Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

SIFILIS SEKUNDER

Disusun oleh:

I Komang Alit Widyantara (2202612123)

Pembimbing:

dr. Gusti Agung Ayu Sriyani, M.Biomed, Sp.KK

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUD BALI MANDARA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
melalui anugerah-Nya, laporan kasus yang berjudul “Sifilis Sekunder” ini dapat
terselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Jejaring RSUD Bali Mandara.
Kelancaran penyusunan laporan kasus ini tidak luput dari bimbingan,
petunjuk, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
a. Dr. dr. IGN Darmaputra, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV selaku Ketua
SMF/Bagian Dermatologi dan Venereologi FK Universitas Udayana, RSUP
Prof. I.G.N.G. Ngoerah, Denpasar
b. Dr. dr. I.G.A.A. Elis Indira, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV selaku
Koordinator Pendidikan Dokter SMF Kulit dan Kelamin RSUP Prof.
I.G.N.G. Ngoerah, Denpasar
c. dr. Gusti Agung Ayu Sriyani, M.Biomed, Sp.KK selaku pembimbing kami
yang senantiasa membantu dan mendampingi dalam penyusunan laporan
kasus ini
d. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat dibutuhkan.
Penulis berharap laporan kasus ini dapat berkontribusi dalam bidang ilmiah dan
dapat menyelesaikan masalah kesehatan serta memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, 3 Mei 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2
2.1 Definisi ........................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ................................................................................... 2
2.3. Etiologi dan Patogenesis ................................................................. 2
2.4 Manifestasi Klinis ........................................................................... 3
2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding .................................................... 4
2.6 Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 5
2.7 Penatalaksanaan .............................................................................. 5
2.8 Komplikasi ...................................................................................... 6
2.9 Pencegahan ...................................................................................... 6
2.10 Prognosis ........................................................................................ 7

BAB III LAPORAN KASUS ....................................................................... 8


3.1 Identitas Pasien .............................................................................. 8
3.2 Anamnesis........................................................................................ 8
3.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................ 9
3.4 Diagnosis Banding ........................................................................... 11
3.5 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 11
3.6 Diagnosis Kerja ................................................................................ 11
3.7 Penatalaksanaan ............................................................................... 11
3.8 KIE .................................................................................................. 11
3.9 Prognosis ......................................................................................... 12

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................. 13


BAB V SIMPULAN ..................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sifilis merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Perjalanan penyakit dari sifilis
bersifat kronik, dapat menyerang hampir seluruh organ tubuh, serta mampu
menyerupai berbagai penyakit (great imitator disease) namun asimtomatik pada
masa laten.1,2 Sifilis dapat ditularkan dari ibu ke janin yang menyebabkan sifilis
kongenital. Data prevalensi sifilis pada beberapa daerah di Indonesia masih cukup
tinggi seperti Kota Bandung sebesar 25,2%, Surabaya 28,8%, dan Jakarta sebanyak
25,2%.3 Kasus sifilis paling banyak ditemukan pada penderita berusia 15-49 tahun,
didominasi oleh laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL).2
Penelitian disalah satu praktik klinis di Ubud, Bali melaporkan bahwa prevalensi
IMS paling tinggi pada kalangan LSL (56,8), dengan sifilis sebesar 24,4%.4
Berdasarkan gejala dan waktu sejak infeksi awal, sifilis dibedakan menjadi
beberapa stadium yaitu sifilis kongenital pada bayi dan sifilis didapat yang terdiri
dari sifilis primer, sekunder, tersier (sifilis kardiovaskular, neurosifilis), serta laten
yang berada diantara stadium sekunder dan tersier. 1 Penentuan stadium tersebut
dapat menilai sejauh mana infeksi T.pallidum serta untuk menentukan durasi terapi.
Sifilis primer ditandai dengan ulkus atau chancre yang berulserasi dibagian tengah.
Stadium sekunder terjadi 3-12 minggu setelah infeksi primer, dengan lesi
polimorfik, tidak gatal, serta ada gejala sistemik. Sifilis laten dini terjadi <1 tahun
pasca infeksi sedangkan Sifilis laten lanjut terjadi >1 tahun.1,2
Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, namun apabila tidak
mendapat pengobatan adekuat dapat menjadi infeksi sistemik dan berlanjut ke fase
laten. Keberhasilan pengobatan ditandai dengan penurunan titer empat kali lipat
pada tes VDRL dan RPR dalam 6-12 bulan sesudah terapi untuk sifilis primer dan
sekunder.1 Pada sifilis sekunder, tes VDRL dan RPR umumnya menjadi nonreaktif
12-24 bulan setelah terapi.2 Pada laporan kasus ini, penulis akan membahas lebih
rinci mengenai sifilis sekunder.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sifilis merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Perjalanan penyakit dari sifilis
bersifat kronik, dapat menyerang hampir seluruh organ tubuh, serta mampu
menyerupai berbagai penyakit (great imitator disease) namun asimtomatik pada
masa laten.1,2 Sifilis dapat ditularkan dari ibu ke janin yang menyebabkan sifilis
kongenital.

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan data Global AIDS Response Progress Reporting (GARPR),
kasus sifilis paling banyak ditemukan pada penderita berusia 15-49 tahun sebesar
5,6 juta, didominasi oleh laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL).2
Tercatat pada tahun 2017 kasus sifilis primer dan sekunder sebanyak 30.644 kasus,
meningkat 76% dibanding tahun 2013.5 Data prevalensi sifilis pada beberapa
daerah di Indonesia masih cukup tinggi seperti Kota Bandung sebesar 25,2%,
Surabaya 28,8%, dan Jakarta sebanyak 25,2%. 3 Penelitian disalah satu praktik
klinis di Ubud, Bali melaporkan bahwa prevalensi IMS paling tinggi pada kalangan
LSL (56,8), dengan sifilis sebesar 24,4%. 4
Faktor risiko yang mempengaruhi penularan sifilis adalah praktik seks anal
tanpa kondom pada LSL, banyak pasangan seks (multipartner), infeksi menular
seksual sebelumnya seperti HIV. Seks anal tanpa proteksi meningkatkan risiko
penularan karena dinding anus lebih mudah robek, sehingga mempermudah kontak
langsung dengan cairan tubuh dan memungkinkan masuknya virus HIV serta agen
penyebab infeksi lain ke dalam aliran darah.2

2.3 Etiologi dan Patogenesis


Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum, bakteri berbentuk spiral
teratur dengan panjang antara 6-15 um. Bakteri tersebut berkembang biak dengan
pembelahan melintang dan umumnya tidak dapat dilakukan diluar tubuh host. Pada
sifilis yang didapat, T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau
selaput lendir, biasanya saat hubungan seksual. Bakteri tersebut kemudian

2
3

berkembang biak menyebabkan terbentuknya infiltrate sel limfosit dan plasma.


Pembuluh darah kecil akan berproliferasi dikelilingi oleh sel radang dan T.
pallidum. Enarteritis pada pembuluh darah kecil akan menyebabkan perubahan
hipertrofik endothelium sehingga timbul enarteritis obliterans yang menghasilkan
erosi sebagai gambaran klinis stadium primer akibat kehilangan perdarahan. 6
Bakteri akan mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan
berkembang. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai stadium sekunder
yang terjadi 3-12 minggu pasca stadium primer.6 Pada stadium laten yang
berlangsung dalam hitungan tahun, bakteri T. pallidum dalam keadaan dorman. T.
pallidum mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pada waktu dini, namun
kerusakan terjadi secara perlahan sehingga membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk timbul gejala klinis.6

2.4 Manifestasi Klinis


Sifilis dibedakan menjadi beberapa stadium yaitu sifilis kongenital pada
bayi dan sifilis didapat yang terdiri dari sifilis primer, sekunder, tersier (sifilis
kardiovaskular, neurosifilis), serta laten yang berada diantara stadium sekunder dan
tersier.1 Sifilis primer terjadi setelah masa inkubasi 10-90 hari, ditandai dengan
muncul makula merah di lokasi inokulasi T. pallidum yang kemudian menjadi
papul, biasanya soliter. Papul kemudian menjadi ulkus atau chancre dengan dasar
bersih, terdapat indurasi dan tidak nyeri yang disebut ulkus durum. Hal tersebut
dinamakan afek primer dan pada laki-laki sering di penis (sulkus koronarius dan
glans penis) serta skrotum, sedangkan wanita pada vulva, serviks, fourchette, atau
perineum. Ulkus juga dapat terjadi di ekstragenital. Lesi chancre akan sembuh
dengan sendirinya tanpa pengobatan dalam waktu 3-6 minggu.1,6,7
Pada stadium sekunder yang terjadi setelah 3-12 minggu setelah sifilis
primer, akan muncul manifestasi gejala sistemik seperti malaise, demam subfebril,
nyeri tenggorokan, atau mialgia.1 Pada stadium ini juga ditemukan lesi polimorfik
(makula, eritema, makulopapula, likenoid, kandiloma lata, dan patchy alopesia)
yang tidak gatal. Temuan awal berupa makula copper-colored berukuran 0,5-1,5
cm (roseola sifilitika) biasanya pada tubuh dan ekstremitas (telapak tangan dan
kaki) serta folikel rambut yang menyebabkan alopesia.1 Lesi kulit dapat menye-
4

rupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut great imitator. Lesi sekunder
umumnya disertai dengan kondiloma lata yang dapat terlihat pada mukosa genital.
Gejala yang penting pada sifilis sekunder adalah lesi yang tidak gatal, dan sering
disertai pembesaran kelenjar getah bening generalisata yang tidak nyeri. 6,7
Sifilis laten merupakan sifilis dengan hasil serologi reaktif namun tanpa
gejala klinis infeksi treponemal baik sifilis primer, sekunder, maupun tersier. Sifilis
laten biasanya berkembang dari sifilis sekunder yang sembuh spontan 3-12 minggu
setelah infeksi. Stadium ini dibagi menjadi 2, yaitu laten dini (terjadi < 1 tahun) dan
laten lanjut (> 1 tahun / durasi tidak diketahui). Diagnosis sifilis laten membutuhkan
pemeriksaan CSS untuk menyingkirkan neurosifilis dini.1

2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis sifilis termasuk sifilis sekunder ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
serologis. Anamnesis dilakukan sesuai dengan fundamental four sacred seven dan
hal penting yang perlu ditanyakan pada pasien IMS adalah riwayat seksual pasien.
Kemudian pemeriksaan fisik dimulai dari pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan
umum, pemeriksaan generalis head to toe, serta pemeriksaan lokalis kulit dengan
inspeksi dan palpasi. Diagnosis sifilis harus selalu didukung hasil laboratorium
yang sesuai dengan tetap mengacu hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan serologi sering untuk diagnosis, skrining, dan memantau respons
terapi.8
Sifilis sekunder dapat menyerupai berbagai penyakit kulit. Diagnosis
banding dari sifilis sekunder dapat mencakup erupsi obat alergi, pitiriasis rosea,
dermatitis seboroik, kondiloma akuminata, dan alopesia areata. Salah satu kelainan
kulit pada erupsi obat alergi berbentuk eritema sehingga mirip roseola dengan
keluhan gatal, sedangkan pada sifilis sekunder tidak gatal. Saat anamnesis diketahui
ada alergi karena obat.6 Pitiriasis rosea diawali dengan timbulnya makula/plak
soliter berwarna merah muda dengan skuama halus, namun tidak disertai
limfadenitis generalisata seperti pada sifilis sekunder. Kondiloma akuminata mirip
dengan kondiloma lata, keduanya mempunyai bentuk papul, namun perbedaannya
pada kondiloma akuminata permukaannya runcing-runcing sedangkan kondiloma
lata permukaannya datar serta eksudatif.6
5

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologi
yang terdiri dari pemeriksaan non-treponema dan treponema. Pemeriksaan serologi
non-treponema terdiri dari Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) atau
Rapid Plasma Reagin (RPR) yang digunakan untuk memantau respon terapi karena
berkorelasi dengan aktivitas penyakit dan hasilnya dilaporkan secara kualitatif
(reaktif/nonreaktif) dan kuantitatif dalam bentuk titer, misalnya 1:2, 1:4, 1:8, 1:16,
dan seterusnya.8 Pemeriksaan memberikan hasil reaktif pada 4-5 minggu setelah
infeksi. Hasil pemeriksaan VDRL reaktif dapat bermakna infeksi baru atau lama
dengan treponema patogen dan hasilnya harus digabung dengan pemeriksaan
treponema reaktif lainnya. Tes serologis nontreponemal harus diulang pada 1, 3, 6,
12, dan 24 bulan sesudah pengobatan.1,8
Adapun pemeriksaan treponema digunakan untuk mengukur kadar antibodi
spesifik yang timbul sebagai respons terhadap komponen antigen T. pallidum
dengan indikasi utama adalah mengonfirmasi hasil positif pemeriksaan
nontreponema. Contoh pemeriksaan yang sering dilakukan sebagai uji konfirmasi
sifilis adalah Treponema Pallidum Haemagglutination Assay (TPHA)8, karena
memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi, namun tidak dapat digunakan
sebagai monitoring terapi. Hal ini karena TPHA dapat mendeteksi antibodi dalam
jumlah kecil dan antibodi yang muncul akan menetap seumur hidup sehingga akan
tetap reaktif walaupun terapi sifilis telah berhasil.8,9

2.7 Penatalaksanaan
Terapi lini pertama untuk semua semua stadium sifilis adalah penisilin
parenteral. Obat yang digunakan untuk sifilis sekunder yaitu Benzatin Benzil
Penisilin G (BBPG) dengan dosis 2,4 juta unit dosis tunggal, diinjeksikan secara
intramuskular pada gluteus maximus.1,7 Benzatin benzil penisilin G bekerja
menghambat sintesis dinding sel bakteri melalui penghambatan transpeptidase
yang akan menghentikan pertumbuhan dan kembang biak bakteri. Obat ini
menghasilkan tingkat kesembuhan tinggi dan tingkat terapi ulang rendah dengan
tingkat kegagalan terapi BBPG sekitar 5%.
6

Efek samping BBPG antara lain gatal pada kulit, yang bisa menyebabkan
erupsi makulopapular, urtikaria, demam, edema, nyeri sendi, dan reaksi Jarisch-
Herxheimer.1 Berdasarkan Panduan Praktik Klinis (PPK) PERDOSKI tahun 2021,
apabila pasien alergi terhadap penisilin atau menolak injeksi maka diberikan terapi
alternatif yaitu doksisiklin oral dengan dosis 2 x 100 mg selama 14 hari untuk
stadium primer dan sekunder.7 Kemenkes RI merekomendasikan pemberian
Doksisiklin oral 2x 100 mg selama 30 hari.1 Doksisiklin lebih mudah didapat mudah
digunakan karena sediaan oral dibandingkan penisilin, namun penggunaan selama
14 hari membuat doksisiklin rawan gagal jika kepatuhan pengobatan tidak terjaga,
dibandingkan penisilin yang dosis tunggal. 1
Dosisiklin kontraindikasi pada ibu hamil dan memiliki efek samping
fotosensitif dan gangguan pencernaan. Untuk ibu hamil yang alergi penisilin,
diberikan alternatif yaitu Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari. 1 Setelah
mendapatkan terapi, pasien wajib mengikuti evaluasi secara klinis dan serologi
pada bulan ke-1, 3, 6, dan 12, 18, dan 24.6 Keberhasilan pengobatan ditandai dengan
penurunan titer empat kali lipat pada tes VDRL dan RPR dalam 6-12 bulan sesudah
terapi untuk sifilis primer dan sekunder.1 Pada sifilis sekunder, tes VDRL dan RPR
umumnya menjadi nonreaktif 12-24 bulan setelah terapi.

2.8 Komplikasi
Pengobatan sifilis menimbulkan adanya komplikasi terapi yaitu reaksi
Jarisch-Herxheimer. Reaksi ini merupakan sindrom yang timbul 24 jam setelah
terapi. Manifestasinya seperti demam dengan puncak 6-8 jam setelah onset bisanya
sekitar 39 oC, ruam, malaise, sakit kepala, lesi mukokutan, limfadenopati yang nyeri
pada penekanan, nyeri tenggorokan.10 Reaksi Jarisch-Herxheimer terjadi karena
adanya sitokin yang dicetuskan oleh pelepasan lipoprotein, sitokin, dan kompleks
imun T. pallidum yang mati, sehingga terapi penisilin tidak perlu dihentikan. Pada
pasien wanita hamil, reaksi Jarisch-Herxheimer dapat menyebabkan fetal distresss
atau lahir prematur.10

2.9 Prognosis
Sifilis memberikan hasil yang baik jika pasien menerima penanganan
dengan baik pada awal terinfeksi. Pada sifilis dini yang telah mendapat pengobatan,
7

angka kesembuhan mencapai 95% dengan keluhan kulit akan sembuh dalam 7-14
hari. Jika sifilis tidak diobati, maka hampir seperempat pasien akan mengalami
kekambuhan klinis yang terjadi 1 tahun setelah terapi. Lima persen pasien akan
berlanjut ke sifilis tersier dan 10% mengalami sifilis kardiovaskular. 6

2.10 Pencegahan
Praktik seks yang aman sangat penting untuk mencegah penularan sifilis.
Pencegahan tersebut seperti tidak melakukan hubungan seksual yang berisiko,
menggunakan kondom apabila melakukan hubungan seksual dengan yang bukan
pasangannya, serta bagi individu LSL yang aktif secara seksual harus melakukan
pemeriksaan atau screening terkait infeksi menular seksual termasuk pada
pasangan seksualnya setidaknya setiap tahun atau setiap 3-6 bulan jika risiko
meningkat (memiliki banyak pasangan / mutipartner).
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : PGAW
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 44 tahun
Alamat : Jl. Gunung Welirang Luhur Sandat 21
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Status Pernikahan : Belum menikah
Agama : Hindu
Tanggal Pemeriksaan : 3 Mei 2023

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Bintik kemerahan pada kepala penis

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien laki-laki berusia 44 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Bali Mandara pada tanggal 3 Mei 2023 dengan keluhan muncul bintik
kemerahan pada kepala penis. Keluhan mulai dirasakan sejak 1 bulan yang
lalu. Pasien mengatakan awalnya hanya muncul satu bintik pada ujung kepala
penis dan menghilang dengan sendirinya, namun sejak 1 minggu bintik muncul
kembali dan bertambah banyak. Keluhan dikatakan tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari. Pasien mengatakan tidak ada faktor yang memperingan
maupun memperburuk keluhan.
Keluhan lain seperti gatal, nyeri, dan sulit berkemih disangkal oleh pasien,
namun dikatakan terdapat demam dan batuk beberapa hari sebelum
pemeriksaan. Riwayat luka pada kelamin tidak diketahui oleh pasien. Pasien
menyangkal adanya penurunan berat badan, nyeri kepala, dan nyeri sendi.
Pasien 1 minggu sebelumnya berobat ke dokter Sp.KK dan dikatakan terdapat
riwayat ruam bentuk bulat-bulat kecil yang tidak gatal di bawah pusar (roseola

8
9

sifilitika), namun saat pemeriksaan di RS Bali Mandara ruam sudah tidak


ditemukan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan yang serupa
sebelumnya. Riwayat penyakit kelamin seperti kutil dan keluar nanah saat
berkemih disangkal, namun pasien positif HIV. Riwayat penyakit seperti
tekanan darah tinggi, diabetes melitus, penyakit jantung dan ginjal disangkal
oleh pasien.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat keluhan serupa dalam keluarga pasien disangkal. Riwayat penyakit
kulit dan kelamin lainnya, tekanan darah tinggi, diabetes melitus, dan penyakit
jantung pada keluarga pasien disangkal.

Riwayat Pengobatan dan Alergi


Pasien sempat mengonsumsi obat Demacolin untuk mengatasi keluhan
demam dan batuk. Sejak tahun 2015 hingga saat ini, pasien rutin mengonsumsi
ARV yang diperoleh dari RS Wangaya. Riwayat penggunaan obat tradisional
disangkal. Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi baik terhadap
makanan ataupun obat-obatan.

Riwayat Sosial dan Seksual


Pasien merupakan karyawan swasta yang masih aktif bekerja. Pasien
mengatakan aktif secara seksual dan memiliki pasangan berjenis kelamin laki-
laki (LSL). Pasien dengan pasangannya sudah menjalin hubungan selama 12
tahun namun pasien sering berganti-ganti pasangan (multipartner). Riwayat
merokok dan minum alkohol disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Tekanan Darah : 110/81 mmHg
10

Nadi : 105 x/menit


Respirasi : 20 x/menit
Temperatur Aksila : 36 oC
VAS : 0/10
Berat Badan : 58 kg
Tinggi Badan : 165 cm
BMI : 21,3 kg/m2 (Normal)

Status General
Kepala : Normocephali
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+, isokor
THT : Tonsil T1/T1, faring hiperemi (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorak : Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pul: ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
Abdomen : Distensi (-), BU (+) normal
Ekstremitas : Edema (-/-), hangat (+/+)

Status Dermatologis

Lokasi : Glans penis


Efloresensi : Papul eritema multipel, berbentuk bulat, berbatas
tegas, berukuran 0,2 cm hingga 0,4 cm, konfigurasi
tersebar, distribusi terlokalisir pada glans penis.
Stigmata Atopi : Tidak ada
11

Mukosa : Hiperemis (-)


Rambut : Rambut rontok (-), warna hitam
Kuku : Pitting nail (-), rapuh (-)
Kelenjar limfe : Tidak terdapat pembesaran KGB
Saraf : Penebalan saraf (-), parastesi (-)

3.4 Diagnosis Banding


1. Sifilis Sekunder
2. Herpes genitalis

3.5 Usulan Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan antibody spesifik : tes TPHA (Treponema Pallidum
Haemaglutination Assay)
2. Pemeriksaan antibodi non spesifik : tes VDRL (Veneral Disease Research
Laboratory) atau tes RPR (Rapid Plasma Reagin)

3.6 Diagnosis Kerja


Sifilis Sekunder

3.7 Penatalaksanaan
Benzatin benzil penisilin G 2,4 juta IU dosis tunggal injeksi IM pada gluteus
maximus atau 1,2 juta IU pada gluteus maximus dextra et sinistra.

3.8 KIE
1. Memberikan penjelasan mengenai penyakit sifilis, cara penularan, dan
pencegahan penularan ke pasangan seksualnya (tidak melakukan hubungan
seksual selama pengobatan).
2. Memberikan penjelasan mengenai terapi yang diberikan, efek samping yang
mungkin timbul, dan tes alergi sebelum pemberian obat.
3. Memberikan penjelasan kepada pasien yang sudah mendapatkan terapi
bahwa akan dievaluasi secara klinis dan serologis dalam 1 tahun pertama
(bulan ke-1,3,6, dan 12) sehingga wajib datang sesuai jadwal.
4. Menyarankan kepada pasien untuk melakukan pemeriksaan infeksi menular
seksual pada pasangan seksual pasien.
12

3.9 Prognosis
● Ad Vitam : Bonam
● Ad Functionam : Dubia ad Bonam
● Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
● Ad Kosmetikam : Dubia ad Bonam

'
BAB IV
PEMBAHASAN

Sifilis merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Perjalanan penyakit dari sifilis
bersifat kronik, serta mampu menyerupai berbagai penyakit (great imitator
disease). Pada stadium sekunder yang terjadi setelah 6-8 minggu sejak sifilis
primer, akan muncul manifestasi gejala sistemik seperti malaise, demam subfebril,
nyeri tenggorokan, atau mialgia. Ditemukan lesi polimorfik yang tidak gatal dengan
temuan awal berupa makula copper-colored berukuran 0,5-1,5 cm (roseola
sifilitika) biasanya pada tubuh dan ekstremitas.
Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan muncul bintik kemerahan
pada kepala penis dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya hanya satu bintik
pada ujung kepala penis dan menghilang dengan sendirinya, namun muncul
kembali dan bertambah banyak sejak 1 minggu. Bintik dikatakan tidak gatal namun
terdapat demam dan batuk beberapa hari sebelum pemeriksaan. Pasien 1 minggu
sebelumnya berobat ke dokter Sp.KK dan dikatakan terdapat riwayat ruam bentuk
bulat-bulat kecil yang tidak gatal di bawah pusar yang dikatakan sebagai roseola
sifilitika, namun saat pemeriksaan di RS Bali Mandara ruam sudah tidak
ditemukan.
Faktor risiko yang mempengaruhi penularan sifilis adalah praktik seks anal
tanpa kondom pada LSL, banyak pasangan seks (multipartner), dan infeksi menular
seksual sebelumnya seperti HIV. Pada kasus, pasien rutin mengonsumsi ARV yang
diperoleh dari RS Wangaya sejak tahun 2015 hingga saat ini. Selain itu, pasien juga
mengatakan aktif secara seksual dan memiliki pasangan berjenis kelamin laki-laki
(LSL). Pasien dengan pasangannya sudah menjalin hubungan selama 12 tahun
namun pasien sering berganti-ganti pasangan (multipartner). Pada pemeriksaan
tanda vital serta status generalis tidak ditemukan kelainan. Status lokalis pasien
terdapat efloresensi papul eritema multipel, berbentuk bulat, berbatas tegas,
berukuran 0,2 cm hingga 0,4 cm, konfigurasi tersebar, distribusi terlokalisir pada
glans penis.

13
14

Diagnosis banding pada pasien ini meliputi sifilis sekunder dan herpes
genitalis. Herpes genitalis merupakan presentasi klinis utama infeksi herpes
simplex virus (HSV) tipe 2 yang ditandai oleh vesikel, pustul, dan ulkus eritema
disertai rasa nyeri, gatal, disuria, dan uretra discharge dengan predileksi tersering
pada laki-laki di glans penis dan sulkus koronarius. Selain itu terdapat juga gejala
sistemik seperti demam, sakit kepala, dan myalgia. Sedangkan pada sifilis sekunder
lesi tidak gatal. Untuk membedakan antara sifilis sekunder dengan diagnosis
banding lainnya, diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan serologi
yaitu tes VDRL (Veneral Disease Research Laboratory) dan tes TPHA (Treponema
Pallidum Haemaglutination Assay). Pada kasus, didapatkan hasil tes pasien reaktif.
Setelah diagnosis sifilis sekunder tegak berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan serologi, terapi lini pertama untuk tatalaksana
dari kasus ini adalah penisilin injeksi parenteral yaitu Benzathine Benzylpenicillin
G (BBPG) dengan dosis 2,4 juta unit dosis tunggal, diinjeksikan secara
intramuskular pada gluteus maximus. Sebelum pemberian obat, dilakukan skin test
terlebih dahulu untuk melihat apakah ada alergi atau tidak, dan di observasi selama
15 menit. Selanjutnya setelah injeksi, pasien diminta untuk menunggu selama 30
menit. Edukasi diberikan kepada pasien mengenai penyakit yang dialami, cara
penularan, dan pencegahan penularan ke pasangan seksualnya.
Selain itu pasien juga harus diberikan penjelasan mengenai terapi yang
diberikan, efek samping yang mungkin timbul. Kemudian diinformasikan juga
kepada pasien yang sudah mendapatkan terapi bahwa akan dievaluasi secara klinis
dan serologis dalam 1 tahun pertama (bulan ke-1, 3, 6, dan 12) sehingga wajib
datang sesuai jadwal. Melakukan pemeriksaan infeksi menular seksual pada
pasangan seksual pasien merupakan hal penting yang perlu diketahui oleh pasien
untuk mencegah infeksi ke orang lain.
BAB V
SIMPULAN

Sifilis merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Perjalanan penyakit dari sifilis
bersifat kronik, dapat menyerang hampir seluruh organ tubuh, serta mampu
menyerupai berbagai penyakit (great imitator disease) namun asimtomatik pada
masa laten. Salah satu stadium sifilis yaitu sifilis sekunder yang terjadi setelah 3-
12 minggu setelah sifilis primer, akan muncul manifestasi gejala sistemik, juga
ditemukan lesi polimorfik (makula, eritema, makulopapula, likenoid, kandiloma
lata, dan patchy alopesia) yang tidak gatal. Temuan awal berupa makula copper-
colored berukuran 0,5-1,5 cm (roseola sifilitika) biasanya pada tubuh dan
ekstremitas (telapak tangan dan kaki) serta folikel rambut yang menyebabkan
alopesia.
Diagnosis sifilis sekunder ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan serologis (VDRL dan
TPHA). Terapi lini pertama untuk semua semua stadium sifilis adalah penisilin
parenteral. Obat yang digunakan untuk sifilis sekunder yaitu Benzatin Benzil
Penisilin G (BBPG) dengan dosis 2,4 juta unit dosis tunggal, diinjeksikan secara
intramuskular pada gluteus maximus. Keberhasilan pengobatan ditandai dengan
penurunan titer empat kali lipat pada tes VDRL dan RPR dalam 6-12 bulan sesudah
terapi untuk sifilis primer dan sekunder.
Sifilis memberikan hasil yang baik jika pasien menerima penanganan
dengan baik pada awal terinfeksi. Pada sifilis dini yang telah mendapat pengobatan,
angka kesembuhan mencapai 95% dengan keluhan kulit akan sembuh dalam 7-14
hari. Praktik seks yang aman sangat penting untuk mencegah penularan sifilis, serta
bagi individu LSL yang aktif secara seksual harus melakukan screening terkait
infeksi menular seksual termasuk pada pasangan seksualnya setidaknya setiap
tahun atau setiap 3-6 bulan jika risiko meningkat (memiliki banyak pasangan /
mutipartner).

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Rinandari U, & Sari EY. Terapi Sifilis Terkini. Cermin Dunia Kedokteran.
2020;47(11): 647-658.
2. Setyowatie L, & Sitaresmi A. Case Report: Secondary Syphilis And Human
Immunodeficiency Virus Coinfection. Asian Journal of Health Research.
2022;1(3): 49-54.
3. Lestari F, Ariandini S, Sari A, Nadia M, Yustria R, Angela S, & Ulandari W.
Edukasi Mengenai Infeksi Menular Seksual. KREASI: Jurnal Inovasi dan
Pengabdian kepada Masyarakat. 2023;3(1): 54-65.
4. Primasari PY, Indira IE, & Jayanthi AA. Kondiloma Akuminata Perianal
Disertai Sifilis Sekunder Dan Infeksi HIV Stadium II Pada Remaja Laki-Laki
Yang Berhubungan Seksual Dengan Laki-Laki: Laporan Kasus. Intisari Sains
Medis. 2022;13(3): 764-770.
5. Newman L, Rowley J, Vander Hoorn S, Wijesooriya NS, Unemo M, Low N, et
al. Global estimates of the prevalence and incidence of four curable sexually
transmitted infections in 2012 based on systematic review and global reporting.
PLoS One. 2015;10(12):9.
6. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, Dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Ketuju. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. 455-474 p.
7. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan
Venereologi Indonesia. 1st ed. Jakarta: PP Perdoski; 2021. 466-468 p.
8. Aliwardani A, Fatiharani P, Rosita F, & Ellistasari EY. Pemeriksaan Serologi
untuk Diagnosis Sifilis. Cermin Dunia Kedokteran. 2021;48(11): 380-384.
9. Batan NW, & Puspawati D. Kondiloma lata sebagai manifestasi klinis sifilis
sekunder pada kehamilan trimester kedua. Medicina. 2019;50(2).
10. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Dkk. Fitzpatrick’s Dermatology.
Ninth Edit. McGraw Hill; 2019. 3145-3172 p.

16

Anda mungkin juga menyukai