Oleh:
Elian Devina G99162151
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, Sp.B, Sp.BP-RE (K)
0
BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. YK
Umur : 48 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Begalon RT/RW 3/4 Panularan, Laweyan, Surakarta
Tanggal Masuk : 26 November 2017
Tanggal Periksa : 27 November 2017
Nomor rekam medis : 008850xx
2. Keluhan Utama
Luka bakar api terkena bensin
1
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat Kebiasaan
Pasien makan sehari 3 kali dengan nasi, sayur, dan lauk pauk seperti
tempe, tahu, ikan, atau ayam.
B. ANAMNESIS SISTEMIK
1. Kepala : sakit kepala (-), luka (-) wajah
2. Mata : pandangan kabur (-), oedem palpebra (-), konjungtiva
pucat (-/-)
3. Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
4. Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), batuk darah (-), mengi (-).
5. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-),
berdebar-debar (-)
6. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sakit perut (-), susah berak (-),
perut sebah (-), kembung (-).
7. Sistem genitourinaria : air kencing berwarna merah (-), nyeri saat kencing (-),
keluar darah (-), kencing nanah (-)
8. Ekstremitas atas : luka (-/-), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-),
kesemutan (-/-), sakit sendi (-/-), nyeri (-/-),luka (+/+)
9. Ekstremitas bawah : bengkak (-), nyeri (-),tremor (-), ujung jari terasa
dingin (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing : frekuensi pernafasan 20 x/menit
c. Circulation : tekanan darah 156/96 mmHg, nadi 64 x/menit
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
e. Exposure : suhu 36,7ºC, jejas (+) lihat status lokalis
2. Secondary Survey
a. Kepala : bentuk mesocephal, luka (-) wajah
2
b. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), hematom periorbita
(-/-), diplopia (-/-)
c. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri
tragus (-/-)
d. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), secret (-), keluar
darah (-)
e. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-),maloklusi (-)
f. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri
tekan (-), JVP tidak meningkat, bengkak (+), luka bakar
(+), lihat status lokalis
g. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), jejas (+), lihat
status lokalis
h. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising(-)
i. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri, nyeri tekan(-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Inspeksi : distended (-), jejas (+), lihat status lokalis
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defense muscular (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
k. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK
(-)
l. Muskuloskletal : nyeri (+), ROM terbatas pada kedua ekstremitas atas
m.Ekstremitas : lihat status lokalis
Akral dingin Oedema
- - + +
3
- - - -
3. Status Lokalis
a. Regio Colli
Inspeksi : Combustio grade II, Hiperpigmentasi (+) Bulla pecah (+) 1%,
Eritem (+)
b. Regio Thorax
Inspeksi : Combustio grade II, Hiperpigmentasi (+) Bulla pecah (+) 4%,
Eritem (+)
c. Regio Abdomen
Inspeksi : Combustio grade II, Hiperpigmentasi (+) Bulla pecah (+) 7%,
Eritem (+)
d. Regio Extremitas Superior Dextra
Inspeksi : Combustio grade II, Hiperpigmentasi (+) Bulla pecah (+) 2%,
Eritem (+)
e. Regio Extremitas Superior Sinistra
Inspeksi : Combustio grade II, Hiperpigmentasi (+) Bulla pecah (+) 2%,
Eritem (+)
4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hct 47 % 33 – 45
HEMOSTASIS
INR 0.950 -
ELEKTROLIT
D. ASSESMENT I
Combutio api grade II 16%
E. PLANNING I
1. Oksigen 3 lpm
2. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
3. Injeksi ceftriaxon 500 mg/12 jam
4. Injeksi ranitidin 20 mg /12 jam
5. Injeksi metamizole 50mg/8 jam
6. ATS 1500 IU
7. Pro cito debridement
8. Cek lab
9. Konsul bedah plastik
5
10. Foto thorax
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
LUKA BAKAR
A. DEFINISI
Luka bakar merupakan kerusakan jaringan atau kehilangan jaringan yang
diakibatkan sumber panas ataupun suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan
kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi. Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki
penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan yang terkena luka bakar, tingkat
keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut. Luka bakar dapat merusak
jaringan otot, tulang, pembuluh darah dan jaringan epidermal yang mengakibatkan
kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir sistem persarafan.
B. ETIOLOGI
Luka bakar dapat disebabkan oleh banyak hal:
1. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat.
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api
ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan
objek-objek panas lainnya.
7
4. Luka bakar radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe
injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik
dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama
juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.
C. PATOFISIOLOGI
Secara umum berat ringannya luka bakar tergantung pada faktor, agent, lamanya
terpapar, area yang terkena, kedalamannya, bersamaan dengan trauma, usia dan kondisi
penyakit sebelumnya. Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber
panas ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi
elektromagnetik. Luka bakar dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi, atau luka
bakar kimiawi. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis,
dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak
dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan mempengaruhi
kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel.
Fisiologi syok pada luka bakar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi kapiler
secara massive dan berpengaruh pada sistem kardiovaskular karena hilangnya atau
rusaknya kapiler, yang menyebabkan cairan akan lolos atau hilang dari compartment
intravaskuler kedalam jaringan interstisial. Eritrosit dan leukosit tetap dalam sirkulasi
dan menyebabkan peningkatan hematokrit dan leukosit. Darah dan cairan akan hilang
melalui evaporasi sehingga terjadi kekurangan cairan.
8
Respon metabolik pada luka bakar adalah hipermetabolisme dimana terjadi
peningkatan temperatur dan metabolisme. Hiperglikemi karena meningkatnya
pengeluaran glukosa untuk kebutuhan metabolik, ketidakseimbangan nitrogen oleh
karena status hipermetabolisme dan injury jaringan.
Kerusakan pada sel daerah merah dan hemolisis menimbulkan anemia, yang
kemudian akan meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan perfusi.
Pertumbuhan dapat terhambat oleh depresi hormon pertumbuhan karena terfokus pada
penyembuhan jaringan yang rusak. Pembentukan edema karena adanya peningkatan
permeabilitas kapiler dan pada saat yang sama terjadi vasodilatasi yang menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler. Terjadi pertukaran elektrolit yang
abnormal antara sel dan cairan interstisial dimana secara khusus natrium masuk
kedalam sel dan kalium keluar dari dalam sel. Dengan demikian mengakibatkan
kekurangan sodium dalam intravaskuler.
9
Rumus rule of nine dari Wallace tidak digunakan pada anak dan bayi karena luas
relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih
kecil. Oleh karena itu, digunakan rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 dari Lund
dan Browder untuk anak.
Area luka bakar 0-1 Tahun 1-4 Tahun 5-9 Tahun 10-14 Tahun 15 Tahun
Kepala 19 17 13 11 9
Leher 2 2 2 2 2
Dada 13 13 13 13 13
Punggung 13 13 13 13 13
Lengan kanan
3 3 3 3 3
bawah
Genetalia 1 1 1 1 1
10
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara
lain:
11
yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucatsampai berwarna hitam kering. Terjadi
koagulasi protein pada epidermis dan dermis yangdikenal sebagai esker. Tidak dijumpai
rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung-ujung sensorik rusak. Penyembuhan terjadi
lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.
Pembagian luka bakar:
1. Berat/ kritis
- Derajat II: lebih dari 25 %
- Derajat III: lebih dari 10% atau terdapat di muka, kaki tangan
- Luka bakar disertai trauma jalan nafas atau jaringan lunak luas, atau fraktura
- Luka bakar akibat listrik
2. Sedang
- Derajat II: 15-25%
- Derajat III: kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan
3. Ringan
- Derajat II: kurang dari 15 %
F. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pada luka bakar dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut, subakut
dan lanjut.
12
Penanggulangan terhadap shock, terutama syok hipovolemik yang merupakan suatu
proses yang terjadi pada luka bakar sedang sampai berat.
Hari Pertama :
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam
Kebutuhan faali :
Hari kedua :
Dewasa : ½ hari I
13
sebagai akibat, namun segera disusul oleh imbalans karbohidrat dan lemak disamping
imbalans cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya.
1. Clothing: singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian
yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase
cleaning.
2. Cooling: Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air
mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah normal,
terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif samapai dengan 3 jam setelah
kejadian luka bakar – Kompres dengan air dingin (air sering diganti agar efektif tetap
memberikan rasa dingin) sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri) untuk luka yang
terlokalisasi – Jangan pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh darah
mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan memperberat derajat luka dan risiko
hipotermia – Untuk luka bakar karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram
dengan air mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar
berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang
mengalir.
3. Cleaning: Pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa
sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan lebih
cepat dan risiko infeksi berkurang
4. Covering: penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat
luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya.
Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi
pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan
berikan mentega, minyak, oli atau larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan
meningkatkan risiko infeksi.
5. Comforting dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri untuk membantu
pasien mengatasi kegelisahan karena nyeri yang berat.
14
Dikenal dua cara merawat luka :
Perawatan terbuka ini memerlukan ketelatenan dan pengawasan yang ketat dan
aktif. Keadaan luka harus diamati beberapa kali dalam sehari. Cara ini baik untuk
merawat LB yang dangkal. Untuk LB III dengan eksudasi dan pembentukan pus harus
dilakukan pembersihan luka berulang-ulang untuk menjaga luka tetap kering. Penderita
perlu dimandikan tiap hari, tubuh sebagian yang luka dicuci dengan sabun atau
antiseptik dan secara bertahap dilakukan eksisi eskar atau debridement.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan untuk
menutup luka dari kemungkinan kontaminasi. Keuntungannya adalah luka tampak rapi,
terlindung dan enak bagi penderita. Hanya diperlukan tenaga dan biaya yang lebih
karena dipakainya banyak pembalut dan antiseptik. Untuk menghindari kemungkinan
kuman untuk berkembang biak, sedapat mungkin luka ditutup kasa penyerap (tole)
setelah dibubuhi dan dikompres dengan antispetik. Balutan kompres diganti beberapa
kali sehari. Pada waktu penggantian balut, eskar yang terkelupas dari dasarnya akan
terangkat, sehingga dilakukan debridement. Tetapi untuk LB luas debridement harus
lebih aktif dan dicuci yaitu dengan melakukan eksisi eskar.
15
mata, telinga, dan anogenital.
6. Penderita syok atau terancam syok bila luas luka bakar > 10% pada anak atau >
15% pada orang dewasa.
7. Terancam edema laring akibat terhirupnya asap atau udara hangat.
8. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat, seperti pada wajah,
mata, tangan, kaki atau perineum
9. Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki
10. Penderita akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya secara baik
dan benar di rumah
11.Penderita berumur kurang dari 2 tahun atau lebih dari 70 tahun
12. Terjadi luka bakar pada organ dalam.
Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan lunak.
Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa cedera jaringan luka baik
luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya
laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan bedah. Luka dikatakan
mengalami proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut
terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi. Kemudian disertai
dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat berkurang, jaringan luka semakin
membaik. Tubuh secara normal akan merespon terhadap luka melalui proses
peradangan yang dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak, kemerahan,
panas, nyeri dan kerusakan fungi. Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase
yaitu:
a) Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama
terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian
16
perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi
pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan
bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka.
Scab membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme.
Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu
sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya
mikroorganisme. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan
dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel
berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini
ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam
setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui
proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis
(AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah.
Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon
inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel
berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini
ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam
setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui
proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis
(AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah.
Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon
inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.
b) Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke – 21. Jaringan
granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru,
fibronectin and hyularonic acid. Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang
berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan
mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari
setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan
17
permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan
epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan
oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
c) Fase maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus
mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur yang
lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalka garis
putih. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari
peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi
vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka
serta peningkatan kekuatan jaringan. Terbentuk jaringan parut 50–80% sama
kuatnya dengan jaringan sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara
bertahap pada aktivitas selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami
perbaikan.
KONTRAKTUR
A. Definisi
18
suatu kontraksi. Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik
berlebihan dari proses penyembuhan luka.
Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi
akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular,
penyakit degenerasi, luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi, penyakit
kongenital, ankilosis dan nyeri.
Biasanya berlangsung mulai hari pertama luka sampai hari kelima. Fase ini
bertujuan menghilangkan mikroorganisme yang masuk kedalam luka, benda-
benda asing dan jaringan mati. Semakin hebat infamasi yang terjadi makin lama
fase ini berlangsung, karena terlebih dulu harus ada eksudasi yang diikuti
penghancuran dan resorpsi sebelum fase proliferasi dimulai.
19
a. Komponen vaskuler
Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan
tubule berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi dan retraksi ujung
pembuluh darah. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan scrotonin dan
histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi
cairan, penyebukan sel radang disertai vasodilatasi lokal yang menyebabkan
udem.
b. Komponen hemostatik
Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk ikut membekukan
darah yang keluar dari pembuluh darah.
c. Komponen selluler
Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu
ketiga, mempunyai 3 komponen, yaitu :
a. Komponen epitelisasi
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan
berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru
yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya dapat terjadi ke
arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel
saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka.
20
b. Komponen kontraksi luka
Luka dipenuhi sel radang, fbroblast dan kolagen yang disertai dengan adanya
peningkatan vaskularisasi karena proses angiogenesis membentuk jaringan
berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut
jaringan granulasi.
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali
jaringan yang berlebihan. Fase ini dimulai akhir minggu ketiga sampai berbulan
bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Udem
dan sel radang diserap, sel mudah menjadi matang, kapiler baru menutup dan
diserap, kolagen yang berlebihan diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan
regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis
dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Pada akhir fase ini perupaan luka
kulit mampu menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini
tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.
C. Klasifikasi Kontraktur
21
1. Kontraktur Dermatogen atau Dermogen
Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal tersebut dapat
terjadi karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya pada luka bakar yang
dalam dan luas, loss of skin/tissue dalam kecelakaan dan infeksi.
3. Kontraktur Arthrogen .
Kontraktur yang terjadi karena proses didalam sendi-sendi, proses ini bahkan
dapat sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat immobilisasi
yang lama dan terus menerus, sehingga terjadi gangguan pemendekan kapsul
dan ligamen sendi, misalnya pada bursitis, tendinitis, penyakit kongenital dan
nyeri.
D. Patofisiologi
Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek dalam jangka
waktu yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan
memendek dan menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang dihertahan memendek
dalam 5-7 hari akan mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan
kontraksi jaringan kolagen dan pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini
berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan
menebal dan menyebabkan kontraktur. (2,8)
E. Pencegahan Kontraktur
22
1. Mencegah infeksi
Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera perlu
diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan granulasi yang
berlebihan akan menimbulkan kontraktur.
Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup sedini
mungkin, bila perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.
3. Fisioterapi
c. Stretching
d. Splinting / bracing
F. Penanganan Kontraktur
1. Konservatif
23
Seperti halnya pada pencegahan kontraktur, tindakan konservatif ini lebih
mengoptimalkan penanganan fisioterapi terhadap penderita, meliputi :
a. Proper positioning
– Antebrakii : supinasi
24
Proper positioning untuk penderita luka bakar
a. Exercise
25
mekanik atau anggota gerak penderita yang
sehat.
b. Stretching
c. Splinting / bracing
d. Pemanasan
Pada kontraktur otot dan sendi akibat scar yang disebabkan oleh luka
bakar, ultrasound adalah pemanasan yang paling baik, pemberiannya selama
10 menit per lapangan. Ultrasound merupakan modalitas pilihan untuk
semua sendi yang tertutup jaringan lunak, baik sendi kecil maupun sendi
besar.
26
2. Operatif
Indikasi operasi ini apabila kontraktur bersama dengan adanya sayap dan
dengan kulit sekitar yang lunak. Kadang sayap sangat panjang sehingga
memerlukan beberapa Z-plasty.
b. Skin graft
Indikasi skin graft apabila didapat jaringan parut yang sangat lebar.
Kontraktur dilepaskan dengan insisi transversal pada seluruh lapisan parut,
selanjutnya dilakukan eksisi jaringan parut secukupnya. Sebaiknya dipilih
split thickness graft untuk l potongan, karena full thickness graft sulit.
Jahitan harus berhati-hati pada ujung luka dan akhirnya graft dijahitkan ke
ujung-ujung luka yang lain, kemudian dilakukan balut tekan. Balut diganti
pada hari ke 10 dan dilanjutkan dengan latihan aktif pada minggu ketiga post
operasi.
c. Flap
Pada kasus kasus dengan kontraktur yang luas dimana jaringan parutnya
terdiri dari jaringan fibrous yang luas, diperlukan eksisi parsial dari parut
dan mengeluarkan / mengekspos pembuluh darah dan saraf tanpa ditutupi
dengan jaringan lemak, kemudian dilakukan transplantasi flap untuk
menutupi defek tadi. Indikasi lain pemakaian flap adalah apabila gagal
dengan pemakaian cara graft bebas untuk koreksi kontraktur sebelumnya.
Flap dapat dirotasikan dari jaringan yang dekat ke defek dalam 1 kali kerja.
27
SKIN GRAFT
A. Definisi
Skin graft (cangkok kulit) adalah tindakan memindahkan sebagian atau seluruh
tebalnya kulit dari satu tempat ke tempat lain supaya hidup di tempat yang baru tersebut
dan dibutuhkan suplai darah baru (revaskularisasi) untuk menjamin kelangsungan hidup
kulit yang dipindahkan tersebut. Pembagian skin graft menurut ketebalannya terdiri dari
split thickness skin graft (STSG) dan full thickness skin graft (FTSG).
28
STSG sering menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan dan memiliki kebutuhan
perawatan luka berlangsung sampai sembuh. Namun, letak ini dapat tumbuh setelah
penyembuhan selesai.
Cangkok kulit memberikan cakupan yang lebih stabil untuk luka besar daripada
bekas luka yang dihasilkan dari penutupan sekunder. Luka dengan luas yang besar juga
lebih cepat sembuh dengan cangkok kulit dibandingkan dengan penyembuhan sendiri.
Luka harus bersih. Semua jaringan nekrotik harus dilepaskan sebelum pencangkokan
kulit, dan tidak boleh ada tanda-tanda infeksi pada jaringan sekitarnya. Graft take pada
hari ke 14 karena epitelisasi sudah terbentuk.
Split Thickness Skin Graft (STSG) dapat diambil dari setiap permukaan tubuh.
Lokasi umum meliputi anterior atas dan paha lateral. Bokong dapat digunakan sebagai
lokasi donor, tetapi pasien mungkin mengalami nyeri pasca operasi yang signifikan dan
akan memerlukan bantuan dalam merawat luka.
Pencangkokan kulit mungkin tidak berhasil untuk berbagai alasan.Alasan paling
umum untuk kegagalan skin graft adalah hematoma di bawah graft. Demikian pula,
pembentukan seroma dapat mencegah graft take ke dasar luka yang mendasarinya,
mencegah nutrisi yang diperlukan, seperti yang dijelaskan di atas. Gerakan pada lokasi
graft menyebabkan kegagalan. Hal ini sering terjadi ketika graft ditempatkan di atas
sebuah fleksor atau ekstensor permukaan atau di atas selubung tendon mobile. Sumber
lain yang umum dari kegagalan adalah lokasi penerima yang buruk. Luka mungkin
memiliki vaskularisasi yang buruk, atau kontaminasi permukaan mungkin terlalu besar
untuk memungkinkan kelangsungan hidup graft. Bakteri dan respon inflamasi terhadap
bakteri merangsang pelepasan enzim dan zat berbahaya lainnya yang mengganggu
fibrin graft. Kesalahan teknis juga dapat menghasilkan kegagalan graft.
29
• Secara estetika lebih baik dari split thickness skin graft
Kerugian:
• Kemungkinan take lebih kecil dibandingkan split thickness skin graft
• Donor harus dijahit atau ditutup oleh split thickness skin graft bila luka donor agak
luas sehingga tidak dapat ditutup primer
30
Merupakan penyebab kegagalan yang sebenarnya tidak sering. Infeksi luka
ditentukan oleh keseimbangan antara daya tahan luka dan jumlah mikroorganisme. Bila
jumlah mikroorganisme lebih dari 104/gram jaringan kemungkinan terjadinya infeksi
yaitu 89%, sedangkan bila jumlah mikroorganisma dibawah 104/gram jaringan
kemungkinan terjadi infeksi yaitu 6%. Pada luka-luka dengan jumlah mikroorganisma
lebih dari 105/gram hampir dipastikan akan selalu gagal.
5.Teknik yang salah
a. Menempelkan skin graft pada daerah berepitel (sel basal epidermis) dipermukaannya
Kasus luka bakar merupakan suatu keadaan stres metabolisme yang melibatkan
respon neuroendokrin. Keadaan ini disebut juga hipermetabolisme.
Reaksi pertama dari luka bakar dikenal dengan fase awal/fase akut/ fase syok
yang berlangsung singkat, ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah
jantung, suhu tubuh, dan konsumsi oksigen, serta hilangnya cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan terjadinya hipovolemi, hipoperfusi dan asidosis laktat.
Reaksi selanjutnya disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa minggu
atau lebih. Pada fase ini terjadi kondisi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme.
Dibandingkan cedera lainnya, terdapat fase hipermetabolisme yang ditandai
dengan peningkatan pemakaian energi yang disertai kehilangan panas melalui proses
penguapan (evaporasi heat loss), peningkatan aktivitas saraf simpatis, (beta adrenergik,
sebagai respon neuroendokrin), peningkatan aktivitas selular, dan pelepasan peptida
parakrin.
Peningkatan evaporative heat loss dan stimulasi beta adrenergik ini disebabkan
oleh beberapa hal:
- Jaringan yang mengalami kerusakan (dan atau kehilangan) tidak efektif sebagai sarana
protektif.
- Peningkatan aliran darah ke lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di daerah
tersebut dan melalui proses evaporasi terjadi kehilangan cairan dan panas yang
31
menyebabkan penurunan suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk proses
evaporasi kurang lebih 578 kcal/L air). Dengan peningkatan aliran darah ke daerah lokal
cedera, terjadi peningkatan curah jantung secara disproporsional yang memacu kerja
jantung. Di sisi lain, peningkatan suhu pada daerah luka akibat bertambahnya aliran ke
daerah lokal cedera ini secara teoritis akan mempercepat proses penyembuhan. Namun
pada kenyataannya kehilangan panas (energi) akan diakselerasi oleh adanya febris.
Kondisi evaporative heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan
terjadinya kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karena perlu mempertimbangkan
Insesible Water Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.
Perhitungan IWL pada penderita luka bakar menggunakan persamaan:
IWL=(25 + %LB) x TBSA x 24 jam
Pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF akan menyebabkan keadaan
hiperkatabolisme menjadi lebih berat dan berlangsung lama, keadaan tersebut akan
memperburuk perjalanan penyakit pada luka bakar.
Gejala klinik yang timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan,
kelemahan, gangguan fungsi organ vital dan balans energi negatif. Untuk menghadapi
kondisi stres, diperlukan kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan pada penderita
dengan luas luka bakar lebih dari 40% luas permukaan tubuh akan terjadi penurunan BB
mencapai lebih kurang 20%, pada penurunan BB 10-40% akan dijumpai kondisi yang
dapat disamakan dengan malnutrisi, sedangkan bila penurunan BB mencapai 40-50%
akan menggambarkan kondisi keseimbangan nitrogen negatif dengan kehilangan massa
protein lebih kurang 25-30%, bila kondisi ini terjadi akan berakibat fatal.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Afife Ayla KABALAK, Ahmet Çınar YASTI. Management of inhalation injury and
respiratory complications in Burns Intensive Care Unit. Turkish Journal of Trauma
& Emergency Surgery (2012);18 (4):333-338
2. Alharbi Ziya, Platkowski, Rolf Dembinski, Swen, Reckort, Gerrit Grieb, Jens K,
Norbert Pallua. Treatment of burn in the first 24 hours: simple and practical guide
by answering 10 questions in a step-by-step form. Wound Journal of Emergency
Surgery (2012), 7:13.
4. Chamania S, Hemvani N, oshi S. Burn wound infection: current problem and unmet
needs. India Journal of Burns. 2012; 20: 18-22
5. Desanti L. Phatophisiology and management of burn injury. Wound care journal.
2005; 18:323-32
6. Dries DJ. Management of burn injuries – recent developments in resuscitation,
infection control and outcomes research. Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine . 2009. 17.
10. Jaim M, Yellinedi R, Nuwalla R. Tissue expansion for reconstruction of facial burns
sequel . India Journal of Burns. 2011; 19
11. Kamolz LP, Kitzinger HB, Frey M. The Surgical Treatment of Acute Burns.
European Surgery. 2006.
13. Lahane V.Long term result of meek micrograft technique in the management of
severe burns. India Journal of Burns. 2010; 18: 30-33
33
15. Melanie Stander and Lee Alan Wallis. The Emergency Management and Treatment
of Severe Burns. Emergency Medicine International Volume 2011, Article ID
161375.
19. Pius Agbenorku, Setri Fugar, Joseph Akpaloo, Paa E Hoyte-Williams, Zainab
Alhassan, Fareeda Agyei. Management of severe burn injuries with topical heparin:
the first evidence-based study in Ghana. Int J Burn Trauma 2013;3(1):30-36.
20. R. Palao, I. Monge, M. Ruiz J.P. Barret Chemical burns: pathophysiology and
treatment. JBurns (2009).
21. Rice PL, Orgill DP. Emergency Care of Moderate and Severe Thermal Burns in
Adult. Walters Kluwer Health. 2014
24. Sterling P, Heimbach DM, Gibran NS. Management of the burn wound. ACS
surgey: principle and practice. 2010; 15: 89-96
25. Torpy Janet M, Lynm Cassio, Glass Richard. Burn injuries. The Journal of the
American Medical Association (2008).
26. Ullrich PM, Askay SW, Patterson DR. Pain, Depression, and Physical Functioning
Following Burn Injury. Rehabil Psychol, 2009. 5
27. Vyas K, Wagh S, RAwat APArhar S. Use of local skin as an islanded flap in
coverage of post burn contracture release. India Journal of Burns. 2011; 19
28. Ziadi N, Alam K, Maheswari v, Khan AH, Ahmad I. Clinico-pathological
correlation and assessment of burn wounds. India Journal of Burns. 2011; 19
29. Saleem S, Valbona C. Immobilization. In : Garrison S,I. Handbook oh physical
medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 188-189.
34
30. Halar EM, Bell KR. Contracture and other deletrious. In : DeLisa JA.
Rehabilitation medicine, principles and practices. Second ed. Philadelphia,
Lippincott Co. 1993-, 681-689.
31. Irain K. Burns. In : Garrison SJ. Handbook of’ physical medicine and rehabilitation
basics. Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 95-97, 102-103.
32. Fisher SV. Rehabililation management of burns. In : Medical rehabilitation.
Baltimore; Williams and Wilkins 1984; 306-307.
33. Bowser BL, Solis IS. Pediatrics rehabilitation. In : Garrison SJ. Handbook of’
physical medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. .113. Lippincott Co.
1995; 261-262, 267-270.
34. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar bedah, 1997, 72-73, 1131, 1219-1221.
35. Dorland’s. Illustrated medical dictionary. 25th ed. WB Saunders 1980; 355-815.
36. Kottke FJ. Therapeutic exercise to maintain mobility. In : Krusen’s Handbook of
physical medicine and rehabilitation. Thieth ed. Philadelphia. WB Saunders Co.
1982; 398-401.
37. Powell M, Kershaw R. Principles of treatment of orthopaedic patients. In
Orthopaedic nursing and rehabilitation. 9th ed. Churcill Livingstone : English
Language Book Society. 1986; 34-42.
38. Joynt RL, Findley TW. Therapeutic and exercise. In : DeLisa JA. Rehabilitation
medicine; principles and practices. Seconded. Philadelphia, Lippincott Co. 1993;
535.
39. Converse JM. Reconstructive plastic surgery. Second ed. WB Saunders, 1977;
1596-1635.
35