Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN REFERAT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER NOVEMBER 2023


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

“SIFILIS”

OLEH :
Julian Muhammad Yasin
111 2022 2254

PEMBIMBING :
Dr. dr. Hj. Andi Sastri, Sp. KK, FINSDV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Julian Muhammad Yasin

NIM : 111 2022 2254

Judul : Sifilis

Telah menyelesaikan Referat yang berjudul ”Sifilis” dan telah disetujui

serta telah dibacakan dihadapan supervisor pembimbing dalam rangka

kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, November 2023

Menyetujui,
Dokter Pendidik Klinik, Penulis,

Dr. dr. Hj. Andi Sastri, Sp. KK, FINSDV Julian Muhammad Yasin
KATA PENGANTAR

Assamu’Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat ini

dengan judul “Sifilis” sebagai salah satu syarat menyelesaikan Tugas

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Fakultas

Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang


telah membantu dalam pembuatan Referat ini dan khususnya kepada
Pembimbing saya Dr. dr. Hj. Andi Sastri, Sp. KK, FINSDV yang telah
banyak membantu selama proses pembuatan Referat ini. Dan saya juga
mengucapkan permohonan maaf kepada setiap pihak jika dalam proses
pembuatan Referat ini saya telah berbuat salah, baik disengaja maupun
tidak disengaja. Sebagai manusia biasa penulis menyadari sepenuhnya
akan keterbatasan baik dalam penguasaan ilmu, sehingga Referat ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk saran dan kritik yang sifatnya
membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan
Referat ini. Akhirnya penulis berharap sehingga Referat ini memberikan
manfaat bagi pembaca.

Makassar, November 2023

Julian Muhammad Yasin


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
BAB I...........................................................................................................4
PENDAHULUAN.........................................................................................4
BAB II..........................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................5
2.1 Definisi........................................................................................................
2.2 Patofisiologi ................................................................................................
2.3 Diagnosis....................................................................................................
2.4 Tatalaksana.................................................................................................
2.5 Komplikasi..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 26
BAB III.......................................................................................................17
PEMBAHASAN.........................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan

oleh spiroset Treponema pallidum. Sifilis ditularkan melalui kontak

seksual atau luka pada kulit dari lesi infeksius, dari ibu ke janin,

atau melalui transfusi darah. Sifilis bersifat kronis dan dapat

mengenai hampir seluruh struktur tubuh.[1,2]

Sifilis memiliki berbagai gambaran klinis dan seringkali sulit

dibedakan infeksi atau penyakit imunologi lain. Oleh karena itu,

penyakit ini sering disebut “the great impostor”. Penegakkan

diagnosis dimulai dari gejala yang timbul, seperti adanya ulkus

tunggal dengan tepi teratur dan dasar bersih pada sifilis primer,

disertai pemeriksaan VDRL (Venereal Disease Research

Laboratory) dan TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination

Assay) yang reaktif.[2-4]

Bila tidak diterapi, sifilis dapat berkembang dalam 4 fase,

yaitu sifilis primer, sekunder, laten dan tersier. Sebagaimana jenis

infeksi menular seksual (IMS) lainnya, sifilis akan meningkatkan

risiko seseorang tertular HIV. Adapun pada pasien HIV, sifilis

dapat meningkatkan daya infeksi HIV.[5,6]

Penatalaksanaan lini pertama sifilis adalah

menggunakan benzil benzatin penicillin G yang diberikan


melalui injeksi intramuskuler. Pada pasien dengan alergi penicillin,

dapat digunakan obat alternatif lain seperti doxycycline

dan ceftriaxone.[1,3]

Evaluasi terapi dilakukan secara klinis dan serologi pada

bulan ke-1, 3, 6, dan 12 setelah diagnosis dan inisiasi terapi.

Pasien dikatakan sembuh jika titer VDRL dan Rapid Plasma

Reagin (RPR) menurun 4 kali lipat dalam 6 bulan setelah

pengobatan.[1]

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan

oleh spiroset Treponema pallidum. Sifilis ditularkan melalui kontak

seksual atau luka pada kulit dari lesi infeksius, dari ibu ke janin,

atau melalui transfusi darah. Sifilis bersifat kronis dan dapat

mengenai hampir seluruh struktur tubuh.[1,2]

2.2 EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi sifilis dilaporkan lebih tinggi pada negara

berkembang dibandingkan negara maju. Sifilis juga memiliki

peningkatan prevalensi pada populasi lelaki seks dengan lelaki

(LSL), pekerja seks komersial, dan wanita hamil.[5,18,20]

Global
Secara global, prevalensi sifilis paling sering dijumpai pada

populasi lelaki seks dengan lelaki (LSL). Data dari WHO yang

melibatkan 25 negara yang melaporkan kasus sifilis, menunjukkan

bahwa 11 negara memiliki lebih dari 5% pria LSL didiagnosis

dengan sifilis akut dan 7 negara di antaranya melaporkan lebih

dari 10% pria LSL didiagnosis dengan sifilis akut.

Selain itu, dilaporkan bahwa 1% atau lebih

kunjungan antenatal care di 38 dari 78 negara positif saat

dilakukan pemeriksaan sifilis. Dari 78 negara ini, rata-rata

kunjungan antenatal care dengan pemeriksaan sifilis yang positif

adalah 3,2%. Sementara itu, WHO juga melaporkan bahwa lebih

dari 5% pekerja seks komersial positif sifilis di 11 negara dan lebih

dari 10% pekerja seks komersial positif sifilis di 4 negara dari 32

negara yang melaporkan data epidemiologinya.[5,20]

Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa epidemiologi

sifilis menurun sejak adanya penicillin, yakni dari 66,4 kasus per

100.000 orang menjadi 3,9 kasus per 100.000 orang.[19] Data

CDC Amerika Serikat pada tahun 2017 melaporkan distribusi

kasus sifilis primer dan sekunder terjadi 52% pada LSL, 6% pada

pria yang berhubungan seksual dengan pria dan wanita, dan 15%

pada pria yang berhubungan seksual dengan wanita saja.[5,20]

Indonesia
Data nasional epidemiologi sifilis di Indonesia belum tersedia.

Berdasarkan laporan HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS)

triwulan IV tahun 2017 dari Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, kasus infeksi menular seksual pada kelompok risiko

tinggi didapatkan terbanyak pada wanita pekerja seks komersial.

Laporan ini juga menyebutkan bahwa hasil nasional skrining sifilis

yang positif pada ibu hamil didapatkan pada 1904 dari 17.544

yang menjalani pemeriksaan.[22]

Mortalitas

Pada orang dewasa, mortalitas umumnya ditemukan akibat

komplikasi sifilis tersier, seperti meningitis dan aneurisma pada

aorta ascendens. Sementara itu, sifilis kongenital hingga saat ini

masih merupakan salah satu penyebab utama abortus dan

kematian bayi intrauterin di dunia.[3,5]

Sebuah studi di Amerika Serikat (2020) menunjukkan ada

6.498 kematian akibat sifilis sepanjang tahun 1968-2015. Dari

jumlah tersebut, 4.149 terjadi pada pria dan 2.349 terjadi pada

wanita. Tingkat mortalitas tahunan sifilis dilaporkan terus menurun

dari tahun ke tahun.[24]

2.3 ETIOLOGI

Etiologi sifilis adalah infeksi spiroset Treponema pallidum yang

masuk melalui mikroabrasi kulit atau membran mukosa. Sifilis


umumnya ditularkan melalui kontak seksual, tapi juga dapat

ditularkan dari ibu ke janin atau melalui transfusi darah.[1,6]

Treponema pallidum

Treponema pallidum berbentuk heliks, bersifat mikroaerofilik,

memiliki panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,18 µm, serta

memiliki 2-3 flagella untuk motilitasnya. Ukurannya yang kecil

membuat organisme ini tidak terlihat dengan mikroskop cahaya

dan diidentifikasi melalui gerakan undulasi pada mikroskop

lapangan gelap. Dari penelitian didapatkan organisme ini

membelah setiap 30-33 jam secara in vivo. Treponema

pallidum hanya dapat bertahan dalam waktu singkat di luar tubuh

karena rendahnya kapasitas metabolisme, dan menurunnya

viabilitas pada lingkungan yang memiliki suhu lebih tinggi dari

temperatur tubuh.[3,6,16]

Treponema pallidum tidak memiliki lipopolisakarida dan tidak

memproduksi protein toksik. Gejala yang ditimbulkan adalah akibat

respon imun dan inflamasi dari pejamu.[5,7]

Penularan

Semua subspesies Treponema pallidum dapat ditularkan

melalui kontak langsung dengan lesi aktif. Pada kebanyakan

kasus, sifilis menyebar melalui kontak seksual. Sifilis juga bisa

menyebar melalui barier plasenta dan transfusi darah.[1,6]


2.4 FAKTOR RESIKO

Sebuah studi melaporkan beberapa faktor yang

meningkatkan risiko sifilis, di antaranya:

 Usia reproduktif

 Tingkat pendidikan yang rendah

 Hubungan seksual sesama jenis

 Infeksi HIV

 Jumlah pasangan seksual yang banyak

 Penggunaan kondom yang tidak konsisten[5,17]

2.5 PATOFISIOLOGI

Patofisiologi sifilis melibatkan infeksi bakteri Treponema

pallidum yang umumnya ditularkan melalui kontak dengan mukosa

atau kulit pasien yang terinfeksi pada saat hubungan seksual.

Selain itu, pada kasus sifilis kongenital, bakteri menembus sawar

plasenta dan menginfeksi fetus.[6,7]

Sifilis Didapat

Treponema pallidum mula-mula masuk melalui mikroabrasi

dermal atau membran mukosa yang intak. Hal ini akan

menyebabkan munculnya lesi tunggal tidak nyeri (chancre) pada

area inokulasi. Dalam beberapa jam setelahnya, bakteri akan

masuk ke dalam aliran limfe dan darah yang kemudian menjadi

infeksi sistemik.[1,5,6]
Sifilis Primer

Sifilis primer memiliki karakteristik dengan

terbentuknya chancre yang tidak nyeri pada lokasi inokulasi

setelah masa inkubasi 3-6 minggu. Lesi ini memiliki dasar

berbentuk punched out, bagian tepi bergelombang, dan sangat

infeksius.

Chancre memiliki gambaran histologi berupa infiltrasi leukosit

mononuklear, makrofag dan limfosit. Umumnya, chancre akan

berkembang menjadi indurasi, kemudian membentuk ulkus yang

tidak purulen. Lesi akan sembuh sendiri dalam 4-6 minggu tanpa

meninggalkan bekas. Jika tidak tertangani, sifilis primer dapat

berkembang menjadi sifilis sekunder.[1,6]

Sifilis Sekunder

Dalam hitungan jam setelah inokulasi, saat terjadi evolusi

stadium primer, Treponema pallidum menyebar dan berdeposit

pada jaringan tubuh secara luas, tetapi umumnya pada area kutan

atau mukosa. Pada tahap ini, akan muncul lesi makulopapular,

papular, makular, atau anular papular. Lesi kulit umumnya

ditemukan pada telapak tangan dan kaki. Lesi berbatas tegas,

berwarna merah kecoklatan, dengan diameter sekitar 5 mm dan

merupakan lesi paling infeksius.[5,8]

Sifilis sekunder terbentuk dalam 4-10 minggu setelah

munculnya lesi primer. Condyloma lata dan patchy


alopecia merupakan gambaran yang hanya ditemukan pada sifilis

sekunder. Condyloma lata adalah lesi yang tidak nyeri, berwarna

merah keabu-abuan, umumnya terbentuk pada lokasi yang hangat

dan lembab. Patchy alopecia merupakan alopesia berbentuk

bercak-bercak dengan gambaran moth eaten pada kulit kepala

dan rambut wajah.[3,9]

Sifilis Laten

Lesi sifilis sekunder dan manifestasi lainnya umumnya

menghilang sendiri dalam 3 bulan. Periode tanpa gejala ini disebut

sebagai sifilis laten. Namun, walaupun tidak terdapat gejala, sifilis

laten tetap menular dan dapat diturunkan pada bayi yang lahir dari

ibu yang tidak diobati.[5,10]

Sifilis Tersier

Beberapa tahun setelah periode laten, orang dengan sifilis

dapat mengalami gejala tersier berupa neurosifilis, penyakit

kardiovaskular, dan sifilis gummatosa.[5]

Sifilis Gummatosa:

Pada sifilis gummatosa terbentuk lesi granulomatosa yang

disebut gumma, dengan gambaran berupa jaringan nekrotik

sentral dengan tekstur seperti karet yang dapat terbentuk di

berbagai organ. Pada gambaran histopatologinya terdapat

makrofag berbentuk palisade disertai fibroblas dan sel plasma di


tepi lesi. Gumma dapat pecah, membentuk ulkus, dan berangsur-

angsur menjadi fibrotik.[5,11]

Sifilis Kardiovaskular:

Sifilis kardiovaskular biasanya terjadi 10 tahun setelah infeksi

primer, umumnya terjadi pembentukan aneurisma pada aorta

ascendens yang disebabkan oleh inflamasi kronik yang merusak

vasa vasorum.[3,12]

Neurosifilis:

Neurosifilis memiliki gambaran yang

bervariasi. Meningitis sifilis terjadi akibat invasi spiroseta pada

sistem saraf pusat. Sifilis meningovaskular menyebabkan infark

dan kerusakan neurologi luas akibat kerusakan pembuluh darah

meninges, otak, dan korda spinalis. Parese generalis terbentuk

karena kerusakan pada daerah kortikal otak dengan gejala awal

menyerupai dementia dimana terjadi gangguan memori dan

berbicara, gangguan kepribadian, iritabilitas, dan gejala psikotik.

[13,14]

Sifilis Kongenital

Treponema pallidum dapat menembus barier plasenta dan

menginfeksi fetus. Transmisi ini dapat terjadi pada seluruh stadium

sifilis. Pada kehamilan, penurunan respon imun menyebabkan

klirens Treponema pallidum yang inkomplit sehingga

menyebabkan infeksi kronik. Meningkatnya produksi IL-2, IFN-ᵞ,


TNF-α, dan prostaglandin yang diinduksi oleh infeksi pada fetus

disertai dengan respon inflamasi intens yang berkaitan dengan

aktivasi makrofag oleh lipoprotein treponema yang dapat

menyebabkan abortus dan kematian bayi intrauterin.[3,7]

Apabila bayi lahir hidup, dapat muncul gejala yang mirip

dengan sifilis orang dewasa disertai condyloma lata. Sifilis

kongenital dapat menyebabkan sekuele berupa deformitas tulang

dan gigi seperti saddle nose (akibat destruksi septum nasi), saber

shins (akibat inflamasi dan deformitas berupa lengkungan pada

tibia), Clutton’s joint (akibat inflamasi pada sendi

lutut), Hutchinson’s teeth (insisivus pada bagian atas melebar dan

bertakik), dan mulberry molar (molar memiliki banyak puncak).[3,5]

Reaksi Jarisch-Herxheimer

Reaksi ini adalah demam akut yang umumnya diikuti dengan

sakit kepala, mialgia, takikardi yang terjadi dalam 24 jam setelah

diberikan terapi sifilis dan menghilang 24 jam setelah onset.

Reaksi ini lebih sering terjadi pada individu yang memiliki sifilis

stadium awal, diduga berkaitan dengan beban bakterial yang

masih tinggi.[3,15]

2.6 DIAGNOSIS

Diagnosis sifilis primer ditandai dengan chancre soliter tanpa

rasa sakit. Sifilis sekunder dapat memiliki berbagai gejala, terutama


demam, limfadenopati, ruam, dan kondiloma lata genital atau

perineum. Pada sifilis laten, semua manifestasi klinis mereda dan

infeksi hanya terlihat pada pengujian serologis. Sifilis tersier dapat

bermanifestasi bertahun-tahun setelah infeksi sebagai sifilis

gummatosa, penyakit kardiovaskular, atau meningitis sifilis.

Neurosifilis dapat berkembang pada setiap tahap sifilis.

Evaluasi gejala klinis sifilis perlu dikonfirmasi dengan

pemeriksaan VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) dan

TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay) yang

reaktif.[1,3]

Anamnesis

Manifestasi sifilis tidak spesifik dan mirip dengan banyak

penyakit lainnya. Dokter perlu menanyakan riwayat seksual dan

sosial yang menyeluruh, termasuk jumlah pasangan seksual,

penggunaan kondom, riwayat infeksi menular seksual pada pasien

dan pasangannya, dan paparan produk darah. Pada bayi, tanyakan

riwayat ibu, riwayat pajanan pada individu dengan sifilis atau

produk darah, dan riwayat pelecehan seksual.

Sifilis Primer

Sifilis primer terjadi 10-90 hari setelah kontak dengan

individu yang terinfeksi. Sifilis primer bermanifestasi terutama pada

kelenjar penis pria dan vulva atau serviks wanita. Pada beberapa
kasus, lesi sifilis dapat ditemukan di anus, jari, orofaring, lidah,

puting susu, atau tempat ekstragenital lainnya.

Chancre biasanya dimulai sebagai papula merah yang

soliter, menonjol, keras, dan berukuran kecil. Chancre dapat

membuat kawah ulseratif di dalam papula, dengan tepi sedikit lebih

tinggi. Lesi biasanya sembuh dalam 4-8 minggu dengan atau tanpa

terapi.

Sifilis Sekunder

Sifilis sekunder umumnya muncul sebagai lesi kulit yang

polimorfik, tidak gatal, dan lesi pada mukosa. Lesi sering

disertai limfadenopati generalisata yang tidak nyeri. Gejala

konstitusional seperti malaise, sakit kepala, anoreksia, mual, nyeri

pada tulang, dan kelelahan juga dapat muncul.

Sifilis Laten

Pasien sifilis laten umumnya tidak menunjukkan gejala klinis,

namun uji serologi sifilis (TSS) reaktif, baik serologi treponema

maupun nontreponema. Latensi dapat berlangsung dari beberapa

tahun hingga 25 tahun sebelum lesi destruktif dari sifilis tersier

bermanifestasi. Pasien mungkin mengingat adanya riwayat gejala

sifilis primer dan sekunder sebelumnya.

Sifilis Tersier

Sifilis tersier berkembang secara perlahan dan dapat

mengenai organ mana pun. Lesi sifilis tersier gummatosa dapat


muncul dalam 3-10 tahun setelah infeksi primer. Pasien bisa

mengeluhkan nyeri tulang, dengan karakteristik nyeri yang sangat

dalam dan memburuk pada malam hari.

Jika ada keterlibatan sistem saraf pusat, gejala yang muncul

akan mewakili area yang terkena. Apabila pasien kelainan terjadi di

otak, maka gejala dapat berupa sakit kepala, pusing, gangguan

mood, leher kaku, dan penglihatan kabur. Apabila ada keterlibatan

sumsum tulang belakang, pasien bisa mengeluhkan gejala bulbar,

kelemahan dan pengecilan otot bahu dan otot

lengan, inkontinensia, ataupun impotensi.

Sifilis Kongenital

Sifilis kongenital dini terjadi dalam 2 tahun pertama

kehidupan. Sifilis kongenital lanjut muncul pada anak di atas 2

tahun. Gejala paling awal yang terjadi sebelum usia 2 tahun adalah

rinitis, diikuti oleh lesi kulit.

Sifilis kongenital dapat menyebabkan deformitas tulang dan

gigi, seperti:

 Saddle nose akibat destruksi septum nasi

 Saber shins akibat inflamasi dan deformitas berupa

lengkungan pada tibia

 Clutton’s joint akibat inflamasi pada sendi lutut

 Hutchinson’s teeth dimana insisivus pada bagian atas

melebar dan bertakik


 Mulberry molar dimana molar memiliki banyak

puncak[1,18,21]

Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik bervariasi tergantung stadium

sifilis.

Sifilis Primer

Pada sifilis primer dapat dijumpai chancre yang berbentuk

ulkus tunggal, tepi teratur, indurasi, dengan dasar bersih, tidak

nyeri. Biasanya lesi dimulai dengan papul soliter, kemerahan dan

keras yang muncul pada glans penis, vulva, serviks, anus, jari,

orofaring, lidah, dan puting. Lesi umumnya sembuh dalam 4

minggu atau 2 minggu dengan antibiotik. Selain itu, bisa juga

didapatkan pembesaran kelenjar getah bening regional.[1,3,18,19]

Sifilis Sekunder
Pada sifilis sekunder dapat dijumpai adanya lesi berbentuk

polimorfik, tidak gatal dan seringkali terdapat pembesaran kelenjar

getah bening generalisata. Umumnya lesi muncul 3 minggu

setelah lesi primer dengan durasi 2-10 minggu. Bila tidak diterapi,

lesi dapat hilang sendiri atau dapat pula rekuren dalam 2 tahun.

Gambaran yang sering ditemukan adalah ruam mukokutan

difus, berbentuk makulopapular, papular, makular, atau anular

papular, nonpruritik, dan simetris. Lesi seringkali ditemukan pada

telapak tangan dan kaki. [3,18,19]


Gambaran lain yang dapat muncul yaitu patchy

alopecia, condyloma lata, dan gejala sistemik berupa malaise,

demam, myalgia dan arthralgia.[3,18,19]

Sifilis Laten

Sifilis laten umumnya asimptomatik dan terbagi menjadi

laten awal dan laten akhir. Periode laten awal adalah 1 tahun

pertama setelah resolusi dari sifilis primer atau sekunder dengan

hasil tes serologi reaktif. Bila durasi lebih dari 1 tahun atau tidak

diketahui, maka dianggap sebagai periode laten akhir.[3,18]

Sifilis Tersier

Sifilis tersier memiliki progresivitas lambat dan dapat

mengenai organ manapun dan menyebabkan kematian. Secara

umum sifilis tersier terbagi menjadi sifilis gummatosa, sifilis

kardiovaskular, dan neurosifilis.


Lesi gummatosa sering muncul dalam 3-10 tahun setelah

terinfeksi berupa infiltrat sirkumskrip kronis, berbatas tegas, dan

destruktif yang dapat mengenai kulit, mukosa, atau tulang.[1,3,23]

Sifilis kardiovaskular umumnya mengenai aorta dan dapat

menyebabkan terbentuknya aneurisma, gangguan katup, dan

penyempitan ostium koroner.

Neurosifilis dapat bersifat simtomatik dan asimtomatik. Pada

jenis asimtomatik, tidak ditemukan tanda dan gejala tetapi

ditemukan abnormalitas pada cairan serebrospinal. Pada jenis

simptomatik, neurosifilis dapat muncul sebagai meningitis sifilis,

neurosifilis meningovaskular, dan neurosifilis parenkimatosa.[3,4]

Sifilis Kongenital

Sifilis kongenital terbagi menjadi sifilis kongenital awal

(terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan) dan sifilis kongenital

akhir (terjadi pada anak berusia diatas 2 tahun.) Tanda yang


muncul pada sifilis kongenital awal dapat berupa ruam difus,

pengelupasan kulit, hepatosplenomegali, anemia, limfadenopati,

demam, ikterik, saddle nose, pseudoparalisis,

periostitis, glomerulonefritis, dan gangguan neurologi.[5,7]

Pada sifilis kongenital akhir, tanda yang muncul mirip

dengan gejala sifilis tersier pada orang dewasa.[1,7]

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan serologi merupakan pemeriksaan standar untuk

mendeteksi seluruh stadium dari sifilis.[1,3]

Sifilis Didapat

Pada sifilis yang didapat, mula-mula dilakukan pemeriksaan

skrining nontreponema menggunakan Venereal Disease Research

Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagin (RPR). Oleh karena

dapat terjadi positif palsu atau negatif palsu, perlu dilakukan

konfirmasi dengan tes treponema seperti fluorescent treponemal

antibody-absorbed test (FT-ABS) dan TPHA (Treponema Pallidum

Haemagglutination Assay).[1,3]

Titer antibodi pemeriksaan nontreponema dipengaruhi oleh

aktivitas penyakit dan dapat digunakan untuk mengetahui respon

terapi dimana titer akan non reaktif seiring penyembuhan penyakit.

Peningkatan titer 4 kali lipat mengindikasikan perbedaan yang

signifikan antara dua pemeriksaan nontreponemal. Pemeriksaan


treponema umumnya akan tetap positif dalam waktu lama dan tidak

dipengaruhi oleh aktivitas penyakit atau terapi.[2,3]

Sifilis Kongenital

Pemeriksaan sifilis pada ibu hamil disarankan pada saat

kunjungan prenatal yang pertama kali. Wanita berisiko tinggi untuk

tertular sifilis harus diperiksa kembali pada trimester ketiga dan

saat kelahiran anak. Wanita hamil dengan hasil tes seropositif

harus dianggap infeksius kecuali terdapat riwayat terapi yang

adekuat dalam rekam medis dan hasil titer antibodi sekuensial

menunjukkan penurunan sebesar 4 kali lipat.

Titer serologi harus diperiksa setiap bulan bila pasien

memiliki resiko untuk terinfeksi sifilis atau tinggal pada daerah

dengan prevalensi tinggi penyakit ini. Setiap wanita yang

melahirkan bayi lahir mati setelah 20 minggu masa gestasi

disarankan untuk menjalani pemeriksaan sifilis. Menentukan

diagnosis sifilis kongenital tidak mudah karena antibodi IgG

nontreponema dan treponema dari ibu dapat disalurkan pada bayi.

[1,3,7]

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Gejala sifilis tidak spesifik sehingga sering salah didiagnosis

sebagai penyakit lainnya. Pada pasien yang terdiagnosis sifilis,

sebaiknya dilakukan penelusuran infeksi menular seksual lainnya.


Begitu pula bila terdapat ruam generalisata pada pasien dengan

infeksi menular seksual, sifilis perlu dipikirkan.[1,18]

Diagnosis banding sifilis yang perlu dipikirkan berdasarkan

stadium klinisnya antara lain:

 Sifilis primer: ulkus piogenik, herpes simpleks, balanitis, scabies,

limfogranuloma venereum, karsinoma sel skuamosa kulit, penyakit

Behcet

 Sifilis sekunder: alopecia areata, erupsi obat, psoriasis, pityriasis

rosea, kondiloma akuminata, dermatitis seboroik

 Sifilis Tersier: aktinomikosis, sporotrikosis, neoplasma, tuberkulosis

kulit, gagal jantung kongestif, sarkoidosis, stroke

Kesemua diagnosis banding tersebut memiliki tampilan klinis

yang mirip dengan sifilis. Untuk membedakan, dapat dilakukan uji

serologi seperti VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) dan

TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay).[1,18,21]

2.9 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan sifilis adalah pemberian antibiotik, di mana

pilihan utama adalah benzil benzatin penisilin G. Terapi alternatif

dapat menggunakan doxycycline, erythromycin, atau ceftriaxone.

Evaluasi terapi dilakukan secara klinis dan serologi pada bulan ke-1,

3, 6, dan 12. Pasien dikatakan sembuh jika ada penurunan titer


VDRL dan Rapid Plasma Reagin (RPR) sebanyak 4 kali lipat dalam

6 bulan.[1,21]

Stadium Primer, Sekunder atau Laten Awal

Obat pilihan pada sifilis stadium primer, sekunder atau laten

awal adalah:

 Benzil benzatin penicillin G (BPG) 2,4 juta IU injeksi

intramuskuler dosis tunggal. Obat diberikan pada bokong, dapat

dimasukkan sebagian pada setiap bokong ataupun keseluruhan

dosis disuntikkan pada satu bokong

 Procaine penicillin merupakan terapi lini kedua jika BPG tidak

tersedia. Procaine penicillin diberikan 600.000 IU secara

intramuskuler per hari, selama 10–14 hari

Pada pasien dengan gangguan perdarahan, pilihan terapinya

adalah:

 Ceftriaxone 1g intravena per hari selama 10 hari

 Doxycycline 200 mg/hari per oral selama 14 hari

Doxycycline juga diberikan pada pasien yang alergi terhadap

penicillin.[1,21]

Stadium Laten Lambat

Antibiotik pilihan untuk sifilis stadium laten lambat adalah

BPG 2,4 juta IU diberikan secara intramuskuler setiap minggunya

dalam 3 minggu berturut-turut, yaitu di hari ke-1, 8, dan 15.


Terapi lini kedua adalah procaine penicillin 600.000 IU

secara intramuskuler selama 17-21 hari.

Jika pasien alergi terhadap penicillin, beberapa ahli

menyarankan terapi desensitisasi penicillin karena bukti efikasi

terapi non-penicillin belum adekuat. Pilihan lain adalah

menggunakan doxycycline 200 mg/hari per oral selama 21-28 hari.

[1,21]

Neurosifilis, Sifilis Aurikular, dan Sifilis Okular

Antibiotik pilihan untuk neurosifilis, sifilis aurikular, dan sifilis

okular adalah benzil penicillin 18–24 juta IU intravena per hari,

diberikan sebagai 3-4 juta IU setiap 4 jam selama 10-14 hari.

Pilihan terapi lini kedua adalah:

 Ceftriaxone 1–2 g intravena per hari selama 10-14 hari

 Procaine penicillin 1,2–2,4 juta IU intramuskuler per hari

dikombinasikan dengan probenecid 500 mg diberikan 4 kali sehari.

Regimen ini diberikan selama 10-14 hari[1]

Sifilis dalam Kehamilan

Pilihan antibiotik untuk ibu hamil dengan sifilis adalah:

 Benzil benzatin penicillin G (BPG) 2,4 juta IU secara intramuskuler

dosis tunggal

 Procaine penicillin merupakan terapi lini kedua jika BPG tidak

tersedia. Procaine penicillin diberikan 600.000 IU secara

intramuskuler per hari, selama 10–14 hari[1]


Pilihan terapi lain menurut Panduan Praktik Klinis oleh

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia

(PERDOSKI) adalah:

 Erythromycin 500 mg per oral, 4 kali sehari. Terapi diberikan selama

14 hari untuk ibu hamil dengan sifilis stadium primer dan sekunder,

atau 30 hari untuk sifilis laten

 Erythromycin 500 mg per oral, 4 kali sehari, diberikan selama 30

hari untuk ibu hamil dengan sifilis stadium primer dan sekunder,

atau lebih dari 30 hari untuk sifilis laten[21]

Sifilis dengan HIV

Berdasarkan rekomendasi CDC, tidak ada regimen sifilis

yang lebih efektif untuk mencegah neurosifilis pada pasien

dengan HIV positif dibandingkan dengan HIV negatif. Pasien

dengan HIV memiliki risiko komplikasi neurologi pada sifilis stadium

awal, sering mengalami kegagalan terapi, memiliki risiko lebih tinggi

untuk reinfeksi, dan respon serologi lebih lambat dibandingkan

dengan pasien tanpa infeksi HIV.[1,2]

Regimen terapi yang direkomendasikan untuk sifilis primer

dan sekunder pada orang dewasa dengan HIV adalah sama dengan

orang dewasa umumnya. Regimen yang dapat digunakan adalah

benzil benzatin penicillin G 2,4 juta IU intramuskuler dosis tunggal.

Regimen terapi yang direkomendasikan untuk sifilis laten yaitu

benzil benzatin penicillin G 2,4 juta IU intramuskular dosis tunggal


untuk sifilis laten awal, dan selama 3 minggu pada sifilis laten akhir.

[1,2]

Sifilis Kongenital

Sifilis kongenital dapat diklasifikasikan menjadi empat,

yaitu proven atau highly probable, possible, less likely, dan unlikely.

Pada proven, highly probable, atau possible, regimen yang

direkomendasikan adalah:

 Aqueous crystallinepenicillin G 100.000 hingga 150.000 IU/kg/hari

diberikan 50.000 IU/kg/dosis intravena setiap 12 jam pada 7 hari

pertama, dan setiap 8 jam pada hari selanjutnya hingga 10 hari

 Procaine penicillin G 50.000 IU/kg intramuskuler setiap hari selama

10 hari

Pada sifilis kongenital kategori less likely, regimen yang

direkomendasikan adalah benzil benzatin penicillin G 50.000 IU/kg

intramuskuler dosis tunggal.

Pada sifilis kongenital kategori unlikely, tidak ada

penatalaksanaan yang diperlukan. Benzil benzatin penicillin G

50.000 IU/kg intramuskular dapat dipertimbangkan apabila hasil tes

nontreponema positif.[2,3,7]

Reaksi Jarisch Herxheimer

Pasca terapi dengan penicillin, mikroorganisme yang mati

seringkali mengeluarkan sitokin inflamasi yang memicu terjadinya

reaksi Jarisch Herxheimer. Gejala yang muncul meliputi sakit


kepala, myalgia, demam, takikardia, dan malaise. Reaksi ini

biasanya muncul dalam 24 jam setelah terapi diberikan.

Penanganan untuk reaksi Jarisch Herxheimer adalah terapi suportif

untuk mengurangi gejala yang muncul. Wanita hamil yang

mengalami reaksi Jarisch Herxheimer perlu dipantau dengan ketat

karena berisiko tinggi mengalami komplikasi pada kehamilan.[3,15]

Profilaksis Pasangan Seksual

Profilaksis antibiotik perlu diberikan pada individu yang

memiliki kontak seksual dengan pasien positif sifilis pada stadium

primer, sekunder, atau laten awal. Profilaksis sebaiknya diberikan

dalam 90 hari pertama sejak kontak seksual. Regimen profilaksis

yang disarankan adalah benzil benzatin penicillin G 2,4 juta IU

intramuskuler dosis tunggal.[3,18]

Follow Up

Pada sifilis primer dan sekunder, pemeriksaan klinis dan

serologi disarankan untuk diulang kembali 6-12 bulan setelah terapi

dan dibandingkan dengan hasil pemeriksaan sebelumnya. Apabila

gejala menetap atau hasil titer pemeriksaan nontreponema tetap

atau meningkat 4 kali lipat selama 2 minggu, pasien dianggap

mengalami kegagalan terapi atau reinfeksi. Pada keadaan ini,

dilakukan evaluasi HIV dan pemberian terapi ulang dengan benzil

benzatin penicillin G 2,4 juta IU/minggu intramuskuler, selama 3


minggu, kecuali bila terdapat bukti neurosifilis dari pemeriksaan

cairan serebrospinal.[1,3]

Pada sifilis laten, pemeriksaan serologi nontreponema

kuantitatif diulang setelah 6 bulan, 12 bulan, dan 24 bulan, serta

diikuti dengan evaluasi terhadap pemeriksaan HIV. Pemeriksaan

cairan serebrospinal dilakukan bila terdapat 4 kali peningkatan titer,

titer tidak turun dalam 12-24 bulan setelah terapi, atau terbentuk

tanda dan gejala sifilis. Bila hasil pemeriksaan cairan serebrospinal

positif, maka pasien diterapi sesuai neurosifilis, namun bila negatif

maka dilakukan terapi ulang benzil benzatin penicillin G 2,4 juta

IU/minggu intramuskuler selama 3 minggu.[3,18]

Pada pasien dengan sifilis tersier ringan dan sifilis

kardiovaskular, perlu dilakukan pemeriksaan berkala seumur hidup

untuk memantau komplikasi yang terjadi.

Pada pasien dengan neurosifilis perlu dilakukan pemantauan

berkala setiap 6 bulan selama minimal 3 tahun dengan pemeriksaan

fisik, cairan serebrospinal, dan serologi. Bila terdapat pleiositosis

pada cairan serebrospinal, pemeriksaan sebaiknya diulang setiap 6

bulan hingga jumlah sel normal. Bila jumlah leukosit pada cairan

serebrospinal tidak turun dalam 6 bulan atau jumlah sel dan protein

tidak normal kembali setelah 2 tahun, maka perlu dilakukan terapi

kembali.[1,12,13]
2.10 KOMPLIKASI

Pada sifilis sekunder, dapat terjadi komplikasi

berupa vaskulitis yang luas yang dapat menyebabkan hepatitis, iritis,

nefritis, dan gangguan neurovaskular seperti sifilis meningovaskular

dini.

Neurosifilis dapat bermanifestasi sebagai meningitis, stroke,

palsy nervus kranial, dementia, dan paresis general.

Sifilis kardiovaskular dapat menyebabkan aneurisma pada

aorta ascendens, gagal jantung, stenosis ostial koroner, dan nekrosis

aorta medial.[1,3]

Komplikasi dari tata laksana dapat berupa reaksi Jarisch-

Herxheimer yang ditandai dengan demam, myalgia, dan athralgia

yang muncul pada sifilis primer atau sekunder.[3,15]

2.11 PROGNOSIS

Prognosis sifilis bervariasi tergantung pada stadium yang

dialami pasien, yakni mulai dari gejala minimal pada sifilis primer

hingga morbiditas berat pada sifilis tersier. Komplikasi berupa

meningitis dan aneurisma aorta merupakan penyebab kematian

tersering pada sifilis.[1,3,5]

Dilaporkan sebanyak 20% pasien sifilis tersier yang tidak

diterapi meninggal. Tetapi dengan terapi yang adekuat, 90% pasien

neurosifilis berespon baik secara klinis. Sekitar 30% pasien yang


tidak diterapi akan mengalami komplikasi pada fase tersier, dimana

10% mengalami sifilis kardiovaskular, 6% neurosifilis, dan 16% sifilis

gummatosa.[1]

Sifilis kongenital dapat menyebabkan abortus dan sekitar

50% kasus mengalami kematian intrauterin atau kematian segera

setelah lahir. Kematian neonatus dengan sifilis umumnya disebabkan

oleh perdarahan paru, superinfeksi bakteri, atau hepatitis fulminan.

[1,7]

2.12 EDUKASI DAN PROMOSI KESEHATAN

Edukasi dan promosi kesehatan pada sifilis penting untuk

memastikan terapi adekuat dan mencegah penularan, sehingga

diharapkan kasus sifilis tidak sampai menyebabkan komplikasi

seperti neurosifilis dan aneurisma aorta. Selain itu, perlu juga

disampaikan edukasi mengenai perilaku seksual yang sehat,

termasuk pentingnya penggunaan kondom dan tidak berganti-ganti

pasangan seksual.[3,18]

Edukasi Pasien

Lakukan edukasi pasien mengenai pengobatan, penularan,

dan risiko komplikasi sifilis. Penting untuk menginformasikan pada

pasien untuk menjalani pengobatan secara disiplin agar terapi

adekuat.

Cara Penularan
Jelaskan pada pasien mengenai apa itu sifilis dan cara

penularannya. Sampaikan bahwa kebanyakan kasus sifilis ditularkan

melalui hubungan seksual (infeksi menular seksual/IMS). Maka dari

itu, pasien harus dijelaskan mengenai perilaku seksual yang sehat,

termasuk pentingnya penggunaan kondom. Hal ini terutama sangat

penting apabila pasien adalah pekerja seks atau populasi lelaki seks

dengan lelaki.

Kepatuhan Terapi

Terapi adekuat sangat penting untuk mencegah penyebaran

dan komplikasi sifilis. Tekankan pentingnya kepatuhan terapi, dan

minta pasien mengonsumsi regimen antibiotik hingga selesai.

Pasangan Seksual

Pada pasien dengan sifilis perlu diinfokan untuk memberi

informasi pada pasangan seksualnya mengenai diagnosis sifilis yang

didapat pasien. Profilaksis antibiotik disarankan pada individu yang

memiliki kontak seksual dengan pasangan yang positif sifilis pada

stadium primer, sekunder, atau laten awal dalam 90 hari pertama.

Risiko Koinfeksi

Lakukan juga edukasi mengenai kemungkinan koinfeksi

dengan IMS lainnya. Anjurkan pasien untuk juga melakukan

pemeriksaan atau screening IMS lain, seperti HIV, gonorrhea dan

limfogranuloma venereum.[3,18]

Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Pencegahan dan pengendalian penyakit dapat dilakukan

dengan meningkatkan edukasi masyarakat terkait perilaku seksual

yang aman, misalnya menggunakan kondom dan tidak bergonta-

ganti pasangan. Edukasi masyarakat ini penting terutama pada

populasi kunci, seperti pekerja seks, pelanggan pekerja seks, dan

lelaki seks dengan lelaki.

Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit sifilis serupa

dengan infeksi menular seksual (IMS) lainnya, yakni mencakup:

 Promosi perilaku seksual yang aman

 Memprogramkan peningkatan penggunaan kondom di

masyarakat

 Peningkatan perilaku upaya mencari pengobatan

 Pengintergrasian upaya pencegahan dan perawatan IMS ke

dalam upaya pelayanan kesehatan dasar

 Menyediakan pelayanan khusus terhadap kelompok berisiko

tinggi, seperti misalnya para wanita dan pria penjaja seks

 Deteksi dini terhadap infeksi yang bersifat simtomatik

maupun asimtomatik[1,3,18]
BAB III

KESIMPULAN

Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan

oleh spiroset Treponema pallidum. Sifilis ditularkan melalui kontak

seksual atau luka pada kulit dari lesi infeksius, dari ibu ke janin,

atau melalui transfusi darah. Sifilis bersifat kronis dan dapat

mengenai hampir seluruh struktur tubuh.

Sifilis memiliki berbagai gambaran klinis dan seringkali sulit

dibedakan infeksi atau penyakit imunologi lain. Oleh karena itu,

penyakit ini sering disebut “the great impostor”. Penegakkan

diagnosis dimulai dari gejala yang timbul, seperti adanya ulkus

tunggal dengan tepi teratur dan dasar bersih pada sifilis primer,

disertai pemeriksaan VDRL (Venereal Disease Research

Laboratory) dan TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination

Assay) yang reaktif.


Bila tidak diterapi, sifilis dapat berkembang dalam 4 fase,

yaitu sifilis primer, sekunder, laten dan tersier. Sebagaimana jenis

infeksi menular seksual (IMS) lainnya, sifilis akan meningkatkan

risiko seseorang tertular HIV. Adapun pada pasien HIV, sifilis

dapat meningkatkan daya infeksi HIV.

Penatalaksanaan lini pertama sifilis adalah

menggunakan benzil benzatin penicillin G yang diberikan

melalui injeksi intramuskuler. Pada pasien dengan alergi penicillin,

dapat digunakan obat alternatif lain seperti doxycycline

dan ceftriaxone.

Evaluasi terapi dilakukan secara klinis dan serologi pada

bulan ke-1, 3, 6, dan 12 setelah diagnosis dan inisiasi terapi.

Pasien dikatakan sembuh jika titer VDRL dan Rapid Plasma

Reagin (RPR) menurun 4 kali lipat dalam 6 bulan setelah

pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Janier M, Unemo M, Dupin N, Tiplica GS, Potočnik M, Patel R. 2020

European guideline on the management of syphilis. J Eur Acad

Dermatol Venereol. 2021 Mar;35(3):574-588. doi:

10.1111/jdv.16946. Epub 2020 Oct 22. PMID: 33094521.

2. Centers for Disease Control and Prevention. Syphilis Surveillance

Supplement 2013-2017 Centers for Disease Control and Prevention.

2019. https://www.cdc.gov/nchhstp/atlas/

3. Tudor ME, Al Aboud AM, Gossman W. Syphilis. [Updated 2022 Jul

23]. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022

Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534780/

4. Pereira FG, Leal MS, Meireles D, Cavadas S. Syphilitic hepatitis; a

rare manifestation of a common disease. Gastroenterol Hepatol Bed

Bench. 2021;14(1):77-80.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted

Disease Surveillance 2018. 2019.

https://www.cdc.gov/std/stats18/Syphilis.htm

6. Tiecco G, Degli Antoni M, Storti S, Marchese V, Focà E, Torti C,

Castelli F, Quiros-Roldan E. A 2021 Update on Syphilis: Taking

Stock from Pathogenesis to Vaccines. Pathogens. 2021 Oct

21;10(11):1364

7. Hussain SA, Vaidya R. Congenital Syphilis. [Updated 2022 Jan 19].

In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022

Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537087/

8. Çakmak SK, Tamer E, Karadağ AS, Waugh M. Syphilis: A great

imitator. Clin Dermatol. 2019;37:182–191.

9. Forrestel AK, Kovarik CL, Katz KA. Sexually acquired syphilis:

Historical aspects, microbiology, epidemiology, and clinical

manifestations. J Am Acad Dermatol. 2020;82:1–14.

10. Ghanem KG, Ram S, Rice PA. The Modern Epidemic of Syphilis. N

Engl J Med. 2020;382:845–854.

11. Charlton OA, Puri P, Davey L, Weatherall C, Konecny P. Rapid

progression to gummatous tertiary syphilis in a patient with HIV.

Australas J Dermatol. 2019;60:e48–e50. doi: 10.1111/ajd.12860.

12. Roberts WC, Moore AJ, Roberts CS. Syphilitic aortitis: Still a current

common cause of aneurysm of the tubular portion of ascending


aorta. Cardiovasc Pathol. 2020;46:107175. doi:

10.1016/j.carpath.2019.107175.

13. Ha T, Tadi P, Dubensky L. Neurosyphilis. [Updated 2022 Jul 4]. In:

StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK540979/

14. Perez Barragán E., Urdez Hernández E., Pérez Orozco B., Sánchez

González M. Meningovascular neurosyphilis with basilar artery

thrombosis in HIV patient. J Infect Public Health. 2018;11:439–441.

15. Dhakal A, Sbar E. Jarisch Herxheimer Reaction. [Updated 2022 Apr

28]. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022

Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557820/

16. Radolf JD, Kumar S. The Treponema pallidum Outer Membrane.

Curr Top Microbiol Immunol. 2018;415:1-38. doi:

10.1007/82_2017_44. PMID: 28849315; PMCID: PMC5924592.

17. Arando M, Fernandez-Naval C, Mota-Foix M, Martinez D, Armengol

P, Barberá MJ, Esperalba J, Vall-Mayans M. Early syphilis: risk

factors and clinical manifestations focusing on HIV-positive patients.

BMC Infect Dis. 2019 Aug 16;19(1):727.

18. Chandrasekar PH. Syphilis. 2017.

https://emedicine.medscape.com/article/229461-overview

19. Tuddenham SA, Zenilman JM. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition,

Sexually Transmitted Diseases : Part 26, Chapter 170 : Syphilis ;

Volume 1. 2019. USA : McGraw Hill Education.


20. WHO. Syphilis. 2020.

https://www.who.int/data/gho/data/themes/topics/topic-details/GHO/

data-on-syphilis

21. PERDOSKI. Panduan praktik klinis. 2017.

https://perdoski.id/uploads/original/2017/10/PPKPERDOSKI2017.pdf

22. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan HIV-AIDS &

IMS triwulan IV. 2017.

https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_HIV_AIDS_T

W_1_2017_rev.pdf

23. Tuddenham SA, Zenilman JM. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition,

Sexually Transmitted Diseases : Part 26, Chapter 170 : Syphilis ;

Volume 1. 2019. USA : McGraw Hill Education.

24. Peterman TA, Kidd SE. Trends in Deaths Due to Syphilis, United

States, 1968-2015. Sex Transm Dis. 2019 Jan;46(1):37-40. doi:

10.1097/OLQ.0000000000000899.

Anda mungkin juga menyukai