Dosen Pengampu :
Ns. Reni Tri Subekti, S.ST.,M.Kes
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
1. FADHILA TIARA PUTRI (2019206203052)
2. NURI AMANATUL JANNAH (2019206203064)
3. SITI HAFIDATUL KHOIRIYAH (2019206203070)
4. SITI RODIATUN (2019206203071)
5. M.DWI CAHAYA (2019206203000)
6. ALDY SETIADY (2019206203000)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Asuhan keperawatan pada
klien dengan diagnosa kusta ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa kusta
pada seorang perawat. Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini.Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada ibu
Ns. Reni Tri Subekti, S.ST.,M.Kesselaku dosen asuhan keperawatan penyakit tropis yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni.Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu
dengan terbuka kami menerima segala saran dari pembacaa agar kami dapat memperbaiki
makalah ini
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................4
BAB I.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................5
I. LATAR BELAKANG..................................................................................5
II. TUJUAN.......................................................................................................6
III. MANFAAT PENULISAN............................................................................6
BAB II......................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................7
A. Definisi Kusta...............................................................................................7
B. Epidimiologi Kusta.......................................................................................7
C. Klasifikasi.....................................................................................................9
D. Etiologi Kusta.............................................................................................11
E. Patofisiologi Kusta......................................................................................11
F. WOC Kusta.................................................................................................12
F. Penularan Kusta.............................................................................................13
G. Manifestasi Klinis Kusta.............................................................................14
H. Masa Inkubasi Kusta...................................................................................15
I. Derajat Kecacatan Kusta.............................................................................15
J. Komplikasi Kusta (MENKES RI, 2019).....................................................16
K. Penatalaksaan Kusta (Novita, 2019)...........................................................16
L. Pemeriksaan Penunjang Kusta....................................................................17
BAB IV..................................................................................................................48
PENUTUP..............................................................................................................48
A. KESIMPULAN...........................................................................................48
B. SARAN.......................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................49
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Kusta (Morbus hansen) merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Leprae yang pertama kali menyerangsyaraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, membran mukosa, saluran pernafasan bagi anatas, mata, dan jaringan tubuh
lainnya kecuali susunan saraf pusat (Amiruddin, 2012). Penderita kusta dapat disembuhkan, namun
bila tidak di lakukan penatalaksanaan dengan tepat akan beresiko menyebabkan kecacatan
padasyarafmotorik, otonomatausensorik (Kafiluddin, 2010). Penyakit kusta termasuk dalam salah
satu daftar penyakit menular yang angka kejadiannya masih tetap tinggi di negara – negara
berkembang terutama di wilayah tropis(WHO, 2012).
Penderita kusta membawa dampak yang cukup parah bagi penderitanya. Dampak tersebut
dapat berbentuk kecacatan yang menyebabkan perubahan bentuktubuh. Dampak dari kecacatan
tersebut sangatlah besar yaitu umumnya penderita kusta merasa malu dengan kecacatannya, segan
berobat karena malu, merasa tekanan batin, dan merasarendahdiri (Rahariyani,2007). Hal ini
disebab kan masih kurangnya pengetahuan, pengertian, dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta
dancacat yang di timbulkannya. Dukungan keluarga sangat penting bagi anggota keluarganya yang
sakit.Terutama bagi anggota keluarga yang menderita penyakit kusta. Keluarga yang takut tertular
penyakit kusta, akan mempengaruhi partisipasinya dalam hal perawatan kesehatan bagi anggota
keluarga yang menderita kusta sehingga hal itu akan membuat kurang memberikan dukungan ke
pada penderita dalam hal pemberian informasimaupun pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan
untuk mengobati penyakit tersebut(Amiruddin, 2012).
II. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mempelajari asuhan keperawatan pada Ny.K dengan penyakit kusta di Puskesmas Pringswu,
dengan proses pendekatan keperawatan.
2. Tujuan Khusus
1) Mempelajari asuhan keperawatan pada Ny.K dengan penyakit kusta di Puskesmas Pringswu
2) Mempelajari diagnosa keperawatan pada Ny.K dengan penyakit kusta di Puskesmas Pringswu
3) Mempelajari rencana tindakan keperawatan pada Ny.K dengan penyakit kusta di Puskesmas
Pringswu
4) Mempelajari tindakan keperawatan pada Ny.K dengan penyakit kusta di Puskesmas Pringswu
5) Mempelajari proses evaluasi dan dokumentasi keperawatan pada Ny.K dengan penyakit kusta
di Puskesmas Pringswu
A. Definisi Kusta
Kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae. Kusta
dikenal dengan “The Great Imitator Disease” karena penyakit ini seringkali tidak disadari karena
memiliki gejala yang hampir mirip dengan penyakit kulit lainnya. Hal ini juga disebabkan oleh
bakteri kusta sendiri mengalami proses pembelahan yang cukup lama yaitu 2–3 minggu dan memiliki
masa inkubasi 2–5 tahun bahkan lebih (Kemenkes RI, 2018) Kusta adalah penyakit infeksi kronis
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Penyakit ini mempunyai afinitas utama pada
saraf tepi/perifer, kemudian kulit, dan dapat mengenai organ tubuh lain seperti mata, mukosa saluran
napas atas, otot, tulang dan testis.(MENKES RI, 2019)
B. Epidimiologi Kusta
Insiden kusta di dunia pada tahun 2016 berdasarkan data WHO mengalami peningkatan, yakni
dari 211.973 pada tahun 2015 menjadi 214.783 di tahun 2016. Sebesar 94% dari insiden kusta ini
dilaporkan oleh 14 negara dengan >1000 kasus baru tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan masih
banyak wilayah yang menjadi kantong endemisitas tinggi kusta di dunia. Asia Tenggara merupakan
regional dengan insiden kusta tertinggi yakni 161.263 kasus tahun 2016. Indonesia merupakan negara
dengan penyumbang insiden kusta ke-3 tertinggi di dunia, yakni sebanyak 16.286 kasus, setelah
Brazil (25.218 kasus) & India (145.485 kasus ) (Tami, 2019). Jawa Timur menjadi provinsi dengan
insiden kusta tertinggi di pulau jawa yakni sebanyak 3.373 kasus dan kasus cacat kusta tingkat 2 nya
nomor 2 tertinggi, sebanyak 293 kasus pada tahun lalu 2017 (Kemenkes RI, 2018). Jawa Timur
pernah menjadi provinsi di bagian barat Indonesia dengan kategori high burden yakni NCDR
>10/100.000 penduduk dan atau insiden >1000 kasus tahun 2016 (Dinkesprov Jawa Timur, 2018).
Angka prevalensi kusta di Jawa Timur pada tahun 2015 adalah 0,99 per 10.000 penduduk dan
meningkat pada tahun 2016 menjadi 1,03 per 10.000 penduduk. Tipe kusta Multibacillar (MB)
lebih sering ditemukan di wilayah Jawa Timur daripada tipe Paucibacillar (PB), namun demikian tipe
kusta Paucibacillar (PB) di Jawa Timur dari tahun 2015-2017 mengalami kenaikan (Dinkesprov Jawa
Timur, 2018)
C. Klasifikasi
Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi
Ridley-Jopling, klasifikasi India danklasifikasi menurut WHO (Hadi & Kumalasari, 2017).
Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T),
Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling
sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan
histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di Madrid tahun
1953.
Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis mulai dari daya kekebalan
tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi
terhadap M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI)
seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut
mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit
kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bias
menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama
respon imun seluler spesifik. Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe
Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-Borderline (BB), tipe
Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (T)
3. Klasfikasi menurut WHO
Multibasiler
Tanda utama Pausibasiler (PB)
(MB)
Jumlah 1 sampai Jumlah lebih dari
Bercak kusta.
dengan 5 5
Penebalan saraf tepi
yang
disertai dengan
gangguan
fungsi (gangguan fungsi
bisa Lebih dari satu
Hanya satu saraf
berupa kurang/mati rasa saraf
atau
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf
yang
bersangkutan.
Tidak dijumpai Dijumpai basil
Pemeriksaan
basil tahan asam tahan asam
bakteriologi.
(BTA negatif) (BTA positif)
Tabel Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi menurut WHO
(1982) pada penderita kusta
D. Etiologi Kusta
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang
intraseluler olbligat. Syaraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Elliya, et al.,
2019). Mycobakterium Lepraeatau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kustayang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH. Armauer Hansenpada tahun 1874 M.Leprae berbentuk
basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkoholserta Gram positif.Mycobakterium
leprae merupakan basil tahan asam, obligat intraseluler yang dapatbereproduksi secara maksimal pada
suhu 27-30 ℃. Mikroba ini berkembang biardengan baik pada jaringan dengan suhu rendah, seperti
kulit, saraf perifer, saluranpernafasan atas dan testis. Jalur transmisinya masih belum jelas,
diperkirakan transmisijadi melalui droplet, vektor serangga, atau kontak dengan tanah dengan yang
E. Patofisiologi Kusta\
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejaladan tanda
adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa inkubasinya bisa 3-20tahun. Mycobacterium
leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak diperineum, karena basil kusta suka daerah
yang dingin yang dekat dengan dengan kulitdengan suhu sekitar 27-300C (Masriadi, 2014).
Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta dikenali olehsistem
imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua) aspek yaituimunitas non-sepesifik dan
spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit danmembersihkan dari semua yang tidak dikenali (non-
F. WOC Kusta
F. Penularan Kusta
Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan yangklasik ialah
melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab
M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.Penyakit kusta tidak hanya ditularkan oleh
manusia tetapi juga ditularkan oleh binatang seperti armadillo, monyet dan mangabey(Clark, et al.,
2008). Walaupun cara penularannya masih belumdiketahui tetapi banyak faktor yang mempengaruhi
penularan.Faktor yang mempengaruhi penularankusta adalah:
1. Lama Kontak
Kontak dengan pasien kusta dalam kurun waktu yang lama tampak sangat berperan dalam
penularan kusta. Kusta dapat ditularkan karena ada riwayat kontak dengan pasien kusta baik
serumah ataupun tetangga(Garamina, 2015).
2. Status gizi
Konsumsi energi dan protein yang rendah dapat mengganggu sistem imun dan mengakibatkan
mudah terkena infeksi bakteri M. leprae. Individu yang belum
terkena kusta harus meningkatkan konsumsi energi dan protein agar
kekebalan tubuhnya dapat terjaga (Garamina, 2015).
3. Imunitas
Perkembangan M. Leprae setelah masuk kedalam tubuh, bergantung pada
kerentanan seseorang. Respon tubuh manusia setelah masa tunas tergantung
pada sistem imunitas seluler pasien. Jika sistem imun yang pasien tinggi, maka
klasifikasi kusta mengarah ke tuberkuloid dan jika sistem imun pasien rendah, maka kusta
mengarah ke lepromatosa(Garamina, 2015).
4. Lingkungan
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebaran kusta adalah keadaan suhu rumah,
pencahayaan alami rumah, luas hunian kamar, dan kebiasaan. membersihkan lantai. Faktor
keadaan suhurumah dan pencahayaan alami rumahmempengaruhi tingkat kelembaban diruangan
rumah. Udara yang lembabmenjadi tempat yang baik untukberkembangnya mikroorganisme
terutamaM. Leprae.(Garamina, 2015).
5. Personal Hygiene
Faktor kebiasaan mandi, kebiasaan cucirambut, dan kebiasaan membersihkanlantai merupakan
faktor personalhygiene.Faktor ini berpotensimenularkan M.Leprae jika faktor personalhygiene
tidak dilakukan karena ketikakeadaan kotor mikroorganisme mudahberkembang(Garamina,
2015).
Tiga gejala utama (Cardinal Sign) penyakit kusta adalah (Garamina, 2015):
1. Bercak
a. Jumlah
1-5 Banyak
b. Ukuran
c. Distribusi Kecil dan besar Kecil – kecil
d. Konsistensi
Unilateral dan bilateral Bilateral, simetris
e. Batas
f. Kehilangan sensasi Asimetris Halus, berkilat
rasa pada area bercak,
Kering dan kasar Kurang tegas
g. Kehilangan
kemampuan, Tegas, selalu ada dan Biasanya tidak jelas, jika
berkeringat, bulu ada, terjadi pada yang
rontok pada area jelas sudah lanjut
bercak
Bercak masih
berkeringat, bulu tidak
Bercak tidak berkeringat,
rontok
bulu rontok pada area
bercak
2. Infiltrat
a. Kulit
Tidak ada Ada, kadang – kadang
b. Membran mukosa
tidak ada
(hidung tersumbat, Tidak ada
perdarahan di hidung) Ada, kadang – kadang
tidak ada
tuberkuloid dab dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa. Penyakit ini jarang sekali ditemukan
pada anak – anak di bawah umur 3 tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak –
anak di bawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan (Masriadi, 2014)
Pada penyakit kusta, dapat terjadi pada beberapa organ seperti kaki, tangan, dan mata.
Keadaan tersebut diawali dengan adanya kerusakan saraf yang berbentuk nyeri saraf, sensibilitas
yang hilang, dan kekuatan otot motorik yang berkurang. Terdapat 2 jenis hendaya, yaitu primer dan
sekunder. Hendaya primer adalah kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas langsung bakteri M.
leprae terhadap jaringan. Beberapa contoh dari hendaya primer, yaitu anestesi, kulit kering, dan claw
hand. Pada hendaya sekunder, gangguan yang timbul terjadi akibat keadaan hendaya primer yang
tidak ditangani ataupun gagal di koreksi. Sebagai contoh yaitu ulkus dan kontraktur. Hendaya kusta
dapat terjadi melalui 2 proses yaitu Infiltrasi M.leprae secara langsung terhadap susunan saraf tepi
dan organ kemudian Proses reaksi kusta.
Sesuaikan dosis bagi anak dengan usia yang lebihkecil dari 10 tahun. Misalnya, dapson
25mg/hari danrifampisin 300 mg/bulan (diawasi).
2. Psikiatri
Pengobatan gangguan kejiwaan pada pasien kusta pada intinya sama dengan pasien
lainnya. Obat yang dapat diberikan adalah dari golongan anti depresan, antiansietas, hingga
antipsikotik, dengan observasi ketat dari psikiater. Psikoterapi adalah tatalaksana nonfarmologi
yangakan diberikan pada pasien dengan komorbiditas kusta dan gangguan psikiatri. Dalam
tatalaksana kusta perlu dipertimbangkan penyelesaian masalah psikologis pasien, yang seringkali
tidak dikeluhkan. Kondisi depresi terjadi akibat adanya stigma, sehingga menimbulkan penurunan
kualitas hidup, bahkan pengobatan menjadi tidak tuntas.
1. Pemeriksaan bakteriologis
Basil tahan asam atau BTA dapat ditemukan pada kulit maupun urin narakontak. BTA
yang ditemukan pada sediaan apus kulit kasus kusta subklinis memberikan masukan pendapat
bahwa kemungkinan orang ini sangat berperan dalam penularaan penyakit. Pemeriksaan
bakteriologis ini merupakan salah satu pemeriksaaan sederhana dalam menegakkan diagnosa
penderita kusta. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa banyak ditemukan BTA pada
sediaan kulit dari narakontak yang terlihat sehat5 .
2. Pemeriksaan Epidemiologis
Pemeriksaan epidemiologis dapat dilakukan untuk menentukan peningkatan proporsi BTA
positif dari cuping telinga narakontak yang terlihat sehat
3. Pemeriksaan Imunologis
Imunitas seluler dapat dinilai dengan pemeriksaan in vitro maupun in vivo. Beberappa uji
serologis juga dapat digunakan untuk mengetahui antibodi yang tumbuh di tubuh dikarenakan
kuman M.lepra.
a. Lymphocyte transformation test (LTT)
LTT merupakan uji in vitro yang digunakan untuk menguji keaktifan sel limfosit T.
Apabila imunitas seseorang baik maka limfosit yang dirangsang dengan antigen nonspesifik
phytohaemagglutinin (PHA) akan mengalami transformasi menjadi sel-sel blas yang
berukuran besar.
4. Uji lepromin
Uji ini merupakan suatu uji in vivo yang digunakan untuk menilai keaktifan limfosit T
yang berupa reaksi hipersensitif tipe lambat terhadap antigen M.leprae. Uji lepromin kurang
sensitif karena dapat memberikan hasil positif pada orang yang terinfeksi oleh organisme
lainnya yang mempunyai beberapa antigen yang sama. Uji ini tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosa, tetapi hanya untuk menentukan klasifikasi saja. Uji ini dilakukan dengan
menyuntikkan 0,1 ml reagen lepromin (antigen M.leprae) secara intradermal pada lengan
bawah bagian fleksor beberapa cm di bawah 34 lipat siku. Penilaian reaksi dilakukan setelah
48-72 jam (tes Fernandez) dan setelah 4 minggu (tes Mitsuda). Reaksi Fernandez positif
menunjukkan adanya hipersensitivitas tipe lambat terhadap M.leprae. Reaksi Mitsuda
menilai. kemampuan menimbulkan respon imunitasseluler terhadap M.leprae. Reaksi Mitsuda
tidak untuk diagnosa kusta karena hasilnya sering positif pada orang sehat yang tinggal di
daerah endemik.
5. Tes Fluorecent Leprosy Antibodi Absorption (FLA-ABS)
Tes ini digunakan untuk pemeriksaan serodiagnosis dini pada penyakit kusta.
Pemeriksaan pada tes ini berdasarkan reaksi antigen M.leprae yang utuh dari armadilo dengan
serum penderita yang mengandung antibodi spesifik terhadap antigen tersebut. Berdasarkan
penelitian dari Abe, tingkat spesifisitas dan sensitivitas tes FLA-ABS untuk penyakit kusta
sebesar 99,1% dan 92,2%. Sedangkan penelitian dari Amezcua mendapatkan angka
spesifisitas sebesar 100% dan sensitivitas sebesaar 99%. Bharadway juga mendapatkan hasil
tes ini positif 83- 88% pada kontak dengan penderita lepromatosa dan 46% pada kontak non-
lepromatosa sehingga tes ini baik untuk deteksi kusta subklinis. Kekurangan dari tes ini
adalah memerlukan peralatan yang mahal, proses yang rumit dan membutuhkan tenaga yang
terlatih.
6. Tes Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay (ELISA)
Pemeriksaan dengan tehnik ini yang paling banyak digunakan oleh peneliti-peneliti
karena prosesnya lebih mudah dan lebih sederhana, walaupun angka spesifisitas dan
sensitivitasnya lebih kecil dibandingkan tes FLAABS. Pada tes ini terjadi reaksi antigen dan
antibodi spesifik dari serum penderita yang kemudian diberi label berupa enzim yang terkait
dengan anti human antibodi. Sustrat yang tidak berwarna apabila ditambahkan ke dalam
enzim yang terkait akan diuraikan sehingga menjadi berwarna dan selanjutnya dibaca dengan
spektrofotometer.
Hasill positif serum antibodi Ig-M dan PGL-1 pada seseorang tanpa gambaran klinis
menunjukkan hasil 36 kemungkinan infeksi kusta subklinis. Didapatkan hasil positif 90-100%
pada lepromatosa murni (LL) dan borderline lepromatosa (BL), sedangkan pada kasus
borderline tuberkuloid (BT) dan tuberkuloid murni (TT) didapatkan hasil sebesar 20-30%.
Narakontak sehat di daerah endemik rata-rata menunjukkan hasil seropositif sebesar 25-35%.
7. Tes Mycobacterium Leprae Particle Aglutination (MLPA)
Pemeriksaan dengan tes ini relatif lebih sederhana dan lebih mudah dilaksanakan serta
tidak membutuhkan laboratorium khusus. Tes ini menggunakan antigen partikel NT-P-BSA
(Natural Trisacharide-Phenyl propiobat-Bovine Serum Albumin). Antigen ini direaksikan
dengan serum darah penderita kusta dengan pengenceran tertentu dan merupakan reaksi
antara antibodi spesifik PGL-1 dengan antigen spesifik. Sensitifitas dan spesifisitas dari tes ini
hampir sama dengan tes ELISA. Selain itu juga prosesnya lebih mudah sehingga paling cocok
digunakan untuk skrining populasi pada sampel yang besar. Tes MPLPA dapat dipergunakan
untuk mendeteksi infeksi subklinik, mengevaluasi respon pengobatan, mendeteksi adanya
kekambuhan dan mengetahui kadar antibodi spesifik terhadap tes kusta. Tes ini menunjukkan
korelasi positif dengan kadar antibodi IgM. Hasil tesnya juga setara dengan pemeriksaan
antibodi anti PGL-1 secara ELISA.
8. Tes Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan dengan metode PCR banyak digunakan oleh peneliti untuk mempelajari
DNA. Sensitivitas dan spesifisitas dari tes ini juga sangat tinggi dalam mendeteksi kuman
M.leprae yang ada di dalam spesimen biologik. Bahan pemeriksaan dapat berasal dari
hapusan mukosa hidung, skin smear dan kerokan kulit atau biopsi kulit
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KUSTA
A. Pengkajian
I. Identitas
Alamat : Pringsewu
Agama : Islam
Pendidikan : SMU
a. Keluhan utama
Klien mengatakan gatal- gatal, sakit pada persendian siku tangan dan lutut kiri dan kanan.
S: skala 3
Pasien mengatakan penyakit ini mulai dirasakan sejak tahun 2018, dan sudah pernah
minum obat, dan mulai kambuh sejak bulan Juni 2019 kemari. Keluhan sekarang pasien
mengatakan sakit pada seluruh persendian siku tangan dan lutut, badan kemerahan dan panas,
merasa malu dengan keadaan sekarang, lebih banyak didalam rumah karena malu, belum
mengetahui tentang apa itu penyakit kusta, tinggal dalam satu rumah 8 orang dan sering
menggunakan barang-barang didalam rumah secara bersamaan. Teraba seluruh kulit mengeras
dan bercak-bercak kemerahan, adanya tanda-tanda bekas garukan, tampak malu saat ditanya,
tampak pasien lebih banyak diam dan hanya bicara saat ditanya, tampak pasien bingung saat
ditanya tentang apa itu kusta, sering kontak langsung dengan semua anggota keluarga dalam
rumah, dan tampak pasien dan sering menggunakan alat-alat mandi, makan dan minum secara
bersamaan.
Klien mengatakan bahwa tidak mempunyai penyakit diabetes, hipertensi, dan hepatitis
serta klien sebelumnya tidak pernah mengalami sakit seperti ini, biasaya hanya batuk pilek.
Waktu sehat badannya mulus tidak seperti ini.
SMRS :Klien mengatakan selama ini olahraga, tetapi jarang diakukan. Klien sering
menggunakan alat-alat mandi secara bersamaan dengan anggota keluarga lainnya.
SMRS : Klien mengatakan bahwa makan 2 kali sehari dalam bentuk nasi, sayur,
dan lauk. Minum ±1-1,5 L.
MRS : Klien mengatakan bahwa klien makan 3 kali sehari dengan menu yang diberikan
oleh rumah sakit. Minum ±1 L.
c. Pola eliminasi
SMRS : Klien mengatakan bahwa BAB 1x/hari. Karakter feses : warna kuning
kecoklatan, konsistensi lunak, tidak ada darah, tidak ada kesulitan BAB. BAK 4-5x/hari ,
kurang lebih satu botol aqua besar (±1000 cc). karakter urin : kuning, jernih, bau urine
khas, tidak ada kesulitan BAK.
MRS : Klien mengatakan bahwa BAB 1x/hari. Karakter feses : warna kuning kecoklatan,
konsistensi lunak, tidak ada darah. BAK 5x/hari , kurang lebih satu botol aqua besar
(±1000 cc). karakter urin : kuning, jernih, bau urine khas.
SMRS : Klien tidak mengalami gangguan pola tidur, klien tidur selama kurang
lebih 8 jam.
MRS : Klien mengatakan bahwa lebih sering tidur dirumah sakit, tidur siang ± 2 jam, dan
tidur malam ±6 jam. Namun kadang tidur terganggu akibat nyeri yang dirasakan
e. Pola aktivitas
SMRS : Klien mengatakan bahwa mengatakan bahwa seorang ibu rumah tangga
aktivitasnya hanya melakukan pekerjaan rumah, klien jarang berolahraga karena kadang
badan terasa lemah dan lelah.
SMRS : Klien mengatakan merasa malu dengan keadaan sekarang, pasien mengatakan
lebih banyak didalam rumah karena malu dengan tetangga.
MRS : Pasien tampak malu saat ditanya, tampak pasien lebih banyak diam dan hanya
bicara saat ditanya, klien mengungkapkan keluhannya.
Klien mengatakan sudah menikah dan dikaruniani satu orang anak berjenis kelamin laki-
laki. Tidak ada masalah reproduksi
SMRS : Klien merasa takut karena sering kali ditolak oleh keluarganya dan sulit
mendapatkan pekerjaan. Biasanya penderita tidak mengeluh dengan keadaan penyakitnya,
karena ia takut dikucilkan dari masyarakat sebab penyakit kusta yang dideritanya
MRS : Klien mengatakan malu untuk berinteraksi dengan orang lain.
a. Status kesehatanumum
Nadi : 84x/menit
RR: 18 x/menit
Suhu : 36,8°C
b. Sistem integument
Adanya gatal-gatal, elastisitas turgor kulit tidak ada karena (kaku/mengeras), warna sawo
kemerahan, kulit kering, kuku pendek dan bersih.
c. Kepala
Bentuk simetris, tidak ada benjolan, tidak ada ketombe, tidak ada lesi dan nyeri tekan.
d. Muka
Muka klien simetris, tidak terdapat oedema, dan otot muka dan rahang klien kuat, wajah
tampak meringis dan gelisah.
e. Mata
Letak simetris antara kanan dan kiri, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupi lisokor,
penglihatan baik.
f. Telinga
Letak simetris antara kanan dan kiri, terlihat bersih, tidak ada lesi, tidak ada benjolan.
g. Hidung
Letak simetris antara kanan dan kiri, terlihat bersih, tidak ada lesi, tidak ada benjolan
i. Leher
j. Thoraks
tidak ada oedema, terpasang cvc pada subklavia kanan sejak 1 mei, ujung cvc tampak
kemerahan
k. Paru-paru
Inspeksi: RR 20 x/ menit, tidak terdapat cuping hidung, ada gerakan otot bantu pernafasan saat
bernafas, pengembangan dada kanan dan kiri simetris. Palpasi :tidak ada nyeri tekan Perkusi :
sonor di semua lapang paru Auskultasi : suara paru bersih (vesikuler.
l. Jantung
Inspeksi: tidak terlihat pergerakan ictus cordis Palpasi : Ictus cordis teraba pada rongga
intercostal ke enam pada garis medio-klavikularis. Perkusi : Terdengar bunyi pekak Auskultasi
: Terdengar bunyi jantung I dan II murni tanpa adanya bunyi jantung tambahan.
m. Abdomen
Inspeksi: bentuk cembung, warna kulit sawo matang, tidak ada penonjolan, tidak ada jaringan
parut, tidak ada inflamasi dan tidak ada pengeluaran umbilicus. Auskultasi : bising usus<
12x /menit. Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan.
n. Inguinal-Genetalia-Anus
Tidak terdapat lesi, tidak ada benjolan dan nyeri tekan, tidak mengalami gangguan organ
genetalia dan anus.
o. Ekstermitas
Ada nyeri pada persendian tangan dan kaki, tidak ada kelainan ekstremitas, tidak ada lesi,
capillary refill< 3 detik, turgor kulit baik, kulit teraba lembab, Sinistra : tidak ada lesi,
capillary refill< 3 detik, turgor kulit baik, kulit teraba lembab.
V. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis penyakit kusta ditetapkan dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama
penyakit kusta yaitu:
1 Bercak pada kulit yang mengalami mati rasa; bercak dapat berwarna putih
(hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous), penebalan kulit (plak infiltrate)
atau berupa nodul-nodul. Mati rasa dapat terjadi terhadap rasa raba, suhu, dan sakit
yang terjadi secara total atau sebagian.
2 Penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan gangguan pada fungsi
saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami mati rasa, saraf motorik mengalami
kelemahan otot (parese) dan kelumpuhan (paralisis), dan gangguan pada saraf otonom
berupa kulit kering dan retak-retak.
3 Pemeriksaan hapusan jaringan kulit dihasilkan yaitu BTA positif (Garamina, 2015)
MDT MB 1 x 2 tablet
A. Analisis data
Saraf sensorik
Do: Klien tampak meringis,
Fibrosis
gelisah,dan bersikap protektif
Penebalasan saraf
Tindakan pembedahan
Terjadi trauma/cedera
Terjadi luka
Merangsang mediator
inflamasi
Nyeri akut
Fagositosis
Pembentukan tuberkel
Kusta
Saraf motor
Kelemahan otot
Kusta
Sekresi histamine
Respon gatal
Digaruk
Resiko infeksi
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologi ( inflamasi) d.d mengeluh nyeri, tampak meringis,
bersikap protektif(mis waspada, posisi menghndari nyeri),gelisah,sulit tidur (D.0077)
2. Kerusakan integritas kulit/jaringan b.d perubahan sirkulasid.d kerusakan jaringan dan/atau
jaringan kulit, kemerahan (SDKI D. 0129)
3. Gangguan Citra Tubuh b.d Perubahan struktur/bentuk tubuh d.d tidak mau mengungkapkan
kecacatan bagian tubuh, mengungkapkan perasaan negatif tentang perubahan tubuh,
mengungkapkan kekhawatiran pada penolakan atau reaksi orang lain, menyembunyikan
bagian tubuh secara berlebihan, hubungan sosial berubah (D.0083)
4. Gangguan Mobilitas Fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d Kekuatan otot menurun, ROM
menurun, gerakan terbatas, Fisik lemah (D.0054)
5. Risiko infeksi b.d kerusakan integritas kulit (D. 0142)
C. Perencanaan keperawatan
\Senin , 1 08.00 S:
Mei 2022
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak - Klien mengatakan masih sedikit
dengan pasien dan lingkungan pasien. nyeri, skala nyeri 2, muncul
Respon : Perawat dan klien kooperati kadang kadang dan badan terasa
2. Periksa lokasi, karakteristik, durasi, lebih nyaman.
frekuensi, kualitas, intensitss, dan skala nyeri. - klien mengatakan masih
Respon : Klien mengatakan nyeri pada mengeluh mual dan tidak mau
terpasang cvc di subklavia kanan, nyeri makan karena nafsu makan
seperti ditusuk-tusuk, skala 3,nyeri hilang menurun dan belum bisa
timbul. menghabiskan makanannya
- klien mengatakan sudah sedikit
3. Periksa faktor yang memperberat dan
tidak nyeri dan tidak ada
memperingan nyeri.
demam
Respon : Klien tidak banyak bergerak dapat
memperingan rasa nyeri. O : TD : 110/70 mmHg
4. Periksa tanda dan gejala infeksi local dan
N : 92 X/Menit
sistemik
Respon : Klien kooperatif, tifak ada tanda dan RR: 20x/ menit
gejala infeksi local dan sistemik.
S :36,6°C
5. Periksa status nutrisi
Respon : Klien kooperatif dan klien - klien menghabiskan 1/4 porsi
kekurangan nutrisi. makannya. BB : 40 Kg
6. Periksa berat badan - ujung cvc masih tampak
Respon : BB=40 kg kemerahan,, balutan cvc
7. Monitor warna, turgor, sirkulasi dan sensasi tampak bersih jumlah leukosit
kulit 19,49
8. mengambil kultur dari lesi kulit terbuka untuk
A : intervensi pada nyeri sebagian
mengidentifikasi bakteri patogen dan pilihan
teratasi
perawatan yang sesuai
Intervensi pada nutrisi belum teratasi
09.00
Dan intervensi resiko infeksi sebgain
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk teratasi
mengurangi rasa nyeri (mis. Hipnosis,terapi
P:
musik).
Respon : Klien merasa lebih rileks saat terapi - mempertahankan intervensi
musik nyeri yaitu mempertahankan
teknik nonfarmakologi untuk
2. Jelaskan penyebab,periode,dan pemicu nyeri.
mengurangi rasa nyeri yang tiba
Respon : Klien memahami.
8
3. Jelaskan strategi meredakan nyeri tiba muncul
Respon : Klien memahami stratgei - memonitor nutrisi dan output
meredakan nyeri dengan melakukan hal yang input cairan
dapat memperingan nyeri dan melakukan - tetap memberikan obat topikal
teknik farmakologis(terapi music) atau sistemik untuk luka
4. berikan obat topical atau sistemik sesuai - melindungi lesi dengan salep
indikasi untuk luka antibiotic sesuai petunjuk
- dan menganjurkan mandi dan
menggunakan sabun
09.30 secukupnya
- tetap memeriksa tanda dan
1. Ganti balutan cvc / 3 hari
gejala resiko infeksi
Respon: Klien kooperatif
2. Pertahankan teknik aseptic pada pasien
beresiko tinggi.
Respon: Klien kooperatif
3. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Respon : klien memahami tanda dan gejala
infeksi
4. Memberikan edukasi untuk menghindari
produk berbahan dasar alkohol pada kulit
kering
5. Memberikan obat topical atau sistemik sesuai
indikasi.
6. Lindungi lesi dengan salep antibiotic sesuai
petunjuk.
7. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun
secukupnya.
10.00
1. Ajarkan meningkatkan asupan nutrisi dan
minum yang cukup
Respon : Klien memahami cara meningkatkan
asupan nutrisi.
2. Health eduation pada keluarga dan klien akan
pentingnya kebutuhan nutrisi
Respon : klien dan keluarga klien memahami
3. Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai diet
klien
Respon : Diberikan diet TKTP
Selasa, 2 08.00 S :
9
Mei 2022 1. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien dan lingkungan pasien.
Klien mengataka nyeri jarang timbul
Respon : Perawat dan klien kooperati
skala 1
2. mengevaluassi apakah masih ada nyeri dan
apakah melakukan terapi nonfarmakologis Klien mengatakan kulitnya sudah
dan meminum obat ? sedikit membaik setelah diberika obat
respon : klien merrespon dengan baik, masih / salep
sdikit ada nyeri, dan setiap nyeri klien selalu
Klien mengatakan mual berkurang,
melakukan saran untuk tarik nafas dalam dan
nafsu makan meningkat,
mendengarkan musik.
3. Melakukan terapi nonfarmakologi bila nyeri O
muncul
TD : 120/80 mmHg
4. Periksa status nutrisi
Respon : Klien kooperatif dan klien N : 92 X/Menit
kekurangan nutrisi.
RR: 20x/ menit
5. Periksa berat badan
Respon : BB=40 kg S :36,6°C
6. Periksa tanda dan gejala infeksi local dan
klien menghabiskan 1/2 porsi
sistemik
makannya.
Respon : Klien kooperatif, tidak ada tanda
dan gejala infeksi local dan sistemik. ujung cvc masih tampak kemerahan,,
7. berikan obat topical atau sistemik sesuai balutan cvc tampak bersih jumlah
indikasi untuk luka leukosit 19,49
8. Lindungi lesi dengan salep antibiotic sesuai
petunjuk.
A
09.00
- Sebagaian masalah teratasi
2. Pertahankan teknik aseptic pada pasien dimana klien tidak mual lagi
beresiko tinggi. dan nafsu makan meningkat
Respon: Klien kooperatif - Skala nyeri klien menurun
3. Jelaskan tanda dan gejala infeksi menandakan nyeri berkurang
Respon : klien memahami tanda dan gejala - Saat nyeri berkurang resiko
infeksi infeksi menurun dan tidak ada
4. Ajarkan meningkatkan asupan nutrisi. demam
Respon : Klien memahami cara meningkatkan - Luka pada kulit sudah mulai
asupan nutrisi. membaik
5. Health eduation pada keluarga dan klien akan
pentingnya kebutuhan nutrisi
Respon : klien dan keluarga klien memahami P: lanjutkan intevensi
6. Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai diet
- Memonitor nutrisi
klien
- Mempertahankan
Respon : Diberikan diet TKTP
teknik
nonfarmakologi jika
10
ada nyeri timbul
- Menggunakan obat
salep dan antibiotik
untuk
menyembuhkan dan
melindungi luka
11
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Diagnosa
yang muncul dalam assuhan keperawatan kusta yaitu nyeri akut , kerusakan integritas kulit, resiko
infeksi , dan gangguan sosial karena malu. Dengan emmberikan intervensi melakukan terpi dapat
membuat klien membaik. Intervensi yang dieberikan mempertahankan intervensi nyeri yaitu
mempertahankan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri yang tiba tiba muncul,
memonitor nutrisi dan output input cairan, tetap memberikan obat topikal atau sistemik untuk luka,
melindungi lesi dengan salep antibiotic sesuai petunjuk , dan menganjurkan mandi dan
menggunakan sabun secukupnya,dan tetap memeriksa tanda dan gejala resiko infeksi
B. SARAN
Bagi pembaca semoga asuhan keperawwatan yang kami buat ini dapat membantu teman teman dalam
memahami asuhan keperawatan pada penyakit kusta, dan diharapkan membaca literatur lainnya untuk
lebih memahami lagi.
12
DAFTAR PUSTAKA
Putra, I. G. N. D., Fauzi, N. & Agusni, I., 2009. Kecacatan pada Penderita Kusta Baru di Divisi Kusta,
URJ Penyakit Kulit dan Kelamin, pada Penderita Kusta Baru di Divisi Kusta, URJ Penyakit Kulit dan
Kelamin. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, 21(1).
Clark, B. et al., 2008. Case Control Stduy of Armadilo Contact And Hansen's Disease. Journal Tropical
Medical Hygiene.
Depkes RI, 2007. Pedoman Penentuan Klasifikasi Penyakit Kusta. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dinkesprov Jawa Timur, 2018. Profil kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2017. Surabaya: Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Elliya, R., Wahyuni, D. & Hilmiah, 2019. PENDIDIKAN KESEHATAN: TENTANG KUSTA DAN
STIGMATISASI MASYARAKAT PADA PENDERITA KUSTA DI KELURAHAN
SUKADANAHAM BANDAR LAMPUNG. Holistik Jurnal Kesehatan, XIII(1), pp. 56-61.
Firnawati, A. F., 2010. Analisis Faktor Resiko Tingkat Kecacatan pada Penderita Kusta di Puskesmas
Padas Kabupaten Ngawi, Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Garamina, H. J., 2015. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Stigma Penyakit Kusta.
Jurnal Agromed Unila, II(3), pp. 326-332.
Hadi, I. & Kumalasari, M. F., 2017. Kusta Stadium Subklinis.. Surabaya: Program Studi Arsitektur UIN
Sunan Ampel.
Hadi, M. I. & Kumalasari, M. L. F., 2017. Kusta Stadium Subklinis Faktor Risiko dan Permasalahannya.
Surabaya: Program Studi Arsitektur UIN Sunan Ampel.
Hajar, S., 2017. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. MORBUS HANSEN Biokimia dan Imunopatogenesis,
XVII(3), pp. 190-194.
Info Datin, 2018. Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Kusta. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI, 2015. Infodatin Kusta. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes RI, 2018. Profil kesehatan Indonesia tahun 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kosasih, I, M. W., SJ, E. & SM, L., 2010. Kusta dalam Adhi Juanda, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
VI penyunt. Jakarta: FKUI.
Kuswiyanto, 2015. Ciri Tanda Kusta Terhadap BTA Swab Hidung Siswa SD di Daerah Endemis Kusta
Kabupaten Kayong Utara. Jurnal Vokasi Kesehatan, I(4), pp. 119-123.
Masriadi, 2014. Epidemiologi Penyakit Menular. Depok: PT. Raja Grafindo Persada.
MENKES RI, 2019. PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA KUSTA.
s.l.:MENTERI KESEHATAB REPUBLIK INDONESIA.
Norlatifah, 2010. Hubungan Kondisi Fisik Rumah, Sarana Air Bersih dan Karakteristik Masyarakat
dengan Kejadian Kusta.
Novita, A. I., 2019. Buku Saku Penanganan Pasien Kusta. Jepara: Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet .
PPNI, D., 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
PPNI, D., 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
PPNI, D., 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Purwanto, H., 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan : Keperawatan Medikal Bedah II. 1st
penyunt. s.l.:Kementrian Kesehatan Republik Indonesia : Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia
Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Ratnawati, S., 2016. Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Risiko Kejadian Penyakit Kusta
(Morbus Hansen). Tunas - Tunas Riset Kesehatan, VI(3), pp. 103 - 109.
Tami, M., 2019. JURNAL BERKALA EPIDEMIOLOGI. HUBUNGAN ANTARA KUSTA TIPE PAUSI
BASILER DENGAN ANGKA KEBERHASILAN PENGOBATAN KUSTA DI JAWA TIMUR, VII(1), pp.
17-24.
Tukiman & Mukhlis, 2014. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Dengan Proses Penyembuhan
Pada Penderita Kusta di Kabupaten Bengkalis Riau. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera, XII(23).
Widiatma, R. R. & Prakoeswa, C. R. S., 2019. Studi Retrospektif Reaksi Kusta 1. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, XXXI(2), pp. 144-149.
Widyaningsih, O. & Menaldi, S. L., 2014. Kusta dalam: Tanto chris, dkk. KApita Selekta Kedokteran.
Jakarta: Media Aesculapis h.