Anda di halaman 1dari 36

REFERAT/CLINICALSCIENCESESSION(CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior Mei 2021


** Pembimbing dr. Tumpak Saragih, Sp.KJ

Hubungan Depresi saat Kehamilan dengan Kejadian Autisme

Disusun Oleh:

Wulan Sudaryani, S.Ked G1A219070


Siska Geralda, S.Ked G1A219072
Zevia Adeka Rhamona, S.Ked G1A219129
Aldi Kusuma, S.Ked G1A220092

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA RSJD JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

Hubungan Depresi Saat Kehamilan dengan Kejadian Autisme

DISUSUN OLEH

Wulan Sudaryani, S.Ked


Siska Geralda, S.Ked
Zevia Adeka Rhamona, S.Ked
Aldi Kusuma, S.Ked

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Psikiatri di Rumah Sakit Jiwa Jambi Program Studi Profesi Dokter
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Mei 2021

PEMBIMBING

dr. Tumpak Saragih, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Clinical Science Session (CSS) ini dengan judul ―Hubungan Depresi saat
Kehamilan dengan Kejadian Autisme”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas
Bagian Ilmu Psikiatri di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Tumpak Saragih, Sp.KJ selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga laporan Clinical Science Session (CSS) ini dapat
terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan Clinical Science Session (CSS) ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan Clinical Science Session (CSS) ini dapat
bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Mei 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................iv
BAB I
PENDAULUAN .............................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................1
1.2 Tinjauan Penelitian ....................................................................................1
1.3 Metode Penulisan .......................................................................................2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................3
2.1 Depresi pada Ibu Hamil..............................................................................3
2.1.1 Definisi Depresi ......................................................................................3
2.1.2 Epidemiologi ...........................................................................................3
2.1.3 Etiologi ...................................................................................................4
2.1.4 Faktor Resiko ..........................................................................................7
2.1.5 Klasifikasi................................................................................................7
2.1.6 Patofisiologi.............................................................................................10
2.1.7 Screening ................................................................................................11
2.1.8 Dampak Depresi pada Ibu Hamil ...........................................................13
2.1.9 Tatalaksana .............................................................................................14
2.2 Autism Spectrum Disorders (ASD) ...........................................................16
2.2.1 Definisi ...................................................................................................16
2.2.2 Epidemiologi ...........................................................................................16
2.2.3 Etiologi ...................................................................................................16
2.2.4 Patofisiologi ............................................................................................17
2.2.5 Gejala-Gejala pada Anak Autism ...........................................................17

iv
2.2.6 Klasifikasi Autism ..................................................................................19
2.2.7 Diagnosis ................................................................................................20
2.2.8 Tatalaksa..................................................................................................22
2.2.9 Prognosis..................................................................................................25
2.3 Hubungan Depresi saat Kehamilan dengan Kejadian Autisme..................25
BAB III
KESIMPULAN...............................................................................................27
3.1 Kesimpulan ................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................28

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Depresi merupakan gangguan mood yang muncul pada 1 dari 4 wanita
yang sedang hamil dan hal ini bukan sesuatu yang istimewa. Insidens gangguan
jiwa pada kehamilan sebenarnya lebih rendah dibanding post partum dan di luar
kehamilan. Post partum 10-15%, diluar kehamilan 2-7%. Namun, sebuah
peneliian melaporkan bahwa 10% wanita hamil memenuhi syarat mengalami
depresi mayor dan minor.1
Penelitian menunjukkan bahwa keturunan ibu yang mengalami tingkat
stres selama kehamilan lebih mungkin memiliki masalah dalam perkembangan
neurobehavioral. Sejumlah besar studi prospektif telah menunjukkan bahwa stres
ibu pranatal (PNMS) meningkatkan risiko pada keturunan untuk perilaku masa
kanak-kanak dan masalah emosional, keterlambatan bahasa, masalah kognitif, dan
kemudian gangguan onset seperti skizofrenia.2
Gangguan spektrum autistik (ASD) dan gangguan perhatian defisit
hiperaktif (ADHD) adalah kondisi neurodevelopmental seumur hidup yang
dimulai pada anak usia dini dan lebih sering mempengaruhi laki-laki daripada
perempuan. Empat penelitian telah mengeksplorasi hubungan antara stress
maternal dan autisme.3 Di antara faktor lingkungan, paparan stres ibu selama
kehamilan mungkin menjadi faktor penting dalam autisme. Disfungsi kekebalan
ibu juga telah menjadi salah satu faktor non-genetik paling kuat yang terkait
dengan ASD.
Identifikasi faktor risiko untuk ASD dan ADHD adalah tujuan penting
untuk penelitian kesehatan mental anak dan untuk psikologi perkembangan.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara PNMS
dengan sifat autis dan perilaku ADHD, dan apakah PNMS merupakan etiologi
yang dapat menjelaskan tingginya angka kejadian sifat autistik dan perilaku
ADHD.

1
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk :
a. Memberikan pengetahuan mengenai hubungan depresi saat kehamilan
dengan autism
b. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran
khususnya di bagian Ilmu Kesehatan Jiwa.
c. Memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Jambi.

1.3 Metode Penulisan


Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu
pada beberapa literature.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi pada Ibu Hamil


2.1.1 Definisi Depresi
Depresi adalah gangguan mental umum yang menyajikan dengan
mood depresi, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau
rendah diri, tidur terganggu atau nafsu makan, energi rendah, dan hilang
konsentrasi. Masalah ini dapat menjadi kronis atau berulang dan
menyebabkan gangguan besar dalam kemampuan individu untuk
mengurus tanggung jawab sehari-harinya. Episode depresi biasanya
berlangsung selama 6 hingga 9 bulan, tetapi pada 15-20% penderita bisa
berlangsung selama 2 tahun atau lebih. Depresi merupakan gangguan
mood yang muncul pada 1 dari 4 wanita yang sedang hamil dan hal ini
bukan sesuatu yang istimewa. Penyakit ini selalu melanda mereka yang
sedang hamil, tetapi sering dari mereka tidak pernah menyadari depresi ini
karena mereka menganggap kejadian ini merupakan hal yang lumrah
terjadi pada Ibu hamil, padahal jika tidak ditangani dengan baik dapat
mempengaruhi bayi yang dikandung Ibu.4,5
Depresi selama kehamilan merupakan gangguan mood yang sama s
eperti halnya pada depresi yang terjadi pada orang awam secara umum, di
mana pada kejadian depresi akan terjadi perubahan kimiawi pada otak. De
presi juga dapat dikarenakan adanya perubahan hormon yang berdampak
mempengaruhi mood Ibu sehingga Ibu merasa kesal, jenuh atau sedih. Sel
ain itu, gangguan tidur yang kerap terjadi menjelang proses kelahiran juga
mempengaruhi Ibu karena letih dan kulit muka menjadi kusam.5

2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi kejadian depresi pada masa kehamilan berbeda-beda pa
da setiap studi dan pada setiap trimester kehamilan. Pada trimester pertama
prevalensi kejadian depresi sekitar 7,4%. Sedangkan pada trimester kedua,
angka prevalensi kejadian depresi meningkat hingga 12,8% dan pada trim
ester ketiga berkisar pada 12%. Perbedaan antara trimester pertama dengan
trimester kedua serta ketiga ini disebabkan oleh karena kecenderungan wa

3
nita hamil yang mengalami depresi baru mulai mencari bantuan medis sete
lah masuk trimester kedua, sehingga prevalensi kejadian depresi pada trim
ester pertama lebih kecil. Dari studi diperoleh data bahwa angka kejadian
depresi pada wanita hamil dan wanita dewasa yang tidak hamil tidak jauh
berbeda.6,7,8

2.1.3. Etiologi
1. Faktor Genetik
Penelitian pada keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan
gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak
kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga
tersebut. Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di
dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan
genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak
mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik
kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan
mood pada sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan
bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat
berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat
pertama.9
2. Faktor Biokimia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam
metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin,
serotonin dan dopamine. Penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor
neurotransmitter yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain
yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif,
regulasi neurendokrin dan neuroanatomis. 10
Regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh
adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Selain
itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood
adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan
prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH

4
(Follicle Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan
kadar testosteron pada laki-laki.9
Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:
a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin pada r
eseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui kadang-kadang me
nimbulkan depresi lambat.
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun dalam u
rin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan meningkat
di saat mereka gembira.
b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-hidroxitriptamin (5
HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat (5HIAA) menurun dalam
LCS pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-
Triptofan, yang mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak.9
3. Faktor Hormon
Depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan kegagalan
menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien depresi
resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal ini didapatkan
pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan depresi bipolar, waham
dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga.
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum
menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal
ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan faktor
penting dalam menentukan etiologi.9
4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama
hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna.
Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan kurang
bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang, energetik dan
lebih ramah dari rata-rata. Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa
melihat dirinya dan dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka
mengalami stres besar, mereka cenderung akan mengalami depresi. Para

5
psikolog menyatakan bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif
mempunyai riwayat pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan
dirinya. Mereka belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika
menghadapi masalah psikologik maka respon mereka meniru perasaan, pikiran
dan perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses adaptif dan
maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di
keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya.9
5. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha ses
eorang mengatasi masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepa
da kita mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada an
ggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana
pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka
anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gan
gguan depresif. Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih
banyak peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuask
an dan mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan pertama depresi di
dahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada seran
gan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak yang kehi
langan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya.
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan
tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan
krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringka
li kombinasi faktor biologik, psikologik dan lingkungan merupakan campuran
yang membuat gangguan depresif muncul.
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood daripada episode selanjutnya. Satu teori yang diajukan untuk
menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang menyertai episode
pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan
yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan perubahan keadaan fungsional
berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir
dari perubahan tersebut akan menyebabkan seseorang berada pada resiko yang

6
lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan
tanpa adanya stresor external.9

2.1.4 Faktor Resiko Kejadian Depresi Pada Masa Kehamilan


Faktor resiko untuk kejadian depresi pada masa kehamilan antara lain:6,7,8
1. riwayat gangguan depresi atau gangguan bipolar atau gangguan cemas
sebelum kehamilan, baik pada riwayat pribadi maupun riwayat kesehatan
mental keluarga,
2. ketakutan terhadap kelahiran bayi,
3. kurangnya dukungan sosial,
4. kehamilan yang tidak diinginkan,
5. status ekonomi rendah,
6. riwayat kekerasan dalam rumah tangga, termasuk hubungan pernikahan yang
kurang harmonis (pada masa kehamilan ataupun pada masa kanak-kanak),
7. wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal,
8. usia pada saat hamil kurang dari 20 tahun (usia remaja) atau usia pada saat
hamil mendekati masa menopause,
9. wanita perokok,
10. wanita hamil yang memiliki lebih dari 3 orang anak,
11. kejadian buruk yang menimpa wanita mendekati masa kehamilannya
(kematian orang dekat).
Dari studi didapatkan bahwa dari 511.938 wanita hamil, 0,8% mengal
ami episode depresi mayor selama kehamilan, dimana 46,9% memiliki riw
ayat gangguan depresi sebelum hamil. Sehingga riwayat gangguan depresi
sebelum hamil menjadi faktor resiko terbesar untuk munculnya episode de
presi mayor pada masa kehamilan. Selain itu faktor resiko kedua terbesar d
ari kejadian depresi pada masa kehamilan ini adalah rasa ketakutan wanita
hamil terhadap kelahiran bayi yang mereka kandung.8,13,14

2.1.5 Klasifikasi Depresi.15


Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adala
h sebagai
berikut:
 Gejala utama ( pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
7
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja ) dan menurunnya aktivita
s.
 Gejala Lainnya :
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan psimistik
5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh dir
i
6) Tidur terganggu
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diper
lukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, ak
an tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa berat
nya dan berlangsung cepat. Kategori diagnosis episode depresif ringan (F3
2.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode dep
resif tunggal (yang pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifika
sikan dibawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-).

 Pedoman Diagnostik
F32.0 Episode Depresif Ringan
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut diatas
- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: 1) sampai
dengan 2).
- Tidak boleh ada gejala berat diantaranya.
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar
2 minggu.
- Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukannya.
F32.1 Episode Depresif Sedang

8
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
pada episode depresi ringan.
- Ditambah 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
- Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik

- Semua 3 gejala utama depresi harus ada.


- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
di antaranya harus berintensitas berat.
- Bila ada gejala penting ( misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal
demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan.
- Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangkurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat
cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam
kurun waktu kurang dari 2 minggu.
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang
sangat terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik

- Episode depresif berat yang memenuhi kriteri menurut F32.2


tersebut diatas.
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham
malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung
jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju
stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan
sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

9
2.1.6 Patofisiologi
1. Teori Psikoanalisa tentang Depresi
Potensi depresi muncul pada awal masa kanak-kanak. Pada fase
oral anak mungkin kurang atau terlalu terpenuhi kebutuhannya, sehingga
ia terfiksasi pada fase ini mengakibatkan individu dependen, low self-
esteem. Hipotesanya adalah,
setelah kehilangan orang yang dicintai, ia mengidentifikasi diri dengan orang
tersebut seolah untuk mencegah kehilangan. Lama-lama ia malah marah pada
dirinya sendiri, merasa bersalah. Teori ini merupakan dasar pandangan
psikodinamika yang diterima secara luas menganggap depresi sebagai kemarahan
yang terpendam yang balik menyerang diri sendiri.
2. Teori Behavioral tentang Depresi
Teori behavioral berasumsi bahwa depresi dihasilkan dari
ketidakseimbangan antara output perilaku dan input reinforcement yang
berasal dari lingkungan. Kurangnya penguat untuk usaha seseorang dapat
menurunkan motivasi dan menyebabkan perasaan depresi.12
3. Teori Humanistik-Eksistansial tentang Depresi
Teori eksistansial memfokuskan kehilangan harga diri sebagai
penyebab depresi utama. Kehilangan harga diri dapat nyata atau simbolik,
misal kehilangan kekuasaan, status sosial atau uang. Teori humanistik
menekankan perbedaan diri seseorang dengan keadaan yang nyata sebagai
sumber depresi dan kecemasan. Menurut pandangan ini, depresi terjadi
jika perbedaan antara ideal self dan kenyataan terlalu besar.12
4. Teori Biologi
Berdasarkan teori biologi ada dua penyebab yang mempengaruhi
depresi, yaitu genetik dan perubahan pada neurokimia. Adapun faktor
neurokimia adalah faktor neurotransmitter.11
Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua
neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan
suasana hati. a) Norepinefrin: hubungan yang dinyatakan oleh penelitian

10
ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor b-adrenergik dan respon
antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem
noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti lainnya yang juga melibatkan
presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak reseptor-reseptor
tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan juniah norepinefrin yang
dilepaskan Presipnatik reseptor adrenergic juga berlokasi di neuron
serotonergic dan mengatur jumiah serotin yang dilepaskan. b) Serotonin:
dengan diketahui banyaknya efek spesifik serotonin re-uptake inhibator
(SSRI), contoh; fluoxetin dalam pengobatan depresi, menjadikan serotonin
neurotransmitter biogenik amin yang paling sering dihubungkan dengan
depresi, c) Dopamine: walaupun norepinefrin dan serotonin adalah
biogenik amin, dopamine juga sering berhubungan dengan patofisiologi
depresi, d) Faktor neurokimia lainnya: GABA dan neuroaktif peptide
(terutama vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan dalam
patofisiologi gangguan suasana hati.11
Faktor neuroendokrin. Hypothalamus adalah pusat regulasi
neuroendokrin dan menerimarangsangan neuronal yang menggunakan
neurotransmitter biogenic
amin. Bermacam-macam disregulasi endokrin dijumpai pada pasien gangguan
suasana hati.11
Faktor Neuroanatomi: Beberapa peneliti menyatakan hipotesisnya,
bahwa gangguan suasana hati melibatkan patologik dan sistem limbik,
ganglia basalis dan hypothalamus.11
Penyebab yang kedua yaitu genetik. Data genetik menyatakan
bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan perbahan
suasana hati, yaitu pada penelitian anak kembar tentang depresi, pada
kembar monozigot sebesar 50 persen sedangkan pada kembar dizigot 10 -
15 persen. Meskipun terdapat beberapa pendekatan tentang depresi, namun
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian depresi dengan
pendekatan kognitif dari Aaron Beck, yang menyatakan balwa depresi
disebabkan oleh adanya distorsi kognitif atau pemikiran yang irasional.11

2.1.7 Screening Depresi Pada Masa Kehamilan

11
Wanita hamil harus discreening untuk mengetahui adanya depresi
pada masa kehamilan. Waktu untuk melakukan screening ini selama masa
kehamilan adalah:14
1. Pre-konsepsi: pada masa ini harus digali informasi mengenai riwayat kesehatan
mental dan pengobatan gangguan menta personal dan keluarga .
2. Pregnancy (selama masa kehamilan): ketika kunjungan pertama pemeriksaan a
ntenatal
3. Postpartum: selama masa kunjungan postnatal pada minggu ke 4 atau ke 6 dan
bulan ke 3 atau ke 4 postpartum.
Alat screening depresi yang dapat digunakan selama masa kehamil
an dan postpartum adalah:
1. Skala Depresi Postnatal Edinburg (Edinburg Postnatal Depression Scale)
Telah tervalidasi untuk digunakan pada masa kehamilan maupun masa p
ostpartum. Skala Depresi Postanatal Edinburg (Edinburgh Postnatal Depr
ession Scale/EPDS) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1987 pada pub
likasi British Journal of Psychiatry. Pada Alat screening ini terdapat 10 pe
rtanyaan dan wanita yang hamil yang mendapat skor 10 atau di atas 10 dic
urigai sangat besar mengalami gangguan depresi dan bila skor di atas 13 m
aka diasumsikan bahwa wanita tersebut telah mengalami depresi (sensitivit
as 0,50 dan spesifisitas 0,90). Kuisioner ini menilai tanda dari gejala depre
si yang berhubungan dengan gangguan mood, bukan menilai gejala fisik y
ang muncul akibat dari gangguan depresi yang juga dapat muncul pada wa
nita hamil yang tidak mengalami depresi.11

12
Gambar1. Skala Depresi Postnatal Edinburg
2. Screening Depresi selama Kehamilan (Screening for Depression during
Pregnancy) oleh National Institute for Health and Clinical Excellence
Pertanyaan dari Institut Nasional untuk Kesehatan dan Klinis Excel
lence:4
1. Selama satu bulan sebelumnya, apakah Anda pernah merasa terganggu oleh per
asaan diri rendah, depresi, atau perasaan putus asa?

13
2. Selama satu bulan sebelumnya, apakah Anda pernah terganggu dengan rasa me
miliki minat untuk melakukan sesuatu yang hanya sedikit atau hanya memiliki sed
ikit rasa kesenangan dalam melakukan sesuatu?
3. Jika jawaban untuk pertanyaan kedua adalah "ya," tanyakan "Apakah hal ini me
rupakan sesuatu yang menurut Anda perlu dibantu untuk diatasi?"
Alat screening bukan alat untuk mengkonfirmasi diagnosa depresi
pada masa kehamilan, melainkan untuk mengidentifikasi pasien yang mem
butuhkan penilaian lebih lanjut dan pasien rentan terhadap kejadian depres
i.11

2.1.8 Dampak Depresi Terhadap Kehamilan


Efek dari depresi terhadap kehamilan dan janin kemungkinan akiba
t secara langsung dari subtract neurobiloigis depresi seperti glukokortikoid
yang melewati sawar plasenta, atau janin dapat dipengaruhi secara tidak la
ngsung oleh depresi melalui mekanisme neuroendokrin yang dimodulasi ol
eh depresi. Efek tidak langsung ini diperkirakan berhubungan dengan hipe
raktivitas dari aksis putuitari-adrenal (pituitary-adrenal axis), yang mengin
duksi hipersekresi faktor pelepasan kortikotropin (corticotropin-releasing
factor) oleh plasenta yang dapat meningkatkan kontraktilitas miometrium,
sehingga dapat berujung pada persalinan preterm atau kematian janin/kegu
guran. Depresi juga dapat menyebabkan terjadinya pelepasan hormon vaso
aktif yang dapat memicu kejadian hipertensi dalam kehamilan, sehingga d
apat berujung kepada kejadian pre-eklampsia. Depresi juga dapat menyeba
bkan dampak tidak langsung terhadap janin melalui perilaku kesehatan yan
g buruk oleh wanita hamil, seperti pola makan yang buruk dan peningkata
n berat badan selama kehamilan yang tidak adekuat, pola tidur yang buruk
atau terganggu, penggunaan obat-obat yang dijual bebas secara berlebihan
atau konsumsi alkohol, rokok, serta kafein yang berlebihan. Terhadap jani
n, selain keguguran atau persalinan preterm, kejadian depresi juga dapat m
enyebabkan berat lahir rendah pada bayi, gangguan pertumbuhan janin (pe
rtumbuhan badan dan kepala)/intrauterine growth retardation (IUGR), sert
a dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada anak. Pada kesehat
an mental wanita hamil, depresi dapat menyebabkan gejala vegetatif, keing
inan untuk melukai diri, keinginan bunuh diri, atau bahkan dapat menyeba

14
bkan kejadian psikosis pada ibu. Kejadian depresi pada kehamilan ini juga
diperkirakan merupakan penyebab utama dari kejadi depresi postpartum. 6,1
3

2.1.9 Tatalaksana Depresi Pada Masa Kehamilan


Tatalaksana dari depresi dalam kehamilan terdiri dari modalitas no
nfarmakologis dan modalitas farmakologis.7,13
1. Modalitas Nonfarmakologis
a. Psikoterapi Interpersonal dan Terapi Kognitif
Studi menunjukkan bahwa penggunaan psikoterapi interpersonal
merupakan pilihan yang efektif dalam mentalaksanai kejadian depresi
pada masa kehamilan dan merupakan pilihan yang baik bagi pasien yang
ingin menghindari penggunaan antidepresan atau pada mereka yang sering
mengalami kekambuhan depresi akibat penggunaan antidepresan yang
ti/dak adekuat.7,13
Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku yang berko
ntribusi terhadap kejadian depresi. Psikoterapi interpersonal bertujuan untuk meni
ngkatkan nilai faktor-faktor interpersonal, seperti kurangnya keterampilan sosial,
yang berkontribusi terhadap kejadian depresi. Kedua terapi perilaku kognitif dan p
sikoterapi interpersonal diberikan dalam kurun waktu 6 sampai 12 minggu yang te
rdiri dari 1-jam sesi setiap kali pertemuan, telah terbukti efektif dalam mengobati
depresi.7
b. Terapi elektrokonvulsif (Electroconvulsive Teraphy)
Terapi elektrokonvulsif dilakukan apabila ditemukan kasus depresi
yang berat atau depresi dikaitkan dengan kemunculan gejala psikotik. Dari
penelitian ditemukan bahwa kejadian efek samping dari penggunaan elektr
okonvulsi pada pengobatan depresi pada masa kehamilan ini sangat kecil,
efek samping berupa kelahiran prematur ataupun kejadian ketuban pecah d
ini muncul dalam proporsi yang sangat rendah. Pemantauan yang adekuat
diperlukan untuk meminimalkan resiko yang mungkin ditimbulkan dari pe
nggunaan terapi elektrokonvulsif ini.4,8
2. Modalitas Farmakologis
Angka kejadian malformasi kongenital adalah sekitar 1-3%, diman
a waktu potensial yang paling besar untuk terjadi proses teratogenik akibat

15
penggunaan obat antidepresan ini muncul pada 12 minggu pertama dari m
asa kehamilan, karena hampir sebagian besar proses organogenesis terjadi
pada periode waktu ini. Gambaran keamanan penggunaan obat antidepresa
n pada wanita hamil dapat dilihat pada tabel berikut.7,13,16

2.2. Autism Spectrum Disorder (ASD)


2.2.1. Definisi
Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkanpada tahun 1943 oleh Leo
Kanner,seorangpsikiater dari John Hopkins University yangmenangani
sekelompok anak-anak yang mengalamikelainan sosial yang berat, hambatan
komunikasidan masalah perilaku.Anak-anak ini menunjukkansifat menarik diri
(withdrawal), membisu, denganaktivitasrepetitif dan stereotipik serta
senantiasamemalingkan pandangannya dari orang lain.4 Padatahun 1971, kelainan
autistik dibedakan darischizophrenia. Individu dengan autisme
dianggapmempunyai salah satu dari sekelompok kelainanperkembangan fungsi
otak yang mengakibatkanberbagai macam kelainan perilaku yang secarakolektif

16
digolongkan pada pervasive developmentaldisorder (PPD) di dalam diagnostic
and statisticalmanual of mental disorders (DSM-IV).17

2.2.2. Epidemiologi
Menurut CDC, autisme terdapat pada 1 dari 166 kelahiran. Berdasa
rkan statistik Departemen pendidikan Amerika Serikat angka pertumbuhan
autisme adalah 10-27 persen per tahun. National Institute of Mental Health
Amerika (NIMH) memperkirakan antara 2 dan 6 per 1000 orang menderita
autisme. Insiden autisme konsisten di seluruh dunia tapi prevalen laki-laki
empat kali lebih besar daripadapada perempuan.18,19

2.2.3. Etiologi
Penyebab autisme adalah multifaktorial. Faktor genetik maupun lin
gkungan diduga mempunyai peranan yang signifikan. Sebuah studi menge
mukakan bahwa apabila 1 keluarga memiliki 1 anak autis maka risiko untu
k memiliki anak kedua dengan kelainan yang sama mencapai 5%, risiko ya
ng lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Di lain pihak, lingku
ngan diduga pula berpengaruh karena ditemukan pada orang tua maupun a
nggota keluarga lain dari penderita autistik menunjukkan kerusakan ringan
dalam kemampuan sosial dan komunikasi atau mempunyai kebiasaan yang
repetitif. Akan tetapi penyebab secara pasti belum dapat dibuktikan secara
empiris.18

2.2.4. Patofisiologi
Saat ini telah diketahui bahwa autisme merupakan suatu gangguan
perkembangan, yaitu suatu gangguan terhadap cara otak berkembang. Aki
bat perkembangan otak yang salah maka jaringan otak tidak mampu meng
atur pengamatan dan gerakan, belajar dan merasakan serta fungsi-fungsi vi
tal dalam tubuh.20
Penelitian post-mortem menunjukkan adanya abnormalitas di daera
h-daerah yang berbeda pada otak anak-anak dan orang dewasa penyandang
autisme yang berbeda-beda pula. Pada beberapa bagian dijumpai adanya a
bnormalitas berupa substansia grisea yang walaupun volumenya sama sepe
rti anak normal tetapi mengandung lebih sedikit neuron.20

17
Kimia otak yang paling jelas dijumpai abnormal kadarnya pada ana
k dengan autis adalah serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu sebaga
i neurotransmiter yang bekerja sebagai pengantar sinyal di sel-sel saraf. An
ak-anak penyandang autism dijumpai 30-50% mempunyai kadar serotonin
tinggi dalam darah. Perkembangan norepinefrine (NE), dopamin (DA), da
n 5-HT juga mengalami gangguan.18

2.2.5. Gejala-gejala Pada Anak Autis


Gejala yang sering muncul pada anak autis adalah munculnya peril
aku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Me
reka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertan
trum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, terta
wa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas. Di samping gejala itu anak a
utis juga cenderung tidak memperdulikan lingkungan, dan orang-orang ya
ng ada di lingkungannya. Seolah-olah menolak berkomunikasi dan berinter
aksi, serta seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Secara khusus gejal
a yang tampak dari perilaku hiperaktif adalah:
a. Tidak ada perhatian.
Ketidakmampuan memusatkan perhatian/ketidakmampuan berkonsentrasi
pada beberapa hal seperti membaca, menyimak pelajaran dan sering tidak
mendengarkan perkataan orang lain.
b. Destruktif.
Perilakunya bersifat destruktif atau merusak. Ketika menyusun lego
misalnya, anak aktif akan menyelesaikannya dengan baik sampai lego
tersusun rapi. Sebaliknya anak hiperaktif bukan menyelesaikannya malah
menghancurkan mainan lego yang sudah tersusun rapi. Terhadap barang-
barang yang ada di rumah, seperti vas atau pajangan lain, kecenderungan
anak untuk menghancurkannya juga sangat besar. Oleh karena itu, anak
hiperaktif sebaiknya dijauhkan dari barang-barang yang mudah dipegang
dan mudah rusak.
c. Menentang.
Anak dengan gangguan hiperaktivitas umumnya memiliki sikap
penentang, pembangkang atau tidak mau mengikuti peraturan. Misalnya,
penderita akan marah jika dilarang berlari ke sana kemari, coret-coret atau

18
naik-turun tak mau berhenti. Dan penolakannya juga bias dalam bentuk
cuek.
d. Impulsif.
Sulit untuk menunggu giliran dalam permainan, sulit mengatur
pekerjaannya, bertindak tanpa dipikir, misalnya mengejar bola yang lari ke
jalan raya, menabrak pot bunga pada waktu berlari di ruangan, atau
berbicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu akibatnya.
e. Tanpa tujuan.
Semua aktivitas dilakukan tanpa tujuan jelas. Kalau anak aktif, ketika naik
ke atas kursi punya tujuan, misalnya ingin mengambil mainan atau
bermain peran sebagai Superman. Anak hiperaktif melakukannya tanpa
tujuan. Dia hanya naik dan turun kursi saja.
f. Hiperaktif.
Mempunyai terlalu banyak energi, misalnya berbicara terusmenerus, tidak
mampu duduk diam, selalu bergerak, dan sulit tidur.
g. Tidak sabar dan usil.
Yang bersangkutan juga tidak memiliki sifat sabar. Ketika bermain dia
tidak mau menunggu giliran. Tak hanya itu, anak hiperaktif pun seringkali
mengusili temannya tanpa alasan yang jelas. Misalnya, tiba-tiba memukul,
mendorong, menimpuk, dan sebagainya meskipun tidak ada pemicu yang
harus membuat anak melakukan hal seperti itu.21

2.2.6. Klasifikasi Autisme


Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasark
an gejalanya. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism Ra
ting Scale (CARS). Skala ini menilai derajat kemampuan anak untuk berin
teraksi dengan orang lain, melakukan imitasi, memberi respon emosi, peng
gunaan tubuh dan objek, adaptasi terhadap perubahan, memberikan respon
visual, pendengaran, pengecap, penciuman dan sentuhan. Selain itu, Child
hood Autism Rating Scale juga menilai derajat kemampuan anak dalam pe
rilaku takut/gelisah melakukan komunikasi verbal dan non verbal, aktivitas,
konsistensi respon intelektual serta penampilan menyeluruh. Pengklasifik
asiannya adalah sebagai berikut :
a. Autis ringan

19
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata wala
upun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit res
pon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan
dalam berkomunikasi secara dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.
Tindakan-tindakan yang dilakukan masih bisa dikendalikan dan dikontrol
dengan mudah. Karena biasanya perilaku ini dilakukan masih sesekali saja,
sehingga masih bisa dengan mudah untuk mengendalikannya.
b. Autis sedang
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata, nam
un tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif a
tau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang ste
reotipik cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikenda
likan.
c. Autis berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan
yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kep
alanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus-menerus tanpa henti. Ke
tika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon
dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada dipelukan orang tu
anya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti
setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur. Kondisi yang lainny
a yaitu, anak terus berlarian didalam rumah sambil menabrakkan tubuhnya
ke dinding tanpa henti hingga larut malam, keringat sudah bercucuran di s
ekujur tubuhnya, anak terlihat sudah sangat kelelahan dan tak berdaya. Tet
api masih terus berlari sambil menangis. Seperti ingin berhenti, tapi tidak
mampu karena semua diluar kontrolnya. Hingga akhirnya anak terduduk d
an tertidur kelelahan. klasifikasi anak dengan kebutuhan khususnya (Speci
al Needs) adalah :
a) Autisme infantile atau autisme masa kanak-kanak
Tatalaksana dalam pengenalan ciri-ciri anak autis diatas 5 tahun usia in
i. Perkembangan otak anak akan sangat melambat. Usia paling ideal ad
alah 2-3 tahun, karena pada usia ini perkembangan otak anak berada pa
da tahap paling cepat.
b) Sindroma Aspeger

20
Sindroma Aspeger mirip dengan autisme infantile, dalam hal kurang in
teraksi sosial. Tetapi mereka masih mampu berkomunikasi cukup baik.
Anak sering memperlihatkan perilakunya yang tidak wajar dan minat y
angterbatas.
c) Attention Deficit Hiperactive Disorder atau (ADHD)
ADHD dapat diterjemahkan dengan Gangguan Pemusatan Perhatian da
n Hiperaktivitas atau GPPH. Hiperaktivitas adalah perilaku motorik ya
ng Berlebihan.
d) Anak “Giftred”
Anak Giftred adalah anak dengan intelegensi yang mirip dengan
intelegensi yang super atau genius, namun memiliki gejala-gejala
perilaku yang mirip dengan autisme. Dengan intelegensi yang jauh
diatas normal, perilaku mereka seringkali terkesan aneh.

2.2.7. Diagnosis
Ada beberapa instrumen screening untuk autisme:
1. CARS rating system (Childhood Autism Rating Scale), dikembangkan ole
h Eric Schopler pada awal 1970an, berdasarkan pengamatan terhadap peril
aku. Di dalamnya terdapat 15 nilai skala yang mengandung penilaian terha
dap hubungan anak dengan orang, penggunaan tubuh, adaptasi terhadap pe
rubahan, respon pendengaran, dan komunikasi verbal.
2. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT) digunakan untuk screening autis
me pada usia 18 bulan. Dikembangkan oleh Simon Baron-Cohen pada awa
l 1990an untuk melihat apakah autisme dapat terdeteksi pada anak umur 1
8 bukan. alat screening ini menggunakan kuesioner yang terbagi 2 sesi, sat
u melalui penilaian orang tua, yang lain melalui penilaian dokter yang men
angani.
3. Autism Screening Questionnaire adalah 40 poin skala skreening yang telah
digunakan untuk anak usia 4 tahun ke atas untuk mengevaluasi kemampua
n berkomunikasi dan fungsi sosialnya. Adapun untuk menegakkan diagnos
is autisme dapat digunakan kriteria diagnostic menurut DSM IV, seperti ya
ng tertera dibawah ini.22

A. Harus ada 6 gejala atau lebih dari 1, 2 dan 3 di bawah ini:

21
a) Gangguan kualitatif dari interaksi sosial (minimal 2 gejala)
• Gangguan pada beberapa kebiasaan nonverbal seperti kontak mata,
ekspresi wajah, postur tubuh, sikap tubuh dan pengaturan interaksi
social
• Kegagalan membina hubungan yang sesuai dengan tingkat
perkembangannya
• Tidak ada usaha spontan membagi kesenangan, ketertarikan, ataupun
keberhasilan dengan orang lain (tidak ada usaha menunjukkan, memba
wa, atau menunjukkan barang yang ia tertarik)
• Tidak ada timbal balik sosial maupun emosional

b) Gangguan kualitatif dari komunikasi (minimal 1 gejala) :


• Keterlambatan atau tidak adanya perkembangan bahasa yang
diucapkan (tidak disertai dengan mimik ataupun sikap tubuh yang
merupakan usaha alternatif untuk kompensasi)
• Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup. terdapat
kegagalan dalam kemampuan berinisiatif maupun mempertahankan
percakapan dengan orang lain.
• Penggunaan bahasa yang meniru atau repetitif atau bahasa idiosinkrasi
• Tidak adanya variasu dan usaha untuk permainan imitasi social sesuai
dengan tingkat perkembangan

c) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku,


minat dan aktivitas (minimal 1 gejala)
• Kesibukan (preokupasi) dengan satu atau lebih pola ketertarikan
stereotipik yang abnormal baik dalam hal intensitas maupun focus
• Tampak terikan kepada rutinitas maupun ritual spesifik yang tidak
berguna
• Kebiasaan motorik yang stereotipik dan repetitif (misalnya
mengibaskan atau memutar-mutar tangan atau jari, atau gerakan tubuh
yang kompleks)
• Preokupasi persisten dengan bagian dari suatu obyek

22
B. Keterlambatan atau fungsi yang abnormal tersebut terjadi sebelum umur 3
tahun, dengan adanya gangguan dalam 3 bidang yaitu: interaksi sosial; pen
ggunaan bahasa untuk komunikasi sosial; bermain simbol atau imajinasi.
C. Kelainan tersebut bukan disebabkan oleh penyakit Rett atau gangguan
disintegratif (sindrom Heller)

2.2.8 Penatalaksanaan.19
Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semu
a disiplin ilmu yang terkait: tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog,
dokter rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga pendidik, psikolog, ahli t
erapi bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi pada autis adalah
untuk mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar
dan perkembangannya terutama dalam penguasaan bahasa. Dengan deteksi
sedini mungkin dan dilakukan manajemen multidisiplin yang sesuai yang t
epat waktu, diharapkan dapat tercapai hasil yang optimal dari perkembang
an anak dengan autisme. Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi du
a yaitu non medikamentosa dan medika mentosa.
1. Non medikamentosa
a. Terapi edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampila
n sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode penganj
aran antara lain metode TEACHC (Treatment and Education of Autistic a
nd related Communication Handicapped Children) metode ini merupakan
suatu programyang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasi
kal yang individual,metode pengajaran yang sistematik terjadwal dan dala
m ruang kelas yang ditatakhusus.
b.Terapi perilaku
Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun
metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin yan
g dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak dipakai
adalah ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana keberhasilannya sangat
tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan (terbaik sekitar usia 2– 5 tahu
n).

23
c. Terapi wicara
Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan, men
gingat tidak semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi secara v
erbal. Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif dengan tera
pi-terapi yang lain.
d. Terapi okupasi/fisik
Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat melak
ukangerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan teratur
sesuaikebutuhan saat itu.
e. Sensori integrasi
Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerak
an, sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)untuk me
nghasilkan respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada otak me
nerima informasi mengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya, sehin
gga diharapkan semua gangguan akan dapat teratasi.
f. AIT (Auditory Integration Training)
Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang menggang
gupendengaran dengan audimeter. Lalu diikuti dengan seri terapi yangmen
dengarkan suara-suara yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara yang
10 menyakitkan. Selanjutnya dilakukan desentisasi terhadap suara-suara y
ang menyakitkan tersebut.
g. Intervensi keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga
baikperlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapat
tercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan da
pat bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga yan
g dapat berinteraksi satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling me
ndukung. Oleh karena itu pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan m
anajemen terapi menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya
sulit sekali kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan a
utisme.

2. Medikamentosa

24
Individu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana yang tega
ng bagi
lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau terapisnya. Kondisi ini serin
gkali memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang mempunyai potensi unt
uk mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan bersama-sama dengan intervensi edu
kational, perilaku dan sosial.
a) Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen terbaikadal
ahdengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik tapi dapat juga dengan ago
nis alfa adrenergik dan antagonis reseptor beta sebagai alternatif.
• Neuroleptik
• Neuroleptik tipikal potensi rendah-Thioridazin-dapat menurunkan
agresifitas dan agitasi.
• Neuroleptik tipikal potensi tinggi-Haloperidol-dapat
menurunkanagresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotipik.
• Neuroleptik atipikal-Risperidon-akan tampak perbaikan dalamhubungan
sosial, atensi dan absesif.
• Agonis reseptor alfa adrenergik
• Klonidin, dilaporkan dapat menurunkan agresifitas, impulsifitas dan
hiperaktifitas.
• Beta adrenergik blocker
• Propanolol dipakai dalam mengatasi agresifitas terutama yang disertai
dengan agitasi dan anxietas.
b) Jika perilaku repetitif menjadi target terapi
Neuroleptik (Risperidon) dan SSRI dapat dipakai untuk mengatasi
perilaku
stereotipik seperti melukai diri sendiri, resisten terhadap perubahan
hal-hal
rutin dan ritual obsesif dengan anxietas tinggi.
c) Jika inatensi menjadi target terapi Methylphenidat (Ritalin, Concerta) dapa
t meningkatkan atensi dan mengurangi destruksibilitas.
d) Jika insomnia menjadi target terapi Dyphenhidramine (Benadryl) dan neur
oleptik (Tioridazin) dapat mengatasi keluhan ini.
e) Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama Ganguan metabolisme
yang sering terjadi meliputi gangguan pencernaan, alergi makanan, ganggu

25
an kekebalan tubuh, keracunan logam berat yang terjadi akibat ketidak ma
mpuan anak-anak ini untuk membuang racun dari dalam tubuhnya. Interve
nsi biomedis dilakukan setelah hasil tes laboratorium diperoleh. Semua ga
ngguan metabolisme yang ada diperbaiki dengan obatobatan maupun peng
aturan diet.22

2.2.9. Prognosis
Intervensi dini yang tepat dan perogram pendidikan terspesialisasi
serta
pelayanan pendukung mempengaruhi hasil pada penderita autisme. Autisme tidak
fatal dan tidak mempengaruhi harapan hidup normal. Penderita autis yang didetek
si dini serta langsung mendapat perawatan dapat hidup mandiri tergantung dari jen
is gangguan autistik apa yang diderita dan berapa umurnya saat terdeteksi dan dita
ngani sebagai penderita autis

2.3. Hubungan Depresi saat Kehamilan dengan Kejadian Autisme

Satu investigasi secara retrospektif menganalisis waktu stres ibu da


lam sampel yang terdiri dari anak-anak dengan autisme, sindrom Down da
n kelompok kontrol.23 Ditemukan bahwa ibu dengan anak autis melaporka
n lebih banyak stresor selama kehamilan daripada kelompok sindrom Dow
n, dan kedua kelompok melaporkan lebih banyak stresor daripada kelomp
ok kontrol. Namun, seperti yang diakui penulis, sifat retrospektif penelitia
n ini tidak memperhitungkan kemungkinan bias kelompok saat melaporka
n penyebab stres masa lalu. Selain itu, anak autis yang ibunya mengalami
stres selama kehamilan ringan cenderung kurang bahasa dibandingkan me
reka yang menderita selama awal atau akhir kehamilan. Waktu stres juga t
elah menjadi fokus penelitian lain24, yang menggunakan serangkaian badai
yang mempengaruhi Louisiana antara 1985 dan 1995 sebagai percobaan al
ami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehamilan tengah dan akhir bis
a menjadi periode kehamilan yang sensitif di mana stres berat dapat memp
engaruhi prevalensi gangguan autistik. Sebuah penyelidikan prospektif me
laporkan hubungan antara stresor non-spesifik dan sifat autistik pada ana
k-anak berusia 2 tahun, meskipun tidak termasuk data tentang tingkat kepa
rahan atau waktu penyebab stres.24 Di sisi lain, penelitian terbaru tidak me

26
nemukan hubungan yang signifikan antara kehilangan kerabat dekat selam
a kehamilan dan autisme pada keturunannya. Namun, pekerjaan ini tidak
mengukur keadaan emosi ibu selama kehamilan25, yang mungkin terkait d
engan peningkatan risiko autisme.26
Telah diusulkan bahwa Prenatal Stress memiliki efek pemrograman
dalam sumbu HPA, mengubahnya sebagai respon adaptif prediktif untuk
lingkungan pasca-kelahiran.27 Mekanisme pasti yang digunakan untuk
menyampaikan isyarat lingkungan ini masih dipelajari, tetapi bukti
menunjukkan bahwa hal itu ditandai oleh hormon, terutama
glukokortikoid.
Glukokortikoid biasanya disekresikan sebagai respons terhadap stresor.
Konsentrasi glukokortikoid yang berlebihan dapat memiliki efek merusak
pada organisme yang sedang berkembang28,29 dan secara permanen dapat
mempengaruhi ekspresi reseptor Glukokortikoid30 ,yang penting untuk
sirkuit umpan balik negatif yang menghambat sekresi Glukokortikoid.31
11ß-HSD2 atau Placental 11ß-Hydroxy Steroid Dehydrogenase Type
II, adalah enzim yang ada di dalam plasenta yang melindungi janin dari
kortisol, mengubahnya menjadi kortison.28 Jumlah kecemasan yang tinggi
selama kehamilan dapat mengganggu fungsi pelindung plasenta32,
menyebabkan janin terpapar kortisol dalam jumlah yang berlebihan dan
berpotensi merusak.
Perlu dicatat bahwa pemrograman sumbu HPA sebagai respons
terhadap lingkungan yang dianggap bermusuhan atau berbahaya, pada
prinsipnya merupakan respons adaptif. Efek negatif dari stres antenatal
mungkin berasal dari ketidaksesuaian antara kehidupan awal dan
lingkungan dewasa mengingat bahwa organisme mengalami modifikasi
yang tidak lagi relevan dan mungkin maladaptif dengan kondisi kehidupan
aktual individu dewasa.33

27
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Depresi merupakan gangguan mood yang muncul pada 1 dari 4 wanita
yang sedang hamil dan hal ini bukan sesuatu yang istimewa. Insidens gang
guan jiwa pada kehamilan sebenarnya lebih rendah dibanding post partum
dan di luar kehamilan. Post partum 10-15%, diluar kehamilan 2-7%. Namu
n, sebuah penelitian melaporkan bahwa 10% wanita hamil memenuhi syar
at mengalami depresi mayor dan minor.
Depresi selama kehamilan yang tinggi telah secara konsisten dikaitkan
dengan peluang lebih tinggi untuk mengekspresikan ADHD dan pada
tingkat yang lebih rendah, autisme. Depresi selama kehamilan
mengganggu perkembangan, karena telah dikaitkan dengan gangguan
kecerdasan dan keterampilan bahasa. Efek ini tampak lebih jelas ketika
depresi terjadi selama awal dan pertengahan kehamilan. Depresi selama
kehamilan juga dapat meningkatkan masalah perilaku dan emosional pada
keturunannya.
Prognosis baik jika dilakukan intervensi dini yang tepat dan perogram
pendidikan terspesialisasi sertapelayanan pendukung mempengaruhi hasil
pada penderita autisme. Autisme tidak fatal dan tidak mempengaruhi harap
an hidup normal.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. W. Lam R, Mok H. Depression Oxford Psychiatry Library. Lunbeck


Institutes. 2000. p. 1-57.
2. Sadock, Benjamin James,et al. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition Lippincott Williams
& Wilkins. 2007. p. 1-89
3. Huybrechts, KF dkk. 2014. Antidepressant Use in Pregnancy and the Risk
of Cardiac Defects. USA. The new england journal of medicine.
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa1312828
4. Sadock B J, Sadock V A, and Ruiz P. Mood Disorder: Depression and
Bipolar in Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry,
10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 2007. pp. 528-61.
5. Kurniawan ES, Ratep N, Westa W. Faktor Penyebab Depresi Pada Ibu
Hamil Selama Asuhan Antenatal Setiap Trimester. Denpasar: Bagian/Smf
Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar, 2013. hh. 1-13.
6. Chaudron LH. Complex Challenges in Treating Depression During
Pregnancy. Am J Psychiatry. 2013; 170:12–20.
7. Stewart DE. Depression during Pregnancy. N Engl J Med. 2011, October ;
365:1605-11.
8. Räisänen S, Lehto SM, Nielsen SH, Gissler M, Kramer MR, Heinonen S.
Risk factors for and perinatal outcomes of major depression during
pregnancy: a population-based analysis during 2002–2010 in Finland.
BMJ Open, 2014;4:pp.1-9
9. Maj M, Sartorius N. Depressive Disorder Second Edition. Evidence and
experience in psychiatry. 2002. p. 8-12
10. Gaspar, F. Daniel, N. Pre existing and new onset depression and axiety
among workers with injury or ilness work leaves; 2020.
11. Davison, Gerald; Neale, John; Kring, Ann. 2006. Psikologi Abnormal
(Terjemahan). Jakarta: Rajawali Pers
12. Nevid, Jefrey., Rathus, Spencer.,Greene, Baverly. 2005. Psikologi
Abnormal. Jakarta: Erlangga

29
13. Hendrick V. Prevalence, Clinical Course, and Management of Depression
During Pregnancy in Current Clinical Practice: Psychiatric Disorders in
Pregnancy and the Postpartum: Principles and Treatment. Totowa, NJ:
Humana Press, 2008. pp. 13-39.
14. Lancaster CA, Gold KJ, Flynn HA, Yoo H, Marcus SH, Davis MM. Risk
factors for depressive symptoms during pregnancy: a systematic review.
AJOG. 2010, Jan: pp.5-14.
15. Maslim, Rusdi. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ III dan
DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya,
2013;64-5.
16. Mohapatra S, Yaduvanshi R, Agrawal A, Gupta B. Treatment of
Depression During Pregnancy. Delhi Psychiatry Journal. 2013: 16(2). pp.
277-82.
17. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders, 4th ed (DSMIV). Washington DC: APA. 1994.
18. “NINDS Autism Information Page”, (2006). National Institute of
Neurological Disorders and Stroke (NINDS). Available:
http://www.ninds.nih.gov/disorders/autism/autism.htm#What_is
(Accessed: 2006,September 25).
19. “Autism Spectrum Disorders (Pervasive Developmental Disorders)”,
(2006). National Institute of Mental Health (NIMH).
Available:http://www.nimh.nih.gov/publicat/autism.cfm (Accesed: 2006,
September 24).
20. Teter, C. S., Kando, J. C., Wells, B. G., & Hayes, P. E., 2007, Depressive
Disorder ,dalam Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R.,
Wells, B. G.,& Posey Micheal, L.,(eds), Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach,7th Edition, Appleton and lange, New York.
21. Bandi Delphie, Autisme Usia Dini, Bandung: Mitra Grafika, 1996, hlm.18.
22. “Living with Autism”, (2005). Autism Society of America (ASA).
Available: http://www.autism-society.org/site/PageServer?
pagename=allaboutautism
23. Beversdorf DQ, Manning SE, Hillier A, Anderson SL, Nordgren RE, dkk.
(2005) Waktu Stresor Prenatal dan autisme. J Autism Dev Disord 35: 471-
478. [Crossref]

30
24. Ronald A, Pennell CE, Whitehouse AJ (2011) Prenatal maternal stress
associated with ADHD and autistic traits in early childhood. Front
Psychol 1: 223. [Crossref]
25. Li J, Vestergaard M, Obel C, Christensen J, Precht DH, et al. (2009) A
nationwide study on the risk of autism after Prenatal Stress exposure to
maternal bereavement. Pediatrics 123: 1102-1107. [Crossref]
26. Zhang X, Lv CC, Tian J, Miao RJ, Xi W, et al. (2010) Prenatal and
perinatal risk factors for autism in China. J Autism Dev Disord 40: 1311-
1321. [Crossref]
27. Glover V, O'Connor TG, O'Donnell K (2010) Prenatal Stress and the
programming of the HPA axis. Neurosci Biobehav Rev 35: 17-22.
[Crossref]
28. Benediktsson R, Calder AA, Edwards CR, Seckl JR (1997) Placental
11ß-hydroxysteroid dehydrogenase: a key regulator of fetal
glucocorticoid exposure. Clin Endocrinol (Oxf) 46: 161-166. [Crossref]
29. Carpenter T, Grecian SM, Reynolds RM (2017) Sex differences in early-
life programming of the hypothalamic–pituitary–adrenal axis in humans
suggest increased vulnerability in females: a systematic review. J Dev
Orig Health Dis 8: 244-255. [Crossref]
30. Welberg LA, Seckl JR (2001) Prenatal Stress, glucocorticoids and the
programming of the brain. J Neuroendocrinol 13: 113-128. [Crossref]
31. Herman JP, McKlveen JM, Solomon MB, Carvalho-Netto E, Myers B
(2012) Neural regulation of the stress response: glucocorticoid feedback
mechanisms. Braz J Med Biol Res 45: 292-298. [Crossref]
32. Glover V, Bergman K, Sarkar P, O'Connor TG (2009) Association
between maternal and amniotic fluid cortisol is moderated by maternal
anxiety. Psychoneuroendocrinology 34: 430-435. [Crossref]
33. Nederhof E, Schmidt MV (2012) Mismatch or cumulative stress: toward
an integrated hypothesis of programming effects. Physiol Behav 106:
691-700. [Crossref]

31

Anda mungkin juga menyukai