Anda di halaman 1dari 36

Ujian Presentasi Kasus Bedah Plastik

SEORANG LAKI-LAKI 48 TAHUN DENGAN COMBUSTIO API


GRADE II 16%

Periode : 27 November – 2 Desember 2017

Oleh:
Elian Devina G99162151

Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, Sp.B, Sp.BP-RE (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
JAWA TENGAH
2017

0
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. YK
Umur : 48 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Begalon RT/RW 3/4 Panularan, Laweyan, Surakarta
Tanggal Masuk : 26 November 2017
Tanggal Periksa : 27 November 2017
Nomor rekam medis : 008850xx

2. Keluhan Utama
Luka bakar api terkena bensin

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan luka bakar terkena bensin sejak 1 jam
sebelum masuk rumah sakit. Pasien terkena luka bakar saat sedang membakar
sampaj dengan menggunakan bensin. Pasien tidak sengaja terkena bensin dan
tersambar api. Untuk mematikan api yang menyambar di tubuhnya, pasien
menggunakan air selokan, pasir, dan daun yang berada di sekitarnya. Setelah
kejadian pasien mengeluh panas di leher, dada, perut, lengan kanan dan lengan
kiri. Pasien sadar, pingsan (-), sesak (-), muntah (-). Kemudian pasien dibawa ke
RSDM oleh penolong.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi/asma : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga

1
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan
Pasien makan sehari 3 kali dengan nasi, sayur, dan lauk pauk seperti
tempe, tahu, ikan, atau ayam.

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berobat dengan menggunakan BPJS.

B. ANAMNESIS SISTEMIK
1. Kepala : sakit kepala (-), luka (-) wajah
2. Mata : pandangan kabur (-), oedem palpebra (-), konjungtiva
pucat (-/-)
3. Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
4. Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), batuk darah (-), mengi (-).
5. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-),
berdebar-debar (-)
6. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sakit perut (-), susah berak (-),
perut sebah (-), kembung (-).
7. Sistem genitourinaria : air kencing berwarna merah (-), nyeri saat kencing (-),
keluar darah (-), kencing nanah (-)
8. Ekstremitas atas : luka (-/-), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-),
kesemutan (-/-), sakit sendi (-/-), nyeri (-/-),luka (+/+)
9. Ekstremitas bawah : bengkak (-), nyeri (-),tremor (-), ujung jari terasa
dingin (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing : frekuensi pernafasan 20 x/menit
c. Circulation : tekanan darah 156/96 mmHg, nadi 64 x/menit
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
e. Exposure : suhu 36,7ºC, jejas (+) lihat status lokalis

2. Secondary Survey
a. Kepala : bentuk mesocephal, luka (-) wajah

2
b. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), hematom periorbita
(-/-), diplopia (-/-)
c. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri
tragus (-/-)
d. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), secret (-), keluar
darah (-)
e. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-),maloklusi (-)
f. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri
tekan (-), JVP tidak meningkat, bengkak (+), luka bakar
(+), lihat status lokalis
g. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), jejas (+), lihat
status lokalis
h. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising(-)
i. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri, nyeri tekan(-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Inspeksi : distended (-), jejas (+), lihat status lokalis
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defense muscular (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
k. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK
(-)
l. Muskuloskletal : nyeri (+), ROM terbatas pada kedua ekstremitas atas
m.Ekstremitas : lihat status lokalis
Akral dingin Oedema

- - + +

3
- - - -

3. Status Lokalis
a. Regio Colli
Inspeksi : Combustio grade II, Hiperpigmentasi (+) Bulla pecah (+) 1%,
Eritem (+)
b. Regio Thorax
Inspeksi : Combustio grade II, Hiperpigmentasi (+) Bulla pecah (+) 4%,
Eritem (+)
c. Regio Abdomen
Inspeksi : Combustio grade II, Hiperpigmentasi (+) Bulla pecah (+) 7%,
Eritem (+)
d. Regio Extremitas Superior Dextra
Inspeksi : Combustio grade II, Hiperpigmentasi (+) Bulla pecah (+) 2%,
Eritem (+)
e. Regio Extremitas Superior Sinistra
Inspeksi : Combustio grade II, Hiperpigmentasi (+) Bulla pecah (+) 2%,
Eritem (+)

4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

HEMATOLOGI RUTIN

Hb 15.6 g/dl 12.1 – 17.6

Hct 47 % 33 – 45

AL 14.7 103/  L 4,5 – 11,0

AT 213 103 /  L 150–450

AE 5.14 103/  L 4,50 – 5,90

HEMOSTASIS

PT 12.1 Detik 10,0 – 15,0

APTT 23.2 Detik 20,0 – 40,0

INR 0.950 -

ELEKTROLIT

Natrium darah 144 mmol/L 136 – 145

Kalium darah 4.5 mmol/L 3.3 – 5.1

Chlorida darah 101 mmol/L 98 – 106

D. ASSESMENT I
Combutio api grade II 16%

E. PLANNING I
1. Oksigen 3 lpm
2. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
3. Injeksi ceftriaxon 500 mg/12 jam
4. Injeksi ranitidin 20 mg /12 jam
5. Injeksi metamizole 50mg/8 jam
6. ATS 1500 IU
7. Pro cito debridement
8. Cek lab
9. Konsul bedah plastik

5
10. Foto thorax

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

LUKA BAKAR

A. DEFINISI
Luka bakar merupakan kerusakan jaringan atau kehilangan jaringan yang
diakibatkan sumber panas ataupun suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan
kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi. Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki
penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan yang terkena luka bakar, tingkat
keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut. Luka bakar dapat merusak
jaringan otot, tulang, pembuluh darah dan jaringan epidermal yang mengakibatkan
kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir sistem persarafan.

B. ETIOLOGI
Luka bakar dapat disebabkan oleh banyak hal:

1. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat.
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api
ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan
objek-objek panas lainnya.

2. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)


Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan pembersih yang sering digunakan
untuk keperluan rumah tangga.

3. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)


Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan.
Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah.
Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika intima,sehingga
menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan berada jauh dari
lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun grown.

7
4. Luka bakar radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe
injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik
dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama
juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.

C. PATOFISIOLOGI
Secara umum berat ringannya luka bakar tergantung pada faktor, agent, lamanya
terpapar, area yang terkena, kedalamannya, bersamaan dengan trauma, usia dan kondisi
penyakit sebelumnya. Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber
panas ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi
elektromagnetik. Luka bakar dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi, atau luka
bakar kimiawi. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis,
dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak
dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan mempengaruhi
kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel.

Fisiologi syok pada luka bakar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi kapiler
secara massive dan berpengaruh pada sistem kardiovaskular karena hilangnya atau
rusaknya kapiler, yang menyebabkan cairan akan lolos atau hilang dari compartment
intravaskuler kedalam jaringan interstisial. Eritrosit dan leukosit tetap dalam sirkulasi
dan menyebabkan peningkatan hematokrit dan leukosit. Darah dan cairan akan hilang
melalui evaporasi sehingga terjadi kekurangan cairan.

Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan maka tubuh mengadakan


respon dengan menurunkan sirkulasi sistem gastrointestinal yang mana dapat terjadi
ilius paralitik. Takikardia dan takipnea merupakan kompensasi untuk menurunkan
volume vaskuler dengan meningkatkan kebutuhan oksigen terhadap injury jaringan dan
perubahan sistem. Kemudian menurunkan perfusi pada ginjal, dan terjadi vasokontriksi
yang akan berakibat pada depresi filtrasi glomerulus dan oliguri. Repon luka bakar akan
meningkatkan aliran darah ke organ vital dan menurunkan aliran darah ke perifer dan
organ yang tidak vital.

8
Respon metabolik pada luka bakar adalah hipermetabolisme dimana terjadi
peningkatan temperatur dan metabolisme. Hiperglikemi karena meningkatnya
pengeluaran glukosa untuk kebutuhan metabolik, ketidakseimbangan nitrogen oleh
karena status hipermetabolisme dan injury jaringan.

Kerusakan pada sel daerah merah dan hemolisis menimbulkan anemia, yang
kemudian akan meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan perfusi.
Pertumbuhan dapat terhambat oleh depresi hormon pertumbuhan karena terfokus pada
penyembuhan jaringan yang rusak. Pembentukan edema karena adanya peningkatan
permeabilitas kapiler dan pada saat yang sama terjadi vasodilatasi yang menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler. Terjadi pertukaran elektrolit yang
abnormal antara sel dan cairan interstisial dimana secara khusus natrium masuk
kedalam sel dan kalium keluar dari dalam sel. Dengan demikian mengakibatkan
kekurangan sodium dalam intravaskuler.

D. LUAS LUKA BAKAR


Wallace membagi tubuh atas 9 % atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule
of nine atau rule of Wallace. Telapak tangan penderita dianggap luas 1%. Bila
ditemukan luas luka bakar yang luasnya tidak sampai seluas telapak tangan penderita
dilaporkan sebagai luas 1%.

1. Kepala dan leher 9%


2. Lengan kiri 9%
3. Lengan kanan 9%
4. Perut 9%
5. Bokong/pinggang 9%
6. Dada 9%
7. Punggung 9%
8. Tungkai atas kiri 9%
9. Tungkai atas kanan 9%
10. Tungkai bawah kiri 9%
11.Tungkai bawah kanan 9%
12. Genitalia 1%

9
Rumus rule of nine dari Wallace tidak digunakan pada anak dan bayi karena luas
relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih
kecil. Oleh karena itu, digunakan rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 dari Lund
dan Browder untuk anak.

Luas luka bakar menurut Lund dan Browder :

Area luka bakar 0-1 Tahun 1-4 Tahun 5-9 Tahun 10-14 Tahun 15 Tahun

Kepala 19 17 13 11 9

Leher 2 2 2 2 2

Dada 13 13 13 13 13

Punggung 13 13 13 13 13

Lengan kanan atas 4 4 4 4 4

Lengan kiri atas 4 4 4 4 4

Lengan kanan
3 3 3 3 3
bawah

Lengan kiri bawah 3 3 3 3 3

Tangan kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5

Tangan kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5

Genetalia 1 1 1 1 1

Bokong kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5

Bokong kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5

Paha kanan 5,5 6,5 8 8,5 9

Paha kiri 5,5 6,5 8 8,5 9

Tungkai kanan 5 5 5,5 6 6,5

Tungkai kiri 5 5 5,5 6 6,5

Kaki kanan 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5

Kaki kiri 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5

Tabel 1. Luas luka bakar menurut umur

10
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara
lain:

1. Persentasi area (luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh


2. Kedalaman luka bakar
3. Anatomi/lokasi luka bakar
4. Umur penderita
5. Riwayat pengobatan yang lalu
6. Trauma yang menyertai atau bersama

E. DERAJAT LUKA BAKAR


Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas,
sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita.

1. Luka bakar derajat I: Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (surperfisial),


kulit hiperemik berupa eritem, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-ujung
saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Luka bakar derajat II: Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis,
berupa reaksi inflamasi disertai proseseksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-
ujung saraf sensorik teriritasi, dibedakan atas 2 (dua) bagian:
a) Derajat II dangkal/superficial (IIA): Kerusakan mengenai bagian epidermis dan
lapisan atas dari corium/dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut,
kelenjar sebecea masih banyak.Semua ini merupakan benih-benih epitel.
Penyembuhan terjadi secara spontandalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk
sikatrik.
b) Derajat II dalam / deep (IIB): Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian
dermis dan sisa– sisa jaringanepitel tinggal sedikit. Organ – organ kulit seperti
folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjarsebacea tinggal sedikit. Penyembuhan
terjadi lebih lama dandisertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi
dalam waktu lebih dari satu bulan
3. Luka bakar derajat III: Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang
lebih dalam sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit
mengalami kerusakan, tidak ada lagi sisaelemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit

11
yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucatsampai berwarna hitam kering. Terjadi
koagulasi protein pada epidermis dan dermis yangdikenal sebagai esker. Tidak dijumpai
rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung-ujung sensorik rusak. Penyembuhan terjadi
lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.
Pembagian luka bakar:
1. Berat/ kritis
- Derajat II: lebih dari 25 %
- Derajat III: lebih dari 10% atau terdapat di muka, kaki tangan
- Luka bakar disertai trauma jalan nafas atau jaringan lunak luas, atau fraktura
- Luka bakar akibat listrik
2. Sedang
- Derajat II: 15-25%
- Derajat III: kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan
3. Ringan
- Derajat II: kurang dari 15 %

F. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pada luka bakar dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut, subakut
dan lanjut.

1. Pada Fase Akut / Awal :


Cedera inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki korelasi dengan
angka mortalitas. Kematian akibat cedera inhalasi terjadi dalam waktu singkat, dalam 8
sampai 24 jam pertama pasca cedera. Pemasangan pipa endotrakeal dan atau
krikotirotomi merupakan suatu tindakan mandatorik pada kasus dengan kecurigaan
adanya cedera inhalasi. Sementara penatalaksanaan lanjutan setelah tindakan
penyelamatan tersebut ( terapi inhalasi, pembebasan saluran nafas dari produk secret
mukosa, pengaturan posisi penderita dan fisioterapi seawal mungkin). Masing- masing
turut berperan dalam keberhasilan terapi awal. Penderita yang bertahan hidup setelah
ancaman cedera inhalasi dalam waktu 8- 24 jam pertama ini, masih dihadapkan pada
komplikasi saluran pernafasan yang biasanya terjadi dalam 3-5 hari pasca trauma.
Komplikasi dari cedera inhalasi, dikenal sebagai kondisi ARDS, yang juga memiliki
prognosis sangat buruk.

12
Penanggulangan terhadap shock, terutama syok hipovolemik yang merupakan suatu
proses yang terjadi pada luka bakar sedang sampai berat.

Menurut BAXTER formula

Hari Pertama :

Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam

Anak : Ringer Laktat: Dextran = 17 : 3

2 cc x berat badan x % luas luka + kebutuhan faali.

Kebutuhan faali :

Umur < 1 Tahun : berat badan x 100 cc

1 – 3 Tahun : berat badan x 75 cc

3 – 5 Tahun : berat badan x 50 cc

½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.

½ diberikan 16 jam berikutnya.

Hari kedua :

Dewasa : ½ hari I

Anak : diberi sesuai kebutuhan faali

2. Pada fase subakut atau lanjutan:

Kerusakan / kehilangan kulit/ jaringan karena cedera termis menimbulkan masalah


yang dapat dikelompokan dalam dua golongan, dan masing- masing saling
berhubungan, yaitu memicu stress metabolism dan memicu SIRS, sepsis dan SDOM.
Kulit sebagai organ yang memiliki fungsi mencegah penguapan, dengan sendirinya
kerusakan kulit menyebabkan penguapamn berlangsung tanpa kendali dan penguapan
yang terjadi tidak ahnya sekedar cairan namun juga melibatkan protein dan energy
(evaporation heat loss). Kondisi pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul
dengan menurunnya kadar protein total, khususnya albumin. Imbalans protein timbul

13
sebagai akibat, namun segera disusul oleh imbalans karbohidrat dan lemak disamping
imbalans cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya.

Penatalaksanaan secara sistematik dapat dilakukan :

1. Clothing: singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian
yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase
cleaning.
2. Cooling: Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air
mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah normal,
terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif samapai dengan 3 jam setelah
kejadian luka bakar – Kompres dengan air dingin (air sering diganti agar efektif tetap
memberikan rasa dingin) sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri) untuk luka yang
terlokalisasi – Jangan pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh darah
mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan memperberat derajat luka dan risiko
hipotermia – Untuk luka bakar karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram
dengan air mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar
berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang
mengalir.
3. Cleaning: Pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa
sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan lebih
cepat dan risiko infeksi berkurang
4. Covering: penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat
luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya.
Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi
pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan
berikan mentega, minyak, oli atau larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan
meningkatkan risiko infeksi.
5. Comforting dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri untuk membantu
pasien mengatasi kegelisahan karena nyeri yang berat.

14
Dikenal dua cara merawat luka :

1. Perawatan terbuka (exposure method)


2. Perawatan tertutup (occlusive dressing method)
Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah. Permukaan luka yang
selalu terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang.
Kerugiannya bila digunakan obat tertentu, misalnya mitras-argenti, alas tidur menjadi
kotor. Penderita dan keluargapun merasa kurang enak karena melihat luka yang tampak
kotor.

Perawatan terbuka ini memerlukan ketelatenan dan pengawasan yang ketat dan
aktif. Keadaan luka harus diamati beberapa kali dalam sehari. Cara ini baik untuk
merawat LB yang dangkal. Untuk LB III dengan eksudasi dan pembentukan pus harus
dilakukan pembersihan luka berulang-ulang untuk menjaga luka tetap kering. Penderita
perlu dimandikan tiap hari, tubuh sebagian yang luka dicuci dengan sabun atau
antiseptik dan secara bertahap dilakukan eksisi eskar atau debridement.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan untuk
menutup luka dari kemungkinan kontaminasi. Keuntungannya adalah luka tampak rapi,
terlindung dan enak bagi penderita. Hanya diperlukan tenaga dan biaya yang lebih
karena dipakainya banyak pembalut dan antiseptik. Untuk menghindari kemungkinan
kuman untuk berkembang biak, sedapat mungkin luka ditutup kasa penyerap (tole)
setelah dibubuhi dan dikompres dengan antispetik. Balutan kompres diganti beberapa
kali sehari. Pada waktu penggantian balut, eskar yang terkelupas dari dasarnya akan
terangkat, sehingga dilakukan debridement. Tetapi untuk LB luas debridement harus
lebih aktif dan dicuci yaitu dengan melakukan eksisi eskar.

Indikasi rawat inap pasien luka bakar yaitu :

1. Derajat II (dewasa > 30 %, anak > 20 %).


2. Derajat III > 10%
3. Luka bakar dengan komplikasi pada saluran nafas, fraktur, trauma jaringan
lunak yang hebat.
4. Luka bakar akibat sengatan listrik
5. Derajat III yang mengenai bagian tubuh yang kritis seperti muka, tangan, kaki,

15
mata, telinga, dan anogenital.
6. Penderita syok atau terancam syok bila luas luka bakar > 10% pada anak atau >
15% pada orang dewasa.
7. Terancam edema laring akibat terhirupnya asap atau udara hangat.
8. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat, seperti pada wajah,
mata, tangan, kaki atau perineum
9. Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki
10. Penderita akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya secara baik
dan benar di rumah
11.Penderita berumur kurang dari 2 tahun atau lebih dari 70 tahun
12. Terjadi luka bakar pada organ dalam.

G. PROSES PENYEMBUHAN LUKA BAKAR


Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: akut
dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2–
3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda- -tanda
untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4-6 minggu.

Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan lunak.
Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa cedera jaringan luka baik
luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya
laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan bedah. Luka dikatakan
mengalami proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut
terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi. Kemudian disertai
dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat berkurang, jaringan luka semakin
membaik. Tubuh secara normal akan merespon terhadap luka melalui proses
peradangan yang dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak, kemerahan,
panas, nyeri dan kerusakan fungi. Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase
yaitu:

a) Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama
terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian

16
perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi
pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan
bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka.
Scab membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme.
Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu
sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya
mikroorganisme. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan
dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan.

Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel
berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini
ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam
setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui
proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis
(AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah.
Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon
inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.

Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel
berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini
ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam
setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui
proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis
(AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah.
Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon
inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.

b) Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke – 21. Jaringan
granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru,
fibronectin and hyularonic acid. Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang
berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan
mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari
setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan

17
permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan
epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan
oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.

c) Fase maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus
mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur yang
lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalka garis
putih. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari
peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi
vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka
serta peningkatan kekuatan jaringan. Terbentuk jaringan parut 50–80% sama
kuatnya dengan jaringan sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara
bertahap pada aktivitas selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami
perbaikan.

KONTRAKTUR

A. Definisi

Kontraksi merupakan suatu proses yang normal pada proses penyembuhan


luka, sedangkan kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari

18
suatu kontraksi. Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik
berlebihan dari proses penyembuhan luka.

Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi
akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular,
penyakit degenerasi, luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi, penyakit
kongenital, ankilosis dan nyeri.

Definisi kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak


sendi secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan
penyokong, otot dan kulit.

Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur dikarenakan


kurangnya disiplin penderita sendiri untuk sedini mungkin melakukan mobilisasi
dan kurangnya pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi pengegahan,
seperti perawatan luka, pencegahan infeksi, proper positioning dan mencegah
immobilisasi yang lama. Efek kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan
fungsional, gangguan mobilisasi dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari. (2,8)

B. Proses Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka sangat mempengaruhi terjadinya sikatrik dan


jaringan yang menyebabkan kontraktur, untuk itu perlu diingat kembali fase-fase
penyembuhan luka. (6)

1. Fase Inflamasi / fase substrat / fase eksudasi / lag phase

Biasanya berlangsung mulai hari pertama luka sampai hari kelima. Fase ini
bertujuan menghilangkan mikroorganisme yang masuk kedalam luka, benda-
benda asing dan jaringan mati. Semakin hebat infamasi yang terjadi makin lama
fase ini berlangsung, karena terlebih dulu harus ada eksudasi yang diikuti
penghancuran dan resorpsi sebelum fase proliferasi dimulai.

Fase ini mempunyai 3 komponen, yaitu :

19
a. Komponen vaskuler

Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan
tubule berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi dan retraksi ujung
pembuluh darah. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan scrotonin dan
histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi
cairan, penyebukan sel radang disertai vasodilatasi lokal yang menyebabkan
udem.

b. Komponen hemostatik

Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk ikut membekukan
darah yang keluar dari pembuluh darah.

c. Komponen selluler

Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding


pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit
mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan
kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut memakan
dan menghancurkan kotoran luka dan bakteri.

2. Fase proliferasi / fase fibroplasi / fase jaringan ikat

Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu
ketiga, mempunyai 3 komponen, yaitu :

a. Komponen epitelisasi

Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan
berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru
yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya dapat terjadi ke
arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel
saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka.

20
b. Komponen kontraksi luka

Kontraksi luka disebut juga pertumbuhan intussuseptif, tujuan utama adalah


penutupan luka atau memperkecil permukaan luka. Proses terjadinya
kontraksi luka ini berhubungan erat dengan proses fibroplastik. Fibroblast
berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin dan prolin yang merupakan bahan dasar
kolagen serat yang akan mempertautkan luka. Serat dibentuk dan
dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka
yang cenderung mengkerut. Sifat ini bersamaan dengan sitat kontraktil
miofibroblast menyebabkan tarikan pada tepi luka.

c. Reparasi jaringan ikat

Luka dipenuhi sel radang, fbroblast dan kolagen yang disertai dengan adanya
peningkatan vaskularisasi karena proses angiogenesis membentuk jaringan
berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut
jaringan granulasi.

3. Fase remodeling/fase resorpsi/fase maturasi/fase diferensiasi/penyudahan

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali
jaringan yang berlebihan. Fase ini dimulai akhir minggu ketiga sampai berbulan
bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Udem
dan sel radang diserap, sel mudah menjadi matang, kapiler baru menutup dan
diserap, kolagen yang berlebihan diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan
regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis
dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Pada akhir fase ini perupaan luka
kulit mampu menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini
tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.

C. Klasifikasi Kontraktur

Berdasarkan lokasi dari jaringan yang menyebabkan ketegangan, maka


kontraktur dapat diklasifikasikan menjadi : (2,3,4,5,6)

21
1. Kontraktur Dermatogen atau Dermogen

Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal tersebut dapat
terjadi karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya pada luka bakar yang
dalam dan luas, loss of skin/tissue dalam kecelakaan dan infeksi.

2. Kontraktur Tendogen atau Myogen

Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon. Dapat


terjadi oleh keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat dan atropi,
misalnya pada penyakit neuromuskular, luka bakar yang luas, trauma, penyakit
degenerasi dan inflamasi.

3. Kontraktur Arthrogen .

Kontraktur yang terjadi karena proses didalam sendi-sendi, proses ini bahkan
dapat sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat immobilisasi
yang lama dan terus menerus, sehingga terjadi gangguan pemendekan kapsul
dan ligamen sendi, misalnya pada bursitis, tendinitis, penyakit kongenital dan
nyeri.

D. Patofisiologi

Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek dalam jangka
waktu yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan
memendek dan menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang dihertahan memendek
dalam 5-7 hari akan mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan
kontraksi jaringan kolagen dan pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini
berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan
menebal dan menyebabkan kontraktur. (2,8)

E. Pencegahan Kontraktur

Pencegahan kontraktur lebih baik dan efektif daripada pengobatan. Program


pencegahan kontraktur meliputi : (1,2,3,6,9,10)

22
1. Mencegah infeksi

Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera perlu
diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan granulasi yang
berlebihan akan menimbulkan kontraktur.

2. Skin graft atau Skin flap

Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup sedini
mungkin, bila perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.

3. Fisioterapi

Tindakan fisioterapi harus dilaksanakan segera mungkin meliputi ;

a. Proper positioning (posisi penderita)

b. Exercise (gerakan-gerakan sendi sesuai dengan fungsi)

c. Stretching

d. Splinting / bracing

e. Mobilisasi / ambulasi awal

F. Penanganan Kontraktur

Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah


pengembalian fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan untuk
ambulasi dan aktifitas lain. Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik dalam hal
ambulasi, posisi dan penggunaan program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan,
diperlukan agar pemeliharaan tercapai dan untuk mencegah kontraktur sendi yang
rekuren. (1,2,6,8,10) Penanganan kontraktur dapat dliakukan secara konservatif dan
operatif :

1. Konservatif

23
Seperti halnya pada pencegahan kontraktur, tindakan konservatif ini lebih
mengoptimalkan penanganan fisioterapi terhadap penderita, meliputi :

a. Proper positioning

Positioning penderita yang tepat dapat mencegah terjadinya


kontraktur dan keadaan ini harus dipertahankan sepanjang waktu selama
penderita dirawat di tempat tidur. (3,4) Posisi yang nyaman merupakan posisi
kontraktur. Program positioning antikontraktur adalah penting dan dapat
mengurangi udem, pemeliharaan fungsi dan mencegah kontraktur.(1,24,10)

Proper positioning pada penderita luka bakar adalah sebagai berikut :

– Leher : ekstensi / hiperekstensi

– bahu : abduksi, rolasi eksterna

– Antebrakii : supinasi

– Trunkus : alignment yang lurus

– Lutut : lurus, jlarak antara lutut kanan dan kiri 20”

– Sendi panggul tidak ada fleksi dan rolasi eksterna

– Pergelangan kaki : dorsofleksi

24
Proper positioning untuk penderita luka bakar

a. Exercise

Tujuan tujuan exercise untuk mengurangi udem, memelihara lingkup


gerak sendi dan mencegah kontraktur. Exercise yang teratur dan terus-
menerus pada seluruh persendian baik yang terkena luka bakar maupun yang
tidak terkena, merupakan tindakan untuk mencegah kontraktur. (2,8,10) Adapun
macam-macam exercise adalah :

– Free active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri.

– Isometric exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri dengan


kontraksi otot tanpa gerakan sendi.

– Active assisted exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri


tetapi mendapat bantuan tenaga medis atau alat

25
mekanik atau anggota gerak penderita yang
sehat.

– Resisted active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita dengan


melawan tahanan yang diberikan oleh tenaga
medis atau alat mekanik.

– Passive exercise : latihan yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap


penderita.

b. Stretching

Kontraktur ringan dilakukan strectching 20-30 menit, sedangkan


kontraktur berat dilakukan stretching selama 30 menit atau lebih
dikombinasi dengan proper positioning. Berdiri adalah stretching yang
paling baik, berdiri tegak efektif untuk stretching panggul depan dan lutut
bagian belakang. (2,10)

c. Splinting / bracing

Mengingat lingkup gerak sendi exercise dan positioning merupakan


hal yang penting untuk diperhatikan pada luka bakar, untuk mempertahankan
posisi yang baik selama penderita tidur atau melawan kontraksi jaringan
terutama penderita yang mengalami kesakitan dan kebingungan.

d. Pemanasan

Pada kontraktur otot dan sendi akibat scar yang disebabkan oleh luka
bakar, ultrasound adalah pemanasan yang paling baik, pemberiannya selama
10 menit per lapangan. Ultrasound merupakan modalitas pilihan untuk
semua sendi yang tertutup jaringan lunak, baik sendi kecil maupun sendi
besar.

26
2. Operatif

Tindakan operatif adalah pilihan terakhir apabila pcncegahan kontraktur dan


terapi konservatif tidak memberikan hasil yang diharapkan, tindakan tersebut
dapat dilakukan dengan beberapa cara : (11)

a. Z – plasty atau S – plasty

Indikasi operasi ini apabila kontraktur bersama dengan adanya sayap dan
dengan kulit sekitar yang lunak. Kadang sayap sangat panjang sehingga
memerlukan beberapa Z-plasty.

b. Skin graft

Indikasi skin graft apabila didapat jaringan parut yang sangat lebar.
Kontraktur dilepaskan dengan insisi transversal pada seluruh lapisan parut,
selanjutnya dilakukan eksisi jaringan parut secukupnya. Sebaiknya dipilih
split thickness graft untuk l potongan, karena full thickness graft sulit.
Jahitan harus berhati-hati pada ujung luka dan akhirnya graft dijahitkan ke
ujung-ujung luka yang lain, kemudian dilakukan balut tekan. Balut diganti
pada hari ke 10 dan dilanjutkan dengan latihan aktif pada minggu ketiga post
operasi.

c. Flap

Pada kasus kasus dengan kontraktur yang luas dimana jaringan parutnya
terdiri dari jaringan fibrous yang luas, diperlukan eksisi parsial dari parut
dan mengeluarkan / mengekspos pembuluh darah dan saraf tanpa ditutupi
dengan jaringan lemak, kemudian dilakukan transplantasi flap untuk
menutupi defek tadi. Indikasi lain pemakaian flap adalah apabila gagal
dengan pemakaian cara graft bebas untuk koreksi kontraktur sebelumnya.
Flap dapat dirotasikan dari jaringan yang dekat ke defek dalam 1 kali kerja.

27
SKIN GRAFT

A. Definisi
Skin graft (cangkok kulit) adalah tindakan memindahkan sebagian atau seluruh
tebalnya kulit dari satu tempat ke tempat lain supaya hidup di tempat yang baru tersebut
dan dibutuhkan suplai darah baru (revaskularisasi) untuk menjamin kelangsungan hidup
kulit yang dipindahkan tersebut. Pembagian skin graft menurut ketebalannya terdiri dari
split thickness skin graft (STSG) dan full thickness skin graft (FTSG).

B. Split Thickness Skin Graft


Split Thickness Skin Graft (STSG) terdiri dari lapisan atas kulit (epidermis dan
dermis). Cangkok ditempatkan di atas luka terbuka untuk menyediakan cakupan dan
proses penyembuhan. Letak donor STSG pada dasarnya adalah luka bakar tingkat dua
karena hanya bagian dari dermis termasuk dalam cangkok. Letak donor akan sembuh
dengan sendirinya karena beberapa elemen dermal tetap. STSG dikategorikan lebih tipis
(0,005-0,012 in), sedang (0,012-0,018 in), atau tebal (0,018-0,030 in), berdasarkan
ketebalan harvested graft.
Pilihan antara FTSG (Full Thickness Skin Grafting) dan STSG tergantung pada
kondisi luka, lokasi, ketebalan, ukuran, dan estetika. STSG digunakan untuk melapisi
luka yang besar, rongga baris, muncul kembali defisit mukosa, letak donor tutup dekat,
dan muncul kembali flaps otot. Hal ini juga diindikasikan untuk luka yang relatif besar
(>5-6 cm diameter) yang akan memerlukan beberapa minggu untuk menyembuhkan
sekunder.
Namun, STSG memiliki kelemahan yang signifikan yang harus diperhatikan.
STSG lebih rentan, terutama ketika ditempatkan di daerah dengan sedikit dukungan
jaringan lunak, dan biasanya tidak tahan terapi radiasi berikutnya. Lokasi STSG dapat
berkontraksi secara signifikan selama penyembuhan. Kulit cenderung hipo atau
hiperpigmentasi, terutama pada individu berkulit gelap. Ketipisan STSG, pigmentasi
abnormal, dan sering kekurangan tekstur halus dan pertumbuhan rambut membuat
STSG lebih fungsional dari kosmetik. Ketika digunakan untuk melapisi luka bakar
besar wajah, STSG dapat menghasilkan penampilan yang tidak diinginkan. Meskipun
kedua FTSG dan letak donor STSG meninggalkan luka kedua, reepitelisasi letak donor

28
STSG sering menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan dan memiliki kebutuhan
perawatan luka berlangsung sampai sembuh. Namun, letak ini dapat tumbuh setelah
penyembuhan selesai.
Cangkok kulit memberikan cakupan yang lebih stabil untuk luka besar daripada
bekas luka yang dihasilkan dari penutupan sekunder. Luka dengan luas yang besar juga
lebih cepat sembuh dengan cangkok kulit dibandingkan dengan penyembuhan sendiri.
Luka harus bersih. Semua jaringan nekrotik harus dilepaskan sebelum pencangkokan
kulit, dan tidak boleh ada tanda-tanda infeksi pada jaringan sekitarnya. Graft take pada
hari ke 14 karena epitelisasi sudah terbentuk.
Split Thickness Skin Graft (STSG) dapat diambil dari setiap permukaan tubuh.
Lokasi umum meliputi anterior atas dan paha lateral. Bokong dapat digunakan sebagai
lokasi donor, tetapi pasien mungkin mengalami nyeri pasca operasi yang signifikan dan
akan memerlukan bantuan dalam merawat luka.
Pencangkokan kulit mungkin tidak berhasil untuk berbagai alasan.Alasan paling
umum untuk kegagalan skin graft adalah hematoma di bawah graft. Demikian pula,
pembentukan seroma dapat mencegah graft take ke dasar luka yang mendasarinya,
mencegah nutrisi yang diperlukan, seperti yang dijelaskan di atas. Gerakan pada lokasi
graft menyebabkan kegagalan. Hal ini sering terjadi ketika graft ditempatkan di atas
sebuah fleksor atau ekstensor permukaan atau di atas selubung tendon mobile. Sumber
lain yang umum dari kegagalan adalah lokasi penerima yang buruk. Luka mungkin
memiliki vaskularisasi yang buruk, atau kontaminasi permukaan mungkin terlalu besar
untuk memungkinkan kelangsungan hidup graft. Bakteri dan respon inflamasi terhadap
bakteri merangsang pelepasan enzim dan zat berbahaya lainnya yang mengganggu
fibrin graft. Kesalahan teknis juga dapat menghasilkan kegagalan graft.

C.Full Thickness Skin Graft (FTSG)


Digunakan untuk menutup defek pada wajah, leher, ketiak, volar manus atau menutup
daerah yang diinginkan secara estetik tidak terlalu jelek.
Keuntungan dari FTSG :
• Kecenderungan untuk terjadi kontraksi lebih kecil

• Kecenderungan untuk berubah warna lebih kecil

• Kecenderungan permukaan kulit mengkilat lebih kecil

29
• Secara estetika lebih baik dari split thickness skin graft

Kerugian:
• Kemungkinan take lebih kecil dibandingkan split thickness skin graft

• Hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas

• Donor harus dijahit atau ditutup oleh split thickness skin graft bila luka donor agak
luas sehingga tidak dapat ditutup primer

• Donor terbatas pada tempat-tempat tertentu seperti inguinal, supraklavikular,


retroaurikular
Indikasi:
• Kehilangan jaringan yang tidak begitu luas
Kontraindikasi:
• Tidak terdapatnya suplai darah

D.Sebab-Sebab Kegagalan Tindakan Skin Graft


Penyebab kegagalan skin graft yaitu:
1.Hematoma dibawah skin graft
Hematoma atau perdarahan merupakan penyebab kegagalan skin graft yang
paling penting. Bekuan darah dan seroma akan menghalangi kontak dan proses
revaskularisasi, sehingga tindakan hemostasis yang baik harus dilakukan sebelum
penempelan skin graft
2.Pergeseran skin graft
Pergeseran akan menghalangi/merusak jalinan hubungan (revaskularisasi)
dengan resipien. Harus diusahakan terhindarnya daerah operasi dari geseran dengan
cara fiksasi dan imobilisasi yang baik
3.Daerah resipien yang kurang vital
Suplai darah yang kurang baik pada daerah resipien, misalnya daerah bekas
crush injury, akan mengurangi kemungkinan take, kecuali telah dilakukan debridement
yang adekuat. Penempelan skin graft pada daerah yang avaskulaer seperti tulang,
tendon, syaraf, membuat tindakan skin graft gagal
4. Infeksi

30
Merupakan penyebab kegagalan yang sebenarnya tidak sering. Infeksi luka
ditentukan oleh keseimbangan antara daya tahan luka dan jumlah mikroorganisme. Bila
jumlah mikroorganisme lebih dari 104/gram jaringan kemungkinan terjadinya infeksi
yaitu 89%, sedangkan bila jumlah mikroorganisma dibawah 104/gram jaringan
kemungkinan terjadi infeksi yaitu 6%. Pada luka-luka dengan jumlah mikroorganisma
lebih dari 105/gram hampir dipastikan akan selalu gagal.
5.Teknik yang salah

a. Menempelkan skin graft pada daerah berepitel (sel basal epidermis) dipermukaannya

b. Penempelan skin graft terbalik

c. Skin graft teralu tebal

PERUBAHAN METABOLISME PADA LUKA BAKAR

Kasus luka bakar merupakan suatu keadaan stres metabolisme yang melibatkan
respon neuroendokrin. Keadaan ini disebut juga hipermetabolisme.
Reaksi pertama dari luka bakar dikenal dengan fase awal/fase akut/ fase syok
yang berlangsung singkat, ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah
jantung, suhu tubuh, dan konsumsi oksigen, serta hilangnya cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan terjadinya hipovolemi, hipoperfusi dan asidosis laktat.
Reaksi selanjutnya disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa minggu
atau lebih. Pada fase ini terjadi kondisi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme.
Dibandingkan cedera lainnya, terdapat fase hipermetabolisme yang ditandai
dengan peningkatan pemakaian energi yang disertai kehilangan panas melalui proses
penguapan (evaporasi heat loss), peningkatan aktivitas saraf simpatis, (beta adrenergik,
sebagai respon neuroendokrin), peningkatan aktivitas selular, dan pelepasan peptida
parakrin.
Peningkatan evaporative heat loss dan stimulasi beta adrenergik ini disebabkan
oleh beberapa hal:
- Jaringan yang mengalami kerusakan (dan atau kehilangan) tidak efektif sebagai sarana
protektif.
- Peningkatan aliran darah ke lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di daerah
tersebut dan melalui proses evaporasi terjadi kehilangan cairan dan panas yang

31
menyebabkan penurunan suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk proses
evaporasi kurang lebih 578 kcal/L air). Dengan peningkatan aliran darah ke daerah lokal
cedera, terjadi peningkatan curah jantung secara disproporsional yang memacu kerja
jantung. Di sisi lain, peningkatan suhu pada daerah luka akibat bertambahnya aliran ke
daerah lokal cedera ini secara teoritis akan mempercepat proses penyembuhan. Namun
pada kenyataannya kehilangan panas (energi) akan diakselerasi oleh adanya febris.
Kondisi evaporative heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan
terjadinya kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karena perlu mempertimbangkan
Insesible Water Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.
Perhitungan IWL pada penderita luka bakar menggunakan persamaan:
IWL=(25 + %LB) x TBSA x 24 jam

Stimulasi beta adrenergik menyebabkan dilepaskannya hormon stres


(katekolamin, kortisol, glukagon) dan adanya resistensi insulin akan menyebabkan
peningkatan laju metabolisme disertai perubahan metabolisme berupa glikolisis,
glikogenolisis, proteolisis, lipolisis, dan glukoneogenesis, selain itu terjadi pula retensi
natrium dan reabsorpsi air.

Pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF akan menyebabkan keadaan
hiperkatabolisme menjadi lebih berat dan berlangsung lama, keadaan tersebut akan
memperburuk perjalanan penyakit pada luka bakar.

Gejala klinik yang timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan,
kelemahan, gangguan fungsi organ vital dan balans energi negatif. Untuk menghadapi
kondisi stres, diperlukan kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan pada penderita
dengan luas luka bakar lebih dari 40% luas permukaan tubuh akan terjadi penurunan BB
mencapai lebih kurang 20%, pada penurunan BB 10-40% akan dijumpai kondisi yang
dapat disamakan dengan malnutrisi, sedangkan bila penurunan BB mencapai 40-50%
akan menggambarkan kondisi keseimbangan nitrogen negatif dengan kehilangan massa
protein lebih kurang 25-30%, bila kondisi ini terjadi akan berakibat fatal.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Afife Ayla KABALAK, Ahmet Çınar YASTI. Management of inhalation injury and
respiratory complications in Burns Intensive Care Unit. Turkish Journal of Trauma
& Emergency Surgery (2012);18 (4):333-338

2. Alharbi Ziya, Platkowski, Rolf Dembinski, Swen, Reckort, Gerrit Grieb, Jens K,
Norbert Pallua. Treatment of burn in the first 24 hours: simple and practical guide
by answering 10 questions in a step-by-step form. Wound Journal of Emergency
Surgery (2012), 7:13.

3. Cameron AM, Ruzehaji N, Cowin AJ. Burn Wound Management: A Surgical


Perspective. Wound Practice and Research. 2010

4. Chamania S, Hemvani N, oshi S. Burn wound infection: current problem and unmet
needs. India Journal of Burns. 2012; 20: 18-22
5. Desanti L. Phatophisiology and management of burn injury. Wound care journal.
2005; 18:323-32
6. Dries DJ. Management of burn injuries – recent developments in resuscitation,
infection control and outcomes research. Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine . 2009. 17.

7. G Nambi, Beck B,Lahhmana A, Lamba S, Kingsly M, Gupta AK, Dhanraj P. Study


of superficial burns in adults and a cost effective method of managemen. India
Journal of Burns. 2009; 17: 21-25
8. Harbin KR, Norria TE. Anesthetic Management of Patients With Major Burn
Injury. AANA Journal. 2012. 80.

9. Heberal M, Abali ES, Karkayali H. Fluid management in major burn injuries.


Indian Journal of Plastic Surgery. 2010. 43

10. Jaim M, Yellinedi R, Nuwalla R. Tissue expansion for reconstruction of facial burns
sequel . India Journal of Burns. 2011; 19

11. Kamolz LP, Kitzinger HB, Frey M. The Surgical Treatment of Acute Burns.
European Surgery. 2006.

12. Karpelowsky, Rode H. Basic principles in the management of thermal injuries. SA


Fam Pract (2008) Vol 50 No 3.

13. Lahane V.Long term result of meek micrograft technique in the management of
severe burns. India Journal of Burns. 2010; 18: 30-33

14. M. Justin-Temu, G. Rimoy, Z. Premji, G. Matemu. Causes, magnitude and


management of burns in under-fives in district hospitals in dar es salaam, tanzania.
East African Journal of Public Health (2008) Volume 5 Number 1.

33
15. Melanie Stander and Lee Alan Wallis. The Emergency Management and Treatment
of Severe Burns. Emergency Medicine International Volume 2011, Article ID
161375.

16. Misra A, Thussu D, Agrawal K. Assessment of psychological status and quality of


life in patient with facial burn scars. India Journal of Burns. 2012. 20; 57-61
17. Morgan ED, Bledsoe SC, Barker J. Ambulatory management of Burns . American
associationof family Physician, 2000.5.
18. Papimi R. ABC of burns : Management of burn injuries of various depths. British
Medical Journal. 2004.

19. Pius Agbenorku, Setri Fugar, Joseph Akpaloo, Paa E Hoyte-Williams, Zainab
Alhassan, Fareeda Agyei. Management of severe burn injuries with topical heparin:
the first evidence-based study in Ghana. Int J Burn Trauma 2013;3(1):30-36.

20. R. Palao, I. Monge, M. Ruiz J.P. Barret Chemical burns: pathophysiology and
treatment. JBurns (2009).

21. Rice PL, Orgill DP. Emergency Care of Moderate and Severe Thermal Burns in
Adult. Walters Kluwer Health. 2014

22. Schwarz R. Management of postburn contractures of the upper extremity. Journal


of burn care and research. 2007; 28: 212-219
23. Shankar Gowri, Naik Vijaya A, Rajesh Powar, Ravindra Honnungar, Mallapur M
D. Epidemiology and Outcome of Burn Injuries. J Indian Acad Forensic Med.
(2012), Vol. 34, No. 4

24. Sterling P, Heimbach DM, Gibran NS. Management of the burn wound. ACS
surgey: principle and practice. 2010; 15: 89-96
25. Torpy Janet M, Lynm Cassio, Glass Richard. Burn injuries. The Journal of the
American Medical Association (2008).

26. Ullrich PM, Askay SW, Patterson DR. Pain, Depression, and Physical Functioning
Following Burn Injury. Rehabil Psychol, 2009. 5

27. Vyas K, Wagh S, RAwat APArhar S. Use of local skin as an islanded flap in
coverage of post burn contracture release. India Journal of Burns. 2011; 19
28. Ziadi N, Alam K, Maheswari v, Khan AH, Ahmad I. Clinico-pathological
correlation and assessment of burn wounds. India Journal of Burns. 2011; 19
29. Saleem S, Valbona C. Immobilization. In : Garrison S,I. Handbook oh physical
medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 188-189.

34
30. Halar EM, Bell KR. Contracture and other deletrious. In : DeLisa JA.
Rehabilitation medicine, principles and practices. Second ed. Philadelphia,
Lippincott Co. 1993-, 681-689.
31. Irain K. Burns. In : Garrison SJ. Handbook of’ physical medicine and rehabilitation
basics. Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 95-97, 102-103.
32. Fisher SV. Rehabililation management of burns. In : Medical rehabilitation.
Baltimore; Williams and Wilkins 1984; 306-307.
33. Bowser BL, Solis IS. Pediatrics rehabilitation. In : Garrison SJ. Handbook of’
physical medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. .113. Lippincott Co.
1995; 261-262, 267-270.
34. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar bedah, 1997, 72-73, 1131, 1219-1221.
35. Dorland’s. Illustrated medical dictionary. 25th ed. WB Saunders 1980; 355-815.
36. Kottke FJ. Therapeutic exercise to maintain mobility. In : Krusen’s Handbook of
physical medicine and rehabilitation. Thieth ed. Philadelphia. WB Saunders Co.
1982; 398-401.
37. Powell M, Kershaw R. Principles of treatment of orthopaedic patients. In
Orthopaedic nursing and rehabilitation. 9th ed. Churcill Livingstone : English
Language Book Society. 1986; 34-42.
38. Joynt RL, Findley TW. Therapeutic and exercise. In : DeLisa JA. Rehabilitation
medicine; principles and practices. Seconded. Philadelphia, Lippincott Co. 1993;
535.
39. Converse JM. Reconstructive plastic surgery. Second ed. WB Saunders, 1977;
1596-1635.

35

Anda mungkin juga menyukai