur, dan
trauma (Fauzi N., dkk., 2009).
Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus
(Mansjoer A.,dkk., 2001).

faktor pencetus lain diantaranya


 Makanan
Peran makanan sebagai pencetus terjadinya DA masih kontroversial.
Banyak penelitian yang mendukung peran IgE spesifik terhadap makanan
pada pathogenesis DA. Pada penelitian lainnya pasien dengan IgE spesifik
terhadap makanan bila diberikan makanan tersebut akan meningkatkan
konsentrasi histamine pada plasma , produk eosinophil dan aktivasi
eosinophil plasma. Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled
Food Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA
sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan
anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test)
dan kadar IgE spesifik positif terhadap berbagai macam makanan.
Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan
dermatitis atopik kronik.6

8
 Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat
dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat
inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR)
bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4
musim (Judarwanto W., 2009).
 Infeksi kulit
Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik
yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis
atopik. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA).
Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni
Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi
Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada
penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang
penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan
mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang
dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang
dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan
Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga
dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat
sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan
makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin
Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan
memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk,
2009., tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus
aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus.

9
3.4 Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor
genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,
dan faktor lingkungan (Soebaryo R.W., 2009).
a. Genetik
Terdapatnya atopi pada orang tua , terutama dermatitis,
berhubungan dengan manifestasi dan derajat keparahan dermatitis atopik
pada anak7 , sedangkan atopi lainnya tidak terlalu berpengaruh. Terdapat
dua kromosom yang berpengaruh dengan dermatitis atopik yaitu
kromosom 1q21 dan kromosom 17q25.
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi
keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila
salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan
mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi
bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA
yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk
mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.7
b. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul
utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap
sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Kelainan fungsi sawar
mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan
semakin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi
alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi
ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering.8
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,
eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara
lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan
binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis.8

10
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi
sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009).
d. Imnopatogenesis DA9
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan
produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis.
Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri
tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut
menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal
menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas
untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini
menyebabkan produksi berlebih igE.
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun.
Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer
(interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia
dan peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009).
• Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.
Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar
IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang
moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di
kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan
bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.
e. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung
antibody IgE terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan
protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit
akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis

11
atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya
antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan
sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas

(Soebaryo R.W., 2009).

Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).


Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan
pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2
(TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan
allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan
aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early
(acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada
EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang
tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed
dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator
tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan
permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin
yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang
menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.
Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,
termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,
12
eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived
neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5,
IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor.
Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi
(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

3.5 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase
perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap
anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka
mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009).
Beberapa kriteria diagnosa yang telah diajukan seperti contoh kriteria
minor dan mayor yang di buat oleh Hafinin dan Rajka adapun kriteria itu
antara lain :
a. Kriteria mayor
Gejala klinis yang spesifik yaitu adanya rasa gatal yang hebat,
dengan tempat predileksi yang khas, berlangsung kronis dan residif, serta
adanya stigmata atopic pada pasien maupun keluarga yang lain.
Tempat predileksi yang sering terkena DA adalah wajah serta
permukaan ekstensor dari lengan dan kaki pada usia 8-10 bulan.
Sedangkan pada anak dan dewasa lebih sering pada antecubital dan fossa
popliteal , wajah dan leher.
b. Kriteria Major
Merupakan kriteria pelengkap diagnosis DA bila masih ragu.

Tanda yang dipakai unutuk menentukan seseorang tersebut terkena DA


disebut dengan “stigmata atopi”. Bila sttigmata tersebut terdapat pada kulit
disebut sebagai atopic diathesis. Adapun kelainan yang biasa ditemukan adalah
Sry skin, Hiperlinearity of the palms or soles, Infraorbital dold, white
dermographism, facial pallor, orbital darkning dan hethoge’s sign.10

13
Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:
• ‘White dermatographism’
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam
waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan
garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.
• Reaksi vaskular paradoksal
Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA.
Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan
terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan
dibandingkan dengan orang normal (Judarwanto W., 2009). hal ini
diduga karena adanya pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya edema dan warna
pucat dijaringan sekelilinnya (Zulkarnain I., 2009).
• Lipatan telapak tangan (palmar hiperlinearlity of Palms or soles)
• Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan
pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan
tanda khas untuk DA. (Judarwanto W., 2009).
• Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki banyak garis
palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang
hidup. (Zulkarnain I., 2009).
• Garis Morgan atau Dennie
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun
dapat ditemukan satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian
bawah.keadaan ini pada saat lahir atau segera sesudah itu dan bertahan
sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata bawah
namun bukan merupakan atonogmomik DA (Zulkarnain I., 2009).
• Sindrom ‘buffed-nail’
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat
gatal.

14
• ‘Allergic shiner’
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan
garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan
melanosit dan peningkatan timbunan melanin.
• Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.
• Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan
berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah
kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan
sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.
 hertoge’s Sign
Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral alis mata
(Zulkarnain I., 2009).

Manifestasi klinis DA berbeda seriap tahapan atau fase perkembangan


kehidupan, mulai dari bayi hingga dewasa. secara Subyektif selalu terdapat
pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:
1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran,
biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi
(Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak
dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas
tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang
menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua
pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor
(Mansjoer A.,dkk., 2001).
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak
gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA
infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami
infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat

15
terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 2: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)


Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan
kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,
akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat
predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang
diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga bisa terjadi
dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).
Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah
ekstensor(luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan
lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin
J.M., 2005).

16
Gambar 3.

3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)


Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase
akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat
disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk
serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-
gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat
menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et
plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul
miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh
apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang
rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian
menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai
usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

17
Gambar 4

Gambar 4: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

Gambar 5: tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009).

18
Gambar 6: tempat predileksi DA bentuk anak-anak (Judarwanto W., 2009).

3.6 DIAGNOSA
Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan
gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Rajka
sebagaimana tabel berikut :
I. Luasnya lesi kulit
fase anak / dewasa
< 9% luas tubuh =1
9-36% luas tubuh =2
> 36 % luas tubuh =3
fase infantile
< 18% luas tubuh =1
18-54% luas tubuh =2
> 54% luas tubuh =3
II. Perjalanan penyakit
remisi > 3 bulan/ tahun =1
remisi < 3 bulan/ tahun =2
Kambuhan /terus mkenerus = 3

19
III. Intensitas penyakit
gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1
gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) = + 2
gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) = + 3

3.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada
bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Diagnosis Banding lainnya:
 Dermatitis Kontak Alergi
 Dermatophytosis atau dermatophytids
 Sindrom defisiensi imun
 Sindrom Wiskott-Aldrich
 Sindrom Hyper-IgE
 Penyakit Neoplastik
 Langerhans’ cell histiocytosis
 Penyakit Hodgkin
 Dermatitis Numularis
 Dermatitis Seborrheic
 Skabies
Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai
telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan
papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada
telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota
keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari
scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap
pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida.

20
 Dermatitis seboroik infantil
Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset
invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah
terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan.
Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis
atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik
akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian.

 Dermatitis kontak
Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada
kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena
sepatu (Judarwanto W., 2009).

3.8 Terapi10
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan
didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan
pada kontrol jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk
mengatasi kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di
SMF kulit & kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan untuk
menghilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit,
mencari factor pencetus dan mengurangi kekambuhan.secara konvensional
pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
 Menghindari bahan iritan
 Mengeliminasi allergen yang telah terbukti
 Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
 Pemberian pelembab kulit ( Moisturizing)
 Kortikostreroid topikal
 Pemberian antibiotik
 Pemberian antihistamin
 Mengurangi stress
 Dan memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga.
21
a. Edukasi:
Menjelaskan bahwa DA merupakan penyakit yang penyebabnya
multifaktorial, cara perawatan kulit yang benar untuk mencegah
bertambahnya kerusakan sawar kulit dan memperbaiki sawar kulit serta
penting juga untuk mencari faktor pencetus serta menghindari atau
menghilangkannya.

a. Mandi dan emolien


Jangan mandi dengan air terlalu panas, karena dapat menambah rasa
gatal, jangan memakai handuk dengan menggosok pada kulit melainkan
menepuk-nepuknya, hindari sabun/ pembersih kulit yang mengandung
antiseptik, karena dapat mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi
sekunder.
Penggunaan emolien/ pelembab yang adekuat secara teratur sangat
penting untuk mengatasi kekeringan kulit dan memperbaiki integritas
sawar kulit. Bentuk salap dan krim memberi sawar lebih baik dari pada
lotion.
b. Mengatasi gatal
Gatal dapat diatasi dengan pemberian emolien, kompres basah, anti
inflamasi topikal (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan antihistamin
oral
Kompres basah bermanfaat dalam menangani eksema yang berat,
sedangkan pembalut yang mengandung obat misalnya pasta zinc dn
iktamol atau zinc oksida dan ter batubara, yang dipakai diatas steroid
topical bermanfaat untuk mengobati eksema pada ekstremitas
c. Kortikosteroid topikal11
Penggunaan kortikosteorid topikal merupakan standar untuk
mengatasi inflamasi pada dermatitis atopik karena efektif dan mudah
digunakan dan hasilnya lebih baik dibandingkan antiinflamasi topical
lainnya akan tetapi penggunanaa kortikosteroid topikal dalam jangka
waktu lama dapat menyebabkan efek samping lokal (atrofi, striae,

22
hipertrikosis, hipopigmentasi, teleangiektasis, dsb). Maupun sistemik
(supresi aksis hipothalamus- pituitasi- adrenal, gangguan pertumbuhan,
sindrom Chusing).
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum, potensi
kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajad dan luas lesi serta cara
pemakaian.
Prinsip penggunaan:
i. Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang, dapat
dinaikkan bila perlu. Hindari pemakaian dalam jangka waktu lama
ii. Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan permeabilitas tinggi
(muka, interginosa, bayi).
iii. Potensi kuat diginakan bila gatal sangat berat dan atau peradangan/
likenifikasi berat.
iv. Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek (≤ 2
minggu untuk potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah teratasi ganti
dengan potensi lebih rendah/ dengan antiinflamasi nonsteroid untuk
terapi pemeliharaan
v. Inhibitor kalsineurin topikal
Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian menggunakan
kortikosteroid topikal, bekerja dengan menghambat transkripsi
sistem inflamasi dalam sel T yang teraktifasi dan sel radang lainnya
sehingga mencegah pelepasan sitokin oleh sel T helper, serta
meghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu salap
takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1% (untuk usia 3
tahun keatas)

a. Untuk DA yang refrakter


i. Kortikosteroid sistemik,
Prednisolon lebih dianjurkan karena lebih cepat diekskresi oleh
tubuh.

23
ii. Fototerapi
Kombinasi UVA dan UVB atau bersama psoralen
(fotokemoterapi) dapat memperbaiki DA dan menyebabkan remisi
panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan dini dan keganasan
kulit pada pengobatan jangka panjang.
iii. Obat lainnya
Siklosporin, Azatioprin, mofetil mikofenolat, metotreksat,
interferon gamma, lain-lain (antagonis leukotrien, timopentin,
imunoterapi alergen dan probiotik) (Sugito T.L., 2009).

b. Pengobatan sistemik
i. Kortikosteroid
Hanya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut, dalam jangka
pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling atau diturunkan
perlahan (tapering), segera ganti dengan kortikostreroid topikal).
ii. Antihistamin
Digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat,
terutama malam hari, karena itu antihistamin yang dipakai
mempunyai efek sedatif misanyal hidroksisin atau difenhidramin.
iii. Anti infeksi
Untuk pengobatan koloni S.aureus yang belum resisten dapat
diberikan eritromisin, asitromisin, atau klaritromisin, sedangkan
untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin atau generasi
pertama sefalosporin.
iv. Interferon
IFN-γ diketahui menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan
proliferasi sel Th2. Pengobatan dengan IFN-γ rekombinan
menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah
eosinofil total dalam sirkulasi. (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

24
c. Mengindari faktor pencetus / presdiposisi
Bila eksudasi berat atau stadium akut beri kompres terbuka. Bila
dingin dapat diberikan krim kortikosteroid ringan sedang. Pada lesi kronis
dan likenifikasi dapat diberikan salep kortikosteroid kuat.
Penderita DA yang disertai infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika
terhadap kuman stafilokokus dan steroid topikal.

3.9 Komplikasi
 Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di
kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah
mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,
vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
 Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan
disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum
ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin
varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex
terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel
pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian
terjadi penyebaran ke daerah kulit normal.
 Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni
Staphylococcus aureus (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

3.10 Pencegahan
Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI. ASI yang
diberikan secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan memberikan
keuntungan nutrisional dan melindungi anak dari penyakit alergi. ASI
eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk menghindarkan bayi dari
pemberian makanan yang dapat menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi
alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat membantu
melindungi saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi

25
sebagai alergen dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan
menstimulasi pematangan saluran cerna, sehingga akan lebih siap untuk
menerima antigen, mengatur flora normal saluran cerna dan faktor
imunomodulator. Bayi dengan risiko tinggi atopik yang tidak mendapat ASI
eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita dermatitis atopik
(Budiastuti M., 2007).

3.11 Prognosis

Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih buruk


bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada
masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja, sebagian kasus
menetap pada usia diatas 30 tahun.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu:


 DA luas pada anak
 Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial.
 Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung
 Awitan (onset) DA pada usia muda
 Anak tunggal
 Kadar IgE serum sangat tinggi.

26
BAB IV
KESIMPULAN

Dermatitis atopic merupakan suatu penyakit alergi yang sering ditemukan


pada anak-anak, telah banyak dilakukan penelitian yang berusaha mencari
penyebab DA ini adalah genetic, sawar kulit , factor makanan, factor lingkungan
dan autoalergen. .untuk mengatasi atau mengobati penyakit dermatitis atopic ini
juga telah dilakukan penelitian dimana Penatalaksanaan yang efektif dan aman
diperlukan untuk mengatasi dermatitis atopic secara dini serta pemeliharaan
jangka waktu yang lama. Kortikosteroid topical masih merupakan obat standar
untuk mengatasi inflamasi, namun ada kekhawatiran akan efek samping yang
ditimbulkan. Selain itu pelembab dan menghindari factor pencetus juga bagian
terpenting dalam mengatasi penyakit ini. Pada dermatitis atopic juga diperlukan
terapi lainnya seperti fototerapi, kortikosteroid oral dan imunosupresanterutama
pada dermatitis atopic rekalsitran. Keberhasilan penatalaksanaan DA ini
memerlukan pendekatan secara holistic dan sistematik untuk mendapatkan
progonosis yang baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Yeung DYM, Tharp M, Boguniewicz M. Atopic dermatitis. In: Goldsmith LA,


Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s
th
dermatology in general medicine. 8 ed. New York: Mc Graw Hill;
2012.p.165-82. 


2. James WD, Berger TG, Elston DM. Atopic dermatitis, eczema, and non
infectious immuodeficiencies disorder. In: Gabbedy R, Pinczewski S, editors.
th
Andrews’ disease of the skin. 11 ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2011.p.62-70.

3. Pohan SS. Dermatitis atopik: masalah dan penatalaksanaan. Berkala Ilmu


Kesehatan Kulit dan Kelamin 2006;18(8):165-71.

4. Rubel D, Thirumoorty T, Soebaryo RW, Weng SC, Gabriel TM, Villafuerte


LL, et al. Consensus guidelines for the management of atopic dermatitis: an
asia-pacific perspective. J of Dermatol 2013; 40:160-71.

5. Widia Y. Studi retrospektif: Pengobatan oral pada dermatitis atopik. BIKKK


2015; 27(2):130-6.


6. Karen E, Binkley. Role of food Allergi in atopic dermatitis. International


Journal of Dermatolgy;31:611-3.

7. Ring J. Atopic eczema. Dalam Allergi in Practice. Berlin : Spinger-


Verlag,2008; 151-64.

8. Bieber T, Prolss J. Atpic dermatitis. Dalam : Gaspari AA, Tyring SK (Editor)


clinical and basic immunodermatology. St. Lousi : Springer-verlag,2008;193-
206.

9. Akdis CA, Akdis M. Immunological difference between intrinsic and exitrinsic


types of atopic dermatitis. Editoral. Clin exp Allergic 2003;33:1618-21.

10. Ellis c,Luger T. International consencus conference on atopic dermatitis II


(ICCAD II) : clinical update and current treatment strategies. Br J dermatol
2003;148 (suppl 63):3-10

28
29

Anda mungkin juga menyukai