Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH MATERNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN IBU HAMIL DENGAN HIV/AIDS

Dosen pembimbing : Ibu Ns. Riwayati, S.Kep.

Disusun Oleh :
1. Monica Pramitha (G2A215021)
2. Zumrotul Mutmainah (G2A215022)
3. Yulia Wardah (G2A215023)
4. Omi Shobrina (G2A215024)
5. Panji Wirawan (G2A215025)

PRODI S1 KEPERAWATAN LJ
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN & KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2016

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
...................................................................................................
B. Tujuan Penulisan Makalah........................................................ 3
BAB II Konsep Dasar Medis........................................................................ 4
A. Definisi...................................................................................... 4
B. Etiologi...................................................................................... 5
C. Patofisiologi.............................................................................. 12
D. Manifestasi Klinik..................................................................... 13
E. Pemeriksaan Penunjang............................................................ 14
F. Penatalaksanaan........................................................................ 17
G. Pengkajian Fokus...................................................................... 21
H. Diagnosa Keperawatan.............................................................. 22
I. Intervensi Keperawatan & Rasional.......................................... 22
BAB IV PENUTUP........................................................................................ 27
A. Kesimpulan............................................................................... 27
B. Saran.......................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 28

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun
kehamilan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama
pada kehamilan trimester pertama. Wanita hamil trimester pertama pada
umumnya mengalami mual muntah, nafsu makan berkurang dan kelelahan.
Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi klinis
wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS. (Hartati
Nyoman, Suratiah, Mayuni, 2009)
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan
suatu syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang
menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem
kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-
penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik.
(Siregar FA, 2004)
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab
penyakit dan kematian yang terkemuka di kalangan perempuan dan anak-
anak di negara-negara dengan tingkat infeksi human immunodeficiency virus
(HIV) yang tinggi. Transmisi HIV dari ibu ke anak (Mother To Child
Transmission-MCTC) adalah rute infeksi HIV pada anak yang paling
signifikan. Beberapa intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi
MTCT termasuk pilihan persalinan secara sesar, substitusi menyusui dan
terapi antiretroviral selama kehamilan, persalinan, dan pasca melahirkan. Jika
intervensi ini diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT
sebesar 2%. (Myles Buku Ajar Bidan Edisi 14,hal.366)
Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status
mereka mungkin dapat memberikan manfaat. Namun, seks tanpa
perlindungan antara orang yang yang berisiko membawa HIV sero-positif
sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan kehamilan yang tidak

1
direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan reproduksi.
Hal ini jelas bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk melakukan
tes HIV untuk memastikan status mereka dengan asumsi bahwa mereka
mungkin terinfeksi karena pernah memiliki hubungan seksual dengan
seseorang yang telah diuji dan ditemukan sero-positif HIV. (Wamoyi J,
Martin M, Janet S, Josephine B, Shabbar J, 2011; 11(633): 1-11)
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara
didunia (pandemi), termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 2000
diperkirakan telah terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri
dari 6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di Indonesia berdasarkan
data-data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen
Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 2000 jumlah penderita HIV/AIDS
sebanyak 685 orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. .Data
jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan
gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori
Gunung Es dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian kecil dari yang
semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita
yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang
belum diketahui. di Busnia, Meru, Nakura, Thika, dimana rata-rata prevelensi
HIV menurun tajam dari kira-kira 28% pada tahun 1999 menjadi 9% pada
tahun 2003. Namun data terbaru dari Afrika Selatan prevalensi HIV
dikalangan wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi, yaitu 29,5%
dari seluruh wanita yang mengunjungi klinik bersalin yang positif terinfeksi
HIV ditahun 2004. Prevalensi tertinggi adalah dikalangan wanita usia 25-34
tahun atau lebih yaitu satu dari tiga wanita yang diperkirakan akan terinfeksi
HIV. Tingkat prevalensi yang tertinggi melebihi 30% dikalangan wanita
hamil masih terjadi juga pada empat Negara lain di wilayah Botswana,
Lesotho, Nambia dan Swaziland.(Diane,2000)
Sampai saat ini obat yang diharapkan dapat membantu memecahkan
masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif
dalam upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus

2
meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang
mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang
memungkinkan dapat terserang HIV.

B. Tujuan Penulisan Makalah


1. Tujuan Umum :
Setelah membaca dan mempelajari makalah ini diharapkan mahasiswa
mampu mengetahui asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan
HIV/AIDS.
2. Tujuan Khusus :
Setelah membaca dan mempelajari makalah ini, diharapkan :
a. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari ibu hamil dan penyakit
HIV/AIDS
b. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dari penyakit HIV/AIDS
c. Mahasiswa mampu menjelaskan proses penularan HIV/AIDS dari
ibu ke janin
d. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi dari penyakit
HIV/AIDS
e. Mahasiswa mampu menjelaskan manisfestasi klinis dari penyakit
HIV/AIDS
f. Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada ibu hamil
dengan HIV/AIDS

BAB II
KONSEP DASAR MEDIS

3
A. Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang
menginfeksi sel-sel system kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak
fungsinya. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi
lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap yang lebih
lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).
Hal ini dapat memakan waktu 10-15tahun untuk orang yang terinfeksi HIV
hingga berkembang menjadi AIDS; obat antiretroviral dapat memperlambat
proses lebih jauh.HIV ditularkan melalui hubungan seksual(anal atau
vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang
terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinya selama kehamilan, melahirkan
dan menyusui. (Anonymous, 2010).
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala
penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Fogel,
1996)
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam
tubuh, setelah penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai
dengan berhentinya haid; mual yang timbul pada pagi hari (morning
sickness); pembesaran payudara dan pigmentasi puting; pembesaran abdomen
yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin, bunyi
jantung janin, dan terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG.
(Dorland WAN. 2010)
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi
HIV. Dilihat dari profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada
wanita mengarah ke umur yang lebih muda, dalam arti bahwa usia muda
lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi, sedangkan pada usia di atas 45
tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut para ahli
kebidanan bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat
untuk hamil dan melahirkan. Hasil survey di Uganda pada tahun 2003
mengemukakan bahwa prevalensi HIV di klinik bersalin adalah 6,2%, dan

4
satu dari sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIV-AIDS
perlu diwaspadai karena cenderung terjadi pada usia reproduksi
(Vicky.Chapman 2006)

B. Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang
disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali
diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983
dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di
Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.
( Siregar FA, 2004)
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma,
cairan vagina, dan ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak
berubah yaitu secara; seksual hubungan seksual, kontak dengan darah atau
produk darah, eksposur perinatal, dan menyusui.
Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui
pertukaran cairan tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi
berat pada sistem imun selular menandai sindrom immunodefiensi didapat
(AIDS). Walaupu populasi berisiko tinggi telah didokumentasi dengan
baik,semua wanita harus dikaji untuk mengetahui (Bobak, Lowdermik,
Jensen. 2005)
Begitu HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10
minggu pertama pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total
asimptomatik, perubahan ini disertai viremia, respons tipe-influenza terhadap
infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise, mialgia, mual, diare,
nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua sampai tiga minggu
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun
hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
1. Transmisi Seksual

5
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering
terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau
serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada
pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan
pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada
penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti
terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan
pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual
dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko
tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas
homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari
semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal
merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan
HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi
semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan
mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami
pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui
hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak
adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang
mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual


a. Transmisi Parentral

6
- Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya
(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah
gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi
melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa
disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.
- Darah/produk darah, transmisi melalui transfusi atau produk
darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985.
Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi
darah adalah lebih dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu
hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu
ibu termasuk penularan dengan resiko rendah (Siregar FA. 2004)

Penularan HIV dari Ibu Kepada Bayinya


Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman
(biseksual atau hommoseksual),pemakaian narkoba injeksi dengan jarum
bergantian bersama penggidap HIV, tertular melalui darah dan produk darah,
penggunaan alat kesehatan yang tidak steril, serta alat untuk menorah kulit.
Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara berurutan
dari yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%,
wanita heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak
7% (Nursalam, Kurniawan ND. 2007).
Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami
yang terinfeksi HIV ke isterinya sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV
ke suaminya sejumlah 8%. Namun penelitian ain mendapatkan serokonversi
(dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi positif) dalam 1-3 tahun

7
dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami dianggap
sama (Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison
1995).
Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah
atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan
semakin besar resiko, sehingga lama persalinan bisa dicegah dengan operasi
section caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui
ASI, resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%.
Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual. Virus ini hanya dapat
ditularkanmelalui kontak langsung dengan darah, semen, dan sekret vagina.
Dan sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV
tergolong netrovirus yang memiliki materi genetik RNA. Bilamana virus
masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA diubah menjadi
DNA oleh enzimreverse transcriptase. DNA provirus tersebut diintegrasikan
kedalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen
virus. Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama
kehamilan atau pada periode intrapartum atau postpartum. HIV
ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12 dan 24 minggu dan
terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal
terjadi sebelum persalinan, serta 65% penularan terjadi saat
intrapartum. Pembukaan serviks, vagina, sekresi serviks dan darah ibu
meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan biologis,
dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum
Test for Syphilis) yang positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV
karena adanya luka-luka merupakan tempat masuknya HIV. Sel-sel
limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HIV akan aktif
mencari luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke
dalam peredaran darah. Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak
pula pada perubahan uterus, serviks dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel
otot oleh karena meningkatnya elastisitas dan penumpukan jaringan fibrous,

8
yang menghasilkan vaskularisasi, kongesti, udem pada trimester pertama,
keadaan ini mempermudah erosi ataupun lecet pada saat hubungan seksual.
Keadaan ini juga merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan HIV
yang paling sering terjadi antara pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi
HIV mendekati 20% setelah melakukan hubungan seksual dengan tidak
menggunakan kondom (Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci,
Kasper. Harrison 1995).

Periode Prenatal
Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis, keletihan, anoreksia, dan
penurunan berat badan. Menyerupai tanda dan gejala infeksi HIV. Diagnosis
banding semua keluhan akibat kehamilan dan gejala infeksi dibenarkan.
Tanda-tanda utama perburukan infeksi HIV meliputi penurunan berat badan,
lebih dari 10% berat badan sebelum hamil, diare kronis selama lebih dari satu
bulan, dan demam (intermiten atau konstan) selama lebih dari satu bulan.
Untuk menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup
nutrisi optimum, tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress. Apabila
infeksi HIV didiagnosis, wanita diberi penjelasan tentang teknik berhubungan
seksual yang lebih aman. Penggunaan kondom dan spermisida 9 non-oksinol
dianjurkan untuk meminimalkan pemaparan HIV lebih jauh jika pasangan
wanita tersebut merupakan sumber infeksi. Hubungan seksual orogenital
tidak dianjurkan. Hal yang sama penting ialah merujuk wanita tersebut
menjalani rehabilitasi untuk menghentikan penyalahgunaan substansi.
Penyalahgunaan alcohol atau obat-obatan lain mengganggu sistem imun
tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan kondisi terkait :
1. Sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan
penyakit
2. Alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi
alternatif untuk AIDS
3. Alkohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah
tidur, yang membahayakan fungsi sistem imun.

9
Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak
virus tersebut ditemukan. Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV
adalah 3azido-3-deoksitimidin (zidovudin, AZT [Retriviral]). Walaupun
obat ini menjanjikan hasil yang baik bagi terapi infeksi HIV, penggunaannya
dalam kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek mutagenic atau toksik
potensial pada janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada beberapa penelitian
terkendali pada wanita hamil, yang memiliki hitung sel T-helper kurang dari
400 sel/mm3 dan terbukti secara signifikan mengurangi risiko transmisi HIV
dari wanita terinfeksi ke janinnya.

Periode Intrapartum
Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena
infeksi asimptomatik HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan
hanya pada pertimbangan obstetric karena virus menembus plasenta pada
tahap awal kehamilan. Fokus utama adalah mencegah persebaran nosokomial
HIV dan melindungi tenaga keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV
dianggap rendah selama proses kelahiran per vaginam terlepas dari kenyataan
bahwa bayi terpapar pada darah, cairan amniotic, dan sekresi vagina ibunya.
Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika
pemantauan diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika
pengambilan sampel darah dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda
dipasang pada kulit kepala janin. Selain itu, individu yang melakukan salah
satu prosedur ini berisiko tertusuk jarum pada jarinya.

Periode Pascapartum
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi
HIV selama periode pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak
signifikan, follow-up yang lebih lama menunjukkan frekuensi penyakit klinis
yang tinggi pada ibu yang anaknya menderita penyakit. Konseling tentang
pengalihan pengasuhan anak dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu
merawat diri mereka. Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, proses
keperawatan diterapkan dengan cara yang peka terhadap latar belakang

10
budaya individu dan dengan menjunjung nilai kemanusiaan. Infeksi HIV
merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu komentarmoral. Bayi baru
lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan kewaspadaan
universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya, sebagaimana
yang dilakukan pada semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke tenaga
kesehatan yang berpengalaman dalam terapi AIDS dan kondisi terkait.
(Doku.Paul.2009)

Ibu Hamil dengan HIV

Seksual Non Seksual

Homoseksual Heteroseksual Parenteral Transplasenta

C. Patofisologi
Darah (Pathways) Jarum suntik Air susu ibu
Semen Alat tusuk lain (tindik)
Cairan vagina Transfusi darah
sperma Alat kesehatan tidak steril
Pemakaian narkotika
11
D. Manifestasi Klinik
Gejala dari infeksi akut HIV terjadi sekitar 50% kepada seseorang yang
baru terinfeksi. Gejala yang ditimbulkan adalah :
1. Demam
2. Malaise
3. Ruam
4. Myalgia
5. Sakit kepala
6. Meningitis
7. Kehilangan napsu makan
8. Berkeringat
Adapun gejala infeksi HIV kronis sebagai berikut :
1. Infeksi bakteri berulang
2. Candidiasis di saluran bronkus, trachea, paru dan esophagus
3. Herpes simpleks kronis

12
4. Kaposi sarcoma (proliferasi vaskuler neoplastik ganas yang multi sentrik
dan ditandai dengan nodul-nodul kutan berwarna merah kebiruan,
biasanya pada pada ekstremitas bawah yang ukuran dan jumlahnya
membesar dan menyebar ke daerah yang lebih proksimal
5. Pneumoncystis
6. Wasting syndrome
Gejala infeksi HIV pada wanita hamil, uumnya sama dengan wanita
tidak hamil atau orang dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis
yang tidak spesifik dengan spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa
gejala (asimtomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat
pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala
AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama
lagi.
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun.
mereka merasa sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun
orang yang terinfeksi HIV akan menjadi pembawa dan penular HIV kepada
orang lain.
Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu :
1. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala dan tes darahnya
negatif. pada tahap ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu
antara masuknya HIV disebut window period yang memerlukan waktu
antara 15 hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi HIV.
2. Kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah
positif. berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih.
( Hartati N, Suratiah, Iga OM, 2009:2:1)
CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan klasifikasi
infeksi HIV pada orang dewasa sebagai berikut :
1. Kelompok I: infeksi akut
2. Kelompok II: infeksi asimptomatik
3. Kelompk III: Infeksi Limpadenopati Generalisata Persisten (LGP)
4. Kelompok IV: penyakit-penyakit lain.

13
E. Pemeriksan Penunjang
Tes-tes saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi
dapat menunjukkan tes negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian
mencoba mengembangkan prosedur siap pakai yang tidak mahal untuk
membedakan respons antibody bayi dengan ibu (Doengoes ME & Mary
Drances Moorhouse. 2001) :
a. Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic
pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunologis.
b. EIA atau ELISA dan tes Western Blot: Mungkin positif, tetapi invalid
c. Kultur HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia,
plasma).
d. Tes reaksi rantai polymerase dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi
DNA viral pada adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer
terinfeksi.
e. Antigen p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat
menjadi indikatif dari kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi
pada tahap sanagt awal infeksi HIV)
f. Penentuan immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN, dan
IgA): Bukan diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar
imunoogis.

Diagnosis pada Bayi dan Anak


Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis
selama periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan
pada anak adalah pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala
umum yang ditemukan pada bayi dengan ifeksi HIV adalah gangguan tumbuh
kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali
(pembesaran hapar dan lien).
Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18
bulan, maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak
terinfeksi HIV karena tes ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody
terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk mengidentifikasi HIV adalah
PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil saat bayi

14
berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama periode satu bulan
setelah lahir. CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya
diulang pada saat bayi berusia empat bulan. Jika tes ini negative, maka bayi
terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI, maka bayi resiko
tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia
18 bulan, pemeiksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia
sarana pemeriksaan yang lain.
Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa di diagnosis dengan
menggunakan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Anak dengan HIV sering mengalami infeksi bakteri kumat-kumatan, gagal
tumbuh atau wasting, limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang,
sariawan pada mulut dan faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa
didiagnosis dengan ELISA dan tes konfirmasi lain seperti pada dewasa.
(Nursalam, Kurniawan ND. 2007)
Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah
jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS
dicegah supaya tidak hamil, apabila sudah hamil dilakukan pencegahan
supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anak sudah
terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA
dan keluarga.

Uji HIV pada Wanita Hamil


Identifikasi dini pada wanita hamil memungkinkan untuk pemberian
pengobatan terapi antiretroviral untuk mendukung kesehatan dan mengurangi
risiko penularan bayinya. Tes HIV direkomendasikan Tes HIV
direkomendasikan untuk semua wanita hamil pada kunjungan prenatal
pertama. Tes HIV kedua, selama trimester ketiga sebelum 36 minggu
kehamilan, juga dianjurkan bagi wanita yang berisiko, tinggal di daerah
prevalensi HIV tinggi, atau memiliki tanda-tanda atau gejala yang konsisten
dengan infeksi HIV akut.

15
Jika seorang wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika
dia tiba saat persalinan dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan. Jika
hasil tes awal positif, segera inisiasi ARV profilaksis yang tepat intravena
harus direkomendasikan tanpa menunggu konfirmasi hasil. Jika wanita
menolak pengujian, bayi baru lahir harus menerima pengujian cepat sesegera
mungkin setelah lahir sehingga profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika
terdapat indikasi.
(Bradley-Springer L, Lyn S, Adele W, 2010;110(3):33-39)

F. Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan
pemberian makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO
untuk pemberian makanan bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi
pada tahun 2006. Secara khusus, telah dilaporkan bahwa antiretroviral (ARV)
intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau janin yang terpapar HIVsecara
signifikan dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca kelahiran melalui
menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana perempuan
yang hidup dengan HIV mungkin dapat memberi makan bayi mereka, dan
bagaimana para pekerja kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama,
intervensi ASI dan ARV memiliki potensi secara signifikan untuk
meningkatkan peluang bayi bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV.
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan
sebelumnya, mereka mengakui dampak penting dari ARV selama masa
menyusui, dan merekomendasikan bahwa otoritas nasional di setiap
negarauntuk memutuskan praktik pemberian makan bayi, seperti menyusui
yaitu dengan intervensi ARV untuk mengurangi transmisi atau menghindari
menyusui, harus dipromosikan dan didukung oleh layanan Kesehatan Ibu dan
Anak mereka. Hal ini berbeda dengan rekomendasi sebelumnya di mana
petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan nasihat secara individual
kepada semua ibu yang terinfeksi HIV tentang berbagai macam pilihan
pemberian makanan bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara untuk

16
pemberian makanan bayinya. Dimana otoritas nasional mempromosikan
pemberian ASI dan ARV, ibu yang diketahui terinfeksi HIV sekarang
direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka setidaknya sampai usia 12
bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh digunakan
kecuali jikadapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman
(AFASS) (Anonymous.2010).
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga
jumlah virus yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk
menularkan HIV. Obat yang bisa dipilih untuk negara berkembang adalah
Nevirapine, pada saat ibu saat persalinan diberikan 200mg dosis tunggal,
sedangka bayi bisa diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir dosis
tunggal. Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai
kehamilan 36 minggu 2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama persalinan
berlangsung (Nursalam, Kurniawan ND. 2007)

Intervensi Terapetik Antiretrovirus


Terapi yang sekarang berlaku menghadapi masalah membidik berbagai
harapan dalam proses masuknya virus ke dalam sel dan replikasi virus,
memanipulasi gen virus untuk mengendalikan produksi protein virus,
membangun kembali sistem imun, mengkombinasikan terapi, dan mencegah
resistensi obat. Dua pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan kadar
RNA HIV serum, digunakan sebagai alat untuk memantau risiko
perkembangan penyakit dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai
atau memodifikasi regimen obat. Hitung sel T CD4+ memberikan informasi
mengenai status imunologik pasien yang sekarang, sedangkan kadar RNA
HIV serum (viral load) memperkirakan prognosis klinis (status hitung sel T
CD4+ dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV sebesar 20.000 salinan/ml
(2x104) dianggap oleh banyak pakar sebagai indikasi untuk memberikan
terapi antiretrovirus berapa pun hasil hitung sel T CD4+. Pengukuran serial
kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum sangat bermanfaat untuk mengetahui
laju perkembangan penyakit, angka pergantian virus, hubungan antara

17
pengaktivasian sistem imun dan replikasi virus, dan saat terjadinya resistensi
obat antiretrovirus disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV. Tujuan utama
terapi antivirus adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan jumlah
virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau keduanya) fungsi imunologik,
perbaikan kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas dan mortalitas HIV
Prinsip pengobatan untuk infeksi HIV (Price SA, Lorraine MW. 2006) :
1. Replikasi HIV yang berlangsung terus menerus menyebabkan sistem
imun rusak dan berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu
merugikan dan kesintasan jangka-panjang sejati yang bebas dan disfungsi
sistem imun sagat jarang terjadi.
2. Kadar RNA HIV dalam plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV dan
berkaitan dengan laju destruksi limfosit T CD4+ untuk yang terinfeksi
oleh HIV, perlu dilakukan pengukuran periodik berkala kadar RNA HIV
plasma dan hitung sel T CD4+ untuk menentukan factor risiko
perkembangan penyakit serta mengetahui saat yang tepat untuk memulali
atau memodifikasi regimen terapi antiretrovirus.
3. Karena laju perkembangan penyakit berbeda diantara orang-orang yang
terinfeksi HIV, maka keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan
orang per orang berdasarkan tingkat risiko yang ditunjukkan oleh kadar
RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+.
4. Pemakaian terapi antiretrovirus kombinasi yang poten untuk menekan
replikasi HIV dibawah kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan-
pemeriksaan RNA HIV plasma yang sensitive akan membatasi
kemungkinan munculnya varian-varian HIV resisten-penyakit. Karena
itu, tujuan terapi seyogyanya adalah penekanan replikasi HIV
semaksimal yang dapat dicapai.
5. Cara paling efektif untuk menekan replikasi virus dalam jangka panjang
lama dalah pemberian secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV
yang efektif yang belum pernah diterima oleh pasien dan tidak
memperlihatkan resistensi silang dengan obat antiretrovirus yang pernag
diterima oleh pasien.
6. Setiap obat antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi
kombinasi harus selalu dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal.

18
7. Jumlah dan mekanisme kerja obat-obat antiretrovirus efektif yang
tersedia masih terbatas, karena telah terbukti adanya resistensi-silang di
antara obat-obat spesifik. Karena itu, setiap perubahan dalam terapi
antiretrovirus meningkatkan pembatasan-pembatasan terapetik di masa
mendatang.
8. Perempuan harus mendapat terapi antiretrovirus yang oprimal, tanpa
memandang status kehamilan.
9. Prinsip terapi antiretrovirus yang sama juga berlaku pada anak, remaja
dan dewasa yang terinfeksi HIV, walaupun terapi pada anak yang
terinfeksi oleh HIV memerlukan pertimbangan farmakologik, virologik,
dan imunologik tersendiri.
10. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV akut harus diterapi
antiretrovirus kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke kadar
batas deteksi pemeriksaan pemeriksaan RNA HIV plasma sensitif.
11. Individu yang terinfeksi oleh HIV, walaupun dengan kadar virus yang
dibawah batas yang dapat dideteksi, harus terap dianggap menular.
Dengan demikian, para pasien harus diberi penyuluhan untuk
menghindari perilaku seksual dan penyalahgunaan obat yang berkaitan
dengan penularan atau akuisisi HIV dan pathogen menular lainnya.
Tabel 1. Rekomendasi untuk pengobatan antiretroviral infeksi HIV selama
kehamilan[21]

Kelas Obat
Rekomendasi NRTI NNRTI Protease inhibitor Entry Integrase
inhibitor inhibitor
Direkomendasikan Zidovudine, Nevirapinea Lopinavir/ ritonavir ... ...
lamividine
Agen Pengganti Didanosine, ... Indinavir, ritonavil, ... ...
b
emtricitabine, saquinavir hard gel
stavudine, capsule, nelvinafire
b
abacavir
Ketidakcukupan Tenofovir ... Atazanavir, darunavir, Enfuvirtide Raltegravir
Data fosamprenavir, , maraviroc
tipranavir
Tidak ... Efavirenz, ... ... ...
Direkomendasikan delavirdine
Catatan. NNRTI, nonnukleoside reverse-transcriptase inhibitor; NRTI, nukleoside
reserve-transcriptase inhibitor.

19
a
= Sebaiknya hanya digunakan pada wanita dengan jumlah sel CD4 >
250sel/mm3 jika manfaatnya lebih banyak dari pada risiko yang
berhubungan dengan hepatotoxicity.
b
= Didanosine dan stavudine sebaiknya tidak digunakan dalam kombinasi
lainnya

20
BAB III
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan
obat-obat.
2. Penampilan umum : pucat, kelaparan.
3. Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat
malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri,
sulit tidur.
4. Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola
hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
5. Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati,
withdrawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan prooses
piker, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan
delusi.
6. Nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada
bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
7. Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
8. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan
ADL.
9. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu
pernapasan, batuk produktif atau non produktif.
11. Intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,
inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12. Lesi atau eksudat pada genital.
13. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan
pola hidup yang beresiko.
2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,
adanya infeksi non opportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.

21
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan
menurunnya absorbsi zat gizi.
5. Diare berhubungan dengan infeksi gastrointestinal
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.

C. Intervensi Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan
pola hidup yang beresiko
Intervensi Keperawatan :
a. Monitor tanda-tanda infeksi baru.
b. gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci
tangan sebelum memberikan tindakan.
c. Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan
yang patogen.
d. Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
e. Atur pemberian antiinfeksi sesuai order
Rasional
a. Untuk pengobatan dini
b. Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di
rumah sakit.
c. Mencegah bertambahnya infeksi.
d. Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
e. Mempertahankan kadar darah yang terapeutik Pasien akan bebas
infeksi oportunistik.
Kriteria hasil:
Komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak
ada infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau
eksudat.
2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,
adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
Intervensi
a. Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah
transmisi HIV dan kuman patogen lainnya

22
b. Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bila merawat pasien.
Rasional
a. Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan
b. Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain
Kriteria Hasil :
Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan
universal precautions dengan kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan
tidak terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain seperti TBC.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, kelelahan.
Intervensi :
a. Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
b. Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu.
c. Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu istirahat.
Rasional :
a. Respon bervariasi dari hari ke hari.
b. Mengurangi kebutuhan energi.
c. Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolic

Kriteri Hasil :
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan
takikardi selama aktivitas.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan
menurunnya absorbsi zat gizi.
Intervensi :
a. Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
b. Monitor BB, intake dan ouput
c. Atur antiemetik sesuai order
d. Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
Rasional :
a. Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut
b. Menentukan data dasar
c. Mengurangi muntah

23
d. Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien
Krtiteria Hasil :
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah
dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n
ormal, BB mendekati seperti sebelum sakit.
5. Diare berhubungan dengan infeksi GI
Intervensi
a. Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah
b. Auskultasi bunyi usus
c. Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
d. Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
Rasional
a. Mendeteksi adanya darah dalam feses.
b. Hipermotiliti mumnya dengan diare
c. Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk perforasi
pada intestinal.
d. menghilangkan distensi
Kriteriaa hasil :
Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal
dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal,
kram perut hilang.
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
Intervensi :
a. Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
b. Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
c. Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
Rasional :
a. Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan
keluarga.
b. Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
c. Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak
sederhana.

24
Krtiteria Hasil :
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan
adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien
dan keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif.

D. Implementasi
DX. 1
1. Memonitor tanda-tanda infeksi baru.
2. Menggunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci
tangan sebelum member tindakan.
3. Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan
yang patogen.
4. Mengumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5. Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order
DX.2
1. Menganjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah
transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.
2. Menggunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.
DX.3
1. Memonitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2. Memberikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3. Menjadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
DX.4
1. Memonitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2. Memonitor BB, intake dan ouput
3. Mengatur antiemetik sesuai order
4. Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
DX.5
1. Mengkaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2. Mengauskultasi bunyi usus
3. Mengatur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order

25
4. Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
DX.6
1. Mengkaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2. Membiarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3. Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.

E. Evaluasi
Setelah di berikan asuhan keperawatan kepada klien, kebutuhan klien
sedikit demi sedikit terpenuhi.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang
menginfeksi sel-sel sistemkekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak
fungsinya. Selama infeksiberlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi
lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap yang lebih
lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).
Hal inidapat memakan waktu 10-15tahun untukorang yangterinfeksi
HIVhingga berkembang menjadi AIDS; obatantiretroviral dapat
memperlambat proses lebih jauh.HIV ditularkan melalui hubungan
seksual(anal atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum
yang terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinya selama kehamilan,
melahirkan dan menyusui. (Anonymous, 2010).
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam
tubuh, setelah penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai
dengan berhentinya haid; mual yang timbul pada pagi hari (morning
sickness); pembesaran payudara dan pigmentasi puting; pembesaran abdomen
yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin, bunyi
jantung janin, dan terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG.
(Dorland WAN. 2010)

26
Penularan HIV-AIDS pada wanita hamil terjadi melalui hubungan
seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada negara
berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar
rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih
rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah
seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan[10].

B. Saran
Diharapkan kepada para pembaca supaya lebih memahami apa itu
penyebab, penanganan serta tanda-tanda dan gejala HIV/AIDS agar tidak
lebih terkena resiko terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. HIV/ AIDS. WHO. 2010

Diane,M.fraser.2000.Myles Buku Ajar Bidan Edisi 14,hal.366.Jakarta :EGC

Bradley-Springer L, Lyn S, Adele W. Every Nurse Is an HIV Nurse. AJN


2010;110(3):33-39.

Doengoes ME & Mary Drances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan


Maternal/Bayi Edisi 2. Jakarta: EGC.

Doku Paul Narh. Parental HIV/AIDS status and death, and Childrens
Phychological Wellbeing. International Journal of Mental Health system
2009;3(26):1-8

Hartati N, Suratiah, Iga OM. Ibu hamil dengan HIV-AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah
Keperawatan. 2009:2:1.

Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison: Prinsip- Prinsip


Ilmu Penyakit Dalam Vol. 1 (Edisi 13). 1995.

Nursalam, Kurniawan ND. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi.


Jakarta: Penerbit Salemba Medika

Siregar FA. Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. Medan. Universitas


Sumatera Utara, 2004.

http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35547-

http://www.slideshare.net/dryohanita/makalah ibu dengan HIV/AIDS-

27
28

Anda mungkin juga menyukai