Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma merupakan penyebab kematian paling banyak pada usia muda
kurang dari 45 tahun. Trauma kepala menjadi penyebab nomer satu penyebab
mortalitas akibat trauma dan berhubungan dengan setengah dari semua kematian
akibat sekunder dari trauma. Trauma juga menjadi beban secara ekonomi maupun
sosial bagi orang-orang yang selamat dari trauma kepala, hal ini tampak bahwa
mereka yang selamat dari cedera kepala menjadi beban bagi keluarganya karena
biaya untuk rehabilitasi, pelatihan dan perawatan kesehatan, sekuela psikologis
dan sosial yang harus ditanggung. Lebih dari 50% dari injuri kepala sedang dan
99% dari injuri kepala berat menunjukkan disabilitas yang lama (Tallon, et al.,
2008).
Trauma kepala mempunyai angka kejadian yang masih relatif tinggi.
Berdasarakan data pasien trauma kepala akibat kecelakaan maupun akibat tindak
kekerasan yang dibawa ke instalasi gawat darurat dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Di Amerika tiap tahunnya didapatkan 1.500.000 kasus cedera kepala,
sekitar 50.000 meninggal, dan 80.000 mengalami kecacatan. Saat ini terdapat
sekitar 5.300.000 warga Amerika yang mengalami cacat permanen karena kasus
cedera kepala. Berdasarkan data, 2% dari seluruh kasus cedera kepala adalah
hematoma epidural (EDH), dan sekitar 5-15% pada pasien dengan cedera kepala
berat adalah EDH (Valadka Ab, 2011; Aarabi B 2015).
Hematoma epidural adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang
umumnya terjadi karena fraktur calvaria akibat cedera kepala sehingga
menyebabkan pecahnya pembuluh darah dan darah terakumulasi dalam ruang
antara duramater dan calvaria. Sebagian besar EDH berlokasi di daerah
temporoparietal (70- 80%), sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun
oksipital. Biasanya disertai dengan terjadi fraktur kranium (85-96%) pada daerah

1
yang sama. Perdarahan yang terjadi dikarenakan robeknya arteri meningea media
atau cabang-cabangnya, namun kadang dapat juga berasal dari vena. Volume EDH
biasanya stabil, dan mencapai volume maksimum hanya beberapa menit setelah
trauma, tetapi pada 9% penderita ditemukan progresivitas perdarahan sampai 24
jam pertama (Valadka Ab, 2011; Aarabi B 2015). EDH akan menempati ruang
dalam intrakranial, sehingga perluasan yang cepat pada lesi ini dapat menimbulkan
penekanan pada otak yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran,
kecacatan baik bersifat reversible maupun irreversible dan bahkan kematian
(Aarabi B 2015; Hafid A 2010). Pada umumnya EDH disebabkan oleh trauma
kepala, meskipun pada beberapa kasus disebabkan oleh keadaan lain seperti sickle
cell disease. Kejadian EDH di antara pasien trauma diperkirakan antara 2.7%
hingga 4.1%. Bagaimanapun juga kejadian koma di antara pasien trauma lebih
tinggi, yaitu sekitar 9% sampai 15%.5 Hematoma epidural paling sering terjadi pada
orang muda yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas (KLL). Pada dewasa
muda insiden tertinggi terjadi pada kelompok umur 20-30 tahun, dan jarang terjadi
pada umur di atas 60 tahun, hal ini disebabkan pada usia tua secara anatomis
terdapat perlekatan antara duramater dan cranium (Iskandar J, 2016)
Berdasarkan teori biomolekular golden period tindakan terapi definitif
harus dilakukan kurang dari 6 jam setelah kejadian, hal ini dikarenakan cedera otak
sekunder dan iskemik otak dapat terjadi 6 jam setelah kejadian. Dengan demikian,
EDH merupakan kasus yang paling emergensi di divisi bedah saraf karena
progresivitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga
langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans- dan
infratentorial (Bullock, 2016). Oleh karena itu EDH harus ditangani secepat
mungkin, namun karena berbagai hal termasuk kurangnya jumlah sumber daya
tenaga kesehatan serta kurangnya rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk operasi
EDH serta sistem transportasi yang kurang memadai, maka penanganan EDH
menjadi kurang cepat. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti
lebih jauh mengenai EDH untuk mengurangi pravelensi terjadinya penyakit ini.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari epidural hematoma?

2. Bagaimana anatomi dari tulang tengkorak dan otak?

3. Apa definisi dari epidural hematoma?

4. Bagaimana patofisiologi dari epidural hematoma?

5. Bagaimana diagnosis epidural hematoma?

6. Bagaimana penatalaksanaan dari epidural hematoma?


7. Bagaimana komplikasi epidural hematoma?
8. Bagaimana prognosis epidural hematoma?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi epidural hematoma.

2. Untuk mengetahui anatomi dari tulang tengkorak dan otak.

3. Untuk mengetahui definisi dari epidural hematoma.

4. Untuk mengetahui patofisiologi dari epidural hematoma.

5. Untuk mengetahui diagnosis epidural hematoma.

6. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari epidural hematoma.


7. Untuk mengetahui komplikasi dan prognosis epidural hematoma.
8. Untuk mengetahui prognosis epidural hematoma.

1.4 Manfaat

1.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit bedah khususnya epidural

hematoma

1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang


mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. 1
Usia : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Bantur
Pekerjaan : Siswa
Pendidikan terakhir : SMP
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal MRS : 09 Februari 2020
Tanggal Periksa : 12 Februari 2020
No RM : 486***

2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Nyeri Kepala
2. Kejadian yang berhubungan dengan keluhan utama :
Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal.
3. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen hari minggu malam
tanggal 09/02/20 pukul 00.00 WIB dengan keluhan nyeri kepala. Pasien
sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal dengan ban motor
terselip saat hujan deras sehingga pasien terjatuh pada pukul 21.00. Pasien tidak
menggunakan helm.
Pasien mengeluhkan nyeri kepala dan pusing, nyeri pada bagian dahi
kiri, nyeri hilang timbul, berkurang ketika beristirahat. Pada pasien didapatkan
muntah-muntah kurang lebih 2 kali, didapatkan luka lecet pada dahi kiri dan

4
memar pada mata kiri. Saat dilakukan anamnesa dan pemeriksaan pasien
megetahui tempat, waktu dan orang.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Penyakit serupa : Disangkal
b. Riwayat Trauma : Disangkal
c. Riwayat Operasi : Disangkal
d. Riwayat MRS : Disangkal
e. Riwayat DM Disangkal
:
f. Riwayat HT Disangkal
g. Riwayat Stroke : Disangkal
h. Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
i. Riwayat Hiperlipidemia : Disangkal
j. Riwayat vertigo : Disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
a. Riwayat Penyakit serupa : Disangkal
b. Riwayat Trauma : Disangkal
c. Riwayat Operasi : Disangkal
d. Riwayat MRS : Disangkal
e. Riwayat DM : Disangkal
f. Riwayat Hipertensi : Disangkal
g. Riwayat Stroke : Disangkal
h. Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
i. Riwayat Hiperlipidemia : Disangkal
6. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat minum alkohol : disangkal
- Riwayat minum jamu-jamuan : disngkal
- Riwayat Merokok : disangkal
7. Riwayat Alergi
- Riwayat alergi obat : disangkal
- Riwayat alergi makanan : disangkal

5
- Riwayat alergi suhu : disangkal
- Riwayat alergi debu : disangkal
8. Riwayat Intoksikasi : di sangkal
9. Riwayat Pengobatan : tidak ada
10. Riwayat Ekonomi : Ekonomi keluarga Menengah.

2.3 Pemeriksaan Fisik


(Pemeriksaan dilakukan di ruangan Diponegoro Bawah tanggal 12/02/20)
1. Keadaan umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : GCS E3V5M6
3. Tanda Vital
a. Tensi : 110/70 mmHg
b. Nadi : 105x/menit, reguler
c. RR : 22x/menit, reguler
d. Suhu : 36 oC

4. Kulit
Warna kulit sawo matang, turgor kulit normal, ikterik (-), pucat (-), ptechie (-)
5. Kepala
Bentuk normosephalic, luka (+), rambut tidak mudah dicabut, makula (-),
papula (-), nodul (-), edem (+)
6. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), katarak (-/-),
edema palpebra (-/+), cowong (-/-), pupil isokor, diameter 3mm, radang (-/-),
lagoftalmus (-/-)
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-), deformitas (-/-)
8. Mulut
Sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), gusi berdarah (-)
9. Telinga
Secret (-/-), pendengaran berkurang (-/-), mueri tekan mastoid (-/-)
10. Tenggorokan

6
Hiperemi (-), tonsil membesar (-/-)
11. Leher
Trakea ditengah, pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat
12. Toraks
Normochest, simetris, retraksisubkostal (-), pembesaran
kelenjarlimfe (-),retraksi (-),
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi
Batas kiri atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas kanan atas : ICS II linea parasternal dextra
Batas kiri bawah : ICS V linea midclavicula sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV line parasternal dextraa
(Batas jantung terkesan dbn)
Auskultasi : S1S2 intensitas normal, reguler
Pulmo
Suara dasar vesikuler di semua lapang paru, suara tambahan (-)
Inspeksi : Pergerakan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor ǀ Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler.

Rhonki Wheezing

- - - - -
- - - - -
- - - - -
13. Abdomen
Inspeksi : Kulit tampak normal, dinding perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) dalam batas normal

7
Palpasi : Nyeri tekan, hepar dan lien tdk dapat dievaluasi
Perkusi : Timpani seluruh lapang perut
14. Saluran Pencernaan Makanan :
Mual (-), Muntah (+), Hematemesis (-), diare (-), Konstipasi (-)
15. Syaraf :
Sakit kepala (+), Pusing (+), keajang (-), gangguan pergerakan (-)
16. Ektremitas:
Atas : Akral dingin (-/+), Edema (-/-), Ilkus (-/-)
Bawah : Akral dingin (-/-), Edema (-/-), Ilkus (-/-)
17. Sistem genetalia: tidak dilakukan

2.4 Pemeriksaan Neurologis


1. Kesan Umum
- Kesadaran : Compos mentis (GCS 356)
- Pembicaraan : disartria (-), monoton (-), scanning (-), afasia (-).
- Kepala : bentuk normal, simetris, sikap paksa (-).
- Wajah : mask face (-), myopati (-), fullmoon face (-).
2. Pemeriksaan Meningen:
- Kaku kuduk : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Brudzinski III : (-)
- Brudzinski IV : Tdk dievaluasi
- Kernig : (-)
3. Pemeriksaan Saraf Kranialis
a. Nervus I : Tidak dilakukan
b. Nervus II : Tes konfrontasi : Normal
c. Nervus III,IV,VI : Pupil
Bentuk (bulat/bulat), bola mata berada di
tengah

8
Perbedaan lebar (isokor/isokor)
Lebar (3mm/3mm) Celah mata
Ptosis (-/-)
Lagoftalmus (-/-)
Refleks cahaya langsung (+/+)
Gerakan bola mata : Normal
d. Nervus V :
Kanan Kiri
Cabang motorik
- Otot masseter Tdk bisa dievaluasi
- Otot temporal Tdk bisa dievaluasi
Cabang sensorik
- I, II, III Tdk bisa dievaluasi
- Refleks kornea Tidak dievaluasi

e. Nervus VII :
Kanan Kiri
Waktu diam
- Kerutan dahi dBN
- Tinggi alis dBN
- Sudut mata dBN
- Lipatan nasolabial dBN
f. Nervus VIII :
Kanan Kiri
Vestibular
- Vertigo - -
- Nistagmus Tdk dievaluasi
Cochlear
- Rinne Tdk dievaluasi
- Schwabah Tdk dievaluasi

9
- Weber Tdk dievaluasi
g. Nervus IX, X :
Bagian motorik
- Suara biasa/parau/tidak : Tidak bisa bicara
- Menelan : Tdk bisa dievaluasi
- Kedudukan arcus pharynx : Tdk bisa dievaluasi
- Kedudukan uvula : Tdk bisa dievaluasi
- Pergerakan arcus pharynx : Tdk dievaluasi
- Detak jantung : dBN
- Bising usus : dBN
Bagian sensorik
- Pengecapan 1/3 belakang lidah : Tdk dievaluasi
- Refleks oculocardiac : Tdk dievaluasi
- Refleks carotiocardiac : Tdk dievaluasi
- Refleks muntah : Tdk dievaluasi
- Refleks palatum molle : Tdk dievaluasi
h. Nervus XI :
Kanan Kiri
Mengangkat bahu Tdk bisa dievaluasi
Memalingkan kepala Tdk bisa dievaluasi
i. Nervus XII :
Kedudukan lidah waktu istirahat : Tdk bisa dievaluasi
Kedudukan lidah waktu gerak : Tdk bisa dievaluasi

4. Pemeriksaan Motorik
- Kekuatan motorik
5 SDE
5 5
- Lateralisasi : tidak ada
5. Pemeriksaan Sensorik : tidak dilakukan
6. Pemeriksaan Refleks

10
- R. Fisiologis
 BPR +2/SDE
 TPR +2/SDE
 APR +2/+2
 KPR +2/+2
- R. Patologis
 Babinski -/-
 Oppenheim -/-
 Chaddock -/-
 Hoffman-Trommer -/-
2.5 Differensial Diagnosis
1. Epidural hematoma
2. Sub dural hematoma
3. Intra cerebral hematoma
2.6 Pemeriksaan Penunjang
- CT Scan Kepala
-

11
2.7 Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen hari minggu malam
tanggal 09/02/20 pukul 00.00 WIB dengan keluhan nyeri kepala. Pasien
sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal dengan ban motor terselip
saat hujan deras sehingga pasien terjatuh pada pukul 21.00. Pasien tidak
menggunakan helm. Pasien mengeluhkan nyeri kepala dan pusing, nyeri pada
bagian dahi kiri, nyeri hilang timbul, berkurang ketika beristirahat. Pada pasien
didapatkan muntah-muntah kurang lebih 2 kali, didapatkan luka lecet pada dahi
kiri dan memar pada mata kiri. Saat dilakukan anamnesa dan pemeriksaan pasien
megetahui tempat, waktu dan orang
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, GCS E3V5M6.
Tensi 110/70 mmHg, nadi 106x/menit, reguler; RR 22x/menit, reguler; Suhu 36oC.
Pada pemeriksaan fisik di kepala didapatkan luka lecet pada dahi kiri dan edema
di daerah orbicularis sinistra. Sedangkan, pada pemeriksaan neurologis tidak
didapakan kelainan. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran hyperdens
pada epidural parietal dekstra dengan ukuran 48,4x17,8,5x12,3 mm dan sinistra
dengan ukuran 67,5x33,8x15,2 mm.

2.8 Diagnosa Kerja

Epidural hematoma (EDH) ec. Cidera kepala ringan (CKR)

2.9 Penatalaksanaan

Rencana terapi:
1. Terapi operatif
 Trepanasi
2. Farmakologi
 IVFD NS 1500 cc/hari 20 tpm
 Cefotaxime 2 x 1g
 Ketolorac 2 x 30 mg
 Omeprazole 1 x 40 mg

12
3. Terapi non-farmakologi
 Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit dan
rencana pengobatan yang akan diberikan.
 Monitoring GCS ,vital sign dan keluhan pasien.
 Elevasi kepala tidur (30 derajat)  mengurangi tekanan intrakranial.

2.10 Prognosis

Dubia at bonam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epidural hematom (EDH) merupakan kumpulan darah di antara


duramater dan tabula interna akibat trauma. Sebagian besar EDH berlokasi di
daerah temporoparietal (70- 80%), sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal
maupun oksipital. Biasanya disertai dengan terjadi fraktur kranium (85-96%)
pada daerah yang sama. Perdarahan pada EDH dikarenakan robeknya arteri
meningea media atau cabang-cabangnya, namun kadang dapat juga berasal
dari vena. Volume EDH biasanya stabil, dan mencapai volume maksimum
hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi pada 9% penderita ditemukan
progresivitas perdarahan sampai 24 jam pertama (Selladurai, 2010)
2.2 Anatomi

Anatomi kepala terdiri dari SCALP, tulang kranium, meningen,


parenkim otak, pembuluh darah otak, cairan serebrospinal (CSF), dan
tentorium. SCALP merupakan singkatan dari susunan skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan ikat, aponeurosis, loose areolar tissue atau
jaringan ikat longgar dan pericranium (Netter, 2012)
Meningen adalah selaput yang menutupi seluruh permukaan otak dan
terdiri atas tiga lapisan yaitu duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater
adalah selaput yang keras dan tidak melekat pada selaput arakhnoid
dibawahnya sehingga terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang
terletak antara duramater dan arakhnoid, dimana sering terjadi perdarahan
subdural. Selain itu juga terdapat ruang potensial diantara duramater dan
tulang kranium yang disebut ruang epidural atau extradural. Lapisan kedua
dari meningen di bawah duramter yang tipis dan tembus pandang disebut
arakhnoimater. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang
subarakhnoid. Parenkim otak dibagi menjadi serebrum (otak besar),

14
serebelum (otak kecil) dan batang otak. Tentorium merupakan struktur yang
membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (fossa kranii
anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (fossa kranii
posterior) (Netter, 2012).

Gambar 1. Lapisan SCALP dan Meningen pada otak

Pengaliran darah ke otak dilakukan oleh dua pembuluh arteri utama yaitu oleh
sepasang arteri karotis interna dan sepasang arteri vertebralis. Keempat arteri ini
terletak didalam ruang subarkhonoid dan cabang cabangnya ber anastomosis pada
permukaan inferior otak untuk membentuk circulus willisi. Arteri carotis interna, arteri
basilaris, arteri cerebri anterior, arteri communicans anterior, arteri cerebri posterior da
communicans posterior dan arteria basilaris ikut membentuk sirkulus ini (Snell, 2007).

Otak manusia merupakan organ yang paling aktif metabolismenya. Meskipun


beratnya hanya 2% dari berat badan, tetapi otak menerima 17% curah jantung dan
memakai 20% oksigen yang diperlukan oleh tubuh manusia untuk metabolismenya.
Sirkulasi utama tersebut adalah (1) sirkulasi arteri serebri anterior yang memberikan
suplai pada sebagian besar kortex serebri dan massa putih sub kortikal, ganglis basalis

15
dan kapsula interna. (2) sirkulasi arteri serebri posterior memebrikan suplai ke korteks
oksipital serebri, lobus temporalis medialis, thalamus, dan bagian rostral dari
mesensefalon (otak tengah) (Irfan, 2012).

Gambar 2. Vaskularisasi Otak

2.3 Patofisiologi

Cedera disebabkan oleh laserasi arteri meningea media atau sinus dura,
dengan atau tanpa disertai fraktur tengkorak. Perdarahan dari EDH dapat menyebabkan
kompresi, pergeseran, dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). (Mininger, 2010)
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan duramater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria
meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di
daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum melalui
durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan EDH, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut
dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. (Mc.Donald, 2011)

16
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis
(Mc.Donald, 2011) Tekanan dari herniasi pada sirkulasi arteria yang mengatur
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuklei saraf cranial ketiga (oculomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons
motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda Babinsky
positif.(Mc.Donald, 2011) Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi
otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain gangguan
tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. (Mc.Donald, 2011)

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa
jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat, a.meningea
media kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut lucid interval. Fenomena
lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada EDH.

Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau
epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena
pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
(Mc.Donald, 2011)

Sumber perdarahan : (Mc.Donald, 2011)

 Arteri meningea media ( lucid interval : 2 – 3 jam )

 Sinus duramatis

17
 Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a.diploica
dan v.diploica

Gambar 3. Perdarahan pada EDH

2.4 Diagnosis

Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan anamnesa,


gambaran klinis, pemeriksaan fisik, imaging dan data laboratorium.
2.4.1 Gambaran klinis perdarahan epidural

Kebanyakan perdarahan epidural intrakranial disebabkan oleh trauma


yang sering melibatkan benturan tumpul pada kepala. Pasien sering didapatkan
bukti eksternal cidera kepala seperti adanya laserasi kulit kepala,
cephalohematoma atau kontusio. Cedera sistemik juga dapat muncul.
Berdasarkan gaya benturan pasien bisa saja tetap sadar, terjadi hilang kesadaran
singkat atau kehilangan kesadaran berkelanjutan (Ganz, 2013 ; Shah, 2011).
Interval lucid klasik dapat muncul pada 20-50% pasien perdarahan
epidural. Hal ini dapat terjadi karena pada awal kejadian, tekanan yang mudah-
lepas menyebabkan cedera kepala berakibat pada perubahan kesadaran sesaat
lalu kesadaran pulih kembali. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural
terus meluas sampai efek massa perdarahan epidural menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial sehinggal mulai terjadi penurunan tingkat

18
kesadaran yang progresif dan sindroma herniasi. Interval lucid bergantung pada
luasnya cedera dan merupakan kunci penting diagnosis perdarahan epidural
intracranial (Ganz, 2013 ; Shah, 2011).
Gejala yang sangat menonjol pada perdarahan epidural adalah
penurunan tingkat kesadaran yang progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini
seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga
tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan telinga. Setiap orang
memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala.
Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering
tampak: penurunan kesadaran , bisa sampai koma; bingung; penglihatan kabur;
susah bicara; nyeri kepala yang hebat; keluar cairan dari hidung dan telingah;
mual, pusing dan berkeringat. Pada hipertensi intrakranial berat, respon
Cushing mungkin muncul. Trias Cushing klasik melibatkan hipertensi sistemik,
bradikardia, dan depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul ketika perfusi
serebral, terutama sekali karena batang otak mengkompensasi peningkatan
tekanan intra kranial. Terapi anti hipertensi selama ini mungkin menyebabkan
iskemia serebral akut dan kematian sel. Evakuasi lesi massa mengurangi respon
Cushing (Liebeskind, 2013; Ganz, 2013 ; Shah, 2011).
Penilaian neurologis sangat penting terutama pada tingkat kesadaran,
aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil,
parese nervus kranialis dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau
hemiplegia. GCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini karena
berhubungan dengan keluaran klinis akhir. Pada pasien yang sadar dengan lesi
massa, fenomena pronator drift mungkin membantu dalam menilai arti klinis.
Arah ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan teregang keluar
dengan kedua telapak tangan menghadap keatas mengindikasikan efek massa
(Ganz, 2013 ; Shah, 2011).
Pada perdarahan epidural di spinal dapat ditemukan berbagai gambaran
klinis pada pemeriksaan fisik neurologis yang tergantung pada segmen spinal
yang terlibat. Beberapa gambaran klinis yang dapat dijumpai yaitu: kelemahan

19
ekstrimitas (unilateral atau bilateral), defisit sensoris dengan paresthesia
radikular (unilateral atau bilateral), gangguan refleks tendon dalam, gangguan
tonus sfingter kandung kemih atau anal (Ganz, 2013 ; Shah, 2011).
2.4.2 Pencitraan Perdarahan Epidural

Foto polos kepala, CT-scan dan kepala MRI penting untuk memberikan
penilaian perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral pada sisi
yang mengalami trauma untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong
sulcus arteria meningea media (Shah, 2011 ; Abelsen, 2013).

Gambar 4: Fraktur temporoparietal (panah)


yang berakibat perdarahan epidural

Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan


potensi cedara intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian
saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk
bikonveks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang

20
homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.
Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi
pada stadium yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari
pembuluh darah. Pada perdarahan epidural di spinal dapat dikerjakan CT
myelografi terutama pada yang tidak memungkinkan atau kontraindikasi
dikerjakan MRI (Shah, 2011 ; Abelsen, 2013).

Gambar 5 : Perdarahan epidural intrakranial di temporoparietooccipital


sinistra (A,B), nampak garis fraktur (C, anak panah)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pada MRI kepala akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks
yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI kepala juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi.
MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan
diagnosis. Pada perdarahan epidural spinal MRI penting untuk memastikan
lokasi segmen yang mengalami perdarahan (Liebeskind, 2016 ; Shah, 2011 ;
Abelsen, 2013).

Gambar 6 : T1 MRI kepala


potongan koronal, didapatkan
gambaran perdarahan epidural
di daerah vertex

21
Gambar 7 : T2
MRI kepala
potongan sagittal,
nampak
perdarahan
epidural pada
region
parietoccipital
dekstra (kanan)

Gambar 8 : MRI
Nampak
perdarahan
epidural pada
region
parietoccipital
dekstra.

2.4.3 Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya


1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit
terkait perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi
untuk menyingkirkan diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan
koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa darah
juga perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi metabolik
perdarahan epidural intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa terkait
penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat

22
5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan operatif
darurat (Liebeskind, 2016 ; Shah, 2011 ; Abelsen, 2013).
2.4.4 Pemeriksaan penunjang lain perdarahan epidural

Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan diantaranya angiografi, lumbal


pungsi, electroencephalography (EEG) dan somatosensory evoked potential
(SSEP) pada perdarahan epidural spinal. Angiografi dapat dikerjakan bila ada
kecurigaan adanya malformasi vaskular. Lumbal pungsi tidak rutin dikerjakan
karena informasi yang didapatkan hanya sedikit. SSEP perlu dikerjakan pada
perdarahan epidural spinal untuk penilaian prognosis maupun selama
intraoperative (Liebeskind, 2016 ; Shah, 2011 ; Abelsen, 2013).
2.5 Diagnosis banding perdarahan epidural
Diagnosis banding perdarahan epidural intrakranial yang perlu
disingkirkan diantaranya adalah cedera kepala sedang, perdarahan subdural,
abses epidural, perdarahan intracerebral, epilepsi post traumatik, ensefalopati
karena intoksikasi alkohol. Pada perdarahan epidural spinal diagnosis banding
yang perlu disingkirkan diantaranya perdarahan medulla spinalis, abses
epidural spinal, ankylosing spondylitis, spondilosis, polineuropati (Liebeskind,
2016 ; Shah, 2011).

2.6 Tatalaksana perdarahan epidural


Tatalaksana perdarahan epidural mencakup tatalaksana umum dan
tatalaksana khusus. Tatalaksana khusus mencakup terapi medikamentosa dan
terapi operatif (Abelsen, 2013 ; Lee, 2012).
2.6.1 Tatalaksana umum

Resusitasi pasien trauma kepala bervariasi karena heterogenitas dari


penyakit itu sendiri. Tujuan dari semua upaya resusitasi awal yang baik adalah
untuk memulai sedini mungkin berbagai upaya penanganan pra-rumah sakit,
dengan perhatian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Sejak pasien datang ke
ruang gawat darurat pasien segera dipersiapkan evaluasi trauma menyeluruh,

23
dimulai dengam inspeksi fraktur, evaluasi mekanisme cidera untuk menilai
daya benturan baik pada kranium maupun daerah spinal, imobilisasi spinal
khususnya servikal, dan evaluasi defisit neurologis (Abelsen, 2013 ; Lee,
2012).
Tiga penanda prediktor keluaran klinis yang buruk saat penanganan di
departemen gawat darurat adalah hipotermia, hipoksia, dan hipotensi.
Hipotermia saat awal menjadi penanda resusitasi yang jelek, dan sebaiknya
suhu tubuh inti harus dihangatkan secara pasif selama fase awal resusitasi.
Resusitasi volume agresif untuk hipotensi dan ventilasi yang memadai adalah
fokus utama dalam upaya resusitasi awal. Resusitasi pra-rumah sakit dengan
hipertonik salin pada trauma kepala gagal menunjukkan manfaat jangka
panjang, Pada sebuah analisis post-hoc cairan “Saline vs Albumin” , resusitasi
dengan albumin dikaitkan dengan tingkat kematian lebih tinggi daripada yang
resusitasi dengan garam. Oleh karena itu, administrasi kristaloid isotonik
adalah metode yang disukai untuk resusitasi volume (Abelsen, 2013 ; Lee,
2012).
Semua pasien dengan trauma kepala harus memiliki ventilasi yang baik
dan menjaga PO2 dan PCO2. Suplementasi oksigen diberikan untuk
mendapatkan SpO2 > 90%. Selama fase resusitasi awal sangat penting untuk
menyadari langkah-langkah yang sederhana seperti elevasi kepala tidur (30
derajat), posisi kepala yang tepat untuk mencegah penekanan vena jugularis
dan kontrol nyeri yang memadai dan sedasi merupakan metode yang sangat
sederhana dan efektif untuk mengurangi tekanan intrakranial (ICP) (Abelsen,
2013 ; Lee, 2012).
2.6.2 Tatalaksana Khusus

2.6.2.1 Terapi Medikamentosa

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital


Mempertahankan kontrol jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi yang
telah ditangani saat resusitasi awal. Jalan nafas harus selalu bebas dengan

24
memastikan tidak ada lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara
pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian
oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : gunakan
cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline (Abelsen, 2013 ; Lee, 2012).
2. Mengurangi tekanan intrakranial
Beberapa cara yang dapat dicoba untuk mengurangi tekanan
intrakranial:
a. Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100
mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg (Lee, 2012).
b. Cairan hiperosmoler.
Cairan hiperosmoler diberikan untuk “menarik” air secara osmotik dari
jaringan otak (intrasel dan interstitial) ke dalam ruang intra-vaskular lalu
melalui diuresis. Cairan yang umum digunakan adalah Manitol 10-15%
0,25-1g/KgBB diberikan per infus selama 10-15 menit. Efek ini dapat
berhasil dengan baik jika sawar darah otak dalam keadaan normal. Cara ini
berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus
biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba
diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
Hati-hati dengan kontraindikasi pemberian manitol seperti gagal jantung,
gagal ginjal akut (AKI), hiperkalemia dan hipotensi (Lee, 2012).
Selain manitol dapat diberikan hipertonik salin. Hipertonik salin
merupakan agen osmotik yang telah lama digunakan sebagai tambahan
terapi manitol atau pada individu yang telah menjadi toleran terhadap
manitol. Namun pada studi terbaru ternyata hipertonik salin merupakan
sebagai pengukur utama untuk mengontrol tekanan intrakranial. Hipertonik
saline bertujuan untuk meningkatkan natrium serum dan osmolalitas,

25
sehingga membentuk gradien osmotik. Air dapat berdifusi secara pasif dari
ruang intraseluler dan interstitial otak ke kapiler sehingga menurunkan
tekanan intrakranial. Meskipun cara kerja mirip dengan manitol, natrium
klorida memiliki koefisien refleksi yang lebih baik (1.0) dibandingkan
manitol (0,9) dan membuatnya menjadi zat osmotik yang lebih baik selain
itu juga dapat menormalkan potensial istirahat pada membrane dan volume
sel dengan mengembalikan keseimbangan elektrolit intraseluler pada sel
yang rusak. Dosis hipertonik salin dan administrasinya sangat bervariasi,
bolus berkisar antara 30 mL 23,4% NaCl dan 150 mL 3% NaCl, sedangkan
yang lain telah menganjurkan penggunaan infus kontinu baik 2% atau 3%
NaCl hingga mencapai tujuan Na serum 150 mmol / L (Lee, 2012).
c. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan
bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.
Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan
sawar darah otak. Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg
bolus yang diikuti dengan 4x4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah
digunakan dengan dosis 6x15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6x10 mg
(Lee, 2012).
d. Barbiturat.
Barbiturat digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga
akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung
dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat
(Lee, 2012).
e. Hipotermia
Terapi hipotermia masih menjadi pilihan untuk mengatasi peningkatan
tekanan intrakranial. Biasanya terapi hipotermia diberikan pada pasien yang

26
inteloran terhadap terapi hipertonik. Adanya perangkat modern untuk
memodulasi suhu tubuh memungkinkan terapi ini akan makin rutin
digunakan. Karena tekanan intrakranial sangat tergantung pada suhu tubuh
inti, setiap penurunan suhu kurang dari 37 ° C akan menurunkan tekanan
intrakranial mengakibatkan pengurangan ICP namun terapi ini umumnya
ditargetkan untuk mendapatkan suhu inti tubuh yang lebih rendah yaitu 32oC
sampai 34°C. Risiko komplikasi infeksi karena terapi hipotermia tergantung
durasi terapi, tingkat komplikasi infeksi meningkat tajam pada terapi lebih
dari 72 jam. Hipotermia juga dapat memicu koagulopati dan peningkatan
risiko pendarahan tapi saat ini belum ada peningkatan yang signifikan
kejadian perdarahan intrakranial karena hipotermia pada banyak
Randomized Controlled Trial (RCT) (Lee, 2012).
3. Terapi tambahan lain
Pasien dengan trauma kepala pasti mengalami nyeri kepala baik oleh
karena trauma jaringan peka nyeri maupun karena peningkatan tekanan
intrakranial. Nyeri harus segera diatasi karena menahan rasa nyeri dapat
memberat peningkatan tekanan intrakranial. Transfusi dapat dikerjakan pada
anemia karena kehilangan darah akibat trauma dengan target Hb 10g/dL.
Antikonvulsan dapat diberikan bila ada gejala klinis kejang, tidak diberikan
sebagai profilaksis (Lee, 2012).
Pemakaian ventilator ditujukan untuk pengaturan kadar CO2 yang
memiliki dampak signifikan pada aliran darah otak (CBF) dan mengontrol
volume intrakranial dan tekanan intrakranial. Pada hiperventilasi ringan,
peningkatan ekstrasi oksigen ekstraksi dapat mengkompensasi penurunan
aliran darah dan volume, sehingga metabolisme sel yang normal dapat tetap
berlangsung. Namun, hiperventilasi berkepanjangan dapat meningkatkan
asidosis metabolik sedangkan pada hiperventilasi jangka pendek dapat
menurunkan kadar CO2 di pembuluh darah otak yang menyebabkan
peningkatan pH sehingga mengurangi efek merugikan dari asidosis. Proses ini
tergantung pada ketersediaan bikarbonat dalam cairan serebrospinal.

27
Hiperventilasi berkepanjangan dapat menguras kadar bikarbonat yang dapat
menyebabkan iskemia dan memperburuk keluaran klinis (Lee, 2012).
2.6.2.2 Terapi Bedah

Servadei dkk melaporkan sebuah studi yang dilakukan oleh ahli bedah
saraf pada 158 pasien yang mengalami trauma kepala minor dan pada hasil CT
scan kepala didapakan perdarahan epidural. Pada CT scan kepala tanpa kontras
dinilai ukuran dari hematom, pergeseran garis tengah dan lokasi untuk menilai
keputusan perlu tidaknya tindakan operatif. Terapi konservatif dikerjakan pada
hematom ketebalan < 10 mm dan pergeseran garis tengah < 5mm. Pada kedua
kelompok baik yang menerima terapi operatif maupun terapi konservatif
memiliki keluaran klinis yang tidak jauh berbeda pada studi ini. Chen Tzu-
Yung dkk melaporkan 74 pasien dengan perdarahan epidural, terapi
nonoperatif dikerjakan pada pasien dengan nilai GCS> 12 sedangkan sisanya
mendapat tindakan operatif. Mereka melaporkan bahwa hanya perdarahan
epidural supratentorial dengan volume > 30cc, ketebalan > 15mm dan
pergeseran garis tengah > 5mm yang mendapat tindakan operatif. Sedangkan
Sullivan dkk melaporkan serial kasus 252 pasien dengan perdarahan epidural
akut, 160 diantaranya mendapat terapi konservatif dan hasilnya cukup
memuaskan. Offner dkk dalam studinya pada 84 pasien dengan perdarahan
epidural di Rumah Sakit Trauma Saint antony didapatkan bahwa 87% dari 64%
pasien yang mendapat terapi nonoperatif memiliki keluaran klinis yang
memuaskan dan dianggap sukses (Visocchi, 2015 ; Bullock, 2006)
Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial yang disarankan
Bullock dkk tahun 2006 yaitu :
-Volume hematom > 30 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
- Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depresi dengan kedalaman
>1 cm

28
- Ketebalan hematom lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS
8 atau kurang
- Terdapat tanda-tanda neurologis lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
Tindakan bedah yang dikerjakan dapat berupa kraniotomi dekompresif
maupun prosedur dengan minimal invasif seperti burr hole dengan drainase
tekanan negative. (Liebeskind, 2016 ; Bullock, 2006)
Perdarahan epidural di spinal spontan maupun traumatik umumnya
dikerjakan laminektomi dekompresi dan evakuasi hematom melalui segmen
dorsal. Menurut beberapa ahli time window terbaik untuk mengerjakan
tindakan operatif maksimal 48 jam setelah onset yang diharapkan dapat
memberikan keluaran klinis yang optimal. Pada beberapa kasus yang cukup
jarang perdarahan epidural spinal dapat membaik dengan terapi konservatif
seperti trauma medulla spinalis yaitu dengan pemberian steroid dosis tinggi.
(Lo, 2012 ; Yi, 2016)
2.7 Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang sering terjadi pada perdarahan epidural intrakranial


adalah defisit neurologis bahkan kematian, kejang post trauma karena
kerusakan kortikal (biasanya 1-3 bulan setelah trauma kepala), delayed effect
termasuk postconccusion syndrome seperti nyeri kepala, dizziness, vertigo,
restlessness, emosi yang labil dan kertidakmampuan untuk berkonsentrasi dan
kelelahan. Sedangkan komplikasi pada perdarahan epidural di spinal umumnya
adalah spastisitas, nyeri neuropatik dan komplikasi pada sistem berkemih
(Liebeskind, 2016).
Prognosis pasien dengan perdarahan epidural tergantung pada usia,
kesadaran awal masuk (GCS), perberatan klinis, perberatan yang tertunda
antara saat trauma dan intervensi bedah. Pada perdarahan epidural di spinal
prognosis tergantung pada keterlibatan medulla spinalis (Liebeskind, 2016).

29
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada pemeriksaan seorang remaja berusia 16 tahun dating ke IGD RSUD


Kanjuruha hari minggu 09/02/2020 pukul 00.00 WIB. Berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
diagnosis dari An. I adalah perdarahan epidural atau yang biasa dikenal dengan
epidural hematoma (EDH)
Dalam penatalaksanaan kasus ini diberikan terapi Farmakologi dengan
IVFD NS 1500 cc/hari 20 tpm, Cefotaxime 2 x 1g, Ketolorac 2 x 30 mg,
Omeprazole 1 x 40 mg. Terapi non-farmakologi edukasi kepada pasien dan
keluarga pasien tentang penyakit dan rencana pengobatan yang akan diberikan,
monitoring GCS ,vital sign, keluhan pasien.

30
Daftar Pustaka

Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematom in Emergency

Medicine www. emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2016

Prawirohardjo P, patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial pada

cedera otak traumatik. Dalam buku Neurotrauma. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. 2015;1-2

Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M.

(n.d.). Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to

Brains and Meningens, NJ : 2012

Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding:

evolving understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013

Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural

Hematoma: Is It Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis:

2011

Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head

Injuries, A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013

Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section :

Neurotrauma, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012

Visocchi, M., & Iacopino, D. G, Conservative vs . Surgical Management

of Post- Traumatic Epidural Hematoma : A Case and Review of Literature,

811–817: 2015, http://doi.org/10.12659/AJCR.895231

31
Bullock, Chesnut, R., & Gordon, D, Surgical Management of Acute

Epidural Hematome : 2006,

http://doi.org/10.1227/01.NEU.0000210363.91172.A8

Lo, C., Chen dkk, Spontaneous Spinal Epidural Hematoma : A Case

Report and Review of the Literatures, 21(386), 31–34: 2012

Yi, K., Paeng dkk, Spontaneous Resolution of a Traumatic Lumbar

Epidural Hematoma with Transient Paraparesis, 2(October), 71–73: 2016

32

Anda mungkin juga menyukai