Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

SKULL DEFECT
DENGAN GENERAL ANESTESI

Disusun untuk Memenuhi Kewajiban Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Anestesiologi RSUD Dr. Adhyatma Semarang

Diajukan Kepada :
dr. Meriwijanti, Sp. An, KIC
dr. Beta Raditya, Sp. An
dr. Adi Sucipto, Sp.An.
dr. Fendy, Sp.An

Disusun Oleh :
Khoirunnisak H3A021049

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU ANESTESI


RSUD TUGUREJO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2022

1
2
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


Tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi
terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri
dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan
prognosis dan persiapan
pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari
premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan
pasca anestesi.
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral
yang dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia,
kelumpuhan otot, dan sedasi. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik,
analgetik, dan relaksasi otot.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. AM
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 21 tahun
Alamat : kaliwungu kab.kendal
Diagnosis Pre Op : skull defect
Tindakan Op : cranioplasti
Tanggal Masuk : 05 april 2022
Tanggal Operasi : 07 april 2022

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien merasa pusing.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien sering mengeluhkan pusing, pusing dirasakan setelah
terjadi trauma pada kepalanya. Awal terjadinya trauma karna pasien
hendak menaiki motor dengan posisi pasien dibonceng dibelakang. Saat
pasien hendak naik, kakinya terpeleset dan kepalanya terbentur batu.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat Alergi Obat : disangkal
e. Riwayat penyakit jantung : disangkal
f. Riwayat stroke : disangkal
g. Riwayat Asma : disangkal
4. Riwayat keluarga
a. Riwayat Hipertensi : disangkal

2
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat Alergi Obat : disangkal
d. Riwayat stroke : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat Tumor : disangkal
5. Riwayat Pribadi
a. Riwayat Merokok : Disangkal
b. Riwayat Konsumsi Alkohol : Disangkal
c. Riwayat olahraga : 1 minggu sekali
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang pelajar yang duduk dibangku SMA.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Compos Mentis
2. Vital Sign :
a. Tekanan darah : 110/72 mmHg
b. Frekuensi Nadi : 100 x/ menit, regular, isi dan tegangan
cukup
c. Frekuensi Nafas : 22x/ menit
d. Suhu : 36,5o
3. Status gizi :
a. BB : 50 kg
b. TB : 155 cm
4. Status internus :
a. Kepala : Asimetris karena adanya skull defect

b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera


ikterik (-/-), reflex cahaya (+/+),
pupil bulat isokor (2,5 mm / 2,5 mm).
c. Telinga : normotia, discharge (-/-), massa (-/-)

d. Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-/-),


darah (-/-), konka hiperemis (-/-).

3
e. Mulut : sianosis (-), bibir pucat (-), lidah kotor (-),
karies gigi (-), faring hiperemis (-), tonsil
(T1/T1).
f. Leher : pembesaran kelenjar thyroid (-), kelenjar
getah bening membesar (-), massa (-)
g. Thoraks : tidak dilakukan

h. Abdomen :
1) Inspeksi : datar, jejas (-)
2) Auskultasi : Bising usus (+) normal
3) Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen.
4) Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
i. Ekstremitas
Superior Inferior
Jejas -/- -/-
Deformitas -/- +/-
Edema -/- -/-
Nyeri -/+ -/-
Capillary refill time <2 detik/<2 detik <2 detik/<2 detik
Akral dingin -/- -/-
Sensibilitas +/+ -/+
Gerak aktif Bebas /Terbatas Bebas/Bebas
Gerak pasif Bebas/Terbatas Bebas/Bebas

5. Status lokalisata pada regio kepala


Inspeksi : jahian luka(+), skull defec(+), rambut dipangkas bagian
luka (+), kepala asimetris(+), darah (-), pus (-)
Palpasi : Hangat, nyeri(+),jahian luka(+), teraba lunak pada
temporal sinistra.
Staging : T2N0M0

4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Hematologi
Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
Normal

Leukosit 6,81 103/uL 3.6-11


Eritrosit 4.77 106/uL 3.8-5.2
Hemoglobin 13.70 g/dL 13.2-17.3
Hematokrit 40.70 % 40-52
MCV 85.30 fL 80-100
MCH 28.70 Pg 26-34
MCHC 33.70 g/dL 32-36
Trombosit 274 103/uL 150-440
RDW 13. 10 % 11,5-14,5
PLCR 17,9 %
Diff count
Eosinofil Absolute 0, 27 103/uL 0,045-0,44
Basofil Absolute 0.08 103/uL 0-0,2
Neutrofil Absolute 3.97 103/uL 1,8-8
Limfosit Absolute 2.01 103/uL 0,9-5,2
Monosit Absolute 0.48 103/uL 0,16-1
Eosinofil L 4,00 % 2-4
Basofil 1, 27 % 0-1
Neutrofil H 58.30 % 50-70
Limfosit L 29.50 % 25-40
Monosit 7.00 % 2-8
2. Kimia Klinik
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

5
Glukosa Sewaktu 90 mg/dL <125
Ureum 15.0 mg/dL 10.0 – 50.0
Kreatinin L 3,46 mg/dL 0.70 – 1.10
SGOT 19 U/L 0–5
SGPT 25 U/L 0 – 35
HBsAg 0.29 S/CO CUT OFF: <1.00
Non
reaktif
CT + BT
Waktu 4’00” Menit 2–8
pembekuan
Waktu perdarahan 1’30” Menit 1–3

3. Ct scan kepala tanpa kontras

6
Kesan :
- Defect tulang pada os.frontotemporal kiri ukuran defect 8,5x7,84cm.
disertai penonjolan rigan brain melalui defect.
- Bone flap pada soft tissue regio parietal kiri ukuran 7,2x2,56cm.
- Perdarahan lama pada kortikal dan subcortical lobus perietotemporal
kiri tak tampak tanda perdarahan aktif.

E. PRE OPERASI (11 Novemver 2021 pukul 10.00 WIB)


1. B1 (Breathing) Airway : clear
RR : 16 x/ menit
2. B2 (Blood)  Akral hangat (+), Perdarahan (-)
TD : 123/74 mmHg
HR : 78 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
3. B3 (Brain)  GCS : E4V6M5 = 15
Kesadaran : compos mentis
Pupil : isokor, reflek cahaya (+/+)
4. B4 (Bladder)  Urine : inkontinensia (-)
5. B5 (Bowel)  Mual (-), muntah (-), bising usus (+), nyeri tekan (-)
6. B6 (Bone)  Dislokasi (-) fraktur (-)
ASA II ( Pasien dengan penyakit sistemik ringan sedang)

F. OPERASI
1. Jenis Anestesi : Umum Inhalasi (semi close) dengan ET ukuran 6,5
2. Lama Anestesi : 14.30– 16.00 WIB

7
3. Premedikasi
a. Ondancetron 4mg/2ml (iv)
b. Sulfas atropine 0,25 mg
c. Fentanyl 100 mcg
4. Induksi
a. Propofol 100 mcg
b. Atracurium 25 mg
5. Maintenance
a. O2 2 liter/menit
b. N2O 2 lpm
7. Inhalasi : Sevoflurance 1%
8. Cairan : NaCl 0,9% 20 TPM

G. POST OPERASI 11 November 2021 pukul 12.00 WIB


1. B1 (Breathing)  Airway : clear
RR : 16x/ menit
2. B2 (Blood)  Akral hangat (+), perdarahan (-)
TD : 123/74 mmHg
HR : 16 x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup
3. B3 (Brain)  GCS : E4V6M5 = 15
Kesadaran : compos mentis
Pupil : isokor, reflek cahaya (+/+)
4. B4 (Bladder)  Urine : inkontinensia (-)
5. B5 (Bowel)  Mual(-), muntah(-), bising usus(+), nyeri tekan(-)
6. B6 (Bone)  Dislokasi (-) fraktur (-)
7. Pemantauan Status Fisiologi

8
8. Pasca bedah di Recovery Room (RR)
No Kriteria Skor
1 Warna kulit Merah/normal 2
Pucat
Sianosis
2 Aktivitas motoric Gerak empat anggota tubuh 2
Gerak dua anggota tubuh
Tidak ada gerak
3 Pernapasan Napas dalam, batuk dan tangis 2
kuat
Napas dangkal dan adekuat
Napas apneu/napas tidak adekuat
4 Tekanan darah Berbeda ± 20 mmHg dari pre OP 2
Berbeda 20-50 mmHg dari pre
OP
Berbeda ± 50 mmHg dari pre OP
5 Kesadaran Sadar penuh mudah dipanggil 2
Bangun jika dipanggil
Tidak ada respon
6 Mual muntah Minimal (1-2x muntah) 2
Sedang (3-5x muntah)
Berat (muntah terus menerus)
7 Perdarahan Minimal (tidak perlu ganti balut) 2

9
Sedang (perlu ganti balut 1x)
Berat (lebih dari 3x ganti balut)
14

9. Instruksi Pasca Anestesi


a. Sadar penuh, mual (-), muntah (-), boleh makan minum
b. Awasi tanda – tanda vital sampai dengan stabil
c. Terapi O2 2 lpm nasal kanul Tidur terlentang kepala ekstensi
10. Pengawasan : TD/ Nadi/ RR/ suhu tiap ½ jam
11. Program cairan : Infus RL 20 tpm Infus tutofusin 20 tpm
12. Program Analgetik : futrolit + fentanyl 100 mg 20 tpm, paracetamol
1gr.

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi Uumum (General Anestesi)


1. Definisi
Hilangnya rasa nyeri dan kesadaran secara reversible. Anestesi
umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang
dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia,
kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada pasien yang dilakukan anestesi dapat
dianggap berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan
reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan
pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang
berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim, dan
menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Komponen anestesi
yang ideal terdiri dari hipnotik, analgetik, dam relaksasi otot.1,2,3
2. Trias Anestesi
a. Hipnotik
b. Analgesi
c. Relaksasi otot
Note : General anestesi memiliki komponen ideal sperti yang disebutkan
diatas, tetapi tidak semua General anestesi harus memiliki 3 pilar tersebut.
Minimal yang harus ada adalah hipnotik dan analgesia.
Secara klinis, anestesi untuk general anestesi menyebabkan4
- Tidak berasa nyeri
- Amnesia (tidak ingat kejadiaan saat operasi)
- Tiba bisa bernapas spontan kerna penggunaan pelumpuh otot(untuk
GA napas kendali)
3. Metode Anestesi1,3
a. Parenteral

11
Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena
maupun intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi
yang singkat atau untuk induksi anestesi
b. Perektal
Biasanya digunakan pada bayi atau anak-anak dalam bentuk
suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke anus. Obat
anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya
sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi
jantung, roentgen foto, pemeriksaanmata, telinga, oesophagoscopi,
penyinaran dsb) terutama pada bayi- bayi dan anak kecil. Juga
dipakai sebagai induksi narkose dengan inhalasi pada bayi dan anak-
anak
c. Perinhalasi
Melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian
berikan anestesi perinhalasi secara perlahan. Obat anesthesia dihirup
bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru, masuk ke darah dan
sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.1
- Sungkup muka napas spontan
- Intubasi trachea (perlu pelemas otot) : spontan dan napas
kendali (digunakan gas dan volatile liquid)
4. Faktor yang Mempengaruhi2,3
a. Respirasi gas : Zat anestesi yang masuk ke saluran napas akan
mencapai alveoli. Setelah dialveoli obat anestesi akan mencapai
konsentrasi tertentu hingga cukup kuat untuk menyebabkan proses
difusi kedalam sirkulasi dan disebarkan keseluruh tubuh / jaringan.
b. Sirkulasi
c. Jaringan
1) Kaya pembuluh darah ; otak, jantung, ginjal hati dan paru
2) Miskin pembuluh darah : jaringan lemak, tulang, tendo, subkutis
dsb

12
3) Apabila anestesi tersebut masuk ke organ yang kaya pembuluh
darah akan cepat efek yang muncul seperti pada otak yang
memiliki vaskularisasi yang banyak sehingga muncul efek
hipnotik/tidur.
d. Zat anestesi
Potensi macam-macam zat anestesi tergantung pada
1) MAC (minimal alveolar concentration)
2)Koefisien partial
e. Lain – lain seperti :
1) Ventilasi (Semakin sering kita memberikan ventilasi/
memberikan pernafasan melebihi pernafasan normal
(menggunakan bag mask) maka efek anestesinya lebih cepat
terjadi.
2) Curah jantung
3) Suhu (semakin rendah suhu tubuh maka akan semakin cepat efek
anestesi terjadi).
5. Stadium Anestesi1, 5
a. Stadium I ( analgesia sampai kesadaran hilang)
Stadium I (St. Analgesia/ St. Disorientasi) dimulai dari saat
pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium
ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi
(hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium
ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflex bulu
mata (caranya dengan raba bulu mata)
b. Stadium II ( sampai respirasi teratur)
Stadium II (St. Eksitasi / St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I
dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil melebar dengan
refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan
dan kelopak mata.

13
c. Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernafasan
hingga hilangnya pernafasan spontan. Stadia ini ditandai oleh
hilangnya pernafasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan
dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai
paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:
1) Plane I : Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan
abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks
cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
2) Plane II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur,
volume tidak menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai
terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai
melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang
dan tonus otot makin menurun.
3) Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise
seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal
lebih dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal,
pupil makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi
negafif, reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin
menurun.
4) Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise
diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi
paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi
flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani
negative.
5) Stadium IV ( henti nafas dan henti jantung)

14
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian
akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya
pasien meninggal. Jika mencapai stadium 4 berarti kedalaman
anestesi yang berlebihan.
6. Macam daan Tanda Reflek pada Mata2,5
a. Reflek pupil
Pada keadaan teranestesi maka reflek pupil akan miosis apabila
anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya
cukup dan baik/ stadium yang paling baik untuk dilakukan
pembedahan, midriasis maksimal menandakan pasien mati.
b. Reflek bulu mata
Reflek bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi.
Apa bila saat dcek reflek bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah
pada stadium 1.
c. Reflek kelopak mata
Pengecekan reflek kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa
digunakan untuk memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum,
caranya adalah kita tarik palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak
berarti menandakan pasien sudah masuk stadium 1 ataupun 2.
d. Reflek cahaya
Untuk reflek cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / respon
tidak saat kita beri rangsangan cahaya.
7. Indikasi Anestesi Umum1,3,4
a. Bayi dan anak-anak
b. Dewasa yang memilih anestesi umum
c. Pembedahannya luas / ekstensif
d. Penderita sakit mental
e. Pembedahan lama
f. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
g. Riwayat penderita toksik/ alergi obat anestesi lokal
h. Penderita dengan pengobatan antikoagulan

15
8. Kontraindikasi Anestesi Umum1,3,4
a. Mutlak : dekomp.kordis derajat III – IV ; AV blok derajat II – total
(tidak ada gelombang P)
b. Relatif ; hipertensi berat/tak terkontrol (diastolic >110), DM tak
terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA
9. Obat-obat Anestei Inhalasi5,6
a. Volatile liquid : Chloroform, dietil eter, etil klorida, halotan,
metoksifluran, trikoetilen, ensfluran, isofluran, densfluran
b. Gas anesthetic : Cyclopropane, etilen, nitrogen oksida
10. Teknik Anestesi Umum1,3
a. Sungkup Muka (fask mask) nafas spontan
1) Indikasi
- Tindakan singkat
- Keadaan umum baik ( ASA I – II )
- Lambung harus kosong (pasien disuruh puasa selama 6-8
jam dengan harapan lambung sudah kosong dalam rentang
waktu tsb. Lambung harus kosong supaya tidak terjadi
reflux/regurgitasi, Karena terjadi relaksasi semua otot
diakibatkan efek anestesi umum khususnya otot yang
bekerja di traktus digestivus sehingga makanan bisa naik dan
bisa terjadi aspirasi.)
2) Prosedur
a) Persiapan anestesi
b) Melakukan premedikasi
c) Induksi
d) Pemeliharaan y
- Pasang sungkup muka
- Berikan gas anestesi N2O/O2 dengan ratio 70% gas
N2O dan 30% O2 dan tambahkan volatile agent 1%
(halotan/isofluran/ensfluran)

16
- Kedalaman anestesi dapat diketahui dari bola mata
terfiksir, refleks-refles negatif,guidel rahang lemas dan
vital sign.
- Volatile agent dipertahankan dan dimatikan sebelum
operasi selesai.
- Selesai operasi N2O dimatikan dan berikan O2 100%
11. Intubasi Endotrakea dengan Nafas Spontan3
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakheal tube) kedalam trakea via oral atau nasal
a. Indikasi
Operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher
dan kepala) , lambung penuh, operasi cyto/segera
b. Prosedur :
- Persiapan anestesi : Persiapan pasien dan memasang IV line,
alat, dan obat
- Melakukan Premedikasi
- Induksi
- Preokgenasi
- Berikan muscle relaxant
- Pasang sungkup muka, pompa kantung udara
- Masukkan ETT/NT dan cuff dipompa
- Hubungkan ET dengan mesin anestesi
- Cek suara napas kanan dan kiri dengan stetoskop
- Pasang guedel
- Fiksasi ETT dengan plaster
- Pasang konektor antara ET dengan mesin anestesi yang telah
dibuka N2O/O2 dan volatile liquid
- Pemeliharaaan N2O/O2 : 4/2 l/menit dan volatile liquid 0.5-4%
tergantung dari respon masing-masing pasien.
12. Intubasi dengan Nafas Kendali2,3
a. Penderita diberikan muscle relaxant

17
b. Untuk pemeliharaan muscle relaxant diberikan 1/3 hingga ½ dosis awal
c. Akhiri anestesi dengan napas spontan, gas anestesi diturunkan sampai
0.
d. Bila operasi selesai tetapi pasien belum napas spontan diberikan obat
reverse
e. Dilakukan ekstubasi
POST OPERASI
- Pasien diletakkan di recovery room
- Observsi vital sign
- Pasien gelisah kemungkinan karena nyeri. Hipoksia, hipotensi, stress
psikologi
- Penilaian pulih sadar berdasarkan aldrete score
Yang dinilai aldrete score adalah:
- Kesadaran
- Pernapasan
- Tekanan darah
- Aktivitas
- Warna kulit
Jika nilai aldrete score 8-10, pasien boleh dipindahkan ke ruangan.
13. Persiapan Anestesi Umum1,2,3,4
Praktek anestesi yang aman dan efisien memerlukan personil
bersertifikat, obat-obatan dan peralatan yang tepat, serta keadaan
pasien yang optimal.1
a. Persyaratan minimum untuk anestesi umum
Kebutuhan infrastruktur minimum untuk anestesi umum
termasuk ruang yang cukup terang dengan ukuran yang memadai,
sebuah sumber oksigen bertekanan (paling sering di pipa); perangkat
hisap yang efektif; monitor yang sesuai dengan standar ASA
(American Society of Anesthesiologist), termasuk denyut jantung,
tekanan darah, EKG, denyut nadi oksimetri, kapnografi, suhu, dan
konsentrasi oksigen terinspirasi dan dihembuskan dan zat anestesi

18
yang diaplikasikan.1
b. Menyiapkan pasien
Kondisi pasien harus cukup dipersiapkan. Metode yang paling
efisien adalah pasien ditinjau oleh orang yang bertanggung jawab
untuk memberikan anestesi dengan baik sebelum tanggal operasi.1
Evaluasi praoperasi memungkinkan pemantauan laboratorium yang
tepat, perhatian terhadap kondisi medis pasien yang terbaru atau yang
sedang berlangsung, diskusi dari setiap reaksi sebelumnya yang
merugikan pribadi atau keluarga untuk anestesi umum, penilaian
status fungsional jantung dan paru, dan rencana anestesi yang efektif
dan aman. Manajemen jalan napas.
c. Kesulitan yang mungkin dihadapi dalam manajemen jalan napas,
meliputi kondisi dibawah ini:
1) Rahang yang kecil atau mundur
2) Gigi rahang atas yang menonjol
3) Leher yang pendek
4) Ekstensi leher terbatas
5) Pertumbuhan gigi yang buruk
6) Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan
7) Trauma pada wajah
8) Fiksasi antar-gigi
9) Penggunaan cervical collar yang keras1
Berbagai sistem penilaian telah dibuat menggunakan
pengukuran orofacial untuk memprediksi intubasi sulit. Yang
paling banyak digunakan adalah skor Mallampati, yang
mengidentifikasi pasien dengan faring yang kurang jelas
divisualisasikan melalui mulut terbuka.1
14. Persiapan Preanastesi1,3,4,5
a. Persiapan mental dan fisik pasien
1) Anamnesis
a) Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan

19
pekerjaan
b) Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang
mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesia seperti
penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru kronik,
penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan penyakit
ginjal.
c) Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat
anestesi.
d) Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa
kali dan selang waktunya, serta apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu.
e) Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi
jalannya anestesi misalnya merokok, alkohool, obat-obat
penenang atau narkotik.1,2
2) Pemeriksaan fisik
a) Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan dan jumlah urin selama dan
pasca bedah.1
b) Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan
darah, frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
c) Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak
nafas, tanda-tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi
palsu, trismus, persendian temporo mandibula.
d) Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu
atau ortopnu, sianosis, hipertensi1
e) Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang
dapat membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga
dapat menyebabkan regurgitasi.1
f) Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin rutin,
pemeriksaan radiologi, dan lainnya.1

20
b. Perencanaan anastesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sedangkan pada
operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.1
c. Merencanakan prognosis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :1
1) ASA 1: pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia
2) ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
3) ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas terbatas
4) ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat yang tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakit merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
5) ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Pada bedah
cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
d. Persiapan pada hari operasi2,3,6
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
1) Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT.
Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4- 6
jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak
puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi
lambung.
2) Pengosongan kandung kemih
3) Informed consent (Surat izin operasi dan anestesi).
4) Pemeriksaan fisik ulang
5) Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
6) Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi
atau secara intravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi1
e. Premedikasi

21
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesi diantaranya :
1) Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam
2) Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin
3) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas
atropindan hiosin
4) Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya pethidin
5) Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansetron
6) Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam
7) Mengurangi isi lambung
8) Mengurangi reflex yang membahayakan, misalnya tracurium,
sulfas atropine1
Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini :
a) Narkotik analgesic, misalnya morfin pethidin
b) Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya
diazepam dan midazolam. Diazepam dapat dberikan peroral 10-
15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia
c) Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital
d) Antikolinergik, misal atropine dan hiosin
e) Antihistamin, misal prometazine
f) Antasida, misal gelusil
g) H2 reseptor antagonis misalnya cimetidine dan ranitidine.
Ranitidine diberikan 150 mg 1-2 jam sebelum operasi1
Pada Pasien ini diberikan obat premedikasi yang digunakan :
a) Injeksi Ondansentronan
Ondancentron 4mg/ml yang merupakan antagonis 5-HT3 yang
dapat menekan mual dan muntah.
b) Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150

22
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB) Bahkan
sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten
dan sangat (epat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan
depresi pernapasan residual.
c) Sulfas Atropin
Sulfas atropine 1 ampul 0,25 mg/ml berfungsi untuk mengurangi
sekresi lender selama operasi. Sulfas atropine memiliki efek
samping berupa takikardi.
f. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkanya zat anestesi sampai dengan
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium induksi. Pada
kasus ini digunakan obat.
1) Propofol
Suatu obat anestesi umum yang mempunyai rumus kimia 2,6
diisoprophyl phenol untuk suntikan intravena. Obat ini merupakan cairan
emulsi isotonic yang berwarna putih. Emulsi ini antara lain terdiri
dari gliserol, phospatid dari telur, sodium hidroksida,minyak kedelai
dan air. Obat ini onsetnya cepat dan duration of actionnya singkat.
Mekanisme aksinya belum diketahui, kemungkinan menyebabkan
peningkatan aktifitas GABA dalam menghambat neuro transmitter di
SSP. Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya
depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme.
Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi,
bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanyasakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan.
2) Atracurium
Termasuk obat muscle relaxan. Padaumumnya mulai kerta
atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama
kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang
lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35

23
menit .Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan
sesudah lama kerja obat berakhir atau dengan pemberian
antikolinesterase.
g. Maintenan Anestesi
Pada pasien ini digunakan rumatan inhalasi N2O 2L/menit dan O2 3
L/menit ditambah dengan sevofluran 1%. Nitrogen monoksida merupakan
gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan lebih berat dari
udara.
Nitrogen monoksida sukar larut dalam darah dan merupakan anestetik
yang kurang kuat sehingga sering digunakan. Dengan inhalasi 20% N2O
dalam oksigen efeknya seperti 15 mg morfin. N2O diekresikan dalam bentuk
utuh melai paru-paru dan sebagian kecil melalui kulit.
Sevofluran adalah adalah suatu obat anestesi umum inhalasi derivate
eter dengan kelarutan dalam yang lebih rendah dari halotan , enfluran dan
isofluran.
h. Terapi Cairan
Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (gram)
dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat
high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan
koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar
intravascular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
1) Keuntungan
a) Menurunkan kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
b) Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka
waktu yang lama
c) Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi
d) Dapat digunakan dalam kasus-kasus yang sensitif
terhadap zat anestesi local
e) Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi

24
terlentang
f) Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur operasi
dengan durasi waktu yang tak dapat diprediksi atau pada
keadaan penambahan waktu operasi
g) Dapat diberikan dengan cepat dan reversible1,2,3
i. Cara memberikan anestesi
Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan
obat sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk
operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja.
Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu
dipertahankan dengan memberikan obat terus menerus dengan dosis
tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan.
Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi.
Pada operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila
relaksasinya kurang maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak
bisa bekerja dengan baik, untuk operasi yang membuka abdomen
maka usus akan bergerak dan menyembul keluar, operasi yang
memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan. Keadaan relaksasi
bisa terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga bila kurang relaksasi
salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah dengan
mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat.1
Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis
obat anestesi yang diberikan sedemikian tinggi, sehingga
menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan
ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang
sensitif atau memang sudah ada gangguan pada organ vital
sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar
tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita
dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan
analgetik kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle
relaxant) tehnik ini disebut balance anestesi. 1

25
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant,
maka otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau
mengalami kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak
dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa),
tanpa dilakukan nafas buatan, penderita akan mengalami kematian,
karena hipoksia. Jadi nafas penderita sepenuhnya tergantung dari
pengendalian pelaksana anestesi, karena itu balance anestesi juga
disebut dengan tehnik respirasi kendali atau control respiration. 1
Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam
keadaan terintubasi. Dengan menggunakan balance anestesi maka ada
beberapa keuntungan antara lain:
1) Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat
dikurangi. Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi
inhalasi dapat dikurangi. Selesai operasi penderita cepat bangun
sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita yang
tidak sadar.
2) Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa
melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam
darah sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi otak.
Dengan hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan darah
untuk operasi yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.
3) Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka
mempermudah tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy)
tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan. Kita juga dapat
mengembangkan dan mengempiskan paru dengan sekehendak kita
tergantung keperluan. Dengan demikian berdasar respirasinya,
anestesi umum dibedakan dalam 3 macam yaitu:
a) Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara
spontan.
b) Respirasi kendali/respirasi terkontrol /balance anestesi:
pernafasan penderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.

26
c) Assisted Respirasi: penderita bernafas spontan tetapi masih
kita berikan sedikit bantuan.1
Berdasarkan sistem aliran udara pernapasan dalam rangkaian
alat anestesi, anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu :
1) Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak
ada hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita
dengan alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan
peningkatan tahanan respirasi. Di sini udara ekspirasi babas
keluar menuju udara bebas. Kekurangan sistem ini adalah boros
obat anestesi, menimbulkan polusi obat anestesi di kamar
operasi, bila memakai obat yang mudah terbakar maka akan
meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di kamar operasi,
hilangnya kelembaban respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil
dan tidak dapat dilakukan respirasi kendali.
2) Semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag selain
reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1
arah, yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut
non rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat keborosan dan
polusi kamar operasi lebih rendah dibanding system open.1
3) Semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi
dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi
mengandung CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung
yang berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh sodalime.
Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas
anestesi dan oksigen dari sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow)
untuk diinspirasi kembali. Kelebihan aliran gas dikeluarkan
melalui klep over flow. Karena udara ekspirasi diinspirasi lagi,
maka pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan
kurang menimbulkan polusi kamar operasi.
4) Closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak ada
udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas.

27
Penambahan oksigen dan gas anestesi harus diperhitungkan,
agar tidak kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan anestesi
kurang adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian
yang berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi
sehingga. menimbulkan pecahnya alveoli paru. Sistem ini
adalah sistem yang paling hemat obat anestesi dan tidak
menimbulkan polusi. Pada system closed dan semiclosed juga
disebut system rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi
kembali, sistem ini juga perlu sodalime untuk membersihkan
CO2.
Pada system open dan semi open juga disebut system
nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi yang diinspirasi
kembali, system ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar pada
system semi open tidak terjadi rebreathing, aliran campuran gas
anestesi dan oksigen harus cepat, biasanya diberikan antara 2 – 3
kali menit volume respirasi penderita.
a) Ketorolac
Merupakan OAINS yang memiliki aktivitas sebagai analgetik
dan anti – inflamasi. Ketorolac menghambat sintesis
prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang
bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap
reseptor opiat.
Indikasi : Penatalaksaan jangka pendek terhadap nyeri akut
sedang sampai berat setelah prosedur bedah
Kontraindikasi
- Riwayat alergi terhadap acetosal atau OAINS lain
- Ulkus peptikum aktif atau perdarahan gastrointestinal
- Penyakit ginjal sedang sampai berat
- Hamil dan aktasi
- Anak < 16 tahun

28
- Penyakit cerebrovascular dan gangguan koagulasi
- Hipovolemia
Efek samping
- Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri
gastrointestinal, perdarahan saluran cerna, nausea.
- Susunan saraf pusat : sakit kepala, pusing,
mengantuk, berkeringat.
- Reaksi hipersensitivitas
Dosis (Injeksi IM atau IV)
- Injeksi iv diberikan dalam waktu tidak kurang dari 15
detik. Sediaan ampul 10mg/mL; 30 mg/mL.
- Dosis awal 10 mg, kemudian 10 – 30 mg setiap 4 – 6
jam apabila diperlukan.
- Dosis maksimal 90 mg sehari (Pasien lansia, gangguan
fungsi ginjal dan BB < 50 kg maksimal 60 mg/hari).
- Lama pengobatan maksimal 2 hari. Gunakan dosis
efektif terendah dan sesingkat mungkin.
Target sel
Ketorolac adalah turunan asam karboksilat pirrolizin
sintetis dengan aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretik. Ketorolac non-selektif menghambat enzim
siklooksigenase 1 (COX-1). Penghambatan COX-1 oleh agen
ini mencegah produksi normal prostaglandin dalam
perlindungan saluran pencernaan, pengaturan aliran darah
ginjal, dan agregasi trombosit. Akibatnya, penghambatan
COX-1 dapat dikaitkan dengan toksisitas gastrointestinal,
nefrotoksisitas, dan penghambatan agregasi trombosit.
b. Tramadol
Tramadol adalah obat pereda rasa sakit, misalnya rasa sakit
atau nyeri setelah operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk

29
injeksi (suntik), serta tablet dan kapsul yang hanya boleh
dikonsumsi berdasarkan resep dokter.
Tramadol atau lengkapnya tramadol hydrochloride (HCl)
bermanfaat untuk pasien dewasa dan anak-anak berusia 12
tahun ke atas. Obat ini bekerja dengan cara memengaruhi
reaksi kimia di dalam otak untuk mengurangi sensasi rasa
sakit.
Setiap tablet atau kapsul tramadol berisi 50 mg tramadol
hydrochloride. Selain sediaan polos (tunggal) tramadol,
terdapat juga sediaan kombinasi tramadol dengan
paracetamol untuk mengatasi nyeri.
Dosis dan Aturan Pakai Tramadol
Dosis tramadol untuk dewasa dan anak-anak 12 tahun ke atas
adalah 50-100 mg/hari, setiap 4-6 jam. Konsumsi obat
tramadol tidak boleh melebihi 400 mg per hari. Pada lansia di
atas 75 tahun, dosis tramadol tidak boleh melebihi 300 mg
per hari.
Tramadol dalam bentuk injeksi atau suntik hanya diberikan di
rumah sakit oleh petugas medis, dan dosisnya ditentukan oleh
dokter.
Kontraindikasi
a. Interaksi Obat
Penggunaan obat Tramadol tablet bersamaan dengan obat-
obatan lain dapat menimbulkan interaksi obat yang mana
berbahaya bagi kesehatan. Obat Tramadol tidak dapat
digunakan bersamaan dengan obat-obatan seperti obat
antipsikotik, obat penenang, dan obat-obatan lain seperti
obat  carbamazepine, warfarin, dan sumatriptan.
b. Kelompok Berisiko
Selain itu obat ini juga dapat menimbulkan kontraindikasi
jika digunakan pada orang-orang dengan kondisi kesehatan

30
tertentu seperti ibu hamil, menyusui, atau melaksanakan
program kehamilan. Selain itu obat ini juga tidak dapat
digunakan pada orang-orang yang memiliki masalah
kesehatan tertentu seperti orang dengan gangguan hati,
penyakit ginjal, dan penyakit jantung. 
Efek Samping
Beberapa efek samping yang dapat terjadi setelah menggunakan
tramadol adalah:
 Pusing
 Sakit kepala
 Kantuk
 Mual
 Muntah
 Konstipasi
 Mulut kering
 Berkeringat
 Energi menurun
Pada kondisi tertentu, tramadol dapat menyebabkan efek
samping serius, terutama jika digunakan pada anak-anak.
Disarankan untuk segera menghubungi dokter apabila terjadi
hal-hal berikut setelah menggunakan tramadol:
 Sulit tidur
 Jantung berdebar
 Gelisah
 Halusinasi
 Sesak napas
Indikator sulit melakukan tatalaksana airway
1. MOANS ( difficult bag mask ventilator)

31
2. Difficulty Laryngscopy and Intubation ( LEMON)

3. Difficulty Extraglottic Device (RODS)

4. Difficulty Cricothyroidotomy (SHORT)

32
Perkiraan volume darah ( Esimated Blood Volume )
a) Bayi dan anak : 80 ml/kgBB
b) Dewasa pria : 75 ml/kgBB
c) Dewasa Wanita : 65 ml/kgBB
Estimasi kehilangan darah berdasakan presentasi klinis
awal pasien

33
B.SKULL DEFECT
2.1. Definisi
Skull deffect adalah adanya pengikisan pada tulang cranium yang
disebabkan oleh adanya pengikisan yang disebabkan massa
ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam tulang.
Skull defect dapat terjadi dari lahir atau kongenital pada bayi yang
biasanya disebut dengan anenchephaly dan juga skull defect yang
dilakukan secara sengaja untuk membantu pengeluaran cairan atau
pendarahan atau massa yang ada di kepala atau otak.
2.2. Anatomi dan Fisiologi

2.3. Etiologi
Etiologi Penyebab terjadinya skull defect diantara lain:
1.Fraktur cranium 2.Tumor 3.Penipisan tulang 4.Kelainan kongenital
(enchephalocele) 5. Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial 6. Post
op trepanasi 7.Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah 8.Reseksi
tumor tengkorak 9.Hilangnya tulang akibat osteomyelitis

34
2.4. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan
menjadi 2 proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.
a. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suatu
fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen.
Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil,
sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada
waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam
tubuh.
b. Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan
lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi
karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan
dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya
bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan
hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun
bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan
dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak
bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama

35
motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam
mobilitas.
2.5. Manifestasi klinis
Manifestasi Klinik Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat
berupa: 1.Bentuk kepala asimetris 2.Pada bagian yang tidak tertutup tulang
teraba lunak 3.Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya
denyutan atau fontanela.
2.6. Diagnosis
Diagnosis didapakan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik secara lengkap,
sera dipastikan dengan pemeriksaan penunjang seperi:
1. CT-Scan Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
2. Foto polos kepala (X-ray) Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi pelaksanaan foto polos
kepala meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya
corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala
yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.
2.7 Tatalaksana cranioplasty
Tatalaksana yang dapat diberikan kepada pasien adalah cranioplasty.
Cranioplasty adalah operasi bedah untuk memperbaiki cacat kranial yang
disebabkan oleh cedera atau operasi sebelumnya, seperti kraniektomi
dekompresi. Ini dilakukan dengan mengisi area yang rusak dengan berbagai
bahan, biasanya potongan tulang dari pasien atau bahan sintetis.

36
DAFTAR PUSTAKA
1. dr. Gede Mangku, Sp.An. KIC, dr. Tjokorda Gde Agung
Senapathi, Sp.An., Editors; Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta. 2010.
2. Desai,A.GeneralConsiderations.http://
emedicine.medscape.com/article/1271543-
overview#showall.
3. Latief SA., Suryadi KA., Dachlan MR., Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: FK UI. 2009; 2: 29-96
4. Soenarjo, SpAn. Anestesiologi. Perhimpunan dokter
spesialis anestisi dan terapi intensif. Semarang. 2010
5. Sjamsuhidajat dan Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed 2.
Jakarta. EGC. 2003
6. Sjamsuhidajat, R, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah,
Edisi 3, Jakarta, EGC, 2010, hal : 475-478.
7. Pierce A.G, Neil R.B, At a Glance Ilmu Bedah, Edisi 3,
Jakarta, Erlangga, 2007.
8. Staf pengajar bagian ilmu bedah FKUI, Kumpulan
Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta, Penerbit FKUI, 2010, hal :
324-326; 333-334.
9. Pierce A.G, Neil R.B. 2007. At a Glance Ilmu Bedah,
Edisi 3, Jakarta: Erlangga
10. Snell and Richard S 2006. Anatomi Klinis berdasarkan
sistem. EGC, Jakarta.

37

Anda mungkin juga menyukai