Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN KASUS

SIFILIS DENGAN RIWAYAT URETRITIS GONORE

Oleh

Muhammad Ammar Rusydi

H1A321060

Pembimbing:

dr. H. Yudha Permana, Sp.DV

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas laporan kasus
dengan judul “Sifilis dengan riwayat uretritis gonore” sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Adapun tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi
kewajiban serta tugas dalam proses kepaniteraan klinik di bagian SMF Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Barat, serta menjadi salah satu sarana penulis dalam proses pembelajaran dan
memperluas ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih terdapat banyak
kekurangan dan hal-hal yang harus diperbaiki, sehingga, kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan dan dibutuhkan oleh penulis sebagai proses pembelajaran agar
kedepannya bisa lebih baik. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
memberikan bantuan dan melimpahkan petunjuk-Nya kepada kita semua.

Mataram, 24 Mei 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Treponema pallidum. Sifilis mempunyai sifat perjalanan penyakit yang kronik, dapat
menyerang semua organ tubuh, menyerupai berbagai penyakit (great imitator disease),
memiliki masa laten yang asimtomatik, dapat kambuh kembali, dan dapat ditularkan dari ibu
ke janin yang menyebabkan sifilis kongenital.1 Sifilis tetap menjadi masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia. Insidens sifilis di dunia meningkat bervariasi menurut letak
geografik. Berdasarkan Global AIDS Response Progress Reporting (GARPR) terdapat 5,6 juta
kasus sifilis pada laki-laki dan perempuan usia 15-49 tahun.2 Setelah menurun pada tahun
2000, jumlah kasus sifilis di Amerika Serikat meningkat dan sekarang melebihi 55.000 kasus
baru setiap tahun. Terdapat 30.644 kasus sifilis primer dan sekunder pada tahun 2017,
meningkat 76% sejak tahun 2013. Kasus sifilis kongenital sebanyak 918 kasus, meningkat
154% dibandingkan tahun 2013.2 Penularan sifilis biasanya melalui kontak seksual dengan
pasangan terinfeksi, kontak langsung dengan lesi terinfeksi, transfusi, dan jarum suntik. Sifilis
juga meningkatkan risiko penularan dan transmisi virus human immunodeficiency virus
1,3
(HIV). Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, tetapi apabila tidak mendapat
1,3,4
pengobatan adekuat dapat menjadi infeksi sistemik dan berlanjut ke fase laten. Gejala
3
penyakit sifilis sangat berkurang sejak ditemukannya penisilin pada tahun 1940-an.
4
Pengobatan sifilis yang efisien sangat penting untuk mengontrol sifilis secara efektif.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. LI
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Kuli Bangunan
Alamat : Tegal Kateng, Kab. Lombok Tengah

2.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Keluar nanah dari kemaluan
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Praya, pasien mengeluhkan
keluar nanah dari kemaluannya sejak 2 bulan yang lalu, nanah yang keluar bewarna
kuning kental. Nanah yang keluar tidak disertai dengan darah. Pasien juga mengaku
merasakan nyeri saat BAK, dan merasa panas pada ujung kemaluannya serta pasien
memiliki luka pada kemaluannya kurang lebih 3 bulan yang lalu, lesi sembuh dengan
sendirinya. Pasien memiliki riwayat berhubungan sexual dengan pekerja seksual
komersial 3 bulan yang lalu. Saat melakukan hubungan seksual pasien mengaku tidak
menggunakan pengaman (kondom). Saat ini keluhan keluarnya nanah sudah berkurang
hingga tidak tampak lagi, karena sudah berobat di puskesmas dan sudah di suntikan
obat.
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengaku bahwa sebelumnya tidak pernah menderita keluhan serupa.
Pasien mengaku tidak memiliki alergi makanan dan obat-obatan.Ppasien tidak pernah
dirawat inap sebelumnya. Riwayat hipertensi dan diabetes militus disangkal oleh
pasien.
d. Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak terdapat keluhan serupa pada keluarga pasien. Ayah pasien menderita
hipertensi. Pada keluarga pasien tidak memiliki riwayat diabetes militus.
e. Riwayat Sosial:
Pekerjaan pasien sebagai kuli bangunan merantau ke Papua. Pasien mengaku
tidak merokok maupun tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien tidak merasakan adanya
pikiran terganggu/stres.

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum: tampak baik, kesadaran compos mentis
b. Tanda Vital
- Tekanan darah: 105/68 mmHg
- Nadi: 80x/menit
- Suhu: 36,5OC
- Pernapasan: 20x/menit
- BB: 70 kg
c. Status Dermatologis
1. Deskripsi lesi
Lokasi: orifisium uretra eksterna (oue)
Eflorensensi lesi: Tidak tampak discharge yang keluar, eritema minimal, lokalisata

Gambar 1. Tidak tampak adanya discharge yang keluar, lesi eritema minimal, lokalisata
2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Sifilis Reaktif Reaktif

HIV Non Reaktif Non Reaktif

2.5 Diagnosis Banding


1. Uretritis Gonore
2. Sifilis Primer
3. HIV

2.6 Diagnosis Kerja


Sifilis Primer dd Uretritis Gonore

2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan khusus yaitu dengan memberikasn farmakologi, berupa:
Sistemik
- Doksisiklin 2 x 100 mg/hari PO selama 30 hari
Injeksi
- Benzatin Penisilin G 2,4 juta IU intramuskular dosis tunggal

2.8 Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya, penyebab serta penatalaksanaannya.
- Edukasi terkait penggunaan kondom saat berhubungan seksual
- Istirahat yang cukup
- Menghindari pencetus
- Minum obat dan kontrol ke dokter secara teratur.

2.9 Prognosis
- Quo Ad Vitam : Bonam
- Quo Ad Functionam : Bonam
- Quo Ad Sanationam : Bonam
BAB III
PEMBAHASAN

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Treponema pallidum. Penularan sifilis biasanya melalui kontak seksual dengan pasangan
terinfeksi, kontak langsung dengan lesi terinfeksi, transfusi, dan jarum suntik. Sifilis juga
meningkatkan risiko penularan dan transmisi virus human immunodeficiency virus (HIV).1,3
Selain kontak genitalia, sifilis juga dapat menular dengan oral seksual atau dengan anal,
terutama pada male sex with male (MSM). Pada negara miskin dan berkembang, masih dapat
ditemukan risiko penularan sifilis melalui transfusi darah. Bentuk transmisi sifilis lain yang
lebih jarang ditemukan adalah melalui perlukaan dari instrumen medis yang terkontaminasi
atau saat membuat tato. Sifilis kongenital juga dapat terjadi ketika terjadi transversi spirochaeta
melalui plasenta dari ibu yang terinfeksi kepada fetus. Transmisi vertikal dari ibu ke anak juga
dapat terjadi melalui kontak langsung kulit ke kulit pada saat persalinan pervaginam.6,7 (11,12)
Pasien pada kasus ini merupakan seorang laki-laki berusia 25 tahun dengan keluhan
keluar nanah dari kemaluannya sejak 2 bulan yang lalu, nanah yang keluar tidak disertai dengan
darah. Pasien juga mengaku merasakan nyeri saat BAK, dan merasa panas pada ujung
kemaluannya serta pasien memiliki luka pada kemaluannya kurang lebih 3 bulan yang lalu, lesi
sembuh dengan sendirinya. Faktor resiko pada pasien adalah riwayat hubungan seksual tanpa
pengaman dengan pekerja seksual komersial (PSK) 3 bulan sebelum keluhan terjadi. Tidak ada
faktor risiko lain pada pasien. Saat ini keluhan keluarnya nanah sudah berkurang hingga tidak
tampak lagi, karena sudah berobat di puskesmas dan sudah di suntikan obat. Untuk eflorensi
lesi saat ini tidak tampak adanya discharge yang keluar dari kemaluannya, eritama minimal,
terlokalisasi hanya pada orifisium uretra eksterna (oue) saja.
Pada kasus sifilis, diagnosis biasanya ditegakkan tidak hanya dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik saja, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang juga. Pada penderita
biasanya ditemukan gambaran klinis seperti indurasi pada sekitar ulkus, dasar ulkus bersih dan
berwarna merah, soliter (biasanya hanya 1-2 ulkus), pada laki-laki ditemukan di preputium
ulkus koronarius, batang penis, atau skrotum, pada wanita di labia mayora dan minora, klitoris,
atau serviks serta bisa didapatkan ulkus ektstragenital bisa ditemukan pada anus, rektum, bibir,
mulut, lidah, tonsil, jari, payudara.5 Lesi primer biasanya tidak menimbulkan gejala yang
mengganggu hingga pasien jarang menyadarinya. Lesi primer ini mulai terbentuk dalam 3
minggu saat pertama kali terpapar dengan masa inkubasi selama 10-90 hari. Lesi primer ini
kemudian sembuh spontan dalam 4 hingga 6 minggu.8
Terdapat beberapa stadium klinis sifilis berdasarkan manifestasi klinis dan perjalanan
penyakitnya. Secara umum stadium klinis dapat dibedakan menjadi empat yakni sifilis primer,
sifilis sekunder, sifilis laten dan sifilis tersier. Sifilis primer ditandai dengan lesi ulkus yang
khas pada tempat terjadinya inokulasi. Selanjutnya terjadi perkembangan manifestasi klinis
menjadi sifilis sekunder yang ditandai dengan rumah kulit mukokutanoeus dan limfadenopati.
Pada kasus yang tidak ditangani dengan baik, maka pasien berkembang menjadi sifilis laten.
Pada stadium ini biasanya tidak ditemukan gejala pada pasien. Pasien biasanya terdiagnosis
sifilis melalui pemeriksaan serologis. Tahap akhir merupakan sifilis tersier yang ditandai
dengan adanya gumma atau neurosifilis. Lesi sifilis primer ditandai dengan lesi khas berupa
chancre. Chancre merupakan lesi ulserasi tidak nyeri dengan dasar datar, batas tegas dan tidak
nyeri. Lesi sifilis sekunder yang dapat ditemukan seperti corona veneris atau Crown of Venus,
Biette’s collorette, moth- eaten alopecia, dan mucous patch. Tidak gatal, berwarna pucat hingga
merah tembaga. Ruam ini awalnya muncul di telapak batang tubuh dan ekstremitas proksimal
hingga menyebar ke seluruh tubuh termasuk telapak tangan dan kaki, seperti lesi target. Selain
itu, dapat pula ditemukan bercak-bercak berwarna perak sampai abu-abu pada lesi erosi di
mukosa genital, anal dan/atau oral.5,11,12
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis sifilis dilakukan
dengan deteksi langsung dan tes serologis. Deteksi langsung dilakukan dengan DFM, direct
fluorescent antibody (DFA), polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan yang digunakan
sebagai dengan diagnosis pasti sifilis dilakukan dengan DFM (dark-field microscopy) atau
DFA, namun pemeriksaan ini tidak dilakukan dalam praktek klinis karena tidak tersedia secara
luas dan membutuhkan tenaga laboratorium terlatih.9 Terdapat dua jenis pemeriksaan serologis
yang banyak digunakan guna pemeriksaan sifilis. Pemeriksaan pertama adalah pemeriksaan
non treponemal seperti pemeriksaan Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan
Rapid Plasma Reagen (RPR) yang merupakan tes antibodi non spesifik. Metode pemeriksaan
kedua adalah pemeriksaan treponemal spesifik yang dapat digunakan untuk menegakkan
sifilis. Jenis pemeriksaan yang menggunakan teknik ini adalah tes TPHA (Treponema Pallidum
Haemagglutination Assay), TP Rapid (Treponema Pallidum Rapid), TP-PA (Treponema
Pallidum Particle Agglutination Assay), FTA- ABS (Fluorescent Treponemal Antibody
Absorption).1
Gambar 2. Pemeriksaan DFM atau lapangan gelap untuk melihat T. pallidum dengan
flagella motil11
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan deteksi lansung, hanya pemeriksaan
serologi sifilis yang dilakukan. Hasil dari pemeriksaan serologi sifilis pasien adalah reaktif
dimana hal ini menunjukan pasien dapat didiagnosis sifilis. Karena pada pasien ini tidak
tampak adanya vesikel, dan tidak tampak luka yang ditemukan, akan tetapi miliki riwayat
berhubungan seksual tanpa pengaman, berdasarkan Pedoman Nasional Penanganan Infeksi
Menular Seksual 2015 disarankan dilakukannya secreening HIV atau dilakukannya
pemeriksaan HIV.10 Untuk hasil pemeriksaan HIV pada pasien didapatkan hasil non-reaktif
dimana artinya pasien tidak mengidap penyakit HIV.
Panduan terapi sifilis pada pasien di Indonesia hanya dibedakan menjadi 2 yakni pasien
dengan sifilis primer-sekunder dan pasien sifilis laten. Pada pasien sifilis primer dan sekunder,
pasien ditatalaksana dengan benzatin benzilpenisilin G 2,4 juta unit dosis tunggal
intramuskular dengan alternatif doksisiklin 2 kali 100 mg PO selama 30 hari atau eritromisin
4 kali 500 mg PO selama 14 hari. Pasien dengan sifilis laten diberikan benzatin benzilpenisilin
2,4 juta unit intramuskular selama 3 minggu berturut-turut dan alternatif doksisiklin 2 kali 100
mg PO selama minimal 30 hari atau seftriakson 1000 mg intramuskular selama 10 hari atau
eritromisin 4 kali 500 mg PO selama minimal 30 hari.10 Pada kasus pasien mendapatkan terapi
benzatin penisilin G 2,4 juta unit dosis tunggal, diberikan secara intramuskular. Bagian paling
penting dalam penatalaksanaan sifilis pada remaja adalah konseling dan edukasi. The US
Preventive Services Task Force memberikan rekomendasi untuk melakukan terapi berbasis
perilaku pada pasien remaja dengan penyakit menular seksual untuk mencegah perilaku seksual
yang tidak aman.13
Daftar Pustaka

1. Majid N, Bollen L, Morineau G, Daily SF, Mustikawati DE, Agus N, et al. Syphilis
among female sex workers in Indonesia: need and opportunity for intervention. Sex
Transm Infect. 2010;86(5):377–83. Available from:
http://dx.doi.org/10.1136/sti.2009.041269
2. Prasad V, Schwerdtfeger U, El-Awa F, Bettcher D, da Costa e Silva V, et al. Closing
the door on illicit tobacco trade, opens the way to better tobacco control. East Mediterr
Heal J. 2015;21(6):379–80. Available from: http:// dx.doi.org/10.26719/2015.21.6.379
3. Sexually Transmitted Disease (STD) Prevention [Internet]. PsycEXTRA Dataset. Test
accounts; 2000. Available from: http://dx.doi.org/10.1037/ e313002005-001
4. Kojima N, Klausner JD. An Update on the Global Epidemiology of Syphilis. Curr
Epidemiol reports. 2018/02/19. 2018;5(1):24–38. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30116697
5. Murtiastutik, D. Ervianti, E. Agusni, I. . Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. 2nd edition.
2006. SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR; Surabaya
6. Goh BT. Syphilis in adults. Sex Transm Infect. 2005;81(6):448–52. Available from:
https:// pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16326843
7. Emerson CR. Syphilis: A Review of the Diagnosis and Treatment. Open Infect Dis J.
2009;3(1):143–7. Available from: http://dx.doi. org/10.2174/1874279301004010143
8. Arando M, Fernandez-Naval C, Mota-Foix M, Martinez D, Armengol P, Barberá MJ,
et al. Early syphilis: risk factors and clinical manifestations focusing on HIV-positive
patients. BMC Infect Dis. 2019;19(1):727. Available from: https://
pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31420018
9. Emerson CR. Syphilis: A Review of the Diagnosis and Treatment. Open Infect Dis J.
2009;3(1):143–7. Available from: http://dx.doi. org/10.2174/1874279301004010143
10. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi
Menular Seksual. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015.
11. Kang S, & Amagai M, & Bruckner A.L., & Enk A.H., & Margolis D.J., & McMichael
A.J., & Orringer J.S.(Eds.), (2019). Fitzpatrick's Dermatology, 9e. McGraw Hill.
12. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.
13. Marrazzo JM, Cates W. Interventions to prevent sexually transmitted infections,
including HIV infection. Clin Infect Dis. 2011;53 Suppl 3(Suppl 3):S64–78. Available
from: https:// pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22080271

Anda mungkin juga menyukai