Disusun Oleh :
Chalimatussa'diyah G4A020099
Pembimbing :
dr. Supriyanto, Sp.A
Disusun oleh:
Chalimatussa'diyah G4A020099
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul “Sifilis pada Anak” sebagai salah
satu tugas di SMF Ilmu Kesehatan Anak. Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima
kasih kepada:
1. dr. Supriyanto, Sp.A selaku dosen pembimbing
2. Dokter-dokter spesialis anak di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto
3. Orang tua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah henti
diberikan kepada penulis.
4. Rekan-rekan dokter muda Bagian Ilmu Kesehatan
Penulis menyadari referat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini bermanfaat bagi semua pihak
yang ada di dalam maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
SAMPUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB 1. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2
A. Definisi 2
B. Etiologi dan Morfologi 2
C. Epidemiologi 3
D. Patogenesis 4
E. Manifestasi Klinis 7
F. Penegakkan Diagnosis 14
G. Tata laksana 18
BAB 3. KESIMPULAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23
iv
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sifilis telah dikenal sejak lama dan tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat di
seluruh dunia. Lebih dari 12 juta kasus baru terjadi setiap tahun, terutama di negara
berkembang.1 Sifilis pada bayi dijelaskan pada awal 1497 dan mikroba penyebab,
Treponema pallidum, ditemukan di 1905.2 Banyak perhatian difokuskan pada jumlah
bayi lahir di seluruh dunia dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV),
namun saat ini terjadi peningkatan jumlah bayi dengan sifilis kongenital yang perlu
diperhatikan.3 World Health Organization (WHO) memperkirakan sifilis pada ibu
hamil dapat menyebabkan 460.000 aborsi atau lahir mati dan 270.000 bayi lahir hidup
dengan sifilis kongenital setiap tahun.4
Sifilis pada anak terbagi menjadi dua, yaitu sifilis didapat, yang hampir secara
eksklusif ditularkan melalui kontak seksual, dan sifilis kongenital, yang dihasilkan dari
transmisi transplasental spirochetes.5 Tingkat sifilis kongenital telah menurun secara
konsisten selama dua hingga tiga dekade terakhir. Namun, berbagai studi tentang
penyakit menular seksual (PMS) pediatrik telah melaporkan sifilis yang didapat,
terutama sifilis sekunder, sebagai presentasi sifilis yang paling umum terjadi pada anak-
anak.6 Sifilis pada tahap selanjutnya dapat memiliki manifestasi yang banyak dan
kompleks dan mungkin menyerupai sejumlah penyakit lain. Manifestasi sifilis
dikategorikan sebagai primer, sekunder, dan tersier. Tes serologi memiliki peran utama
dalam diagnosis, sementara penisilin tetap menjadi obat pilihan untuk mengobati semua
tahap sifilis.5
B. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini yaitu untuk membahas dan menambah keilmuan
mengenai sifilis pada anak yang definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis,
penegakkan diagnosis, serta tata-lakasana.
2
A. Definisi
Menurut sejarahnya terdapat banyak sinonim sifilis yang tidak lazim dipakai. Sinonim
yang umum yaitu lues venerea atau disebut lues saja. Dalam istilah Indonesia disebut raja
singa.7 Sifilis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh spirochaete, Treponema
pallidum (T. pallidum) dan merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual. 8 Selain
sifilis, terdapat tiga jenis infeksi lain pada manusia yang disebabkan oleh treponema,
yaitu: non venereal endemic syphilis (telah eradikasi), frambusia (T. pertenue), dan pinta
(T. careteum di Amerika Selatan).9 Sifilis pada anak terbagi menjadi dua, yaitu sifilis
didapat, yang hampir secara eksklusif ditularkan melalui kontak seksual, dan sifilis
kongenital, yang dihasilkan dari transmisi transplasental spirochetes.
Sifilis kongenital adalah penyakit sifilis yang diderita bayi dengan manifestasi klinis
sifilis kongenital; atau ditemukannya Treponema pallidum pada lesi, plasenta, tali pusat
atau otopsi jaringan; atau bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita sifilis yang belum
mendapat pengobatan atau telah mendapat pengobatan namun tidak adekuat sebelum atau
selama kehamilan, atau ibu yang telah mendapat terapi penisilin tetapi tidak menunjukkan
respons serologi; atau ditemukannya salah satu dari hal berikut, yaitu pemeriksaan
radiologi tulang panjang dan/atau cairan serebrospinal yang sesuai gambaran sifilis
kongenital.10,11 Sifilis didapat biasanya ditularkan melalui kontak seksual, namun kontak
nonseksual juga dimungkinkan terjadi, terutama pada anak-anak, yaitu melalui kontak
dekat dengan anggota keluarga maupun pengasuh yang terinfeksi sifilis sekunder aktif
dengan lesi kulit atau mukosa. Kondisi ini dapat didukung dengan lingkungan hidup
tidak higienis atau padat penduduk.12-15
B. Etiologi dan Morfologi
Penyebab Sifilis adalah bakteri dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales dan
Genus Treponema spesies Treponema pallidum. Pada Tahun 1905, penyebab Sifilis
ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman yaitu Treponema pallidum. Treponema berupa
spiral halus, panjang 5-15 mikron dan diameter 0,009-0,5 mikron, setiap lekukan
gelombang berjarak 1 mikron dan rata-rata setiap bakteriterdiri dari 8-14 gelombang dan
bergerak secara aktif, karena spiralnya sangat halus maka hanya dapat dilihat pada
3
Sebagian besar kasus sifilis didapat pada anakhdisebabkan oleh penularan seksual
seperti pelecehan seksual atau kekerasan seksual oleh orang dewasa yang terinfeksi,
terutama di negara berkembang. Beberapa penelitian kohort yang dinilai untuk pelecehan
seksual pada anak dilaporkan sekitar 1% -5% dari kasus memiliki PMS. 22-23 Reading et al
melaporkan 15 kasus anak-anak dengan PMS, di antaranya 11 memiliki tanda-tanda fisik
yang terkait dengan kekerasan seksual.24 Dalam laporan lain dari 96 kasus pasien dengan
PMS di bawah14 tahun, 67% mengalai PMS dan 90% infeksi sifilis dipastikan memiliki
riwayat pelecehan seksual. 25
D. Patogenesis
Setelah inokulasi, T. pallidum menempel pada host, termasuk epitel, sel seperti
fibroblas, dan sel-sel endotel, kemungkinan dengan berikatan pada fibronektin, laminin,
atau komponen lain dari serum host, membran sel, dan matriks ekstraselular. Kemudian
beberapa menit setelah inokulasi, T. pallidum dapat menyerang dengan cepat ke dalam
aliran darah, dan dapat melintasi banyak barrier di dalam tubuh, seperti sawar darah-otak
dan sawar plasenta, untuk dapat menginfeksi banyak jaringan dan organ. Penyebaran ini
berujung pada manifestasi sifilis yang jauh dari daerah chancre awal pada orang yang
terinfeksi dan janin yang sedang berkembang.26-28
T. pallidum bereplikasi di lokasi inokulasi awal, membelah setiap 30 – 33 jam,
menginduksi respons inflamasi lokal yang menyebabkan timbulnya chancre yang tidak
nyeri kira-kira 3 – 6 minggu setelah infeksi awal. Pada masing- masing chancre,
spirochete yang berkembang biak dikelilingi oleh sel-sel imun tubuh, termasuk sel T
CD4+ dan CD8+, sel plasma, dan makrofag, yang menghasilkan sitokin Interleukin (IL)-2
dan Interferon (IFN)-γ, yang mengindikasikan respons T helper (Th) 1. Nekrosis dan
ulserasi jaringan terjadi akibat vaskulitis pembuluh darah kecil, dan pergerakan sel imun
menyebabkan limfadenopati regional yang tidak nyeri. Dalam waktu 3 – 8 minggu,
chancre akan sembuh yang memperlihatkan adanya pembersihan T. pallidum secara lokal.
Namun, pada saat ini, T. pallidum telah menyebar secara sistemik ke beberapa jaringan
dan organ, memasuki stadium sifilis sekunder.28
Treponema pallidum tidak memiliki faktor virulensi yang umum terdapat pada banyak
bakteri lain, termasuk endotoksin lipopolisakarida.26 Akan tetapi bakteri ini menghasilkan
respon imun cepat, dimediasi oleh lipoprotein membran, yang dimulai segera setelah
infeksi. Infeksi pada semua tahapan menyebabkan infiltrasi oleh limfosit, makrofag, dan
5
sel plasma. Sel T CD4+ banyak ditemukan pada chancre, sedangkan sel T CD8+
mendominasi pada lesi sifilis sekunder. Infeksi ini juga menyebabkan meningkatnya
sitokinTh1, termasuk IL-2 dan IFN-γ, meskipun selama sifilis sekunder terjadi
downregulation respon Th1 bertepatan dengan peningkatan titer antibodi, yang mungkin
berkontribusi terhadap kemampuan organisme untuk menghindari respon imun host.2
Respon imun humoral dimulai dengan produksi antibodi immunoglobulin (Ig) M sekitar 2
minggu setelah paparan, diikuti 2 minggu sesudahnya oleh antibodi immunoglobulin (Ig)
G. Selain IgG, antibodi IgM juga terus diproduksi selama infeksi dan dapat menyebabkan
pembentukan kompleks imun.1 Pada sifilis sekunder, titer antibodi memuncak selama
penyebaran bakteri. Selain menekan respon Th1, organisme ini diduga dapat menghindari
pertahanan host dengan berbagai cara diantaranya yaitu bersembunyi di jaringan dengan
kekebalan istimewa (misalnya, sistem saraf pusat, mata, dan plasenta), tidak
menghasilkan jumlah yang cukup (misalnya, selama infeksi laten) untuk memicu respon
host, mengubah protein permukaan selama infeksi melalui konversi gen, dan mengatasi
upaya host untuk mencegah bakteri memperoleh besi yang diperlukan untuk pertumbuhan
bakteri.27
Empat tahap penyakit sifilis didefinisikan: primer, sekunder, laten, dan tersier
(Gambar 1). Infeksi dimulai ketika T. pallidum menembus kulit atau selaput lendir di
tempat paparan. Protein membran luar mikroba menempel pada reseptor pada permukaan
sel inang, memungkinkan organisme untuk bertahan di lokus ekstraseluler. Produksi
hialuronidase membantu penetrasi epitel dalam rute ke situs perivaskular, di mana sel-sel
kapiler tampaknya menjadi target utama parasitisme.2 Organisme tersebut kemudian
berkembang biak secara lokal dan menyebar melalui sistem limfatik perivaskular ke
sirkulasi sistemik, yang menyebarkan infeksi secara luas sebelum lesi primer menjadi
jelas.
Selama masa inkubasi 3 minggu (kisaran, 10 sampai 90 hari), respon inflamasi lokal
yang intens terdiri dari sel plasma, makrofag, dan limfosit berkembang. Respons ini
menghasilkan lesi sifilis primer yang berwarna merah, indurasi, ulseratif, berisi spiroset:
chancre. Respon host kemungkinan diprakarsai oleh efek kemotaktik dari antigen
lipopeptida treponema,29,30 namun masih memerlukan proliferasi ke jumlah treponema
yang relatif besar. Proliferasi seluler terkait di kelenjar getah bening regional
menghasilkan adenopati.
6
Jika respon imun tidak dapat sepenuhnya membasmi infeksi selama 2 sampai 10
minggu, replikasi di tempat infeksi awal menyebabkan penyebaran dan perkembangan
lesi sifilis sekunder. Lesi ini paling sering terjadi pada jaringan ektodermal: kulit, selaput
lendir, dan sistem saraf pusat (SSP). Respon imun mirip dengan lesi primer. Kondiloma
lata (kutil kelamin) pada sifilis sekunder terjadi akibat hiperplasia epitel, hiperkeratosis,
dan infiltrasi sel plasma sebagai respons terhadap adanya spirochetes.2 Bahkan jika tidak
diobati, manifestasi klinis sifilis sekunder akan hilang, dan tahapan penyakit memasuki
periode kontrol imunologis relatif: organisme yang hidup tetap ada tetapi dalam jumlah
yang rendah. Sekitar 60 persen pasien akan tetap dalam keadaan asimtomatik, atau laten.
Selama periode tahun, sekitar 40 persen akan mengalami perkembangan ke tahap
tersier.Sifilis tersier dapat melibatkan sistem organ apa pun. Lesi yang khas adalah
gummata, yang merupakan area fokal dari nekrosis inflamasi nonsupuratif yang
dikelilingi oleh jaringan parut fibrotik. Mereka tampaknya mewakili reaksi
hipersensitivitas granulomatosa. Organisme yang layak adalah temuan langka atau tidak
ada. Lesi tersier juga dapat berbentuk infiltrat sel plasma dan limfosit lain yang difus,
kronis, dan tidak berkasein.2
spirochetemia ibu dapat terjadi 9 sampai 10 minggu kehamilan dan pada waktu
berikutnya selama kehamilan. Penularan vertikal selama kehamilan terjadi lebih sering
selama sifilis primer atau sekunder dibandingkan dengan penyakit laten. Risiko berkurang
setelah 4 tahun infeksi, bahkan ketika tidak diobati.
Penularan dalam rahim menyebabkan penyebaran organisme yang luas pada janin
(analog dengan sifilis didapat sekunder), dan perubahan patologis telah terlihat sejak usia
kehamilan 15 minggu. Organ yang terkena dampak paling parah termasuk tulang, otak,
hati, paru-paru, dan sistem kerangka. Infeksi dini dapat menyebabkan abortus spontan,
umumnya setelah usia kehamilan 18 minggu. Plasenta biasanya besar dan menebal
dengan vili hiperselular dengan inflamasi akut dan kronis serta perubahan vaskular janin
proliferatif. Funisitis nekrosis dan desiduitis sel plasma terlihat pada beberapa kasus. Tali
pusat sering mengandung fokus nekrotik seperti abses di sekitar pembuluh di dalam jeli
Wharton. Spirochetes biasanya terdapat di dinding pembuluh darah umbilikalis. 2,31 Sifilis
kongenital yang tidak diobati dapat berkembang melalui tahap yang sama dengan sifilis
yang didapat setelah lahir.
E. Manifestasi Klinis
1. Sifilis didapat
Chancre adalah ciri sifilis primer didapat pada semua usia, meskipun anak-anak
sering memiliki sedikit temuan kulit. 32 Chancre paling sering muncul pada kelamin dan
biasanya soliter dan tidak nyeri tekan. Adenopati inguinal (regional) yang tidak nyeri
tekan merupakan temuan umum dan mungkin satu-satunya tanda sifilis primer yang
mudah terlihat, terutama pada wanita ketika chancre terjadi pada serviks atau dinding
vagina. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam 3 hingga 12 minggu
Gejala sifilis sekunder muncul 2 sampai 12 minggu setelah chancre dan termasuk
demam ringan, sakit tenggorokan, sakit kepala, malaise, dan limfadenopati difus.
Manifestasi yang paling menonjol adalah ruam yang mungkin terdiri dari lesi makula,
makulopapular, papula, atau pustular. Onset biasanya pada batang tubuh dan
makulopapular. Menyebar ke ekstremitas, termasuk telapak tangan dan telapak kaki,
adalah kejadian umum. Kondiloma lata, yang merupakan lesi kulit papula hipertrofik
yang ditemukan di daerah lembab seperti anus atau vulva, dapat timbul pada tahap ini.
Semua lesi kulit dan membran mukosa pada sifilis sekunder mengandung banyak
treponema dan sangat menular pada kontak langsung. Neurosifilis hadir pada sekitar 30
8
persen pasien dengan sifilis sekunder. Neurosifilis mungkin tidak tampak secara klinis
atau muncul sebagai keterlibatan saraf meningeal dan kranial atau spinal.. Iritis, uveitis
anterior, artritis, dan sindrom nefrotik juga dapat terjadi selama sifilis sekunder.
Manifestasi penyakit ini kemungkinan disebabkan oleh pengendapan kompleks imun
yang terdiri dari: antigen treponema, fibronektin, antibodi, dan komplemen.2,33
Lesi sifilis sekunder sembuh tanpa pengobatan dalam 1 sampai 2 bulan. Infeksi
kemudian memasuki periode laten, tanpa bukti nyata adanya penyakit. Tanda-tanda
sifilis sekunder dapat kambuh selama tahun pertama (latensi awal) tetapi tidak
setelahnya (latensi akhir). Kekebalan relatif terhadap reinfeksi ada selama latensi, dan
sekitar 60 persen pasien yang tidak diobati tidak akan berkembang dari latensi menjadi
sifilis tersier.
Sekitar 40 persen pasien yang tidak diobati akan berkembang menjadi sifilis tersier
setelah periode laten 3 sampai 10 tahun. Kerangka waktu ini membuat sifilis tersier
yang didapat menjadi kejadian yang sangat langka selama masa kanak-kanak dan
remaja. Gummata, lesi klasik sifilis tersier, berkembang di kulit, jaringan lunak, dan
tulang pada 15 persen kasus. Lesi ini memiliki dampak klinis yang minimal, dan
kehadirannya disebut sifilis lanjut jinak. Neurosifilis yang tidak diobati selama tahap
sekunder akan bertahan pada banyak pasien yang tidak diobati, termasuk anak-anak. Ini
dapat tetap asimtomatik atau mirip dengan hampir semua penyakit neurologis lainnya.
Interval antara sifilis primer dan neurosifilis lanjut biasanya lebih dari 5 tahun. Penyakit
ini dapat berkembang lebih cepat pada anak-anak daripada pada orang dewasa.
Presentasi umum termasuk tabes dorsalis, paresis, demensia, meningitis, dan sklerosis
lateral amiotrofik. Sifilis kardiovaskular, yang terjadi pada 10 persen pasien lanjut usia
dengan sifilis lanjut, umumnya tidak ditemukan pada anak-anak karena onsetnya
biasanya 10 sampai 40 tahun setelah penyakit primer didapat.2
2. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital dapat menyebabkan (1) kematian janin dengan abortus spontan,
biasanya setelah trimester pertama, atau lahir mati pada 30 sampai 40 persen kasus, atau
(2) kelahiran prematur atau aterm pada bayi hidup yang mungkin memiliki tanda
infeksi yang jelas atau sepenuhnya asimtomatik (sekitar dua pertiga dari kasus lahir
hidup).34 Sifilis kongenital dapat secara klinis mirip dengan infeksi kongenital yang
disebabkan oleh cytomegalovirus, toksoplasmosis, virus herpes simpleks, dan rubella,
9
serta sepsis bakteri, inkompatibilitas golongan darah, dan berbagai kondisi neonatus
lainnya. Pada bayi lahir hidup, manifestasi sifilis kongenital dibagi menjadi tanda-tanda
awal (yang muncul dalam 2 tahun pertama kehidupan) dan tanda-tanda lanjut (yang
muncul kemudian selama 2 dekade pertama kehidupan).
Setelah infeksi janin terjadi, semua sistem organ dapat terpengaruh karena
penyebaran spirochetal yang meluas. Hepatitis tampaknya merupakan manifestasi awal
yang dapat dideteksi sebagai peningkatan kadar transaminase dalam darah janin.
Anemia dan trombositopenia muncul kemudian. Hidrops fetalis, atau edema difus,
terjadi akibat gagal jantung kongestif yang berhubungan dengan anemia. Sebuah tes
Coombs negatif dalam pengaturan hidrops sangat menunjukkan etiologi sifilis
kongenital. Hepatomegali dan asites sebagian besar dikaitkan dengan gagal jantung
tetapi mungkin sebagian disebabkan oleh infeksi hati.35-37
Hasil klinis akhir berhubungan dengan waktu infeksi janin dan waktu pengobatan
ibu berikutnya. Di Amerika Serikat, antara tahun 1992 dan 1998, rasio kasus kematian
untuk sifilis kongenital adalah 6,4 persen.33 Risiko kematian berbanding terbalik
dengan jumlah kunjungan perawatan prenatal. Hampir 90 persen kasus fatal dikaitkan
dengan kurangnya atau tidak memadainya perawatan ibu.
a) Early Congenital Syphilis
Frekuensi manifestasi awal yang umum pada bayi bergejala dapat dilihat pada
Gambar 2. Waktu infeksi pada rahim berdampak apakah tanda-tanda awal hadir
saat lahir. Hepatomegaly terlihat pada bayi yang paling bergejala. Fungsi hati
mungkin normal, tetapi penyakit kuning disebabkan oleh sifilis hepatitis biasanya
dikaitkan dengan peningkatan serum transaminase dan konsentrasi fosfatase
alkalin. Direct hiperbilirubinemia dari kolestasis dapat terjadi dan waktu
protombin dapat diperpanjang. Penyakit hati dapat sembuh dengan lambat dan
bahkan memburuk secara sementara setelah perawatan. Splenomegali muncul
pada setengah kasus, begitupula adenopati nonsuppuratif.32
10
Gambar 3. Lesi kulit yang khas pada bayi denga sifilis kongenital simptomatik.
Lesi deskuamasi dan eksudatif di sekitar jari kaki ditampilkan. Lesi
ini sangat menular melalui kontak. Reprinted with permission from
the Committee on Infectious Dis- eases, American Academy of
Pediatrics. (Color version of figure is available online.)
Keterlibatan tulang terjadi pada 60 hingga 80 persen kasus kongenital dini
yang tidak diobati. Biasanya multipel dan simetris. Periostitis dan demineralisasi
kortikal terjadi di bagian metafisis dan diafisis tulang panjang, sedangkan
osteokondritis mempengaruhi sendi, terutama lutut, pergelangan kaki, pergelangan
tangan, dan siku (Gambar. 4). Keterlibatan tulang bisa sangat menyakitkan,
menyebabkan bayi menolak untuk menggerakkan ekstremitas yang terlibat.
Temuan klinis ini disebut pseudoparalysis of Parrot. Ketika demineralisasi atau
penghancuran metafisis tibialis medial atas terlihat secara radiografi, ini disebut
tanda Wimberger. Keterlibatan tulang biasanya sembuh secara spontan selama 6
bulan pertama kehidupan. 37,39,40
Neurosifilis sering tidak menunjukkan gejala dan mungkin timbul dari
penyebaran berkelanjutan setelah periode neonatal jika infeksi tidak diobati.
Temuan cairan serebrospinal (CSF) dianggap sugestif neurosifilis pada bayi
dengan lebih dari 25 WBC/mm3 (hingga 200 sel mononuklear per mm3) dan
protein lebih besar dari 150 mg/dL (>170 mg/dL pada bayi prematur). Tes
12
primer dan pada 98 persen kasus sifilis sekunder. VDRL positif pada sekitar 80 persen
kasus primer dan pada 95 persen kasus sekunder dan merupakan satu-satunya serologi
yang disetujui untuk menguji reaktivitas cairan tulang belakang.2
Titer antibodi nontreponemal mencerminkan aktivitas penyakit: penurunan empat
kali lipat menunjukkan terapi yang efektif, sedangkan peningkatan empat kali lipat
menunjukkan penyakit masih aktif (kegagalan pengobatan atau infeksi ulang). Pasien
biasanya kembali ke seronegatif dalam waktu satu tahun setelah menerima pengobatan
yang memadai dari sifilis primer dan dalam waktu dua tahun dengan sifilis sekunder.
Sebagian kecil pasien akan tetap serofast, dengan titer positif rendah yang bertahan
meskipun telah menerima terapi yang adekuat. Tes nontreponemal tidak mahal tetapi
kurang sensitif dibandingkan tes treponema spesifik. Mereka digunakan terutama
untuk skrining dan pemantauan terapi, sedangkan tes treponema digunakan untuk
menegakkan diagnosis.2;43.,44
Reaksi positif palsu dengan tes nontreponemal terjadi pada sekitar 1 persen orang
dewasa normal. Persilangan antibodi reaginik bereaksi dengan lebih dari 200 non-T.
antigen pallidum (walaupun tidak dengan agen penyakit Lyme). Reaksi positif palsu
dapat terjadi selama beberapa infeksi virus (misalnya, mononukleosis menular,
varicella, campak, dan mungkin infeksi HIV), lupus eritematosus sistemik, limfoma,
malaria, tuberkulosis, hepatitis, dan endokarditis, dan di antara pengguna narkoba
suntikan. Hasil negatif palsu dapat terjadi ketika konsentrasi antibodi yang tinggi
menghambat aglutinasi (fenomena prozon), yang dapat dihindari dengan pengenceran
serum secara serial. Seiring berjalannya waktu, bahkan beberapa pasien yang tidak
diobati dapat kembali ke status seronegatif nontreponemal.
Tes IgM treponemal spesifik telah dikembangkan dan dinilai dalam penelitian
skala kecil, tetapi saat ini tidak ada yang direkomendasikan untuk digunakan. Tes
berbasis Polymerase chain reaction (PCR) dan tes imunoblotting imunoglobulin M
telah dikembangkan tetapi tidak tersedia secara komersial. 37 Tes berbasis PCR pada
akhirnya dapat menggantikan rabit infectivity tests sebagai standar referensi untuk tes
diagnostik sifilis.41 Sejumlah tes deteksi antibodi spesifik yang cepat dan murah
berdasarkan imunokromatografi atau lateks aglutinasi partikel telah dikembangkan,
tetapi belum sepenuhnya divalidasi dalam penggunaan lapangan.45
16
rendah atau ibu terinfeksi pada akhir kehamilan. Darah tali pusat tidak boleh diuji
karena sering kali memberikan hasil positif palsu dan negatif palsu. Ketika satu-
satunya bukti kemungkinan sifilis adalah tes nontreponemal ibu yang baru positif,
diagnosis ibu harus dikonfirmasi dengan tes treponemal sebelum bayi asimtomatik
menjalani evaluasi dan pengobatan untuk sifilis kongenital (kecuali menunggu hasil
akan terlalu menunda memberikan perawatan yang tepat untuk bayi).
Penilaian pengobatan maternal untuk sifilis, dalam hal rejimen yang digunakan,
waktu atau terapi relatif terhadap pengiriman (< 4 minggu versus 4 minggu), dan
tindak lanjut ibu dan hasil titer antibodi nontreponemal serial, memainkan peran kunci
dalam menentukan sejauh mana evaluasi dan pengobatan yang diperlukan untuk bayi
yang berisiko sifilis kongenital. Satu-satunya pengobatan ibu yang dianggap efektif
untuk pengobatan janin adalah Benzatin penisilin G, 2,4 juta unit secara intramuskular,
dengan dosis tunggal yang dianggap cukup ketika ibu menderita sifilis laten primer,
sekunder, atau dini (Gambar 1). Tiga dosis yang diberikan dengan interval 1 minggu
diperlukan untuk sifilis laten atau tersier.46
Definisi kasus klinis dan surveilans untuk sifilis kongenital diberikan pada Gambar
5. Harus dicatat bahwa titer nontreponemal bayi empat kali lipat lebih tinggi dari titer
ibu jarang terjadi bahkan dalam kasus simtomatik, dan rasio bayi: ibu kurang dari
empat kali lipat tidak menyingkirkan infeksi kongenital. Tidak perlu mengirim serum
bayi untuk tes treponema karena tes positif tidak membedakan antara antibodi bayi
atau ibu, dan tes negatif tidak menyingkirkan infeksi. Titer nontreponemal yang tinggi
pada saat pengobatan ibu selama kehamilan dan saat melahirkan dan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu saat melahirkan merupakan faktor risiko untuk akuisisi sifilis
kongenital pada neonatus bahkan ketika pengobatan ibu memadai (rejimen penisilin
diberikan lebih dari 30 hari sebelum pengiriman).47
Rekomendasi untuk evaluasi bayi dengan sifilis kongenital yang dicurigai atau
dikonfirmasi tercantum dalam Gambar 6. Radiografi tulang panjang adalah salah satu
studi klinis yang paling sensitif untuk mendeteksi bukti fisik sifilis kongenital pada
bayi tanpa gejala.48 Bayi yang memiliki (a) temuan fisik normal DAN (b) titer antibodi
nontreponemal kuantitatif serum yang empat kali lipat atau kurang dari titer ibu tidak
memerlukan laboratorium atau studi pencitraan lebih lanjut jika (a) pengobatan ibu
yang adekuat untuk tahap sifilis diberikan lebih dari 4 minggu sebelum persalinan
18
(termasuk sebelum kehamilan) DAN salah satu (b1) jika ibu menderita sifilis dini pada
saat pengobatan, titer nontreponemanya menurun setidaknya empat kali lipat dan tetap
rendah dan stabil selama waktu persalinan, atau ( b2) jika ibu menderita sifilis lanjut
pada saat pengobatan, titer nontreponemalnya tetap rendah dan stabil, dan tidak ada
bukti kekambuhan atau infeksi ulang.2,3
Gambar 6. Evaluasi Neonatus Dengan Sifilis Kongenital yang Dicurigai atau Dikonfirmasi
G. Tatalaksana
Penisilin G parenteral tetap menjadi obat pilihan untuk semua stadium sifilis. Penisilin
G adalah satu-satunya agen yang didokumentasikan efektif untuk pasien dengan
neurosifilis, sifilis kongenital, atau sifilis selama kehamilan. Resistensi penisilin belum
berkembang pada T. pallidum. Tiga rejimen dasar digunakan pada anak-anak: 10 sampai
14 hari prokain penisilin intramuskular (IM); 10 sampai 14 hari penisilin diberikan secara
19
intravena (IV); dan satu dosis penisilin benzatin, IM. Pilihan terapi ditentukan oleh
manifestasi klinis dan kemungkinan tindak lanjut untuk pemantauan respon pengobatan. 44
Dalam skenario reaksi alergi yang serius terhadap penisilin, anak-anak umumnya harus
peka dan kemudian diobati dengan penisilin. Jika hal ini tidak memungkinkan, konsultasi
ahli harus diperoleh. Rekomendasi pengobatan dapat berubah dalam beberapa tahun ke
depan jika lebih banyak informasi yang mendukung penggunaan sefalosporin generasi
ketiga (saat ini tidak direkomendasikan) tersedia.
Reaksi Jarisch-Herxheimer, yang muncul sebagai demam, sakit kepala, mialgia, dan
malaise, terjadi pada beberapa pasien 2 sampai 12 jam setelah menerima terapi untuk
sifilis aktif (terutama tahap awal). Reaksi diperkirakan dihasilkan oleh pelepasan senyawa
mirip endotoksin treponema selama lisis yang dimediasi penisilin. Reaksinya adalah
peristiwa yang jarang terjadi pada bayi baru lahir tetapi dapat terjadi pada masa bayi
kemudian dan seterusnya.37
1. Sifilis Didapat
Sifilis awal yang didapat (tahap primer, sekunder, atau laten awal) harus diobati
dengan 50.000 U/kg benzatin penisilin G, IM, dalam dosis tunggal (sampai dosis
dewasa maksimum 2,4 juta unit). Anak-anak dengan neurosifilis harus menerima
aqueous crystalline penicillin G, IV, 200.000 hingga 300.000 U/kg/hari dibagi setiap 4
hingga 6 jam, selama 10 hingga 14 hari. Data terbatas menunjukkan bahwa ceftriaxone
mungkin efektif untuk sifilis dini pada orang dewasa, tetapi agen ini belum
direkomendasikan untuk pengobatan sifilis pada anak kecil. Dosis tunggal tidak efektif
pada orang dewasa. Dosis oral tunggal azitromisin, 2 g, mungkin efektif pada orang
dewasa HIV-negatif, tetapi kegagalan pengobatan telah dicatat. 49 Azitromisin belum
dievaluasi untuk sifilis pada anak-anak.
Pada pasien tidak hamil berusia 8 tahun atau lebih yang alergi terhadap penisilin,
doksisiklin atau tetrasiklin dapat diberikan selama 14 hari. Agen-agen ini dapat
dipertimbangkan pada anak-anak yang lebih muda jika manfaat terapi dianggap lebih
besar daripada risiko pewarnaan gigi. Ketika rejimen nonpenisilin digunakan pada usia
berapa pun, tindak lanjut yang ketat sangat penting. Pada anak-anak yang alergi
penisilin di bawah usia 8 tahun, terutama pada mereka yang tidak memastikan tindak
lanjut yang dekat, pertimbangan harus diberikan untuk rawat inap dan desensitisasi
diikuti dengan pengobatan dengan penisilin G. Sifilis yang menginkubasi dapat
20
dan yang lain menggunakan rejimen ini sebagai pengobatan jika manifestasi penyakit
minimal dan temuan CSF, termasuk hasil VDRL, negatif. 44 Jika sediaan penisilin IV
atau IM tidak tersedia atau tidak dapat ditoleransi, ampisilin IV atau seftriakson
parenteral dapat dipertimbangkan sebagai terapi alternatif. Tindak lanjut klinis dan
serologis yang hati-hati sangat penting ketika rejimen ini digunakan karena data untuk
efektivitas tidak mencukupi.37
22
2. Sifilis pada anak terbagi menjadi dua, yaitu sifilis didapat dan sifilis kongenital.
3. Empat tahap penyakit sifilis antara lain primer, sekunder, laten, dan tersier.
4. Penegakkan diagnosis sifilis, baik kongenital maupun didapat, berdasarkan temuan klinis
dan dikonfirmasi dengan identifikasi langsung treponema dalam spesimen klinis atau
5. Penisilin G parenteral tetap menjadi obat pilihan untuk semua stadium sifilis
6.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Hook EW III, Peeling RW: Syphilis control—a continuing challenge. N Enl J Med
351:122-124, 2004
2. Sánchez PJ, Gutman LT: Syphilis, in Feigin RD, Cherry JD, Demmler GJ, et al (eds):
Textbook of Pediatric Infectious Diseases (5th ed.) Phil- adelphia, W.B. Saunders,
Co., 2004, pp 1724-1743
3. Walker DG, Walker GJA: Forgotten but not gone: The continuing scourge of
congenital syphilis. Lancet Infect Dis 2:432-436, 2002
4. Finelli L, Berman SM, Koumans EH, et al: Congenital syphilis. Bull World Health
Org 76:126-128, 1998 (suppl 2).
5. Muhammad, W. 2018. Pediatric Syphilis. Medscape. Dapat diakses pada
https://emedicine.medscape.com/article/969023-overview#a1
6. Mendiratta V, Agarwal S, Chander R. Reappraisal of sexually transmitted infections
in children: a hospital-based study from an urban area. Indian J Sex Transm Dis
2014;35:25-28
7. Djuanda, A. (2017). Sifilis. In Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (Edisi 7). Jakarta:
Badan Penerbit FK Universitas Indonesia.
8. Emerson, C. R. (2009). Syphilis: A Review of the Diagnosis and Treatment. The
Open Infectious Diseases Journal, 3(1), 143–147.
9. Kemenkes RI. (2013). Pedoman Tata Laksana Sifilis Untuk Pengendalian Sifilis Di
Layanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
10. Centers for Disease Control. Congenital syphilis. Sexu- ally transmitted diseases
treatment guidelines. MMWR 2002; 51:26-8.
11. Mc. Farlin BL, Bottoms SF, Dock BS, Isada NB. Epi- demic syphilis: Maternal
factors associated with con- genital infection. Am J Obstet Gynecol 1994; 170:535-
40.
12. Seña AC, Cox DL, Pillay A, et al. Treponema and Brachyspira, Human Host-
associated Spirochetes. Manual of Clinical Microbiology.
13. Peeling R, Mabey D. Focus: Syphilis. Nat Rev Microbiol. 2. Available at:
https://doi.org/10.1038/nrmicro911.
24
14. Stoltey JE, Cohen SE. Syphilis transmission: a review of the current evidence. Sex
Health. 2015;12:103–109.
15. Long FQ, Wang QQ, Jiang J, et al. Acquired secondary syphilis in preschool children
by nonsexual close contact. Sex Transm Dis. 2012;39:588–590.
16. CDC. (2015). Suggested Reporting Language for Syphilis Serology Testing. Diakses
dari https://www.cdc.gov/std/syphilis/treatment.htm.
17. Todd, J., Munguti, K., Grosskurth, H., & Mangara, J. (2001). Risk factors for active
syphilis and TPHA seroconversion in a rural African population. Sex Transm Infect
2001, 77, 37-45. doi:10.1136.
18. Newman L, Rowley J, Hoorn SV, Wijesooriya NS, Unemo M, Low N, et al. Global
Estimates of the Prevalence and Incidence of Four Curable Sexually Transmitted
Infections in 2012 Based on Systematic Review and Global Reporting. PloS ONE.
2015; 10(12): 1-17.
19. Hook 3rd EW. Syphilis. The Lancet. 2017; 10078: 1550-7.
20. WHO. (2018). Report on Global Sexually Transmitted nfection surveillance 2018.
Diakses dari https://www.who.int/reproductivehealth/publications/stissurveillance-
2018/en/.
21. CDC. 2021. Sexually Transmitted Infections Treatment Guidelines, 2021 : Congenital
Syphilis. Dapat diakses di https://www.cdc.gov/std/treatment-guidelines/congenital-
syphilis.htm
22. Shapiro RA, Makoroff KL. Sexually transmitted diseases in sexually abuse girls and
adolescents. Curr Opin Obstet Gynecol. 006;18:492-497
23. Bechtel K. Sexual abuse and sexually transmitted infections in children and
adolescents. Curr Opin Pediatr. 2010;22:94-99.
24. Reading R, Rogstad K, Hughes G, Debelle G. Gonorrhoea, chlamydia, syphilis and
trichomonas in children under 13 years of age: national surveillance in the UK and
Republic of Ireland. Arch Dis Child. 2014;99:712-716.
25. Argent AC, Lachman PI, Hanslo D, Bass D. Sexually transmitted diseases in children
and evidence of sexual abuse. Child Abuse Negl.1995;19:1303-1310
25
26. Lukehart SA. Biology of Treponemes. In: Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot
P, Wasserheit WE, Corey L, et al., editors. Sexually Transmitted Disease. 4th Ed.
New York: McGraw Hill Companies; 2008. p. 647-59.
27. Katz KA. Syphillis. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell
O, Editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th Ed. New York:
Mcgraw-Hill Companies; 2012. p. 2471-92.
28. Ho EL, Lukehart SA. Syphilis: Using Modern Approaches to Understand an Old
Disease. J Clin Invest. 2011; 121(12): 4584-92.
29. Sellati TJ, Waldrop SL, Salazar JC, et al: The cutaneous response in humans to
Treponema pallidum lipoprotein analogues involves cellular elements of both innate
and adaptive immunity. J Immunol 166:4131- 4140, 2001
30. Musher DM, Hague-Park M, Gyrokey F: The interaction between Treponema
pallidum and human polymorphonuclear leukocytes. J In- fect Dis 147:77-86, 1983
31. Sheffield JS, Sanchez PJ, Wendel GD, et al: Placental histopathology of congenital
syphilis. Obstet Gynecol 100:126-133, 2002
32. Ackerman AB, Goldfaden G, Cosmides JC: Acquired syphilis in early childhood.
Arch Dermatol 106:92, 1972
33. Gutman, LT Congenital syphilis, in Mandell GL (ed): Atlas of Infectious Disease
(Vol. 5). Sexually Transmitted Diseases. Philadelphia, Current Medicine, 1996
34. Jensen HB: Congenital syphilis. Semin Pediatr Infect Dis 10:183-194, 1999
35. Bulova SI, Schwartz E, Harrer WV: Hydrops fetalis and congenital syphilis.
Pediatrics 49:285-287, 1972
36. Hollier LM, Harstad TW, Sanchez PJ, et al: Fetal syphilis: clinical and laboratory
characteristics. Obstet Gynecol 97:947-953, 2001
37. Ingall D, Sánchez PJ. Syphilis, in Remington JS, Klein JO (eds): Infec- tious Diseases
of the Fetus and Newborn Infant (5th ed). Philadelphia, W.B. Saunders, Co. 2001, pp
643-681
40. Teberg A, Hodgman JE: Congenital syphilis in newborn. Calif Med 118:5-10, 1973
41. Sánchez PJ, Wendel GD, Grimprel K, et al: Evaluation of molecular methodologies
and rabbit infectivity testing for the diagnosis of con- genital syphilis and neonatal
central nervous system invasion by Trepo- nema pallidum. J Infect Dis 167:148-157,
1993
42. Michelow IC, Wendel GD, Norgard MV, et al: Central nervous system infection in
congenital syphilis. N Engl J Med 346:1792-1798, 2002
43. Rawstron SA, Mehta S, Bromberg K: Evaluation of a Treponema palli- dum-specific
IgM enzyme immunoassay and Treponema pallidum west- ern blot antibody detection
in the diagnosis of maternal and congenital syphilis. Sex Transm Dis 31:123-126,
2004
44. Committee on Infectious Diseases, American Academy of Pediatrics. Syphilis, in
2003 Red Book. Elk Grove Village, IL, American Academy of Pediatrics, 2003, pp
595-607
45. World Health Organization: Laboratory-based evaluation of rapid syphilis
diagnostics. The Sexually Transmitted Diseases Diagnostic Ini- tiative. UNDP/World
Bank/WHO Special Programme for Research & Training in Tropical Diseases.
Geneva, Switzerland.
46. World Health Organization: Laboratory-based evaluation of rapid syphilis
diagnostics. The Sexually Transmitted Diseases Diagnostic Ini- tiative. UNDP/World
Bank/WHO Special Programme for Research & Training in Tropical Diseases.
Geneva, Switzerland.
47. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted dis- eases treatment
guidelines 2002. MMWR 51(RR-6):18-29, 2002 51. Sheffield JS, Sánchez PJ, Morris
G, et al: Congenital syphilis after maternal treatment for syphilis during pregnancy.
Am J Obstet Gynecol 186:569-573, 2002
48. Moyer VA, Schneider V, Yetman R, et al: Contribution of long-bone radiographs to
the management of congenital syphilis in the newborn infant. Arch Pediatr Adolesc
Med 152:353, 1998
49. 5Centers for Disease Control and Prevention: Brief report: Azithromycin treatment
failures in syphilis infections—San Francisco, California, 2002—2003. MMWR
53:197-198, 2004
27
50. Hook EW 3rd, Stephens J, Ennis DM: Azithromycin compared with penicillin G
benzathine for treatment of incubating syphilis. Ann Intern Med 131:434-437, 1999
51. Paryani SG, Vaughn AJ, Crosby M, et al: Treatment of asymptomatic congenital
syphilis: Benzathine versus procaine penicillin G therapy. J Pediatr 125:471-475,
1994
52. Radcliffe M, Meyer M, Roditi D, et al: Single-dose benzathine penicillin in infant’s at
risk of congenital syphilis: Results of a randomized study. S Afr Med J 87:62-65