Anda di halaman 1dari 22

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A219129 / februari 2021

** Pembimbing / dr. H. Kuswaya Waslan, Sp.M

AMBLIOPIA

Zevia Adeka Rhamona, S.Ked *

dr. H. Kuswaya Waslan, Sp.M**

KEPANITERAAN KLINIK SENIORBAGIAN/SMF MATA RSUD


RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBIFAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

AMBLIOPIA

Disusun Oleh:

Zevia Adeka Rhamona, S.Ked

G1A219129

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/SMF Mata RSUD Raden


Mattaher Provinsi Jambi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Pada februaru 2021

Pembimbing

dr. H. Kuswaya Waslan, Sp.M


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan


rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan clinical science session (CSS) yang
berjudul “Ambliopia” pada Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Mata RSUD
Raden Mattaher Jambi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Jambi. Tugas ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis
dan peserta kepaniteraan lain terutama mengenai ambliopia.

Pada Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H.


Kuswaya Waslan, Sp.M, sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis dalam penyusunan dan presentasi referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak
lupa dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi
bagi kita semua.

Jambi, Februari 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Ambliopia dikenal juga dengan istilah “mata malas” (lazy eye), adalah
berkurang-nya ketajaman penglihatan pada satu atau kedua mata walaupun sudah
dengan koreksi kacamata terbaik tanpa ditemukan kelainan struktur pada mata
maupun lintasan penglihatan bagian belakang. Ambliopia merupakan penyebab
terbanyak penurunan ketajaman penglihatan pada anak, remaja, dan dewasa
muda.1
Prevalensi ambliopia yang terdeteksi pada anak-anak diperkirakan antara
0,2-5,4% dan pada dewasa antara 0,35-3,6%. Di Eropa, prevalensi ambliopia pada
anak berkisar 1-2,5%. Prevalensi ambliopia lebih tinggi terjadi pada negara
berkembang termasuk Indonesia.1
Ambliopia tidak dapat sembuh dengan sendirinya dan bila tidak diterapi
dapat menyebabkan gangguan penglihatan permanen. Jika nantinya pada mata
yang baik itu timbul suatu penyakit atau trauma, maka penderita akan bergantung
pada penglihatan buruk dari mata yang ambliopia. Oleh karena itu, ambliopia
harus ditatalaksana secepat mungkin. Hampir seluruh ambliopia dapat dicegah
dan bersifat reversibel dengan deteksi dini dan intervensi yang tepat. Anak dengan
ambliopia atau yang beresiko ambliopia hendaknya dapat diidentifikasi pada usia
dini, dimana prognosis keberhasilan terapi akan lebih baik.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1 : Anatomi bola mata2

Untuk dapat melihat maka diperlukan 3 komponen yaitu : Media refraksi


yang dilalui oleh cahaya, persarafan yang menerima cahaya dan
menghantarkannya ke otak, serta otak sendiri yang kemudian berfungsi sebagai
persepsi. Yang termasuk kedalam media refraksi adalah kornea, aquous humor,
lensa, dan vitreus humor. Masing – masing dari organ ini harus dalam keadaan
jernih sehingga dapat dilalui oleh cahaya. Setiap komponen tersebut memiliki
indeks bias yang berbeda-beda (Kornea= 1,37; Aquous humor= 1,33 ; Lensa=1,4 ;
dan Vitreus humor= 1,33) serta memiliki kekuatan dioptri yang berbeda. Hal ini
berperan terhadap letak dimana cahaya akan difokuskan nantinya yaitu di retina.
Pergerakan bola mata:2

a. Muskulus rektus lateral, kontaksinya akan menghasilkan abduksi atau


menggulirnya bola mata kearah temporal dan otot ini dipersarafi oleh
saraf ke VI (saraf abdusen).
b. Muskulus rektus medius, kontraksinya akan menghasilkan aduksi atau
menggulirnya bola mata kearah nasal dan otot ini dipersarafi oleh
saraf ke III (saraf okulomotor).
c. Muskulus rektus superior, kontraksinya akan menghasilkan elevasi,
aduksi, dan intorsi bola mata yang dipersarafi oleh saraf ke III (saraf
okulomotor).
d. Muskulus rektus inferior, kontraksinya akan menghasilkan depresi,
adduksi, dan ekstorsi yang dipersarafi oleh saraf ke III(saraf
okulomotor).
e. Muskulus oblik superior, kontraksinnya akan menghasilkan intorsi,
abduksi, dan depresi yang dipersarafi saraf ke IV (saraf troklear)
f. Muskulus oblik inferior ,kontraksinya akan menghasilkan ekstorsi,
abduksi, dan elevasi yang dipersarafi saraf ke III(saraf okulomotor).

Gambar 2.2 Otot-Otot Gerak Bola Mata2


Cahaya yang masuk melalui media refraksi kemudian difokuskan diretina.
Kemudian diretina akan terjadi potensial aksi sehingga menghasilkan impuls
listrik yang kemudian akan dihantarkan ke thalamus melalui nervus optik ke
korpus geniculatum lateral di thalamus. Tetapi sebelum sampai akan terjadi
persilangan di chiasma optikum sehingga mata kiri dan kanan dapat saling
berhubungan. Dari korpus geniculatum lateral kemudian nantinya akan
dihantarkan rangsangannya ke koteks di lobus occipital yang berperan dalam
fungsi penglihatan.2

Gambar 2.3 : Fisiologi penglihatan (Visual Pathway)2

Binoculars Fusion

Normalnya mata mempunyai penglihatan binokuler yaitu setiap saat


terbentuk bayangan tunggal dari kedua bayangan yang diterima oleh kedua
mata sehingga terjadi fusi dipusat penglihatan. Hal tersebut dapat terjadi
karena dipertahankan oleh otot penggerak bola mata agar selalu bergerak
secara teratur, gerakan otot yang satu akan mendapatkan keseimbangan gerak
dari otot yang lainnya sehingga bayangan benda yang jadi perhatian selalu
jatuh tepat dikedua fovea sentralis. Syarat terjadi penglihatan binokuler
normal:2
1. Tajam penglihatan pada kedua mata sesudah dikoreksi refraksi
anomalinya tidak terlalu berbeda dan tidak terdapat aniseikonia.
2. Otot-otot penggerak kedua bola mata seluruhnya dapat bekerja sama
dengan baik, yakni dapat menggulirkan kedua bola mata sehingga
kedua sumbu penglihatan menuju pada benda yang menjadi pusat
perhatiannya.
3. Susunan saraf pusatnya baik, yakni sanggup menfusi dua bayangan
yang datang dari kedua retina menjadi satu bayangan tunggal.
Bayi yang baru lahir, faal penglihatan belum normal, visus hanya
dapat membedakan terang dan gelap saja. Adanya perkembangan umur, visus
juga ikut berkembang. Pada usia 5-6 tahun, visus mencapai maksimal.
Perkembangan yang pesat mulai saat kelahiran sampai tahun-tahun pertama.
Bila tidak ada anomali refraksi/kekeruhan media/kelainan retina maka visus
tetap sampai hari tua. Tajam penglihatan normal berarti fiksasi dan proyeksi
normal sehingga mampu membedakan:2

1. bentuk benda
2. warna
3. intensitas cahaya
Bersamaan dengan perkembangan visus, berkembang pula penglihatan
binokularitasnya. Bila perkembangan visus berjalan dengan baik dan fungsi
ke 6 pasang otot penggerak bola mata juga baik, serta susunan saraf pusatnya
sanggup menfusi dua gambar yang diterima oleh retina mata kanan dan kiri
maka ada kesempatan untuk membangun penglihatan binokular tunggal
stereoskopik.2
Gambar 2.4 Penglihatan Binokular Stereoskopik2

Gangguan gerakan bola mata terjadi bila terdapat satu atau lebih otot
mata yang tidak dapat mengimbangi gerakan otot mata lainnya maka akan
terjadi gangguan keseimbangan gerakan mata sumbu penglihatan akan
menyilang mata menjadi strabismus.2

2.2 Ambliopia
2.2.1 Definisi
Ambliopia adalah suatu keadaan mata dimana tajam penglihatan tidak
mencapai optimal sesuai dengan usia dan intelegensinya walaupun sudah
dikoreksi kelainan refraksinya. Pada ambliopia terjadi penurunan tajam
penglihatan unilateral atau bilateral disebabkan karena kehilangan pengenalan
bentuk, interaksi binokular abnormal, atau keduanya, dimana tidak ditemukan
kausa organik pada pemeriksaan fisik mata dan pada kasus yang keadaan baik,
dapat dikembalikan fungsinya dengan pengobatan. Ambliopia dapat tanpa
kelainan organik dan dapat pula dengan kelainan organik yang tidak sebanding
dengan visus yang ada. Bila ambliopia ditemukan pada usia di bawah 6 tahun
maka masih dapat dilakukan latihan untuk perbaikan penglihatan.3
2.2.2 Etiologi
Biasanya ambliopia disebabkan oleh kurangnya rangsangan untuk
meningkatkan perkembangan penglihatan. Suatu kausa ekstraneural yang
menyebabkan menurunnya tajam penglihatan (seperti katarak, astigmat,
strabismus, atau suatu kelainan refraksi unilateral atau bilateral yang tidak
dikoreksi) merupakan mekanisme pemicu yang mengakibatkan suatu penurunan
fungsi visual pada orang yang sensitif. Diduga terdapat 2 faktor yang dapat
merupakan penyebab terjadinya ambliopia yaitu supresi dan nirpakai (non use).
Ambliopia nirpakai terjadi akibat tidak dipergunakannya elemen visual retino
kortikal pada saat kritis perkembangannya terutama pada usia sebelum 9 tahun.
Supresi yang terjadi pada ambliopia dapat merupakan proses kortikal yang akan
mengakibatkan terdapatnya skotoma absolut pada penglihatan binokular (untuk
mencegah terjadinya diplopia pada mata yang juling), atau sebagai hambatan
binokular (monokular kortikal inhibisi) pada bayangan retina yang kabur.3

2.2.3 Epidemiologi

Prevalensi ambliopia yang terdeteksi pada anak-anak diperkirakan antara


0,2-5,4% dan pada dewasa antara 0,35-3,6%. Di Eropa, prevalensi ambliopia pada
anak berkisar 1-2,5%. Prevalensi ambliopia lebih tinggi terjadi pada negara
berkembang. Di Indonesia sendiri didapat-kan prevalensi ambliopia pada siswa
kelas 1 sekolah dasar (SD) di Kotamadya Bandung pada tahun 1989 sebesar
1,56%. Penelitian mengenai ambliopia pada 2268 siswa SD usia 7-13 tahun di
Yogyakarta pada tahun 2008 mendapatkan hasil ambliopia 1,5%. Usia yang
diketahui berisiko tinggi terjadinya ambliopia pada masa kritis dalam
perkembangan ketajaman penglihatan seseorang yaitu sejak usia beberapa bulan
hingga 7-8 tahun. Dan juga secara umum prevalensi ambliopia tidak dipengaruhi
oleh perbedaan jenis kelamin.1

2.2.4 Patofisiologi
Meskipun ada banyak jenis ambliopia, diyakini bahwa mekanisme
dasarnya sama meskipun setiap faktor dapat berkontribusi dalam jumlah yang
berbeda untuk setiap jenis ambliopia tertentu. Secara umum, ambliopia diyakini
sebagai akibat dari tidak digunakannya stimulasi foveal atau perifer retina yang
tidak memadai atau interaksi binokular abnormal yang menyebabkan input visual
yang berbeda dari fovea. Terdapat tiga periode kritis perkembangan ketajaman
visual manusia yang peka dalam berkembangnya keadaan ambliopia Selama
periode waktu ini, penglihatan dapat dipengaruhi oleh berbagai mekanisme untuk
menyebabkan atau membuat ambliopia kambuh, seperti strabismus, rangsangan
deprivasi, atau kelainan refraksi yang signifikan. Periode-periode tersebut adalah
sebagai berikut:4,5
1. Perkembangan ketajaman visual dari rentang 20/200 menjadi 20/20, yang
terjadi sejak lahir hingga usia 3-5 tahun.
2. Periode risiko tertinggi ambliopia deprivasi, dari beberapa bulan hingga 7 atau
8 tahun.
3. Periode dimana kesembuhan ambliopia masih dapat dicapai, yaitu sejak
terjadinya deprivasi sampai usia remaja atau bahkan terkadang usia dewasa..
Walaupun mekanisme neurofisiologi penyebab ambliopia masih sangat
belum jelas, studi eksperimental pada binatang dan percobaan laboratorium pada
manusia dengan ambliopia, didapatkan pada binatang percobaan menunjukkan
gangguan sistem penglihatan fungsi neuron yang dalam/besar yang diakibatkan
pengalaman melihat abnormal dini. Sel pada korteks visual primer dapat
kehilangan kemampuan dalam menanggapi rangsangan pada satu atau kedua
mata, dan sel yang masih responsif fungsinya akhirnya dapat menurun. Kelainan
juga terjadi pada neuron badan genikulatum lateral. Keterlibatan retina masih
belum dapat disimpulkan.1

2.2.5 Klasifikasi
Sesuai dengan penyebabnya, ambliopia dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:3
1. Ambliopia Strabismik
Ambliopia yang terjadi akibat juling lama (biasanya juling ke dalam pada
anak sebelum penglihatan tetap). Pada keadaan ini terjadi supresi pada mata
tersebut untuk mencegah gangguan penglihatan (diplopia). Kelainan ini disebut
sebagai ambliopia strabismik dimana kedudukan bola mata tidak sejajar sehingga
hanya satu mata yang diarahkan pada benda yang dilihat. Ambliopia strabismik
ditemukan pada penderita esotropia dan jarang pada mata dengan eksotropia.
2. Ambliopia Anisometropik
Ambliopia anisometropik terjadi akibat terdapatnya kelainan refraksi
kedua mata yang berbeda jauh. Akibat anisometropik bayangan benda pada kedua
mata tidak sama besar yang menimbulkan bayangan pada retina secara relatif di
luar fokus dibanding dengan mata lainnya, sehingga mata akan memfokuskan
melihat dengan satu/ mata. Bayangan yang lebih suram akan di supres, biasanya
pada mata yang lebih ametropik. Beda refraksi yang besar antara kedua mata
menyebabkan terbentuknya bayangan kabur pada satu mata. Ambliopia yang
terjadi akibat ketidakmampuan mata berfusi, akibat terdapatnya perbedaan
refraksi antara kedua mata, yang mengakibatkan bayangan benda menjadi kabur.
3. Ambliopia Ametropik
Mata dengan hipermetropia dan astigmat sering memperlihatkan
ambliopia akibat mata tanpa akomodasi tidak pernah melihat objek dengan baik
dan jelas. Ambliopia ametropik, menurunnya tajam penglihatan mata dengan
kelainan refraksi berat yang tidak dikoreksi (biasanya hipermetropia atau
astigmat). Pada kedua mata tidak mencapai tajam penglihatan 5/5, biasanya
penderita hipermetropia tinggi (+ 7.0 D) atau astigmat tinggi (3.0 D) karena
penderita tidak pernah melihat bayangan jelas.
4. Ambliopia Eks Anopsia
Ambliopia akibat penglihatan terganggu pada saat perkembangan
penglihatan bayi. Dapat terjadi akibat adanya katarak kongenital, ptosis, ataupun
kekeruhan kornea sejak lahir atau terlambat diatasi. Ambliopia ini bila mulai
terjadi sejak sesudah berumur 4 tahun maka tajam penglihatan tidak akan kurang
dari 20/200, sedangkan bila pada usia kurang dari 4 tahun maka tajam penglihatan
dapat lebih buruk.
4. Amblyopia intoksikasi
Intoksikasi yang disebabkan pemakaian tembakau, alcohol, timah atau
bahan toksis lainnya dapat mengaibatkan amblyopia. Biasanya terjadi neuritis
optic toksik akibat keracunan disertai terdapat tanda-tanda lapang pandang yang
berubah-ubah. Hilangnya tajam penglihatan sentral bilateral, yang diduga akibat
keracunan metilalkohol, yang dapat juga terjadi akibat gizi buruk

2.2.6 Manifestasi Klinis


Terdapat beberapa tanda pada mata dengan ambliopia, seperti:3
- berkurangnya penglihatan satu mata
- menurunnya tajam penglihatan terutama pada fenomena crowding
- hilangnya sensitivitas kontras
- mata mudah mengalami fiksasi eksentrik
- adanya anisokoria
- tidak mempengaruhi penglihatan warna
- Biasanya daya akomodasi menurun
- ERG dan EEG penderita ambliopia selalu normal yang berarti tidak terdapat
kelainan organik pada retina maupun korteks serebri.

2.2.7 Diagnosis
Ambliopia didiagnosis bila ada penurunan tajam penglihatan yang tidak
dapat dijelaskan, dimana hal tersebut terkait dengan riwayat atau kondisi yang
dapat menyebabkan ambliopia.5

1.Anamnesis
Ketika menemukan pasien ambliopia, ada 4 pertanyaan penting yang harus
kita tanyakan dan harus dijawab dengan lengkap, yaitu:6
1. Kapan pertama kali ditemukan kelainan ambliogenik? (Seperti strabismus,
anisometropia, dll)
2. Kapan penatalaksanaan pertama kali dilakukan?
3. Terdiri dari apa saja penatalaksanaan itu?
4. Bagaimana kedisiplinan pasien terhadap penatalaksanaan itu?
Sebagai tambahan, penting juga ditanyakan riwayat keluarga yang
menderita strabismus atau kelainan mata lainnya, karena hal tersebut merupakan
predisposisi seorang anak menderita ambliopia.4 Strabismus ditemukan sekitar 4%
dari keseluruhan populasi. Frekuensi strabismus yang "diwariskan" berkisar antara
22% - 66%. Frekuensi esotropia diantara saudara sekandung, dimana pada orang
tua tidak ditemukan kelainan tersebut, adalah 15%. Jika salah satu orang tuanya
esotropia, frekuensi meningkat sampai 40%. (Informasi ini tidak mempengaruhi
prognosis, tapi penting untuk keturunannya). 6

2. Pemeriksaan fisik
1. Tajam Penglihatan
Penderita ambliopia kurang mampu untuk membaca bentuk / huruf yang rapat
dan mengenali pola apa yang dibentuk oleh gambar atau huruf tersebut. Tajam
penglihatan yang dinilai dengan cara konvensional, yang berdasar pada kedua
fungsi tadi, selalu subnormal.7 Menentukan tajam penglihatan mata ambliopia
pada anak adalah pemeriksaan yang paling penting.5 Meskipun untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan yang dapat dipercaya sulit pada pasien anak -
anak, tapi untungnya penatalaksanaan ambliopia sangat efektif dan efisien pada
anak - anak.7
Anak yang sudah mengetahui huruf balok dapat di tes dengan karta Snellen
standar. Untuk Nonverbal Snellen, yang banyak digunakan adalah tes "E" dan tes
"HOTV". Tes lain adalah dengan simbol LEA. (Gambar 2.5). Bentuk ini mudah
untuk anak usia ± 1 tahun (todler), dan mirip dengan konfigurasi huruf
Snellen. Caranya sama dengan tes HOTV.7
Gambar 2.5 Contoh visual acuity
charts: (A) Snellen, (B) HOTV, (C) Lea, (D) Allen

2. Tes Ambliopia
a. Uji Crowding Phenomenon
Telah diketahui bahwa penderita ambliopia sulit untuk mengidentifikasi
huruf yang tersusun linear (sebaris) dibandingkan dengan huruf yang terisolasi,
maka dapat kita lakukan dengan menempatkan balok disekitar huruf tunggal. Hal
ini disebut "Crowding Phenomenon".7
Terkadang mata ambliopia dengan tajam penglihatan 20/20 (6/6) pada
huruf isolasi dapat turun sampai 20/100 (6/30) bila ada interaksi bentuk (countour
interaction). Perbedaan yang besar ini terkadang muncul juga saat pasien yang
sedang diobati kontrol, dimana tajam penglihatan jauh lebih baik pada huruf
isolasi dari huruf linear. Oleh karena itu, ambliopia belum dikatakan sembuh
sampai tajam penglihatan linear kembali normal.7
Gambar 2.6 Balok interaktif yang mengelilingi huruf Snellen

b. Menentukan sifat fiksasi


Pada pasien ambliopia, sifat fiksasi harus ditentukan. Penglihatan sentral
terletak pada foveal; pada fiksasi eksentrik, yang digunakan untuk melihat adalah
daerah retina parafoveal. Hal ini sering ditemukan pada pasien dengan strabismik
ambliopia daripada anisometropik ambliopia. 10 Fiksasi eksentrik ditandai dengan
tajam penglihatan 20/200 (6/60) atau lebih buruk lagi. 5,10 Tidak cukup kiranya
menentukan sifat fiksasi hanya pada posisi refleks cahaya korneal. Fiksasi
didiagnosis dengan menggunakan visuskop dan dapat terdokumentasi dengan
kamera fundus Zeiss. Tes lain dapat dengan tes tutup alternat untuk fiksasi
eksentrik bilateral.8
1. Visuskop
Visuskop adalah oftalmoskop yang telah dimodifikasi yang
memproyeksikan target fiksasi ke fundus. Mata yang tidak diuji
ditutup. Pemeriksa memproyeksikan target fiksasi ke dekat makula, dan pasien
mengarahkan pandagannya ke tanda bintik hitam (tanda aterisk / *). 8,10
Posisi tanda asterisk di fundus pasien dicatat. Pengujian ini diulang
beberapa kali untuk menentukan ukuran daerah fiksasi eksentrik.7 Pada fiksasi
sentral, tanda asterisk terletak di fovea. Pada fiksasi eksentrik, mata akan bergeser
sehingga asterisk bergerak ke daerah ekstrafoveal dari fiksasi retina. Tes visuskop
akan menunjukkan adanya fiksasi eksentrik pada kedua belah mata.10
2. Tes Cover alternat untuk fiksasi Eksentrik Bilateral
Fiksasi eksentrik bilateral adalah suatu kelainan yang jarang ditemukan
dan terjadi pada pasien - pasien dengan ambliopia kongenital kedua belah mata
dan dalam hal ini pada penyakit makula bilateral dalam jangka lama. 8 Misalnya
bila kedua mata ekstropia atau esotropia, maka bila mata kontralateral ditutup,
mata yang satunya tetap pada posisi semula, tidak ada usaha untuk refiksasi
bayangan.10

Gambar 2.6. Indirect cover test

3. Uji Worth’s Four Dot (untuk fusi dan penglihatan stereosis)

Uji untuk melihat penglihatan binokular, adanya fusi, korespondensi retina


abnormal, supresi pada satu mata dan juling.
Penderita memakai kacamata dengan filter merah pada mata kanan dan
filter hijau pada mata kiri dan melihat pada objek 4 titik dimana 1 berwarna
merah, 2 hijau, dan 1 putih. Lampu atau titik putih akan terlihat merah oleh mata
kanan dan hijau oleh mata kiri. Lampu merah hanya dapat dilihat oleh mata kanan
dan lampu hijau hanya dapat dilihat oleh mata kiri. Bila fusi baik maka akan
terlihat 4 titik dan lampu putih terlihat sebagai warna campuran hijau dan merah.
4 titik juga akan dilihat oleh mata juling tetapi telah terjadi korespondensi retina
yang tidak normal. Bila terdapat supresi maka akan terlihat hanya 2 merah bila
mata kanan dominan atau 3 hijau bila mata kiri yang dominan. Bila terlihat 5 titik
yaitu 3 merah dan 2 hijau yang bersilangan berarti mata dalam kedudukan
eksotropia dan bila tidak bersilangan berarti mata berkedudukan esotropia.4

Gambar 2.7. Peralatan pada Uji Worth’s Four Dot

4. Test Hirschbergh (Corneal Light Reflex)


Pemeriksaan dilakukan dengan menyinari (dengan senter) mata penderita
pada jarak 33 cm. Diperhatikan pantulan sinar pada kornea.

Gambar 2.8. Tes Hirschbergh (Corneal Light Reflex)


2.2.8 Penatalaksanaan
Ambliopia merupakan kelainan yang reversibel dan akibatnya tergantung
pada saat mulai dan lamanya. Saat yang sangat rentan adalah bayi pada umur 6
bulan pertama dan ambliopia tidak akan terjadi sesudah usia lebih dari 5 tahun.
Ambliopia bila diketahui dini dapat dicegah sehingga tidak menjadi permanen.
Perbaikan dapat dilakukan bila penglihatan masih dalam perkembangannya. Bila
ambliopia ini ditemukan pada usia di bawah 6 tahun maka masih dapat dilakukan
latihan untuk perbaikan penglihatan. Pengobatan dapat dengan:3
1. Untuk memulihkan kembali ambliopia pada seorang pasien muda, harus
dilakukan suatau pengobatan antisupresi aktif menyingkirkan faktor
amblioplagenik.
2. Oklusi mata yang sehat
3. Penalisasi dekat, mata ambliopia dibiasakan melihat dekat dengan memberi
lensa + 2,5 D sedang mata yang baik diberi atropin
4. Penalisasi jauh dimana mata yang ambliopia dipaksa melihat jauh dengan
memberi atropin pada mata yang baik serta diberi lensa + 2,50
5. Latihan ortoptik bila terjadi juling.
Pada ambliopia strabismik pengobatannya ialah menutup mata yang sehat
dan dirujuk pada dokter mata. Pada ambliopia anisometropik dapat memberikan
kaca mata hasil pemeriksaan refraksi secara objektif disertai penutupan mata yang
baik. Ambliopia ametropik pengobatannya dengan memberikan kaca mata hasil
pemeriksaan refraksi secara objektif. Pada ambliopia eks anopsia pengobatan
dengan menutup mata yang sehat dilakukan setelah mata yang sakit dibersihkan
kekeruhan media penglihatannya.

2.2.9 Prognosis
Setelah 1 tahun, sekitar 73% pasien menunjukkan keberhasilan setelah
terapi oklusi pertama. Ketika penatalaksanaan dimulai sebelum usia 5 tahun, visus
normal dapat tercapai. Hal ini semakin berkurang seiring dengan pertambahan
usia. Hanya kesembuhan parsial yang dapat dicapai bila usia lebih dari 10
tahun.4,11
Faktor resiko gagalnya penatalaksanaan ambliopia adalah sebagai berikut:4
1. Jenis Ambliopia: Pasien dengan anisometropia tinggi dan pasien dengan
kelainan organik, prognosisnya paling buruk. Pasien dengan ambliopia
strabismik prognosisnya paling baik.
2. Usia dimana penatalaksanaan dimulai: Semakin muda pasien maka
prognosis semakin baik.
3. Dalamnya ambliopia pada saat terapi dimulai: Semakin bagus tajam
penglihatan awal di mata ambliopia, maka prognosisnya juga semakin
baik.
BAB III

KESIMPULAN

Ambliopia adalah suatu keadaan mata dimana tajam penglihatan tidak


mencapai optimal sesuai dengan usia dan intelegensinya walaupun sudah
dikoreksi kelainan refraksinya. Biasanya ambliopia disebabkan oleh kurangnya
rangsangan untuk meningkatkan perkembangan penglihatan. Suatu kausa
ekstraneural yang menyebabkan menurunnya tajam penglihatan (seperti katarak,
astigmat, strabismus, atau suatu kelainan refraksi unilateral atau bilateral yang
tidak dikoreksi). Sesuai dengan penyebabnya, ambliopia dapat diklasifikasikan
sebagai menjadi strabismik, anisometropik, ametropik, dan eks anopsia. Beberapa
gejala ambliopia seperti berkurangnya penglihatan satu mata, menurunnya tajam
penglihatan terutama pada fenomena crowding, hilangnya sensitivitas kontras,
mata mudah mengalami fiksasi eksentrik, adanya anisokoria. Pilihan pengobatan
seperti dengan oklusi, penalisasi dekat, dan penalisasi jauh
DAFTAR PUSTAKA

1. Saputri FE, Tongku Y, Poluan H. Angka Kejadian Ambliopia pada Usia


Sekolah di SD Negeri 6 Manado. Jurnal e-Clinic. 2016: 4(2): hal. 1-5.
2. Khurana A.K. Anatomy and development of the eye. In Khurana A.K,
editor. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. 2007. New Age
International: India.
3. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi V. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI: 2017.hal 264-73.
4. Yen KG. Ambliopia (online). 2018. (diakses 29 Januari 2021).
https://emedicine.medscape.com/article/1214603
5. American Academy of Ophthalmology. Pediatric Ophthalmology;
Chapter 5: Ambliopia; Section 6; Basic and Clinical Science Course.
2005; hal.63 – 70
6. Ciufrfreda KJ, Levi DM, Selenow, A. Ambliopia Basic and Clinical
Aspects. Jakarta: Heinemann. hal. 199
7. Greenwald MJ, Parks MM. Duane 's Clinical Ophthalmology Volume 1.
Revised Edition. 2004; Chapter 10 – hal.1-19; Chapter 11 hal.1-8
8. Noorden,GKV. Atlas Strabismus Edisi 4. EGC: Jakarta; 1988. hal. 78-93
9. American Academy of Ophthalmology; International Ophthalmology;
Chapter 10: Ambliopia; Section 13; Basic dan Clinical Science Course;
2004 – 2005. hal.111
10. Langston DP. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy 5 th Edition.
Lippincott Wlliams & Wilkins: Philadelphia; hal. 344-346
11. Lusby FW. Ambliopia (online). (diakses 29 Januari 2021).
https://medlineplus.gov/ency/article/001014.htm

Anda mungkin juga menyukai