Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

PELVIC INFLAMATORY DISEASE (PID)

Pembimbing:

Dr. Budi santoso SPOG

Disusun oleh:

M. Fikri Satria Kamal (1102014162)

KEPANITRAAN KLINIK DEPARTEMEN OBSTETRIK & GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
PERIODE 27 Januar – 7 April 2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji dan syukur penulis ucapkan kepada
Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “Pelvic inflamatory disease”. Pada penulisan dan penyusunan
referat ini penulis banyak mendapatkan bimbingan, dukungan, serta kerjasama
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. Budi Santoso Sp.OG selaku pembimbing kepantiraan Obstetri dan Ginekologi
2. seluruh teman teman kelompok kepanitraan.

Dalam penulisan referat ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun
dari segi isi materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun untuk perbaikan pada penulisan dan
penyusunan referat ini. Penulis berharap referat ini dapat membawa manfaat bagi
semua pihak. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Aamiin ya rabbal’alamin.

Jakarta, 9 maret 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pelvic Inflammatory Disease (PID) adalah istilah klinis umum untuk
infeksi traktus genital atas. Terdapat sekitar 1 juta kasus PID di Amerika Serikat
setiap tahunnya. Prevalensi ini meningkat pada negara berkembang dengan
masyarakat sosioekonomik rendah.
Lebih dari seperempat pasien PID membutuhkan rawatan di rumah sakit.
Resiko meningkat pada daerah dengan prevalensi penyakit menular seksual tinggi
akibat dari aktivitas seksual bebas dan berganti pasangan. Negara berkembang
seperti Indonesia memiliki segala resiko yang menyebabkan rentannya terjadi PID
pada wanita Indonesia.
Untuk itu, diperlukan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat untuk
mengurangi prevalensi PID. Karenanya, dibutuhkan pengetahuan tentang PID
agar dapat dicegah, didiagnosa dini, dan ditatalaksana dengan cepat dan segera.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membahas lebih
lanjut dan menambah wawasan pembaca mengenai PID dalam populasi secara
umum, deteksi dini, manifestasi klinis dan cara penatalaksanaannya secara tepat.
Dan untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik departemen obstetri dan
ginekologi.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 PELVIC INFLAMMATORY DISEASE


2.1.1 Definisi
Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi
pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur
penunjang pelvis. PID merupakan sebuah spektrum infeksi pada traktus genitalia
wanita yang termasuk di dalamnya endometritis, salpingitis, tuba-ovarian abses,
dan peritonitis.
PID biasanya disebabkan oleh kolonisasi mikroorganisme di endoserviks
yang bergerak ke atas menuju endometrium dan tuba fallopi. Inflamasi dapat
timbul kapan saja dan pada titik manapun di traktus genitalia.

2.1.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko


Epidemiologi
PID adalah masalah kesehatan yang cukup sering. Sekitar 1 juta kasus PID
terjadi di Amerika Serikat dalam setahun dan total biaya yang dikeluarkan
melebihi 7 juta dollar per tahun. Lebih dari seperempat kasus PID membutuhkan
rawatan inap. PID menyebabkan 0,29 kematian per 1000 wanita usia 15-44 tahun.
Diperkirakan 100000 wanita menjadi infertil diakibatkan oleh PID.
Di Ameria Serikat usia dengan prevalensi PID tertinggi adalah usia 20-24
tahun. Diikuti dengan usia 15-19 tahun yang menurun pada tahun 2013 menjadi
dibawah dari prevalensi pasien dengan usia 25-29 tahun. seperti yang dapat kita
lihat pada gambar dibawah.
Gabmbar 1. Prevalensi PID di Amerika Serikat pada tahun 2006-2013 (Kreisel K,
2018)

WHO mengalami kesulitan dalam menentukan prevalensi PID akibat dari


beberapa hal termasuk kurangnya pengenalan penyakit oleh pasien, kesulitan
akses untuk merawat pasien, metode subjektif yang digunakan untuk
mendiagnosa, dan kurangnya fasilitas diagnosti pada banyak negara berkembang,
dan sistem kesehatan masyarakat yang sangat luas.

Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya PID, namun yang utama adalah
aktivitas seksual. PID yang timbul setelah periode menstruasi pada wanita dengan
aktivitas seksual berjumlah sekitar 85%, sedangkan 15% disebabkan karena luka
pada mukosa misalnya akbiat AKDR atau kuretase.
Resiko juga meningkat berkaitan dengan jumlah pasangan seksual. Wanita
dengan lebih dari 10 pasangan seksual cenderung memiliki peningkatan resiko
sebesar 3 kali lipat.
Usia muda juga merupakan salah satu faktor resiko yang disebabkan oleh
kurangnya kestabilan hubungan seksual dan mungkin oleh kurangnya imunitas.
Factor resiko lainnya yaitu pemasangan kontrasepsi, etnik, status
postmarital dimana resiko meningkat 3 kali dibanding yang tidak menikah, infeksi
bakterial vaginosis, dan merokok. Peningkatan resiko PID ditemukan pada etnik
berkulit putih dan pada golongan sosioekonomik rendah. PID sering muncul pada
usia 15-19 tahun dan pada wanita yang pertama kali berhubungan seksual.
Pasien yang digolongkan memiliki resiko tinggi untuk PID adalah wanita
berusia dibawah 25 tahun, menstruasi, memiliki pasangan seksual yang multipel,
tidak menggunakan kontrasepsi, dan tinggal di daerah yang tinggi prevalensi
penyakit menular seksual. PID juga sering timbul pada wanita yang pertama kali
berhubungan seksual. Pemakaian AKDR meningkatkan resiko PID 2-3 kali lipat
pada 4 bulan pertama setelah pemakaian, namun kemudian resiko kembali
menurun. Wanita yang tidak berhubungan seksual secara aktif dan telah menjalani
sterilisasi tuba, memiliki resiko yang sangat rendah untuk PID.

2.1.3 Etiologi
PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit
menular seksual seperti N. Gonorrhea dan C. Trachomatis. Mikroorganisme
endogen yang ditemukan di vagina juga sering ditemukan pada traktus genitalia
wanita dengan PID. Mikroorganisme tersebut termasuk bakteri anaerob seperti
prevotella dan peptostreptokokus seperti G. vaginalis. Bakteri tersebut bersama
dengan flora vagina menyebar secara asenden dan secara enzimatis merusak
barier mukosa serviks.
N. gonorrhea dan C. Trachomatis telah diduga menjadi agen etiologi
utama PID, baik secara tunggal maupun kombinasi. C. trachomatis adalah bakteri
intraseluler patogen. Secara klinis, infeksi akibat parasit intraseluler obligat ini
bermanifestasi dengan servisitis mukopurulen.
Bakteri fakultatif anaerob dan flora endogen vagina dan perineum juga
diduga menjadi agen etiologi potensial untuk PID. Yang termasuk diantaranya
adalah Gardnerella vaginalis, Streptokokus agalactiae, Peptostreptokokus,
Bakteroides, dan mycoplasma genital, serta ureaplasma genital. Patogen
nongenital lain yang dapat menyebabkan PID yaitu haemophilus influenza dan
Haemophilus parainfluenza.
Actinomices diduga menyebabkan PID yang dipicu oleh penggunaan
AKDR. Pada negara yang kurang berkembang, PID mungkin disebabkan juga
oleh salpingitis granulomatosa yang disebabkan Mycobakterium tuberkulosis dan
Schistosoma.

2.1.4 Patofisiologi
PID disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke
traktus genital atas dari vagina dan serviks. Mekanisme pasti yang bertanggung
jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis
dan pembukaan serviks selama menstruasi mungkin berpengaruh.
Banyak kasus PID timbul dengan 2 tahap. Tahap pertama melibatkan
akuisisi dari vagina atau infeksi servikal. Penyakit menular seksual yang
menyebabkannya mungkin asimptomatik. Tahap kedua timbul oleh penyebaran
asenden langsung mikroorganisme dari vagina dan serviks. Mukosa serviks
menyediakan barier fungsional melawan penyebaran ke atas, namun efek dari
barier ini mungkin berkurang akibat pengaruh perubahan hormonal yang timbul
selama ovulasi dan mestruasi. Gangguan suasana servikovaginal dapat timbul
akibat terapi antibiotik dan penyakit menular seksual yang dapat mengganggu
keseimbangan flora endogen, menyebabkan organisme nonpatogen bertumbuh
secara berlebihan dan bergerak ke atas. Pembukaan serviks selama menstruasi
dangan aliran menstrual yang retrograd dapat memfasilitasi pergerakan asenden
dari mikrooragnisme. Hubungan seksual juga dapat menyebabkan infeksi asenden
akibat dari kontraksi uterus mekanis yang ritmik. Bakteri dapat terbawa bersama
sperma menuju uterus dan tuba.
Faktor resiko meningkat pada wanita dengan pasangan seksual multipel,
punya riwayat penyakit menular seksual sebelumnya, pernah PID, riwayat
pelecehan seksual, berhubungan seksual usia muda, dan mengalami tindakan
pembedahan. Usia muda mengalami peningkatan resiko akibat dari peningkatan
permeabilitas mucosal serviks, zona servical ektopi yang lebih besar, proteksi
antibody chlamidya yang masih rendah, dan peningkatan perilaku beresiko.
Prosedur pembedahan dapat menghancurkan barier servikal, sehingga menjadi
predisposisi terjadi infeksi.
Figure 16.1 Micro-organisms originating in the endocervix ascend into the
endometrium, fallopian tubes, and peritoneum, causing pelvic inflammatory
disease (endometritis,salpingitis,peritonitis).

AKDR telah diduga merupakan predisposisi terjadinya PID dengan


memfasilitasi transmisi mikroorganisme ke traktus genitalia atas. Kontrasepsi oral
justru mengurangi resiko PID yang simptomatik, mungkin dengan meningkatkan
viskositas mukosa oral, menurunkan aliran menstrual antegrade dan retrograde,
dan memodifikasi respon imun local.
Pada traktus bagian atas, jumlah mikroba dan factor host memiliki peranan
terhadap derajat inflamasi dan parut yang dihasilkan. Infeksi uterus biasanya
terbatas pada endometrium, namun dapat lebih invasive pada uterus yang gravid
atau postpartum. Infeksi tuba awalnya melibatkan mukosa, tapi inflamasi
transmural yang dimediasi komplemen yang bersifat akut dapat timbul cepat dan
intensitas terjadinya infeksi lanjutan pun meningkat. Inflamasi dapat meluas ke
struktur parametrial, termasuk usus. Infeksi dapat pula meluas oleh tumpahnya
materi purulen dari tuba fallopi atau via penyebaran limfatik dalam pelvis
menyebabkan peritonitis akut atau perihepatitis akut.

2.1.5 Diagnosis
PID akut sulit untuk didiagnosis karena variasi gejala dan tanda yang luas
terkait dengan kondisi ini. Banyak wanita dengan PID memiliki gejala yang
ringan atau tidak spesifik atau tidak menunjukkan gejala. Keterlambatan dalam
diagnosis dan pengobatan mungkin berkontribusi terhadap kelanjutan inflamasi
pada saluran reproduksi bagian atas. Laparoskopi dapat digunakan untuk
mendapatkan diagnosis salpingitis yang lebih akurat dan diagnosis bakteriologis
yang lebih lengkap. Namun, alat diagnostik ini sering tidak tersedia, dan
penggunaannya jarang digunakan ketika gejalanya ringan atau tidak jelas. Selain
itu, laparoskopi tidak akan mendeteksi endometritis dan mungkin tidak
mendeteksi peradangan halus pada saluran tuba. Akibatnya, diagnosis PID
biasanya didasarkan pada temuan klinis.

Data menunjukkan bahwa diagnosis klinis PID simptomatik memiliki PPV


untuk salpingitis 65% -90% dibandingkan dengan laparoskopi. PPV dari diagnosis
klinis PID akut tergantung pada karakteristik epidemiologis populasi, dengan PPV
lebih tinggi di antara wanita muda yang aktif secara seksual (terutama remaja),
wanita yang merupakan pasien klinik STD, dan mereka yang tinggal di komunitas
dengan tingkat tinggi gonore atau klamidia. Terlepas dari PPV, tidak ada satu pun
temuan historis, fisik, atau laboratorium yang sensitif dan spesifik untuk diagnosis
PID akut. Kombinasi temuan diagnostik dapat meningkatkan sensitivitas (mis.,
Mendeteksi lebih banyak wanita yang memiliki PID) atau spesifisitas (mis.,
Mengecualikan lebih banyak wanita yang tidak memiliki PID). Misalnya,
memerlukan dua atau lebih temuan untuk menyingkirkan lebih banyak wanita
yang tidak memiliki PID dan mengurangi jumlah wanita dengan PID yang
diidentifikasi.

Banyak episode PID tidak dikenali. Meskipun beberapa kasus tidak


menunjukkan gejala, namun banyak kasus lain tidak didiagnosis karena pasien
atau penyedia layanan kesehatan gagal mengenali implikasi dari gejala atau tanda
yang ringan atau tidak spesifik (misalnya, perdarahan abnormal, dispareunia, dan
keputihan). Bahkan wanita dengan PID ringan atau tanpa gejala mungkin berisiko
infertilitas. Karena sulitnya diagnosis dan potensi kerusakan pada kesehatan
reproduksi wanita, penyedia layanan kesehatan harus mempertahankan ambang
batas rendah untuk diagnosis PID. Rekomendasi berikut dapat digunakan untuk
mendiagnosis PID dimaksudkan untuk membantu penyedia layanan kesehatan
mengenali kapan PID harus dicurigai dan kapan informasi tambahan harus
diperoleh untuk meningkatkan kepastian diagnostik. Diagnosis dan
penatalaksanaan penyebab umum lain nyeri perut bagian bawah (mis., Kehamilan
ektopik, radang usus akut, kista ovarium, dan nyeri fungsional) tidak mungkin
terganggu dengan memulai terapi antimikroba untuk PID. Karena itu pengobatan
untuk PID harus dimulai pada wanita muda yang aktif secara seksual dan wanita
lain yang berisiko untuk IMS jika mereka mengalami nyeri panggul atau perut
bagian bawah, jika tidak ada penyebab penyakit selain PID dapat diidentifikasi,
dan jika satu atau lebih dari gejala berikut ini yang merupakan kriteria klinis
minimum hadir pada pemeriksaan panggul:
 nyeri gerak cervix
 nyerti tekan adneksa
 nyeri tekan uterus

Persyaratan bahwa ketiga kriteria minimum harus ada sebelum memulai


pengobatan empiris dapat mengakibatkan kurangnya sensitivitas untuk diagnosis
PID. Setelah memutuskan apakah akan memulai pengobatan empiris, dokter juga
harus mempertimbangkan profil risiko untuk IMS.

Evaluasi diagnostik yang lebih rumit sering diperlukan karena diagnosis


dan manajemen PID yang salah dapat menyebabkan morbiditas yang tidak perlu.
Misalnya, adanya tanda-tanda peradangan saluran genital bawah (dominasi
leukosit dalam sekresi vagina, eksudat serviks, atau kerapuhan serviks), di
samping salah satu dari tiga kriteria minimum, meningkatkan spesifisitas
diagnosis. Satu atau lebih kriteria tambahan berikut dapat digunakan untuk
meningkatkan spesifisitas kriteria klinis minimum dan mendukung diagnosis PID:
 suhu oral> 101 ° F (> 38.3 ° C)
 vaginal discharge mukopurulen, serviks yang abnormal atau kerapuhan
serviks
 WBC yang banyak pada mikroskop saline cairan vagina
 peningkatan laju endap darah
 protein C-reaktif tinggi
 dokumentasi laboratorium infeksi serviks dengan N. gonorrhoeae atau C.
trachomatis

Prosedur Lain
Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID.
Mengevaluasi cairan di dalam abdomen dilakukan untuk menginterpretasi
kerusakan. Pus menunjukkan adanya abses tubaovarian, rupture apendiks, atau
abses uterin. Darah ditemukan pada ruptur kehamilan ektopik, kista korpus
luteum, mestruasi retrograde, dll.
Criteria minimum pada laparoskopi untuk mendiagnosa PID adalah edema
dinding tuba, hyperemia permukaan tuba, dan adanya eksudat pada permukaan
tuba dan fimbriae. Massa pelvis akibat abses tubaovarian atau kehamilan ektopik
dapat terlihat. Endometrial biopsi dapat dilakukan untuk mendiagnosa
endometritis secara histopatologis.

2.1.7 Diagnosa Differensial


Beberapa diagnosa banding untuk PID adalah :
 tumor adnexa
 appendicitis
 servisitis
 kista ovarium
 torsio ovarium
 aborsi spontan
 infeksi saluran kemih
 kehamilan ektopik
 endometriosis

2.1.8 Pencegahan
Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pencegahan dapat dilakukan dengan mecegah terjadi infeksi yang
disebabkan oleh kuman penyebab penyakit menular seksual, terutama
chlamidya. Peningkatan edukasi masyarakat, penapisan rutin, diagnosis
dini, serta penanganan yang tepat terhadap infeksi chlamidya berpengaruh
besar dalam menurunkan angka PID. Edukasi hendaknya focus pada
metode pencegahan penyakit menular seksual, termasuk setia terhadap
satub pasangan, menghindari aktivitas seksual yang tidak aman, dan
menggunakan pengaman secara rutin.
2. Adanya program penapisan penyakit menular seksual dapat mencegah
terjadinya PID pada wanita. Mengadakan penapisan terhadap pria perlu
dilakukan untuk mencegah penularan kepada wanita.
3. Pasien yang telah didiagnosa dengan PID atau penyakit menular seksual
harus diterapi hingga tuntas, dan terapi juga dilakukan terhadap
pasangannya untuk mencegah penularan kembali.
4. Wanita usia remaja harus menghindari aktivitas seksual hingga usia 16
tahun atau lebih.
5. Kontrasepsi oral dikatakan dapat mengurangi resiko PID.
6. Semua wanita berusia 25 tahun ke atas harus dilakukan penapisan terhadap
chlamidya tanpa memandang faktor resiko.

2.1.9 Penatalaksanaan
Rejimen pengobatan PID harus mencakup spektrum yang luas dari
kemungkinan etiologi. Beberapa regimen antimikroba parenteral dan oral telah
terbukti efektif dalam mencapai kesembuhan dan mikrobiologis dalam uji klinis
acak dengan tindak lanjut jangka pendek. Namun, hanya sejumlah investigasi
terbatas yang menilai dan membandingkan rejimen-rejimen ini sehubungan
dengan eliminasi infeksi di endometrium dan tuba falopi atau menentukan
insidensi komplikasi jangka panjang (misalnya, infertilitas tuba dan kehamilan
ektopik) setelah rejimen antimikroba. Rejimen pengobatan yang optimal dan hasil
jangka panjang dari pengobatan dini wanita dengan PID subklinis tidak diketahui.
Semua rejimen yang digunakan untuk mengobati PID juga harus efektif terhadap
N. gonorrhoeae dan C. trachomatis karena skrining endoserviks negatif untuk
organisme ini tidak menyingkirkan infeksi saluran reproduksi atas. Kebutuhan
untuk memberantas kuman anaerob dari wanita yang memiliki PID belum
ditentukan secara pasti. Bakteri anaerob telah diisolasi dari saluran reproduksi
wanita yang memiliki PID, dan data dari penelitian in vitro mengungkapkan
bahwa beberapa kuman anaerob (mis., Bacteroides fragilis) dapat menyebabkan
kerusakan tuba dan epitel. BV hadir pada banyak wanita yang memiliki PID.
Sampai rejimen pengobatan yang tidak mencakup mikroba anaerob telah
dibuktikan untuk mencegah sekuele jangka panjang (mis., Infertilitas dan
kehamilan ektopik) sebaiknya tetap di berikan rejimen yang efektif terhadap
mikroba ini, penggunaan rejimen dengan aktivitas anaerob harus
dipertimbangkan. Pengobatan harus dimulai segera setelah diagnosis dugaan telah
dibuat, karena pencegahan gejala sisa jangka panjang tergantung pada pemberian
awal antibiotik yang tepat. Ketika memilih rejimen pengobatan, penyedia layanan
kesehatan harus mempertimbangkan ketersediaan, biaya, dan penerimaan pasien.
Pada wanita dengan PID keparahan klinis ringan atau sedang, rejimen parenteral
dan oral tampaknya memiliki kemanjuran yang sama. Keputusan apakah rawat
inap diperlukan harus didasarkan pada penilaian penyedia dan apakah wanita
memenuhi salah satu kriteria berikut yang disarankan:
 kedaruratan bedah (mis., apendisitis) tidak dapat dikecualikan;
 abses tubo-ovarium;
 kehamilan;
 penyakit parah, mual dan muntah, atau demam tinggi;
 tidak dapat mengikuti atau mentoleransi rejimen oral rawat jalan; atau
 tidak ada respons klinis terhadap terapi antimikroba oral.
Tidak ada bukti yang tersedia untuk menunjukkan pengobatan dengan
rawat inap memberikan hasil yang lebih baik daripada rawat jalan, dan respon
klinis terhadap pengobatan rawat jalan hampir sama baik pada wanita yang lebih
muda ataupun lebih tua. Keputusan untuk rawat inap remaja dengan PID akut
harus didasarkan pada kriteria yang sama yang digunakan untuk wanita yang lebih
tua.
Terapi Parenteral
Beberapa uji acak telah menunjukkan efektifitas dari terapi parenteral
Pengalaman klinis harus memandu keputusan mengenai transisi ke terapi oral,
yang biasanya dapat dimulai dalam 24-48 jam perbaikan klinis. Pada wanita
dengan abses tubo-ovarium, setidaknya 24 jam observasi rawat inap dianjurkan.

Cefotetan 2g IV tiap 12 cefoxetin 2g IV tiap 6 Clindamycin 900 mg IV


jam ditambah jam ditambah setiap 8 jam
ditambah
Doxycyclin 100mg oral Doxycyclin 100mg oral Gentamicin loading dose
IV atau IM (2 mg/kg),
atau IV tiap 12 jam atau IV tiap 12 jam
diikuti dengan dosis
maintenance (1.5 mg/kg)
setiap 8 jam. Single daily
dosing (3–5 mg/kg) can
be substituted.

Karena rasa sakit yang terkait dengan infus intravena, doksisiklin harus
diberikan secara oral jika memungkinkan. Pemberian doksisiklin oral dan IV
memberikan efek yang serupa. Walaupun penggunaan dosis tunggal gentamisin
setiap hari belum dievaluasi untuk pengobatan PID, hal ini berkhasiat dalam
situasi analog. Ketika menggunakan rejimen parenteral cefotetan atau cefoxitin,
terapi oral dengan doksisiklin 100 mg dua kali sehari dapat digunakan 24-48 jam
setelah perbaikan klinis untuk menyelesaikan 14 hari terapi. Untuk rejimen
klindamisin / gentamisin, terapi oral dengan klindamisin (450 mg oral empat kali
sehari) atau doksisiklin (100 mg dua kali sehari) dapat digunakan untuk
menyelesaikan 14 hari terapi. Namun, ketika abses tubo-ovarium hadir,
klindamisin (450 mg oral empat kali sehari) atau metronidazol (500 mg dua kali
sehari) harus digunakan untuk menyelesaikan setidaknya 14 hari terapi dengan
doksisiklin untuk memberikan cakupan anaerob yang lebih efektif daripada
doksisiklin saja. Data terbatas tersedia untuk mendukung penggunaan sefalosporin
genrasi kedua atau ketiga parenteral lainnya (mis., Ceftizoxime, cefotaxime, dan
ceftriaxone). Selain itu, sefalo
sporin ini kurang aktif dibandingkan cefotetan atau cefoksitin terhadap bakteri
anaerob.

Terapi IM dan oral

Terapi intramuskular / oral dapat dipertimbangkan untuk wanita dengan


PID akut ringan hingga sedang, karena hasil klinis di antara wanita yang diobati
dengan rejimen ini mirip dengan yang diobati dengan terapi intravena.Wanita
yang tidak menunjukan perbaikan setelah terapi IM / terapi oral dalam waktu 72
jam harus dievaluasi ulang untuk mengkonfirmasi diagnosis dan harus diberikan
terapi intravena.
Ceftriaxone 250 mg IM Cefoxitin 2 g IM single gerenrasi ke 3
single dose ditambah dose dan Probenecid, 1 g cephalosporin (spt
diberikan dingle dose ceftizoxime atau
bersamaan ditambah cefotaxime)
ditambah
Doxycycline 100 mg oral Doxycycline 100 mg oral Doxycycline 100 mg oral
dua kali sehari selama 14 dua kali sehari selama 14 dua kali sehari selama 14
dengan atau tanpa dengan atau tanpa dengan atau tanpa

Metronidazole 500 mg Metronidazole 500 mg Metronidazole 500 mg


oral dua kali sehari oral dua kali sehari oral dua kali sehari
selama 14 selama 14 selama 14

Regimen ini memberikan cakupan terhadap etiologi yang sering menjadi


penyebab PID, tetapi pilihan optimal sefalosporin tidak jelas. Cefoxitin,
sefalosporin generasi kedua, memiliki cakupan anaerob yang lebih baik daripada
ceftriaxone, dan dalam kombinasi dengan probenesid dan doksisiklin telah efektif
dalam respon klinis jangka pendek pada wanita dengan PID. Ceftriaxone memiliki
cakupan yang lebih baik terhadap N. gonorrhoeae. Penambahan metronidazole
juga akan secara efektif mengobati BV, yang sering dikaitkan dengan PID.

Follow UP
Pasien diharapkan menunjukkan peningkatan klinis (mis., Defervesensi;
pengurangan nyeri perut langsung atau rebound; dan pengurangan nyeri tekan
uterus, adneksa, dan serviks) dalam waktu 3 hari setelah mulai terapi. Jika tidak
ada perbaikan klinis yang terjadi dalam 72 jam setelah IM rawat jalan / terapi oral,
rawat inap, penilaian rejimen antimikroba, dan diagnostik tambahan (termasuk
pertimbangan laparoskopi diagnostik untuk diagnosis alternatif)
direkomendasikan. Semua wanita yang telah menerima diagnosis PID klamidia
atau gonokokal harus diuji ulang 3 bulan setelah pengobatan, terlepas dari apakah
pasangan seks mereka dirawat. Jika pengujian ulang pada 3 bulan tidak
memungkinkan, wanita-wanita ini harus diuji ulang setiap kali mereka datang
untuk perawatan medis dalam 12 bulan setelah perawatan.

Manajemen pasangan seksual.

Pria yang telah melakukan kontak seksual dengan seorang wanita dengan
PID selama 60 hari sebelum timbulnya gejala harus dievaluasi, diuji, dan diduga
diobati untuk klamidia dan gonore, terlepas dari etiologi PID atau patogen yang
diisolasi dari wanita tersebut. Jika hubungan seksual terakhir seorang wanita> 60
hari sebelum timbulnya gejala atau diagnosis, pasangan seks terakhir harus
diobati. Pasangan pria wanita dengan PID yang disebabkan oleh C. trachomatis
dan / atau N. gonorrhoeae sering tidak menunjukkan gejala. Pengaturan harus
dibuat untuk menghubungkan pasangan pria dengan perawatan. Jika hubungan
tertunda atau tidak mungkin, EPT dan rujukan yang disempurnakan adalah
pendekatan alternatif untuk mengobati pasangan pria wanita yang memiliki
infeksi klamidia atau gonokokal. Pasangan harus diinstruksikan untuk tidak
melakukan hubungan seksual sampai mereka dan pasangan seksnya telah diobati
secara memadai (yaitu, sampai terapi selesai dan gejala telah diselesaikan, jika
ada).

Pertimbangan Khusus
 Wanita hamil yang diduga menderita PID berisiko tinggi mengalami
morbiditas ibu dan kelahiran prematur. Wanita-wanita ini harus dirawat di
rumah sakit dan dirawat dengan antibiotik intravena.
 Perbedaan dalam manifestasi klinis PID antara wanita dengan infeksi HIV
dan wanita tanpa infeksi HIV belum digambarkan dengan baik. Dalam
studi observasi awal, wanita dengan infeksi HIV dan PID lebih mungkin
membutuhkan intervensi bedah. Penelitian observasional dan terkontrol
yang lebih komprehensif telah menunjukkan bahwa perempuan dengan
infeksi HIV dan PID memiliki gejala yang sama bila dibandingkan dengan
perempuan HIV-negatif dengan PID, kecuali mereka lebih cenderung
memiliki abses tubo-ovarium; wanita dengan infeksi HIV merespons sama
baiknya dengan rejimen antibiotik parenteral dan IM / oral yang digunakan
dibandingkan dengan wanita tanpa infeksi HIV. Temuan mikrobiologis
untuk wanita dengan infeksi HIV dan wanita tanpa infeksi HIV adalah
serupa, kecuali wanita dengan infeksi HIV memiliki tingkat yang lebih
tinggi. hominis bersamaan dan infeksi streptokokus. Data ini tidak cukup
untuk menentukan apakah wanita dengan infeksi HIV dan PID
memerlukan manajemen yang lebih agresif (mis., Rawat inap atau rejimen
antimikroba intravena).
 IUD adalah salah satu metode kontrasepsi yang paling efektif. IUD yang
mengandung tembaga dan melepaskan levonorgestrel tersedia di Amerika
Serikat. Risiko PID terkait dengan penggunaan IUD terutama terbatas
pada 3 minggu pertama setelah pemasangan. Jika pengguna IUD
menerima diagnosis PID, IUD tidak perlu dilepas. Namun, wanita tersebut
harus menerima perawatan sesuai dengan rekomendasi ini dan harus
memiliki tindak lanjut klinis yang dekat. Jika tidak ada perbaikan klinis
terjadi dalam 48-72 jam setelah memulai pengobatan, penyedia harus
mempertimbangkan untuk melepas IUD. Tinjauan sistematis bukti
menemukan bahwa hasil pengobatan umumnya tidak berbeda antara
wanita dengan PID yang mempertahankan IUD dan mereka yang memiliki
IUD dihapus. Studi-studi ini terutama mencakup wanita yang
menggunakan tembaga atau IUD non-hormonal lainnya. Tidak ada
penelitian yang tersedia mengenai hasil pengobatan pada wanita yang
menggunakan IUD yang melepaskan levonorgestrel.

2.1.10 Prognosis
Prognosis pada umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera. Terapi
dengan antibiotik memiliki angka kesuksesan sebesar 33-75%. Terapi
pembedahan lebih lanjut dibutuhkan pada 15-20% kasus. Nyeri pelvis kronik
timbul oada 25% pasien dengan riwayat PID. Nyeri ini disangka berhubungan
dengan perubahan siklus menstrual, tapi dapat juga sebagai akibat perlengketan
atau hidrosalping. Gangguan fertilitas adalah masalah terbesar pada wanita
dengan riwayat PID. Rerata infertilitas meningkat seiring dengan peningkatan
frekuensi infeksi. Resiko kehamilan ektopik meningkat pada wanita dengan
riwayat PID sebagai akibat kerusakan langsung tuba fallopi.

2.1.11 Komplikasi
Abses tuba ovarian adalah komplikasi tersering dari PID akut, dan timbul
pada sekitar 15-30% wanita yang dirawat inap di RS. Sekuele yang
berkepanjangan, termasuk nyeri pelvis kronik, kehamilan ektopik, infertilitas, dan
kegagalan implantasi dapat timbul pada 25% pasien. Lebih dari 100000 wanita
diperkirakan akan mengalami infertilitas akibat PID.
Keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan dapat menyebabkan sekuele
seperti infertilitas. Mortalitas langsung muncul pada 0,29 pasien per 100000 kasus
pada wanita usia 15-44 tahun. Penyebab kematian yang utama adalah rupturnya
abses tuba-ovarian. Kehamilan ektopik 6 kali lebih sering terjadi pada wanita
dengan PID. Pada gambar dibawah kita dapat melihat angka kejadian
BAB 3
PENUTUP

3.1.1 KESIMPULAN

Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi


pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur
penunjang pelvis. PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab
penyakit menular seksual seperti N. Gonorrhea dan C. Trachomatis. PID
disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke traktus genital
atas dari vagina dan seviks. Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas
penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis dan
pembukaan serviks selama menstruasi mungkin berpengaruh. Secara tradisional,
diagnose PID didasarkan pada trias tanda dan gejala yaitu, nyeri pelvic, nyeri pada
gerakan serviks, dan nyeri tekan adnexa, dan adanya demam. Laparoskopi adalah
standar baku untuk diagnosis defenitif PID. Terapi dimulai dengan terapi
antibiotik empiris spectrum luas. Penanganan juga termasuk penanganan
simptomatik seperti antiemetic, analgesia, antipiretik, dan terapi cairan. Pasien
yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus dievaluasi
ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan. Prognosis
pada umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera. Prognosis pada umunya
baik jika didiagnosa dan diterapi segera.
DAFTAR PUSTAKA

1. Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek &


Novak’s Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William &
Wilkins.
2. Center for Disease Control and Prevention. (2015) 2015 sexually transmited
disease. Pelvic Inflamatory disease. CDC guidline, Accessed 10 feb 2019.
3. Dayal, Seema, et al. "Pattern of pelvic inflammatory disease in women
who attended the tertiary care hospital among the rural population of North
India." Muller Journal of Medical Sciences and Research, vol. 7, no. 2,
2016, p. 100. Academic OneFile, Accessed 10 feb. 2019.
4. Herawati, Fauna and Rahem, Abdul and Handayani, Dwi and Yulia,
Rika (2018) antibiotic prophylactics on curettage for preventing pelvic
inflammatory disease events: is it necessary? Asian Journal of
Pharmaceutical and Clinical Research, 11 (11). pp. 267-269. ISSN Print :
0974-2441; Online - 2455-3891
5. Kreisel K, Flagg EW, Torrone E. Trends in pelvic inflammatory disease
emergency department visits, United States, 2006–2013. Am J Obstet
Gynecol 2018; 218(1): 117.e1–117.e10.

6. Mudgil, Shikha. 2018. Pelvic Inflammatory Disease/Tubo-ovarian


Abscess. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/404537-
print [diperbaharui tanggal 10 Agustus 2018]
7. Phillip E Hay, Sarah R Kerry, Rebecca Normansell, Paddy J Horner, Fiona
Reid, Sally M Kerry, Katia Prime, Elizabeth Williams, Ian Simms,
Adamma Aghaizu, Jorgen Jensen, Pippa Oakeshott. (2016). Which
sexually active young female students are most at risk of pelvic
inflammatory disease? A prospective study. 92(1): 63–66. Published
online 2015 Jun 16. doi: 10.1136/sextrans-2015-052063
8. Shepherd, Suzanne M. Pelvic Inflammatory Disease. 2019. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/256448-print [diperbaharui tanggal
27 februari 2019]

Anda mungkin juga menyukai