Anda di halaman 1dari 56

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A219129


** Pembimbing/ dr. Ade Permana, Sp. OG (K)**

“G2P1A0 Gravida 37-38 Minggu dengan JTH Presentasi Kepala +


bekas Sectio Caesaria a.i Ketuban Pecah Dini + Cephalopelvic
Disproportion”

Oleh :

Zevia Adeka Rhamona

G1A219129

Pembimbing :

dr. Ade Permana, Sp. OG (K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)

“G2P1A0 Gravida 37-38 Minggu dengan JTH Presentasi Kepala +


bekas SectioCaesaria a.i Ketuban Pecah Dini + Cephalopelvic
Disproportion”

Oleh :

Zevia Adeka Rhamona

G1A219129

Jambi, Juli 2021

Pembimbing.

dr. Ade Permana, Sp. OG (K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (Crs) yang
berjudul “G2P1A0 Gravida 37-38 Minggu dengan JTH Presentasi Kepala + bekas Sectio
Caesaria a.i Ketuban Pecah Dini + Cephalopelvic Disproportion” sebagai kelengkapan
persyaratan dalam mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Obstetri dan Ginekologi di
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Ade Permana, Sp. OG (K) yang
telah meluangkan waktu dan sarannnya sebagai pembimbing sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Selanjutnya, penulis
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu bagi para pembaca

Jambi, Juli 2021

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Ketuban Pecah Sebelum Waktu (KPSW)
atau Premature Rupture Of Membrane (PROM) merupakan masalah penting dalam
obstetri berkaitan dengan terjadinya infeksi dan persalinan prematur. Ketuban
pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban yang terjadi sebelum terjadinya
persalinan. Namun, apabila ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu,
maka disebut sebagi ketuban pecah dini prematur. Ketuban pecah dini terjadi sekitar
2,7% - 17% kehamilan dan pada kebanyakan kasus terjadi secara spontan. Ketuban
pecah dini merupakan masalah obstetrik, dan 30% terjadi pada kehamilan
preterm.1,2
Selaput ketuban normalnya pecah secara spontan pada waktu proses
persalinan yaitu pada akhir kala I atau awal kala II, diakibatkan oleh kontraksi
uterus yang berulang-ulang. Ketuban yang pecah sebelum mulainya persalinan
dengan usia kehamilan sebelum 37 minggu disebut ketuban pecah dini preterm.1,2,3
Etiologi pada sebagian besar kasus dari KPD hingga saat ini masih belum
diketahui. Ketuban pecah dinipada kehamilan aterm merupakan variasi fisiologik,
namun pada kehamilan preterm, melemahnya membrane merupakan proses yang
patologis. KPD sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya
infeksi.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat pada
membran melepaskan substrat, seperti protease yang meyebabkan melemahnya
membran.Dilaporkan 5,6 % kematian bayi prematur disebabkan oleh Hyaline
Membrane Disease.1,2
Disproporsi sefalopelvik adalah ukuran pelvik yang tidak proporsional
dengan ukuran kepala bayi untuk dilalui bayi pada proses persalinan. Disproportion
dapat terjadi akibat pelvis sempit dengan kepala bayi normal, atau pelvis normal
dengan bayi besar, atau kombinasi antara bayi besar dengan pelvis sempit.

4
Pertolongan persalinan CPD melalui jalan vaginal memerlukanperhatian
karena dapat menimbulkan komplikasi kesakitan, cacat permanensampai dengan
kemantian bayi. Memperhatikan komplikasi pertolonganpersalinan CPD melalui
jalan vaginal, maka sebagian besar pertolongan persalinan cephalo pelvic
disproportion dilakukan dengan sectio caesaria. Bedah caesar merupakan
pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding abdomen dan
dinding uterus dan merupakan prosedur untuk menyelamatkan kehidupan. Operasi
ini memberikan jalan keluar bagi kebanyakan kesulitan yang timbul bila persalinan
pervaginam tidak mungkin atau berbahaya.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk menulis
kasus ini dan diharapkan dapat memberikan informasi tambahan serta membantu
pembaca dalam mendiagnosis dan tatalaksana ketuban pecah dini.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. Z
Umur : 34 th
Suku/bangsa : Melayu Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Kec. Jaluko, Kab. Muaro Jambi
MRS : 19 Juni 2021, Pukul 07:49 WIB (dari IGD)

Suami
Nama : Tn. R
Umur : 37th
Suku/bangsa : Melayu Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Kec. Jaluko, Kab. Muaro Jambi

2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Keluar air-air dari jalan lahir sejak ± 4 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan keluar air-
air dari jalan lahir sejak pukul 04:00 wib (± 4jam SMRS).

6
± 1 hari SMRS pasien mengeluhkan nyeri perut (+), nyeri perut menjalar ke
bagian pinggang dan dirasakan secara terus-menerus, nyeri semakin hebat jika
bergerak, dan sedikit berkurang pada saat beristirahat.
± 4 jam SMRS, pasien mengeluhkan keluar air-air dari jalan lahir, air yang
keluar berbau amis dan merembes terus menerus hingga membasahi kain yang
dipakai sebagai alas dan baru berhenti saat tiba di IGD. Riwayat demam (-), riwayat
keputihan (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), pandangan kabur (-), BAK dan
BAB tidak terdapat keluhan, riwayat minum jamu atau obat-obatan (-). Pasien
mengatakan memiliki riwayat operasi sectio caesarea ± 2 tahun yang lalu karena
panggul sempit.
Pasien juga mengatakan bahwa pada kehamilan pertama bahwa pasien
memiliki riwayat SC atas indikasi panggul sempit, pasien juga mengatakan bahwa
beberapa hari sebelumnya pasien konsul ke dokter Sp.OG, dokter mengatakan
bahwa pasien disarankan untuk sectio caesaria dikarnakan pasien memiliki
riwayat panggul sempit dan riwayat SC sebelumnya, selanjutnya dijadwalkan
untuk dilakukan tindakan sectio caesarea pada hari Sabtu, 19 Juni 2021 pasien
dibawa oleh keluarganya ke RSUD Raden Mattaher Jambi.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Malaria (-)
- Riwayat Penyakit Jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus (+) yaitu Ibu pasien
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Malaria (-)
- Riwayat Penyakit Jantung (-)

7
Riwayat Sosial Ekonomi :
Riwayat kebiasaan merokok (-), mengkonsumsi alkohol dan jamu (-). Pasien
termasuk kedalam sosial ekonomi menengah.

2.3 DATA KEBIDANAN


a. Haid :
- Menarche Usia : 13 tahun
- Haid : Teratur
- Lama Haid : 7 hari
- Siklus : 28 hari
- Dismenorrhea : Ya
- Warna : Merah Kehitaman
- Bentuk Perdarahan/Haid :Bergumpal
- Bau Haid : Anyir
- Fluor Albus : Tidak Ada

b. Riwayat Perkawinan
- Status Pernikahan : Ya
- Jumlah :1x
- Lama pernikahan : 6 tahun
- Usia saat menikah : 28 tahun

c. Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Nifas yang lalu

Tahun Usia Jenis Anak


No Penolong Penyulit Nifas Ket
Partus Kehamilan Persalinan JK BB
1. 2018 37-38 mg SC Dokter CPD+KPD - LK 2800
Sp.OG
2. Ini

8
d. Riwayat Kehamilan Sekarang
- GPA : G2P1A0
- HPHT : 07 - 09 – 2020
- TP : 14 - 06 – 2021
- UK : 37-38 minggu
- Imunisasi TT : 2 kali
- ANC : 4 x selama kehamilan (ke dokter)

2.4 DATA OBJEKTIF


- Keadaan Umum : Baik
- Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4V5M6
- Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,50C
Berat badan sebelum hamil : 45 kg
Berat badan saat hamil : 60 kg
Tinggi Badan : 145 cm

A. Status Generalis
- Kepala : Normocephale, rambut hitam tidak mudah dicabut.
- Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya
+/+, pupil isokor
- Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Kelenjar Tiroid (-)
- Paru : Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
- Jantung : BJ I-II Regular, Murmur (-), Gallop (-)
- Abdomen : Membesar, bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba.
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-).

9
B. Status Obstetri
Pemeriksaan Luar
- Inspeksi Abdomen :
Perut tampak membesar ke depan, striae gravidarum (+), linea nigra
(-), sikatrik (-)

- Palpasi :
TFU : 35 cm
Leopold I : Teraba bagian yang lunak, besar tidak melenting dan
tidak bisa digerakkan (Bokong)
Leopold II : Kanan : Teraba bagian-bagian kecil janin
Kiri : Teraba bagian terbesar janin
Leopold III : Teraba bagian bulat, keras, dan melenting (Kepala)
Leopold IV : Konvergen

TBJ : (35 - 13) x 155 =3.410 gram


HIS : 3 x 10’
30”
- Auskultasi :
DJJ = 142 x/menit

Pemeriksaan Genitalia
- Portio : Posisi anterior, tebal, konsistensi lunak
- Pendataran : 30 %
- Pembukaan : 2 cm
- Ketuban : (+) Merembes
- Bagian terbawah/presentasi : kepala
- Penurunan kepala : Hodge 1
- Posisi : sulit dinilai

10
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah Rutin (19-06-2021)
- Hemoglobin : 10.4 gr/dl
- Hematokrit : 31.0 L%
- Eritrosit : 75.0 106/mm3
- Leukosit : 15.0 103/mm3
- Trombosit : 279 103/mm3

Kesan : Anemia, Leukositosis

Pemeriksaan Kimia Darah (19-06-2021)

GDS : 80 mg/dl

Pemeriksaan USG (19-06-2021)

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosa Pre Operasi :
G2P1A0 Gravida 37-38 Minggu dengan JTH Presentasi Kepala + bekas
Sectio Caesarea a.i Ketuban Pecah Dini + Cephalopelvic Disproportion

Diagnosa Post Partum


P2A0 Post op Sectio Caesarea atas indikasi Ketuban Pecah Dini +
Cephalopelvic Disproportion
11
2.7 Penatalaksanaan
Medikamentosa
- IVFD Ringer Laktat 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr

Non Medikamentosa
- Oksigen 2 liter
- Observasi KU,TTV, His, DJJ, dan kemajuan persalinan
- Lapor dokter Sp.OG
- Pro SC

Tatalaksana Post Partum


- IVFD Ringer Lactat 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
- Inj. Ketorolac 2x30mg
- Inj. Asam tranexamat 3x500mg
- Inj. Metronidazole 3x500mg

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Selaput Ketuban


Selaput ketuban (selaput janin) terdiri dari amnion dan korion. Amnion
/adalah membran janin paling dalam dan berdampingan dengan cairan amnion.
Struktur avaskular khusus ini memiliki peran penting dalam kehamilan pada
manusia. Amnion adalah jaringan yang menentukan hampir semua kekuatan
regang membran janin. Dengan demikian, pembentukan komponen-komponen
amnion yang mencegah ruptur atau robekan sangatlah penting bagi
keberhasilan kehamilan.
Selaput amnion melekat erat pada korion (sekalipun dapat dikupas
dengan mudah). Selaput ini menutupi permukaan fetal plasenta sampai pada
insersio tali pusat dan kemudian berlanjut sebgai pembungkus tali pusat yang
tegak lurus hingga umblikus janin, sedangkan korion merupakan membran
ekternal yang berwarna putih dan terbentuk dari vili-vili sel telur yang
berhubungan dengan desidua kapilaris. Selaput ini berlanjut dengan tepi
plasenta dan melekat pada lapisan uterus.4

Gambar 3.1 Lapisan Ketuban

13
3.2 Likuor Amnii
Air ketuban adalah cairan yang mengisi rongga amnion. Rongga
amnion mulai terbentuk pada hari ke 10 – 12 setelah pembuahan. Volume air
ketuban bertambah banyak dengan makin tuanya umur kehamilan. Pada umur
kehamilan 12 minggu volumenya ± 50 ml, dan pada 20 minggu antara 350-
400 ml. Pada 36-38 minggu kira-kira 1 liter. Selanjutnya, volumenya menjadi
berkurang pada kehamilan postterm, tidak jarang menjadi kurang dari 500 ml.
Cairan amnion normalnya jernih dan menumpuk di dalam rongga amnion ini
akan meningkat jumlahnya seiring dengan perkembangan kehamilan sampai
menjelang aterm, saat terjadi penurunan volume cairan amnion pada banyak
kehamilan normal.Volume cairan amnion pada hamil aterm sekitar 1000-
1500 ml, warna putih, agak keruh, serta mempunyai bau yang khas, agak
amis. Cairan ini dengan berat jenis 1,008 terdiri atas 98% air.5

Air ketuban berasal dari transudasi plasma maternal, masuk menembus


selaput yang mengisi plasenta dan tali pusat. Pada kehamilan lanjut urin janin
ikut membentuk air ketuban. Dengan demikian, kreatinin, urea dan asam urat
dalam air ketuban menjadi makin tinggi dengan makin tuanya umur
kehamilan.Terdapatnya lesitin dan sfingomielin amat penting untuk
mengetahui apakah janin mempunyai paru-paru yang sudah siap untuk
berfungsi. Dengan peningkatan kadar lesitin permukaan alveolus paru-paru
diliputi oleh zat yang dinamakan surfaktan dan merupakan syarat untuk
berkembangnya paru-paru dan untuk bernapas. Untuk menilai hal ini dipakai
perbandingan antara lesitin dan sfingomielin.
Kadang-kadang saat partus warna air ketuban ini menjadi kehijau-
hijauan karena tercampur mekonium (kotoran pertama yang dikeluarkan bayi
dan yang mengandung empedu). Berat jenis likuor amnii menurun dengan
tuanya kehamilan (1,025 → 1,010).4,5
Dari mana likuor ini berasal belum diketahui dengan pasti, masih
dibutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Telah banyak teori dikemukakan
mengenai hal ini, antara lain bahwa air ketuban berasal dari lapisan amnion,

14
terutama dari bagian pada plasenta. Teori lain mengemukakan kemungkinan
berasalnya dari plasenta. Dikemukakan bahwa peredaran likuor amnii cukup
baik. Dalam satu jam didapatkan perputaran lebih kurang 500 ml. Mengenai
cara perputaran ini pun terdapat banyak teori, antara lain bayi menelan air
ketuban yang kemudian dikeluarkan melalui air kencing. Prichard dan Sparr
menyuntikkan kromat radioaktif ke dalam air ketuban. Mereka menemukan
bahwa janin menelan ± 8-10 cc air ketuban atau 1% dari seluruh volume air
ketuban dalam tiap jam.
Likuor amnii makin banyak menarik perhatian untuk pembuatan
diagnosis mengenai kelainan atau keadaan janin, misalnya jenis kelamin,
golongan darah ABO, janin dalam Rhesus isoimunisasi, apakah janin cukup
bulan, adanya macam-macam kelainan genetik, dll. Obstetri modern
menginginkan deteksi kelainan pada kehamilan sedini mungkin. Untuk
membuat diagnosis umumnya dipakai sel-sel yang terdapat di dalam likuor
amnii dengan melakukan amniosentesis. Amniosentesis dewasa ini lebih sering
dilaksanakan melalui perut (transabdominal), umumnya pada kehamilan
minggu ke 14-16. Bila amniosentesis dilaksanakan lebih dini, maka resiko
terjadinya abortus akan lebih tinggi.
Dengan ultrasongrafi ditentukan sebelumnya letak plasenta, untuk
menghindarkan plasenta ditembus. Pungsi melalui plasenta dapat
menimbulkan perdarahan dan pencemaran likuor amnii oleh darah. Bila ini
terjadi, maka likuor amnii tidak dapat dipakai untuk mengadakan analisis
kimiawi dan sitogenetik. Amniosentesis ini bukan tidak berbahaya, ia dapat
menimbulkan trauma pada janin, plasenta, percampuran darah antara janin dan
ibu dengan kemungkinan sensitisasi, dan abortus, meskipun komplikasi ini
jarang terjadi. Maka dari itu, hendaknya hanya dikerjakan bila ada indikasi
yang tepat.5
Likuor amnii terdiri tanpa sel-sel merupakan suatu bahan untuk
penyelidikan lebih lanjut, misalnya dalam pemeriksaan adrenogenital
syndrome, Tay-sacks disease, methyl malonic acidemia, dsb. Di samping
banyaknya pilid dan polipeptid di dalamnya, ditemukan pula enzim-enzim

15
yang terdapat di cellular organelles. Mengingat banyaknya hal-hal tersebut di
atas yang dapat diselidiki di dalam likuor amnii secara biokimiawi, maka jelas
bahwa hanya pusat penyelidikan tertentu saja yang dapat mengerjakan hal
tersebut.

Beberapa fungsi dan cairan amnion yakni :


a. Proteksi: melindungi janin terhadap trauma dari luar
b. Mobilisasi: memungkinkan ruang gerak bagi janin
c. Homoestasis: menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam basa (pH)
dalam rongga amnion untuk suasanan lingkungan yang optimal bagi janin.
d. Mekanik: menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruang intrauterin.

Pada persalinan, membersihkan atau melicinkan jalan lahir dengan cairan


steril sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir. Janin
pada akhir kehamilan minum ±400-500 ml air ketuban sehingga sebagai
kompensasinya ia harus kencing sebanyak itu pula. Bila ada gangguan, baik
dalam proses menelan atau kencing janin, maka terjadilah gangguan volume
air ketuban. Bila pada saat aterm volume air ketuban kurang dari 500 ml maka
disebut dengan oligohidroamnion, dan bila lebih dari 2000 ml maka disebut
polihidramnion atau hidramnion saja. Oligohidramnion sering didapati pada
agenesis ginjal, sedangkan polihidramnion pada atresi esofagus janin atau
diabetes melitus pada ibu.5

3.3 Kelainan Likuor Amnii


3.3.1 Polyhidramnion

Dikenal juga dengan istilah Hydramnion. Polyhidramnion adalah


jumlah cairan amnion melebihi 2000 cc.

16
Secara teori polyhidramnion bisa terjadi karena :

1. Produksi air tuban bertambah


Yang diduga menghasilkan air tuban ialah epitel amnion, tetapi air tuban
dapat juga bertambah karena cairan lain masuk ke dalam ruangan amnion
misalnya air kencing janin atau cairan otak pada anencephalus.
2. Pengaliran air tuban terganggu
Air tuban yang telah dibuat dialirkan dan diganti dengan baru. Salah satu
jalan pengaliran ialah ditelan oleh janin, diabsorbsi oleh usus dan dialirkan
ke plasenta, akhirnya masuk ke dalam peredaran darah ibu.

❖ Gejala Klinis
Gejala klinis yang disebabkan karena tekanan oleh uterus yang sangat
besar yaitu :
- Sesak napas
- Oedem labia, vulva dan dinding perut
- Regangan dinding rahim sendiri menimbulkan nyeri
- Palpasi anak sulit
- Bunyi jantung sering tidak terdengar6

3.3.2 Oligohidramnion
Oligohidramnion adalah keadaan dimana air ketuban kurang dari 500 cc.
❖ Penyebab
• Idiopatik pada 50% - 60% kasus
• Penyebab pada ibu mencakup isoimunisasi (menyebabkan
hidrops fetalis imun) dan diabetes melitus (volume cairan
amnion bergantung pada derajat kontrol glikemik)
• Penyebab pada janin (10% - 15%)
Mencakup hidrops fetalis nonimun, kehamilan ganda,
kelainan struktural (obstruksi saluran gastrointestinal,
deformitas paru adenomatoid kistik), diabetes insipidus janin,

17
dan kelainan pada penelanan janin (akalasia, obstruksi
esofagus, fistula trakeoesofagus, dll).
• Penyebab plasenta (jarang)

❖ Gejala
• Rahim lebih kecil dan tidak sesuai dengan usia kehamilan
• Bunyi jantung janin sudah terdengar sebelum bulan ke-5 dan
terdengar lebih jelas
• Pergerakan anak dirasakan nyeri oleh ibu

3.4 Ketuban Pecah Dini


3.4.1 Definisi
Ketuban pecah dini atau premature rupture of membrane (PROM)
yaitu pecahnya membran korioamniotik pada usia kehamilan lebih dari 37
minggu. KPD didefinisikan sebagai ruptur membran non-iatrogenik yang
terjadi sebelum timbulnya kontraksi persalinan. Usia kehamilan dihitung
dari perkiraan obstetri berdasarkan USG pada awal kehamilan dan
pemeriksaan obstetri. KPD dengan anhidramion pada trimester kedua erat
kaitannya dengan hipoplasia paru dengan mortalitas perinatal hingga 80%.
Jika setelah ketuban pecah, bakteri patogen menginfiltrasi rongga amniotik
(funisitis dan korioamnionitis) dan dapat menginfeksi janin. Infeksi
intrauterin dengan konsentrasi tinggi sitokin inflamasi terkait dengan
peningkatan risiko pengembangan leukoma periventrikular dan perdarahan
intraventrikular pada bayi baru lahir. Penatalaksanaan antibiotik spektrum
luas, dan kortikosteroid antenatal secara rutin digunakan pada KPD dengan
keberhasilan yang sangat terbatas untuk mencegah bakteremia,
korioamnionitis, funisitis dan sindrom infeksi intra amniotik. Berbagai
upaya untuk mencegah terjadinya pecah membran termasuk penggunaan
kolagen, trombosit / fibrinogen, penutupan menggunakan endoskopi dari

18
cacat membran janin dan juga amnioinfus serial yang masih belum
berhasil.7,8

3.4.2 Epidemiologi
KPD pada pertengahan trimester merupakan suatu komplikasi yang
tidak umum terjadi. Meskipun tingkat kematian di seluruh dunia pada bayi
yang sangat prematur telah menunjukkan peningkatan dengan kemajuan
dalam teknologi perinatal, angka kematian dan kelangsungan hidup tanpa
morbiditas bayi yang lahir pada usia kehamilan 25 minggu masing-masing
adalah 15-30% dan 20%. Dalam kasus seperti ini, ada peningkatan risiko
kompresi tali pusat, prolaps tali pusat, infeksi ascenden, solusio plasenta,
deformasi janin, dan hipoplasia paru, yang juga memiliki efek tinggi pada
mortalitas dan morbiditas.
Wanita dengan KPD antara usia kehamilan 25-37 minggu
dilaporkan 79% melahirkan bayi mereka dalam empat minggu dan 57%
dalam satu minggu setelah diagnosis KPD. Dalam beberapa tahun terakhir,
upaya untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas neonatal setelah
KPD dilakukan dengan strategi yang berbeda seperti sealant jaringan.
Amnioinfusi adalah pilihan yang berpotensi mengurangi risiko dan
meningkatkan kelangsungan hidup perinatal dengan meningkatkan volume
cairan ketuban dalam kasus-kasus dengan oligohidramnion. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa amnioinfusion dapat memperpanjang
periode laten pada pertengahan trimester KPD, peningkatan kelangsungan
hidup perinatal, peningkatan aliran darah di duktus venosus janin dan
umbilikal arteri, dan penurunan tingkat hipoplasia paru. 8
KPD dikaitkan dengan tanda-tanda klinis korioamnionitis pada 37%
kasus pasien dan sangat merugikan tingkat kelangsungan hidup neonatus,
mulai dari 22 hingga 63% frekuensi infeksi neonatus dan hipoplasia paru.
Kelangsungan hidup pada bayi yang lahir meningkat secara progresif dari
26% pada 23 minggu menjadi 84% pada 26 minggu dan karena itu
perpanjangan masa kehamilan sangat penting. Hipoplasia

19
paru terjadi pada 50% kasus yang didiagnosis sebelum 19 minggu. Alasan
utama kematian tinggi pada perinatal adalah pada saat periode 17-26
minggu kehamilan adalah terdapat fase kanalikuli dari perkembangan paru-
paru yang paling rentan terhadap efek oligohidramnion.
Hasil data perinatal yang buruk dengan tingkat keseluruhan
kelangsungan hidup hanya sebesar 10,2-14,4% dapat diamati pada trimester
kedua, yaitu sangat rendah dibandingkan dengan 57,7-85,3% di trimester
ketiga. Ditambah dengan adanya kompresi tali pusat yang menyebabkan
anomali denyut jantung janin dan oligohidramnion juga dapat disertai
solusinya plasenta. Meskipun hanya mempengaruhi 4-5,5% dari semua
kehamilan, oligohidramnion merupakan masalah penting karena sifatnya
yang berbahaya dan merupakan komplikasi antepartum dan intrapartum.
Secara klinis konsekuensi paling serius dari oligohidramnios adalah
hipoplasia paru, yang dapat menyebabkan kematian hingga 80%. Dampak
lain adalah gangguan neurologis, termasuk cerebral palsy, diplegia atau
tetraplegia spastik, tuli unilateral atau tuli bilateral, dan kebutaan pada bayi
baru lahir yang diobati dengan amnioinfusi dibandingkan dengan
komplikasi yang ada di 60% kasus dengan ketuban pecah dini (PROM) pada
526 minggu yang dirawat secara konservatif. Amnioinfusi antepartum
melibatkan peningkatan artifisial volume cairan ketuban dengan
menyuntikkan larutan saline, larutan ringer laktat ke dalam transabus rongga
amniotik secara dominan. Tujuannya untuk memperpanjang periode
kehamilan dengan menambah volume cairan ketuban, yang juga dapat
mengurangi risiko terkait oligohidramnion dan meningkatkan kelangsungan
hidup perinatal.
Berbeda dengan intrapartum amnioinfusion yang secara klinis
terbukti bermanfaat dalam pengobatan oligohidramnion deselerasi variabel
yang diinduksi dan dalam pencegahan sindrom aspirasi meKonium.
Penggunaan amnioinfusi anteparrtum untuk pengelolaan oligohidramnion
hingga kini masih bisa diperdebatkan. Namun prosedur ini masih digunakan
sebagai cara untuk mendiagnosa. Ini bertujuan untuk

20
meningkatkan pencitraan sonografi janin dengan tampilan optimal yang
meningkat dari 50 hingga 76% setelah amnioinfusi, diagnosis akurat dari
PROM yang tidak teridentifikasi dengan menambahkan pewarna untuk
cairan ketuban yang diinfuskan. Hal ini menyatakan bahwa
oligohidramnion tidak perlu perawatan secara rutin pada kehamilan. oleh
karena itu pendekatan ini sering dilakukan. Karena tingginya morbiditas dan
mortalitas pada trimester kedua oligohidramnion, terminasi kehamilan
biasanya direkomendasikan.

3.4.3 Etiologi
Etiologi terjadinya PROM belum jelas,tetapi terdapat berbagai
faktor yang dapat menyebabkan PROM. Infeksi bakteri adalah salah satu
penyebab utama PROM yang menyebabkan kelahiran preterm, hipoplasia
paru, sepsis dan kelainan bentuk sendi. Ureaplasma urealyticum,
spesies Sneathia, Escherichia coli, Chlamydia trachomatis, Mycoplasma
hominis, Enterococcus faecalis, dan Gardnerella vaginalis adalah bakteri
yang umumnya berhubungan dengan PROM.
Adanya Infeksi korioresidual atau peradangan memiliki peran
penting dalam etiologi PROM, terutama pada usia kehamilan dini.
Korioamnionitis adalah infeksi cairan dan selaput ketuban yang
mengelilingi bayi di dalam rahim. Ini biasanya diterapi dengan antibiotik.
Metode tambahan yang disarankan adalah memasukkan larutan garam ke
dalam rahim baik melalui melaluiperut ibu (transabdominal) atau
menggunakan kateter melalui vagina ibu (transcervical). Teori ini dapat
memiliki manfaat pembilasan atau efek pencairanpada organisme yang
menginfeksi.9
Studi histologis pecahnya membran ketuban pada janin yang aterm
telah menunjukkan perubahan morfologi yang ditandai dengan penebalan
komponen jaringan ikat pada membran, penipisan lapisan sitotrofoblas dan
desidua, dan gangguan pada hubungan antara amnion dan chorion.
Perubahan fisiologis ini menyertai pematangan serviks dalam persiapan

21
persalinan, dan mengakibatkan melemahnya membran janin di daerah os
serviks internal yang merupakan predisposisi lokasi pecahnya membran
tersebut. Pada tingkat seluler, perubahan-perubahan ini dihasilkan dari
pelepasan fosfolipase, eikosanoid (terutama prostaglandin E), sitokin,
elastase, matriks metalloproteinase, dan / atau protease lain sebagai respons
terhadap stimulus fisiologis atau patologis. Meskipun perubahan seluler
yang terjadi mungkin sama, etiologi pada preterm PROM preterm
cenderung berbeda dengan PROM.9
Korioamnionitis dapat menjadi penyebab atau akibat dari PPROM.
Khorioamnionitis adalah sindrom klinis infeksi rongga amniotik selama
kehamilan. Dalam bentuk klasiknya, adanya membran yang pecah dan
terdapat tanda-tanda klinis yang khas. Kriteria diagnosa klinis untuk
korioamnionitis salah satunya terdapat demam dengan suhu lebih dari 38
°C dan setidaknya terdapat dua dari tanda-tanda berikut: adanya takikardi
maternal dengan denyut nadi lebih dari 100 kali / menit; takikardi janin lebih
dari 160 kali / menit; cairan ketuban yang berbau busuk; dan leukositosis
ibu (peningkatan sel darah putih (WBC)) lebih dari 15.000 sel
/ mm2.10
Kasus korioamnionitis subklinis biasanya ditentukan oleh
amniosentesis, hal ini masih menjadi kontroversi dan kontraindikasi pada
penyakit dengan infeksi HIV. Kehadiran positif (> / = + 1) esterase leukosit
dalam dipstick; konsentrasi glukosa <15 mg / dL; > 30 WBC / mm 2 ; dan
bakteri pada pewarnaan gram dalam analisis cairan ketuban harus curiga
adanya infeksi subklinis. Korioamnionitis juga terjadi dengan membran
utuh; kasus yang parah umumnya disebabkan oleh organisme seperti
Listeria monocyto gen , Staphylococcus aureus dan Streptococcus
agalactiae . Umumnya, organisme penyebab korioamnionitis bersifat
polimikroba sebagai spesies mikoplasma, streptokokus grup B, gram negatif
dan anaerob.
Faktor risiko yang mempengaruhi wanita untuk berkembang
menjadi korioamnionitis termasuk pecahnya membran (prematur atau

22
prelabour, atau keduanya). PROM adalah sebuah proses multifaktorial
termasuk adanya komponen risiko seperti PROM pada kehamilan
sebelumnya, merokok, status sosial ekonomi, infeksi (vaginosis bakterial),
amniosintesis, polihidramnion, kehamilan multipel dan perdarahan vagina.
Dalam kebanyakan kasus penyebab PROM masih belum diketahui.10
Infeksi bakteri adalah salah satu penyebab utama kehamilan
prematur. Manajemen hamil, antibiotik spektrum luas dan kortikosteroid
antenatal secara rutin digunakan dalam kondisi ini dengan keberhasilan
yang sangat terbatas untuk mencegah bakteremia, korioamnionitis, funisitis
dan sindrom infeksi intra-amniotik. Terdapat laporan bahwa sebuah kasus
berusaha untuk mengobati PROM. Bakteri menyebar dengan cepat setelah
terjadinya PPROM dan mengalami menginfeksi bagian permukaan ketuban,
tali pusat dan janin. Pemberian antibiotik transplasenta bermanfaat untuk
keberhasilan terapi antibiotik sistemik. Antibiotik tidak dapat
menghilangkan infeksi ketuban pada 83% kasus PPROM. Efek dari
amnioinfusion dapat berlanjut mencegah janin dan rongga ketuban dari
kolonisasi bakteri, mengurangi respons inflamasi yang dimediasi oleh
sitokin dan melindungi neonatus dari komplikasi yang besar seperti
hipoplasia paru, sepsis, cerebral palsy dan deformitas sendi.
Jika PROM terjadi pada trimester kedua diikuti oleh hidramion,
risiko hipoplasia paru dengan kejadian kematian neonatal yang sangat tinggi
dapat meningkat hingga 80%. Selain itu, infeksi bakteri pada organ janin
seperti paru-paru dan otak menyebabkan keadaan yang lebih buruk pada
bayi prematur. Selaput ketuban dan tali pusat yang tidak memiliki jaring
kapiler menyebabkan antibiotik dalam sirkulasi ibu tidak dapat mencapai
bakteri pada permukaan. Urin janin yang mengandung antibiotik yang
dibersihkan hilang dalam rongga amniotik melalui ruptur pada membran
dan tanpa menghilangkan infeksi bakteri. Dari Jalur patofisiologis ini
menegaskan bahwa antibiotik tidak dapat menghilangkan infeksi ketuban di
PPROM. Penggunakan MRI pada saat baru lahir, dapat

23
dilakukan dan menunjukkan hasil korioamnionitis ditandai dengan defisit
kognitif jangka panjang terkait dengan penurunan ketebalan kortikal.
Respons inflamasi di otak janin terhadap infeksi intra-amnion (setelah
PROM) juga dapat berperan dalam tingkat tinggi terhadap gejala sisa pada
neurologis. Penggunaan transcervical dari amfoterisin pada pasien dengan
Infeksi Candida dan PROM preterm.
Penyebab pasti PROM belum diketahui secara pasti, namun diduga
beberapa faktor yang dapat menyebabkan PROM adalah sebagai berikut:11

1. Infeksi Traktus Urinarius dan Genital, Termasuk Penyakit Menular Seksual


Mikroorganisme pada mukus servik secara ascenden berkembang mencapai
uterus menimbulkan reaksi inflamasi pada plasenta, selaput ketuban, dan
desidua maternal. Reaksi inflamasi ini mengeluarkan sitokin seperti IL-1
dan IL-6 dari sel endothelial dan tumor necrosing factor dari makrofag. Hal
ini menstimulasi produksi prostaglandin yang akan menyebabkan
pematangan servik dan kontraksi uterus. Mikroorganisme penyebab yang
sering adalah streptococcus, mikoplasma, basil fusiform.

2. Infeksi Intrauterin
Infeksi intrauterin menjadi predisposisi pecahnya selaput ketuban melalui
beberapa mekanisme, semuanya menyebabkan degradasi dari matriks
ekstraseluler. Beberapa organisme yang termasuk dalam flora vagina
menghasilkan protease yang dapat menurunkan kadar kolagen dan
melemahkan selaput ketuban.Infeksi bakteri dan respon inflamasi ibu juga
menyebabkan produksi prostaglandin oleh selaput ketuban yang akhirnya
meningkatkan resiko premature PROM yang diakibatkan oleh iritabilitas
uterin dan penurunan kolagen selaput ketuban.

24
3. Status Sosial Ekonomi yang Rendah
Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan
insiden PROM, lebih lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak,
serta jarak kelahiran yang dekat.
4. Peregangan Uterus dan Saccus Amniotik yang Berlebihan, yang biasanya
terjadi pada kehamilan multipel atau terlalu banyak cairan amnion
(polihidramnion).
5. Defisiensi Vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan
kolagen, selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan
mempunyai elastisitas yang berbeda tergantung kadar vitamin dalam darah
ibu.
6. Faktor umur dan paritas
Semakin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan amnion
akibat rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya.
7. Faktor-faktor lain
• Serviks inkompeten
• Ketegangan rahim yang berlebihan :kehamialn ganda, hidromniaon
• Kelainan letak janin dan rahim : letak sungsang dan lintang
• Kemungkinan kesempitan panggul
• Kelainan bawaan dari selaput ketuban

3.4.4 Faktor Risiko


Sejumlah faktor risiko untuk PROM spontan telah diidentifikasi
(Tabel 1). Infeksi intra-amniotik dan perdarahan desidua (solusio plasenta)
yang terjadi jauh dari aterm, misalnya, dapat melepaskan protease ke dalam
jaringan choriodecidual dan cairan ketuban, menyebabkan pecahnya
membran. Solusio plasenta terjadi pada 4% sampai 12% kehamilan yang
dengan PROM, dan lebih sering terjadi pada kehamilan yang dengan PROM
sebelum usia kehamilan 28 minggu. Prosedur uterus invasif yang dilakukan
selama kehamilan (seperti amniosentesis, pengambilan sampel chorionic

25
villus, fetoscopy, dan cervical cerclage) dapat merusak membran,
menyebabkan kebocoran, tetapi hal ini jarang menyebabkan PROM.10,11
Risiko rekurensi PROM adalah 16% sampai 32%. Persentase ini dapat
meningkat jika terdapat pemendekan serviks atau kontraksi uterus pada
trimester kedua. Namun, sebagian besar kasus PROM terjadi pada wanita
sehat tanpa faktor risiko yang dapat diidentifikasi. Hubungan seksual,
pemeriksaan spekulum, akivitas ibu dan paritas merupakan faktor
epidemiologi dan historikal yang tidak berkaitan dengan PROM.

Gambar 3.2 Faktor Risiko PROM

Latensi mengacu pada interval antara pecahnya membran dan onset


persalinan. Sejumlah faktor diketahui mempengaruhi periode latensi, termasuk :
▪ Usia kehamilan.
Pada kehamilan aterm, 50% kehamilan dengan penyulit PROM akan
melahirkan secara spontan dalam waktu 12 jam, 70% dalam 24 jam, 85%

26
dalam 48 jam, dan 95% dalam 72 jam tanpa adanya intervensi kebidanan.
Pada wanita dengan PROM yang jauh dari aterm, 50% akan melahirkan
dalam waktu 24 hingga 48 jam dan 70% hingga 90% dalam 7 hari.

• Keparahan oligohidramnion.
Semakin parah tingkat oligohidramnion, semakin pendek periode latensi.
Oligohidramnion yang parah berarti lubang yang lebih besar pada membran
atau bukti kompromi awal janin dengan berkurangnya produksi urin.
▪ Ketebalan miometrium dilihat dari sonografi.
Bukti penipisan yang berlebihan pada miometrium pada wanita nonlaboring
dengan PROM prematur (12 mm) diukur dengan USG transabdominal dan
dikaitkan dengan interval latensi yang lebih pendek.
▪ Jumlah janin.
Secara umum, kehamilan kembar yang dengan penyulit PROM prematur
memiliki periode latensi yang lebih pendek daripada kehamilan tunggal.
▪ Komplikasi kehamilan.
Bukti komplikasi kehamilan (misalnya infeksi intra-amniotik, solusio
plasenta, atau persalinan aktif) atau gawat janin akan menyebabkan
persalinan lebih awal dan interval latensi yang memendek.12

Membran janin berfungsi sebagai penghalang infeksi ascending.


Setelah selaput ketuban pecah, ibu dan janin berisiko terinfeksi dan terjadi
komplikasi lainnya. Komplikasi neonatal terutama berkaitan dengan usia
kehamilan saat ketuban pecah. Preterm PROM dikaitkan dengan
peningkatan 4 kali lipat dalam mortalitas perinatal dan peningkatan 3 kali
lipat pada morbiditas neonatal, termasuk Respiratory Distress sydnrome
(RDS), yang terjadi pada 10% hingga 40% wanita dengan PROM preterm
dan bertanggung jawab atas 40% hingga 70% kematian neonatal; infeksi
intraamniotik polimikroba, yang terjadi pada 15% hingga 30% wanita
dengan PROM prematur dan menyumbang 3% hingga 20% kematian

27
neonatal; dan perdarahan intraventrikular (IVH). Komplikasi neonatal
lainnya termasuk hipoplasia paru janin, yang berkembang pada 26% PROM
preterm sebelum 22 minggu; deformitas tulang, menjadi penyulit 12%
PROM preterm, terkait dengan keparahan dan durasi PROM preterm;
Prolaps tali pusat, terutama pada kehamilan dengan presentasi nonverteks;
dan peningkatan sesar akibat malpresentasi. 12

3.4.5 Patofisiologi
PROM berkaitan dengan peningkatan cairan amnionik. Kekuatan
tahanan membran banyak diperoleh dari matriks ekstraselular dalam
amnion. Ketika selaput yang mengandung cairan yang mengelilingi bayi
(cairan ketuban) pecah, maka akan terjadi kekurangan cairan, kondisi ini
disebut oligohidramnion.13
Terjadi perubahan sitoarsitektur membran korioamniotik, kualitas
dan kuantitas dari membran kolagen. Khususnya kolagen tipe III yang dapat
berkurang pada pasien PROM, serta peningkatan aktifitas kolagenolitik
ditemukan pada PROM.
Infeksi diduga berperanan cukup penting dalam menyebabkan
persalinan prematur dan PROM,. Organisme yang paling sering
menyebabkan yaitu bakteri vaginosis, Trichomonas vaginalis,
Mycoplasmae, Chlamydia trachomitis, Neisseria gonnorhea, Streptococcus
group B, serta Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus, dan
Fusobacterium. Bakteri yang sering ditemukan dari cairan amnion pada
persalinan prematur dan bakteri vagina lainnya termasuk Lactobacillus dan
Staphylococcusepidermidis dapat menyebabkan pengeluaran mediator
inflamasi yang dapat menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini dapat
menyebabkan perubahan pada serviks, pemisahan korion dari amnion, dan
PROM. 13
Maternal dan fetal “stress” juga dapat menyebabkan pengeluaran
stress mediator melalui axis hypothalamic-pituitary-adrenal yang
menyebabkan peningkatan produksi placental corticotrophin releasing

28
hormone ( CRH ). Aksi yang belakangan diketahui sebagai suatu efector
parakrin, yang dapat meningkatkan pengeluaran enzim dan senyawa
compound yang dapat menyebabkan PROM.

Gambar 3.3 Mekanisme PROM

PROM berkaitan dengan peningkatan cairan amnionik. Kekuatan


tahanan membran banyak diperoleh dari matriks ekstraselular dalam
amnion. Ketika selaput yang mengandung cairan yang mengelilingi bayi
(cairan ketuban) pecah, maka akan terjadi kekurangan cairan, kondisi ini
disebut oligohidramnion.
Oligohidramnion merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan
kekurangan volume cairan ketuban/ amniotic fluid volume (AFV) di bawah
korpersentil ke-10 pada kehamilan. Kelainan janin berpengaruh hingga 50%
dari penurunan AFV pada trimester kedua, tetapi malformasi yang
mematikan umumnya menyebabkan oligohidramnion yang parah melalui
anuria janin. Amnioinfusi merupakan prosedur diagnosis dari

29
ultrasonografi di 26% dari kasus dan sekaligus dapat mengidentifikasi
traktus urinarius.
Terdapat enam kemungkinan penyebab utama oligohidramnion
yakni : kegagalan mekanisme regulasi disertai kelainan janin yang cukup
parah; prematur rupture of the membranes (PROM); idiopatik; gangguan
fungsi plasenta; komplikasi multipel pada kehamilan; dan iatrogenik.
Diperkirakan bahwa pembentukan jaringan paru tergantung pada
jumlah cairan ketuban yang cukup, terutama selama usia kehamilan antara
16 dan 26 minggu (midtrimester). Oligohidramnion dianggap dapat
mengganggu perkembangan paru-paru normal, hal ini dapat terjadi suatu
kondisi yang disebut hipoplasia paru. Hipoplasia paru dapat muncul sebagai
masalah pernapasan yang parah atau masalah pernapasan yang lebih ringan
dan sementara. Hipoplasia paru adalah istilah untuk menggambarkan paru-
paru tidak berkembang. Hipoplasia paru merupakan ancaman serius bagi
neonatus terkait dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Hal
ini dapat terjadi bersamaan dengan pendarahan di paru-paru dan juga dapat
menyebabkan penyakit pernapasan kronis akibat adanya jaringan parut pada
paru-paru, hingga dapat terjadi komplikasi neurologis, kelainan bentuk
janin, dan sepsis neonatal dengan oligohidramnion.
Oligohidramnion trimester kedua dapat menyebabkankelainan janin
seperti agenesis ginjal atau uropati obstruktif, premature rupture of
membrane (PROM), intrauterine growth restriction (IUGR). Hipoplasia
Paru-paru yang mematikan umumnya dikaitkan dengan oligohidramnion
dan menyebabkan kematian hingga 80%.14
Ketika cairan keluar dari paru-paru, maka akan menyebabkan paru-
paru akan menjadi hipoplastik. Penurunan tekanan cairan amnion terjadi
pada oligohidramnion dan penurunan tekanan jalan nafas intralumen
dengan cairan drainase dari paru dan pertumbuhan paru yang buruk.
Oligohidram pada PPROM juga berhubungan dengan peningkatan risiko

30
korioamnionitis dan sepsis neonatal. Tindakan seperti perbaikan volume
cairan ketuban mungkin dapat mengurangi risiko sepsis.

3.4.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang dapat timbul pada pasien PROM antara lain:
a. Gejala utama berupa keluarnya cairan dari vagina, yang dapat keluar
sebagai pancaran yang besar dan mendadak atau sebagai suatu tetesan yang
konstan lambat.
b. Keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan 37 minggu
c. Ketuban dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan
berlangsung.
d. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan aterm

PROM dikaitkan dengan risiko anhidramnion, kompresi tali pusat,


amniotik infection syndrome (AIS) dan solusio plasenta. PPROM <20
minggu kehamilan menyebabkan deformitas wajah / ekstremitas, hipoplasia
paru dan sindrom paru kering terkait dengan mortalitas tinggi dan
komplikasi paru jangka panjang. Amnioinfusi intrapartum dan amnioinfusi
transabdominal sebagai prosedur diagnostik dapat diterima secara luas dan
memiliki manfaat yang terbukti secara klinis. Ada beberapa Risiko dan
manfaat dari amnioinfusi Namun, amnioinfusi transabdominal antepartum
belum kontroversial.15
Terdapat laporkan penggunaan saline amnioinfusi pada pasien
dengan PPROM karena menghindari efek oligohidramnion yang tidak
menguntungkan perkembangan dan keselamatan janin. Adanya peningkatan
komplikasi perinatal pada kehamilan prematur dengan oligohydramnios.
Dalam penelitian ini, terdapat tujuh kelahiran meninggal beberapa jam
setelah melahirkan karena kromosom atau kelainan janin multipel yang
berhubungan dengan hasil yang buruk atau bertahan hidup hanya beberapa
hari di NICU sebelum meninggal karena komplikasi terkait berat lahir
sangat rendah. Namun, pada kelahiran yang hidup

31
dilaporkan memiliki komplikasi prematuritas di kelahiran, misalnya
sindrom gangguan pernapasan.
Usia kehamilan adalah variabel prediksi yang paling signifikan
untuk kelangsungan hidup neonatal, oleh karena itu memperpanjang
kehamilan dapat meningkatkan kelangsungan hidup perinatal.Ada kesulitan
teknis dengan prosedur inikarena anhidramnion hadir dalam banyak kasus,
sehingga dapat meningkatkan risiko cedera janin. Terdapat laporan
mengenai laserasi tungkai yang terjadi karena aktivitas janin yang
berlebihan selama prosedur. Amnioinfusi transabdominal pada
oligohidramnion yang parah menyebabkan kesulitan dan berpotensi
berbahaya bagi janin karena risiko cedera pada janin. Karena itu seharusnya
hanya dilakukan oleh ahli danpersonel yang berpengalaman dengan
peralatan yang baik dalam persetujuan institusi.15
Efek samping yang utama pada oligohidramnion adalah adanya
hipoplasia paru, yang dapat berkembang selama durasi 6 hari. Mekanisme
terjadinya hipoplasia paru masih belum jelas, bisa jadi karena
penghambatan gerakan pernapasan janin atau adanya peningkatan kejadian
kehilangan cairan paru janin ke dalam ruang ketuban. Laporan mengenai
adanya hambatan pernapasan janin bukan merupakan penyebab dari paru
yang terkait oligohidramnion. Cairan intrapulmonary janin terbentuk
dengan aktif melintasi epitel paru, dan dapat berfungsi untuk memperbesar
saluran udara potensial dan merangsang pertumbuhan. Meskipun ukuran
studi ini terlalu kecil untuk diperlihatkan dampak amnioinfusi dapat
berdampak pada hasil perinatal, jelas bahwa memulihkan volume cairan
ketuban dapat menyebabkan lingkungan yang lebih cocok untuk
perkembangan organ vital janin yang normal pada periode antepartum
dandapat memperluas efek positifnya pada periode intrapartum.
Namun, untuk janin dengan fungsi ginjal yang tidak berfungsi akan
membutuhkan dialisis yang harus dimulai lebih awal kehidupan neonatal
agar prognosisnya baik. Janin-janin dengan ginjal yang tidak berfungsi

32
akan membutuhkan tindakan pencegahan nefrektomi bilateral diikuti oleh
transplantasi ginjal.

3.4.7 Penegakan Diagnosa


Ketuban pecah dini (Premature Rupture of Membrane/PROM)
terjadi pada pasien yang melampaui usia kehamilan 37 minggu yang
ditandai dengan pecahnya ketuban sebelum masuk masa awal persalinan.
Sedangkan, ketuban pecah sebelum waktu atau preterm premature rupture
of membrane (PPROM) yaitu pecahnya membran korioamniotik pada usia
kehamilan kurang dari 37 minggu.
PPROM dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dengan vaginal toucher dan inspekulo, serta pemeriksaan penunjang berupa
ferning test, laboratorium, dan USG.Pada anamnesis sebaiknya ditanyakan
riwayat demam, trauma, diurut-urut, minum jamuan, intercourse terakhir,
dan riwayat keputihan. Hal ini berguna untuk menentukan faktor
predisposisi PPROM. Pemeriksaan obstetrik sangat dibutuhkan untuk
membantu penegakkan diagnosis. Pecahnya ketuban didiagnosis ketika
cairan amnion dilihat dengan adanya pooling di fornix posterior atau cairan
bening mengalir dari saluran serviks.16
Pada pemeriksaan inspekulo, terdapat OUE masih tertutup, flour (+),
pool vagina, dan terjadi perubahan warna merah menjadi biru pada kertas
lakmus. Normalnya, pH cairan vagina normal berkisar 4,5-5,5, sedangkan
cairan amnion berkisar antara 7,0-7,5.Dan tidak dilakukan pemeriksaan
vaginal toucher. Pemeriksaan semacam itu telah terbukti meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Hal ini disebabkan vaginal toucher pada
kehamilan preterm yang belum memasuki masa persalinan dapat
mengakumulasi serviks dengan flora vagina yang dapat menjadi patogen
sehingga menimbulkan pelepasan prostaglandin, infeksi intrauterin dan
persalinan preterm. Vaginal toucher hanya dilakukan pada ketuban pecah
dini yang sudah memasuki masa persalinan atau dilakukan

33
induksi persalinan. Dokter harus melakukan pemeriksaan spekulum untuk
mengevaluasi apakah ada pelebaran dan penipisan serviks.
Ketika diduga PPROM, penting untuk menghindari melakukan
pemeriksaan vaginal toucher. Pemeriksaan vaginal toucher juga
menyebabkan penurunan sembilan hari rata-rata pada periode
laten.Pemendekan periode laten dapat menyebabkan peningkatan
morbiditas dan gejala sisa akibat persalinan prematur.Beberapa dokter
menyayangkan tidak melakukan pemeriksaan vaginal toucher, karena dapat
menyebabkan kesalahan diagnosis persalinan prematur lanjut dengan
persalinan segera, yang memiliki implikasi penting bagi pasien yang
memerlukan transfer ke pusat perawatan tersier.Namun, perbandingan
prospektif menemukan bahwa perbedaan antara pemeriksaan vaginal
toucher dan spekulum tidak signifikan secara klinis.Dokter harus yakin
bahwa pemeriksaan visual yang cermat melalui pemeriksaan spekulum
adalah metode paling aman untuk menentukan apakah pelebaran telah
terjadi setelah PPROM.
Pada anamnesis paling utama tanyakan berapa bulan usia
kandungan. Gejala yang dirasakan apa saja. Apakah pasien merasakan
keluar air-air pada jalan lahir, atau mengeluarkan cairan yang banyak dari
jalan lahir secara tiba-tiba tanpa sebab atau ada sebab yang dirasakan,
misalkan pasca trauma. Apakah cairan berbau khas dan perlu diperhatikan
warnanya. Riwayat kehamilan sebelumnya jika ada. Apakah ada keluhan
lain.Setelah mendiagnosa ketuban pecah dini premature (PPROM)
pemeriksaan fisik dengan teliti diperlukan untuk mencari tanda-tanda
infeksi lainnya. Mengingat risiko infeksi, tidak ada indikasi untuk
pemeriksaan vaginal toucher jika pasien kehamilan pertama. Pemeriksaan
spekulum steril cukup untuk membedakan antara kelahiran awal dan
lanjutan.
Takikardi dan demam dapat menunjukkan kemungkinan infeksi, dan
juga penting mengidentifikasi penyebab infeksi yang dapat menyebabkan
ketuban pecah dini premature (PPROM). Sangat penting

34
memperhatikan waktu pecah dan konsistensi dari pecahnya ketuban. Hal ini
berguna untuk menetapkan usia kehamilan secara tepat dan akurat untuk
mengelola pasien.Sebuah langkah yang paling penting dalam diagnosis
akurat adalah pemeriksaan dengan spekulum steril (Speculum Sterile
Examination/SSE). Pemeriksaan vaginal toucher harus dihindari kecuali
persalinan segera untuk antisipasi. Beberapa studi telah menunjukkan
bahwa pemeriksaan vaginal toucher menurunkan periode laten dan
meningkatkan risiko sepsis neonatorum.
Beberapa pemeriksaan ini adalah kunci untuk membedakan ketuban
pecah dini dari hiperemesis hydrorrhea, vaginitis, meningkatnya sekresi
vagina, dan inkontinensia urin. pemeriksa harus mencari 3 ciri khas yang
berhubungan dengan ketuban pecah dini (PROM), yaitu :
1. Pooling, kumpulan cairan ketuban dalam fornix posterior.
2. Nitrazine tes, ujung kapas steril digunakan untuk mengumpulkan
cairan dari fornix posterior dan menempelkannya pada kertas
nitrazine (phenaphthazine). Jika cairan tersebut adalah cairan
ketuban, maka kertas Nitrazine menyala biru, dan ini menunjukkan
bahwa cairan amnion memiliki pH basa (7,0-7,25). Tes ini dapat
negatif palsu pada darah.
3. Tes Ferning, cairan dari fornix posterior ditempatkan pada slide dan
dibiarkan kering di udara, cairan ketuban akan membentuk pola
fernlike kristalisasi (bentuk pakis) pada mikroskop.

Ketiga hal tersebut, mengkonfirmasi adanya pecah ketuban,


meskipun beberapa faktor dapat menghasilkan hasil positif palsu. pH basa
pada uji Nitrazine juga bisa disebabkan oleh infeksi vagina atau adanya
darah atau air mani dalam sampel. Lendir serviks dapat menyebabkan tes
ferning positif, tetapi biasanya tidak merata dan kurang luas dibandingkan
dengan air ketuban.
Selama pemeriksaan spekulum, leher rahim harus diperiksa secara
visual untuk menentukan derajat dilatasi dan adanya prolaps. Jika pooling

35
vagina signifikan, cairan dapat dikumpulkan dan diperiksa untuk penentuan
kematangan paru janin, jika usia kehamilan lebih dari 32 minggu. Sekresi
serviks juga harus diperiksa untuk kultur.Jika tidak ada cairan bebas
ditemukan, dry pad harus ditempatkan di bawah perineum dan diamati
untuk pecahnya ketuban. Tes konfirmasi lain untuk PROM diamati dari os
servikal ketika pasien batuk atau melakukan manuver valsava selama
pemeriksaan spekulum dan tampak pada pemeriksaan USG gambaran
oligohydramnion.
Jika pemeriksa masih tidak dapat mengkonfirmasi ketuban pecah
dini dan sangat mencurigakan pasien mengalami ketuban pecah dini,
mungkin perlu untuk melakukan amniosentesis dan menyuntikkan larutan
encer dari zat warna carmine Evans biru atau nila. Hal ini dilakukan setelah
pengambilan cairan ketuban untuk pengujian fisiologis, analisis untuk sel
darah putih atau bakteri, dan mungkin kultur dan uji sensitivitas. Setelah 15-
30 menit, pemeriksaan pada dry pad perineum pasien akan menunjukkan
pewarnaan biru jika terjadi pecah ketuban. Pemeriksaan hitung darah
lengkap dan urine dengan kultur dan tes sensitivitas bakteri harus dilakukan.
Penilaian jumlah cairan amnion melalui USG dapat dilakukan
dengan cara subjektif ataupun semikuantitatif.

1. Penilaian Subjektif
Dalam keadaan normal, janin tampak bergerak bebas dan dikelilingi oleh
cairan amnion. Struktur organ janin, plasenta dan tali pusat dapat terlihat
jelas. Kantung-kantung amnion terlihat di beberapa tempat, terutama pada
daerah diantara kedua tungkai bawah dan diantara dinding depan dan
belakang uterus. Pada kehamilan trimester III biasanya terlihat sebagian dari
tubuh janin bersentuhan dengan dinding depan uterus.
Pada keadaan oligohidramnion cairan amnion disebut berkurang bila
kantung amnion hanya terlihat di daerah tungkai bawah, dan disebut habis
jika tidak terlihat lagi kantung amnion. Pada keadaan ini aktivitas gerakan

36
janin menjadi berkurang. Struktur janin sulit dipelajari dan ekstermitas
tampak berdesakan.

2. Penilaian Semikuantitatif
• Pengukuran diameter vertical yang terbesar pada salah satu kantung
amnion, dilakukan dengan mencari kantung amnion terbesar, bebas
dari bagian tali pusat dan ekstermitas janin, yang dapat ditemukan
melalui transduser yang diletakkan tegak lurus terhadap kontur dinding
abdomen ibu. Pengukuran dilakukan pada diameter vertical kantung
amnion. Morbiditas dan mortalitas perinatal meningkat bila diameter
vertical terbesar kantung amnion < 2cm (oligohidramnion) atau > 8 cm
(polihidramnion).17
• Pengukuran indeks cairan amnion (ICA), Pada cara ini, uterus dibagi
dalam 4 kuadran yang dibuat oleh garis mediana melalui linea nigra
dan garis horizontal setinggi umbilicus. Pada setiap kuadran uterus
dicari kantung amnion terbesar, bebas dari bagian tali pusar dan
ekstermitas janin, yang ditentukan transducer yang diletakkan tegak
lurus terhadap lantai. Indeks cairan amnion merupakan hasil
penjumlahan dari diameter vertical terbesar kantung amnion pada
setiap kuadran. Bila ICA < 5 cm disebut oligohidramnion.

Gejala adalah kunci untuk diagnosis, pasien biasanya mengeluhkan


cairan yang tiba-tiba merembes dari vagina dan keluarnya cairan yang
berlanjutan. Gejala tambahan yang mungkin penting termasuk warna dan
konsistensi cairan, adanya bintik-bintik dari vernix atau mekonium, ukuran
uterus yang mengecil, dan peningkatan janin untuk palpasi. Wanita harus
diinstruksikan selama periode antepartum untuk menyadari pecahnya
ketuban dari vagina dan segera melaporkan jika terjadi peristiwa seperti itu.
Pada kehamilan cukup bulan, ada 3 hal yang harus diperhatikan jika terjadi
ketuban pecah secara signifikan. Pertama, jika bagian presentasi tidak tetap
pada pelvis, kemungkinan prolaps tali pusat dan kompresi

37
sangat meningkat. Kedua, persalinan kemungkinan akan dimulai segera jika
kehamilan sudah pada atau waktu dekat. Ketiga, jika kelahiran ditunda
setelah ketuban pecah, infeksi intrauterine ini cenderung lebih meningkat
sejalan meningkatnya interval waktu.
Pendekatan diagnosis pecah ketuban harus secara klinis, dengan
lebih dari 90% kasus yang dikonfirmasi berdasarkan pada anamnesis
didapatkan riwayat persalinan prematur sebelumnya atau temuan
ultrasonografi diikuti dengan riwayat cairan yang keluar dari serviks atau
hasil tes nitrazine / ferning positif pada kumpulan cairan vagina.Pecahnya
ketuban didiagnosis ketika cairan amnionik dilihat dengan adanya pooling
di fornix posterior atau cairan bening mengalir dari saluran serviks.
Meskipun beberapa tes diagnosis untuk mendeteksi pecah ketuban telah
direkomendasikan, tidak ada yang benar-benar dapat diandalkan. Jika
diagnosis masih belum jelas, metode lain melibatkan penentuan pH cairan
vagina. pH cairan vagina normal berkisar 4,5-5,5, sedangkan cairan
amnionic biasanya 7,0-7,5.17
Evaluasi USG mungkin berguna jika diagnosis tetap diragukan
setelah pemeriksaan spekulum. Diagnosis ketuban pecah dapat
dikonfirmasikan dengan tegas oleh USG dipandu amnioinfusion indigo
carmine (1 mL dalam 9 ml salin normal steril), diikuti dengan observasi
untuk melihat adanya cairan biru per vaginum. Meskipun terdapat
oligohydramnion tanpa jelas adanya malformasi dari saluran kemih janin
atau kemungkinan pertumbuhan janin yang terhambat akibat pecahnya
membran amnion, USG saja tidak dapat mendiagnosa atau mengecualikan
pecahnya ketuban dengan pasti. Cervicovaginal screening untuk fibronektin
janin telah disarankan sebagai penanda untuk PPROM saat diagnosis tetap
ragu setelah pemeriksaan spekulum awal. 17

38
3.4.8 Tatalaksana
Konservatif
a. Rawat di rumah sakit
b. Berikan antibiotik (Ampisilin 4 x500 mgatau eritromisin bila tidak tahan
dengan ampisilin dan metronidazole 2x 500 mg selama 7 hari )
c. Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, di rawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
d. Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negative: beri dexamethasone, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
e. Jika kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan
tokolitik (salbutamol), deksamethasone dan induksi sesudah 24 jam.
f. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan
lakukan induksi
g. Nilai-tanda-tanda infeksi ( suhu, leukosit, tanda – tanda infeksi
intrauterin)
h. Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin
dan spingomielin tiap minggu. Dosis dexamethasone 12 mg sehari dosis
tunggal selama 2 hari, dexamethasone i.m 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4
kali.18

39
Gambar 3.4 Tatalaksana PPROM

40
Aktif
a. Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan
seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50ug intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali.
b. Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan
diakhiri jika :
▪ Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian
induksi
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan secsio sesarea
▪ Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.
▪ Antibiotik1,2,6,7

Antibiotik
Pemberian antibiotik pada pasien KPD dapat menurunkan resiko infeksi
pada perinatal dan maternal serta dapat memperpanjang periode laten. Sebuah
metanalisis memperlihatkan bahwa penderita yang mendapatkan antibiotik
setelah preterm KPD dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan antibiotik,
mengurangi kejadian endometritis post partum, chorioamnionitis, sepsis
neonatal, pneumonia neonatal dan hemoragi intravnetrikuler.

Tokolitik
Terapi tokolitik dapat memperpanjang periode laten untuk waktu yang
singkat tetapi tidak memperlihatkan peningkatan luaran janin yang baik. Terapi
tokolitik jangka panjang pada pasien KPD tidak direkomendasikan dengan
pertimbangan belum ada hasil penelitian lebih lanjut.19

Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
perinatal setelah preterm KPD antara lain resiko RDS, hemoragi
intraventrikuler dan enterokolitis nekrotik.19

41
Ketuban pecah dini

Masuk Rumah Sakit :


▪ Antibiotik
▪ Batasi Pemeriksaan Dalam
▪ Observasi tanda infeksidan fetal distres

Hasil premature : Kehamilan aterm

▪ Observasi
(suhu,
fetal Letak Kepala
Kelainan obstetri :
distress)
▪ Fetal distress
▪ Letak sungsang
▪ CPD
▪ Riwayat Indikasi induksi :
obstetric buruk - Infeksi
▪ Grandemultipar - Waktu
a
▪ Ederly
primigravid
a

Gagal: Berhasil :
▪ Reaksi Persalinan
Seksio uterus tidak
vaginam
ada
▪ Kelainan
letak kepala
▪ Fase laten dan
aktif
memanjang
▪ Fetal distress

Gambar 3.5 Penatalaksanaan ketuban pecah


dini.

42
3.4.9 Komplikasi
A. Neonatal20
- Peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal yang
berhubungan dengan prematuritas.
- Komplikasi selama kehamilan dan persalinan yang dapat
meningkatkan resiko resusitasi neoatal.
- Infeksi.

B. Maternal
- Infeksi
Korioamnionitis dan infeksi fetus dapat menyebabkan
septicemia, pneumonia, infeksi traktus urinaria, atau infeksi
lokal seperti omphalitis atau konjunctivitis.
- Peningkatan resiko seksio sesarea

C. Prematuritas
- Respiratory distress syndrome (RDS)
- Intraventricular hemorrhage (IVH)
- Enterokolitis nekrosis (NBC)

D. Deformitas fetus sindrom


- Retardasi pertumbuhan
- Anomali muka dan tungkai fetus
- Hipoplasi pulmonary
- Imature alveoli20,21

3.5 Cephalopelvic disproportion


3.5.1 Definisi
Disproporsi cefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan
ketidak sesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak

43
dapat keluar melalui vagina. Disproporsi sefalopelvik disebabkan oleh
panggul sempit, janin yang besar ataupun kombinasi keduanya.22

- Pintu Atas Panggul


Pintu atas panggul dibentuk oleh promontorium corpus vertebra sacrum 1,
linea innominata, serta pinggir atas simfisis. Konjugata diagonalis adalah
jarak dari pinggir bawah simfisis ke promontorium, Secara klinis, konjugata
diagonalis dapat diukur dengan memasukkan jari telunjuk dan jari tengah
yang dirapatkan menyusur naik ke seluruh permukaan anterior sacrum,
promontorium teraba sebagai penonjolan tulang. Dengan jari tetap
menempel pada promontorium, tangan di vagina diangkat sampai
menyentuh arcus pubis dan ditandai dengan jari telunjuk tangan kiri. Jarak
antara ujung jari pada promontorium sampai titik yang ditandai oleh jari
telunjuk merupakan panjang konjugata diagonalis.
Konjugata vera yaitu jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium yang
dihitung dengan mengurangi konjugata diagonalis 1,5 cm, panjangnya lebih
kurang 11 cm. Konjugata obstetrika merupakan konjugata yang paling
penting yaitu jarak antara bagian tengah dalam simfisis dengan
promontorium, Selisih antara konjugata vera dengan konjugata obstetrika
sedikit sekali.

Gambar 3.6 Diameter pada Pintu Atas Panggul

44
- Panggul Tengah Panggul
Ruang panggul ini memiliki ukuran yang paling luas. Pengukuran klinis
panggul tengah tidak dapat diperoleh secara langsung. Terdapat
penyempitan setinggi spina isciadika. Jarak antara kedua spina ini yang
biasa disebut distansia interspinarum merupakan jarak panggul terkecil
yaitu sebesar 10,5 cm. Diameter anteroposterior setinggi spina isciadica
berukuran 11,5 cm. Diameter sagital posterior, jarak antara sacrum dengan
garis diameter interspinarum berukuran 4,5 cm.

- Pintu Bawah Panggul


Pintu bawah panggul bukanlah suatu bidang datar namun terdiri dari dua
segitiga dengan dasar yang sama yaitu garis yang menghubungkan tuber
isciadikum kiri dan kanan. Pintu bawah panggul yang dapat diperoleh
melalui pengukuran klinis adalah jarak antara kedua tuberositas iscii atau
distansia tuberum (10,5 cm), jarak dari ujung sacrum ke tengah-tengah
distensia tuberum atau diameter sagitalis posterior (7,5 cm), dan jarak antara
pinggir bawah simpisis ke ujung sacrum (11,5 cm).
Dikatakan pangggul sempit bila ukurannya 1-2 cm kurang dari ukuran
normal. Kesempitan panggul bisa pada pintu atas panggul (inlet), ruang
tengah panggul (mid pelvis), pintu bawah panggul (pelvic outlet) atau
kombinasi.

3.5.2 Klasifikasi Cephalopelvic disproportion


Pintu atas panggul dianggap sempit bila diameter anteroposterior
kurang dari 10 cm atau diameter transversa kurang dari 11.5 cm atau
konjugata obstetriknya kurang dari 12 cm. Dengan menggunakan
pelvimetri klinis kita dapat mengidentifikasi diamater anteroposterior
paling pendek yang harus dilewati kepala janin. Sebelum persalinan telah
terbukti diameter kepala janin rata-rata berukuran 9.5 cm sampai 9.8 cm.
Jadi sebagian janin sangat sulit atau mustahil melewati pintu atas dengan
diameter anteroposterior kurang dari 10 cm.23

45
A. Kesempitan pintu atas panggul berdasarkan konjugata vera:
1. Pembagian tingkat panggul sempit
• Tingkat I : CV = ≥ 9 - <10 cm = borderline
• Tingkat II : CV = ≥ 8 - <9 cm = relative
• Tingkat III : CV = ≥ 6 - <8 cm = ekstrim
• Tingkat IV : CV = < 6 cm = mutlak (absolut)
2. Pembagian menurut tindakan
• CV = 11 cm : partus biasa
• CV = ≥ 8 - 10 cm : partus percobaan
• CV = ≥ 6 - <8 cm : SC primer
• CV = <6 cm : SC mutlak

B. Kesempitan ruang tengah panggul


Terjadi bila :
a. Diameter transversa 9 cm
b. Diameter transversa ditambah diameter sagitalis posterior kurang
dari 13.5 cm. Kesempitan midpelvis hanya dapat dipastikan dengan
rontgen pelvimetri, kemungkinan kesempitan midpelvis, jika:
- Spina menonjol. Partus akan tertahan disebut midpelvis arest
- Side wall konvergen
- Ada kesempitan outlet
Midpelvis contraction dapat memberikan kesulitan sewaktu partus
sesudah kepala melewati pintu atas panggul. Adanya kesempitan ini
sebetulnya merupakan kontraindikasi untuk forsep karena akan
menambah sempitnya ruangan.Dengan sakrum melengkung
sempurna, dinding-dinding panggul tidak berkonvergensi, foramen
ischiadikum mayor cukup luas, dan spina ischiadica tidak menonjol
ke dalam dapat diharapkan bahwa panggul tengah tidak akan
menyebabkan rintangan bagi lewatnya kepala janin.

46
C. Kesempitan pintu bawah panggul
Pintu bawah panggul tidak merupakan bidang yang datar, tetapi terdiri atas
segitiga depan dan segitiga belakang yang mempunyai dasarnya yang sama,
yakni distansia tuberum. Apabila ukuran yang terakhir ini lebih kecil dari
biasa, maka sudut arkus pubis juga mengecil (< 800). Supaya kepala janin
dapat lahir maka diperlukan ruangan yang lebih besar pada bagian belakang
pintu bawah panggul. Dengan diameter sagitalis posterior yang cukup
panjang, persalinan pervaginam dapat dilaksanakan, walaupun dengan
perlukaan luas pada perineum. Bila diameter transversa dan diameter sagitalis
posterior < 15 cm. Meskipun tidak menghalangi lahirnya janin namun dapat
menyebabkan ruptur perineal yang hebat karena arkus pubis sempit sehingga
kepala janin terpaksa melalui ruang belakang.

3.5.3 Diagnosis
a. Anamnesis
Ada riwayat kesalahan letak, partus yang lalu berlangsung lama, anak
meninggal atau persalinan ditolong dengan alat-alat dan operasi.

b. Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi
Ibu kelihatan pendek, ada skoliosis, kifosis dan sebagainya. Kelainan
panggul luar (rachitis), kalau kepala belum masuk PAP kelihatan
kontur seperti kepala menonjol diatas simfisis.
- Palpasi
Kepala tidak masuk PAP atau masih goyang dan terdapat tanda
OSBORN, yaitu kepala didorong kearah PAP dengan satu tangan di
atas simfisis pubis sedang tangan lain mengukur tegak lurus pada
kepala yang menonjol.
+ : 3 jari
- : masuk PAP
± : antara kesalahan-kesalahan letak

47
c. Pemeriksaan Penunjang
- Pelvimetri klinis
a. Pemeriksaan panggul luar apakah ukurannya kurang dari normal
b. Pemeriksaan dalam : apakah promontorium teraba, lalu diukur
CD dan CV, linea ingeminata teraba seluruhnya atau tidak, spina
ischiadica, dll.
- Rontgen pelvimetri
Dari foto rontgen ditentukan ukuran-ukuran CV : CO apakah kurang
dari normal.24

Anamnesis tentang persalinan-persalinan terdahulu dapat memberi


pentunjuk tentang keadaan panggul. Apabila persalinan tersebut berjalan
lancar dengan dilahirkannya janin dengan berat badan normal, maka kecil
kemungkinan bahwa wanita yang bersangkutan menderita kesempitan
panggul yang berarti.
Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara pemeriksaan yang
penting untuk mendapat keterangan lebih banyak tentang keadaan panggul.
Pelvimetri dalam dengan tangan mempunyai arti yang penting untuk
menilai pintu atas panggul serta panggul tengah dan untuk memberi
gambaran yang jelas mengenai pintu bawah panggul.

3.5.4 Penatalaksanaan
A. Persalinan percobaan
Berdasarkan pemeriksaan yang teliti pada hamil tua diadakan penilaian
tentang bentuk serta ukuran-ukuran panggul dalam semua bidang dan
hubungan antara kepala janin dan panggul, dan setelah dicapai kesimpulan
bahwa ada harapan persalinan dapat berlangsung pervaginam dengan
selamat, dapat diambil keputusan untuk menyelenggarakan persalinan
percobaan.Partus percobaan dimulai saat penderita dinyatakan inpartu
dengan penilaian kemajuan persalinan dimulai setelah persalinan masuk
fase aktif. Persalinan berdasarkan kemajuan-kemajuan persalinan terdiri

48
dari pembukaan serviks, turunnya kepala, dan putar paksi dalam. Bila
terdapat perubahan yang bermakna dari ketiga komponen tersebut maka
partus percobaan dikatakan ada kemajuan dan dapat diteruskan. Namun,
bila tidak ada kemajuan yang bermakna maka patus percobaan dinyatakan
gagal dan dipastikan adanya CPD, persalinan dilanjutkan dengan seksio
sesarea.

B. Seksio Sesarea
Seksio sesarea dilakukan secara elektif atau primer, yakni sebelum
persalinan dimulai atau pada awal persalinan. Seksio sesarea elektif
dilakukan pada kehamilan cukup bulan karena kesempitan panggul yang
cukup berat atau karena terdapat disproporsi sefalopelvik yang nyata.
Secara sekunder yakni setelah persalinan berlangsung selama beberapa
waktu. Seksio sesarea sekunder dilakukan karena persalinan percobaan
dianggap gagal atau karena timbul komplikasi.25

3.5.5 Komplikasi
Bahaya pada ibu dapat berupa partus lama yang dapat menimbulkan
dehidrasi serta asidosis, infeksi intrapartum, ruptur uteri, resiko terjadinya
fistula vesikoservikalis, fistula vsikovaginalis atau fistula rektovaginalis
karena tekanan yang lama antara kepala jannin dan tulang panggul. Bahaya
pada bayi berupa peningkatan kematian perinatal dan perlukaan pada
jaringan di atas tulang kepala janin bahkan bisa menimbulkan fraktur pada
os parietal.26

49
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada laporan kasus ini akan dibahas Pasien Ny. Z usia 34 tahun datang ke
IGD RSUD Raden Mattaher 19 Juni 2021 pukul 07:49 WIB dengan keluhan
utama keluar air dari jalan lahir. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan diagnosis G2P1A0 Gravida 37-38
Minggu dengan JTH Presentasi Kepala + bekas Sectio Caesarea a.i Ketuban Pecah
Dini + CephalopelvicDisproportion
Diagnosis ketuban pecah dini didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis KPD yang tepat sangat penting
untuk menentukan penanganan selanjutnya. Oleh karena itu, usaha untuk
menegakkan diagnosis KPD harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Pada pasien
juga didiagnosis CPD, yaitu disproporsi sefalopelvik merupakan keadaan yang
menggambarkan ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga
janin tidak dapat keluar melalui vagina. Disproporsi sefalopelvik disebabkan oleh
panggul sempit, janin yang besar ataupun kombinasi keduanya.

Anamnesis
Dari anamnesis di dapatkan bahwa pasien datang ke RSUD Raden Mattaher
dengan keluhan keluar air-air berwarna jernih, berbau khas dari jalan lahir sejak ±
4 jam SMRS tanpa disertai darah yang keluar. Pasien juga mengatakan bahwa ini
merupakan kehamilan yang kedua dan pasien memiliki riwayat operasi sectio
cesaria kurang lebih 2 tahun yang lalu karena panggul sempit.

Pada kasus, berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan yang sesuai dengan


teori, yaitu pasien mengeluhkan keluar air-air dari jalan lahir sejak ± 4 jam SMRS
hingga membasahi kain. Air-air tersebut jernih dan berbau khas.

50
Berdasarkan teori, diagnosis KPD 90% dapat ditegakkan melalui
anamnesis. Berdasarkan teori anamnesa pasien dengan KPD yaitu merasa basah
pada jalan lahir atau mengeluarkan cairan yang banyak berwarna putih jernih,
keruh, hijau, atau kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba
dari jalan lahir. Keluhan tersebut dapat disertai dengan demam jika sudah ada
infeksi. Pasien tidak sedang dalam masa persalinan, tidak ada nyeri maupun
kontraksi uterus.

Sedangkan disproporsi sefalopelvik merupakan keadaan yang


menggambarkan ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga
janin tidak dapat keluar melalui vagina. Disproporsi sefalopelvik disebabkan oleh
panggul sempit, janin yang besar ataupun kombinasi keduanya.

Pemeriksaan Fisik / Pemeriksaan Dalam


Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan inspekulo. Cairan yang keluar
berwarna jernih mengalir. Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan langkah
pemeriksaan pertama terhadap kecurigaan KPD. Pemeriksaan dengan spekulum
pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE). Pada
pasien KPD akan tampak cairan keluar dari vagina. Cairan yang keluar dari vagina
perlu diperiksa warna, bau dan pHnya. Air ketuban yang keruh dan berbau
menunjukkan adanya proses infeksi.
Pada kasus, pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan dalam pada saat
pertama kali datang untuk menentukan ada tidaknya pembukaan. Pada saat di
lakukan pemeriksaan dalam pada pasien ini belum dapat mengevaluasi ketuban
karena pembukaan portio masih 2 cm, dengan konsistensi tebal lunak, ketuban (-).
Pemeriksaan dalam vagina dibatasi seminimal mungkin dan hanya dilakukan kalau
KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan pada
pasien dengan KPD akan ditemukan selaput ketubannya negatif. Pemeriksaan
dalam pada saat pasien datang pertama kali adalah penting untuk menilai apakah
sudah ada pembukaan sehingga pasien berada dalam kondisi inpartu.

51
Teori Kasus
• Pemeriksaan Inspekulo merupakan • Vaginal Toucher : Portio tebal lunak,
langkah pertama untuk mendiagnosis OUE tampak terbuka, dengan
KPD. Pooling pada cairan amnion dari diameter 2 cm, terlihat cairan ketuban
forniks posterior mendukung diangnosis mengalir (+)
KPD

Penatalaksanaan
Pada kasus ini, keluar air ketuban dari jalan lahir atau dalam hal ini
pecahnya ketuban dicurigai terjadi 4 jam sebelum masuk rumah sakit, sementara
belum ada tanda-tanda inpartu pada pemeriksaan dalam, dilakukan pemeriksaan
CTG untuk menilai keadaan janin dan pasien diobservasi.
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus
dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap pasien KPD, yaitu
umur kehamilan dan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu. Pemberian
antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Waktu pemberian
antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakkan. Beberapa
penulis menyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau
ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan pasien akan menjadi inpartu dengan
sendirinya.

Teori Kasus
• Rawat di rumah sakit. • Oksigen 2 liter
• Berikan antibiotic • Pasang akses intravena, IVFD
• Jika umur kehamilan 32-37 minggu, Ringer laktat 20 gtt/menit
belum inpartu, tidak ada infeksi,: beri • Observasi KU,TTV, His, DJJ
deksametason, observasi tanda-tanda • Injeksi Ceftriaxone 1x2gram
infeksi dan kesejahteraan janin. • Pasien riwayat SC 2 tahun yang
Terminasi pada kehamilan 37 minggu. lalu dengan indikasi panggul
• Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada Sempit

52
infeksi, beri antibiotik dan lakukan
induksi.
• Seksio sesarea dilakukan secara elektif
atau primer, yakni sebelum persalinan
dimulai atau pada awal persalinan.
Seksio sesarea elektif dilakukan pada
kehamilan cukup bulan karena
kesempitan panggul yang cukup berat
atau karena terdapat disproporsi
sefalopelvik yang nyata

53
BAB V
KESIMPULAN

Ketuban Pecah Dini merujuk pada keadaan pasien dengan usia gestasi lebih
dari 37 minggu dan menunjukkan pecah ketuban sebelum terjadinya persalinan.
Sedangkan untuk Ketuban pecah dini premature merupakan pecah ketuban yang
terjadi pada usia kehamilan sebelum 37 minggu.
Pecah ketuban dini premature (PPROM) yang terjadi pada usia kehamilan
24-37 minggu biasanya lebih sulit untuk ditangani dibandingkan pecah ketuban dini
pada usia kehamilan yang cukup bulan atau aterm. Segala rencana untuk
penatalaksanaan PROM harus mencakup support dari keluarga dan tim medis untuk
kehamilannya, termasuk tim dalam pananganan ibu dan bayinya. Pecah ketuban
dini (PPROM) ini harus ditatalaksana pada rumah sakit yang memiliki fasilitas
NICU dan dapat menangani bayinya.
Pemantauan janin harus dilakukan setidaknya sekali sehari. Jika ada bukti
terjadinya kompresi tali pusat, pemantauan berkelanjutan harus dilakukan kembali.
Tanda-tanda vital ibu harus dipantau secara ketat. Takikardia dan demam, keduanya
menunjukkan tanda-tanda akan adanya infeksi chorioamnionitis dan memerlukan
evaluasi yang cermat untuk menentukan adanya infeksi intra-amnion.
Cephalopelvic Disproportion (CPD) adalah diagnosa medis digunakan
ketika kepala bayi dinyatakan terlalu besar untuk muat melewati panggul ibu.
Disproporsi sefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan ketidaksesuaian
antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak dapat keluar melalui
vagina. Disproporsi sefalopelvik disebabkan oleh panggul sempit, janin yang besar
ataupun kombinasi keduanya.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Dayal, S. Hong, P. Preamature rupture of membranes. Nassau University


Medical Center. NCBI; 2019.
2. Sae‐Lin, P., & Wanitpongpan, P. Incidence and risk factors of premature
rupture of membranes in singleton pregnancies at Siriraj Hospital. Journal
of Obstetrics and Gynaecology Research; 2018.
3. Skupski, D. premature rupture of membranes (PROM). Journal of Perinatal
Medicine; 2019.
4. Sarwono P. Buku ajar ilmu kandungan. Editor: Trijatmo R. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.
5. Siswosudarmo, R. Obstetri Fisiologi Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta. PT Pustaka Cendekia; 2010.
6. Soewarto S. Ketuban Pecah Dini. In Prawirohardjo S.(ed.) Ilmu Kebidanan.
Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Bayi Baru Lahir.
Edisi Keempat. Cetakan Kedua. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2009.
7. Kozinszky Z, Sikovanyecz J, Pásztor N. Severe midtrimester
oligohydramnios: treatment strategies. Curr Opin Obstet Gynecol 26: 67-
76; 2014.
8. National Institute for Health and Care Excellence.Diagnosing and managing
preterm prelabour rupture of membranes; 2019.
9. Meller,H. Maria, E. Carducci M. Premature rupture of membranes. Arch
argent pediatr; 2018.
10. Baud, O. Premature rupture of membranes: pathophysiology of neurological
impact; 2012.
11. Tchirikov, M., Schlabritz, N. Mid-trimester premature rupture of
membranes (PROM): etiology, diagnosis, classification, international
recommendations of treatment options and outcome. Journal of Perinatal
Medicine; 2018.
12. Maryuni et al. Risk Factors of Premature Rupture of Membrane. National
Public Health Journal; 2017.
13. Parry and Strauss III. Premature Rupture of Fetal Membrane. New England
Journal of Medicine; 2012.
14. Hanke, K., Hartz, A., Manz, M., Bendiks, M. Preterm prelabor rupture of
membranes and outcome of very-low-birth-weight infants in the German
Neonatal Network.; 2015.
15. Kamyar, M., Manuck, T., Stoddard, G. Magnesium sulfate,
chorioamnionitis, and neurodevelopment after preterm birth. BJOG: An
International Journal of Obstetrics & Gynaecology; 2015.
16. Bouet, P. Brun, S. Implementation of an antenatal magnesium sulfate
protocol for fetal neuroprotection in preterm infants. US National library of
medicine national institutes of health; 2015.

55
17. Esaki, M., Maseki, Y., Tezuka, A., & Furuhashi, M. Continuous
amnioinfusion in women with PPROM at periviable gestational ages. The
Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine; 2018.
18. Catt, E., Chadha, R., Tang, S. Management of Preterm Premature Rupture
of Membranes: A Comparison of Inpatient and Outpatient Care. Journal of
Obstetrics and Gynaecology Canada; 2018.
19. Boskabadi, H. Evaluation of Maternal Risk Factors, Delivery, and Neonatal
Outcomes of Premature Rupture of Membrane: A Systematic Review
Study; 2018.
20. Okeke T C, Enwereji J O, Adiri C O, Onwuka C I, Iferikigwe E S.
Morbidities, concordance, and predictors of preterm premature rupture of
membranes among pregnant women at the University of Nigeria Teaching
Hospital (UNTH), Enugu, Nigeria. Niger J Clin Pract; 2016.
21. Wagner, P. Sonek, J. Outcome of pregnancies with spontaneous PROM
before 24+0 week’s gestation. NCBI Pubmed; 2016.
22. Geraldine, C. A new predictor of cephalopelvic disproportion. Journal of
obstetrics and gynaecology: Pubmed; 2013.
23. Nina, M. Gumersindo, G. Cephalopelvic disproportion as primary diagnosis
for cesarean section: Role of neonatal birthweight in relation to maternal
height at a Hospital in Merida, Mexico. American joural of human biology;
2020.
24. Ulla, K. Pekka, T. Fetal pelvic index to predict cephalopelvic disproportion
– a retrospective clinical cohort study. Obstetrics and gynaecology; 2015.
25. Rudolph, L. Mahlet, Y. A safe, low-cost, easy-to-use 3D camera platform
to assess risk of obstructed labor due to cephalopelvic disproportion; 2018.
26. Donna, M. Cephalopelvic disproportion. How common it is, risks,
diagnosis, treatment, and complication; 2019.

56

Anda mungkin juga menyukai