LAPORAN KASUS
Kamis, 12 April 2018
Pukul : 13.00 WIB
Disusun oleh :
dr. Firman Syahbana
Pembimbing :
dr. Msy. Rita Dewi Mustika, Sp.A(K)
dr. RM. Indra, Sp.A(K)
dr. Syarif Darwin Ansori, Sp.A(K)
Moderator :
dr. Ria Nova, SpA(K)
Penilai :
Prof. dr. Rusdi Ismail, SP.A(K)
dr. Rismarini, SpA(K)
Penyakit tetanus neonatorum adalah suatu penyakit infeksi pada bayi berusia < 28
hari, karena bakteri Clostridium tetani yang masuk ke tubuh melalui luka. Tetanus
neonatorum merupakan penyakit yang disebabkan masuknya spora Clostridium tetani
melalui luka irisan pada umbilikus pada saat persalinan akibat pemakaian alat-alat
persalinan yang tidak steril, dengan masa inkubasi 3 – 10 hari. Penyakit ini ditandai
dengan spasme otot, dimulai dari otot rahang lalu selanjutnya menjadi spasme tetanus
generalisata.1-3Clostridium tetani adalah sebuah kuman berbentuk batang, bersifat
anaerobik dan membentuk spora. Organisme ini ditemukan dalam feses hewan dan
manusia dan juga pada tanah. Spora organisme ini dapat tetap dorman selama berbulan –
bulan atau bertahun – tahun, tetapi ketika masuk ke dalam suatu luka, terutama jika
disertai dengan benda asing atau bakteri purulen, spora tersebut berubah menjadi bentuk
vegetatif, yang memproduksi eksotoksin tetanospasmin dan tetanolisin. 4-6
Menurut WHO, meski sistem surveilens telah berjalan cukup baik, tetapi
diperkirakan hanya mampu mencatat sekitar 5% kasus tetanus neonatorum. Oleh sebab
itu, penyakit ini disebut sebagai the silent killer. Tetanus neonatorum masih menjadi
masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang. Di Indonesia kasus tetanus
neonatorum masih sering dijumpai. Kasus tetanus neonatorum berdasarkan provinsi di
Indonesia pada tahun 2011 terdapat sebanyak 15 provinsi yang memiliki kasus tetanus
neonatorum. Provinsi yang memiliki kasus tetanus neonatorum terbanyak adalah Provinsi
Banten sebanyak 38 kasus tetanus neonatorum dan disusul oleh Provinsi Jawa Timur
sebanyak 22 kasus tetanus neonatorum, sedangkan Sumatra Selatan hanya terdapat 2
kasus tetanus neonatorum.4
Persentase penyebab kematian neonatus di dunia yang disebabkan oleh tetanus
neonatorum yaitu sekitar 14%. Case Fatality Rate (CFR) tetanus neonatorum sangat
tinggi. Semakin singkat masa inkubasi semakin ganas penyakit ini. Kasus-kasus dengan
masa inkubasi singkat yang tidak dirawat, hampir dipastikan angka fatalitas tersebut
mendekati 100%.1,5 Pada tahun 2013, diperkirakan terdapat 49.000 kematian terjadi di
seluruh dunia akibat tetanus neonatorum. Tetanus neonatorum membunuh sekitar
2
500.000 neonatus setiap tahun dengan sekitar 80% kematian di 12 negara tropis Asia
Afrika. Hingga saat ini, tetanus neonatorum menyumbang 6,5% kematian pada masa bayi
di India.3,5,7Di Indonesia Case Fatality Rate tetanus neonatorum pada tahun 2013
mengalami kenaikan dari tahun 2012. Pada tahun 2013 Case Fatality Rate mencapai
53,8% sedangkan tahun 2012 Case Fatality Rate tetanus neonatorum sebesar 49,6%.
Terdapat 84 kasus tetanus neonatorum di Indonesia pada tahun 2014 dengan kematian
mencapai 54 orang atau 64,3%. Terdapat 84 kasus tetanus neonatorum di Indonesia pada
tahun 2014 dengan kematian mencapai 54 orang atau 64,3%. Provinsi Jawa Timur turut
bertanggung jawab terhadap kasus tetanus neonatorum di Indonesia. Provinsi Jawa Timur
memiliki jumlah kasus tetanus neonatorum sebesar 17 kasus dengan kematian 7 orang
atau CFR 41,2% 4,8
Diagnosis tetanus neonatorum dapat ditegakkan dari gejala klinis berupa trismus,
rhisus sardonicus, spasme otot dan jika berat dapat disertai komplikasi gangguan fungsi
otonom, spasme otot faring, obstruksi jalan nafas, dan pada anamnesis disertai riwayat
pemotongan tali pusat yang tidak higienis serta perawatan tali pusat yang tidak
higienis.9,10 Tetanus umumnya dibagi berdasarkan bentuk dan derajat keparahannya.
Terdapat beberapa sistem skoring baik untuk menentukan derajat keparahan maupun
prognosis penyakit seperti klasifikasi Candra, Skoring Abblet, Skoring Udwaina, dan
Skoring Philips.
Tatalaksana tetanus neonatorum dapat diberikan sesegera mungkin dengan
melihat gejala klinis yang timbul. Tujuan dari tatalaksana adalah mengeradikasi
Clostridium tetani, menetralisir toksin dan memberikan tatalaksana suportif.9 Dan
mencegah terjadinya komplikasi pada penderita dengan tetanus neonatorum.
Prognosis dan keluaran penderita bergantung pada banyak faktor seperti berat
penyakit, fasilitas pengobatan, usia penderita, masa inkubasi dan onset penyakit. Di
negara berkembang yang tidak memiliki perawatan yang memadai, angka kematian
tetanus dapat mencapai 50%.9. Angka kematian berkisar antara 10% pada tetanus umum
yang ringan, meningkat hingga 50% pada tetanus umum derajat berat, bahkan pada
tetanus neonatorum angka kematian mencapai 90%.11
Tetanus neonatorum merupakan salah satu penyakit infeksi saraf yang dapat
dicegah dengan imunisasi.2 Perawatan pasca persalinan yang kurang bersih, perawatan
3
tali pusat yang kurang steril, pertolongan persalinan yang tidak steril masih merupakan
faktor risiko utama tetanus neonatorum. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
pemberian imunisasi tetanus toksoid dua kali selama hamil menurunkan kejadian tetanus
neonatorum.12
Kasus tetanus neonatorum di Sumatra selatan khususnya Palembang tercatat
sudah jarang terjadi, namun bukan berarti kasusnya sudah tidak ada lagi, bisa saja tidak
tercatat dengan baik sehingga jumlah kasus yang ditemukan menjadi sedikit. Dengan
adanya laporan kasus ini diharapkan dapat mengingatkan kembali cara penegakan
diagnosis tetanus neonatorum serta tatalaksananya.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS
Seorang bayi perempuan, berusia 19 hari, berat badan 3.1 kg, panjang badan 52 cm,
tinggal di daerah Harimau Tandang, Pematang Bangsal Pemulutan selatan Ogan Ilir
dirawat di bangsal anak RSMH sejak hari senin 9 Oktober 2017, pukul 03.30 WIB.
Riwayat pengobatan
Pemberian diazepam 1 mg di RS Bari
5
BBL 3300 gram, PBL lahir tidak diketahui, riwayat injeksi vitamin K (+), riwayat ibu
demam selama hamil tidak ada, riwayat ketuban hijau, kental dan bau tidak ada, riwayat
KPSW tidak ada. Riwayat imunisassi TT disangkal. Riwayat perawatan tali pusat dengan
pemberian kunyit dan getah gambir setelah tali pusat lepas. Riwayat pemakaian alat – alat
tidak steril, riwayat pemotongan tali pusat tidak higienis
Kesan : riwayat kehamilan dalam batas normal
Riwayat nutrisi
Riwayat makan dan minum
ASI : sejak lahir sampai saat ini namun tidak cukup banyak
Kesan : kualitas dan kuantitas kurang
Riwayat pertumbuhan
Penderita lahir dengan berat badan lahir sesuai umur kehamilan. Kenaikan berat badan
penderita belum sesuai dengan umurnya.
6
BB/U : -2 < Z < 0 SD, PB/U : 0 SD, BB/PB : Z score : -2 SD Gizi kurang
Keadaan Spesifik:
Kepala : Normosefali menurut kurva Nellhauss,
Ubun ubun besar datar
Wajah : Rhisus sardonicus (+)
Mata : konjungtiva pucat tidak ada, sklera ikterik tidak ada, pupil
bulat isokor Ø 3mm, refleks cahaya + normal,
Hidung : napas cuping hidung tidak ada, tidak ada sekret dari hidung
Telinga : bentuk normal, tidak ada sekret yang keluar dari telinga.
Mulut : mulut mencucu (+)
Leher : kaku (+), tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening di
leher, tidak ada kaku kuduk
Thorax : Bentuk dada normal, simetris, tidak ada ketinggalan gerak, tidak
terdapat retraksi, tidak terdapat iga gambang
Cor : Bunyi jantung I dan II normal. Murmur tidak ada, gallop tidak ada.
Pulmo : Suara vesikuler normal, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada.
Abdomen : Datar, keras, hepar dan lien sulit dinilai (perut seperti papan). bising
usus (+) normal, pusat menonjol (+)
Ekstremitas : akral hangat, pucat, kejang spontan tidak ada, kejang rangsang ada.
Genitalia : Status pubertas : P1M1
Status dermatologikus :
Regio abdomen : eritem (+) multipel, calor (-), dolor (-)
Kesan : dermatitis kontak iritan
Status Neurologi:
Lengan Tungkai
Motorik Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas
Kekuatan Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Tonus Hipertoni Hipertoni Hipertoni Hipertoni
Klonus - -
7
Refleks fisiologis + meningkat + meningkat + meningkat + meningkat
Refleks patologis - - - + Babinsky
GRM -
Kesan : didapatkan ekstemitas hipertoni, peningkatan refleks fisiologis, refleks patologis
(+), yaitu babinsky
Skoring Tjandra : 3
Usia > 10 hari :1
Spasme :1
Risus sardonicus/trismus :1
8
IV. MASALAH AWAL
1. Spasme atau kaku
2. Mulut mencucu
3. Perut seperti papan
4. Skoring Candra 3
5. Dermatitis kontak iritan
V. DIAGNOSIS KERJA
Tetanus neonatorum grade I + dermatitis kontak iritan
9
2. Dermatitis kontak iritan
Konsul ke divisi dermatovenereologi pediatrik
PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad functionam : bonam
3. Quo ad sanationam : bonam
10
CATATAN LANJUTAN SELAMA PERAWATAN
Tanggal Catatan perawatan
9 Oktober 2017 ( Hari perawatan ke 1)
Masalah :
Risus sardonicus
Mulut mencucu
KS
konjungtiva anemis (-), napas cuping hidung (-), tidak ada sekret
dari hidung dan telinga, mulut mencucu (+), sianosis sirkumoral (-).
Abdomen : Perut papan (+), bising usus (+) normal, hepar dan lien tak teraba
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT< 2 detik, spastik (-), kejang rangsang (+),
kejang spontan (-).
Status neurologis
Motorik TKa TKi LKa LKi
Gerakan Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas
Kekuatan Sulit dinilsi Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Tonus Hipertoni hipertoni hipertoni Hipertoni
Klonus - -
R. fisiologis +mening +mening +mening +mening
kat kat kat kat
11
R patologis - - - Babinsky (+)
Sensoris : gangguan sensoris (-)
Hasil laboratorium : Hb 15.3 g/dl, Leukosit 17..700 sel/mm3, Ht 44, DC 0/2/38/50/10 ,
Trombosit 968.000 sel/mm3
Masalah :
Spasme atau kaku
Risus sardonicus
Mulut mencucu
S Mulut mencucu, tangan kaku, leher kaku
O KU : Sensorium : komposmentis, Nadi 124x/menit( isi dan tegangan
cukup ). Laju napas 34x/menit Temperatur 37 ºC (aksilla)
KS
Kepala : Mulut mencucu (+). Rhisus sardonicus (+)
Lain lain : stqa
Thorak : Simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler kanan dan kiri normal, rhonki (-),wheezing(-)
Cor: Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Perut papan (+), bising usus (+) normal, hepar dan lien tak teraba
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT< 2 detik, spastik (-), kejang rangsang (+),
12
kejang spontan (-).
Status neurologis : stqa
S Spasme (+) > 5x/hari, mulut mencucu, tangan kaku, demam subfebris, bintik-bintik
merah di perut sekitar pusat
O KU : Sensorium : komposmentis, Nadi 122x/menit( isi dan tegangan
cukup ). Laju napas 42x/menit Temperatur 37.8 ºC (aksilla)
KS
Kepala : Mulut mencucu (+),. Rhisus sardonicus (+)
Lain lain : stqa
Thorak : Simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler kanan dan kiri normal, rhonki (-),wheezing(-)
Cor: Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Perut papan (+), bising usus (+) normal, hepar dan lien tak teraba
Ekstremitas : kejang rangsang (+), kejang spontan (-).
Status neurologis : stqa
Regio abdomen : eritem makula (+) calor (-), dolor (-)
Konsul divisi dermatovenereologi untuk dermatitis kontak iritan
Hasil konsul
Status dermatologikus
Regio thoracis posterior : macula hiperpigmentasi multiple milier, diskret pustule
13
multiple milier
Regio abdomen : macula eritem, multiple milier, diskret sebagian konfluens, skuama
pustule kering, sedang, selapis
Kesan : Transient neonatorum pustular melanosis
Saran : tidak ada tatalaksana khusus di bidang dermatovenereologi (resolusi spontan)
14
Hb 13.1 g/dL, leukosit 29.000/mm3, Ht 39%, Trombosit 339.000/mm3, LED 35, DC
0/4/60/20/16, CRP 65
15
S Demam (-), kejang (+), berkurang,
O KU : Sensorium : komposmentis, Nadi 142x/menit( isi dan tegangan
cukup ). Laju napas 38x/menit Temperatur 37.1 ºC (aksilla)
KS
Kepala : Mulut mencucu (-),. Rhisus sardonicus (-)
Lain lain : stqa
Thorak : Simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler kanan dan kiri normal, rhonki (-),wheezing(-)
Cor: Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : datar lemas, bising usus (+) normal, hepar dan lien tak teraba
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT< 2 detik, spastik (-), kejang rangsang (+),
kejang spontan (-).
16
kejang spontan (-).
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
TETANUS NEONATORUM
Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang tidak menular yang disebabkan oleh
neurotoksin khususnya, tetanospasmin yang diproduksi oleh basil gram positif
Clostridium tetani, bakteri pembentuk spora anaerob. Tetanus neonatorum adalah infeksi
pada bayi berusia < 28 hari yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang masuk
ke tubuh melalui luka sayatan pada tali pusat. Organisme tersebut mencemari tali pusat
atau tunggulnya setelah penggunaan instrumen atau bahan yang tidak steril selama dan
setelah proses persalinan.1,7
Penyakit ini merupakan suatu penyakit yang vaccine-preventable disease21
Immunisasi tetanus toxoid pada ibu merupakan pencegahan primer. Neonatus dapat
menerima kekebalan pasif dari ibu yang divaksinasi Tetanus tidak ditransmisikan dari
orang ke orang, melainkan melalui eksposur spora Clostridium tetani. Clostridium tetani
ditemukan di seluruh lingkungan (misalnya, di pasir, debu, cabang pohon, semak-semak,
air busuk, alat pertanian, kotoran hewan atau manusia), multiplikasinya didorong oleh zat
oxi-reduktif, dan bakteri dapat mencemari luka2,15
Epidemiologi
Tetanus neonatorum adalah penyakit infeksi yang menyerang bayi baru lahir
baik laki-laki maupun perempuan dan memiliki berbagai insiden di seluruh dunia dan
tingkat kematian yang tinggi. Penyakit ini lebih banyak terjadi di daerah dengan kondisi
kesehatan yang tidak menentu dan masalah sosial dan ekonomi yang serius, sehingga
mencegah penyebaran informasi yang benar dan akses ke layanan kesehatan yang
memadai.15
Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus adalah tetanus
neonatorum.6 Tetanus Neonatal bertanggung jawab terhadap 50% atau sekitar 500.000
neonatus setiap tahun dengan sekitar 80% kematian di 12 negara tropis Asia Afrika saja.
Hingga saat ini, tetanus Neonatal menyumbang 6,5% kematian pada masa bayi di India.7
18
Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan imunisasi dan atau pelayanan persalinan dan
pasca persalinan yang bersih.12
Kasus tetanus neonatorum berdasarkan provinsi menunjukkan pada tahun 2011
terdapat sebanyak 15 provinsi yang memiliki kasus tetanus neonatorum, Provinsi yang
memiliki kasus tetanus neonatorum terbanyak adalah Provinsi Banten sebanyak 38 kasus
tetanus neonatorum dan disusul oleh Provinsi Jawa Timur sebanyak 22 kasus tetanus
neonatorum, sedangkan Sumatra Selatan hanya terdapat 2 kasus tetanus neonatorum.8
Pada tahun 2005, kasus tetanus yang tercatat di RSCM adalah 11 kasus dengan
kematian 27.3%, pada tahun 2007 dengan 18 kasus dan kematian 0%. Di Rumah sakit
Harapan Kita pada tahun 2007 tercatat 5 kasus dengan 0 kematian. Di Rumah Sakit
Hasan Sadikin pada tahun 1999 hingga 2000 tercatat sekitar 156 kasus tetanus dengan
kematian sebesar 36,2%.10 Di Palembang terdapat 41 kasus tetanus neonatorum pada
tahun 2007 dan menurun sebanyak 3 kasus pada tahun 2008. Data Departemen Kesehatan
RI menunjukkan bahwa kejadian tetanus neonatorum pada tahun 2013 terdapat 7 kasus
tetanus neonatorum yang kemudian menurun pada tahun 2014 sebanyak 2 kasus di
Provinsi Sumatra Selatan.4
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh Colstridium tetani. Clostridium tetani merupakan kuman
gram positif, berbentuk batang, obligat anaerob, sangat motil dan dapat menghasilkan
spora pada kondisi anaerob. Spora ini dapat bertahan beberapa bulan sampai beberapa
tahun. Spora ini sangat stabil, tidak rusak dengan perebusan dan baru hancur dengan
sterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 120ºC selama minimal 15 menit. Kuman ini
sering ditemukan di tanah dan di dalam usus binatang piaraan, seperti kuda dan ayam.
Sekitar 50% kasus tetanus terjadi setelah perlukaan. Pada tetanus neonatorum, kuman
masuk melalui luka sayatan tali pusat akibat penggunaan alat-alat yang tidak steril.2
Patogenesis
Tetanus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh beredarnya tetanospasmin,
suatu exotoxin poten yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.10 Kuman Clostridium tetani
tidak dapat hidup di jaringan sehat sehingga harus masuk melalui port d’ entry berupa
luka. Pada kondisi anaerob, seperti pada luka yang dalam atau jaringan nekrotik, kuman
19
Clostridium tetani akan berubah menjadi bentuk vegetatif dan mengeluarkan dua jenis
toksin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanolisin memiliki kemampuan merusak
jaringan hidup di sekitarnya sehingga memudahkan kuman untuk bermultiplikasi,
sedangkan tetanospasmin yang disebut juga neurotoxin merupakan toksin yang menjadi
penyebab spasme. Tetanospamin ini dapat mencapai susunan saraf pusat.2
Toksin tetanus merupakan suatu zinc-dependent protease. Toksin ini menghambat
pelepasan neurotransmitter dengan membelah protein permukaan vesikel sinaps,
sehingga mencegah eksositosis normal neurotransmitter. Toksin tersebut mengganggu
fungsi arkus refleks melalui blokade transmitter inhibitorik, terutama GABA, pada
presinaps di medula spinalis dan batang otak. Toksin tersebut mempengaruhi sel
Renshaw, sumber inhibisi rekuren motor neuron medula spinalis dan batang otak.21,22
Toksin tetanus ditransmisikan secara retrograd melalui axon saraf perifer dari
tempat masuknya Clostridium Tetani yaitu luka yang terinfeksi, sehingga masuk ke
badan sel saraf motorik di massa abu-abu bagian ventral dari medula spinalis dan batang
otak. Toksin tetanus mengikat ke bagian membran presinap perikarion melalui jalur
sinap-sinap saraf, sehingga toksin tersebut mencegah pelepasan dari neurotransmitter
inhibitor glisin dan asam gamma-aminobutiric (GABA) dari ujung presinap. Blokade dari
neurotransmitter tersebut mengakibatkan spasme otot, eksitasi yang terduga dari alfa
motor neuron di medula spinalis dan batang otak. Toksin tetanus juga mengakibatkan
overaktif dari sistem saraf simpatis dengan menghambat sinap dipreganglion sel kolumna
intermediolateral dari medula spinalis bagian torakal.22
Jika kadar toksin berlebihan, sebagian toksin dalam luka akan memasuki aliran
darah dan berikatan dengan ujung ujung syaraf terminal di berbagai bagian tubuh.
Selanjutnya toksin mengalami internalisasi dan menuju badan sel secara intraaksonal atau
retrograde. Transpor toksin pertama kali mengenai saraf motorik, disusul syaraf sensorik
dan otonom. Setelah mencapai badan sel, toksin dapat berdifusi keluar sehingga dapat
mempengaruhi dan masuk ke sel sel neuron di sekitarnya. Jika sel sel neuron inhibitor
pada spinal terkena maka gejala gejala tetanus akan muncul. Transpor toksin secara
retrograde terjadi jika toksin mencapai batang otak atau midbrain.6,21
20
Ikatan toksin pada motor neuron bersifat irreversible. Perbaikan terjadi setelah
tumbuh ujung ujung syaraf terminal yang baru. Hal ini yang menentukan lama penyakit
tetanus.6
Manifestasi klinis
Tetanus neonatorum terjadi di tali pusat dan hasil dari kondisi non-aseptik dan
penanganan. Di daerah terpencil di Brasil, nama-nama populer penyakit ini dapat secara
kasar diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “tujuh hari jahat” atau “penyakit
pusar” Kelahiran di rumah masih umum di daerah-daerah ini, dan sejumlah zat sering
diaplikasikan pada tali pusat, termasuk debu, serbuk kopi dan jaring laba-laba, yang
semuanya diyakini untuk meningkatkan penyembuhan atau digunakan sebagai bagian
dariritualyangberakarkuat. Selain itu, kekurangan dalam program vaksinasi (termasuk
vaksinasi untuk wanita hamil) dan dalam perawatan pranatal berujung pada penyakit
pada bayi baru lahir.6,21,22
Masa inkubasi berkisar antara 3-14 hari, tapi bisa lebih pendek atau lebih panjang.
Prognosis dipengaruhi oleh masa inkubasi, semakin pendek masa inkubasi biasanya
semakin jelek prognosisnya. Diagnosis tetanus neonatorum biasanya dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan klinis. Manifestasi klinis meliputi gejala progresif adanya
kesulitan minum (menghisap dan menelan), peka rangsang dan bayi menangis terus
menerus. Gejala khas yang lain adalah adanya kekakuan dan spasme otot. Kekakuan otot
melibatkan otot masseter, otot-otot perut dan tulang belakang. Spasme otot bersifat
intermiten dengan interval waktu yang berbeda-beda tergantung dari tingkat keparahan
penyakit. Trismus disebabkan oleh adanya spasme pada otot massester dan terjadi pada
lebih dari separuh pasien tetanus neonatorum beberapa hari setelah lahir. Gejala ini akan
diikuti dengan kekakuan pada otot leher dan kesulitan dalam menelan. Bayi menjadi
rewel, gelisah dan sulit minum. Spasme pada otot fasial menyebabkan risus sardonicus. 6
Kontraksi tonik otot abdomen dan lumbal menghasilkan gejala opisthotonus dan
diikuti dengan fleksi dan adduksi tangan serta kepalan tangan seperti petinju. Spasme
pada awalnya terjadi beberapa detik dan memanjang seiring dengan semakin
memberatnya penyakit. Pasien sadar dan menangis karena nyeri akibat spasme otot.
Spasme otot sangat mudah dicetuskan oleh rangsangan taktil, visual maupun auditorial.
21
Adanya demam kemungkinan akibat aktivitas otot yang berlebihan. Spasme otot
laringeus dan respiratorius menyebabkan obstruksi, asfiksia dan sianosis.21.22
Perjalanan alamiah tetanus neonatorum adalah adanya peningkatan keparahan
penyakit pada 7 hari pertama diikuti kondisi yang tetap pada minggu kedua dan
berkurang secara bertahap pada 2 – 6 minggu berikutnya. Tetanus sering menyebabkan
kematian sekitar 60 – 90%. Komplikasi yang sering terjadi adalah bronkopneumonia,
pneumonia aspirasi dan atelektasis. Angka kematian dapat menurun dengan adanya
perawatan intensif dan ventilator.
Untuk menentukan tingkat keparahan tetanus neonatorun digunakan kriteria Tjandra.9,14
Klasifikasi :
Grade I : ringan bila total skor 2 – 5
Grade II : sedang bila total skor 6 – 7
Grade III : berat bila total skor 8 - 10
Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis. Diagnosis
ditegakkan dengan mudah di daerah dimana tetanus sering ditemukan, namun sering
terlambat di daerah dimana tetanus jarang ditemukan. Diagnosis ditegakkan dengan
22
adanya riwayat luka dan status imunisasi disertai minimal terdapat satu dari tanda tanda
klinis berikut:1,3,11
1. Trismus
2. Risus sardonikus
3. Spasme
Riwayat luka dan status imunisasi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis
tetanus karena riwayat luka ditemukan pada sebagian besar kasus dan terjadi pada mereka
yang belum pernah mendapatkan vaksin secara adekuat.
Pemeriksaan penunjang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis pada
kasus yang meragukan atau tidak ditemukan riwayat luka sebagai port de entry kuman.
Pemeriksaan kultur kuman Clostridium tetani pada lokasi luka tidak dapat digunakan
sebagai dasar diagnosis karena pemeriksaan ini perlu dilakukan dengan hati-hati mulai
dari pengambilan sampel, penyimpanan sampel, pemilihan media dan proses
pemeriksaan agar kuman anaerob dapat bertahan dan tumbuh. Dari hasil kultur kuman
pada lokasi luka, hanya sekitar 30% yang memiliki hasil positif.21
Tata laksana
Tatalaksana tetanus meliputi beberapa tujuan :
1. Neutralisasi toksin dan eradikasi sumber toksin
2. Tatalaksana simptomatik : mengatasi kekakuan, spasme dan disfungsi otonom
3. Tatalaksana suportif dan mencegah komplikasi.
Untuk menetralisasi toksin yang belum terikat, dapat dilakukan injeksi Human
tetanus immunoglobulin (HTIG) atau Equine tetanus antiserum (biasa disebut ATS)
sedini mungkin. HTIG adalah terapi pilihan yang diberikan secara inravena dalam 30
menit. HTIG mempunyai waktu paruh 24.5-31.5 hari. Dosis yang direkomendasikan
untuk neonatus adalah 500 IU. Jika HTIG tidak tersedia maka dapat diberikan ATS yang
berasal dari serum kuda. ATS memiliki waktu paruh hanya 2 hari. ATS lebih murah
dibandingkan HTIG, namun reaksi hipersensitivitas terkait pemberian ATS ini lebih
besar. Reaksi hipersensitivitas ini dapat berupa gejala yang ringan seperti kemerahan atau
urtikaria, gejala sedang seperti batuk kering, serak, mual/muntah atau bronkospasme, atau
gejala yang berat seperti rekasi anafilaksis. Reaksi lambat akibat pemberian ATS berupa
23
serum sickness seperti demam, urtikaria, atralgia, adenopati, atau keterlibatan ginjal dan
saraf.17,18 Untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis, skin test harus dilakukan terlebih
dahulu sebelum diberikan ATS. Skin test dilakukan dengan menyuntikkan antitoksin
yang telah diencerkan dengan garam fisiologis dengan perbandingan 1: 100 sebanyak
0,02 ml intrakutan. Pada saat yang bersamaan disiapkan adrenalin yang telah diencerkan.
ATS dapat diberikan selama 2 hari dengan dosis 500-1000 IU/kgbb per hari, maksimal
20.000 IU pada anak dan 10.000 IU pada neonatus, hari pertama diberikan secara
intravena dan hari kedua diberikan secara intramuskuler.6
Antibiotika diberikan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif.
Pemberian antibiotik sangat penting pada penderita dengan riwayat luka untuk
mengeliminasi sumber produksi toksin.9,13,15 Secara invitro, kuman Clostridium tetani
peka terhadap metronidazole, penisillin, cephalosporin, imipenem, makrolida dan
tetrasiklin. 19
Penisilin masih menjadi pilihan terapi di berbagai negara di dunia. Dosis yang
diberikan 50.000 U /kgBB/hari secara intravena atau intramuskular selama 7-10 hari.
Johnson dan Walker pertama kali melaporkan bahwa pemberian penisilin secara
intravena dapat membangkitkan kejang.13 Hal ini terjadi karena penisilin berperan
sebagai kompetitor antagonist GABA. Penisilin tidak dapat melewati sawar otak
sehingga akumulasi dalam darah dapat menyebabkan hipereksitabilitas sistem saraf pusat.
Efek samping penisilin ini bersinergi dengan efek toksin yang menghambat transmisi
neuromuskuler ujung-ujung saraf.20
Antibiotik lain yang sering digunakan pada kasus tetanus adalah
metronidazol.13,20 Metronidazol merupakan pilihan terapi yang aman dan saat ini
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada tetanus. Ahmadsyah dan Salim pertama
kali membandingkan efektivitas penisilin dan metronidazol pada kasus tetanus. Mereka
mendapatkan bahwa angka mortalitas pada tetanus lebih rendah pada kelompok yang
mendapatkan metronidazol.13 Penelitian lain menyatakan bahwa pemberian metronidazol
per oral memiliki angka survival rate yang lebih tinggi, lama rawat yang lebih rendah,
dan progresivitas penyakit yang lebih rendah dibandingkan pemberian penisillin.
Metronidazol diberikan dengan dosis awal 15 mg/kg dilanjutkan 30 mg/kg/hari dibagi 4
dosis. secara intravena selama 7- 10 hari.6
24
Antikonvulsan diberikan untuk mengatasi spasme otot dan mencegah spasme
yang dapat berakibat fatal seperti spasme laryng dan kontraksi otot otot pernapasan yang
dapat mengganggu ventilasi. Terapi antikonvulsan yang ideal adalah yang mampu
mengatasi spasme tanpa menyebabkan hipoventilasi maupun oversedasi. 13,20 Spasme
umumnya memberat dengan stimuli cahaya atau suara. Pasien hendaknya dirawat di
ruang khusus yang digelapkan atau diminimalisir perubahan cahaya yang tiba-tiba dan
minim suara. Diazepam merupakan agonis GABA yang poten yang bekerja dengan
menginhibisi secara endogen reseptor GABA. Diazepam diberikan untuk antispasme
dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg tiap 4 sampai 6 jam intra vena. Apabila spasme teratasi dosis
antikonvulsan diturunkan secara bertahap sesuai dengan perbaikan klinis dan dapat
diganti rumatan berupa diazepam oral maksimal 40 mg/hari. Apabila tidak teratasi, dapat
diberikan midazolam, diawali 0,1 mg/kg/jam, dinaikkan bertahap. dan pasien sebaiknya
dirawat di PICU/NICU, bila perlu dengan ventilator, sebagai alternatif dapat diberikan
vecuronium. Dapat juga ditambahkan chlorpromazine 5 mg/kg tiap 12 jam intramuskular
atau oral melalui tabung nasogastrik. Spasme dapat bertahan hingga berminggu-minggu
Terapi suportif yang dapat diberikan pada pasien berupa perawatan di ruang
intensif pada pasien yang memerlukan penanganan ketat, pada pasien dengan spasme
berat yang memerlukan antispasme yang lebih kuat maupun pasien dengan distress nafas
berat yang mengancam nyawa. Pada pasien tetanus juga sering terjadi ketidakmampuan
untuk menelan, perubahan otonom yang menginduksi perubahan fungsi gastrointestinal,
peningkatan kecepatan metabolik akibat pireksia dan aktivitas muskular. Diet yang
adekuat perlu diperhitungkan baik jumlah asupan maupun rute pemberian makanan.
Makanan dapat dipertimbangkan untuk masuk melalui nasogastric tube
Komplikasi
Komplikasi akibat tetanus dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Komplikasi yang paling
sering terjadi pada tetanus neonatorum dapat terjadi gangguan di saluran napas karena
aspirasi, terjadi henti napas dan juga bias menyebabkan terjadinya pneumonia.
25
obstruksi akibat penggunaan sedasi
Respiratori Apneu
Hipoksia
Ateletaksis, aspirasi, pneumonia
Gagal napas ( spasme laryng, spasme otot trunkal, dan sedasi)
ARDS
Komplikasi akibat penggunaan ventilator
Komplikasi akibat tracheostomy
Kardiovaskuler Takikardi,hipertensi, iskemia
Hipotensi dan bradikardi
Takiaritmia, bradiaritmia
Asystole
Gagal jantung
Renal Gagal ginjal tipe Oliguria atau poliuria
Stasis urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis gaster
Ileus
Diare
Hemoragik
Miscellaneous Penurunan berat badan
Tromboemboli
Sepsis dan multiple organ failure
Fraktur vertebra
Avulsi tendon
Sumber : Cook TM, Protheroe R.T, Handel J.M. Tetanus : A Review of the Literature. British
Journal of Anestesia. 2001; 87: 477-87
Prognosis
Prognosis penderita tetanus tergantung pada banyak faktor, diantaranya usia
penderita, derajat keparahan penyakit, masa inkubasi dan onset penyakit, komplikasi ,
tipe perawatan, dan kualitas perawatan yang diberikan diantaranya ketersediaan
perawatan intensif.1,14,18 Di negara-negara berkembang yang tidak memiliki perawatan
intensif yang memadai, angka kematian akibat tetanus dapat mencapai 50% dengan
penyebab tersering adalah obstruksi jalan napas,gagal napas, atau gagal ginjal. Angka
kematian akibat tetanus di negara maju berkisar 6%.17
Untuk menentukan prognosis dapat digunakan suatu sistem skoring yang diusulkan oleh Dakar yang dinilai pada hari ketiga setelah gejala
klinis pertama muncul. Prognosis akan lebih buruk jika total skor lebih tinggi.9,13,15
26
terbuka,luka bedah, injeksi intramuscular
4 Spasme paroksismal Ya Tidak
5 Suhu rectal >38,4ºC Kurang dari atau 38,4ºC
6 Laju nadi
Neonatus >150 kali/menit ≤150 kali/menit
Anak dan dewasa >120 kali/menit ≤ 120 kali/menit
Sumber : Farrar JJ, Yen LM, Cook T. Neurological Aspect of Tropical Diseases. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2000; 69: 292-301.
Pencegahan
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tetanus neonatorum dapat dicegah
dengan tindakan aseptik pada saat pertolongan persalinan dan pasca natal termasuk
pemotongan dan perawatan tali pusat yang hygienis. Imunisasi aktif wanita hamil dengan
2 dosis tetanus toksoid 0,5 ml dengan jarak penyuntikan 2 bulan dapat mencegah
terjadinya penyakit tetanus neonatorum. Imunisasi pasif pada kelompok neonatus
berisiko merupakan tindakan preventif yang paling sering dilakukan dalam praktek
pelayanan kesehatan anak. Pemberian 750 unit serum antitetanus terhadap bayi berisiko
tinggi dapat memberikan perlindungan.
27
demikian berkembang menjadi makula hiperpigmentasi sisa karakter residua. Semua area
tubuh dapat terpengaruh, termasuk telapak tangan, telapak kaki dan alat kelamin. Lesi
biasanya muncul saat lahir.24
TNPM lebih banyak terjadi pada NB Afrika-Amerika, terjadi pada sekitar 5% NB
hitam dan hanya 0,2% kulit putih.25Sebuah penelitian yang dilakukan di rumah sakit
bersalin di Porto Alegre menunjukkan prevalensi 3,4%26
TNPM mempengaruhi kedua jenis kelamin dengan frekuensi yang sama. 26
Pemeriksaan sitologi pustula menunjukkan neutrofil polimorfonuklear. Sejauh ini
mekanisme etiologi TNPM tidak jelas. Sangat mungkin bahwa TNPM sesuai dengan
varians ETN, karena ada kasus yang dijelaskan di mana NB yang sama menyajikan
temuan klinis dan histologis ETN dan TNPM, dan kasus lain di mana temuan klinis
adalah karakteristik dari TNPM, tetapi histologi menunjukkan temuan karakteristik ETN.
Selain itu, seringkali sulit untuk menetapkan perbedaan yang jelas antara dua penyakit,
yang telah meningkatkan ide bahwa faktor pemicu yang sama tidak diketahui akan
menyebabkan pengaturan awalnya berbeda ketika mempengaruhi kulit janin (TNPM)
atau NB (ETN). Karena kesulitan dalam membedakan batas histopatologi klinis dari
kedua penyakit, Ferrandiz et al mengusulkan istilah steril pustulosis neonatal sementara
untuk menyatukan ETN dan TNPM.25
HERNIA UMBILIKALIS
Hernia umbilikalis merupakan hernia congenital pada umbilicus yang hanya
ditutup peritoneum dan kulit, berupa penonjolan yang mengandung isi rongga perut yang
masuk melalui cincin umbilicus akibat peninggian tekanan intra abdomen, biasanya jika
bayi menangis. Angka kejadian hernia ini lebih tinggi pada bayi premature
Menurut Black,J dkk (2002).Medical Surgical Nursing, edisi 4. Pensylvania: W.B
Saunders, penyebab hernia adalah:
1. Kelemahan otot dinding abdomen.
a. Kelemahan jaringan
b. Adanya daerah yang luas di ligamen inguinal
c. Trauma
2. Peningkatan tekanan intra abdominal.
28
a. Obesitas
b. Mengangkat benda berat
c. Mengejan dan Konstipasi
d. Kehamilan
e. Batuk kronik
f. Hipertropi prostate
Manifestasi klinis :
a. Penonjolan di daerah umbilikalis
b. Nyeri pada benjolan/bila terjadi strangulasi.
c. Obstruksi usus yang ditandai dengan muntah, nyeri abdomen seperti kram dan
distensi abdomen.
d. Terdengar bising usus pada benjolan
e. Kembung
f. Perubahan pola eliminasi BAB
g. Gelisah
h. Dehidrasi
BAB IV
ANALISIS KASUS
29
Penderita bayi perempuan usia 19 hari datang dengan keluhan utama kejang dan
keluhan tambahan anak malas menyusu. Keluhan yang lain ditemukan adalah wajah
meringis, mulut mencucu, perut keras seperti papan. Gejala-gejala klinis tersebut
mengarah kepada diagnosis tetanus neonatorum.
Penderita datang dengan keluhan anak tampak mengejang, dimana keluhan
tersebut sering timbul apabila ada rangsangan. Anak yang mengejang atau kejang dapat
disebabkan oleh kejang demam atau proses infeksi intracranial. Pada pasien ini tidak
didapatkan adanya keluhan demam serta usia yang masih kurang dari satu bulan bukan
merupakan suatu kejang demam.
Pada anamnesis lebih lanjut pada orang tua pasien, didapatkan adanya keluhan
kejang atau kekakuan yang sering timbul bila dirangsang. Selain itu, juga terdapat wajah
meringis (rhisus sardonicus) yang disebabkan oleh spasme pada otot-otot wajah, mulut
mencucu karena spasme otot sekitar mulut serta perut seperti papan yang juga disebabkan
oleh spasme otot-otot dinding perut.
Setelah dilakukan anamnesis lebih mendalam, didapatkan riwayat kelahiran atau
proses persalinan ibu yang ditolong oleh dukun (bukan tenaga kesehatan) yang
menggunakan alat-alat untuk proses persalinan yang tidak steril, serta perawatan pasca
persalinan yang tidak hygienis yaitu dengan pemberian kunyit dan getah gambir setelah
tali pusat lepas. Pada proses persalinan menggunakan alat-alat yang tidak steril dapat
masuk kuman Clostridium tetani dan pemotongan tali pusat yang menggunakan alat tidak
steril bisa menjadi port d’entre kuman Clostridium tetani dengan masa inkubasi yang
lebih singkat. Pada perawatan tali pusat yang tidak hygienis juga dapat menjadi port d
entre kuman C. tetani namun masa inkubasi bias lebih lama.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan mulut mencucu, rhisus sardonicus, perut
seperti papan, pemeriksaan neurologis didaptkan adanya hipertoni, peningkatan reflex
fisiologis, dan ditemukan adanya reflex babinsky yang positif. Pada penentuan derajat
tetanus neonatorum dengan menggunakan kriteria candra, didapatkan skoringnya adalah
tiga yaitu dengan rincian usia yang lebih dari 10 hari, terdapat kejang rangsang dan
rhesus sardonicus/trismus.
30
Dari data-data diatas didapatkan adanya kekakuan dan mulut mencucu serta wajah
meringis (rhisus sardonicus), perut seperti papan yang merupakan manifestasi klinis
penyakit tetanus neonatorum. Untuk menegakkan diagnosis tetanus neonatorum
diperlukan adanya riwayat pemotongan tali pusat yang menggunakan alat tidak steril,
perawatan tali pusat yang tidak hygienis serta status imunisasi tetanus pada ibu penderita.
Pada penderita ini terdapat riwayat kelahiran yang ditolong oleh dukun sehingga
kemungkinan alat-alat yang digunakan tidak sesuai standar atau tidak steril dan adanya
riwayat perawatan tali pusat dengan pemberian ramuan rempah seperti kunyit, getah
gambir dan sarangan.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis dapat ditegakkan diagnosis tetanus
neonatorum pada penderita ini. Berdasarkan kriteria Tjandra penderita ini tergolong
dalam tetanus neonatorum grade I dengan skor 3 karena didapatkan usia > 10 hari,
kejang bila dirangsang dan terdapat wajah meringis atau risus sardonicus. Pada saat
perawatan kejang dan mulut mencucu berangsur berkurang dengan pemberian diazepam.
Penderita ini segera mendapatkan O2 nasal 1 liter/ menit, inj ATS 10.000 IU
selama 2 hari, inj Metronidazole 3 x 45 mg (iv), inj diazepam 12 x 2 mg (iv) dan dirawat
di ruang isolasi divisi neurologi anak.
Untuk menetralisasi kuman yang belum terikat, diberikan injeksi HTIG atau ATS
sedini mungkin. HTIG lebih direkomendasikan dibandingkan ATS karena kemungkinan
efek samping yang terjadi lebih kecil. Tidak banyak didapatkan studi yang membahas
perbandingan ATS dan HTIG, namun data yang dilaporkan telah memberi gambaran
bahwa angka kematian pada penggunaan HTIG sama atau lebih rendah dibandingkan
ATS. Pemberian HTIG juga memberikan risiko efek samping reaksi hipersensitif
sistemik dan reaksi lokal yang lebih kecil dibandingkan ATS. (Level of evidence 4).25
Untuk mengeradikasi kuman penghasil toksin, penderita ini mendapatkan injeksi
antibiotik yaitu metronidazole selama 10 hari. Metronidazole merupakan terapi pilihan
yang aman untuk tetanus.6,9,13,17,22 Metronidazol dapat diabsorbsi lambung maupun
mukosa rektum dan memiliki efek bakterisid terhadap kuman anaerob lainya yang berko-
infeksi dengan Clostridium tetani. Selain metronidazol dapat digunakan penicillin untuk
eradikasi kuman. ( Level of evidence 2B).9,17 Antibiotik lain yang dapat digunakan sebagai
alternatif seperti tetrasiklin, eritromisin, kloramfenikol dan gentamisin. (Level of evidence
31
2C).9 Pada penderita ini trismus yang terjadi berangsur berkurang setelah pemberian
antibiotik dan antikonvulsan. Tidak didapatkan efek samping pemberian metronidazole
dan ATS pada penderita ini.
Untuk mengatasi trismus dan kekakuan yang ada, diberikan diazepam pada
penderita ini. Diazepam diberikan untuk mengatasi trismus dan dapat diberikan dalam
bentuk bolus maupun drip intravena (Level of evidence 2D).24 Diazepam berfungsi untuk
mencegah hipertoni otot, mengurangi spasme,dan mengurangi nyeri. Diazepam memiliki
onset yang cepat jika diberikan secara bolus intravena dalam mengatasi spasme. Selain
diazepam, midazolam maupun baclofen dapat digunakan sebagai terapi alternatif Belum
ada penelitian yang membandingkan secara langsung efektivitas diazepam terhadap
midazolam atau baclofen pada penderita tetanus. (Level of evidence 2D).24
Prognosis penderita tetanus tergantung pada beberapa faktor, diantaranya usia
penderita, derajat keparahan penyakit, masa inkubasi dan onset penyakit, komplikasi, tipe
perawatan, dan kualitas perawatan yang diberikan. Usia yang terlalu muda memiliki
prognosis lebih buruk. Pada penderita ini terdapat masa inkubasi yang lebih panjang dan
usia lebih dari 10 hari sehingga derajat keparahan tetanus neonatorum pada penderita ini
tidak terlalu berat. Penderita dirawat di ruang isolasi divisi neurologi anak untuk
meminimalkan spasme rangsang yang mungkin terjadi. Selama perawatan tidak terdapat
distres pernapasan maupun apneu yang memerlukan bantuan ventilasi support.9
Edukasi merupakan hal yang penting pada kasus ini. Rendahnya tingkat
pendidikan, sosial ekonomi rendah, dan hambatan ke sarana kesehatan menyebabkan
cakupan imunisasi yang dilakukan sangat terbatas. Keterbatasan pengetahuan tentang
penggunaan alat – alat steril dalam proses persalinan dan setelah proses persalinan serta
perawatan tali pusat menjadi faktor penting terjadinya tetanus neonatorum pada penderita
ini. Pada pemotongan tali pusat yang menggunakan alat tidak steril dapat menjadi port
d’entre masuknya kuman Clostridium tetani.
32
Gambar 1 port d’ entre kuman dan dermatitis kontak iritan
33
DIAGRAM TUMBUH KEMBANG By W/Pr/19 hari
TETANUS NEONATORUM GRADE I + TRANSIENT NEONATORUM
PUSTULAR MELANOSIS + HERNIA UMBILIKALIS
Lingkungan
Mikro Mini Meso
Ibu, 35 tahun, IRT, Ayah: 32 tahun, tamat Bidan: ± 1000 M
tamat SD, mengasuh SD, petani Polindes Makro
anak sendiri, imunisasi Keluarga harmonis terdekat: ± 1 km BPJS
TT tidak ada Higiene dan sanitasi RS terdekat ± 10
kurang menit perjalanan
Social ekonomi kurang
dengan kendaran
bermotor
Asuh Kebutuhan
Asihdasar Asah
Kurang Cukup Cukup
TUMBUH KEMBANG
Neonatus sehat
34
35
36
37