PENYAKIT KUSTA
MK. PROSES KEPERAWATAN DAN BERPIKIR KRITIS
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah
dengan judul penyakit kusta ini dapat terselesaikan.
Tim penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................8
C. Tujuan Umum...............................................................................................................................8
BAB II
PEMBAHASAN...................................................................................................................................9
A. Penyakit Kusta..............................................................................................................................9
1. Definisi..........................................................................................................................................9
2. Etiologi..........................................................................................................................................9
3. Epidemiologi...............................................................................................................................10
B. Jenis – jenis kusta........................................................................................................................19
C. Faktor-faktor yang menyebabkan kejadian Kusta.......................................................................19
D. Faktor Risiko Lingkungan..........................................................................................................23
F. Faktor Risiko Karakteristik Penduduk yang mempengaruhi kejadian kusta................................31
E. Pencegahan kusta........................................................................................................................34
G. Pengobatan kusta........................................................................................................................35
BAB III
PENUTUP..........................................................................................................................................36
A. Kesimpulan.................................................................................................................................36
B. Saran...........................................................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................38
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kusta merupakan salah satu dari delapan penyakit terabaikan (neglected
tropical diseases) yang masih ada di Indonesia, sehingga penyakit ini tetap
berlanjut dan menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit
kusta juga masih menjadi masalah di beberapa negara di dunia seperti Brasil,
India, Madagaskar, Mozambik, Nepal dan Tanzania (Bhat, 2012). Walaupun
sudah lebih 20 tahun sejak dimulainya pengobatan kusta dengan multidrug
treatment (MDT) oleh World Health Organization (WHO) untuk mengurangi
prevalensi kusta pada 90% di negara endemik menjadi prevalensi kasus
kurang dari 1 banding 10.000 populasi. Data WHO tahun 2014 menyatakan
Asia Tenggara merupakan daerah prevalensi kusta tertinggi di dunia, yaitu
sebesar 0,68 per 10.000 penduduk. Oleh karena itu usaha untuk menggugah
kesadaran masyarakat dan menghilangkan stigma bagi penderita kusta, maka
setiap hari minggu pada pekan terakhir di bulan Januari diperingati sebagai
hari kusta sedunia (World Leprosy Day).
Mycobacterium leprae merupakan satu dari sembilan Mycobacterium
patogen yang ditemukan di negara tropis-subtropis termasuk Indonesia.
Apakah ini merupakan salah satu penyebab penyakit kusta di Indonesia terus
berkembang, masih belum diketahui. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia pada tahun 2015 mencatat prevalensi penyakit kusta di Indonesia
sebesar 0,78 per 10.000. Pada tahun 2015 tercatat 17.202 kasus kusta baru
per 100.000 penduduk dengan angka kecacatan 6,82 per 1.000.000
penduduk. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia
dengan kasus baru terbanyak setelah India (134.752 kasus) dan Brasil
(33.307 kasus). Di Indonesia kasus kusta baru terbanyak (high endemic) di
daerah Indonesia timur (Papua, Maluku, Sulawesi). Sumatera Barat termasuk
low endemic kusta, walaupun demikian kasus baru kusta terus ada setiap
tahunnya. Data pasien kusta di Provinsi Sumatera Barat tahun 2015 mencatat
adanya 54 kasus baru kusta. Case detection rate kusta meningkat dari 0,24
menjadi 1,04 dari tahun 2010 ke 2015. Oleh karena itu adanya kasus baru
kusta setiap tahunnya, maka pemerintah mencanangkan eliminasi kusta
Indonesia di tahun 2019. Penurunan angka kecacatan tingkat II kasus baru
kurang 1 : 1.000.000 penduduk tahun 2020.
Cara penularan penyakit kusta belum diketahui dengan pasti. Beberapa
penelitian telah membuktikan, bahwa cara tersering melalui kontak kulit
lansung dari pasien kusta multibasiler (MB) ke orang lain pada kulit yang
tidak utuh atau lecet di bagian tubuh yang relatif bersuhu rendah dan melalui
mukosa nasal (Park, 2000). Hal ini juga didukung penelitian Doull et al.,
bahwa narakontak serumah dengan pasien kusta MB yang belum
mendapatkan pengobatan memiliki risiko 8 kali lipat, sedangkan narakontak
pasien kusta pausibasiler (PB) berisiko 2 kali lipat tertular penyakit kusta
(Fine,1997). Semakin banyak kuman terdapat pada tubuh penderita kusta,
maka akan semakin besar seseorang narakontak terinfeksi penyakit kusta
(Noorden,1994).
Apabila kuman M. leprae masuk dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag untuk menfagositnya. Sel makrofag sebagai sel
target M. leprae berada disekitar pembuluh darah superfisialis pada dermis
dan Schwann cel (SC) di saraf perifer. Bakteri bertahan hidup dan
bereplikasi dalam SC, selanjutnya masuk ke dalam sel saraf perifer. Pada
awal penyakit, lesi hanya mengenai saraf, namun selanjutnya menyebar ke
kulit (Venkatesan, 2010).
Pada tahun 1998, WHO memberi panduan untuk menegakan diagnosis
kusta berdasarkan penemuan paling sedikit satu tanda Kardinal yaitu bercak
hipopigmentasi atau eritematosa yang mati rasa, penebalan saraf tepi disertai
gangguan sensibilitas area yang dipersarafinya atau ditemukan kuman tahan
asam pada slit skin smear. Faktor risiko terjadinya penyakit kusta antara lain
jenis kelamin, usia, jumlah bakteri pada pemeriksaan slit skin smear, genetik
dan kontak dengan penderita kusta (Moet, 2004). Pajanan infeksi M. leprae
merupakan bagian penting untuk timbulnya penyakit kusta. Penularan
penyakit kusta ke orang disekitar atau narakontak sudah banyak diteliti.
Namun untuk terjadinya infeksi pada narakontak bergantung antara lain
jarak narakontak dengan pasien, usia saat kontak, klasifikasi penyakit kusta,
keadaan fisik pasien dan kerentanan genetik (Moet, 2006). Menurut Goulart
(2008), kontak serumah dengan pasien kusta merupakan kelompok dengan
risiko tertinggi tertular penyakit. Siskawati (2010) melaporkan timbulnya
penyakit kusta pada 3 bersaudara yang tinggal serumah, diduga penularan
dari saudaranya yang menderita penyakit kusta tipe MB.
Faktor genetik sama pentingnya dalam menentukan seseorang untuk
tertularnya penyakit kusta. Adanya faktor genetik pada pejamu
meningkatkan risiko untuk terjadinya penyakit setelah pajanan infeksi
(Schurr, 2006 ; Fitness, 2002). Untuk itu perlunya mengidentifikasi faktor
genetik pejamu lebih awal terhadap kerentanan menderita penyakit kusta.
Peranan berbagai macam faktor genetik pejamu terhadap respons infeksi M.
leprae telah dibuktikan pada sebagian besar penelitian. Penelitian molekuler
mengenai komponen genetik telah diteliti berupa penelitian gen seperti HLA
sebagai faktor kerentanan (Scurr, 2006). Penelitian ini juga didukung oleh
Scollard tahun 2006 dengan melakukan penelitian family clustering untuk
mengetahui mengapa penyakit kusta terjadi secara terus menerus. Namun,
gen yang telah diteliti tersebut hanya sedikit terlibat dalam interaksi
kompleks regulasi gen pejamu dengan terjadinya penyakit kusta (Graca,
2014).
Penelitian untuk mengidentifikasi faktor risiko genetik kusta telah banyak
dilakukan di berbagai daerah endemis. Penelitian Genome wide association
study oleh Zhang (2009) di Cina pada suku Han mendapatkan gen yang
berkaitan dengan risiko terjadinya penyakit kusta adalah HLADR-DQ,
RIPK2, TNFSFI5, LCDC122/LACCI, NOD2, LRRK2 dan C13of3.
Sejumlah gen lain juga telah diidentifikasi antara lain VDR, HLADR2,
TAP1 dan TAP2, CTLA4, COL 3A, SLC ILA1 (NRAMP1), IL-10, dan
TNF- (Bakijo, 2011). Penelitian juga dilakukan dengan metode Genome
wide association study dan menemukan beberapa gen tambahan yang
berhubungan dengan kerentanan menderita penyakit kusta antara lain gen
PARK2. Umumnya gen yang ditemukan dihubungkan dengan peranan
imunitas alami dan pengenalan bakteri pada saat awal infeksi. Sedangkan
gen yang dikaitkan dengan imunitas didapat adalah gen PARK2 (Orlova,
2011).
Gen PARK2 merupakan gen yang pertama kali diidentifikasi untuk
menemukan lokus dalam gen pada penyakit Parkinson. Gen PARK2 melalui
E3-ubiquitin ligase terlibat dalam ubiquitin dependen protein degradation
yang berperanan penting dalam berbagai respons imun. Gangguan fungsi
protein ini dapat menyebabkan kematian sel atau apoptosis (Graca, 2014).
Gen PARK2 diekspresikan pada SC dan monocyte-derived macrofag, yang
menyokong ubiquitin mediated proteolysis melalui jalur biokimia,
berperanan penting dalam mengontrol infeksi M. leprae. Penelitian Watt
(2004) dan Muller (2004) juga memperlihatkan mekanisme melalui ubiquitin
- proteosom pathway pada degradasi protein intraseluler di dalam makrofag.
Selanjutnya kondisi tersebut memengaruhi presentasi antigen terhadap
limfosit dan menghasilkan respons imun. Walaupun mekanisme pasti gen
PARK2 ini dalam memengaruhi kerentanan kusta masih belum bisa
dipastikan, namun data di atas mendukung peranan penting gen PARK2
pada penyakit neurologik dan infeksi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa itu kusta ?
2. jelaskan penyebab terjadi kusta ?
3. pencegahan agar tidak mengalami penyakit kusta ?
C. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan apa itu penyakit kusta
Secara singkat dan jelas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyakit Kusta
1. Definisi
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler
obligat menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat. Penyakit kusta dikenal juga dengan nama Morbus
Hansen atau lepra. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha
yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran pernafasan bagian atas,
sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta adalah
salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat
kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis, tetapi
meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.
2. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H.
Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. Hasil ini bersifat tahan asam,
bentuk pleomorf lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan
kedua ujung-ujungnya bulat dengan ukuran panjang 1-8 um dan diameter
0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman berbentuk batang yang gram
positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen
basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna merah
terang,denganujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya
terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media
buatan (in vitro).
3. Epidemiologi
Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak hasil yaitu tipe
multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya
berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit
yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta
bervariasi,40 hari sampai 40 tahun. Kusta menyerang semua umur dari
anakanak sampai dewasa. Faktor sosial ekonomi memegang peranan, makin
rendah sosial ekonomi makin subur penyakit kusta, sebaliknya sosial
ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan dengan iklim, kusta
tersebar di daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab, terutama di
Asia, Afrika 14 dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di
India, Brazil, Bangladesh, dan Indonesia.
Jenis-jenis klasifikasi yang umum adalah :
(1) Interdeterminate ( I )
(2) Tuberkuloid ( T )
(3) Bordeline ( B )
(4) Lepromatosa ( L )
4. Kecacatan
Micobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia.
Tergantung dari kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi
saraf tepi : sensorik, motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta
disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta
maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi
lepra.
a. Tingkat Cacat
Kerusakan saraf pada penderita kusta meliputi :
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-
lama otot mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jarijari tangan
dan kaki menjadi bengkok (clow hand/clow toes) dan akhirnya dapat terjadi
kekakuan pada sendi, bila terjadi kelemahan/kekakuan pada mata, kelopak
mata tidak dapat dirapatkan (lagoptalmus).
Tingkat Kecacatan
d. Jenis Cacat
Cacat yang timbul akibat penyakit kusata dapat dikelompokan menjadi 2
(dua) yaitu :
1) Cacat primer. Pada kelompok ini cacat disebabkan langsung oleh
aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap
Micobacterium leprae.
2) Cacat sekunder. Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama
kerusakan akibat saraf sensorik, motorik dan otonom.Contoh : ulkus jari
tangan, atau kaki putus.
5. Patofisiologi
Intermediate leprosy
Kusta ini ditandai dengan beberapa lesi datar berwarna pucat atau lebih
cerah dari warna kulit sekitarnya, yang terkadang dapat sembuh dengan
sendirinya
Tuberculoid leprosy
Kusta ini ditandai dengan beberapa lesi datar yang kadang berukuran
besar, mati rasa, dan disertai dengan pembesaran saraf
Borderline tuberculoid leprosy
Kusta jenis ini ditandai dengan munculnya lesi yang berukuran lebih kecil
dan lebih banyak dari tuberculoid leprosy
Mid-borderline leprosy
Lepra jenis ini ditandai dengan lesi kemerahan yang tersebar secara acak
dan asimetris, mati rasa, dan pembengkakan kelenjar getah bening di
sekitar kusta
Borderline lepromatous leprosy
Kusta ini ditandai dengan lesi yang berjumlah banyak dengan bentuk
datar atau benjolan. Kusta jenis ini juga terkadang menimbulkan mati
rasa.
Lepromatous leprosy
Lepra ini ditandai dengan lesi yang tersebar dengan simetris. Umumnya,
lesi yang timbul mengandung banyak bakteri dan disertai dengan rambut
rontok, gangguan saraf, serta kelemahan anggota gerak.
a. Agent
b. Host
c. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik
benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang
terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain.
Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik
terdiri dari : keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan
dan lain-lain), kelembaban udara, suhu, lingkungan tempat tinggal.
Adapun lingkungan non fisik meliputi : sosial (pendidikan, pekerjaan),
budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi (kebijakan mikro dan
local) dan politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan
pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit).
iii. Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi
yang cukup untuk proses pergantian udara.
iv. Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak
terganggu oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar
rumah.
vi. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan
jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang berumur kurang dari
lima tahun minimal 4,5 m3 , artinya dalam suatu ruangan anak yang
berumur lima tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan volume
ruangan 4,5 m3 (1,5 x 1 x 3 m3 ) dan di atas lima tahun menggunakan
ruangan 9 m3 (3 x 1 x 3 m3 ).
i. Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kualitas
maupun kuantitas, sehingga selain kebutuhan untuk makan dan minum
terpenuhi, juga cukup tersedia air untuk memelihara kebesihan rumah,
pakaian dan penghuninya.
ii. Harus ada tempat penyimpanan sampah dan WC yang baik dan
memenuhi syarat, juga air pembuangan harus bisa dialirkan dengan baik.
iii. Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus memenuhi syarat
kesehatan, yaitu harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap dan
mengkontaminasi permukaan sumber air bersih.
v. Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan
berkembangbiak di dalam rumah, jadi rumah dalam kontruksinya harus
rat proof, fly fight, mosquito fight.
vii. Luas kamar tidur minimal 9 m3 per orang dan tinggi langit-langit
minimal 2,75 meter. Faktor lingkungan memegang peranan yang penting
dalam penularan penyakit kusta, terutama pada pemenuhan physiologis
rumah, sebab sinar ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat
membunuh kuman kusta, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi
kelembaban yang berlebihan, sehingga dapat mencegah berkembangnya
kuman kusta dalam rumah, oleh karenanya suatu rumah sangat perlu
adanya pencahayaan langsung yang cukup dari sinar matahari.
a) Cahaya Alamiah
b) Cahaya Buatan
(4) Ventilasi
a) Ventilasi alamiah
b) Ventilasi buatan
(5) Kelembaban
(6) Ketinggian
b. Umur
Penyakit kusta dapat mengenai dari semua jenis kelamin, baik lakilaki
mupun perempuan. Sebagian besar Negara di dunia kecuali dibeberapa
Negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang
kusta dari pada wanita. Rendahnya kejadian kusta pada wanita
disebabkan karena beberapa faktor antara lain faktor lingkungan dan
faktor biologis (Ghimire, 1996).
d. Pendidikan
e. Pekerjaan
E. Pencegahan kusta
Sampai saat ini, belum ada vaksin untuk mencegah kusta. Diagnosis dini
dan pengobatan yang tepat merupakan upaya terbaik untuk mencegah
komplikasi dan penularan kusta. Selain itu, menghindari kontak dengan
hewan pembawa bakteri kusta juga penting untuk mencegah kusta.
G. Pengobatan kusta
Metode utama untuk mengobati kusta atau lepra adalah dengan obat
antibiotik. Penderita kusta akan diberi kombinasi beberapa jenis
antibiotik selama 1–2 tahun. Jenis, dosis, dan durasi penggunaan
antibiotik akan ditentukan berdasarkan jenis kusta yang diderita.
Rifampicin
Dapsone
Clofazimine
Minocycline
Ofloxacin
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil
beberapa
kesimpulan sebagai berikut;
1. Terdapat lebih dari separuh responden memiliki keadaan kelembaban
rumah yang tidak memenuhi syarat.
2. Terdapat lebih dari separuh responden memiliki keadaan suhu rumah
yang tidak memenuhi syarat.
3. Terdapat lebih dari separuh responden memiliki keadaan pencahayaan
rumah yang tidak memenuhi syarat.
4. Terdapat separuh responden memiliki keadaan lantai rumah yang tidak
memenuhi syarat.
5. Terdapat kurang separuh responden memiliki keadaan higiene
perorangan yang kurang baik.
6. Terdapat hubungan kelembaban rumah dengan kejadian penyakit kusta
di indonesia.
B. Saran
1. Bagi perawat
Perawat mampu memberikan dan meningkatkan pelayanan dalam
memberikan
asuhan keperawatan keluarga. Memberikan HE selama proses asuhan
keperawatan keluarga agar pasien dan keluarga mengerti dan memahami
kondisinya.
2. Bagi Puskesmas
Puskesmas bisa lebih meningkatkan promosi kesehatan Keluarga
mengenai penyakit Kusta
3. Bagi institusi pendidikan
Institusi pendidikan dapat memberikan bimbingan semakin baik dari
waktu ke waktu,
4. Bagi pasien dan keluarga
Keluarga agar turut serta dalam proses penyembuhan, memberi motivasi,
mengawasi dalam pengobatan, serta lebih antisipasi dalam proteksi diri
agar terhindar dari penularan.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.halodoc.com/kesehatan/kusta#:~:text=Pencegahan
%20Kusta,mengalami%20endemik%20dari%20penyakit%20kusta.
https://www.alodokter.com/kusta.
http://repository.unhas.ac.id/id/eprint/1731/.