Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI USIA 47 TAHUN DENGAN


TINEA FASIALIS DAN PENURUNAN FUNGSI
KOGNITIF

Pembimbing:
dr. Dody Suhartono, Sp. KK

Disusun Oleh:
Alya Bakti Destiani
(030.14.009)

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 6 JANUARI – 8 FEBRUARI 2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN ...................................................................................... 2
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 11
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 13
4.1 Definisi dan klasifikasi dermatofitosis ..................................................... 13
4.2 Epidemiologi tinea fasialis ....................................................................... 14
4.3 Etiopatiogenesis tinea fasialis .................................................................. 14
4.4 Gejala klinis tinea fasialis ........................................................................ 15
4.5 Pemeriksaan penunjang tinea fasialis....................................................... 16
4.6 Tatalaksana tinea fasialis.......................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18
LAMPIRAN .......................................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang berada di titik katulistiwa dan beriklim


tropis sehingga Indonesia memiliki kelembapan yang tinggi. Keadaan yang sangat
lembab ini sangat disukai oleh jamur sehingga jamur mudah menginfeksi dan
menyebar di kulit manusia. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2010
yang dibuat oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, penyakit kulit dan
jaringan subkutan menjadi ketiga dari 10 penyakit terbanak pada pasien rawat
jalan di rumah sakit se-Indonesia berdasarkan jumlah kunjungan yaitu sebanyak
192.414 pasien.1
Walaupun faktor kelembaban mempengaruhi terjadinya infeksi pada kulit,
kondisi lain seperti kondisi imunologik, integritas kulit, status gizim kurangnya
higenisitas sanititas masyarakat juga merupakan faktor pemicu infeksi kulit.
Penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur disebut juga dengan
dermatofitosis, sifat penyakit ini adalah kronik dan residif. Penelitian World
Health Organization (WHO) tahun 2013 terhadarp insiden dan infeksi dermatofit
menyatakan 20% orang dari seluruh dunia pernah mengalami infeksi kutaneus
dengan infeksi tinea korporis yang merupakan tipe paling dominan dan diikuti
dengan tinea kruris, tinea pedis, dan okomikosis.2
Kota Tegal merupakan salah satu wilayah otonom di provinsi Jawa Tengah,
berada di jalur pantai utara Jawa Tengah. Curah hujan di Kota Tegal sangat
rendah dan temperatur suhu rata-rata kota ini mencapai 35 derajat celcius.
Keadaan faktor lingkungan yang panas dan lembab memiliki risiko lebih tinggi
untuk terkena infeksi kulit, salah satunya adalah dermatofitosis.

1
BAB II
STATUS PASIEN

Nama : Alya Bakti Destiani Pembimbing : dr. Dody S, Sp. KK


NIM : 030.14.009

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. ES
Umur : 47 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Tempat/tanggal lahir : Tegal, 06-09-1973
Alamat : Jl. Assem Tiga Rt 3 RW 4, Tegal Barat
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : tidak bekerja
Agama : Islam
Suku : Jawa tengah
Kewarganegaraan : Indonesia
Status pernikahan : Belum menikah
Tanggal masuk RS : 11 Januari 2019, 10.00 WIB
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis
dengan ibu pasienn pada 11 Januari 2019 pukul 10.10 WIB di Poliklinik Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Kardinah, Tegal.
A. Keluhan utama:
Kulit timbul bercak merah di wajah sejak 3 bulan terakhir.
B. Keluhan tambahan:
Rasa gatal pada bercak merah di wajah sejak 3 bulan terakhir.
C. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke Poliklinik RSUD Kardinah Kota Tegal dengan kulit timbul
bercak merah di wajah sejak 3 yang lalu. Keluhan dirasa awalnya di bagian wajah

2
sebelah kanan, lebih tepatnya di depan telinga kanan. Kemudian bercak menyebar
pada sisi satunya dan timbul di dahi. Awalnya bercak kemerahan timbul hanya di
wajah sisi kanan berukuran kurang lebih 1-2 cm, namun lama kelamaan mulai
meluas menjadi 7 cm x 9 cm. Rasa gatal semakin meningkat secara bertahan sejak
3 bulan yang lalu. Bercak tersebut dirasakan sangat gatal terutama saat
berkeringat dan beraktivitas siang hari di bawah terik matahari. Sebelumnya
pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa.
Sejak 1 bulan yang lalu pasien sudah menggunakan bedak yang dibeli
sendiri di warung, namun bercak bertambah lebar dan semakin gatal. Sebelumnya
belum pernah memeriksakan keadaan kulitnya kepada dokter di rumah sakit.
Pasien pernah di diagnosis meningitis oleh dokter saraf saat pasien berusia 10
tahun. Pasien memiliki riwayat kejang saat masa kanak-kanaknya, terakhir kejang
saat pasien berusia 11 tahun. Riwayat darah tinggi, kencing manis, asma, alergi
obat, dan alergi makanan disangkal oleh pasien. Pasien tidak memelihata anjing,
kucing, atau ternak lainnya di dalam rumah. Keluarga pasien tidak ada yang
mengalami keluhan bercak merah gatal. Pasien memiliki kebiasaan sering tidur di
lantai, ia mengatakan tidak suka tidur di kasur. Lantai rumah pasien terbuat dari
ubin marmer, kebersihan lantai rumah dibersihkan setiap 3 hari sekali yaitu di
sapu dan di pel. Pasien memiliki kebiasaan mandi 1 hari sekali yaitu hanya pada
pagi hari sekitar pukul 07.00 – 08.00 WIB. Ibu pasien mengatakan pasien kurang
dalam menjaga kebersihan dirinya, ketika mandi pun harus disuruh dan jarang
berganti baju apabila tidak diingatkan.
D. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit
ginjal, alergi makanan, dan asme disangkal oleh keluarga pasien.
E. Riwayat Pekerjaan
Tidak bekerja. Sebelumnya pasien tidak pernah bekerja karena keterbatasannya
dalam berbicara. Pasien memiliki kesulitan dalam berbicara karena riwayat
meningitisnya oleh dokter saraf.

3
F. Status Sosial Ekonomi
Kebutuhan sehari- hari pasien tercukupi. Sumber penghasilan dari seorang adik
laki-laki pasien berusaha 43 tahun yang bekerja sebagai karyawan dan ibu
pasien yang berjualan warung di rumah.
G. Status Kebiasaan
Pasien tidak pernah berolahraga, pasien tidak merokok, pasien tidak memiliki
kebiasaan meminum jamu atau obat-obatan selain obat anjuran dokter, maupun
obat herbal.
H. Riwayat pengobatan
Tidak ada obat yang rutin diminum pasien.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Sabtu tanggal 11 bulan Januari tahun
2019 di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Kardinah.
a) Keadaan umum
1) Kesadaran : compos mentis
2) Kesan sakit : tampak sakit sedang
3) Kesan Gizi : obesitas grade I
4) Berat badan : 78 kg
5) Tinggi badan : 163 cm
b) Tanda vital
1) Tekanan darah : 120/80 mmHg
2) Nadi : 78 x/menit, regular, equal kanan-kiri
3) Pernapasan : 20 x/menit
4) Suhu : 36,5 ºC
c) Status generalis
- Kepala : Normosefali
- Rambut : Rambut hitam, lurus, panjang kira kira 0,5-1 cm, tipis,
cenderung tampak botak.
- Wajah : Wajah simetris. Terdapat beberapa lesi kulit di wajah sisi kanan,
wajah sisi kiri, dan dahi. Semua lesi memiliki bagian tepi lesi yang lebih aktif
dibandingkan bagian tengahnya. Lesi plak eritematosa disertai papul di tepi lesi

4
pada wajah sisi kanan, tepatnya di depan telinga kanan, lesi berbatas tegas, lesi
berukuran plakat, bentuk lonjong. Lesi plak eritematosa disertai papul di tepi
lesi pada dahi, lesi berukuran plakat, berbatas tegas, bentuk lonjong. Lesi plak
eritematosa disertai papul di tepi lesi pada wajah sisi kiri, lebih tepatnya di
dekat mata kiri, lesi berbatas tegas, lesi berukuran plakat, bentuk lonjong. Lesi
terbesar berada di wajah sisi kanan berukuran plakat ukuran 7 x 9 cm, bentuk
anular, kelainan berupa plak disertai makula eritema. Lesi terkecil berada di
wajah sisi kiri berukuran nummular ukuran 3 x 2 cm, bentuk anular, kelainan
berupa plak disertai makula eritema.
- Mata :
Visus : tidak dilakukan
Sklera ikterik : tidak ada
Konjungtiva anemis : tidak ada
Pupil : bulat, isokor
- Telinga :
Bentuk : normotia Sekret/serumen : tidak ada
Nyeri tekan tragus : tidak ada
Nyeri tarik aurikula : tidak ada
Liang telinga : lapang
- Hidung :
Bentuk : simetris Mukosa hiperemis : tidak ada
Deviasi septum : tidak ada Sekret : tidak ada
- Bibir : tidak ada kelainan bentuk, tidak sianosis.
- Mulut : Oral higiene baik, mukosa mulut warna merah muda, arcus
palatum simetris.
- Lidah : Normoglosia, tidak tampak hiperemis, lidah tidak tampak
kotor.
- Tenggorokan : Uvula terletak di tengah, ukuran tonsil T2-T2, tidak tampak
hiperemis, tidak tampak detritus, dinding posterior faring tidak hiperemis.
- Leher: tidak ada kelainan bentuk, tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening.

5
- Thorax
Paru :
 Inspeksi: bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis, pergerakan
saat bernapas simetris, tidak terdapat retraksi subcostal dan pengguanan
otot bantu pernapasan.
 Palpasi: pergerakan napas simetris kanan dan kiri
 Perkusi: sonor
 Auskultasi: suara napas vesikuler (SNV) kanan dan kiri, regular, tidak
terdapat rhonki , tidak ada wheezing.
Jantung :
 Inspeksi: tampak iktus kordis
 Palpasi: iktus kordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
simetris, tidak tampak gerakan peristaltic
 Auskultasi: Bunyi jantung I-II regular, tidak ada gallop, tidak ada murmur.
- Abdomen
 Inspeksi: simetris, datar, tidak ada distensi.
 Auskultasi: bising usus 3 kali/menit
 Perkusi: timpani pada 4 kuadran abdomen
 Palpasi: supel, turgor kulit kembali cepat, tidak ada nyeri tekan, hepar dan
lien tidak teraba membesar.
- Kelenjar getah bening
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Superior servikal : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar
Aksila : tidak teraba membesar
- Ekstremitas:
 Inspeksi : pada keempat ekstremitas simetris kanan dan kiri pada, tidak
ada deformitas, tidak anemis, tidak ikterik, tidak sianosis.

6
 Palpasi : pada keempat ekstremitas akral hangat, turgor kulit baik, tidak
ada atrofi otot, tonus otot baik, tidak ada edema, capillary refill time
(CRT)<2 detik.
- Status Neurologis : Rangsang nyeri dan raba halus baik.
- Status Dermatologis :
 Distribusi : regional simetris.
 Ad Regio : wajah sisi kanan dan kiri, dahi.
 Lesi : multiple, ukuran plakat, susunan lonjong, bentuk lesi tepinya lebih
aktif dibandingkan di tengah lesi.
 Efloresensi : plak, eritema, papul di tepi lesi.
- Status kognitif dengan instrument MMSE (Mini Mental State
Examination) didapatkan skor kognitif global secara umum nilainya 20.
Interpretasi nilai pada MMSE yaitu nilai 24-30 normal, nilai 17 – 23 suspect
gangguan kognitif, dan nilai 0-16 definit gangguan kognitif.
- Gambar 1 menunjukkan lesi yang didapatkan pada pasien ini

Gambar 1. Lesi pada pasien

7
IV. DIAGNOSIS BANDING LESI PLAK ERITEMATOSA
- Ptiriasis versikolor. Pada ptiriasis lesi khasnya selain terdapat eritematosa,
dapat terjadi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Predileksi utama
ptiriasis versikolor terutama di badan bagian atas, leher, perut, dan
ekstermitas.
- Erisipelas. Pada erisipelas lesinya eritema berwarna merah lebih cerah
dibanding tinea fasialis, serta disertai gejala konstitusi berupa demam dan
atau malaise.
- Dermatitis kontak alergi. Pada dermatitis kontak alergi disertai adanya
edema dan memiliki riwayat atopi pada pasien dan atau keluarga.
- Dermatitis kontak iritan. Pada dermatitis kontak terdapat pajanan yang
terpapar pada pasien, yang sebelumnya belum pernah terpajang, sehingga
menyebabkan lesi pada kulit.
- Dermatitis atopik. Pada dermatitis alergi memiliki predileksi khas untuk
usia dewasa yaitu di fosa kubiti dan popliteal, fleksor pergelangan tangan,
kelopak mata. Diagnosis dermatitis alergi bisa ditegakkan menggunakan
kriteria William dengan memenuhi minimal 3 kriteria mayor ditambah
minimal 3 kriteria minor.
- Psoriasis vulgaris. Lesi khas psoriasis vulgaris adalah lesi plak
eritematosa berkuama berlapis, berwarna putih keperakan.
VI. DIAGNOSIS KERJA
Tinea fasialis dengan penurunan fungsi kognitif.
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan langsung sediaan basah dengan larutan KOH 20%.
VIII. PENATALAKSANAAN
- Medikamentosa
 Antimikotik sistemik. Griseovulvin tablet 2x500 mg selama 2-4
minggu.
 Antihistamin sistemik. Cetirizine tablet 1 x 10 mg selama 7 hari.

8
 Topikal antimikotik ketokonazole sebanyak dua kali sehari sealma
4-6 minggu.
- Non Medikamentosa
 Edukasi mengenai kebersihan tubuh pasien dengan mandi dua kali
dalam sehari menggunakan sabun.
 Menganjurkan pasien tidak tidur di lantai, melainkan di tempat
tidur. Apabila pasien sangat ingin tidur di lantai, dianjurkan
dialaskan oleh kasur tipis dengan sprei yang bersih.
 Menganjurkan pasien dan keluarga pasien menjaga kebersihan
rumah pasien salah satunya dengan mengepel lantai setiap 1-2 hari
sekali.
 Menganjurkan pakaian, sprei, handuk, dan linen lainnya yang
sudah digunakan pasien direndam dengan sodium hopklorit 2%
untuk membunuh jamur atau menggunakan disinfektan lain.
IX. PROGNOSIS
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam
X. RESUME
Pasien datang ke Poliklinik RSUD Kardinah Kota Tegal dengan kulit
bercak merah sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan dirasa awalnya di bagian wajah
sebelah kanan, kemudian bercak menyebar pada sisi satunya dan timbul di dahi..
Rasa gatal semakin meningkat secara bertahan sejak 3 bulan yang lalu. Bercak
tersebut dirasakan sangat gatal terutama saat berkeringat dan beraktivitas siang
hari di bawah terik matahari. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan
serupa. Sejak 1 bulan yang lalu pasien sudah menggunakan bedak yang dibeli
sendiri di warung, namun bercak bertambah lebar dan semakin gatal. Sebelumnya
belum pernah memeriksakan keadaan kulitnya kepada dokter di rumah sakit.
Pasien pernah didiagnosis meningitis oleh dokter saraf saat pasien berusia 10
tahun. Pasien memiliki riwayat kejang saat masa kanak-kanaknya, terakhir kejang

9
saat pasien berusia 11 tahun.. Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan
bercak merah gatal.
Pasien memiliki kebiasaan sering tidur di lantai, ia mengatakan tidak suka
tidur di kasur. Lantai rumah pasien terbuat dari ubin marmer, kebersihan lantai
rumah dibersihkan setiap 3 hari sekali yaitu di sapu dan di pel. Pasien memiliki
kebiasaan mandi 1 hari sekali yaitu hanya pada pagi hari sekitar pukul 07.00 –
08.00 WIB. Hasil pemeriksaan kognitif dengan instrument MMSE didapatkan
nilai 20 yang menandakan suspect gangguan kognitif. Pada pemeriksaan fisik
dalam batas normal, status neurologis rangsang nyeri dan raba halus tidak
terganggu, status dermatologis dijumpai kelainan pada regio wajah kanan kiri dan
dahi. Lesi plak eritematosa multipel dengan papul di pinggiran lesi, ukuran plakat,
susunan lonjong, bentuk lesi tepinya lebih aktif dibandingkan di tengah lesi.
Pemeriksaan anjuran untuk pasien ini adalah pemeriksaan langsung sediaan basah
dengan larutan KOH 20%.

10
BAB III
PEMBAHASAN

Keluhan bercak kemerahan yang gatal di wajah dapat mengarah kepada


berbagai diagnosis penyakit kulit seperti tinea fasialis, ptiriasis versikolor,
erisipelas, dermatitis kontak, dermatitis alergi, psoriasis vulgaris, dan diagnosis
lainnya. Pada infeksi kulit karena mikroorganisme dapat terjadi perburukan lesi
seperti lesi bertambah luas, lesi bertambah eritema, dan atau lesi bertambah gatal.
Hal ini dikarenakan mikroorganisme merupakan makhluk hidup yang memiliki
kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang. Tinea fasialis memiliki khas lesi
polimorfik berbatas tegas, bentuk bulat atau lonjong, bagian tepi lesi lebih aktif
karena ada tanda-tanda peradangan dibandingkan bagian tengah lesi dengan
predileksi di permukaan wajah. Sedangkan pada penyakit kulit non dermatofitosis
seperti pada ptiriasis versikolor lesi khasnya selain terdapat eritematosa, dapat
terjadi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, dengan predileksi di badan bagian
atas, leher, perut, dan ekstremitas. Sehingga diagnosis ptiriasis versikolor dapat
disingkirkan karena pada pasien ini tidak didapatkan hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi dan predileksi lesi tidak sesuai.
Diagnosis erisipelas dapat disingkirkan karena lesi erisipelas berwarna
lebih cerah dibandingkan lesi pada tinea fasialis. Erisipelas didahului gejala
konstitusi berupa demam, sedangkan pada pasien ini tidak didapatkan keluhan
demam sebelum timbulnya lesi. Dermatitis kontak alergi dapat disingkirkan
diagnosisnya karena pasien dan keluarga tidak memiliki riwayat atopi. Dermatitis
kontak iritan dapat disingkirkan karena berdasarkan anamnesis pasien dan
keluarga pasien mengatakan tidak ada riwayat terkena bahan atau pajanan yang
sebelumnya tidak pernah kontak dengan kulit yang menyebabkan munculnya lesi
di kulit. Begitu pula dengan diagnosis psoriasis vulgaris dapat disingkirkan karena
pada pasien ini tidak didapatkan skuama berlapis berwarna putih keperakan yang
menjadi lesi khas pada psoriasis.
Menurut penelitian studi retrospektif mengenai karakteristik dermatofitosis
oleh Devy D et al tahun 2018 di Divi Mikologi Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit

11
dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode Januari 2014 hingga
Desember 2016 didapatkan data jumlah kunjungan pasien baru dermatofitosis
mengalami peningkatan yaitu 71,9% dari seluruh pasien yang datang ke Divisi
Mikologi. Tinea korporis merupakan diagnosis terbanyak yaitu sebesar 56,1%
dengan usia terbanyak antara 45 – 64 tahun.3 Pada pasien ini berjenis kelamin
laki-laki dengan usia 47 tahun, dimana hal ini sesuai karakteristik demografi pada
hasil penelitian Devy D et al. Faktor-faktor yang mempengaruhi dermatofitosis
diantaranya udara lembab, lingkungan yang padat, sosial ekonomi yang rendah,
adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit sistemik penggunaan
antibiotika dan obat steroid, serta higenisitas pasien.4 Pada pasien ini didapatkan
faktor yang mempengaruhi dermatofitosis adalah sosial ekonomi yang cenderung
rendah, obesitas, dan higenisitas pasien yang rendah.
Pasien ini memiliki riwayat meningitis yang merupakan infeksi sistem
saraf pusat dan saat ini didapatkan suspect penurunan fungsi kognitif karena skor
MMSE pasien 20 yang menunjukkan suspect fungsi kognitif. Infeksi sistem saraf
pusat dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi kognitif dengan spectrum
yang luas, mulai dari gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment)
hingga gangguan kognitif berat berupa demensia terkait infeksi (infection-
associated dementia). Pasca infeksi sistem saraf pusat, inflamasi yang berlebihan
akibat mikroglia yang teraktivasi dapat terus berlanjut meskipun agen infeksi telah
dieradikasi.5 Transmisi dari dermatofitosis dapat melalui manusia yang terinfeksi
fungi, binatang yang terinfeksi fungi, atau menalui autoinokulasi melalui reservoir
dermatofita yang berkoloni di kaku.

12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi dan klasifikasi dermatofitosis


Dermatofitosis merupakan salah satu kelompok dermatomikosis
superfisial yang disebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi
penjamu terhadap produk metabolit jamur dan akibat invasi oleh suatu
organisme pada jaringan hidup. Dermatofitosis disebabkan oleh kolonisasi
jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti
stratum korneum kulit, rambut, dan kuku pada manusia dan hewan.6
Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi infeksi atau ciri tertentu dibagi
menjadi 9 jenis yaitu tinea kapitis, tinea favosa, tinea berbae, tinea korporis,
tinea imbrikata, tinea kruris, tinea pedis, tinea manum, dan tinea unguium.
Tinea fasialis merupakan salah satu jenis tinea korporis. Klasifikasi
dermatofitosis dapat dilihat pada tabel 1.7
Tabel 1. Klasifikasi dermatofitosis berdasarkan lokasi.

13
4.2 Epidemiologi tinea fasialis
Prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari
wanita karena usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi
yang penting. Perpindahan mansia dapat dengan cepat mempengaruhi
penyebaran endemik dari jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang
sifatnya oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan
temperature dan kelembaban kulit meningkatkan kejadian infeksi tinea.8
Penelitian yang dilakukan Prohic A et al di Boznia dan Herzegovina pada
tahun 2015 menyatakan pasien dengan dermatofita memiliki dua titik
maksimal usia yaitu usia di bawah 16 tahun dan usia diantara 46-55 tahun.
Pasien usia kurang dari 16 tahun memiliki diagnosis tinea fasialis. Laki-aki
usia di bawah 15 tahun dan perempuan usia di atas 55 tahun merupakan
karakteristik demografik terbanyak pada dermatofita.9

4.3 Etiopatiogenesis tinea fasialis


Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton, yang dikelompokkan dalam kelas
Deuteromycetes. Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17 spesies diisolasi dari
infeksi jamur pada manusia. Lima spesies Microsporum menginfeksi kulit dan
rambut, 11 spesies Trichophyton menginfeksi kulit, rambut, dan kuku, 1
spesies Epidermophyton menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku.
Spesies terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di Indonesia adalah
Trichophyton rubrum berdasarkan penelitian di RS Dr. Cipto Mangun
Kusumo Jakarta tahun 1980.10 Terjadinya penularan dermatofitosis melalui
antropofilik (transmisi dari manusia ke manusia), zoofilik (transmisi dari
hewan ke manusia), dan geofilik (transmisi dari tanah ke manusia). Untuk
dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus mengatasi pertahanan tubuh
non spesifik dan spesifik yang dimiliki oleh mukosa penjamu.
Jamur harus memiliki kemampuan melekat pada kulit dan mukosa
penjamu, serta kemampuan untk menembus jaringan penjamu, menyesuaikan
diri dengan suhu dan keadaan biokimia penjamu untuk dapat berkembang biak

14
dan menimbulkan reaksi jaringan atau radangan. Infeksi dermatofit dapat
terjadi melalui tiga langkah utama yaitu perlekatan pada keratinosit, penetrasi
melalui dan diantara sel, serta pembentukkan respon penjamu. Perlekatan
dermatofit pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam, dimediasi
oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase
(keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan
jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik
dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan activator
plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel
dalam menginvasi penjami.
Spora jamur harus tumbuh den menembus masuk stratum korneum dengan
kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi akan menghasilkan
sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi
jamur. Dalam upaya bertahan dan menghadapi pertahanan imun si jamur,
jamur melakukan metode penyamaran dengan membentuk kapsul polisakarida
yang tebal, memicu pertumbuhan filament hifa, sehingga jamur dapat bertahan
terhadap fagositosis. Setelah metode penyamaran, jamur mengaktifkan
mekanisme penghambatan imun penjamu misalnya Adhesin pada dinding sel
jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 pada dinding makrofag
sehingga aktivasi makrofag akan terhambat. Kemudian jamur memproduksi
toksin atau protease yang merusak pertahanan imun spesifik penjamu. Hal ini
memudahkan proses invasi oleh jamur.11

4.4 Gejala klinis tinea fasialis


Dermatofitosis terjadi karena terjadi inokulasi jamur pada tempat yang
diserang, biasanya di tempat yang lembab dengan maserasi atau ada tanda
sebelumnya. Ciri khas pada infeksi jamur adalah adanya bagian pinggir lesi
yang tampak aktif dibandingkan dengan bagian tengah lesi, hal ini disebut
juga dengan central healing. Gejala subjektifnya adalah rasa gatal terutama
ketika berkeringat. Lesi pada tinea fasialis terdiri dari bermacam-macam
eloresensi kulit (polimorfi), dapat berupa hiperpigmentasi dan skuamasi

15
menahun. Bentuk lesi dapat berupa bulat atau lanjong, berbatas tegas, terdiri
atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi.
Terkadang dapat terdapat erosi dan krusta akibat lesi yang digaruk. Kelainan
kulit juga dapat dilihat secara polisiklik karena beberapa lesi kulit yang
menjadi satu. Lesi yang meluas ukurannya dan memberikan gambaran tidak
khas dapat terjadi pada pasien dengan imunodefisiensi.12 Lesi dengan central
healing dan lesi subakut tinea dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Lesi central healing pada dermatofitosis

4.5 Pemeriksaan penunjang tinea fasialis


Beberapa kasus membutuhkan pemeriksaan dengan lampu wood yang
mengeluarkan sinat UV (ultraviolet) dengan gelombang 3650 A yang
didekatkan pada lesi akan timbul warna kehijauan. Pemeriksaan sediaan
langsung dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan elemen jamur
berupa hifa panjang dan artrospora seperti pada gambar 3. Pengambilan
sampel sedaiana langsung adalah di bagian tepi lesi.

Gambar 3. Pemeriksaan KOH 10% tampak hifa panjang.

16
Pemeriksaan dengan biakkan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah, dimana tujuannya untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Medium untuk biakkan yang baik adalah agar dextrosa Sabouruad.
Biakkan memberikan hasil yang lebih lengkap, akan tetapi lebih sulit
dikerjakan, biaya lebih mahal, hasil yang diperoleh dalam waktu lebih lama
dan sensitivitasnya kurang (60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan
sediaan langsung. Kultur fungi dilakukan pada suhu 28oC selama 1-4
minggu.13

4.6 Tatalaksana tinea fasialis


Penatalaksanaan secara non medikamentosa diantara menghindari dan
mengeliminasi agen penyebab dan mencegah penularan dermatofitosis.
Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan diri, mematuhi pengobatan yang
diberikan untuk mencegah resistensi obat, menggunakan pakaian yang tidak
ektat dan menyerap keringat, pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum
menutup area yang rentan terinfeksi jamur, geunakan sandal atau sepatu yang
lebar dan keringkan jari kaki setalah mandi, hindari penggunaan handuk atau
pakaian bergantian dengan orang lain, dan skrining keluarga. Pengobatan
medikamentosa tinea fasialis dapatdiberikan secara topikal dan sistemik.
Pengobatan topikal obat pilihannya adalah golongan alilamin (krim tebrinafin,
butenafin) sekali sehari selama 1-2 minggu.
Alternatif topikal lainnya adalah golongan azol seperti krim mikonazol,
ketokonazol, klotrimazol 2 kalis elama 4-6 minggu. Medikamentosa sistemik
diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi. Obat pilihan sistemik
adalah terbinafin oral 1 x 250 mg per hari, diberikan hingga klinis membaik
dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif, selama 2 minggu. Alternatif
medikamentosa sistemiknya adalah itrakonazol 2 x 100 mg per hari selama 2
minggu, griseofulvin oral 500 mg par hari atau 10-25 mg/kgBB/hari selama 2-
4 minggu, atau ketokonazol 200 mg per hari.13

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehtan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Republik


Indonesia tahun 2010. Jakarta: Kemenkes RI. 2011.
2. Lakshmipathy TD, Kannabiran K. Review on Dermatomycosis:
Pathogenesis and Treatment. Natural Science. 2013.
3. Devy D, Ervianti E. Studi Retrospektif: Karakteristik Dermatofitosis.
Surabaya: Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol 30. 2018; 66-7.
4. Sularsito, Adi S. Dermatologi praktis. Jakarta: Perkumpulan Ahli
Dermatologi dan Venerologi Indonesia. 2006.
5. Wang T, Rumbaugh JA, Nath A. Viruses and the brain: from
inflammation to dementia. Clin sci 2006; 110: 393-407.
6. Verma S, Hefferman MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,
Onichomycosis, Tinea Nigra, Pidera. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S,
Gilchrest B, Paller A, Leffel O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7TH ed. New York: McGraw-Hilll. 2008; 1807-21.
7. Budimulya U. Mikosis, dalam: Djuanda A, Hamzah H, Aisah S, editor.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2007: 89-105.
8. Wollf K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. 5th ed. New York: McGraw-Hill. 2005.
9. Prohic A, Sadicovic, Krupalija-Fazlic M. Mycological and Clinical
Aspects of Tinea Faciei: A Ten-yar Study. Asian Academic Research
Journal of Multidisciplinary. 2015: 104-5.
10. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia, dalam:
Budimylya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati
S, editor. Dermatomikosis Superfisialis. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2004: 1-6.
11. Richardson M, Edwart M. Model System for the Study of Dermatophyte
and Non-dermatophyte Invasion of Human Keratine. Revista
Iberoamericana de Micologia. 2000: 115-21.

18
12. Gupita, Aditya K, Chaudry, Maria, Elweski, Boni, et al. Tinea corporis,
tinea cruris, tinea nigra, and piedra, in: Dermatologic Clinics. Philadephia:
Elsevier Health Sciences Division. 2008: 21 (3); 395-400.
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia.
Dermatofitosis, dalam: Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: PP PERDOSKI. 2017: 51-4.

19
LAMPIRAN
Mini Mental State Examination (MMSE)

20
21

Anda mungkin juga menyukai