Anda di halaman 1dari 26

i

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
DERMATITIS KONTAK
ALERGI

Laporan Kasus ini diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Disusun oleh :
Hesti Dwi Ningrum Tito
114170027

Telah disetujui
Semarang, September
2019

Pembimbing,

dr. Irma Yasmin, Sp.KK


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikankan laporan kasus yang berjudul
“Dermatitis Kontak Alergi”. Penulisan laporan kasus ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu tugas Pendidikan Profesi Dokter di Rumah Sakit Umum
Daerah Tegurejo Semarang. Kami menyadari sangatlah sulit bagi kami untuk
menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak
penyusunan sampai dengan terselesaikannya laporan kasus ini. Bersama ini kami
menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. dr. Catur Setiya Sulistiyana, M.Med.Ed selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yang telah
memberikan sarana dan prasarana kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik dan lancar.
2. dr. Sri Windayati Hapsoro., Sp.KK, dr. Agnes Sri Widajati., Sp.KK, dr.
Irma Yasmin., Sp.KK selaku pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing kami dalam penyusunan
laporan kasus ini.
3. Orang tua beserta keluarga kami yang senantiasa memberikan do’a,
dukungan moral maupun material.
4. Serta pihak lain yang tidak mungkin kami sebutkan satu-persatu atas
bantuannya secara langsung maupun tidak langsung sehingga laporan
kasus ini dapat terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semarang, September 2019
Penulis
iii

DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Tujuan...............................................................................................................2
1.3 Manfaat.............................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................3
2.1 Identitas Pasien.................................................................................................3
2.2 Anamnesis.........................................................................................................3
2.4 Pemeriksaan Penunjang....................................................................................9
2.5 Resume..............................................................................................................9
2.6 Diagnosis Banding..........................................................................................10
2.7 Usulan Pemeriksaan Penunjang......................................................................10
2.8 Diagnosa Kerja................................................................................................10
2.9 Penatalaksanaan..............................................................................................10
2.10 Prognosis.......................................................................................................11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................12
3.1 Definisi Dermatitis..........................................................................................12
3.2 Epidemiologi Dermatitis.................................................................................12
3.3 Etiologi Dermatitis..........................................................................................12
3.4 Patogenesis Dermatitis....................................................................................13
3.5 Diagnosis Dermatitis.......................................................................................15
3.6 Diagnosa Banding Dermatitis.........................................................................21
3.7 Penatalaksanaan Dermatitis............................................................................22
3.8 Prognosis Dermatitis.......................................................................................24
BAB IV KESIMPULAN.......................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26
4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dermatitis merupakan penyakit yang menimbulkan kelainan klinis


berupa efloresensi polimorfik berupa eritema, edema, papula, vesikel,
skuama, dan likenifikasi. Salah satu jenis dermatitis adalah dermatitis kontak.
Dermatitis kontak adalah respon terhadap pajanan bahan atau substansi
tertentu, dapat berupa alergen maupun bahan iritan. Peradangan akibat
pajanan terhadap alergen disebut dermatitis kontak alergi (DKA).(1) Pajanan
terhadap bahan iritan disebut dermatitis kontak iritan (DKI). Dermatitis
kontak alergi (DKA) merupakan dermatitis yang diperantarai oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) yang disebabkan akibat kontak dengan
bahan alergen. DKA terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi
terhadap suatu bahan penyebab alergen.(2),(4)

Jumlah DKA makin bertambah seiring bertambahnya jumlah produk


yang mengandung bahan kimia. Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah
penderita DKA lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya
sangat peka(hipersensitif). Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari penyakit
yang terkait dengan pekerjaan di Amerika Serikat.(3) Berdasarkan beberapa
studi yang telah dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi
oleh alergen-alergen tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan
(18,8%) ditemukan memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%). Tidak ada
data yang cukup sebenarnya tentang epidemiologi DKA di Indonesia, namun
berdasarkan penelitian pada penata rias di Denpasar, sekitar 27,6% memiliki
efek samping kosmetik, dimana 25,4% dari angka itu menderita DKA.(4)
5

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui gambaran mengenai DKA dan penatalaksananya kepada
penulis dan pembaca.
1.2.2 Untuk memenuhi salah satu tugas penulisan laporan kasus di SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin.

1.3 Manfaat
1.3.1 Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran DKA.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. R
Usia : 23 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status pernikahan : Belummenikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Cilacap
Tanggal pemeriksaan : 05 September
2019

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 05 September 2019
pukul 09.00 WIB di ruang Poli Kulit RSUD Tugurejo Semarang.
1) Keluhan Utama
Bintik-bintik merah pada daerah muka, kedua tangan, pantat,paha, dan
kedua kaki sejak 3 hari yang lalu.
2) Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke Poli Kulit RSUD Tugurejo dengan keluhan
bintik-bintik merah pada daerah muka, kedua tangan, pantat, paha, kedua
kaki dan terasa gatal. Keluhan ini mulai muncul kurang lebih 3 hari yang
lalu saat pasien mulai pindah kantor cabang semarang sejak 1 bulan yang
lalu. Pasien tidak terbiasa dengan kota semarang yang cuacanya panas.
Pasien hidupnya terbiasa di lingkungan rumahnya yang dingin di daerah
dataran tinggi Cilacap. Awalnya pasien mengeluhkan bintik-bintik di
kedua tangan,lalu di muka, kemudian di kedua kaki, akhirnya sekarang
menyebar ke bagian pantat dan kedua paha. Akibat dari bintik-bintik
tersebut pasien merasa gatal dan kulitnya terasa panas. Pasien tidak
mengeluhkan adanya rasa nyeri, perih maupun demam.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan yang sama
seperti ini sebelumnya. Pasien mengaku tidak ada riwayat mengidap
dermatitis atopik, tidak ada riwayat asma, tidak ada alergi terhadap
makanan, maupun alergi terhadap obat-obatan tertentu. Riwayat operasi
juga disangkal oleh pasien.

4) Riwayat Penyakit Keluarga


Pada anggota keluarga didapati keluhan yang sama seperti pasien
yaitu ibu. Ibu pasien mengalami gatal-gatal yang sama seperti yang
dialami pasien apabila terpapar cuaca panas yang lama. Sepengetahuan
pasien, di keluarganya tidak ada riwayat asma, diabetes melitus,
hipertensi, ataupun alergi.

5) Riwayat Sosial
Sehari-hari pasien bekerja di ruangan ber AC. Namun saat berangkat dari kos ke
tempat kerjanya dia selalu menggunakan motor dan tidak pernah memakai
masker maupun alat kelengkapan bermotor

6) Riwayat Pengobatan
2 hari yang lalu, keluhan pasien sudah pernah di obati dengan bedak gatal
(Caladine) dan obat gatal salep (pasien lupa dengan nama obatnya) namun tidak
kunjung membaik

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 05 September 2019 pukul
09.00 WIB di ruang Poli Kulit RSUD Tugurejo Semarang.
a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15:
E4V5M6) Tanda vital
Tekanan Darah : 135/81
Nadi : 95 x /menit, irama reguler, isi cukup
Pernapasan : 20 x / menit
Suhu : 36.5C
b. Status Antropometri
Berat badan : 62 kg
Tinggi badan : 160 cm
c. Status Internis
Kepala Normocephal, tidak ada tanda trauma atau benjolan. Warna
rambut mulai memutih, distribusi merata, tidak mudah dicabut
dan terdapat kelainan kulit di muka
Mata Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks cahaya +/+,
diameter pupil 3 mm/ 3 mm.
Telinga Bentuk normal, sekret-/-, tidak ada kelainan kulit.
Hidung Deviasi septum -/-, sekret -/-, epistaksis -/-.
Mulut Bibir tampak normal, sianosis -, dan mukosa mulut basah.
Leher Tidak tampak adanya luka maupun benjolan, pembesaran
kelenjar getah bening-/- pembesaran kelenjar tiroid-.
Toraks Inspeksi: Dada terlihat simetris kanan dan kiri, pergerakan
dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri, tidak
ada yang tertinggal, tidak terdapat retraksi atau
penggunaan otot pernapasan tambahan. Pulsasi
ichtus kordis tidak terlihat.
Palpasi: Tidak terdapat nyeri tekan, ekspansi pernapasan
simetri kanan dan kiri, fremitus taktil sama kuat kanan
dan kiri. Ichtus kordis teraba.
Perkusi: Sonor pada seluruh lapang paru, batas paru-hepar di
ICS VI, batas kanan jantung di ICS IV linea
parasternalis dextra, apeks jantung di ICS VI linea
aksilaris anterior sinistra, dan pinggang jantung di
ICS IV parasternalis sinistra.
Auskultasi: Paru : Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-.
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, Murmur (-).
Gallop (-).
Abdomen Inspeksi: Supel, turgor baik, dinding abdomen simetris, tidak
terlihat penonjolan massa
Auskultasi : Bising Usus normal 12x/menit
Perkusi : Timpani seluruh lapang perut, asites (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak teraba.

Ekstremitas Akral hangat +/+, edema -/- dan terdapat kelainan kulit pada
tangan dan kaki

d. Status Venerologi
Tidak dilakukan
e. Status Dermatologi:
1. Lokasi : Ekstremitas superior sinistra dan dekstra (regio brachialis)
UKK : Inspeksi :

Tampak Eritema, tidak berbatas tegas, tidak ada


skuama, tampak bekas garukan (urtikaria)

Palpasi :

Permukaan halus, nyeri tekan (-), nodul (-), xerosis


(-)

Gambar 1. Regio brachialis


2. Lokasi : Regio ekstremitas inferior (kaki)
UKK : Inspeksi : makula eritema, bentuk bulat, diameter 1 cm,
jumlah multiple, batas tegas, distribusi tersebar
hingga ke daerah paha dan pantat
Palpasi : nyeri tekan (-), udem (-), nodul (-)

Gambar 2. Regio ekstremitas inferior (kaki)

3. Lokasi : Regio Femoralis Anterior


UKK : Inspeksi: makula Eritema, bentuk bulat, diameter 1 cm,
jumlah multiple, batas tegas, distribusi tersebar
hingga ke daerah pantat dan kaki

Palpasi : nyeri tekan (-), udem (-), nodul (-)


Gambar 3. Regio femoralis anterior
4. Inspeksi
Lokasi : Regio gluteus
UKK : makula eritema bentuk bulat, diameter 1 cm, jumlah
multiple, batas tegas, distribusi tersebar hingga ke
daerah paha dan kaki
Palpasi : nyeri tekan (-), udem (-), nodul (-)

Gambar 4. Regio gluteus


2.4 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

2.5 Resume
Pasien datang ke Poli Kulit RSUD Tugurejo dengan keluhan bintik-
bintik merah pada daerah muka, kedua tangan, pantat, paha, kedua kaki dan
terasa gatal. Keluhan ini mulai muncul kurang lebih 3 hari yang lalu saat
pasien mulai pindah kantor cabang semarang sejak 1 bulan yang lalu. Pasien
tidak terbiasa dengan kota semarang yang cuacanya panas. Pasien hidupnya
terbiasa di lingkungan rumahnya yang dingin di daerah dataran tinggi
Cilacap. Awalnya pasien mengeluhkan bintik-bintik di kedua tangan,lalu di
muka, kemudian di kedua kaki, akhirnya sekarang menyebar ke bagian pantat
dan kedua paha. Akibat dari bercak-bercak tersebut pasien merasa gatal dan
kulitnya terasa panas. Pasien tidak mengeluhkan adanya rasa nyeri, perih
maupun demam.
Pemeriksaan fisik status generalis dalam batas normal, pada status
dermatologis didapatkan :

1) Regio brachialis : Tampak Eritema, tidak berbatas tegas, tidak ada


skuama, tampak bekas garukan (urtikaria). Permukaan halus, nyeri tekan
(-), nodul (-), xerosis (-)

2) Regio ekstremitas inferior : makula eritema, bentuk bulat, diameter


1 cm, jumlah multiple, batas tegas, distribusi tersebar hingga ke daerah
paha dan pantat. Nyeri tekan (-), udem (-), nodul (-)
3) Regio femoralis anterior : makula eritema bentuk bulat, diameter 1 cm, jumlah
multiple, batas tegas, distribusi tersebar hingga ke daerah pantat dan kaki

4) Regio gluteus : makula eritema bentuk bulat, diameter 1 cm, jumlah


multiple, batas tegas, distribusi tersebar hingga ke daerah pantat dan paha
2.6 Diagnosis Banding
1. Dermatitis Kontak Alergi
2. Dermatitis Kontak Iritan
3. Dermatitis Atopik

2.7 Usulan Pemeriksaan Penunjang


1) Prick test
2) Patch test
3) RAST
4) Skin test
5) Test provokasi
2.8 Diagnosa Kerja
Dermatitis Kontak Alergi
2.9 Penatalaksanaan
Medikamentosa
a. Kortikosteroid
1. Injeksi Methylprednisolon125 mg IM
b. Bedak gatal

Non medikamentosa
a) Hentikan atau hindari kontak ulang dengan alergen penyebab
b) Anjurkan penggunaan alat pelindung diri (APD).
2.10 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Dermatitis Kontak Alergi merupakan dermatitis yang diperantarai oleh
reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) yang disebabkan akibat kontak
dengan bahan alergen. DKA terjadi pada seseorang yang telah mengalami
sensitisasi terhadap suatu bahan penyebab alergen.(1)
3.2 Epidemiologi Dermatitis Kontak Alergi
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan (DKI), jumlah penderita
DKA lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya
sangat peka (hipersensitif). Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI
makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang
mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun informasi
mengenai prevalensi dan insidensi DKA di masyarakat sangat sedikit,
sehingga berapa angka yang mendekati kebenaran belum didapat.(2)
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan
DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan
bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup tinggi yaitu
berkisar antara 50 dan 60 persen.(3) Sedangkan satu dari penelitian ditemukan
frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering daripada DKA akibat
kerja.(4)
3.3 Etiologi DKA
Etiologi penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum
diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus
stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup).
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi
sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama
pajanan, oklusi, suhu dan kelembapan lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga
faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum
korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang
menderita sakit, terpajan sinar matahari).(1)
3.4 Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respons
imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi
imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi
melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang
telah mengalami sensitisasi dapat menderita DKA.(5)

a. Fase sensitisasi

Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum


akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan
diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta
dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap.
Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya
berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi
sel T. Tetapi, setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga
mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan
mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel-T.
Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan
meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1) yang akan
mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel-T.
Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan
meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi
molekul permukaan sel termasuk MHC kelas 1 dan II, ICAM-1,
LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh
keratinosit yaitu TNF-α, yang dapat menagktivasi sel-T, makrofag
dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adhesi sel dan
pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II.

TNF-α menekan produksi E-cadherin yang meningkat sel Langerhans


pada epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga
memperlancar sel Langerhans melewati membran basalis bermigrasi
ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam
kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan kompleks HLA-
DR-antigen kepada sel-T penolong spesifik, yaitu yang
mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
Langerhans, dan kompleks reseptor sel T-CD3 yang mengenali
antigen yang telah diproses. Ada atau tidak adanya sel-T spesifik ini
ditentukan secara genetik.

Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk


mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 (IL-2R). Sitokin ini
akan menstimulasi proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih
banyak. Turunan sel ini yaitu sel-T memori (sel-T teraktivasi) akan
meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh.
Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu.

Menurut konsep ‘danger’ signal (sinyal bahaya)bahwa sinyal


antigenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi,
sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi. Dengan
demikian terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal
iritan yang dapat berasal dari alergen kontak sendiri, dari ambang
rangsang yang rendah terhadap respons iritan dari bahan kimia
inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya.
Jadi sinyal ’bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari
sinyal antigenik sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya.
Suatu tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi
sensitisasi.(1)

b. Fase elisitasi

Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada


pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten
akan ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi
menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di
permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen akan
dipresentasikan kepada sel-T yang telah tersensitisasi (sel-T memori)
baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses
aktivasi. Di kulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel-
sel lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T
untuk memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang akan
menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel-T di kulit. Sel-T
teraktivasi juga mengeluarkan IFN-γ yang akan mengaktifkan
keratinosit mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. adanya ICAM-1
memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel-T
CD4+, dan juga memungkinkan presentasi antigen kepada sel
tersebut. HLA-DR juga dapat merupakan target sel-T sitotoksik pada
keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin antara IL-
1, IL-6, TNF- α, dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel-T.
IL-1 dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan eikosanoid. Sitokin
dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel
mast yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan
antara lain histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan
PGD2, dan leukotriene B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari
sel mast (prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit
menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan permeabilitas
sehingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi
ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu, faktor kemotaktik dan
eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain dari
dalam pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian
tersebut akan menimbulkan respons klinik DKA. Fase elisitasi
umumnya berlangsung antara 24-48 jam. (1)
3.5 Diagnosis
1. Gambaran Klinis

Penderita pada umumnya mengeluh gatal yang lebih dominan. Kelainan kulit
bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak
eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula.
Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang
kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur,
batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan
kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.

Berbagai lokalisasi terjadinya dermatitis kontak :

Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di
tangan, misalnya pada ibu rumah tangga. Demikian pula kebanyakan dermatitis
kontak akibat kerja ditemukan di tangan. Sebagian besar memang oleh karena
bahan iritan. Bahan penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah
sayuran/tanaman, semen, dan pestisida.
Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di aksila umumnya oleh
bahan pengharum.

Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,
obat topikal, alergen yang di udara, nekel (tangkai kaca mata). Bila di bibir atau
sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut,
eyeshadows, dan obat mata.

Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada cuping telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat
rambut, hearing-aids.

Leher. Penyebanya kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara, zat warna pakaian.

Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, dan detergen.

Genitalia. Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut


wanita, dan alergen yang ada di tangan.

Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh
pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal (misalnya
anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, dan sepatu.

DIAGNOSIS

Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan.
Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,
likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing
celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang
pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit
seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di
pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena
sebab-sebab endogen.

DIAGNOSIS BANDING

Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau
psoriasis. Diagnosis banding yang terutama ialah dengan dermatitus kontak iritan. Dalam
keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah
dermatitis tersebut karena kontak alergi.

Untuk mengetahui seseorang apakah menderita penyakit alergi dapat kita periksa kadar Ig E
dalam darah, maka nilainya lebih besar dari nilai normal (0,1-0,4 ug/ml dalam serum) atau
ambang batas tinggi. Lalu pasien tersebut harus melakukan tes alergi untuk mengetahui
bahan/zat apa yang menyebabkan penyakit alergi (alergen).
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :

1. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).


Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup
dan makanan, misalnya  debu, tungau debu, serpih
kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini
dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu
alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan
menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2
mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit.
Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap
alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
o Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
o Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
Biaya untuk test ini untuk mendeteksi 33 alergen berkisar antara Rp. 350.000 -
Rp. 600.000 tergantung instansi dan peralatan yang dipakai.
2. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan
kimia, pada penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini
dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat
dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan
kimia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan
melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
o Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi,
posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
o 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau
anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
Biaya untuk test ini berkisar antara Rp. 350.000
3. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini
memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses
dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.
Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-
obatan.
Biaya untuk test ini berkisar antara Rp. 200.000 - Rp. 300.000 / alergen.
4. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan
di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes di lapisan bawah
kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol,
merah, gatal.
5. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan,
dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup
dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek
alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman
untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi
bronkial dan tes provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE
spesifik metode RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo Control)
atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan secara
bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 – 30 menit.
Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat
lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi alergi
tipe lambat.

Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes harus benar,
dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.

PENGOBATAN

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan
terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang
timbul.

Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada
dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau vesikel, serta
eksufatif (madidans), misalnya prednison 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda
setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.

Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah mereda (setelah
mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal.

PROGNOSIS

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat
disingkirkan atau dihindari dengan menggunakan alat pelindung yang baik. Prognosis kurang
baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis
atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak
mungkin dihindari.
BAB IV
KESIMPULA
N
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI.
Indonesia : Jakarta
2. PERIDOSKI. 2011. Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.
Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI
3. Fitzpatrick, T. B., Jonhson, R. A., Polano, M.K., 1992. Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology : Common and Serious Disease Second Edition. United States
of America : MC.Graw-Hill
4. Daili, Emmy S. S., Menaldi, Sri L., Wisnu, Made. 2005. Penyakit Kulit Yang
Umum di Indonesia : Jakarta Pusata : PT Medical Multimedia Indonesia
5. Siregar, R. dkk. 2005. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai