Anda di halaman 1dari 25

Bed Side Teaching (BST)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A219129/September 2021

** Pembimbing/dr. Imelda Christina, Sp.JP, FIHA

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Zevia Adeka Rhamona, S.Ked* dr. Imelda Christina, Sp.JP, FIHA **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN KARDIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
HALAMAN PENGESAHAN

BED SIDE TEACHING (BST)

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Disusun oleh:

Zevia Adeka Rhamona, S.Ked

G1A219129

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN KARDIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

pada September 2021

PEMBIMBING

dr.Imelda Christina, Sp.JP, FIHA


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Bed Side Teaching (BST) dalam
bentuk referat yang berjudul “Penyakit jantung rematik” sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Kardiologi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Imelda Christina, Sp.JP, FIHA


yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Kardiologi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan kasusini,


sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.
Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pembaca.

Jambi, September 2021

Zevia Adeka Rhamona, S.Ked


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................

KATA PENGANTAR.............................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN........................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................


2.1. Definisi...............................................................................................
2.2 Epidemiologi......................................................................................
2.3 Etiologi dan Faktor resiko..................................................................
2.4 Manifestasi klinis ...............................................................................
2.5 Diagnosa ............................................................................................
2.6 Penatalaksanaan .................................................................................
2.7 Komplikasi .........................................................................................
2.8 Prognosis............................................................................................
BAB III KESIMPULAN.........................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang


menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit initerutama mengenai
katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspidal dan tidak pernah
menyerang katup pulmonal. Setiap tahunnya rata-rata ditemukan 55 kasus dengan
demam reumatik akut (DRA) dan PJR. Diperkirakan prevalensi PJR di Indonesia
sebesar 0,3-0,8 anak sekolah 5-15 tahun.1

Penyakit jantung reumatik merupakan komplikasi yang paling serius dari


demam reumatik. Sebanyak 39% pasien dengan demam reumatik akut akan
berkembang menjadi pankarditis dengan berbagai derajat disertai insufisiensi katup,
gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Pada PJR kronik pasien dapat
mengalami stenosis katup dengan berbagai derajat regurgitasi, dilatasi atrium,
aritmia, dan disfungsi ventrikel.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Jantung Reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang
menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini terutama mengenai
katup mitral (75%), aorta (24%), jarang mengenai katup trikuspidal (1%) dan tidak
pernah menyerang katup pulmonal. Menurut Afif.A (2008), PJRa dalah penyakit
jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang
ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung.3
Definisi lain juga mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari demamreumatik,
yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi
streptococcus betahemolyticus grup A pada saluran nafas bagian atas.4 5
2.2 Epidemiologi
DR dapat ditemukan di seluruh dunia dan mengenai semua umur, tetapi 90%
dari serangan pertama terjadi pada umur 5-15 tahun, sedangkan yang terjadi di bawah
umur 5 tahun jarang sekali. Sebuah penelitian melaporkan bahwa DR adalah
penyebab utama penyakit jantung untuk anak usia 5-30 tahun, DR dan PJR adalah
penyebab utama kematian akibatpenyakit jantung untuk usia di bawah 45 tahun,
selain itu dilaporkan bahwa 25-40% penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk
semua umur.3

Ditemukan perempuan lebih sering mengalami PJR dibandingkan laki-


laki dengan perbandingan 7:1. PJR kronis diperkirakan terjadi pada 5-30 juta anak-
anak dan orang dewasa muda; 90.000 orang meninggal karena penyakit ini setiap
tahun. Angka kematian dari penyakit ini masih 1-10%.1
Adapun menurut WHO, PJR menyumbangkan 12-65% kasus penyakit
jantung pada anak-anak yang memerlukan perawatan intensif di rumah sakit di
seluruh dunia dengan 2-9,9% kasus tersebut berada di Asia.4

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik.


Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi
setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor
predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi
endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan
perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling
banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan
katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.

Beberapa faktor predisposisi lain yang berperan pada penyakit ini adalah
keadaan sosial ekonomi yang rendah, kepadatan penduduk, golongan etnik tertentu,
faktor genetik, golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca
lembab dan perubahan suhu yang mendadak.6
2.4 Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit
supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas
dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut.
Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring
menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan
demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.4 Pasien masih tetap
terinfeksi selama berminggu- minggu setelah gejala faringitis menghilang,
sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau
melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis
Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan atau
mengaktifkan kembali demam rematik.7
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari
60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.5
Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan
katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan
berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar
(jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis. 7
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang
berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,
faktor host dan faktor sistem imun.7

Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme


penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini
sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini
memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility
complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang
apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis
rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik
Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga
menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan
hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif. 6 Antibodi
yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk
menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh
ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki
struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host yang akan
mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.7
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1)
Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun
tidak identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat
atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan
cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi
reseptor permukaan.7
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari
reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan
lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M
yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti
protein M.

Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat,


Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan
katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular. 7
Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan
peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi
memiliki potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker
menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II
berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart
disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam kontrol
imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen pada
reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan humoral.
Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan
rheumatic
heart disease pada lesi-lesi valvular.7
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan
verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung.
Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang dan meninggalkan
jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan terbentuk didekat
veruccae yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan
ikut mengalami kerusakan.7
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65-
70% kasus).4 Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan
korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena
peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan
membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah.
Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti
dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung
lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.7
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup
aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke
ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri.11 Di sisi lain,
dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang
terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari.
Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan
hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang
selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan. 7
2.5 Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever
menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever
bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat
tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.
a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok
1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak
menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik,
seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis,
kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri
dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.7
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah
kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi
motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.7

b. Pemeriksaan Fisik
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria
ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.7

Tabel 2.1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever

Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis Klinis :
Poliartritis migrans
- artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak

- demam tinggi (>390 C)


Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum
- peningkatan penanda peradangan yaitu erythrocyte
Nodul subkutan
sedimentation rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah

Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)

- Kultur hapusan tenggorok atau

- Rapid test antigen streptococcus beta hemolyticus grup A hasilnya positif


- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.
- Demam scarlet yang baru tejadi1,81,8

-Kriteria Mayor
Karditis

Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi
setelah poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan
perikarditis. Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-
sedang, rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk
dan ortopnea. Pada pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan
murmur dan takikardia yang tidak sesuai dengan tingginya demam.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup jantung dapat
dilihat pada tabel 2.7

Tabel 2.2 Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang


Timbul7
Gangguan Manifestasi
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
 Regurgitasi Mitral
- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung
- Murmur mid-diastolik (carrey coombs
murmur) di apeks
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
- Bising diastolik di ICS II kanan/kiri, menyebar
 Regurgitasi aorta ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar (sistolik tinggi,
sedangkan diastolik sangat rendah bahkan
hingga 0 mmHg)
- Aktivitas ventrikel kiri negatif
 Stenosis mitral
- Bising diastolik di daerah apeks, dengan S1
mengeras

Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang
parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena
jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer.7
Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup,
suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium
dan tamponade perikardium yang mengancam.7

Poliartritis Migrans

Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang
semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling
sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku,
dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam
sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien
dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga
minggu.7

Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance

Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan
setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan
keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus
kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai
tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih
labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak
bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat
dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.7
Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi
kurang dari 10% kasus. 12 Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang
kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok
seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.7

Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak
pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan persendian
kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas kolumna
vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu
setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini
selalu menyertai karditis rematik yang berat. 7
- Kriteria Minor

Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3

minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda

objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai. Artralgia biasa

melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada pemeriksaan darah

umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada rheumatic

fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai perkembangan penyakit. 7

c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :

a. Pemeriksaan Laboratorium
- Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase
akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-
reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap
darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada
rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan
congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator
dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP
yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif. 7
- Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A
secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.4
- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan
adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan
akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai
meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah
infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada
dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai

puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak
prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah. 7
- Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya
streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala
rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.7

b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi

Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan


kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR
yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik. 7
c. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan karditis
ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada
rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi
mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi
annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero-
lateral. 7
d. Dasar Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan Kriteria Jones (Revisi 1992).
Ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria
minor, ditambah dengan bukti infeksi streptokokus Grup A tenggorokan positif
+ peningkatan titer antibodi streptokokus.9
Tabel 2.3. Kriteria Jones untuk penegakan diagnosis DR/PJR.9
Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis Klinis :
Poliartritis migrans
- artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak

- demam tinggi (>390 C)


Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum
- peningkatan penanda peradangan yaitu erythrocyte
Nodul subkutan
sedimentation rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau

- Rapid test antigen streptococcus beta hemolyticus grup A hasilnya positif


- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.
- Demam scarlet yang baru tejadi1,8

Pada tahun 2015, AHA membuat revisi kriteria Jones untuk diagnosis
demam rematik akut berdasarkan populasi, yaitu kriteria diagnosis untuk
populasi dengan resiko rendah dan kriteria diagnosis untuk populasi dengan
risiko rendah dan kriteria diagnosis untuk ppopulasi dengan risiko sedang dan
tingg
Tabel 2.4 Revisi Kriteria Jones sesuai AHA 2015.
Diagnosis : Initial ARF 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor +
2 kriteria minor
Diagnosis : Recurrent ARF 2 kriteria mayor atau 1 mayor + 2 minor
atau 3 minor
Kriteria mayor
Populasi risiko rendah Populasi risiko sedang-tinggi
 Karditis (klinis/subklinis)  Karditis (klinis/subklinis)
 Hanya poliartritis  Monoartritis atau poliartritis,
 Chorea poliartralgia
 Eritema marginatum  Chorea
 Nodul subkutan  Eritema marginatum
 Nodul subkutan
Kriteria minor
Populasi risiko rendah Populasi risiko sedang-tinggi
 Poliartralgia  Monoartralgia
 Demam (≥ 38,5 C)  Demam (≥ 38,5 C)
 LED ≥ 60 mm dalam 1  LED ≥ 30 mm dalam 1 jam
jam pertama dan/atau pertama dan/atau CRP ≥ 3,0
CRP ≥ 3,0 mg/dL mg/dL
 Interval PR memanjang  Interval PR memanjang (durasi
(durasi interval sesuai interval sesuai usia, kecuali
usia, kecuali karditis karditis adalah kriteria mayor)
adalah kriteria mayor)
p
ARF : Acute Rhematic Fever
Populasi risiko rendah yakni populasi dengan prevalensi ≤ 1 per 1000
populasi per tahun pada seluruh usia, atau ≤ 2 per 100.000 anak usia sekolah.

2.6 Penatalaksanaan

Pengobatan terhadap Demam Rematik ditunjukkan pada 3 hal yaitu: 1)


Pencegahan primer pada saat serangan Demam Rematik. 2) Pencegahan
sekunder Demam Rematik. 3) Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti
tirah baring, penggunaan antiinflamasi, dan penatalaksanaan gagal jantung.10

Pencegahan primer bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada


saat serangan DR dan diberikan pada fase awal serangan. Jenis antibiotika, dosis
dan frekuensi pemberiannya dapat dilihat pada tabel. Pencegahan sekunder DR
bertujuan untuk mencegah serangan ulang DR, karena serangan ulang dapat
memperberat kerusakan katup-katup jantung dan dapat menyebabkan kecacatan
dan kerusakan katup jantung. Jenis antibiotikayang digunakan dapat dilihat pada
tabel dan durasi pencegahan sekunder dapat dilihat pada tabel.10

Pada serangan DR sering didapati gejala yang menyertainya seperti gagal


jantung. Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan antiinflamasi
perlu diberikan pada penderita DR dengan manifestasi mayor karditis dan artritis.
Petunjuk mengenai tirah baring dan danambulasi dapat dilihat pada tabel dan
penggunaan antiinflamasi dapat dilihat pada lampiran. Pada penderita DR dengan
gagal jantung perlu diberikan diuretika, restriksi cairan dan garam. Penggunaan
digoksin pada penderita DR masih kontroversi karena resiko intoksikasi dan
aritmia.10

Penderita Penyakit Jantung Rematik tanpa gejala tidak memerlukan terapi.


Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan memerlukan terapi medik
untuk mengatasi keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi
surgikal atau intervensi invasif. Tetapi terapi surgikal dan intervensi ini masih
terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang relatif mahal dan memerlukan
follow up jangka panjang.10
Tabel 2.5 Pencegahan Primer dan Sekunder Demam Rematik.10

Cara Jenis antibiotik Dosis Frekuensi


pemberian
Pencegahan pengobatan faringitis uutuk
primer terhadap streptokokus mencegah
serangan primer demam rematik
Intramuskular Benzatin 1,2 juta unit Satu kali
Penisilin G 600.000 Unit untuk
BB < 27 kg
Oral Penisilin V 250 mg/400.000 4 kali sehari
unit selama 10 hari
Eritromisin 40 mg/kgBB/hari 3-4 kali sehari
(jangan lebih dari 1 selama 10 hari
gr/hari)
Pencegahan pencegahan berulangnya demam rematik
sekunder

Intramuskular Benzatin 1,2 juta unit Setiap 3-4


Mingu
Penisilin G

Oral Penisilin V 250 mg 2 kali sehari


Sulfadiazin 500 mg 1 kali sehari

*Tetrasiklin dan sulfa tidak boleh diberikan


Tabel 2.6 Durasi Pencegahan Sekunder Demam Rematik.10

Kategori Durasi

Demam rematik dengan karditis Sekurang-kurangnya 10 tahun


dan kelainan menetap * sejak episode yang terakhir
sampai 40 tahun dan kadang-
kadang seumur hidup

Demam rematik dengan karditis 10 tahun atau sampai dewasa, bisa


tanpa kelainan katup yang menetap lebih lama.
*

Demam rematik tanpa karditis 5 tahun atau sampai usia 21 tahun

*Klinis atau ekokardiografi

Tabel 2.7 Petunjuk Tirah Baring dan Ambulasi10

Hanya Karditis Karditis Karditis

artritis minimal sedang berat

Tirah 2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-4 bulan


baring
Ambulasi 1-2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan
dalam
rumah
Ambulasi 2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan
luar
Aktivitas Setelah 4-6 Setelah 6-10 Setelah 3-6 Bervariasi
penuh minggu minggu bulan
Prednison 0 0 2-4 minggu * 2-6 minggu*
Aspirin 1-2 2-4 minggu* 6-8 minggu 2-4 bulan
minggu

Dosis: Prednison 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis

Aspirin100 mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis

* Dosis prednison ditapperingdanaspirin dimulai selama mingguakhir.

+ Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kgBB/hari setelah 2 minggu


pengobatan.

b. Diet

Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali
pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi.
Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.10

c. Pembedahan

Pembedahan mungkin diperlukan jika telah terjadi gagal jantung yang


menetap atau semakin memburuk meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif
untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi
katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pasien
yang simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup
yang berat, juga memerlukan tindakan intervensi.10

a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak
memungkinkan, perlu dilakukan operasi.10
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut
(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic
heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi
untuk reparasi atau penggantian katup.10
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi
lebih banyak dikerjakan.10
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau
kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian
katup.10
2.7 Komplikasi
Komplikasi potensial yaitu gagal jantung akibat insufisiensi atau stenosis katup
jantung. Komplikasi lainnya seperti aritmia, edema paru, emboli paru, infektif
endokarditis, pembentukan trombus intrakranial dan emboli sistemik.11
2.8 Prognosis

Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami


kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode
awal.Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar.
Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan awal, namun
risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar.10

Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu.


Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa
serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic
fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.10
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang


menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya.Diagnosis ditegakkan berdasarkan
Kriteria Jones (Revisi 1992). Ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1
kriteria mayor + 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti infeksi streptokokus Grup A
tenggorokan positif + peningkatantiter antibodi streptokokus.

Pengobatan terhadap Demam Rematik ditunjukkan pada 3 hal yaitu: 1)


Pencegahan primer pada saat serangan Demam Rematik. 2) Pencegahan sekunder
Demam Rematik. 3) Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring,
penggunaan antiinflamasi, dan penatalaksanaan gagal jantung. Pasien dengan riwayat
rheumatic fever berisiko tinggi mengalami kekambuhan. Resiko kekambuhan
tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode awal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Julius W. Penyakit Jantung Reumatik.J Medula Unila.2016


2. Chin TK. Pediatric Rheumatic Heart Disease. Medscape. 2017 [Online], accessed
03 august 2021, available from : http://emedicine.medscape.com/article/891897-
overview

3. N. Jayaprasad. Heart Failure in Children.Heart Views. 2016 doi: 10.4103/1995-


705X.192556
4. Sucipto, N.I. Referat Gagal Jantung Pada Anak. SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soebandi Jember. 2011
5. Leman, S. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Dalam Setiati S
Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta : Interna Publishing. 2014
6. Sika-Paotonu D., Beaton A., Raghu A, et al. Acute Rheumatic Fever and
Rheumatic Heart Disease. National Center for Biotechnology information. 2017.
7. Indra, P.M. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung Rematik. Bagian/SMF Ilmu
Penyakit dalam RSUP Sanglah Denpasar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana;
1-17. 2018

8. Alsagaff Hood, Mukty H.Abdul. Pneumonia. Dasar– Dasar Ilmu Penyakit


Paru. Surabaya :Airlangga University Press. Hal ; 193-7 Indra, P.M. 2018. Tinjauan
Pustaka Penyakit Jantung Rematik. Bagian/SMF Ilmu Penyakit dalam RSUP Sanglah
Denpasar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 1-17. 2008.
9. Afif, A. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan Indonesia.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Disertasi [Article on the Internet]
2018. [cited on 03 August 2021]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/75010.

Anda mungkin juga menyukai