Anda di halaman 1dari 45

BAB 1

PENDAHULUAN

Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah denganimunisasi.

Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkanoleh

pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapatterjadi

pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atautelah

diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena

tidakmelakukan booster secara berkala (Tolan, 2008).

Tetanus terjadi di seluruh dunia terutama di negara berkembang, dengan

insidensi yang bervariasi. Setiap tahun hampir 500.000 bayi meninggal akibat

tetanus pada bayi baru lahir (tetanus neonatorum), hampir 80% di antaranya

terjadi di negara tropis benua Asia dan Afrika. 1476 Diperkirakan antara 15.000 –

30.000 wanita meninggal pasca melahirkan, pasca abortus, atau pasca

pembedahan akibat penyakit ini. Kebanyakan kasus tetanus pada anak

berhubungan dengan luka pasca trauma, ulserasi kulit yang bersifat kronik, abses

gigi, luka bakar, otitis media supuratif kronis dan pasca pembedahan daerah

adomen yang terkontaminasi dengan bakteri anaerob Clostridium tetani. Pada

neonatus dihubungkan dengan pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak

steril dan ibu yang tidak mendapat imunisasi tetanus toksoid.

Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring

denganpeningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidakmemiliki

kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum programimunisasi

diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untukperlindungan jangka

1
lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwalimunisasi saat infrastruktur

pelayanan kesehatan rusak misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak

yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebihberisiko mengalami tetanus.

Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua

masih rentan, karena vaksinasi primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya

yang telah menurun seiring berjalannya waktu (Thwaites dan Farrar, 2003). Di Amerika

Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan. Tetanus neonatorum menyebabkan 50%

kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-

7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11- 23/100 kelahiran hidup di pedesaan.

Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun,

50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok

>10 tahun, dan sisanya pada bayi (Pusponegoro, Hadinegoro, Firmanda et al,

2003). Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar

penyebab kematian pada anak.

Meskipun insidens tetanus saat ini sudah menurun, namun kisaran

tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu, meskipun angka

kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum

dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan

secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut

mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka

kematian penderita tetanus, khususnya pada anak.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien

A. Identitas Pasien

Nama : An. SK

Tgl lahir : 1 Januari 2011

Usia : 7 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Ds. Simpang Peut, Kec. Simpang Keramat

Agama : Islam

No. Rekam Medik : 10.46.06

Tanggal Masuk RS : 18 September 2018

B. Identitas Orang Tua

Nama ayah : Tn. SM Nama Ibu : Ny. A

Usia : 40 tahun Usia : 39 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : PNS (Guru)

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

2.2 Anamnesis

A. Keluhan Utama

Kejang

B. Keluhan Tambahan

3
Demam, tidak bisa membuka mulut, perut tegang seperti papan, lemas dan

gigi berlubang serta busuk.

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSU Cut Meutia dibawa oleh keluarganya dengan

keluhan kejang yang dialami sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien

merupakan pasien rujukan dari RS Bungan Melati yang akhirnya dirujuk ke RSU

Cut Meutia dengan keluhan kejang tersebut. Pasien mengalami kejang sebanyak 5

kali sebelum masuk rumah sakit. Kejang berlangsung lama, ±30 menit dan pada

saat kejang pasien dalam keadaan sadar sadar serta menangis. Pasien juga

mengalami demam saat kejang yaitu sebelum masuk rumah sakit. Kejang yang

dialami pasien berbentuk kejang dengan kedua tangan menekuk dan kaki

memanjang. Demam yang dialami pasien muncul bersamaan saat kejang terjadi.

Pasien juga mengalami keluhan mulut kaku yaitu tidak bisa membuka

mulut sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit, dan semakin membrat saat sampai

rumah sakit. Ibu pasien juga mengatakan bahwa rahang dan leher pasien terasa

keras dan kaku. Pasien juga mengalami perut mengeras seperti papan sejak 1 jam

sebelum masuk rumah sakit. Ibu pasien juga mengatakan bahwa pasien tidak

dapat berbicara dan makan dikarenakan merasa lehernya kaku sehingga pasien

merasa lemas akibat tidak adanya makanan yang masuk sejak 1 hai ini.

Pasien juga mengalami hidung tersumbat dan batuk sebelum masuk rumah

sakit yang juga disertai gigi berlubang dan busuk. Setelah sampai diruangan anak

RSU Cut Meutia, pasien megeluarkan ludah yang berlebihan dan keringat yang

berlebihan. Gigi berlubang yang dialami pasien dikarenakan pasien sangat suka

4
makan permen dan juga cokelat. Giginya berlubang dan busuk sejak pasien masuk

SD dan dibiarkan oleh ibunya untuk membeli jajan sendiri.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat dirawat dengan penyakit yang sama (-).

Riwayat kejang saat kecil (-).

Pasien hanya pernah mengalami sakit demam biasa.

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit yang sama pada ayah, ibu dan abang (-)’

Riwayat penyakit lain seperti asma, diabetes, hipertensi pada keluarga juga

disangkal oleh ibu pasien.

F. Riwayat Pemakaian Obat

Pasien hanya mengkonsumsi vitamin penambah nafsu makan saja.

G. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Pasien merupakan anak keempat dilahirkan secara persalinan spontan

pervaginam, cukup bulan, di RSU Cut Meutia Aceh Utara. Saat lahir pasien dapat

menyusu dan mengisap kuat, dan tidak pernah mengalami pucat dan kebiruan

selama bayi dan anak-anak. Pasien lahir dengan berat badan lahir 3500 gr. Saat

kehamilan pasien ibu tidak pernah mengalami penyakit selama kehamilan dan

rutin memeriksakan kandungan ke praktik dokter kandungan. Pada saat hamil

pasien, ibu pasien juga sudah pernah melakukan suntik tetanus satu kali.

5
H. Riwayat Makanan

ASI diberikann dari lahir sampai usia 17 bulan. Selain ASI, pasien juga

diberikan susu formula sejak lahir dikarenakan ibunya pergi bekerja dan pasien

dititip ke tantenya. Usia 4 bulan, pasien sudah mulai diberikan MPASI, yaitu nasi

tim bubur bayi.

I. Riwayat Imunisasi

Pasien hanya diberikan imunisasi 1 kali yaitu disuntik dibagian tangan.

J. Riwayat Tumbuh kembang

Saat lahir pasien menangis kuat

Pasien mampu menegakkan kepala dan menelungkup usia 3 bulan

Pasien mampu duduk pada usia 6 bulan

Pasien mampu berjalan pada usia 9 bulan

Pasien dapat berbicara usia 14 bulan.

2.3 Pemeriksaan Fisik

A. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

B. Kesadaran : E4M6V5 (komposmentis)

C. Vital Sign

Frekuensi Nadi : 84 x / menit

Frekuensi Nafas : 18 x/ menit

Suhu : 37,8 ° C

6
D. Antropometri

 BB : 14 kg

 TB/PB : 110 cm

 Lika : 50 cm

E. Status Gizi

 BB/U : 14/23 x 100% = 60,8% (Gizi Kurang)

 BB/TB : 14/19 x 100% = 73,6% (Gizi kurang)

 TB/U : 110/122 x 100% = 90,1% (Tnggi baik)

F. Status Generalis

Kepala : normocefali, simetris, rambut hitam tidak mudah rontok

Mata : conjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,

reflek cahaya langsung (+/+), reflek cahaya tidak

langsung (+/+), edema palpebra (-) kornea jernih (+)

Hidung : deviasi septum (-), konka hipertrofi (-/-), pernapasan

cuping hidung (-/-), epistaksis (-), terdapat sedikit lendir

di hidung.

Mulut : bibir pucat (-), sianosis bibir (-), tonsil hiperemis (tidak

dapat dilihat), faring hiperemis (tidak dapat dilihat),

trismus(+), pasien dapat membuka mlut 1 cm, terlihat kaku,

hipersalivasi (+),

Telinga : simetris (+), secret (-), tragus sign (-), bloodyothorea (-)

Leher : bullneck (-), pembesaran kelenjar limfe (-), peningkatan

tekanan vena jugularis (-) , opistotonus (+).

7
Paru

Inspeksi : pergerakan dinding thoraks statis maupun dinamis simetris

(+/+), retraksi intercostal (-), retraksi suprasternal (-), massa

(-), sikatrik (-).

Palpasi : stem fremitus kanan=kiri, krepitasi (-), nyeri pada rongga

thoraks (-/-)

Perkusi : sonor (+/+)

Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis (tidak terlihat)

Palpasi : ictus cordis teraba di IC5 V 2 cm ke medial dari

midclavicularis sinistra

Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternal sinistra

Batas kiri : ICS V 2 jari medial dari linea midclavikularis

sinistra

Batas kanan : ICS IV linea parasternal dextra

Auskultasi : BJ1 (+), BJ2 (+), BJ regular, , murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : tidak terdapat benjolan / jejas, perut datar seperti papan.

Palpasi :

Hepar : tidak ada pembesaran

Lien : tidak teraba dan tidak terjadi pembesaran lien

8
Ren : tidak ada nyeri ketok costovetebral angel

Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen

Auskultasi : peristaltic dalam batas normal

Extremitas Superior

Akral : hangat (+/+), CRT <3 detik

Edema : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Ekstremitas Inferior

Akral : hangat (+/+), CRT <3 detik

Edema : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Anogenital : tidak dilakukan pemeriksaan

Status Neurologis

Kaku kuduk (+) Brudzinsky sign(-)

ABR : normal

KBR : normal

Refleks Patologis: tidak ada

2.4 Pemeriksaan Penunjang yang direncanakan

 Darah Rutin

 Golongan Darah

 KGDS

9
2.5 Hasil Pemeriksaan Penunjang yang dilaksanakan

A. Laboratorium

19-09-2018

HEMATOLOGI KLINIK/KIMIA DARAH

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hb 11,5g/dL 13-16

LED - <15

Eritrosit 4,09 juta/mm3 4,5-6,5

Leukosit 8,95 x 103 mm3 4-11

Hematokrit 32,9 % 37-47

MCV 80,4 fl 76-96

MCH 28,1 pg 27-32

MCHC 35,0 g% 30-35

RDW 12,5 % 11-15

Trombosit 331 x 103 mm3 150-450

Golongan Darah O

KIMIA KLINIK

Glukosa Stik 72 mg/dL 70-125

2.6 Diagnosis Banding

1. Meningitis

2. Ensefalitis

3. Abses gigi

2.7 Diagnosis Kerja

Tetanus

10
2.8 Tatalaksana

IVFD Asering 15 gtt/i makro

Inj. Viccilin 500mg/12 jam

Inj. Diazepam 1/2 amp/ 3-4 jam

TETOGAM 500 IU IM

Inj. Ranitidin1/2 amp /12 jam

IVFD Paracetamol 15 cc

2.9 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanacionam : dubia ad bonam

11
2.10 Follow Up Harian

Tanggal S O A P Terapi

19/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Darah rutin Inj viccilin 500
H+2 Lemas (+) Kompos Tubex mg/12j
Kejang (-) mentis KGDS Inj Ranitidin
Kaku leher (+) HR : 92 x/ I Dengue ICT 500mg/12j
Perut tegang RR : 18x/ i Gol. Darah Inj Diazepam ½
seperti papan (+) T : 37,0°C amp/6 j
Mual (-) Inj
Muntah (-) Opistotonus metronidazole
Nyeri perut (-) Spasme otot 150 mg/ 8j
BAB (-) Trismus
BAK (+) Risus –
Batuk (-) sardonikus
Pilek (-) Nuchal
Hipersalivasi (+) rigidity
Lidah luka
20/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Terapi
H+ 3 Lemas (+) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis +
Kaku leher (+) HR : 96 x/ I Diet MC
Perut tegang RR : 17 x/ i 100cc/4j
seperti papan (+) T : 36,7°C
Mual (-)
Muntah (-) Spasme otot
Nyeri perut (-) Trismus
BAB (-) Risus
BAK (+) -sardonikus
Batuk (-) Nuchal
Pilek (-) rigidity
Makan (-)

12
21/08/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Terapi
H+4 Lemas (+) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis +
Kaku leher (+) HR : 98 x/ I Diet MC
Perut tegang RR : 24 x/ i 200cc/ 4j
seperti papan (+) T : 36,9°C
Mual (-)
Muntah (-) Spasme otot
Nyeri perut (-) Trismus
BAB (-) Risus
BAK (+) -sardonikus
Batuk (-) Nuchal
Pilek (-) rigidity
Makan (-)
Terkejut-kejut (+)

22/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Terapi


H +5 Lemas (+) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis
Kaku leher (+) HR : 80 x/ I
Perut tegang RR : 20 x/ i
seperti papan (+) T : 37,0°C
Mual (-)
Muntah (-)
Nyeri perut (-) Spasme otot
BAB (-) Trismus
BAK (+) Risus
Batuk (-) -sardonikus
Pilek (-) (↓)
Makan (-) Nuchal
Terkejut-kejut (+) rigidity

23/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Terapi


H+6 Lemas (+) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis
Kaku leher (+) HR : 80 x/ I
Perut tegang RR : 24 x/ i
seperti papan (+) T : 36,7°C
Mual (-)
Muntah (-) Spasme otot
Nyeri perut (+) Trismus (2
BAB (-) jari)
BAK (+) Nuchal
Batuk (-) rigidity
Pilek (-)
Makan (-)
Terkejut-kejut (-)

13
24/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus
H+7 Lemas (+) Kompos Terapi
Kejang (-) mentis dilanjutkan
Kaku leher (+) HR : 80 x/ I
Perut tegang RR : 27 x/ i
seperti papan (+) T : 36,4°C
Mual (-)
Muntah (-) Spasme otot
Nyeri perut (+) Trismus (1,5
BAB (-) jari)
BAK (+) Nuchal
Batuk (+) rigidity
Pilek (-)
Makan (-)

25/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Terapi


H+8 Lemas (+) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis
Kaku leher (+) HR : 80 x/ I +
Perut tegang RR : 27 x/ i Lacto B 1x 1
seperti papan (+) T : 36,4°C sach
Mual (-) Becefort 1x 1
Muntah (-) Spasme otot hhhhhh
Nyeri perut (+) Trismus (1,5
BAB (-) jari)
BAK (+) Nuchal
Batuk (+) rigidity(↓)
Pilek (-)
Makan (-)

26/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Terapi


H+9 Lemas (+) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis
Kaku leher (+) HR : 90 x/ I +
Perut tegang RR : 24 x/ i Nystatin 3 x1
seperti papan (+) T : 36,7°C
Mual (-)
Muntah (-)
Nyeri perut (+) Spasme otot
BAB (+) keras Trismus (2
dan sedikit jari)
BAK (+) Nuchal
Batuk (+) rigidity(↓)
Pilek (-)
Makan (-)

14
27/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Fisioterapi Terapi
H+10 Lemas (+) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis
Kaku leher (+) HR : 92 x/ I + Fisioterapi
Perut tegang RR : 24 x/ i
seperti papan (+) T : 35,9°C
Mual (-)
Muntah (-) Opistotonus
Nyeri perut (+) Spasme otot
BAB (+) keras Trismus (2
dan sedikit jari)
BAK (+) Nuchal
Batuk (+) rigidity (↓)
Pilek (-)
Makan (sedikit)
28/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Terapi
H+11 Lemas (-) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis
Kaku leher (+) HR : 90 x/ I
Perut tegang RR : 22 x/ i
seperti papan (+) T : 36,1°C
Mual (-)
Muntah (-) Spasme otot
Nyeri perut (-) (↓)
BAB (+) udah Trismus
gak keras lagi (2,5jari)
BAK (+) Nuchal
Batuk (-) rigidity(↓)
Pilek (-) Udah bisa
Makan (sedikit) duduk
Udah bisa
berdiri
29/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Terapi
H+12 Lemas (-) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis
Kaku leher (+) HR : 92 x/ I
Perut tegang RR : 22 x/ i
seperti papan (+) T : 37,0°C
Mual (-)
Muntah (-) Spasme otot
Nyeri perut (-) (↓)
BAB (+) Trismus
BAK (+) (2,5jari)
Batuk (-) Nuchal
Pilek (-) rigidity (↓)
Makan (sedikit)
Terkejut-kejut (-)

15
30/09/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Terapi
H+13 Lemas (+) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis
Kaku leher (+) HR : 98 x/ I
Perut tegang RR : 24 x/ i
seperti papan (+) T : 36,5°C
Mual (-)
Muntah (-) Spasme otot
Nyeri perut (+) (↓)
BAB (+) Trismus
BAK (+) (2,5jari)
Batuk (-) Nuchal
Pilek (-) rigidity (↓)
Makan (sedikit)

01/10/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Terapi oral


H+14 Lemas (-) Kompos Azitromicin 3 x
Kejang (-) mentis ¼
Kaku leher (+) HR : 88 x/ I Diazepam 3 x
Perut tegang RR : 22 x/ i 5ml
seperti papan (+) T : 36,0°C Lacto B 1 x 1
Mual (-) Becofort 1 x 1
Muntah (-) Spasme otot
Nyeri perut (-) (↓)
BAB (-) Trismus
BAK (+) (2,5jari)
Batuk (-) Nuchal
Pilek (-) rigidity (↓)
Makan (sedikit)
Terkejut-kejut (-)
02/10/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Terapi
H+15 Lemas (+) Kompos dilanjutkan
Kejang (-) mentis
Kaku leher (+) HR : 80 x/ I
Perut tegang RR : 22 x/ i
seperti papan (+) T : 35,9°C
Mual (-)
Muntah (-) Spasme otot
Nyeri perut (-) (↓)
BAB (+) Trismus (3
BAK (+) jari)
Batuk (-) Nuchal
Pilek (-) rigidity (↓)
Makan (sedikit)
Terkejut-kejut (-)

16
03/10/ 2018 Demam (-) Kesadaran: Tetanus Terapi
H+16 Lemas (+) Kompos Dilanjutkan
Kejang (-) mentis
Kaku leher (+) HR : 90 x/ I
Perut tegang RR : 22 x/ i
seperti papan (+) T : 35,9°C
Mual (-)
Muntah (-)
Nyeri perut (-) Spasme otot
BAB (+) (↓)
BAK (+) Trismus (3
Batuk (-) jari)
Pilek (-) Nuchal
Makan (sedikit) rigidity (↓)
Terkejut-kejut (-)

17
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Tetanus adalah (rahang terkunci/lockjaw) penyakit akut, paralitikspastic

yang disebabkan oleh tetanospasmin, neurotoksin, yangdihasilkan oleh

Clostridium Tetani. Ditandai dengan kekakuan dan kejang otot rangka. Kekakuan

otot biasanya melibatkan rahang (lockjaw), leher dan kemudian seluruh tubuh

(CDC,2015).

3.2 Epidemiologi

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada

jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik

lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa.

Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi

dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki

lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari

manusia ke manusia (Sumarmo, Garna, Hadinegoro dan Satari, 2008).

3.3 Etiologi

Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki

dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah

basil, gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk

vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan

kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan

tetanus. Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada

18
salah satu ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora

banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah yang

mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora

dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia

dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan

kulit dan heroin yang terkontaminasi.

Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik.

Bentuk vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan

tetanospasmin. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan

potensiasi infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas.

Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau

toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan

C. tetani pada tempat infeksi (Simarmata, 2013).

Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang paling poten Pada

dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh

bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah

dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d’entree tak selalu

dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar

yang luas.

2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.

3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.

19
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan

kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan

penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan

terjadinya kasus tetanus neonatorum (Sumarmo, Garna, Hadinegoro dan Satari,

2008).

3.4 Patofisiologi

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke

dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi

anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkemang biak dengan

cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya

disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C.

tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.

Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini.

Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan

pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2)

medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis

(CDC,2015).

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat

motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang

belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat

pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik,

terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen

C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan

20
internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan

perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-

esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps

yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan

impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan

kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada

otot yang besar.

Dampak toksin antara lain :

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena

eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan

koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida

serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.

3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan

menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,

aritmia, heart block, atau takikardia (Sumarmo, Garna, Hadinegoro dan Satari,

2008).

3.5 Menifestasi Klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari

atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak

dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat

(SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa

inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi

21
kemungkinan terjadinya kematian (Sumarmo, Garna, Hadinegoro dan Satari,

2008).

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yaitu :

1. Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan

tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-

otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan

selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat

berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan

jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1%

2. Tetanus sefalik

Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden

sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-

otot nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul

setelah otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan

konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul

dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII

(paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat

paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general.

Tingkat mortalitas yang dilaporkan tinggi, yaitu 15-30%

3.Tetanus general

22
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari

tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut

akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan

leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-

4°C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita

tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile).

Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk

lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan

dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan

4. Tetanus neonatorum

Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali

pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses

pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun

obat-obatan yang terkontaminasi spora C. tetani. Kebiasaan menggunakan alat

pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor

utama dalam terjadinya tetanus neonatorum. Gambaran klinis tetanus neonatorum

serupa dengan tetanus general. Gejala awal ditandai dengan ketidakmampuan

untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan

menangis terus menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan

opistoonus

3.6 Penegakan Diagnosis

Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena

pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya

23
didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan

diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap.

Diperkirakan terdapat 4- 100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi

(imunokompeten) (Simanjuntak, 2013).

3.6.1. Anamnesis

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:

- Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan

nanah atau gigitan binatang?

-Apakah pernah keluar nanah dari telinga?

-Apakah pernah menderita gigi berlubang?

-Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang

terakhir? (Sumarmo, Garna, Hadinegoro dan Satari, 2008).

3.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :

- Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk

membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu

seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai

kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.

- Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak

dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.

-Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung,

otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat

menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

24
-Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.

-Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya

terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena

cahaya yang kuat..

-Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan

cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak

bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku

serta terdapat spasme intermiten.

- Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme

yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat

menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom

menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan

pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau

berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi

retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan

kompresi tulang belakang (Hotez P, Wilfert C, 2004).

- Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan

menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika

terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa

refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical

Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki

spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi

25
(94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif) (Apte dan Karnad,

2007).

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus (Tolan Jr

RW, 2008)

- Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.

Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak

mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.

Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain

mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.

Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat

diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.

- Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

- Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.

- Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai

imunisasi dan bukan tetanus.

- Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

- EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan

pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati

setelah potensial aksi.

- Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

3.7 Gambaran Laboratorium

26
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya leukopeni. Dalam

sputum, sekresi nasal, sedimen urine dapat ditemukan adanya multi nucleated

giant cell yang khas. Pada kasus-kasus atipik, dapat dilakukan pemeriksaan

serologi untuk memastikannya. Teknik pemeriksaan yang dapat digunakan adalah:

1. Fiksasi komplemen

2. Inhibisi hemaglutinasi

3. Metode antibodi fluoresensi tidak langsung (Pudjiadi AH, et al., 2011).

3.8 Diagnosa Banding

Diagnosis banding

Tabel 1. Diagnosis banding tetanus

Penyakit Gambaran Deferensial

27
Meningoensefalitis Demam, trismus ridak ada, penurunan
kesadaran, cairan serebrospinal abnormal.

Polio Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid,


cairan serebrospinalabnormal.
Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya
spasme orofaring.
Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh
Lesi orofaring tubuh tidak ada.
Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak
Peritonitis
ada.

KELAINAN METABOLIK
Tetani Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,
hipokalsemia.
Keracunanstriknin Relaksasi komplit diantara spasme.
Reaksi fenotiazin Distonia, menunjukkan respon dengan
difenhidramin.

PENYAKIT SISTEM SARAF PUSAT


Penurunan kesadaran.
Statusepileptikus
Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
Perdarahan atau tumor (SOL)

KELAINAN PSIKIATRIK
Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara
Histeria
spasme.
KELAINAN MUSKULOSKELETAL
Hanya lokal.
Trauma

28
3.9 Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari

toksin seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi

sekunder akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus

dekubitus, pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta

ruptur tendon akibat spasme otot.

Sistem Organ Komplikasi

Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.

Respirasi Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi

akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya

pneumonia), komplikasi trakeostomi.

Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,

asistol, gagal jantung.

Renal Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.

Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan

Muskuloskletal Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur

akibat spasme

Lain-lain Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom

disfungsi multiorgan

Tabel 2 : Komplikasi tetanus

29
3.10 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :

1. Penanganan spasme.

2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.

3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan

dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah

diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan

bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin

berikatan di jaringan. Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam

dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian masih

dipertanyakan.

4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman,

untuk memusnahkan tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas

tunggul umbilikus tidak diindikasikan.

5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.

6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena

biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme

berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus

yang berat, disfagia atau hidrofobia. Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari

tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga

kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau

port’d entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan

30
tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus

(HTAI, 2008).

Tatalaksana Umum

1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi Pada hari pertama perlu pemberian

cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari

ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi

secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk

makanan dan obatobatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan

terjadinya aspirasi.

2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.

3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).

4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme. Diazepam efektif mengatasi

spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam

yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4

jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia <2

tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3

jam. Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per

rektal untuk BB <10kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB ≥10 kg,

atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah

spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan

sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus

neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk

menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40

31
mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10

mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah

40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme

spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak

dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah

tercapai namun anak masih spasme atau mengalami spasme laring,

sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif

sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan

mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah

memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-

5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara bertahap (berkisar

antara 20% dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus,

fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika

pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.

5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka

diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT.

Tatalaksana Khusus

1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)

Tetanus Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan

50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan

reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai

dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila

fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara

32
intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya adalah 500

IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara

infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin

tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous

Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat

digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat

hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human

immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan

koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM.

Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif

(Cherry dan Harrison, 2004). Selain penatalaksanaan diatas, berikan

tambahan penatalaksanaan berikut :

- HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-

30%).

- Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.

- Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.

- Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus

iv.

- Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi

yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan

labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin. Obat-obatan seperti

klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat diberikan untuk

mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan

33
untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta

menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat

memicu spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien

dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur

terapeutik harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan

tetanospasmin dapat berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling

baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang

optimal. Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak

menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus harus

segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak

merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh

kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi

gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat (Pusponegoro,

Hadinegoro, Firmanda, et al, 2004). Selanjutnya pasien diberikan

imunisasi tetanus.

2. Antibiotika

Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB

dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama

7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C.

tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin

prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat

hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50

mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin

34
membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian

penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara

iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus

tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin

berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat

pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).

3.11 Pencegahan

Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan

mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:

1. Imunisasi aktif

Imunisasi dengan toksoid tetanus (TT) merupakan salah satu pencegahan

yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. TT pertama kali

diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi TT digunakan secara luas pada militer

selama perang dunia II. Terdapat dua jenis TT yang tersedia, adsorbed (aluminium

salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. TT tersedia dalam kemasan antigen

tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid

difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DaPT. Kombinasi toksoid difteri dan

tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang

memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari

golongan umur dan jenis kelamin. Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah

satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur

(WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan

kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui

35
yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT

minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut: dosis pertama diberikan segera

pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat

yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama.

Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada

kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu

tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan

kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang

diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang

riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT pada waktu anak-anak,

cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi

perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan (Simanjuntak, 2013).

3.12 Prognosis

Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi

angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan

kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis

tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan

status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi

semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak,

jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan

prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan

tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis

buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian

36
antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun

terjadi tetanus.

37
BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan seorang anak perempuan berusia 7 tahun dengan berat 14 kg

yang dirawat diruang anak RSUD Cut Meutia Aceh Utara dari tanggal 18

September sampai 3 oktober 2018 dengan diangnosa tetanus.

Diagnosis tetanus didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik serta

Pada kasus ini diganosa tetanus, ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:

- Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka

dengan nanah atau gigitan binatang?

- Apakah pernah keluar nanah dari telinga?

- Apakah pernah menderita gigi berlubang?

- Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang

terakhir? (Sumarmo, Garna, Hadinegoro dan Satari, 2008)

Dalam kasus ini pasien saat ini menderita gigi berlubang yang merupakan

port d entry kuman tetanus. Dan pasien tidak pernah mendapatkan imunisasi

DT atau TT.

38
2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :

- Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar

untuk membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan

mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara

klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap

hari.

- Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga

tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar

dan kebawah.

- Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot

punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat

berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

- Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.

- Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat

spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat

menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom

menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan

pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau

berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga

39
terjadi retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang

panjang dan kompresi tulang belakang. Pada kasus ini tidak ditemukan

gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi, dan peningkatan suhu badan pada

pasien.

- Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan

menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif,

jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil

negatif berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American

Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada

penelitian, uji spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil

positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi

menunjukkan hasil yang positif) (Nitin dan Pilip, 2007). Pada kasus ini

tidak dilakukann uji spatula terhadap pasien, hal ini dikarenakan pasien

mengalami trismus. Namun ibu pasien mengatakan bahwa saat terjadi

kejang demam seblum masuk rumah sakit pasien menggigit lidahnya

sampai luka.

3. Tatalaksana

Tujuan terapi pada tetanus adalah mengeliminasi sumber toksin,

menetralkan toksin yang tidak berikatan, mencegah kejang, merawat luka dan

membersihkan luka sebaik-baiknya, diet cukup kalori dan protein, mengatur

keseimbangan cairan dan elektrolit, memberi dukungan terutama pada saluran

nafas sampai penderita membaik. Kunci utama penanganan tetanus adalah

mengontrol kejang dan disfungsi saraf otonom dengan mempertahankan ventilasi

40
dan oksigenasi serta menghindari komplikasi seperti aspirasi paru (Matinus et al.,

2010).

- Antibiotika

Terapi antibiotika diberikan untuk eradikasi sel-sel vegetatif sebagai

sumber toksin meskipun efikasi masih dipertanyakan dalam penanganan tetanus.

Secara teori antibiotika dapat mencegah multiplikasi Clostridium tetani. Penelitian

terhadap 364 pasien tetanus melaporkan bahwa tidak ada perbedaan angka

fatalitas antara pasien yang diberi antibiotika dengan yang tidak diberi antibiotika.

Secara in vitro Clostridium tetani peka terhadap penisilin, sefalosporin, imipenem,

makrolide, metronidazole dan tetrasiklin. Penisilin G merupakan drug of choice.

Metronidazole mempunyai efikasi yang lebih besar dibanding penisilin. (Dire,

2005).

Terapi antibiotika yang diberikan pada pasien ini adalah antibiotik

golongan broad spectrum penisilin yaitu Viccilin 500mg/12 jam pada hari pertama

pasien di rumah sakit dan pada hari kedua terapi antibiotika ditambah dengan

metronidazole 150 mg/ 8j sampai hari ke 13 pasien di rumah sakit, selanjutnya

terapi antibiotika oral yaitu Azithromycin untuk juga mengkover spektrum bakteri

anaerob .

- Antitoksin

Antitoksin diberikan untuk menetralkan toksin yang beredar dan toksin

pada luka yang tidak berikatan. Antitoksin efektif menurunkan mortalitas tetanus.

Human Tetanus Immuns Globulin (TIG) merupakan preparat pilihan yang harus

41
diberikan segera dengan dosis 3.000 –6.000 U (Unit) intramuskuler, dosis optimal

tidak diketahui. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dosis 500 Unit sama

efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi. Pemberian antitoksin paling baik

sebelum manipulasi luka. Pemberian suntikan di proksimal luka atau infiltrasi

pada luka masih belum jelas manfaatnya. Dosis tambahan tidak diperlukan karena

waktu paruhnya panjang. Antibodi tidak dapat penetrasi ke dalam sawar darah

otak, sehingga pemberian antitoksin intrarekal masih dipertimbangkan.

Tetanus Immune Globulin (TIG) lebih dianjurkan pemakaiannya

dibandingkan dengan Anti Tetanus Serum (ATS). Bila TIG tidak ada dapat

diberikan imun globulin intravena. Equine tetanus antitokisn (TAT) atau ATS

dapat juga diberikan. Harga lebih murah tetapi waktu paruh pendek,

pemberiannya dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas dan serum sickness.

Dosis 1.500 – 3.000 U intramuskuler atau intravena dapat mencapai konsentrasi

pada serum 0,1 IU/mL yang merupakan konsentrasi protektif minimal (Sexton dan

Westerman, 2005).

Pada kasus ini pasien mendapatkan adalah injeksi ATS (anti tetanus

spasmin) yaitu tetagam dengan dosis 500 ui. Respon pasien baik dan tidak

didapatkan reaksi alergi atau efek samping akibat pemberian ATS.

- Anti Kejang

Beberapa obat dapat diberikan tunggal atau kombinasi untuk terapi kejang

otot pada tetanus, rasa nyeri dan gangguan ventilasi yang disebabkan oleh spasms

laring atau kontraksi otot-otot pernafasan. Obat yang ideal dapat menghilangkan

spasms tanpa menyebabkan oversedasi dan hipoventilasi. Diazepam, suatu

42
benzodiasepine dan agonis GABA telah banyak digunakan. Obat ini juga

memiliki efek sedatif. Dosis awal 10-30 mg intravena dapat juga diberikan sampai

dosis 120 mg/kg/BB/hari (Sexton dan Westerman, 2005). Fenobarbital juga dapat

digunakan dengan dosis dewasa 1 mg/kg (im) setiap 4-6 jam, tidak melebihi 400

mg/hari. Dosis fenobarbital yang relative rendah sehingga obat ini memeliki efek

samping depresi pernafasan yang lebih kecil daripada diazepam (Ismanoe, 2009).

Obat antikejang yang diberikan pada pasien ini adalah Inj. Diazepam 1/2

amp/ 3-4 jam dan diberikan obat lainnya sesuai dengan keluhan pasien selama di

rumah sakit, serta pasien menjalani fisioterapi dua kali selama di rumah sakit.

Hailnya terlihat pasien dapat kembali berjalan walaupun harus dibantu dengan

pegangan.

- Edukasi

Edukasi kepada orang tua dan anak agar asupan makanan tetap masuk

setelah keluar dari rumah sakit dan rawat gigi dengan baik yaitu dengan

menggosok gigi 3 kali sehari dan juga menghidari makanan atau jajanan yang

terlalu manis seperti permen dan cokelat.

- Terapi lainnya

Fisioterapi.

43
DAFTAR PUSTAKA

CDC. Tetanus Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable


Diseases(https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus diakses
2015
Cherry JD, Harrison RE. Tetanus in Textbook of Pediatric Infections Diseases, 5th
ed., Vol.2. Sauders. 2004;1766-76.

Dire, D.J., 2005. Tetanus. http://www.emedicine.com/ EMERG/topic 574.htm

Hotez P, Wilfert C. Tetanus (Lockjaw) and Neonatal Tetanus. Dalam:Gershon AA,


Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugman’s Infectious Diseases of Children. Edisi
ke11. USA: Mosby; 2004. h. 655-62

Ismanoe, G. 2009. Tetanus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Jakarta.

HTAI (2008) Penatalaksanaan Tetanus pada Anak.


Matinus, Leman, Alan and Tumbelaka (2010) ‘Penggunaan Anti Tetanus Serum
dan Human Tetanus Immunoglobulin pada Tetanus Anak’, pp. 283–288.
Simanjuntak, P. (2013) Pentalaksanaan Tetanus pada Pasien Anak.
Simarmata, A. (2013) Tetanus.
Nitin M. Apte dan Pilip R. karnad (1995-10)”Short report: The spatula test: A
simple Bedside Test to Diagnose Tetanus
(http:www.ajtmh.org/cgi/content/abstract/53/4/386). pp 386-7. Retrieved on 2007-
10-11.

Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP, et al. Tetanus.


Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edis i I 2004. hal 99-108.
Sexton, D.J., and Westerman, E.L., 2005. Tetanus. Up To Date Vol. 13.1.
www.uptodate.com
Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan
penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008.
Thwaites CL, Farrar JJ. Preventing and treating tetanus. The challenge continues
in the face of neglect and lack of research. BMJ 2003;326: 117-8.
Tolan Jr RW. Tetanus. Available in: www.emedicine.com Last updated Feb 1,
2008.

44
.

45

Anda mungkin juga menyukai