Anda di halaman 1dari 53

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN REFERAT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER NOVEMBER 2023


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

SIFILIS
Julian Muhammad Yasin
11120222254

Dokter Pendidik Klinik


Dr. dr. Hj. Andi Sastri, Sp. KK, FINSDV
BAB I
PENDAHUL
UAN
LATAR BELAKANG

Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh


spiroset Treponema pallidum. Sifilis ditularkan melalui kontak seksual atau luka pada
kulit dari lesi infeksius, dari ibu ke janin, atau melalui transfusi darah. Sifilis bersifat
kronis dan dapat mengenai hampir seluruh struktur tubuh.[1,2]
Sifilis memiliki berbagai gambaran klinis dan seringkali sulit dibedakan
infeksi atau penyakit imunologi lain. Oleh karena itu, penyakit ini sering disebut “the
great impostor”. Penegakkan diagnosis dimulai dari gejala yang timbul, seperti
adanya ulkus tunggal dengan tepi teratur dan dasar bersih pada sifilis primer, disertai
pemeriksaan VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) dan TPHA (Treponema
Pallidum Haemagglutination Assay) yang reaktif.[2-4]
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
DEFINISI

Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh


spiroset Treponema pallidum. Sifilis ditularkan melalui kontak seksual atau luka pada
kulit dari lesi infeksius, dari ibu ke janin, atau melalui transfusi darah. Sifilis bersifat
kronis dan dapat mengenai hampir seluruh struktur tubuh.[1,2]
EPIDEMIOLOGI
• Epidemiologi sifilis dilaporkan lebih tinggi pada negara
berkembang dibandingkan negara maju. Sifilis juga memiliki
peningkatan prevalensi pada populasi lelaki seks dengan lelaki
(LSL), pekerja seks komersial, dan wanita hamil.[5,18,20]
• Secara global, prevalensi sifilis paling sering dijumpai pada
populasi lelaki seks dengan lelaki (LSL). Data dari WHO yang
melibatkan 25 negara yang melaporkan kasus sifilis,
menunjukkan bahwa 11 negara memiliki lebih dari 5% pria LSL
didiagnosis dengan sifilis akut dan 7 negara di antaranya
melaporkan lebih dari 10% pria LSL didiagnosis dengan sifilis
akut.
• Data nasional epidemiologi sifilis di Indonesia belum tersedia.
Berdasarkan laporan HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual
(IMS) triwulan IV tahun 2017 dari Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, kasus infeksi menular seksual pada
kelompok risiko tinggi didapatkan terbanyak pada wanita
pekerja seks komersial. Laporan ini juga menyebutkan bahwa
hasil nasional skrining sifilis yang positif pada ibu hamil
didapatkan pada 1904 dari 17.544 yang menjalani
pemeriksaan.[22]
ETIOLOGI
Etiologi sifilis adalah infeksi spiroset Treponema pallidum yang masuk
melalui mikroabrasi kulit atau membran mukosa. Sifilis umumnya ditularkan melalui
kontak seksual, tapi juga dapat ditularkan dari ibu ke janin atau melalui transfusi
darah.[1,6]
Treponema pallidum berbentuk heliks, bersifat mikroaerofilik, memiliki
panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,18 µm, serta memiliki 2-3 flagella untuk
motilitasnya. Ukurannya yang kecil membuat organisme ini tidak terlihat dengan
mikroskop cahaya dan diidentifikasi melalui gerakan undulasi pada mikroskop
lapangan gelap. Dari penelitian didapatkan organisme ini membelah setiap 30-33 jam
secara in vivo. Treponema pallidum hanya dapat bertahan dalam waktu singkat di luar
tubuh karena rendahnya kapasitas metabolisme, dan menurunnya viabilitas pada
lingkungan yang memiliki suhu lebih tinggi dari temperatur tubuh.[3,6,16]
FAKTOR RESIKO

Sebuah studi melaporkan beberapa faktor yang meningkatkan risiko sifilis,


di antaranya:
● Usia reproduktif
● Tingkat pendidikan yang rendah
● Hubungan seksual sesama jenis
● Infeksi HIV
● Jumlah pasangan seksual yang banyak
● Penggunaan kondom yang tidak konsisten[5,17]
PATOFISIOLOGI

Sifilis Didapat
Treponema pallidum mula-mula masuk melalui mikroabrasi dermal atau
membran mukosa yang intak. Hal ini akan menyebabkan munculnya lesi tunggal
tidak nyeri (chancre) pada area inokulasi. Dalam beberapa jam setelahnya, bakteri
akan masuk ke dalam aliran limfe dan darah yang kemudian menjadi infeksi sistemik.
[1,5,6]
PATOFISIOLOGI
Sifilis Primer
Sifilis primer memiliki karakteristik dengan terbentuknya chancre yang
tidak nyeri pada lokasi inokulasi setelah masa inkubasi 3-6 minggu. Lesi ini memiliki
dasar berbentuk punched out, bagian tepi bergelombang, dan sangat infeksius.
Chancre memiliki gambaran histologi berupa infiltrasi leukosit
mononuklear, makrofag dan limfosit. Umumnya, chancre akan berkembang menjadi
indurasi, kemudian membentuk ulkus yang tidak purulen. Lesi akan sembuh sendiri
dalam 4-6 minggu tanpa meninggalkan bekas. Jika tidak tertangani, sifilis primer
dapat berkembang menjadi sifilis sekunder.[1,6]
PATOFISIOLOGI
Sifilis Sekunder
Dalam hitungan jam setelah inokulasi, saat terjadi evolusi stadium
primer, Treponema pallidum menyebar dan berdeposit pada jaringan tubuh secara
luas, tetapi umumnya pada area kutan atau mukosa. Pada tahap ini, akan muncul lesi
makulopapular, papular, makular, atau anular papular. Lesi kulit umumnya ditemukan
pada telapak tangan dan kaki. Lesi berbatas tegas, berwarna merah kecoklatan,
dengan diameter sekitar 5 mm dan merupakan lesi paling infeksius.[5,8]
Sifilis sekunder terbentuk dalam 4-10 minggu setelah munculnya lesi
primer. Condyloma lata dan patchy alopecia merupakan gambaran yang hanya
ditemukan pada sifilis sekunder. Condyloma lata adalah lesi yang tidak nyeri,
berwarna merah keabu-abuan, umumnya terbentuk pada lokasi yang hangat dan
lembab. Patchy alopecia merupakan alopesia berbentuk bercak-bercak dengan
gambaran moth eaten pada kulit kepala dan rambut wajah.[3,9]
PATOFISIOLOGI
Sifilis Laten
Lesi sifilis sekunder dan manifestasi lainnya umumnya menghilang sendiri
dalam 3 bulan. Periode tanpa gejala ini disebut sebagai sifilis laten. Namun, walaupun
tidak terdapat gejala, sifilis laten tetap menular dan dapat diturunkan pada bayi yang
lahir dari ibu yang tidak diobati.[5,10]

Sifilis Tersier
Beberapa tahun setelah periode laten, orang dengan sifilis dapat mengalami
gejala tersier berupa neurosifilis, penyakit kardiovaskular, dan sifilis gummatosa.[5]
PATOFISIOLOGI
Sifilis Gummatosa
Pada sifilis gummatosa terbentuk lesi granulomatosa yang disebut gumma,
dengan gambaran berupa jaringan nekrotik sentral dengan tekstur seperti karet yang
dapat terbentuk di berbagai organ. Pada gambaran histopatologinya terdapat makrofag
berbentuk palisade disertai fibroblas dan sel plasma di tepi lesi. Gumma dapat pecah,
membentuk ulkus, dan berangsur-angsur menjadi fibrotik.[5,11]
PATOFISIOLOGI
Sifilis Kardiovaskular
Sifilis kardiovaskular biasanya terjadi 10 tahun setelah infeksi primer,
umumnya terjadi pembentukan aneurisma pada aorta ascendens yang disebabkan oleh
inflamasi kronik yang merusak vasa vasorum.[3,12]

Neurosifilis
Neurosifilis memiliki gambaran yang bervariasi. Meningitis sifilis terjadi
akibat invasi spiroseta pada sistem saraf pusat. Sifilis meningovaskular menyebabkan
infark dan kerusakan neurologi luas akibat kerusakan pembuluh darah meninges,
otak, dan korda spinalis. Parese generalis terbentuk karena kerusakan pada daerah
kortikal otak dengan gejala awal menyerupai dementia dimana terjadi gangguan
memori dan berbicara, gangguan kepribadian, iritabilitas, dan gejala psikotik.[13,14]
PATOFISIOLOGI

Sifilis Kongenital
Treponema pallidum dapat menembus barier plasenta dan menginfeksi
fetus. Transmisi ini dapat terjadi pada seluruh stadium sifilis. Pada kehamilan,
penurunan respon imun menyebabkan klirens Treponema pallidum yang inkomplit
sehingga menyebabkan infeksi kronik. Meningkatnya produksi IL-2, IFN-ᵞ, TNF-α,
dan prostaglandin yang diinduksi oleh infeksi pada fetus disertai dengan respon
inflamasi intens yang berkaitan dengan aktivasi makrofag oleh lipoprotein treponema
yang dapat menyebabkan abortus dan kematian bayi intrauterin.[3,7]
PATOFISIOLOGI

Sifilis Kongenital
Apabila bayi lahir hidup, dapat muncul gejala yang mirip dengan sifilis
orang dewasa disertai condyloma lata. Sifilis kongenital dapat menyebabkan sekuele
berupa deformitas tulang dan gigi seperti saddle nose (akibat destruksi septum
nasi), saber shins (akibat inflamasi dan deformitas berupa lengkungan pada
tibia), Clutton’s joint (akibat inflamasi pada sendi lutut), Hutchinson’s teeth (insisivus
pada bagian atas melebar dan bertakik), dan mulberry molar (molar memiliki banyak
puncak).[3,5]
DIAGNOSIS

Diagnosis sifilis primer ditandai dengan chancre soliter tanpa rasa sakit.
Sifilis sekunder dapat memiliki berbagai gejala, terutama demam, limfadenopati,
ruam, dan kondiloma lata genital atau perineum. Pada sifilis laten, semua manifestasi
klinis mereda dan infeksi hanya terlihat pada pengujian serologis. Sifilis tersier dapat
bermanifestasi bertahun-tahun setelah infeksi sebagai sifilis gummatosa, penyakit
kardiovaskular, atau meningitis sifilis. Neurosifilis dapat berkembang pada setiap
tahap sifilis.
Evaluasi gejala klinis sifilis perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan VDRL
(Venereal Disease Research Laboratory) dan TPHA (Treponema Pallidum
Haemagglutination Assay) yang reaktif.[1,3]
DIAGNOSIS

Anamnesis
Manifestasi sifilis tidak spesifik dan mirip dengan banyak penyakit lainnya.
Dokter perlu menanyakan riwayat seksual dan sosial yang menyeluruh, termasuk
jumlah pasangan seksual, penggunaan kondom, riwayat infeksi menular seksual pada
pasien dan pasangannya, dan paparan produk darah. Pada bayi, tanyakan riwayat ibu,
riwayat pajanan pada individu dengan sifilis atau produk darah, dan riwayat
pelecehan seksual.
DIAGNOSIS

Sifilis Primer
Sifilis primer terjadi 10-90 hari setelah kontak dengan individu yang
terinfeksi. Sifilis primer bermanifestasi terutama pada kelenjar penis pria dan vulva
atau serviks wanita. Pada beberapa kasus, lesi sifilis dapat ditemukan di anus, jari,
orofaring, lidah, puting susu, atau tempat ekstragenital lainnya.
Chancre biasanya dimulai sebagai papula merah yang soliter, menonjol,
keras, dan berukuran kecil. Chancre dapat membuat kawah ulseratif di dalam papula,
dengan tepi sedikit lebih tinggi. Lesi biasanya sembuh dalam 4-8 minggu dengan atau
tanpa terapi.
DIAGNOSIS
Sifilis Sekunder
Sifilis sekunder umumnya muncul sebagai lesi kulit yang polimorfik, tidak
gatal, dan lesi pada mukosa. Lesi sering disertai limfadenopati generalisata yang tidak
nyeri. Gejala konstitusional seperti malaise, sakit kepala, anoreksia, mual, nyeri pada
tulang, dan kelelahan juga dapat muncul.

Sifilis Laten
Pasien sifilis laten umumnya tidak menunjukkan gejala klinis, namun uji
serologi sifilis (TSS) reaktif, baik serologi treponema maupun nontreponema. Latensi
dapat berlangsung dari beberapa tahun hingga 25 tahun sebelum lesi destruktif dari
sifilis tersier bermanifestasi. Pasien mungkin mengingat adanya riwayat gejala sifilis
primer dan sekunder sebelumnya.
DIAGNOSIS
Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital dini terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan. Sifilis
kongenital lanjut muncul pada anak di atas 2 tahun. Gejala paling awal yang terjadi
sebelum usia 2 tahun adalah rinitis, diikuti oleh lesi kulit.
Sifilis kongenital dapat menyebabkan deformitas tulang dan gigi, seperti:
● Saddle nose akibat destruksi septum nasi
● Saber shins akibat inflamasi dan deformitas berupa lengkungan pada tibia
● Clutton’s joint akibat inflamasi pada sendi lutut
● Hutchinson’s teeth dimana insisivus pada bagian atas melebar dan bertakik
● Mulberry molar dimana molar memiliki banyak puncak[1,18,21]
DIAGNOSIS

Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik bervariasi tergantung stadium sifilis.

Sifilis Primer
Pada sifilis primer dapat dijumpai chancre yang berbentuk ulkus tunggal,
tepi teratur, indurasi, dengan dasar bersih, tidak nyeri. Biasanya lesi dimulai dengan
papul soliter, kemerahan dan keras yang muncul pada glans penis, vulva, serviks,
anus, jari, orofaring, lidah, dan puting. Lesi umumnya sembuh dalam 4 minggu atau 2
minggu dengan antibiotik. Selain itu, bisa juga didapatkan pembesaran kelenjar getah
bening regional.[1,3,18]
Sifilis Primer

Pada sifilis primer dapat dijumpai chancre yang berbentuk ulkus tunggal, tepi teratur, indurasi,
dengan dasar bersih, tidak nyeri. Biasanya lesi dimulai dengan papul soliter, kemerahan dan keras
yang muncul pada glans penis, vulva, serviks, anus, jari, orofaring, lidah, dan puting. Lesi umumnya
sembuh dalam 4 minggu atau 2 minggu dengan antibiotik. Selain itu, bisa juga didapatkan
pembesaran kelenjar getah bening regional.
DIAGNOSIS

Sifilis Sekunder
Pada sifilis sekunder dapat dijumpai adanya lesi berbentuk polimorfik, tidak
gatal dan seringkali terdapat pembesaran kelenjar getah bening generalisata.
Umumnya lesi muncul 3 minggu setelah lesi primer dengan durasi 2-10 minggu. Bila
tidak diterapi, lesi dapat hilang sendiri atau dapat pula rekuren dalam 2 tahun.
Gambaran yang sering ditemukan adalah ruam mukokutan difus, berbentuk
makulopapular, papular, makular, atau anular papular, nonpruritik, dan simetris. Lesi
seringkali ditemukan pada telapak tangan dan kaki. Gambaran lain yang dapat muncul
yaitu patchy alopecia, condyloma lata, dan gejala sistemik berupa malaise, demam,
myalgia dan arthralgia.[3,18]
Sifilis Sekunder

Pada sifilis sekunder dapat dijumpai adanya lesi berbentuk polimorfik, tidak gatal dan
seringkali terdapat pembesaran kelenjar getah bening generalisata. Umumnya lesi muncul
3 minggu setelah lesi primer dengan durasi 2-10 minggu. Bila tidak diterapi, lesi dapat hilang
sendiri atau dapat pula rekuren dalam 2 tahun.
Sifilis Sekunder

Gambaran lain yang dapat muncul yaitu patchy alopecia, condyloma


lata
DIAGNOSIS

Sifilis Laten
Sifilis laten umumnya asimptomatik dan terbagi menjadi laten awal dan
laten akhir. Periode laten awal adalah 1 tahun pertama setelah resolusi dari sifilis
primer atau sekunder dengan hasil tes serologi reaktif. Bila durasi lebih dari 1 tahun
atau tidak diketahui, maka dianggap sebagai periode laten akhir.[3,18]
DIAGNOSIS
Sifilis Tersier
Sifilis tersier memiliki progresivitas lambat dan dapat mengenai organ
manapun dan menyebabkan kematian. Secara umum sifilis tersier terbagi menjadi
sifilis gummatosa, sifilis kardiovaskular, dan neurosifilis.
Lesi gummatosa sering muncul dalam 3-10 tahun setelah terinfeksi berupa
infiltrat sirkumskrip kronis, berbatas tegas, dan destruktif yang dapat mengenai kulit,
mukosa, atau tulang.[1,3]
Sifilis kardiovaskular umumnya mengenai aorta dan dapat menyebabkan
terbentuknya aneurisma, gangguan katup, dan penyempitan ostium koroner.
Neurosifilis dapat bersifat simtomatik dan asimtomatik. Pada jenis
asimtomatik, tidak ditemukan tanda dan gejala tetapi ditemukan abnormalitas pada
cairan serebrospinal. Pada jenis simptomatik, neurosifilis dapat muncul
sebagai meningitis sifilis, neurosifilis meningovaskular, dan neurosifilis
parenkimatosa.[3,4]
Sifilis Tersier

Lesi gummatosa sering muncul dalam 3-10 tahun setelah terinfeksi berupa
infiltrat sirkumskrip kronis, berbatas tegas, dan destruktif yang dapat
mengenai kulit, mukosa, atau tulang.
DIAGNOSIS

Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital terbagi menjadi sifilis kongenital awal (terjadi dalam 2
tahun pertama kehidupan) dan sifilis kongenital akhir (terjadi pada anak berusia diatas
2 tahun.) Tanda yang muncul pada sifilis kongenital awal dapat berupa ruam difus,
pengelupasan kulit, hepatosplenomegali, anemia, limfadenopati, demam,
ikterik, saddle nose, pseudoparalisis, periostitis, glomerulonefritis, dan gangguan
neurologi.[5,7]
Pada sifilis kongenital akhir, tanda yang muncul mirip dengan gejala sifilis
tersier pada orang dewasa.[1,7]
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan serologi merupakan pemeriksaan standar untuk mendeteksi
seluruh stadium dari sifilis.[1,3]
Sifilis Didapat
Pada sifilis yang didapat, mula-mula dilakukan pemeriksaan skrining
nontreponema menggunakan Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)
dan Rapid Plasma Reagin (RPR). Oleh karena dapat terjadi positif palsu atau negatif
palsu, perlu dilakukan konfirmasi dengan tes treponema seperti fluorescent
treponemal antibody-absorbed test (FT-ABS) dan TPHA (Treponema Pallidum
Haemagglutination Assay).[1,3]
Titer antibodi pemeriksaan nontreponema dipengaruhi oleh aktivitas
penyakit dan dapat digunakan untuk mengetahui respon terapi dimana titer akan non
reaktif seiring penyembuhan penyakit. Peningkatan titer 4 kali lipat mengindikasikan
perbedaan yang signifikan antara dua pemeriksaan nontreponemal. Pemeriksaan
treponema umumnya akan tetap positif dalam waktu lama dan tidak dipengaruhi oleh
aktivitas penyakit atau terapi.[2,3]
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sifilis Kongenital
Pemeriksaan sifilis pada ibu hamil disarankan pada saat kunjungan prenatal
yang pertama kali. Wanita berisiko tinggi untuk tertular sifilis harus diperiksa kembali
pada trimester ketiga dan saat kelahiran anak. Wanita hamil dengan hasil tes
seropositif harus dianggap infeksius kecuali terdapat riwayat terapi yang adekuat
dalam rekam medis dan hasil titer antibodi sekuensial menunjukkan penurunan
sebesar 4 kali lipat.
Titer serologi harus diperiksa setiap bulan bila pasien memiliki resiko untuk
terinfeksi sifilis atau tinggal pada daerah dengan prevalensi tinggi penyakit ini. Setiap
wanita yang melahirkan bayi lahir mati setelah 20 minggu masa gestasi disarankan
untuk menjalani pemeriksaan sifilis. Menentukan diagnosis sifilis kongenital tidak
mudah karena antibodi IgG nontreponema dan treponema dari ibu dapat disalurkan
pada bayi. [1,3,7]
DIAGNOSIS BANDING

Gejala sifilis tidak spesifik sehingga sering salah didiagnosis sebagai


penyakit lainnya. Pada pasien yang terdiagnosis sifilis, sebaiknya dilakukan
penelusuran infeksi menular seksual lainnya. Begitu pula bila terdapat ruam
generalisata pada pasien dengan infeksi menular seksual, sifilis perlu dipikirkan.
[1,18]
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding sifilis yang perlu dipikirkan berdasarkan stadium
klinisnya antara lain:
• Sifilis primer: ulkus piogenik, herpes simpleks, balanitis, scabies, limfogranuloma
venereum, karsinoma sel skuamosa kulit, penyakit Behcet
• Sifilis sekunder: alopecia areata, erupsi obat, psoriasis, pityriasis rosea, kondiloma
akuminata, dermatitis seboroik
• Sifilis Tersier: aktinomikosis, sporotrikosis, neoplasma, tuberkulosis kulit, gagal
jantung kongestif, sarkoidosis, stroke
Kesemua diagnosis banding tersebut memiliki tampilan klinis yang mirip
dengan sifilis. Untuk membedakan, dapat dilakukan uji serologi seperti VDRL
(Venereal Disease Research Laboratory) dan TPHA (Treponema Pallidum
Haemagglutination Assay).[1,18,21]
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan sifilis adalah pemberian antibiotik, di mana pilihan utama


adalah benzil benzatin penisilin G. Terapi alternatif dapat menggunakan doxycycline,
erythromycin, atau ceftriaxone. Evaluasi terapi dilakukan secara klinis dan serologi
pada bulan ke-1, 3, 6, dan 12. Pasien dikatakan sembuh jika ada penurunan titer
VDRL dan Rapid Plasma Reagin (RPR) sebanyak 4 kali lipat dalam 6 bulan.[1,21]
PENATALAKSANAAN
Stadium Primer, Sekunder atau Laten Awal
Obat pilihan pada sifilis stadium primer, sekunder atau laten awal adalah:
● Benzil benzatin penicillin G (BPG) 2,4 juta IU injeksi intramuskuler dosis
tunggal. Obat diberikan pada bokong, dapat dimasukkan sebagian pada setiap
bokong ataupun keseluruhan dosis disuntikkan pada satu bokong
● Procaine penicillin merupakan terapi lini kedua jika BPG tidak tersedia. Procaine
penicillin diberikan 600.000 IU secara intramuskuler per hari, selama 10–14 hari
Pada pasien dengan gangguan perdarahan, pilihan terapinya adalah:
● Ceftriaxone 1g intravena per hari selama 10 hari
● Doxycycline 200 mg/hari per oral selama 14 hari
Doxycycline juga diberikan pada pasien yang alergi terhadap penicillin.
[1,21]
PENATALAKSANAAN

Stadium Laten Lambat


Antibiotik pilihan untuk sifilis stadium laten lambat adalah BPG 2,4 juta IU
diberikan secara intramuskuler setiap minggunya dalam 3 minggu berturut-turut, yaitu
di hari ke-1, 8, dan 15.
Terapi lini kedua adalah procaine penicillin 600.000 IU secara
intramuskuler selama 17-21 hari.
Jika pasien alergi terhadap penicillin, beberapa ahli menyarankan terapi
desensitisasi penicillin karena bukti efikasi terapi non-penicillin belum adekuat.
Pilihan lain adalah menggunakan doxycycline 200 mg/hari per oral selama 21-28 hari.
[1,21]
PENATALAKSANAAN

Neurosifilis, Sifilis Aurikular, dan Sifilis Okular


Antibiotik pilihan untuk neurosifilis, sifilis aurikular, dan sifilis okular
adalah benzil penicillin 18–24 juta IU intravena per hari, diberikan sebagai 3-4 juta
IU setiap 4 jam selama 10-14 hari.
Pilihan terapi lini kedua adalah:
● Ceftriaxone 1–2 g intravena per hari selama 10-14 hari
● Procaine penicillin 1,2–2,4 juta IU intramuskuler per hari dikombinasikan
dengan probenecid 500 mg diberikan 4 kali sehari. Regimen ini diberikan selama
10-14 hari[1]
PENATALAKSANAAN

Sifilis dalam Kehamilan


Pilihan antibiotik untuk ibu hamil dengan sifilis adalah:
● Benzil benzatin penicillin G (BPG) 2,4 juta IU secara intramuskuler dosis tunggal
● Procaine penicillin merupakan terapi lini kedua jika BPG tidak tersedia. Procaine
penicillin diberikan 600.000 IU secara intramuskuler per hari, selama 10–14
hari[1]
PENATALAKSANAAN
Sifilis dengan HIV
Berdasarkan rekomendasi CDC, tidak ada regimen sifilis yang lebih efektif
untuk mencegah neurosifilis pada pasien dengan HIV positif dibandingkan dengan
HIV negatif. Pasien dengan HIV memiliki risiko komplikasi neurologi pada sifilis
stadium awal, sering mengalami kegagalan terapi, memiliki risiko lebih tinggi untuk
reinfeksi, dan respon serologi lebih lambat dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi
HIV.[1,2]
Regimen terapi yang direkomendasikan untuk sifilis primer dan sekunder
pada orang dewasa dengan HIV adalah sama dengan orang dewasa umumnya.
Regimen yang dapat digunakan adalah benzil benzatin penicillin G 2,4 juta IU
intramuskuler dosis tunggal. Regimen terapi yang direkomendasikan untuk sifilis
laten yaitu benzil benzatin penicillin G 2,4 juta IU intramuskular dosis tunggal untuk
sifilis laten awal, dan selama 3 minggu pada sifilis laten akhir.[1,2]
PENATALAKSANAAN
Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital dapat diklasifikasikan menjadi empat,
yaitu proven atau highly probable, possible, less likely, dan unlikely.
Pada proven, highly probable, atau possible, regimen yang
direkomendasikan adalah:
● Aqueous crystallinepenicillin G 100.000 hingga 150.000 IU/kg/hari diberikan
50.000 IU/kg/dosis intravena setiap 12 jam pada 7 hari pertama, dan setiap 8 jam
pada hari selanjutnya hingga 10 hari
● Procaine penicillin G 50.000 IU/kg intramuskuler setiap hari selama 10 hari
Pada sifilis kongenital kategori less likely, regimen yang direkomendasikan
adalah benzil benzatin penicillin G 50.000 IU/kg intramuskuler dosis tunggal.
Pada sifilis kongenital kategori unlikely, tidak ada penatalaksanaan yang
diperlukan. Benzil benzatin penicillin G 50.000 IU/kg intramuskular dapat
dipertimbangkan apabila hasil tes nontreponema positif.[2,3,7]
PENATALAKSANAAN

Profilaksis Pasangan Seksual


Profilaksis antibiotik perlu diberikan pada individu yang memiliki kontak
seksual dengan pasien positif sifilis pada stadium primer, sekunder, atau laten awal.
Profilaksis sebaiknya diberikan dalam 90 hari pertama sejak kontak seksual. Regimen
profilaksis yang disarankan adalah benzil benzatin penicillin G 2,4 juta IU
intramuskuler dosis tunggal.[3,18]
PENATALAKSANAAN

Follow Up
Pada sifilis primer dan sekunder, pemeriksaan klinis dan serologi
disarankan untuk diulang kembali 6-12 bulan setelah terapi dan dibandingkan dengan
hasil pemeriksaan sebelumnya. Apabila gejala menetap atau hasil titer pemeriksaan
nontreponema tetap atau meningkat 4 kali lipat selama 2 minggu, pasien dianggap
mengalami kegagalan terapi atau reinfeksi. Pada keadaan ini, dilakukan
evaluasi HIV dan pemberian terapi ulang dengan benzil benzatin penicillin G 2,4 juta
IU/minggu intramuskuler, selama 3 minggu, kecuali bila terdapat bukti neurosifilis
dari pemeriksaan cairan serebrospinal.[1,3]
PENATALAKSANAAN

Follow Up
Pada sifilis laten, pemeriksaan serologi nontreponema kuantitatif diulang
setelah 6 bulan, 12 bulan, dan 24 bulan, serta diikuti dengan evaluasi terhadap
pemeriksaan HIV. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan bila terdapat 4 kali
peningkatan titer, titer tidak turun dalam 12-24 bulan setelah terapi, atau terbentuk
tanda dan gejala sifilis. Bila hasil pemeriksaan cairan serebrospinal positif, maka
pasien diterapi sesuai neurosifilis, namun bila negatif maka dilakukan terapi ulang
benzil benzatin penicillin G 2,4 juta IU/minggu intramuskuler selama 3 minggu.[3,18]
PENATALAKSANAAN

Follow Up
Pada pasien dengan sifilis tersier ringan dan sifilis kardiovaskular, perlu
dilakukan pemeriksaan berkala seumur hidup untuk memantau komplikasi yang
terjadi.
Pada pasien dengan neurosifilis perlu dilakukan pemantauan berkala setiap
6 bulan selama minimal 3 tahun dengan pemeriksaan fisik, cairan serebrospinal, dan
serologi. Bila terdapat pleiositosis pada cairan serebrospinal, pemeriksaan sebaiknya
diulang setiap 6 bulan hingga jumlah sel normal. Bila jumlah leukosit pada cairan
serebrospinal tidak turun dalam 6 bulan atau jumlah sel dan protein tidak normal
kembali setelah 2 tahun, maka perlu dilakukan terapi kembali.[1,12,13]
KOMPLIKASI

Pada sifilis sekunder, dapat terjadi komplikasi berupa vaskulitis yang luas
yang dapat menyebabkan hepatitis, iritis, nefritis, dan gangguan neurovaskular seperti
sifilis meningovaskular dini.
Neurosifilis dapat bermanifestasi sebagai meningitis, stroke, palsy nervus
kranial, dementia, dan paresis general.
Sifilis kardiovaskular dapat menyebabkan aneurisma pada aorta
ascendens, gagal jantung, stenosis ostial koroner, dan nekrosis aorta medial.[1,3]
Komplikasi dari tata laksana dapat berupa reaksi Jarisch-Herxheimer yang
ditandai dengan demam, myalgia, dan athralgia yang muncul pada sifilis primer atau
sekunder.[3,15]
PROGNOSIS
Prognosis sifilis bervariasi tergantung pada stadium yang dialami pasien,
yakni mulai dari gejala minimal pada sifilis primer hingga morbiditas berat pada
sifilis tersier. Komplikasi berupa meningitis dan aneurisma aorta merupakan
penyebab kematian tersering pada sifilis.[1,3,5]
Dilaporkan sebanyak 20% pasien sifilis tersier yang tidak diterapi
meninggal. Tetapi dengan terapi yang adekuat, 90% pasien neurosifilis berespon baik
secara klinis. Sekitar 30% pasien yang tidak diterapi akan mengalami komplikasi
pada fase tersier, dimana 10% mengalami sifilis kardiovaskular, 6% neurosifilis, dan
16% sifilis gummatosa.[1]
Sifilis kongenital dapat menyebabkan abortus dan sekitar 50% kasus
mengalami kematian intrauterin atau kematian segera setelah lahir. Kematian
neonatus dengan sifilis umumnya disebabkan oleh perdarahan paru, superinfeksi
bakteri, atau hepatitis fulminan.[1,7]
EDUKASI DAN PROMOSI KESEHATAN
Pencegahan dan pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan
meningkatkan edukasi masyarakat terkait perilaku seksual yang aman, misalnya
menggunakan kondom dan tidak bergonta-ganti pasangan. Edukasi masyarakat ini
penting terutama pada populasi kunci, seperti pekerja seks, pelanggan pekerja seks,
dan lelaki seks dengan lelaki.
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit sifilis, yakni mencakup:
● Promosi perilaku seksual yang aman
● Memprogramkan peningkatan penggunaan kondom di masyarakat
● Peningkatan perilaku upaya mencari pengobatan
● Pengintergrasian upaya pencegahan dan perawatan IMS ke dalam upaya
pelayanan kesehatan dasar
● Menyediakan pelayanan khusus terhadap kelompok berisiko tinggi, seperti
misalnya para wanita dan pria penjaja seks
● Deteksi dini terhadap infeksi yang bersifat simtomatik maupun
asimtomatik[1,3,18]
BAB II
KESIMPULAN
KESIMPULAN

Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh


spiroset Treponema pallidum. Sifilis ditularkan melalui kontak seksual atau luka pada
kulit dari lesi infeksius, dari ibu ke janin, atau melalui transfusi darah. Sifilis bersifat
kronis dan dapat mengenai hampir seluruh struktur tubuh.[1,2]
Sifilis memiliki berbagai gambaran klinis dan seringkali sulit dibedakan
infeksi atau penyakit imunologi lain. Oleh karena itu, penyakit ini sering disebut “the
great impostor”. Penegakkan diagnosis dimulai dari gejala yang timbul, seperti
adanya ulkus tunggal dengan tepi teratur dan dasar bersih pada sifilis primer, disertai
pemeriksaan VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) dan TPHA (Treponema
Pallidum Haemagglutination Assay) yang reaktif.[2-4]
KESIMPULAN

Bila tidak diterapi, sifilis dapat berkembang dalam 4 fase, yaitu sifilis
primer, sekunder, laten dan tersier. Sebagaimana jenis infeksi menular seksual (IMS)
lainnya, sifilis akan meningkatkan risiko seseorang tertular HIV. Adapun pada pasien
HIV, sifilis dapat meningkatkan daya infeksi HIV.
Penatalaksanaan lini pertama sifilis adalah menggunakan benzil benzatin
penicillin G yang diberikan melalui injeksi intramuskuler. Pada pasien dengan alergi
penicillin, dapat digunakan obat alternatif lain seperti doxycycline dan ceftriaxone.
Evaluasi terapi dilakukan secara klinis dan serologi pada bulan ke-1, 3, 6,
dan 12 setelah diagnosis dan inisiasi terapi. Pasien dikatakan sembuh jika titer VDRL
dan Rapid Plasma Reagin (RPR) menurun 4 kali lipat dalam 6 bulan setelah
pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Janier M, Unemo M, Dupin N, Tiplica GS, Potočnik M, Patel R. 2020 European guideline on the management of syphilis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2021 Mar;35(3):574-588. doi: 10.1111/jdv.16946. Epub 2020
Oct 22. PMID: 33094521.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Syphilis Surveillance Supplement 2013-2017 Centers for Disease Control and Prevention. 2019. https://www.cdc.gov/nchhstp/atlas/
3. Tudor ME, Al Aboud AM, Gossman W. Syphilis. [Updated 2022 Jul 23]. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534780/
4. Pereira FG, Leal MS, Meireles D, Cavadas S. Syphilitic hepatitis; a rare manifestation of a common disease. Gastroenterol Hepatol Bed Bench. 2021;14(1):77-80.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Disease Surveillance 2018. 2019. https://www.cdc.gov/std/stats18/Syphilis.htm
6. Tiecco G, Degli Antoni M, Storti S, Marchese V, Focà E, Torti C, Castelli F, Quiros-Roldan E. A 2021 Update on Syphilis: Taking Stock from Pathogenesis to Vaccines. Pathogens. 2021 Oct 21;10(11):1364
7. Hussain SA, Vaidya R. Congenital Syphilis. [Updated 2022 Jan 19]. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537087/
8. Çakmak SK, Tamer E, Karadağ AS, Waugh M. Syphilis: A great imitator. Clin Dermatol. 2019;37:182–191.
9. Forrestel AK, Kovarik CL, Katz KA. Sexually acquired syphilis: Historical aspects, microbiology, epidemiology, and clinical manifestations. J Am Acad Dermatol. 2020;82:1–14.
10. Ghanem KG, Ram S, Rice PA. The Modern Epidemic of Syphilis. N Engl J Med. 2020;382:845–854.
11. Charlton OA, Puri P, Davey L, Weatherall C, Konecny P. Rapid progression to gummatous tertiary syphilis in a patient with HIV. Australas J Dermatol. 2019;60:e48–e50. doi: 10.1111/ajd.12860.
12. Roberts WC, Moore AJ, Roberts CS. Syphilitic aortitis: Still a current common cause of aneurysm of the tubular portion of ascending aorta. Cardiovasc Pathol. 2020;46:107175. doi: 10.1016/j.carpath.2019.107175.
13. Ha T, Tadi P, Dubensky L. Neurosyphilis. [Updated 2022 Jul 4]. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK540979/
14. Perez Barragán E., Urdez Hernández E., Pérez Orozco B., Sánchez González M. Meningovascular neurosyphilis with basilar artery thrombosis in HIV patient. J Infect Public Health. 2018;11:439–441.
15. Dhakal A, Sbar E. Jarisch Herxheimer Reaction. [Updated 2022 Apr 28]. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557820/
16. Radolf JD, Kumar S. The Treponema pallidum Outer Membrane. Curr Top Microbiol Immunol. 2018;415:1-38. doi: 10.1007/82_2017_44. PMID: 28849315; PMCID: PMC5924592.
17. Arando M, Fernandez-Naval C, Mota-Foix M, Martinez D, Armengol P, Barberá MJ, Esperalba J, Vall-Mayans M. Early syphilis: risk factors and clinical manifestations focusing on HIV-positive patients. BMC Infect
Dis. 2019 Aug 16;19(1):727.
18. Chandrasekar PH. Syphilis. 2017. https://emedicine.medscape.com/article/229461-overview
19. Tuddenham SA, Zenilman JM. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition, Sexually Transmitted Diseases : Part 26, Chapter 170 : Syphilis ; Volume 1. 2019. USA : McGraw Hill Education.
20. WHO. Syphilis. 2020. https://www.who.int/data/gho/data/themes/topics/topic-details/GHO/data-on-syphilis
21. PERDOSKI. Panduan praktik klinis. 2017. https://perdoski.id/uploads/original/2017/10/PPKPERDOSKI2017.pdf
22. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan HIV-AIDS & IMS triwulan IV. 2017. https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_HIV_AIDS_TW_1_2017_rev.pdf
23. Tuddenham SA, Zenilman JM. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition, Sexually Transmitted Diseases : Part 26, Chapter 170 : Syphilis ; Volume 1. 2019. USA : McGraw Hill Education.
24. Peterman TA, Kidd SE. Trends in Deaths Due to Syphilis, United States, 1968-2015. Sex Transm Dis. 2019 Jan;46(1):37-40. doi: 10.1097/OLQ.0000000000000899.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai