HIPERTENSI
Oleh :
Zevia Adeka Rhamona, S.Ked
G1A219129
Pembimbing :
dr. Evi Supriadi, Sp. JP, (K) FIHA
HIPERTENSI
Oleh :
Zevia Adeka Rhamona, S.Ked
G1A219129
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat Clinical Science
Session (CSS) yang berjudul “Hipertensi” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Ilmu Bagian Jantung di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Evi Supriadi, Sp. JP, (K)
FIHA yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing
penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Ilmu Bagian Jantung di
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekerangan pada referat Clinical
Science Session (CSS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan referat ini. Penulis mengharapkan semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................3
2.1 Definisi............................................................................................................3
2.2 klasifikasi.........................................................................................................3
2.3 Etiologi............................................................................................................4
2.4 Epidemiologi...................................................................................................5
2.5 Faktor Resiko...................................................................................................5
2.6 Patofisiologi.....................................................................................................8
2.7 Penegakan diagnosa.........................................................................................11
2.8 Indikasi rujukan...............................................................................................22
2.9 Penapisan Hipertensi.......................................................................................22
2.10 Tatalaksana....................................................................................................23
2.11 Komplikasi....................................................................................................33
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................37
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi adalah kondisi kronis dimana tekanan darah pada dinding arteri
meningkat. Sebagian besar konsensus atau pedoman utama baik dari dalam
maupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila
memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang.1,2 Hipertensi sebagai salah satu
faktor penting sebagai pemicu penyakit tidak menular, seperti: penyakit jantung,
stroke, ginjal dan lainnya yang saat ini menjadi momok penyebab kematian utama
di dunia.3
Berdasarkan Data World Health Organization (WHO) tahun 2015, 1 dari 3
orang di dunia menderita hipertensi dan data lainnya menyebutkan bahwa 1 dari
10 orang menderita hipertensi juga terserang diabetes. Hipertensi dapat memicu
stroke yang menyebabkan kematian hingga 51% dan memicu jantung koroner
yang menyebabkan kematian hingga 45%.4
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas, morbiditas,
dan masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Betapa tidak, hipertensi
merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer. Hal
ini tentunya menjadi permasalahan kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu
sebesar 25,8%. Disamping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun
obat-obatan yang efektif banyak tersedia.5
Sebagian besar, sekitar 90% kasus hipertensi tidak diketahui penyebabnya,
tetapi ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk
mengalami hipertensi, antara lain: gaya hidup dari penderita hipertensi itu sendiri
seperti usia, keturunan, jenis kelamin, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol,
obesitas, stres, konsumsi makanan yang mengandung garam, dan inaktivitas fisik.6
Berdasarkan penelitian dari American College of Physians meningkatnya
tekanan darah akibat gaya hidup tidak baik dapat meningkatkan faktor risiko
munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan
gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang menghentikan terapi anti
hipertensi maka lima kali lebih besar kemungkinannya terkena stroke.7
1
Penderita hipertensi yang tidak terkontrol sewaktu-waktu bisa jatuh kedalam
keadaan gawat darurat. Diperkirakan sekitar 1-8% penderita hipertensi berlanjut
menjadi “krisis hipertensi” dan banyak terjadi pada usia 30-60 tahun. Namun,
krisis hipertensi jarang ditemukan pada penderita dengan tekanan dara normal
tanpa penyebab sebelumnya. Pengobatan yang baik danteratur dapat mencegah
insiden krisis hipertensi maupun komplikasi lainnyamenjadi kurang dari 1%.8
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas penyakit hipertensi, serta
pentingnya penegakan diagnosis sedini mungkin dan penatalaksanaan adekuat dan
terkontrol, maka penulis tertarik untuk menulis refrat “Hipertensi” dan diharapkan
dapat memberikan informasi tambahan serta membantu pembaca.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hipertensi adalah kondisi kronis dimana tekanan darah pada dinding arteri
meningkat. Sebagian besar konsensus atau pedoman utama baik dari dalam
maupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila
memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg, pada pengukuran di klinik atau fasilitas pelayanan kesehatan. 1,2 Pada
umumnya, tekanan yang dianggap optimal adalah kurang dari 120 mmHg untuk
tekanan sistolik dan 80 mmHg untuk tekanan diastolik, sementara tekanan yang
dianggap hipertensi adalah lebih dari 140 mmHg untuk tekanan sistolik dan lebih
dari 90 mmHg untuk tekanan diastolik.3
2.2 Klasifikasi
Penentuan derajat hipertensi dilakukan berdasarkan rata-rata dari dua atau
lebih pengukuran tekanan darah (dalam posisi duduk) selama dua atau lebih
kunjungan pasien rawat jalan. Klasifikasi hipertensi dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut
ESC/ESH 2018 dan ACC/AHA 20179
3
Mengingat adanya perbedaan antara dua panduan internasional, PERHI memilih
untuk: 1
Tetap menggunakan TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg sebagai
definisi hipertensi dengan menyadari bahwa risiko hipertensi meningkat
hampir linear dengan peningkatan tekanan darah.
2.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi dalam dua golongan
yaitu :10
a. Hipertensi primer/hipertensi esensial
4
- Makanan : Sodium, etanol, licorice
- Obat jalanan yang mengandung bahan-bahan sebagai berikut : cocaine,
cocaine withdrawal, ephedra alkaloids,nicotine withdrawal, anabolic
steroids, narcotic withdrawal, dan ketamin.
2.4 Epidemiologi
Data hasil Riskesdas tahun 2013 mencatat penyakit tidak menular,
terutama hipertensi terjadi penurunan dari 31,7 persen tahun 2007 menjadi 25,8
persen tahun 2013. Asumsi terjadi penurunan bisa bermacam-macam mulai dari
alat pengukur tensi yang berbeda dan kemungkinan masyarakat sudah mulai
datang berobat ke fasilitas kesehatan. Jika saat ini penduduk Indonesia sebesar
252.124.458 jiwa maka terdapat 65.048.110 jiwa yang menderita hipertensi.5
5
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya
umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi
hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 57,6%, dengan
kematian sekitar di atas 65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi terutama
ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Tingginya hipertensi
sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan struktur pada
pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding
pembuluh darah menjadi lebih kaku.11,12
b. Jenis Kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, di mana pria
lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan
rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga
memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah
dibandingkan dengan wanita. Laki-laki mempunyai risiko yang lebih besar
terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. Namun, setelah memasuki
menopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Bahkan setelah usia
65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan
dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal.11,12
c. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi juga mempertinggi
risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer. Tentunya faktor
genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian
menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan
dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut
Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45%
akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita
hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya. Faktor keturunan
memang memiliki peran yang besar terhadap munculnya hipertensi. Hal
tersebut terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih
banyak terjadi pada kembar monozigot (berasal dari satu sel telur) dibanding
heterozigot (berasal dari sel telur yang berbeda).11,12
6
d. Etnis
Setiap etnis memiliki kekhasan masing-masing yang menjadi ciri khas
dan pembeda satu dengan lainnya. Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang
berkulit hitam daripada yang berkulit putih. Belum diketahui secara pasti
penyebabnya, tetapi pada orang kulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih
rendah dan sensitivitas terhadap vasopresin yang lebih besar.11
7
d. Olahraga atau aktivitas fisik
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah
dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu dengan
melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah,
tanpa perlu sampai berat badan turun.11
e. Konsumsi Alkohol Berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah
merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah.11
f. Konsumsi Garam Berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik
cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume
dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi
respon penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam.11
g. Hiperlipidemia/Hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lipid (Iemak) yang ditandai dengan
peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol Low-Density
Lipoprotein (LDL) dan/atau penurunan kadar kolesterol High-Density
Lipoprotein (HDL) dalam darah. Kolesterol merupakan faktor penting dalam
terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer
pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat.11
2.6 Patofisiologi
Tekanan darah merupakan hasil kali antara curah jantung dan tahanan
perifer. Patofisiologi dari hipertensi dapat dilihat dari gambar dibawah ini:
8
Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi12
9
renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang
terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua
aksi utama.12
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH)
dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja
pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya
ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga
menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah.12
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume
cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah.12
Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi menurut Elizabeth
J. Corwin ialah bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami
hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri
kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan
retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia
(peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan
filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.
Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan
iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi
atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering
ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di
10
tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang.12
11
tervalidasi.1
Persiapan Pasien
- Pasien harus tenang, tidak dalam keadaan cemas atau gelisah, maupun
kesakitan. Dianjurkan istirahat 5 menit sebelum pemeriksaan.
- Pasien tidak mengkonsumsi kafein maupun merokok, ataupun
melakukan aktivitas olah raga minimal 30 menit sebelum
pemeriksaan.
- Pasien tidak menggunakan obat-obatan yang mengandung stimulan
adrenergik seperti fenilefrin atau pseudoefedrin (misalnya obat flu,
obat tetes mata).
- Pasien tidak sedang menahan buang air kecil maupun buang air
besar.
- Pasien tidak mengenakan pakaian ketat terutama di bagian lengan.
- Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang dan nyaman.
- Pasien dalam keadaan diam, tidak berbicara saat pemeriksan
Spigmomanometer
- Pilihan spigmomanometer non air raksa: aneroid atau digital.
- Gunakan spigmomanometer yang telah divalidasi setiap 6-12 bulan.
- Gunakan ukuran manset yang sesuai dengan lingkar lengan
atas (LLA). Ukuran manset standar: panjang 35 cm dan lebar 12-13
cm. Gunakan ukuran yang lebih besar untuk LLA >32 cm, dan ukuran
lebih kecil untuk anak.
- Ukuran ideal: panjang balon manset 80-100% LLA, dan lebar 40%
LLA.
Posisi
- Posisi pasien: duduk, berdiri, atau berbaring (sesuai kondisi klinik).
- Pada posisi duduk:
- Gunakan meja untuk menopang lengan dan kursi bersandar untuk
meminimalisasi kontraksi otot isometrik.
- Posisi fleksi lengan bawah dengan siku setinggi jantung.
12
- Kedua kaki menyentuh lantai dan tidak disilangkan.
Prosedur
- Letakkan spigmomanometer sedemikian rupa sehingga skala sejajar
dengan mata pemeriksa, dan tidak dapat dilihat oleh pasien.
- Gunakan ukuran manset yang sesuai.
- Pasang manset sekitar 2,5 cm di atas fossa antecubital.
- Hindari pemasangan manset di atas pakaian.
- Letakan bagian bell stetoskop di atas arteri brakialis yang terletak
tepat di batas bawah manset. Bagian diafragma stetoskop juga dapat
digunakan untuk mengukur tekanan darah sebagai alternatif bell
stetoskop.
- Pompa manset sampai 180 mmHg atau 30 mmmHg setelah suara
nadi menghilang. Lepaskan udara dari manset dengan kecepatan
sedang (3mmHg/detik).
- Ukur tekanan darah 3 kali dengan selang waktu 1-2 menit. Lakukan
pengukuran tambahan bila hasil pengukuran pertama dan kedua
berbeda
>10 mmHg. Catat rerata tekanan darah, minimal dua dari hasil
pengukuran terakhir.
Catatan
13
menit.
- Palpasi nadi untuk menyingkirkan aritmia.
14
dan tidak dimasukkan dalam catatan.1
15
Profil hasil pengukuran ABPM hendaknya diinterpretasikan dengan
mengacu pada pola tidur dan aktifitas pasien. Kondisi aritmia seperti
fibrilasi atrial dan gerakan atau aktifitas berlebihan menurunkan akurasi hasil
ABPM.1
Rerata tekanan darah dari HBPM dan ABPM lebih rendah dari nilai
pengukuran tekanan darah di klinik, dan batasan tekanan darah untuk diagnosis
hipertensi sesuai dengan tabel berikut.1
16
2.7.4 Evaluasi Klinis
17
Tabel 4. Penilaian HMOD (Hypertension-mediated organ damage)
Penapisan Dasar Indikasi dan Interpretasi
EKG 12-sandapan Penapisan LVH dan gangguan kardiak lain, serta aritmia
fibrilasi atrial.
Kriteria EKG LVH:
Sokolow-LyonSV1+RV5 >35 mm, atau R di aVL
≥11 mm;
Cornell voltageSV3+RaVL >28 mm (laki-laki), >20 mm
(perempuan)
Albuminuria Protein urin kualitatif untuk deteksi kerusakan ginjal
Ultrasonografi- Doppler Evaluasi ukuran dan struktur ginjal, evaluasi aneurisma atau
abdomen dilatasi aorta abdominal, evaluasi kelenjar adrenal (CT/MRI
jika fasilitas tersedia)
Sebagai indeks kekakuan arteri dan arteriosklerosis:
PWV (pulse wave velocity Tekanan denyut (pada usia tua) >60 mmHg PWV karotis-
femoral >10 m/detik
Penapisan terdapatnya penyakit pembuluh darah tungkai
ABI (ankle-brachial (ABI<0,9)
index)
Uji fungsi kognitif Evaluasi fungsi kognitif pada pasien dengan gejala gangguan
kognitif
Pencitraan otak Evaluasi terdapatnya iskemik atau perdarahan otak, terutama
pada pasien dengan riwayat stroke atau penurunan fungsi
kognitif
18
kuantifikasi risiko PKV pada pasien hipertensi, perlu diperhitungkan efek
berbagai faktor risiko lain yang dimiliki pasien. Tabel 5 di bawah dapat
memudahkan klinisi dalam klasifikasi risiko hipertensi. Bila klasifikasi
didapatkan risiko rendah atau sedang, dapat dilanjutkan dengan stratifikasi
risiko lanjutan dengan sistem SCORE (Systematic COronary Risk
Evaluation). Pada individu dengan kategori risiko tinggi dan sangat tinggi,
hipertensi dengan komorbidnya perlu langsung diobati1
19
HMOD asimtomatik
EKG LVH:
- Sokolow-Lyon SV1+RV5 >35 mm, atau R di aVL ≥11 mm;
- Cornell voltage SV3+RaVL >28 mm (laki-laki), >20 mm (perempuan)
Kekakuan arteri:
- Tekanan nadi (pada usia tua) >60 mmHg
- PWV karotis-femoral >10 m/detik
Ekokardiografi LVH [LV mass index: laki-laki >50 g/m2.; perempuan >47 g/m2.
(tinggi dalam m2); indeks untuk LPT dipakai untuk pasien berat badan normal; LV
mass/ LPT g/m2>115 (laki-laki) dan >95 (perempuan)]
Mikroalbuminuria (30-300 mg/24 jam), atau peningkatan rasio
albumin/kreatinin (30-300 mg/g) (lebih baik urin sewaktu pagi hari)b
PGK sedang dengan dengan eLFG>30-59 ml/ menit/1,73 m2 (LPT) atau PGK
berat eLFG<30 ml/ menit/1,73 m2 b
Ankle-brachial index <0,9
Retinopati lanjut: hemoragik atau eksudat, papil edema
Adanya penyakit KV atau ginjal
Penyakit serebrovaskular: stroke iskemik, perdarahan otak, TIA
CAD: infark miokard, angina, revaskularisasi miokard 21
Ditemukannya plak atheroma pada pencitraan
Gagal jantung, termasuk HfpEF
Penyakit arteri perifer
Fibrilasi atrial
20
Hipertrofi ventrikel kiri hipertensif.
21
berlanjut terjadi kejadian serebro-kardiovaskular dan ginjal. Indikasi merujuk ke
FKTL, antara lain:1
Alternatifnya adalah
pengukuran tekanan darah
22
di klinik dilakukan
berulang
2.10 Tatalaksana
2.10.1 Tatalaksana Farmakologis
Strategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan penatalaksanaan
hipertensi saat ini adalah dengan menggunakan terapi obat kombinasi pada
sebagian besar pasien, untuk mencapai tekanan darah sesuai target. Bila tersedia
luas dan memungkinkan, maka dapat diberikan dalam bentuk pil tunggal
berkombinasi (single pill combination), dengan tujuan untuk meningkatkan
kepatuhan pasien terhadap pengobatan.1
Terdapat beberapa rekomendasi menurut JNC VIII untuk menangani
hipertensi, beberapa rekomendasi tersebut antara lain:14
Rekomendasi 1: Pada populasi umum, terapi farmakologik mulai diberikan
jika tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau jika tekanan darah diastolik
≥90 mmHg pada kelompok usia ≥60 tahun dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <150 mmHg dan tekanan darah diastolik <90
mmHg.
Rekomendasi 2: Pada kelompok usia < 60 tahun, terapi farmakologik
mulai diberikan jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target
terapi adalah tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk kelompok usia 30-
59 tahun).
Rekomendasi 3: Pada kelompok usia<60 tahun, terapi farmakologik mulai
diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target terapi
adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg.
Rekomendasi 4: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis
terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90
mmHg.
23
Rekomendasi 5: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan diabetes melitus
terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90
mmHg.
Rekomendasi 6: Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk penderita
diabetes melitus, terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide,
penghambat kanal kalsium, angiotensin-converting enzyme inhibitor
(ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB).
Rekomendasi 7: Pada populasi kulit hitam, termasuk penderita diabetes
melitus terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide atau
penghambat kanal kalsium.
Rekomendasi 8: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis
terapi antihipertensi harus menggunakan ACEI atau ARB untuk
memperbaiki outcomepada ginjal. (Terapi ini berlaku untuk semua pasien
gagal ginjal kronis dengan hipertensi tanpa memandang ras ataupun
penderita diabetes melitus atau bukan.)
Rekomendasi 9: Tujuan utama dari penanganan hipertensi adalah untuk
mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang ditargetkan. Apabila
target tekanan darah tidak tercapai setelah 1 bulan pengobatan maka dosis
obat harus ditingkatkan atau ditambahkan dengan obat lainnya dari
golongan yang sama (golongan diuretic-thiazide, CCB, ACEI, atau ARB).
Jika target tekanan darah masih belum dapat tercapai setelah menggunakan
2 macam obat maka dapat ditambahkan obat ketiga (tidak boleh
menggunakan kombinasi ACEI dan ARB bersamaan). Apabila target
tekanan darah belum tercapai setelah menggunakan obat yang berasal dari
rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi atau diperlukan >3 jenis obat
untuk mencapai target tekanan darah maka terapi antihipertensi dari
golongan yang lain dapat digunakan.
24
Gambar 4. Algoritma tatalaksana hipertensi pada dewasa menurut JNC 8.14
25
Tabel 10.Target tekanan darah klinik1
26
Gambar 7. Strategi pengobatan hipertensi dan penyakit arteri coroner1
27
Kelas Obat Dosis (mg/hari) Frekuensi per hari
Obat-obat Lini Utama
Tiazid atau thiazide-type diureticsHidroklorothiazid 25 – 50 1
Indapamide 1,25 – 2,5 1
ACE inhibitor Captopril 12,5 – 150 2 atau 3
Enalapril 5 – 40 1 atau 2
Lisinopril 10 – 40 1
Perindopril 5 – 10 1
Ramipril 2,5 – 10 1 atau 2
ARB Candesartan 8 – 32 1
Eprosartan 600 – 800 1 atau 2
Irbesartan 150 – 300 1
Losartan 50 – 100 1 atau 2
Olmesartan 20 – 40 1
Telmisartan 20 – 80 1
Valsartan 80 – 320 1
CCB - dihidropiridin Amlodipin 2,5 – 10 1
Felodipin 5 – 10 1
Nifedipin GITS 20 – 60 1
Lercanidipin 10 - 20 1
28
Propanolol LA 80 – 320 1
Beta bloker – kombinasi reseptor Carvedilol 12,5 – 50 2
alfa dan beta
Obat-obat Lini Utama
29
- Riwayat angioedema kontrasepsi
- Hiperkalemia (kalium
- >5,5 meq/L)
- Stenosis arteri renalis
bilateral
Angiotensin Receptor - Kehamilan - Perempuan usia subur tanpa
Blocker - Hiperkalemia (kalium kontrasepsi
- >5,5 meq/L)
- Stenosis arteri renalis
bilateral
30
4. Pertimbangkan monoterapi bagi pasien hipertensi derajat 1
dengan risiko rendah (TDS
<150mmHg), pasien dengan tekanan darah normal-tinggi dan
berisiko sangat tinggi, pasien usia sangat lanjut (≥80 tahun) atau
ringkih.
5. Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS blocker
(ACEi atau ARB), CCB, dan diuretik jika TD tidak terkontrol oleh
kombinasi duaobat.
6. Penambahan spironolakton untuk pengobatan hipertensi resisten,
kecuali ada kontraindikasi.
7. Penambahan obat golongan lain pada kasus tertentu bila TD
belum terkendali dengan kombinasi obat golongan di atas.
Kombinasi dua penghambat RAS tidak direkomendasikan.
2.10.2 Tatalaksana Non Farmakologis
Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan
hipertensi dan dapat mengurangi risiko kardiovaskular. Pola hidup sehat
juga dapat memperlambat ataupun mencegah kebutuhan terapi obat pada
hipertensi derajat 1, namun sebaiknya tidak menunda inisiasi terapi obat
pada pasien dengan HMOD atau risiko tinggi kardiovaskular. Pola hidup
sehat telah terbukti menurunkan tekanan darah yaitu pembatasan
konsumsi garam dan alkohol, peningkatan konsumsi sayuran dan buah,
penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal, aktivitas fisik teratur,
serta menghindari rokok.1
31
Perubahan pola makan
Pasien hipertensi disarankan untuk konsumsi makanan seimbang yang
mengandung sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk susu
rendah lemak, gandum, ikan, dan asam lemak tak jenuh (terutama minyak
zaitun), serta membatasi asupan daging merah dan asam lemak jenuh.
(IMT >25 kg/m2), dan menargetkan berat badan ideal (IMT 18,5 – 22,9
kg/ m2) dengan lingkar pinggang <90 cm pada laki-laki dan <80 cm
pada perempuan.
Olahraga teratur
Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan
pengobatan hipertensi, sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas
kardiovaskular. Olahraga teratur dengan intensitas dan durasi ringan
memiliki efek penurunan TD lebih kecil dibandingkan dengan latihan
intensitas sedang atau tinggi, sehingga pasien hipertensi disarankan
untuk berolahraga setidaknya 30 menit latihan aerobik dinamik
berintensitas sedang (seperti: berjalan, joging, bersepeda, atau berenang)
5-7 hari per minggu.
Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga
status merokok harus ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan
32
penderita hipertensi yang merokok harus diedukasi untuk berhenti
merokok
2.11 Komplikasi
1. Stroke
Stroke dapat terjadi akibat hemorargi tekanan tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi
otak mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak
yang diperdarahi berkurang. Arteri otak yang mengalami aterosklerosis dapat
melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.10
2. Infark miokard
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang aterosklerotik
tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila trombus
yang menghambat aliran darah, kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak
dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.10
3. Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan
tinggi pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran
darah ke unit fungsional ginjal, yaitu nefron akan terganggu dan dapat berlanjut
menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerulus,
protein akan keluar melalui urine sehingga tekanan osmotik kolid plasma
berkurang dan menyebabkan edema.10
4. Ensefalopati
Ensefalopati dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna (hipertensi
yang meningkat cepat dan berbahaya). Tekanan yang sangat tinggi pada
kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan
ke ruang interstisial di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya
kolaps dan terjadi koma serta kematian.10
5. Kejang
Kejang dapat terjadi pada wanita preeklampsi.10
33
6. Hipertrofi Ventrikel Kiri
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan bentuk adaptasi otot
jantung dengan cara dilatasi dan hipertrofi (penebalan) akibat peningkatan
tahanan sirkulasi. HVK biasanya diikuti abnormalitas atau pembesaran atrium
kiri. Peningkatan tekanan otot jantung yang terus menerus (kronik) akibat
tekanan darah tinggi menyebabkan kompensasi dari otot jatung agar tetap bisa
mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Karena adanya pengingkatan tahanan
akibat hipertensi, jantung membutuhkan energi ekstra untuk memompa darah.
Sebagai gantinya otot jantung akan mengalami dilatasi dan penebalan sehingga
menimbulkan HVK.10
Perubahan yang terjadi pada sel otot jantung meliputi peningkatan
ukuran dari sel-sel otot jantung dan perubahan matriks kolagen perivaskuler
yang akan menyebabkan kekakuan pada otot jantung. Kekakuan otot jantung
akan menyebabkan gangguan pada relaksasi diastolic yang dapat menyebabkan
turunnya CJ dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan aliran darah.
Pada kondisi hipertensi, HVK meningkatkan resiko stroke, penyakit jantung
iskemik, dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan pada fungsi jantung.10
7. Penyakit jantung koroner, infark miokard dan Angina
Kondisi hipertensi akan meningkatkan pembentukan plak aterosklerotik
yang menjadi salah satu penyebab disfungsi endotel yang kemudian akan
berkembang menjadi penyakit jantung koroner bila pembentukan plak ateros
terjadi di arteri koronaria jantung. Penyakit jantung kororner akan
mengakibatkan iskemik otot jantung yang disebabkan oleh karena penyempitan
atau oklusi arteri koroner akibat aterosklerosis yang menghambat aliran darah.
Aterosklerosis yang ruptur merupakan penyebab infark miokard.10
Iskemik otot jantung juga dapat terjadi akibat remodeling dari arteri
koroner. Pada kondisi hipertensi terjadi hipertrofi pada sel-sel otot jantung
namun tidak diikuti penambahan sirkulasi koroner yang memadai sehingga
densitas kapiler menurun, dan karena ada pembesaran sel-sel otot jantung,
jarak antar kapiler bertambah yang akan memperparah iskemia pada otot
34
jantung. Kejadian iskemik miokard akan memberikan manifestasi klinis berupa
angina pectoris.10
BAB III
KESIMPULAN
35
sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas
normal. Faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu
faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, riwayat keluarga,
dan faktor genetik. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi tergantung dari
gaya hidup pasien.
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskuler dan ginjal. Berdasarkan rekomendasi PERHI 2020
terget penurunan tekanan darah dilihat dari umur dan komorbid pasien. Terapi
untuk hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu terapi farmakologis dan terapi non
farmakologis. Terapi non farmakologis antara lain mengurangi asupan garam,
olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan, dapat dimulai
sebelum atau bersama-sama dengan obat farmakologi. Untuk terapi farmakologi
beberapa golongan obat yang dapat dipakai antara lain ACE inhibitor, angiotensin
receptor blocker, beta blocker, penghambat kanal kalsium, dan diuretik tipe
thiazide. Penggunaan obat antihipertensi dapat dikombinasikan ataupun dengan
menaikkan dosis obat secara bertahap sampai mencapai target tekanan darah.
DAFTAR PUSTAKA
36
2. Weber, M.A., Schiffrin, E.L., White, W.B., Mann, S., Lindholm, L.H.,
Kenerson, J.G., dkk. Clinical practice guidelines for the management of
hypertension in the community: a statement by the american society of
hypertension and the international society of hypertension. Journal of
Clinical Hypertension. 2014;14–26.
3. Perki. Pedoman tatalaksana hipertensi pada penyakit kardiovaskular.
Jakarta; 2015.
4. World Health Organization. Global status report on noncommunicable
disease. WHO; 2015.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan nasional riset
kesehatan dasar. Jakarta: Pusat penelitian pengembangan kesehatan; 2013.
6. Stephany, Emerita. Hubungan pola makan gaya hidup dan indeks massa
tubuh dengan hipertensi pada pra lansia dan lansia di Posbindu Kelurah
Depok Jaya Tahun 2012. (Skripsi). Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia; 2012.
7. Aris, Sugiharto. Faktor-faktor risiko hipertensi grade II pada masyarakat.
(Disertasi). Semarang: Universitas Diponegoro; 2012.
8. Aronow, Willbert. Treatment of hypertensive emergencies. PMC; 2017.
9. George, Waleed, Gianfranco. ACC/AHA versus ESC guidelines. JACC;
2019.
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
11. Aris, Sugiharto. Faktor-faktor risiko hipertensi grade II pada masyarakat.
(Disertasi). Semarang: Universitas Diponegoro; 2012.
12. Nuraini Bianti. Risk Factors Of Hypertension, Universitas Lampung. 2015
13. Unger T, Borghi C, Charchar F, Khan NA, Poulter NR, Prabhakaran D, et
al. 2020 International Society of Hypertension Global Hypertension
Practice Guidelines. Hypertension. 2020;75(6):1334–57.
14. Muhadi. JNC 8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi
Dewasa Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta,
Indonesia. CDK-236/ vol. 43 no. 1, th. 2016
37