UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun oleh:
G1A219129
UNIVERSITAS JAMBI
PEMBIMBING
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Bed Side Teaching (BST) dalam
bentuk referat yang berjudul “Penyakit jantung rematik” sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Kardiologi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Penyakit Jantung Reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang
menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini terutama mengenai
katup mitral (75%), aorta (24%), jarang mengenai katup trikuspidal (1%) dan tidak
pernah menyerang katup pulmonal. Menurut Afif.A (2008), PJRa dalah penyakit
jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang
ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung.3
Definisi lain juga mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari demamreumatik,
yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi
streptococcus betahemolyticus grup A pada saluran nafas bagian atas.4 5
2.2 Epidemiologi
DR dapat ditemukan di seluruh dunia dan mengenai semua umur, tetapi 90%
dari serangan pertama terjadi pada umur 5-15 tahun, sedangkan yang terjadi di bawah
umur 5 tahun jarang sekali. Sebuah penelitian melaporkan bahwa DR adalah
penyebab utama penyakit jantung untuk anak usia 5-30 tahun, DR dan PJR adalah
penyebab utama kematian akibatpenyakit jantung untuk usia di bawah 45 tahun,
selain itu dilaporkan bahwa 25-40% penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk
semua umur.3
Beberapa faktor predisposisi lain yang berperan pada penyakit ini adalah
keadaan sosial ekonomi yang rendah, kepadatan penduduk, golongan etnik tertentu,
faktor genetik, golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca
lembab dan perubahan suhu yang mendadak.6
2.4 Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit
supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas
dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut.
Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring
menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan
demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.4 Pasien masih tetap
terinfeksi selama berminggu- minggu setelah gejala faringitis menghilang,
sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau
melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis
Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan atau
mengaktifkan kembali demam rematik.7
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari
60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.5
Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan
katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan
berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar
(jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis. 7
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang
berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,
faktor host dan faktor sistem imun.7
b. Pemeriksaan Fisik
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria
ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.7
Tabel 2.1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever
Karditis Klinis :
Poliartritis migrans
- artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
-Kriteria Mayor
Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi
setelah poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan
perikarditis. Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-
sedang, rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk
dan ortopnea. Pada pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan
murmur dan takikardia yang tidak sesuai dengan tingginya demam.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup jantung dapat
dilihat pada tabel 2.7
Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang
parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena
jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer.7
Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup,
suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium
dan tamponade perikardium yang mengancam.7
Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang
semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling
sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku,
dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam
sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien
dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga
minggu.7
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan
setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan
keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus
kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai
tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih
labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak
bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat
dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.7
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi
kurang dari 10% kasus. 12 Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang
kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok
seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.7
Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak
pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan persendian
kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas kolumna
vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu
setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini
selalu menyertai karditis rematik yang berat. 7
- Kriteria Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3
minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda
objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai. Artralgia biasa
melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada pemeriksaan darah
umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada rheumatic
c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase
akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-
reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap
darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada
rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan
congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator
dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP
yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif. 7
- Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A
secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.4
- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan
adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan
akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai
meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah
infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada
dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai
puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak
prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah. 7
- Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya
streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala
rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.7
Karditis Klinis :
Poliartritis migrans
- artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak
Pada tahun 2015, AHA membuat revisi kriteria Jones untuk diagnosis
demam rematik akut berdasarkan populasi, yaitu kriteria diagnosis untuk
populasi dengan resiko rendah dan kriteria diagnosis untuk populasi dengan
risiko rendah dan kriteria diagnosis untuk ppopulasi dengan risiko sedang dan
tingg
Tabel 2.4 Revisi Kriteria Jones sesuai AHA 2015.
Diagnosis : Initial ARF 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor +
2 kriteria minor
Diagnosis : Recurrent ARF 2 kriteria mayor atau 1 mayor + 2 minor
atau 3 minor
Kriteria mayor
Populasi risiko rendah Populasi risiko sedang-tinggi
Karditis (klinis/subklinis) Karditis (klinis/subklinis)
Hanya poliartritis Monoartritis atau poliartritis,
Chorea poliartralgia
Eritema marginatum Chorea
Nodul subkutan Eritema marginatum
Nodul subkutan
Kriteria minor
Populasi risiko rendah Populasi risiko sedang-tinggi
Poliartralgia Monoartralgia
Demam (≥ 38,5 C) Demam (≥ 38,5 C)
LED ≥ 60 mm dalam 1 LED ≥ 30 mm dalam 1 jam
jam pertama dan/atau pertama dan/atau CRP ≥ 3,0
CRP ≥ 3,0 mg/dL mg/dL
Interval PR memanjang Interval PR memanjang (durasi
(durasi interval sesuai interval sesuai usia, kecuali
usia, kecuali karditis karditis adalah kriteria mayor)
adalah kriteria mayor)
p
ARF : Acute Rhematic Fever
Populasi risiko rendah yakni populasi dengan prevalensi ≤ 1 per 1000
populasi per tahun pada seluruh usia, atau ≤ 2 per 100.000 anak usia sekolah.
2.6 Penatalaksanaan
Kategori Durasi
b. Diet
Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali
pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi.
Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.10
c. Pembedahan
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak
memungkinkan, perlu dilakukan operasi.10
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut
(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic
heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi
untuk reparasi atau penggantian katup.10
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi
lebih banyak dikerjakan.10
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau
kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian
katup.10
2.7 Komplikasi
Komplikasi potensial yaitu gagal jantung akibat insufisiensi atau stenosis katup
jantung. Komplikasi lainnya seperti aritmia, edema paru, emboli paru, infektif
endokarditis, pembentukan trombus intrakranial dan emboli sistemik.11
2.8 Prognosis