Anda di halaman 1dari 60

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK


“KARSINOMA COLON”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Radiologi
Rumah Sakit Roemani PKU Muhammadiyah Semarang

Diajukan Kepada :
Pembimbing :
dr. Arinawati, Sp.Rad
dr. Boyanto, Sp.Rad

Disusun Oleh :
Dewi Raih Anggraeni H2A014014P

Kepaniteraan Klinik Departemen Radiologi


FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
Rumah Sakit Roemani PKU Muhammadiyah Semarang

1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK
RADIOLOGI

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK


“KARSINOMA COLON”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Radiologi
Rumah Sakit Roemani PKU Muhammadiyah Semarang

Disusun Oleh:
Dewi Raih Anggraeni H2A014014P

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing TandaTangan

dr. Arinawati, Sp.Rad .............................

dr. Boyanto, Sp.Rad .............................

dr. Abu Bakar, Sp.Rad .............................

2
BAB I

PENDAHULUAN

Di seluruh Dunia insiden rata-rata kanker kolon pria adalah 16,6/ 100.000,

wanita 14,7/100.000; insiden kanker rektum rata-rata pria adalah 11,9/100.000,

wanita 7,7/100.000. di Dunia, insiden kanker kolon tertinggi adalah pria

Amerika keturunan Jepang yang tinggal di Hawaii, mencapai 37,15/100.000;

untuk wanita tertinggi di Selandia Baru, mencapai 30,46/100.000. Insiden

kanker kolon terendah pria dan wanita adalah di Afrika dan India. Di seluruh

Dunia insiden kanker rektum pria tertinggi adalah Hongaria, yaitu mencapai

20,46/100.000; wanita di Selandia Baru tertinggi, mencapai 12,31/100.000.

Tingginya kasus kanker kolorektal disebabkan karena hampir setengah

dari pasien terdiagnosis pada late stage, sehingga penanganan sulit dilakukan.

Banyaknya penderita kanker kolorektal yang terdiagnosis pada late stage

disebabkan karena pada early stage biasanya tidak muncul gejala pada penderita

(American Cancer Society, 2011).

Kanker kolorektal merupakan keganasan saluran cerna kedua terbanyak

di emsetelah keganasan hepatoseluler di Indonesia. Indonesian Cancer mencatat,

pada tahun 2002 di temukan sebanyak 3.572 kasus baru kanker kolorektal.

Menurut data statistik kanker di Rumah Sakit Dharmais Pusat Kanker Nasional,

kanker kolorektal termasuk dalam 10 kanker tersering rawat jalan. Pada tahun

2007 dengan lebih rinci 60 kasus baru kanker kolon dan 56 kasus baru kanker

rektal. Penelitian yang dilakukan oleh Zendrato di Rumah Sakit Umum

Pendidikan (RSUP) H. Adam Malik Medan tahun 2009, terdapat sejumlah 210

orang yang terdiagnosis kanker kolorektal dari tahun 2005- 2007.

3
Pada kebanyakan kasus kanker terdapat variasi geigrafik pada kasus
yang di temukan yang mencerminkan keadaan sosial eonomi dan
kepadatan penduduk, terutama pada negara maju dan berkembang. Di
Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding antara
pria dan wanita , banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda dan
sekitar 75% dari kanker di temukan pada kolon rektosigmoid. Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari
tumor. Keluhan dari lesi yang berada padakolon kanan dapat berupa
persaan penuh di abdominal, nyeri abdominal, symtomatic anemia dan
perdarahan, sedangkan pada keluhan yang berasal dari lesi kolon kiri
dapattt berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi
sampai obstruksi.

Jenis kanker yang sering di temukan adalah adenokarsinoma yaitu


sebanyak 98% sedangkan yang lainnya adalah carcinoid 0.4%, limdfoma
1.3% dan sarkoma 0.3%

4
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 84 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pekerja Bangunan
Status : Menikah
No RM : 417941
Tanggal masuk RS : 24 Mei 2018
II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis tanggal
31 Mei 2018 jam 10.00 WIB di Bangsal Ismail 2 RS PKU Muhammadiyah
Roemani Semarang.
Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Tanggal 24 Mei 2018 pasien datang ke RS PKU Muhammadiyah
Roemani Semarang dengan keluhan nyeri di perut sebelah kanan bawah.
Keluhan sudah dirasakan sejak 2 minggu sebelumnya Keluhan yang dirasakan
secara tiba-tiba. Nyeri dirasakan secara hilang timbul tidak menentu, tidak
menjalar. Keluhan dirasakan mengganggu oleh pasien. Nyeri dirasa
bertambah apabila pasien makan dan berkurang jika pasien berhenti makan.
Pasien tdak mengeluhkan mual dan muntah namun pasien demam yang
dirasakan bersamaan dengan nyeri perut tersebut. Nafsu makan pasien
menurun sejak seminggu terakhir hanya 2 sendok setiap makan. BAB terakhir
pasien 2 hari yang lalu dan BAK normal. Pasien mengaku jarang olahraga dan
suka mengkonsumi makanan yang berlemak.

5
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat sakit sama : disangkal
Riwayat batu saluran kemih : disangkal
Riwayat batu kandung empedu : disangkal
Riwayat kolesterol tinggi : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : diakui
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi obat dan atau makanan : disangkal.
Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat penyakit yang sama : disangkal
Riwayat batu saluran kemih : disangkal
Riwayat batu kandung empedu : disangkal
Riwayat kolesterol tinggi : disangkal
Riwayat hipertensi : diakui (ayah)
Riwayat diabetes mellitus : diakui (ibu)
Riwayat alergi obat dan atau makanan : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat Pribadi Sosial Ekonomi :


Pasien bekerja sebagai buruh bangunan
Kebiasaan merokok diakui
Kebiasaan minum alkohol disangkal.
Kebiasaan berolahraga jarang.
Kebiasaan mengkonsumi makanan berlemak dan minum teh setiap pagi
diakui
Kesan ekonomi baik

6
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 31 Mei 2018 jam 10.00 WIB di Bangsal
Ismail 2 RS PKU Muhammadiyah Roemani Semarang
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Vital sign :
TD : 190/100 mmHg
Nadi : 85x /menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 21x/menit reguler
Suhu : 35 0 C (aksiler)
BB : 50 kg
TB : 155 cm
Statis Gizi : Baik

2. STATUS GENERALIS
Kulit : Sama dengan warna kulit sekitar
Kepala : Kesan mesocephal, jejas (-)
Mata : Corpus alineum (-/-); konjungtiva anemis (-/-),
konjungtiva hiperemis (-/-),ikterik (-/-); reflek
cahaya direk (+/+); reflek cahaya indirek (+/+);
pupil isokor 3mm/3mm.
Hidung : Nafas cuping (-), deformitas (-), sekret (-)
Telinga : Serumen (-/-), nyeri mastoid (-/-), Nyeri tragus
(-/-), sekret (-/-)
Mulut : Sianosis (-), perot (-),lidah kotor (-),
stomatitis (-), hiperemis (-),karies gigi (-), faring
hiperemis (-), tonsil hiperemis (-)

7
Leher : Limfonodi (-),pembesaran tiroid (-), JVP (N), kaku
kuduk (-), deviasi trakea (-), penggunaan otot tambahan
bantu nafas (-)
Thorax :
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak, bentuk thorax normal
Palpasi : Sternal lift (-), pulsus epigastrium (-), pulsus parasternal (-),
thrill (-)
Perkusi : Batas atas jantung : ICS II Linea parasternal
sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternal
Sinistra
Batas kiri bawah jantung : ICS V 2 cm medial Linea
mid clavicula sinistra
Batas kanan bawah jantung : ICS V Linea sternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II normal &murni,

Bising jantung (-), gallop (-).

8
Pulmo
Dextra Sinistra
Depan
Inspeksi Warna sama dengan warna Warna sama dengan warna
sekitar, simetris statis & sekitar, simetris statis &
dinamis, retraksi (-). dinamis, retraksi (-).
Palpasi Stem fremitus normal kanan = Stem fremitus normal kanan
kiri. = kiri.
Perkusi Sonor seluruh lapang paru. Sonor seluruh lapang paru.
Auskultasi SD paru vesikuler (+), suara SD paru vesikuler (+),suara
tambahan paru: wheezing (-), tambahan paru: wheezing (-
ronki (-). ), ronki (-).
Belakang
Inspeksi Warna sama dengan warna Warna sama dengan warna
sekitar, simetris statis & sekitar, simetris statis &
dinamis dinamis
Palpasi Stem fremitus kanan = kiri. Stem fremitus kanan = kiri.
Perkusi Sonor seluruh lapang paru. Sonor seluruh lapang paru.
Auskultasi SD paru vesikuler (+), suara SD paru vesikuler (+), suara
tambahan paru : wheezing (-), tambahan paru:wheezing (-),
ronki (-). ronki (-).

Abdomen
Inspeksi :Dinding abdomen sedikit cembung, spider naevi (-),massa
(-), warna kulit sama dengan warna kulit sekitar.
Auskultasi :Bising usus (+)
Perkusi :Timpani seluruh regio abdomen, pekak hepar (-),
pekak sisi (+), pekak alih (-), nyeri ketok ginjal (-).
Palpasi :Tidak dilakukan penilaian karena pasien post operasi
hemikolektomi

9
Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral pucat -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capillary Refill < 2 detik/< 2 detik < 2 detik/< 2 detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Hematologi (24 Mei 2018)


No Darah rutin (WB Hasil Nilai Normal Satuan
EDTA)
Lekosit 10700 3600-11000 mm3
1
Eritrosit 4.00 3,8-5,2 106/ul
2
Hemoglobin 11,1 11,7-15,5 g/Dl
3
Hematokrit 34,1 35-47 %
4
MCV 85.0 80-100 Fl
5
MCH 27.7 26-34 Pg
6
MCHC 32.5 32-36 g/dL
7
Trombosit 393 150-440 103/ul
8
RDW 13.3 11,5-14,5 %
9
Diff Count

Eosinofil 2.2 2-4 %


10
Basofil 0.5 0-1 %
11
Neutrofil 80.6 50-70 %
12

10
Limfosit 11.3 25-40 %
13
Monosit 5.4 2-8 %
14
KIMIA KLINIK

GDS 241 75-140 mg/dL


1.
Ureum 33 10-50 mg/dL
2.
Creatinin 1.1 0.62-1.10 mg/dL
3.
Kalium 4.4 3.5-5.0 mEq/L
4.
Natrium 142 135-147 mEq/L
5.
Chlorida 105 95-105 mEq/L
6.
Calcium 8.19 8.8-10.3 mg/dL
7.
KOAGULASI

BT 1’00” 1-3 Menit


1.
CT 3’00” 2-6 Menit
2.
IMUNOLOGI

HbsAg (-) (-) < 0.13


1. (+) > 0.13
PSA 12,44 <4,0 mg/dL
2.
KIMIA KLINIK

Asam urat 5.8 2-7 mg/dL


1.
Kolesterol total 43 <200 mg/dL
2.
Trigliserida 64 70-140 mg/dL
3.

11
b. Pemeriksaan USG Abdomen (19 Mei 2018)

12
13
Bacaan USG Abdomen

 Hepar : Tak membesar, permukaan regular, echogenitas


normal, system porta dan ductus biliaris tak melebar,
nodul (-)
 Vesica fellea : Bentuk tak membesar, dinding tak menebal, batu (-
)Pancreas : Bentuk normal, echostruktur normal,
calcificasi (-)
 Aortae : Tak melebar, tak tampak pembesaran nn.ll. paraaortae
 Lien : Tak membesar, homogen, nodul (-)
 Ren dx : Tak membesar, parenkim ekogenitas normal, PCS tak
melebar, tak tampak batu

14
 Ren sn : Tak membesar, parenkim ekogenitas normal, PCS tak
melebar, tak tampak batu
 Vesica urinaria : Mukosa tak menebal, tak tampak massa maupun batu
 Prostate : Membesar volume 118.03 ml tampak kalsifikasi pada
parenkim prostate pada kwadran kanan bawah tampak
massa tubuler dengan kalsifikasi dan debris di
dalamnya ukuran 6.77 X 4-24 cm dengan pemeriksaan
color dopler tampak peningkatan vaskuler.

Kesan :
 Kwadran kanan bawah/ Region mc burney tampak massa tubuler dengan
kalsifikasi dan debris didalamnya ukuran 6.77 X 4-24 cm dengan pemeriksaan
color Doppler tampak peningkatan vaskuler suspek massa intraluminer
dengan abses dd appendicitis dengan abses
 Pembesaran prostate volume 118.03 ml disertai kalsifikasi pada parenkim
prostate
 Gambaran cystitis
 Tak tampak kelainan pada organ intraabdomen lainnya secara pemeriksaan
USG.

15
c. Pemeriksaan colon in loop

Pembacaan hasil colon in loop

Kontras masuk melewati dubur mengisi rectum, colon sigmoid, colon descendens,
colon transversum, colon ascendens, caecum, ileum.

Tampak gambaran filling defect dan kesuraman ukuran 6x4 cm pada regio caecum

Kesan : gambaran filling defect dan kesuraman ukuran 6x4 cm pada regio caecum

Suspek massa intraluminer regio caecum

16
3.FOLLOW UP
TANGGAL KETERANGAN TINDAKAN
31/05/2018 S : nyeri post operasi regio abdomen, mual Injeksi Novorapid
sudah tidak ada Cefotaxim intravena
O : KU baik, TD :190/100 mmhg, Metronidazol intravena

N:80x/menit, s:35,7, terpasang infuse RL Metoclopramid itravena

skala nyeri = 2, GDS : 119 Infus NaCl 0,9%

A : Nyeri akut, mual TERATASI


P : Pantau KU, TTV, GDS oleh dr. J,
manajemen nyeri-pengkajian nyeri secara
komprehensif-evaluasi nyeri masa lalu
01/06/2018 S : nyeri post operasi regio abdomen, mual Injeksi Novorapid
sudah tidak ada Cefotaxim intravena
O : KU baik, TD :172/94 mmhg, Aminofluid intravena

N:80x/menit, s:36,5, terpasang infuse RL Infus NaCl 0,9%

skala nyeri = 1, GDS: 166


A : Nyeri akut, mual TERATASI
P : Pantau KU, TTV, GDS oleh dr. J,
manajemen nyeri-pengkajian nyeri secara
komprehensif-evaluasi nyeri masa lalu
02/06/2018 : nyeri post operasi regio abdomen, mual Injeksi Novorapid
sudah tidak ada Cefotaxim intravena
O : KU baik, TD :181/87 mmhg, Infus NaCl 0,9%

N:80x/menit, s:36,7, terpasang infuse RL


skala nyeri = 1, GDS: 192
A : Nyeri akut, mual TERATASI
P : Pantau KU, TTV, GDS oleh dr. J,
manajemen nyeri-pengkajian nyeri secara
komprehensif-evaluasi nyeri masa lalu
04/06/2018 S: nyeri post operasi regio abdomen hilang Injeksi Novorapid
timbul,mual sudah tidak ada Cefotaxim intravena

O : KU baik, TD :145/76 mmhg, Infus NaCl 0,9%

N:80x/menit, s:36,7, terpasang infuse RL

17
skala nyeri = 1, GDS 128
A : Nyeri akut, mual TERATASI
P : Pantau KU, TTV, GDS oleh dr. J,
manajemen nyeri-pengkajian nyeri secara
komprehensif-evaluasi nyeri masa lalu
05/06/2018 S : nyeri sudah tidak ada, mual sudah Injeksi Novorapid
tidak ada Cefotaxim intravena
O : KU baik, TD :146/70 mmhg, Infus NaCl 0,9%

N:80x/menit, skala nyeri = 2, GDS : 113


A : Nyeri akut, mual
P : rencana besok pulang , sebelumnya
diperiksa KU, TTV, GDS oleh dr. J –
manajemen nyeri-pengkajian nyeri secara
komprehensif

4. RESUME
Tanggal 24 Mei 2018 pasien datang ke RS PKU Muhammadiyah
Roemani Semarang dengan keluhan nyeri di perut sebelah kanan bawah.
Keluhan sudah dirasakan sejak 2 minggu sebelumnya Keluhan yang dirasakan
secara tiba-tiba. Nyeri dirasakan secara hilang timbul tidak menentu, tidak
menjalar. Keluhan dirasakan mengganggu oleh pasien. Nyeri dirasa
bertambah apabila pasien makan dan berkurang jika pasien berhenti makan.
Pasien tdak mengeluhkan mual dan muntah namun pasien demam yang
dirasakan bersamaan dengan nyeri perut tersebut. Nafsu makan pasien
menurun sejak seminggu terakhir hanya 2 sendok setiap makan. BAB terakhir
pasien 2 hari yang lalu dan BAK normal. Pasien mengaku jarang olahraga dan
suka mengkonsumi makanan yang berlemak.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 189/99 mmHg, nadi 80x/menit, RR 21x/menit,
suhu 360C. Pemeriksaan penunjang USG oleh dr. A pada tanggal 25 Mei
2018 pasien di diagnosis suspek massa intraluminer dengan abses dd

18
appendicitis dengan abses. Pemeriksaan penunjang colon in loop oleh dr. A
pada tanggal 26 Mei 2018 pasien di diagnosis Suspek massa intraluminer
regio caecum. Pada tanggal 28 Mei 2018 dilakukan operasi hemikolektomi
oleh dr.J pukul 14.15. Post operasi pasien masih mengeluh adanya nyeri tetapi
mulai berkurang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam
batas normal, status lokalis abdomen post operasi.

5. DIAGNOSA
Karsinoma colon

6. PENATALAKSANAAN
a. Infuse RL 20 tpm
b.Antibiotik : injeksi ceftriaxon 2 gr/24 jam dan metronidazol 1 gr/8 jam
c. Ketorolac injeksi 30 mg/12 jam
d.Pantau GDS dan diberikan Injeksi Novorapid
7. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam

19
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Kolon dan Rektum


Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon
transversum, kolon descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus.
Mukosa usus besar terdiri dari epitel selapis silindris dengan sel goblet dan
kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan submukosa tidak mempunyai
kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar longitudinal yang
terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli. Lapisan serosa membentuk
tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut appendices
epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar limfa,
terdapat lipatan-lipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa
dan lapisan submukosa ikut pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica
semilunares terdapat saku yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan
oleh adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat
berpindah pindah atau menghilang.

Gambar 1 : Anatomi kolon dan rektum

20
Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica
superior dan arteri mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti
periarcaden, yang memberi cabang-cabang vasa recta pada dinding usus.
Yang membentuk marginal arteri adalah arteri ileocolica, arteri colica dextra,
arteri colica media, arteri colica sinistra dan arteri sigmoidae. Hanya arteri
ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang merupakan cabang dari arteri
mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri mesenterica superior.
Pada umumnya pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali arteri colica
media dan arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon transversum dan
mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama
dengan arteri colica media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena
mengikuti pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior
dan arteri mesenterica inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran
limfe mengalir menuju ke Lnn. ileocolica, Lnn. colica dextra, Lnn. colica
media, Lnn. colica sinistra dan Lnn. mesenterica inferior. Kemudian
mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis.
Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada
fossa iliaca dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen
sebelah kanan, terletak di sebelah ventral ren dextra, hanya bagian ventral
ditutup peritoneum visceral. Jadi letak colon ascendens ini retroperitoneal,
kadang kadang dinding dorsalnya langsung melekat pada dinding dorsal
abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum dan ren dextra.
Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic
dextra yang berasal dari arteri mesentrica superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli
dextra sampai flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan
dengan duodenum dan pankreas di sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih
bebas. Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi daripada yang kanan yaitu
pada polus cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan kurang mobile.
Flexura coli dextra erat hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus

21
dextra bagian caudal) yang terletak di sebelah ventralnya. Arterialisasi didapat
dari cabang cabang arteri colica media. Arterialisasi colon transversum
didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica superior
pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat
arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica
inferior.

Gambar 2 : Arteri Mesenterica Superior

Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi


colon transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon
transversa disebut radix mesokolon transversa, yang berjalan dari flexura coli
sinistra sampai flexura coli dextra. Lapisan cranial mesokolon transversa ini
melekat pada omentum majus dan disebut ligamentum gastro (meso) colica,

22
ssedangkan lapisan caudal melekat pada pankreas dan duodenum, didalamnya
berisi pembuluh darah, limfa dan syaraf. Karena panjang dari mesokolon
transversum inilah yang menyebabkan letak dari colon transversum sangat
bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis.
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli
sinistra sampai fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum.
Terletak retroperitoneal karena hanya dinding ventral saja yang diliputi
peritoneum, terletak pada muskulus quadratus lumborum dan erat
hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-cabang
arteri colica sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari
arteri mesenterica inferior.
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya
intraperi toneal, dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid
mempunyai perlekatan yang variabel pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid
membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya didalam lumen, bila terisi
penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis melalui aditus
pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan
dan akhirnya ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum
pada dinding mediodorsal pada aditus pelvis di sebelah depan os sacrum.
Arterialisasi didapat dari cabang- cabang arteri sigmoidae dan arteri
haemorrhoidalis superior cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena yang
terpenting adalah adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior
dengan vena haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang
bermuara kedalam vena porta melalui vena mesenterica inferior hanya vena
haemorrhoidalis superior, sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna.
Jadi terdapat hubungan antara vena parietal (vena iliaca interna) dan vena
visceral (vena porta) yang penting bila terjadi pembendungan pada aliran vena
porta misalnya pada penyakit hepar sehingga mengganggu aliran darah portal.
Mesosigmoideum mempunyai radix yang berbentuk huruf V dan ujungnya
letaknya terbalik pada ureter kiri dan percabangan arteri iliaca communis

23
sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-kaki huruf V ini
terdapat reccessus intersigmoideus.

Gambar 3 : Lapisan otot dari kolon

Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, yang disebut tenia*
(tenia; taenia = pita) yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon
berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus* (sakulus; saculus=saccus kecil;
saccus=kantong), yang disebut haustra*(haustra; haustrum=bejana). Kolon
transversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi
dengan mesenterium.

1.2 Definisi Karsinoma Kolon


Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di dalam
permukaan usus besar atau rektum. Karsinoma kolon adalah pertumbuhan sel
yang bersifat ganas yang tumbuh pada kolon dan menginvasi jaringan
sekitarnya. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
karsinoma kolon adalah suatu pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan
merusak sel DNA dan jaringan sehat disekitar kolon (usus besar).

24
1.3 Patofisiologi
Umumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang
dari polyp adenoma. Insidensi tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun
umumnya masih terjadi di rektum dan kolon sigmoid. Pertumbuhan tumor
secara tipikal tidak terdeteksi, menimbulkan beberapa gejala. Pada saat timbul
gejala, penyakit mungkin sudah menyebar kedalam lapisan lebih dalam dari
jaringan usus dan oragan-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal menyebar
dengan perluasan langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa, dan
dinding luar usus. Struktur yang berdekatan, seperti hepar, kurvatura mayor
lambung, duodenum, usus halus, pankreas, limpa, saluran genitourinary, dan
dinding abdominal juga dapat dikenai oleh perluasan. Metastasis ke kelenjar
getah bening regional sering berasal dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak
selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang jauh sudah dikenai namun kelenjar
regional masih normal (Way, 1994). Sel-sel kanker dari tumor primer dapat
juga menyebar melalui sistem limpatik atau sistem sirkulasi ke area sekunder
seperti hepar, paru-paru, otak, tulang, dan ginjal. “Penyemaian” dari tumor ke
area lain dari rongga peritoneal dapat terjadi bila tumor meluas melalui serosa
atau selama pemotongan pembedahan. Awalnya sebagai nodul, kanker usus
sering tanpa gejala hingga tahap lanjut. Karena pola pertumbuhan lamban, 5
sampai 15 tahun sebelum muncul gejala .
Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul
dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi
ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam
struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar
ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).

25
1.4 Faktor Predisposisi
A. Polip

Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk


menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan
sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel
mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia menuju
transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi
tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan
perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan
displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi
pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor
Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi
dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat
pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang
terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena
berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel.
Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan
berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan
DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi
mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada
genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai
faktor membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan
kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh
fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika
terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak
berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan
penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses
terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu

26
perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak
sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan
proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif
berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga
kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering
terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol
sehingga tidak berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa
kontrol (yang sering terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53).
Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa
kendali dan karsinogenesis dimulai.
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non
neoplastik. Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk
polip non neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip,
hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.

Gambar 4 : Adenoma Carcinoma Sequences

Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi


maligna ; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma,
tubulovillous adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip

27
berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25%
tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.2

Gambar 5 : Adenomatous Polip

Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam


persen dari adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5%
didalamnya berupa invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi
malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat
displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm,
berdisplasia berat dan secara histologi tergolong sebagai villous adenoma
dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker kolorektal.
Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan
meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat
dari 2,5-4 fold jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 fold pada pasien
yang mempunyai multipel polip. Dari penelitian didapatkan bahwa polip

28
yang lebih besar dari 1 cm jika tidak ditangani menunjukkan risiko menjadi
kanker sebesar 2,5% pada 5 tahun, 8% pada 10 tahun dan 24% pada 20
tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung
beratnya derajat displasia. Tiga koma lima tahun untuk displasia sedang
dan 11,5 tahun untuk atypia ringan.

Gambar 6 : Polip Neoplastik. (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma,


(C) tubulovillous adenoma, (D) karsinoma pada tangkai
tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari
sebuah villous adenoma.

29
B. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
1. Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk
kanker kolon sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik
ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien ini
berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus
dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko
kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada
30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan
risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total
proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari
8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi
displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah
studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan
dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa
dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang
paling penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis
displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari
displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling
spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi
anatomi.
2. Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko
tinggi untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika
dibandingkan dengan ulseratif kolitis.

30
Gambar 7 : Ulseratif Colitis
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit
crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden
yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis.
Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan
sebuah biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat
melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel
kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien
dengan crohn’s disease.

31
3. Faktor Genetik
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien
dengan riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang
dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal
mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali
lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki
riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.
4. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan
diet rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker
kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga
penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan
kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme
hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama
adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara
resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal.
Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi
mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan
peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada
sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk
menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen
reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan
pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi
berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat
karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut
dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan
lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon
inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya

32
enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen
reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat
meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci.
Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki
permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan.
Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan
melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan
secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko
kanker kolorektal.
5. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun
mempunyai risiko tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang
kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20
tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita
adenoma yang berukuran besar. diperkirakan 5000-7000 kematian
karena kanker kolorektal di Amerika dihubungkan dengan pemakaian
rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan
meningkatnya risiko kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara
aktifitas, obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada
percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi telah
menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan
aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin
intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The
Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan
antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan
bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya
adenoma.
6.

33
7. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn)
pria dan wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria
berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan
pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per
tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-
64 thn). Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa pada pria yang
berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker paru-
paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar
48% kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah
kanker payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000),
kanker paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per
100.000).
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi
risiko kanker kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari
kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada
pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker
kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima
puluh lima persen kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka insiden
19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan 337
per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker
kolorektal sebesar 5%. Sedangkan kelompok terbesar dengan
peningkatan risiko kanker kolorektal adalah pada usia diatas 40 tahun.
Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya memiliki
kemungkinan menderita kanker kolorektal kurang dari 10%. Dari
tahun 2000-2003, rata-rata usia saat terdiagnosa menderita kanker
kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan usia dibawah 20
tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 35-44 tahun sebesar
3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74

34
tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar
12,3%.
Pada kebanyakan kasus kanker terdapat variasi geografik pada
insiden yang ditemukan pada usia lanjut yang mencerminkan
perbedaan sosial ekonomi, terutama antara Negara berkembang dan
Negara maju. Bila di Negara maju angka kejadian penyakit ini
meningkat tajam setelah seseorang berusia 50 tahun dan hanya 3
persen di bawah 40 tahun, di Indonesia berdasarkan data Bagian
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI,
1996-1999) menunjukkan persentase yang lebih tinggi yakni 35,25%.
Proporsi dari orang yang berusia lanjut telah meningkat di
berbagai Negara beberapa dekade terakhir, dan akan terus meningkat
lebih jauh beberapa tahun mendatang. Tingkat harapan hidup di
Indonesia pada saat kelahiran diperkirakan adalah 67,86 tahun untuk
pria dan wanita. Peningkatan usia harapan hidup yang ada beserta
populasi Indonesia yang menduduki peringkat 4 dunia akan
menjadikan Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai jumlah
usia lanjut paling tinggi di dunia. Meningkatnya jumlah orang yang
berusia lebih tua akan menambahkan beban ganda pada penyakit,
dengan umumnya penyakit yang menular di satu sisi, dan
meningkatnya prevalansi penyakit yang tidak menular di sisi lainnya.
Kanker pada usia lanjut di masa-masa yang akan datang merupakan
masalah yang perlu ditangani dengan serius dikarenakan perubahan
populasi penduduk dengan kelompok usia lanjut yang semakin
banyak. Oleh karena itu sangat perlunya penggalakan penelitian
mengenai pencegahan kanker dan perencanaan terapi pada orang yang
berusia lanjut.

35
1.5 Gejala Klinis
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan
dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi
belahan bagian kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal
kolon transversum), dan arteri mesenterika inferior yang memperdarahi
belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan
sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon
sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker
kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang
berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap
tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi
karena lumen usus lebih besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering
berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan symptomatic anemia
(menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat badan). Tumor yang
berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi
sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran
feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar
mengakibatkan obstruksi.

36
A. Gejala Subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan
perubahan pada pola buang air besar (meskipun besar). Tumor yang
memproduksi mukus dapat menyebabkan diare. Pasien mungkin
memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi tumor
seringkali menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh pasien.
Kehilangan darah dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post menopouse atau seorang
pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka kemungkinan kanker
kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan.
Karena perdarahan yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat
intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak dapat menyingkirkan
kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya
berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda
setelah buang air besar. Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan
pada pola buang air besar serta adanya darah yang berwarna merah keluar
bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah
penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi
kanker kolon dapat menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika
ditemukan orang dewasa yang mempunyai gejala obstruksi total atau
parsial dengan intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium enema
harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker kolon.

B. Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga
jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka
kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul
pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah
keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan
penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak

37
bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika
obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan
nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan
sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat
disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada
vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda
pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan
pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya
merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.

1.6 Diagnosis

Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik
paling pentIng untuk kanker kolon adalah pengujian darah samar, enema
barium, proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan setiap tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas. Sebanyak 60% kasus
dari kanker kolorektal dapat diidentifikasi dengan sigmoideskopi dengan
biopsi atau apusan sitologi.

A. Pemeriksaan Fisik
Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan
anterior; serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan
mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior
rektusm dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai
akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas
eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa
50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal
examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon
yang tidak dapat begitu saja diabaikan.

38
”rectal toucher” untuk menilai :
Tonus sfingter ani : kuat atau lemah.
Ampula rektum : kolaps, kembung atau terisi feses
Mukosa : kasar,berbenjol benjol, kaku
Tumor : teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus
jari, mudah berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan
sekitarnya, jarak dari garis anorektal sampai tumor.

Gambar : pemeriksaan fisik  digital rectal examination

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi
sangat penting. Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak
memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat sitologi akan sangat
berguna.
2. Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada
permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan
sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker kolorektal dan

39
untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu
insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening
kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun
berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA
berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit
dan kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA
serum merupakan faktor prognostik independen. Nilai CEA serum
baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah
pembedahan.
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA,
namun tes ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini.
Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai faktor prognosa dan
apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA.
Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal
dari metatase karena sel tumor yang bermetastase sering
mengakibatkan naiknya nilai CEA.
3. Tes Occult Blood
Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah
menjadi berwarna biru oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya
peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna dengan adanya
katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi sayangnya terdapat berbagai
katalis di dalam diet. Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu
diperlukan perhatian khusus untuk menghindari hal ini. Tes ini akan
mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult blood
mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi
5-10 mg hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi.
Terdapat berbagai masalah yang perlu dicermati dalam menggunakan
tes occult blood untuk screening, karena semua sumber perdarahan
akan menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya akan berdarah
secara intermitten atau tidak berdarah sama sekali, dan akan

40
menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan, manipulasi
diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan
mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek
langsung dari tes occult blood dalam menurunkan mortalitas dari
berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari tes ini sebagai
screening kanker kolorektal masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.
4. Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double
kontras barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam
mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan
bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat
biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak
dapat mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan
jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau
kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan
barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat
kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan
daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi
yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan
peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak
dapat menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil
pada mukosa kolon.

41
Gambar 9 : Gambaran colon in loop

a. Persiapan Penderita dalam Pemeriksaan Colon in Loop


a.1 Mengubah pola makanan penderita
Makanan hendaknya mempunyai konsistensi lunak, low residue,
dan tidak mengandung lemak. Ini dimaksudkan untuk mengurangi
terjadinya bongkahan-bongkahan tinja yang keras.
a.2 Minum sebanyak-banyaknya
Oleh karena penyerapan air di saluran cernaterbanyak di kolon,
maka pemberian minum ini dapat menjaga tinja agar tetap lembek.
Untuk menjaga kebutuhan kalori dan keseimbangan elektrolit dapat
diberikan oral enteral feeding berupa bubuk yang dilarutkan dalam
air.
a.3 Pemberian Pencahar
Apabila kedua hal di atas dijalankan dengan benar, maka pemberian
pencahar hanyalah sebagai pelengkap saja. Pada beberapa keadaan,
seperti : orang tua, rawat baring yang lama, dan sembelit kronis,
pencahar ini mutlak diberikan.
Sebaliknya dipilih pencahar yang mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut :
- Melembekkan tinja dan meningkatkan peristaltis

42
- Mempunyai cita rasa yang enak
- Mempunyai kemasan yang menarik
Umumnya pemakaian pencahar hanyalah bersifat sementara,
walaupun demikian harus tetap diwaspadai terjadinya kebiasaan
memakai laxative (laxative habits). Magnesium sulfat dapat
diberikan sebagai alternatif dan memberikan hasil yang cukup baik
dalam 6-8 jam setelah pemakaian.
Pengalaman menunjukkan salah satu kegagalan persiapan
disebabkan keengganan penderita untuk memakan pencahar oleh
karena tidak mempunyai sifat-sifat tadi.

b. Teknik pemeriksaan
b.1 Tahap pengisian
Di sini terjadi pengisian larutan barium ke dalam lumen kolon.
Sampai bagian kolon manakah pengisian tersebut sangat
bergantung pada panjang pendeknya kolon itu sendiri. Umumnya
dapat dikatakan cukup bila sudah mencapai fleksura lienalis atau
pertengahan kolon transversum. Bagian kolon yang belum terisi
dapat diisi dengan merubah posisi penderita dari telentang
(supine) menjadi miring kanan (right decubitus)
b.2 Tahap pelapisan
Dengan menunggu 1-2 menit dapat diberikan kesempatan pada
larutan barium untuk melapisi (coating) mukosa kolon.
b.3 Tahap pengosongan
Setelah diyakini mukosa kolon terlapisi sempurna, maka sisa
larutan barium dalam lumen kolon perlu dibuang sebanyak yang
dapat dikeluarkan kembali. Caranya dengan memiringkan
penderita ke kiri (left decubitus) dan menegakkan meja
pemeriksaan (upright)

43
b.4 Tahap pengembangan
Di sini dilakukan pemompaan udara ke dalam lumen kolon.
Usahakan jangan sampai terjadi pengembangan yang berlebihan
(overdistention) karena akan timbul hal-hal yang tidak diingini.
b.5 Tahap pemotretan
Setelah seluruh kolon mengembang sempurna, maka dilakukan
pemotretan atau eksposun radiografik. Posisi penderita saat
pemotretan tergantung pada bentuk kolonnya atau kelainan yang
ditemukan. Hal yang sama juga berlaku untuk jumlah film yang
dipakai.

c. Lama pemeriksaan
Dianjurkan lama pemeriksaan tidak melebihi 5 menit. Makin
lama pemeriksaan itu berlangsung, kemungkinan terjadinya kerak-
kerak barium di sepanjang kolon makin besar.

d. Alat-alat yang dipakai


Irigator plastic dengan balon dan pompa udara terpasang
sangat disukai untuk dipakai karena sifatnya yang fleksibel sehingga
penderita tidak perlu meninggalkan meja pemeriksaan pada tahap
pengosongan.

e. Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop


Karsinoma kolon secara radiologi member gambaran :
- Penonjolan ke dalam lumen (protruded lession)
Bentuk klasik tipe ini adalah polip. Polip dapat bertangkai
(pedunculated) dan tidak bertangkai (sessile). Dinding kolon
seringkali masih baik.
- Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)

44
Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core).
Lumen kolon sempit dan irregular. Kerap kali hal ini sulit dibedakan
dengan colitis Crohn
- Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)
Bersifat segmental, terkadang mukosa masih baik. Lumen kolon
dapat tidak menyempit. Bentuk ini sukar dibedakan dengan colitis
ulseratif.
5. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena
3% dari pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan
untuk mempunyai polip premaligna.

Gambar : metode pemeriksaan endoscopy tumor kolon

45
Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan pemeriksaan endoskopi

6. Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata,
tapi akut angulasi dari rektosigmoid junction akan dapat menghalangi
masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 20-25% dari
kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk
digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah
usia 40 tahun jika digunakan bersama sama dengan occult blood test.

Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan sigmoidoskopi

46
7. Flexible Sigmoidoskopi

Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon


dan dapat mencapai bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen
dari kanker kolon dapat terdeteksi dengan menggunakan alat ini.
Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi
terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada
keadaan khusus, seperti pada ileorektal anastomosis. Flexible
sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun merupakan
metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang
asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk
menderita kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan
pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya
kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di
distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya
proksimal pada 6-10% pasien.

8. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya
dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling
akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm
dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik
daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2
Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi,
mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi
merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang
dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat
berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel
disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal

47
bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma.
Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada
diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi
utama dari kolonoskopi diagnostik.

Gambar : Metode pemeriksaan kolonoskopi

9. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik
imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien
dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.
a. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien
kanker kolon pre operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke
hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya
di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada
pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan
kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon
karena sulitnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan

48
operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke
dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi
pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.19
Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat
mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.

Gambar 8 : CT scan pelvis menunjukkan adanya tumor kolon


yang sudah metastasis pada hepar dan daerah
intraperitoneal

49
Gambar 9 : CT scan pelvis yang menunjukkan adanya karsinoma
kolon

50
b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan
dan sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi
dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang lebih
tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk
mengidentifikasikan metastasis ke hepar.

Gambar : MRI dari karsinoma kolon

c. Endoskopi UltraSound (EUS)


EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari
kedalaman invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian
dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital rektal
examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk
melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk menilai
mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana
dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah
mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal
biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah
bimbingan EUS.

51
1.7 Penatalaksanaan
A. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima
sebagai penanganan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif
harus mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional
lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya.
Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm
bebas tumor. Pendekatan laparaskopik kolektomi telah dihubungkan dan
dibandingkan dengan tehnik bedah terbuka pada beberapa randomized trial.
Subtotal kolektomi dengan ileoproktostomi dapat digunakan pada pasien
kolon kanker yang potensial kurabel dan dengan adenoma yang tersebar
pada kolon atau pada pasien dengan riwayat keluarga menderita kanker
kolorektal. Eksisi tumor yang berada pada kolon kanan harus
mengikutsertakan cabang dari arteri media kolika sebagaimana juga
seluruh arteri ileokolika dan arteri kolika kanan. Eksisi tumor pada hepatik
flexure atau splenic flexure harus mengikutsertakan seluruh arteri media
kolika. Permanen kolostomi pada penderita kanker yang berada pada rektal
bagian bawah dan tengah harus dihindari dengan adanya tehnik
pembedahan terbaru secara stapling. Tumor yang menyebabkan obstruksi
pada kolon kanan biasanya ditangani dengan reseksi primer dan
anastomosis. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kiri dapat
ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan perforasi
membutuhkan eksisi dari tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti
dengan reanastomosis dan closure dari kolostomi.
B. Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-
ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara
pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi.

52
Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari
kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan
dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak
radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker, maka dibutuhkan
pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat disekitarnya.
Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung
beberapa menit.
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan
radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker.
Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan
dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor. Internal
radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang
relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa
penanganan internal radiasi secara sementara menetap didalam tubuh.
C. Adjuvant Kemoterapi
Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen
kemoterapi. Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi
dari tumor secara teoritis seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen
kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika kehadiran tumor
sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada fase
pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi bisa dipakai sebagai single agen
atau dengan kombinasi, contoh : 5-fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole,
5FU + leucovorin. Pemakaian secara kombinasi dari obat kemoterapi
tersebut berhubungan dengan peningkatan survival ketika diberikan post
operatif kepada pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU + levamisole
menurunkan rekurensi dari kanker hingga 39%, menurunkan kematian
akibat kanker hingga 32%.

53
1. Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium II
Pemakaian adjuvant kemoterapi untuk penderita kanker
kolorektal stadium II masih kontroversial. Peneliti dari National
Surgical Adjuvant Breast Project (NSABP) menyarankan penggunaan
adjuvant terapi karena dapat menghasilkan keuntungan yang meskipun
kecil pada pasien stadium II kanker kolorektal pada beberapa
penelitiannya. Sebaliknya sebuah meta-analysis yang mengikutkan
sekitar 1000 pasien menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna
pada 5-years survival rate sebesar 2%, antara yang diberi perlakuan
dan yang tidak untuk semua pasien stage II.

2. Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium III


Penggunaan 5-FU + levamisole atau 5-FU + leucovorin telah
menurunkan insiden rekurensi sebesar 41% pada sejumlah prospektif
randomized trial. Terapi selama satu tahun dengan menggunakan 5-FU
+ levamisole meningkatkan 5-year survival rate dari 50% menjadi
62% dan menurunkan kematian sebesar 33%. Pada kebanyakan
penelitian telah menunjukkan bahwa 6 bulan terapi dengan
menggunakan 5-FU + leucovorin telah terbukti efektif dan sebagai
konsekuensinya, standar regimen terapi untuk stage III kanker
kolorektal adalah 5-FU + leucovorin.

3. Adjuvant Kemoterapi Kanker Kolorektal Stadium Lanjut


Sekitar delapan puluh lima persen pasien yang terdiagnosa
kanker kolorektal dapat dilakukan pembedahan. Pasien dengan
kanker yang tidak dapat dilakukan penanganan kuratif, dapat
dilakukan penanganan pembedahan palliatif untuk mencegah
obstruksi, perforasi, dan perdarahan. Bagaimanapun juga
pembedahan dapat tidak dilakukan jika tidak menunjukkan gejala
adanya metastase. Penggunaan stent kolon dan ablasi laser dari tumor

54
intraluminal cukup memadai untuk kebutuhan pembedahan walaupun
pada kasus asymptomatik.
Radiasi terapi dapat digunakan sebagai tindakan primer
sebagai modalitas penanganan untuk tumor yang kecil dan bersifat
mobile atau dengan kombinasi bersama sama kemoterapi setelah
reseksi dari tumor. Radiasi terapi pada dosis palliatif meredakan
nyeri, obstruksi, perdarahan dan tenesmus pada 80% kasus.
Penggunaan hepatic arterial infusion dengan 5-FU terlihat
meningkatkan tingkat respon, tetapi penggunaan ini dapat
mengakibatkan berbagai masalah termasuk berpindahnya kateter,
sklerosis biliaris dan gastrik ulserasi. Regimen standar yang sering
digunakan adalah kombinasi 5-FU dengan leucovorin, capecitabine
(oral 5-FU prodrug), floxuridine (FUDR), irinotecan (cpt-11) dan
oxaliplatin.

1.8 Pencegahan

A. Endoskopi

Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan


mengangkat polip dan menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal
pada pasien yang menjalani kolonoskopi polipektomi. Bagaimanapun
juga belum ada penelitian prospektif randomized clinical trial yang
menunjukan bahwa sigmoidoskopi efektif untuk mencegah kematian
akibat kanker kolorektal, meskipun penelitian trial untuk tes ini sedang
dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid dihubungkan dengan
polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga pemeriksaan
kolonoskopi harus dilakukan.
B. Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada
pasien yang mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah
dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa

55
lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola diet
pada tahun 1982.
Rekomendasi ini diantaranya :
1. Menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari total kalori
2. Meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat
3. Membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan
4. Membatasi makanan yang mengandung bahan pengawet
5. Mengurangi konsumsi alkohol.

C. Non Steroid Anti Inflammation Drug


Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan
NSAID sulindac dosis 150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata
jumlah dan diameter dari polip bila dibandingkan dengan pasien yang diberi
plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat
tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa
aspirin mengurangi formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan
insiden dari kanker kolorektal, baik pada kanker kolorektal familial maupun
non familial. Efek protektif ini terlihat membutuhkan pemakaian aspirin
yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari selama 1 tahun.2
D. Hormon Replacement Therapy (HRT)
Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan
sebanyak 59.002 orang wanita postmenopouse menunjukkan hubungan
antara pemakaian HRT dengan kanker kolorektal dan adenoma. Pemakaian
HRT menunjukkan penurunan risiko untuk menderita kanker kolorektal
sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun setelah
pemakaian HRT dihentikan.

56
DAFTAR PUSTAKA

Burkitt H G, Young B, Heath J W. 1995. Buku ajar & atlas wheater


histology fungsional. Edisi 3. Jakarta: EGC. Halaman: 268.

Cohen A M, Minsky B D, Schilsky R L. 1997.Cancers of the


gastrointestinal tract. In: Devita V T, Hellman S, Roseberg S A:
Cancer principles & practice of oncology 5th edition. Page: 1166-
1185.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Gaya hidup


penyebab kolorektal.
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle
&sid=2058&Itemid=2 5 Mei 2008

Dixon M F. 1994. Sistem pencernaan. Dalam: Underwood, J C E:


Patologi umum dan sistematik edisi 2. Jakarta: EGC. Halaman:
463-464.

Drebin J A, Neiderhuber J E. 1993. Current therapy in oncology.


Missouri: Mosby-Year Book, Inc. Page: 429.

Eroschenko, V P. 2001. Sistem pencernaan: usus halus dan usus


besar. Dalam: Atlas histologi di fiore dengan korelasi fungsional.
Jakarta: EGC. Halaman: 205.

Gontar Alamsyah Siregar. 2007. Deteksi dini dan penatalaksanaan


kanker usus besar.
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb2007gontarasireg
ar. pdf 5 Mei 2008

Guyton A C, Hall J E.1996. Fisiologi gastrointestinal. Dalam: Buku ajar


fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC. Halaman: 1008-1009, 1034, 1049-
1050.

57
Harnawatiaj. 2008. Kanker kolorektal.
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/ 09/kanker-kolorektal/
21 April 2008

Hembing Tue. 2005. Cegah kanker usus besar (karsinoma


kolorektal) dengan pola hidup sehat.
http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Hembin
g&y=cybermed%7C0%7C 0%7C8%7C84 1 Maret 2008.

Ikhsanuddin Ahmad Harahap. 2004. Perawatan pasien dengan


kolostomi pada penderita cancer colorectal.
http://library.usu.ac.id/download/fk/04006072.pdf 9 Mei 2008

John Pieter. 1997. Usus halus, appendiks, kolon dan anorektum.


Dalam: R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong: Buku ajar ilmu bedah.
Jakarta: EGC. Halaman: 893, 895.

Juan Rosai. 1996. Ackerman’s surgical pathology volume two B. 8th


edition. Missouri: Mosby-Year Book, Inc. Page: 775.

Junguiera L C, Carneiro J, Kelley R O.1995. Histologi dasar adisi


ke-8. Jakarta: EGC. Halaman: 309-310.

Kumar V, Cotran R S, Robbins S L. 2004. Buku ajar patologi


volume 1. Edisi 7. 2004. Jakarta: EGC. Halaman: 200.

Leeson C R, Leeson T S, Paparo A A. 1990. Buku ajar histologi


edisi V. Jakarta: EGC. Halaman: 369.

National Comprehensive Cancer Network V.2. 2007. Colon cancer.


http://www. detak.org/aboutcancer.php?id=5&c_id=4 28 April
2008.

58
R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2003. Buku ajar ilmu bedah. Edisi
2. Jakarta: EGC. Halaman: 661-663.

R. Sjamsuhidajat. 2006. Adenokarsinoma kolorektal. Jakarta:


Perhimpunan Onkologi Indonesia dan IKABDI. Halaman: 1, 10,
15.

Rama Diananda. 2007. Kanker Usus Besar. Dalam: Mengenal seluk-


beluk kanker. Yogyakarta: Katahati. Halaman: 133-147.

S. Soekamto Martoprawiro, Soeparman, Rahmad Gunawan. 1995.


Traktus gastrointestinalis. Dalam: Robbins, Kumar: Buku ajar
patologi II edisi 4. Jakarta: EGC. Halaman: 290-291.

Schwartz S I. 1995. kolon, rectum dan anus. Dalam: Intisari prinsip-


prinsip ilmu bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC. Halaman: 432.

Setiadi. 2007. Sistem pencernaan makanan. Dalam: Anatomi &


fisiologi manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Halaman: 87-88.

Shannon Erstad. 2006. Colorectal cancer, metastatic or recurrent-


topic overview. http://health.yahoo.com/coloncancer-
overview/colorectal-cancer-metastatic-or- recurrent-topic-
overview/healthwise--tv7568.html 27 Maret 2008

Si Chun Ming. 1992. Adenocarcinoma and other malignant


epithelial tumors of the intestine. In: Si Chun Ming, Harvey
Goldman: Pathology of the gastrointestinal tract. Philadelphia:
WB. Saunders, Inc. Page: 830-831.

Surja Widjaja. 1973. Susunan pencernaan. Dalam: Sutisna


Hirmawan: Patologi. Jakarta: F.K.U.I. Halaman: 216.

Tortora G J. 1980. Principle of human anatomy 2nd edition. New York:


Harper & Row. Page: 575-578.

59
Yusuf Heriady, 2005. Kanker usus besar kolon dan rektum.
http://www.pontianak
post.com/berita/index.asp?Berita=Konsultasi&id=102289 26
Februari 2008.

60

Anda mungkin juga menyukai