Oleh:
Muhammad Ridho, S.Ked 04084821719239
Fania Rizkyani, S.Ked 04054821719100
Pembimbing:
dr. Yenny Dian Andayani, SpPD, K-HOM, FINASIM
Laporan Kasus
Oleh:
Muhammad Ridho, S.Ked
Fania Rizkyani, S.Ked
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul Congestive Heart Failure.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian pada
Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Yenny Dian Andayani, SpPD, K-
HOM, FINASIM selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta
kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
penulis pada khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I Pendahuluan ......................................................................................... 1
BAB II Laporan Kasus ..................................................................................... 2
BAB III Tinjauan Pustaka ................................................................................ 9
BAB IV Analisis Kasus ................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan kelainan struktur dan fungsi
jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan. Penyebab dari gagal jantung antara lain
disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar, kelainan katup
jantung, dan gangguan irama. Berdasarkan data dari American Heart Association
(AHA), gagal jantung masih menjadi masalah kesehatan utama dengan prevalensi
5,8 juta penduduk di Amerika dan lebih dari 23 juta penduduk di seluruh dunia.
Data prevalensi gagal jantung di Indonesia, khususnya di Palembang, belum
terdapat data yang pasti, namun hipertensi merupakan penyebab terbanyak,
disusul oleh penyakit jantung koroner.1
Penyakit kardiovaskular sekarang merupakan penyebab kematian paling
umum di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular menyumbang hampir mendekati
40% kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang.
Menurut data dari studi Framingham, 90% orang yang berumur diatas 55 tahun
akan mengalami hipertensi selama masa hidupnya. Hal ini menggambarkan
masalah kesehatan publik karena hipertensi dapat meningkatkan resiko terjadinya
penyakit kardiovaskular, seperti gagal jantung kongestif. Sampai saat ini
prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Dalam kurun 20 tahun
terakhir, angka kematian karena serangan jantung dan stroke yang disebabkan
oleh hipertensi mengalami penurunan, oleh karena itu terjadi peningkatan
penderita penyakit jantung hipertensi yang beresiko mengalami gagal jantung
kongestif.2,3
Menurut data dan pengalaman sebelum adanya pengobatan yang efektif,
penderita hipertensi yang tidak diobati terbukti mengalami pemendekan masa
kehidupan sekitar 1020 tahun. Bahkan individu yang mengalami hipertensi
ringan jika tidak diobati selama 710 tahun beresiko tinggi mengalami komplikasi
yaitu sekitar 30% terbukti mengalami aterosklerosis dan lebih dari 50% akan
mengalami kerusakan organ yang berhubungan dengan hipertensi itu sendiri,
seperti kardiomegali dan gagal jantung kongestif.2,3
1
Perkembangan hipertensi umumnya diawali dengan hipertrofi ventrikel
kiri sehingga menyebabkan penyakit jantung hipertensi. Keadaan ini pada
akhirnya akan meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan gagal jantung
kongestif. Menurut data Framingham, prevalensi hipertensi terus mengalami
peningkatan sehingga kejadian penyakit jantung hipertensi yang akan
menyebabkan gagal jantung kongestif juga semakin meningkat.2,3
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Tn. SBT
b. Umur : 61 tahun
c. Tanggal Lahir : 21 Desember 1956
d. Jenis Kelamin : Laki-laki
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Pedagang
g. Alamat : Jl. Iswahyudi, Sematang Borang, Palembang
h. No. Med Rec/ Reg : 1023376
i. Tanggal masuk RS : 10 September 2017
II. ANAMNESIS
(dilakukan autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis dengan suami
pasien pada 12 September 2017, pukul 15.00 WIB)
Keluhan Utama
Sesak semakin memberat sejak 1 hari SMRS
3
Sesak berkurang dengan istirahat. Pasien nyaman tidur dengan 4 bantal. Sesak
tidak dipengaruhi cuaca dan emosi. Demam (-), nyeri dada (-), mengi (-),
jantung berdebar-debar (+), sakit kepala ringan (+). Sesak disertai batuk (+)
tidak berdahak, hilang timbul, darah (-). Pasien juga mengeluh terbangun saat
malam hari karena sesak dan batuk ada, frekuensi 1-2 kali tiap malam. Mual (-
), muntah (-). Sembab pada kedua kaki (+). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien belum berobat.
1 hari SMRS pasien merasakan sesak bertambah berat. Sesak tidak
dipengaruhi cuaca dan emosi. Sesak dirasakan terus menerus dan tidak
berkurang dengan istirahat. Pasien lebih nyaman duduk daripada berbaring.
Sesak disertai batuk tidak berdahak. Demam (-), nyeri dada (-), jantung
berdebar-debar (+), sakit kepala sedang (+). Mual (-), muntah (-). BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Pasien kemudian berobat ke IGD RSMH.
Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan disangkal
4
Kesan: ekonomi menengah
a. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia (-), distribusi merata.
2. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik
(-/-), pupil bulat isokor, RC (+/+)
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-)
4. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
5. Telinga
5
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
nyeri tekan mastoid (-)
6. Leher
JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid
(-).
7. Thoraks
Inspeksi : Statis simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
Inspeksi : Statis simetris kiri = kanan, dinamis tidak ada
bagian dinding dada yang tertinggal
Palpasi : Stem fremitus simetris kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-), Batas
paru hepar ICS VI, peranjakan 1 jari
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus di kedua
basal paru, wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba di linea axillaris anterior ICS
VI, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung atas ICS II
Batas jantung kiri linea aksilaris anterior sinistra
Batas jantung kanan linea parasternalis dextra
Auskultasi : HR = 110 x/menit, reguler, murmur sistolik (+)
grade 4/6 seluruh katup dengan punctum maximum di mitral,
gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-),
umbilicus tidak menonjol
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari dibawah
arcus costae, permukaan rata, tepi tajam. Lien tidak teraba,
nyeri tekan suprapubik (-), ballotement (-)
Perkusi : Shifting dullness (+), nyeri ketok CVA (-)
6
Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Genitalia : Tidak diperiksa
10. Ekstremitas : Akral hangat (+), palmar pucat (-), pitting edema
(+) pada kedua kaki, sianosis (-), clubbing finger (-)
7
pH 7,4 7.35-7.45
PCO2 36,6 mmHg 35-45
PO2 113,6 mmHg 83-108
HCO3 24,4 mmol/L 21-28
8
c. EKG
9
Interpretasi : Irama sinus reguler, HR: 110 x/menit, axis normal,
gelombang P (+) normal, QRS complex 0,045 detik, QT Interval
0,32 detik, R/S V1 <1, S V1 + R V5 < 35, ST segment T wave
abnormality (-),
Kesan : Sinus takikardia
V. Echocardiography
Hasil Ekokardiografi:
SWMA anteroseptal
LVEF 44%. A/E ratio <1
LVH concentric
MV posterior prolaps
MR moderate
VI. Diagnosis
Congestive Heart Failure ec Hipertensive Heart Disease + Chronic Kidney
Disease ec nefropati hipertensi + Anemia penyakit kronik
VIII. Tatalaksana
Non farmakologi:
- Istirahat tirah baring
- O2 nasal kanul 4L/menit
- Hemodialisis rabu-sabtu?
10
Farmakologi
- IVFD D5 gtt x/menit
- Inj. Furosemid 1x20mg IV
- Laxadyn syr 3x10 cc PO
- Valsartan 1x80 mg PO
- Asam folat 3x1 mg PO
- CaCo3 3x500 mg PO
IX. Prognosis
Dubia ad vitam : dubia ad malam
Dubia ad functionam : dubia ad malam
Dubia ad sanationam : dubia ad malam
X. Follow up
Tanggal 11 April 2017
S Sesak (+), lemas (+), nyeri dada (-), demam (-)
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/80 mmHg
Nadi 110 x/menit
Pernapasan 26 x/ menit
Temperatur 36,5 oC
Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Leher JVP (5+2) cm H2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax: Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-)
Paru Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
11
Palpasi: Stem fremitus kanan dan kiri menurun
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)
Tidak diperiksa
Ekstremitas
A SLE manifestasi AIHA
P Non Farmakologis
O2 3 liter/menit
12
Istirahat
Edukasi
Farmakologis
IVFD KAEN 3B gtt xx/menit
Inj. Metil prednisolon 1x125 mg
Cellcept 1x1500 mg
KSR 1x600 mg
Fenitoin 3x100 mg
Inj. Ca Glukonas 1x 1 gr
Inj. Ciprofloksasin 2x200 mg
Paracetamol 500mg (jika T38,5C)
Nystatin drop 3x1 ml
Tranfusi PRC
Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+),
distribusi tidak merata. Malar rash (+),
Konjungtiva palpebra pucat (+) Sklera ikterik (-),
13
epistaksis (-), atrofi papil lidah (-), sariawan (+),
14
Genitalia Tidak diperiksa
15
BAB III
TINJAUN PUSTAKA
3.1. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu
memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh walaupun darah balik masih normal. Dengan kata lain, gagal jantung
adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward
failure), atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan
pengisian jantung yang tinggi (backward failure), atau kedua-duanya.4
3.2. Etiologi
Penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan ke dalam enam
kategori utama:4,5
a. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat
disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak
terkoordinasi (left bundle branch block), kurangnya kontraktilitas
(kardiomiopati)
b. Kegagalan jantung yang berhubungan dengan overload seperti
hipertensi sistemik (peningkatan tekanan darah di atas 140/90 mmHg)
atau hipertensi pulmonal (peningkatan tekanan darah di paru-paru akibat
kongesti pulmonal)
c. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup
d. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme kardiak (takikardi)
e. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard
(tamponade)
f. Kelainan kongenital jantung
16
sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah
penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada
beberapa keadaan, sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal
jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor
risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang
dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung.6
Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan
kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen
perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan
risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat
menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk
hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi
ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya
infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik aritmia
atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan
hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal
jantung.7
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang
bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit
jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati
dibedakan menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif),
hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan
penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri
dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain
miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-
Strauss dan poliarteritis nodosa.8
Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan
(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai
dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas
hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi
17
outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif
ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak
membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi)
yang menghambat pengisian ventrikel.7,8,9
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,
walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan
stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta
menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering
ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan
kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita
hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.6
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan
gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial
fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan
kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol
menyebabkan gagal jantung 23% dari kasus. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat obatan juga
dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan
obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung
akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.6
3.3. Epidemiologi
Di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah
penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Penyakit
katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, yaitu penyakit katup
regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta)
menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan
stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia
sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan
18
dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita
hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.1
Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah
satu penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari
penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih,
dan 25% dari mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang
tua terus meningkat, jumlah orang yang didiagnosis dengan kondisi ini akan
terus meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis
gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi
ini lebih umum di antara Amerika Afrika dari kulit putih. Hal ini
menunjukkan adanya keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif.6,9
Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh
faktor lain. Salah satunya, insidensi gagal jantung kongestif digolongkan
berdasarkan jenis kelamin. Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan
angka perawatan di rumah sakit, dengan angka kejadian 4.7% pada
perempuan dan 5.1% pada laki-laki.9
Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif
sangat dipengaruhi oleh diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh
karena itu, prognosis pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada
tiap penderita. Berdasarkan salah satu penelitian, angka kematian akibat
gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun. Sekitar setengah dari
mereka dengan gagal jantung kongestif mati dalam waktu 5 tahun setelah
diagnosis mereka. Sumber lain mengatakan bahwa seperdua dari pasien
gagal jantung kongestif meninggal dalam waktu 4 tahun setelah didiagnosis,
dan terdapat lebih dari 50% penderita gagal jantung kongestif berat
meninggal dalam tahun pertama.1,6
3.4. Patofisiologi
3.4.1. Mekanisme dasar
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada
gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan
pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang
19
menurun mengurangi volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu
ventrikel. Dengan meningkatkan volume akhir diastolik ventrikel (LVDEP),
terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri. Derajat
peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan
meningkatnya LVDEP, terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP)
karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol.
Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam pembuluh darah paru-
paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Apabila tekanan
hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik pembuluh
darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Jika kecepatan
transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, akan terjadi edema
interstisial. Peningkatan cairan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan
merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru.4,10
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis
tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap
ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada
jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan
menyebabkan edema dan kongesti sistemik.4
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat
diperberat oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau
mitralis secara bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh
dilatasi anulus katup antroventrikularis, atau perubahan orientasi otot
papilaris dan korda tendinae akibat dilatasi ruang.4,10
20
menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan
berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi kurang efektif.4,10,11
a. Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis
Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan
mengakibatkan respons simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas
adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-
saraf adrenergik jantung dan medula adrenal. Denyut jantung dan
kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung.
Selain itu juga terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan
tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran
darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah (misal kulit dan
ginjal) untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.
Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan
jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan
hukum Starling.4
Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal
jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada
katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja
ventrikel. Namun pada akhirnya respons miokardium terhadap
rangsangan simpatis akan menurun, katekolamin akan berkurang
pengaruhmya terhadap kerja ventrikel. Berkurangnya respons ventrikel
yang gagal terhadap rangsangan katekolamin menyebabkan
berkurangnya derajat pergeseran akibat rangsangan ini. Perubahan ini
dapat disebabkan karena cadangan norepinephrin pada miokardium
menjadi berkurang pada gagal jantung kronis.4,10
21
curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa
berikut: (1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi
glomerulus, (2) pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerulus, (3)
interaksi renin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensin I, (4) konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, (5)
rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan (6) retensi
natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.4
Pada gagal jantung berat, kombinasi antara kongesti vena sistemik
dan menurunnya perfusi hati akan mengganggu metabolisme aldosteron
di hati, sehingga kadar aldosteron dalam darah meningkat. Kadar
hormon antidiuretik akan meningkat pada gagal jantung berat, yang
selanjutnya akan meningkatkan absorpsi air pada duktus pengumpul.4
c. Hipertrofi ventrikel
Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel
miokardium. Sarkomer dapat bertambah secara paralel atau serial
bergantung pada jenis beban hemodinamik yang yang mengakibatkan
gagal jantung. Sebagai contoh, suatu beban tekanan yang ditimbulkan
stenosis aorta akan disertai dengan meningkatnya ketebalan dinding
tanpa penambahan ukuran ruang dalam. Respon miokardium terhadap
beban volume, seperti pada regurgitasi aorta ditandai dengan dilatasi dan
bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi ini diduga terjadi akibat
bertambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara serial. Kedua pola
hipertrofi ini disebut hipertrofi konsentris dan hipertrofi eksentris.
Apapun susunan pasti sarkomernya, hipertrofi miokardium akan
meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel.4,10
22
seperti cepat lelah, sesak napas atau berdebar-debar, apabila melakukan
kegiatan biasa.
b. Kelas 2: Penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan
fisik yang biasa menimbulkan gejala-gejala insufiensi jantung seperti
kelelahan, jantung berdebar, sesak napas, atau nyeri.
c. Kelas 3: Penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam
kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan
tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.
d. Kelas 4: Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejala-
gejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan
kegiatan fisik meskipun sangat ringan.
23
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, Sistem Renin
AngiotensinAldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan
natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui
tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan
denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat
menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan
nekrosis miokard fokal.1
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron
akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi
kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada
disfungsi endotel pada gagal jantung.1,6
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada otot
skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks.1
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin
Angiotensin Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan
natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi .sistem simpatis melalui
tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan
24
denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin).1,6
Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi
sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II
plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal
yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal
dan merangsang pelepasan aldosteron.1,6
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan
pada disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic
peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas
terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide
(ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.1,6
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic
peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek
terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic
peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan
tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler,
sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.1,6
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan
pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin
disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium.1
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri
25
pulmonal pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah
penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan
kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada
penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 3040 %
penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal.
Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan
diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.1
26
atau pink.
Penumpukan Bengkak pada Aliran darah dari jantung
kelebihan pergelangan kaki, kaki yang melambat tertahan dan
cairan dalam atau perut atau menyebabkan cairan untuk
jaringan tubuh penambahan berat menumpuk dalam
(edema) badan. jaringan. Ginjal kurang
mampu membuang natrium
dan air, juga menyebabkan
retensi cairan di dalam
jaringan.
Kelelahan Perasaan lelah Jantung tidak dapat
sepanjang waktu dan memompa cukup darah untuk
kesulitan dengan memenuhi kebutuhan
kegiatan sehari-hari, jaringan tubuh.
seperti belanja, naik
tangga, membawa
belanjaan atau berjalan.
Kurangnya Perasaan penuh atau Sistem pencernaan menerima
nafsu makan sakit perut. darah yang kurang,
dan mual menyebabkan masalah
dengan pencernaan.
Kebingungan Kehilangan memori dan Perubahan pada tingkat zat
dan gangguan perasaan menjadi tertentu dalam darah, seperti
berpikir disorientasi. sodium, dapat menyebabkan
kebingungan.
Peningkatan Jantung berdebar-debar, Untuk "menebus" kerugian
denyut jantung yang merasa seperti dalam memompa kapasitas,
jantung Anda balap jantung berdetak lebih cepat.
atau berdenyut.
27
Gambar. Gambaran umum gejala klinis pada pasien CHF
28
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (>120 x/menit)
29
pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar pada kedua lapang
paru dan dapat disertai wheezing ekspiratoar (asma kardial). Jika
ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk gagal
jantung. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan
sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan ke dalam
rongga pleura.
d. Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan jantung sering tidak memberikan informasi yang
berguna mengenai tingkat keparahan gagal jantung. Jika kardiomegali
ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi di bawah ICS V
dan atau sebelah lateral dari midclavicularis line, dan denyut dapat
dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex. Pada beberapa pasien, suara
jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi pada apex. S3 atau
prodiastolik gallop paling sering ditemukan pada pasien dengan volume
overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan sering kali
menandakan gangguan hemodinamika. Bising pada regurgitasi mitral
dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan gagal jantung tahap
lanjut.
e. Abdomen dan ekstremitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada
pasien jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba
lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup
trikuspid. Asites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena
tingginya tekanan vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam
drainase peritoneum. Jaundice dapat ditemukan dan merupakan tanda
gagal jantung stadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek
meningkat. Ikterik ini disebabkan karena terganggunya fungsi hepar
sekunder akibat kongesti hepar dan hipoksia hepatoseluler. Edema
perifer adalah manifestasi cardinal jantung, namun hal ini tidaklah
spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah mendapat
diuretik. Edema perifer biasanya simetris, beratya tergantung pada
30
gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar pergelangan
kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas.
f. Cardiac cachexia
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditandai dengan
penurunan berat badan dan cachexia yang bermakana. Mekanisme dari
cachexia pada gagal jantung dapat melibatkan banyak faktor dan
termasuk peningkatan resting metabolic rate, anorexia, nausea, dan
muntah akibat hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut.
Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang
buruk.
31
(ada atau tidaknya Q wave). EKG normal biasanya menyingkirkan
adanya disfungsi diastolic pada ventrikel kiri.
d. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi
jantung, miokardium dan pericardium, dan mengevalusi gerakan
regional dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress
farmakologis pada gagal jantung. Fitur yang paling penting pada
evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left ventricular ejection fraction
(LVEF), beratnya remodeling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi
diastolik.
3.9. Penatalaksanaan
Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah
memiliki pengaruh baik pada pencegahan maupun penatalaksanaan
hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang meningkatkan kesehatan
direkomendasikan bagi individu dengan prehipertensi dan sebagai tambahan
untuk terapi obat pada individu hipertensif. Intervensi-intervensi ini harus
diarahkan untuk mengatasi risiko penyakit kardiovaskular secara
keseluruhan. Walaupun efek dari intervensi gaya hidup pada tekanan darah
adalah jauh lebih nyata pada individu dengan hipertensi, pada uji jangka-
pendek, penurunan berat badan dan reduksi NaCl diet juga telah terbukti
mencegah perkembangan hipertensi. Pada individu hipertensif, bahkan jika
intervensi-intervensi ini tidak menghasilkan reduksi tekanan darah yang
cukup untuk menghindari terapi obat, namun jumlah pengobatan atau dosis
yang diperlukan untuk kontrol tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi
diet yang secara efektif mengurangi tekanan darah adalah penurunan berat
badan, reduksi masukan NaCl, peningkatan masukan kalium, pengurangan
konsumsi alkohol, dan pola diet sehat secara keseluruhan.
Tabel. Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
Reduksi berat badan Memperoleh dan mempertahankan BMI
<25 kg/m2
Reduksi garam < 6 g NaCl/hari
32
Adaptasi rencana diet Diet yang kaya buah-buahan, sayur-
jenis-DASH sayuran, dan produk susu rendah-lemak
dengan kandungan lemak tersaturasi dan
total yang dikurangi
Pengurangan konsumsi Bagi mereka yang mengkonsumsi alkohol,
alkohol minumlah 2 gelas/hari untuk laki-laki dan 1
gelas/hari untuk wanita
Aktivitas fisik Aktivitas aerobik teratur, seperti jalan cepat
selama 30 menit/hari
33
yang tidak konsisten, dan, tidak tergantung pada tekanan darah,
suplementasi kalium mungkin berhubungan dengan penurunan mortalitas
stroke. Penggunaan alkohol pada individu yang mengkonsumsi tiga atau
lebih gelas per hari (satu gelas standar mengandung ~14 g etanol)
berhubungan dengan tekanan darah yang lebih tinggi, dan reduksi konsumsi
alkohol berkaitan dengan reduksi tekanan darah. Mekanisme bagaimana
kalium, kalsium, atau alkohol dapat mempengaruhi tekanan darah masihlah
belum diketahui.
Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada
periode 8 minggu, diet yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk
susu rendah-lemak mengurangi tekanan darah pada individu dengan tekanan
darah tinggi-normal atau hipertensi ringan. Reduksi masukan NaCl harian
menjadi <6 g (100 mEq) menambah efek diet ini pada tekanan darah. Buah-
buahan dan sayur-sayuran merupakan sumber yang kaya akan kalium,
magnesium, dan serat, dan produk susu merupakan sumber kalsium yang
penting.
Terapi farmakologis
Terapi obat direkomendasikan bagi individu dengan tekanan darah
140/90 mmHg. Derajat keuntungan yang diperoleh dari agen-agen
antihipertensif berhubungan dengan besarnya reduksi tekanan darah.
Penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10-12 mmHg dan tekanan darah
diastolik sebesar 5-6 mmHg bersama-sama memberikan reduksi risiko
sebesar 35-40% untuk stroke dan 12-16% untuk CHD dalam 5 tahun dari
mula penatalaksanaan. Risiko gagal jantung berkurang sebesar >50%.
Terdapat variasi yang nyata dalam respon individual terhadap kelas-kelas
agen antihipertensif yang berbeda, dan besarnya respon terhadap agen
tunggal apapun dapat dibatasi oleh aktivasi mekanisme counter-regulasi
yang melawan efek hipotensif dari agen tersebut. Pemilihan agen-agen
antihipertensif, dan kombinasi agen-agen, harus dilakukan secara individual,
dengan pertimbangan usia, tingkat keparahan hipertensi, faktor-faktor risiko
34
penyakit kardiovaskular lain, kondisi komorbid, dan pertimbangan praktis
yang berkenaan dengan biaya, efek samping, dan frekuensi pemberian obat.
Diuretik
Diuretik thiazide dosis-rendah sering digunakan sebagai agen lini
pertama, sendiri atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensif lain.
Thiazide menghambat pompa Na+/Cl- di tubulus konvultus distal sehingga
meningkatkan ekskresi natrium. Dalam jangka panjang, mereka juga dapat
berfungsi sebagai vasodilator. Thiazide bersifat aman, memiliki efikasi
tinggi, dan murah serta mengurangi kejadian klinis. Mereka memberikan
efek penurunan-tekanan darah tambahan ketika dikombinasikan dengan beta
blocker, ACE inhibitor, atau penyekat reseptor angiotensin. Sebaliknya,
penambahan diuretik terhadap penyekat kanal kalsium adalah kurang efektif.
Dosis biasa untuk hydrochlorothiazide berkisar dari 6.25 hingga 50 mg/hari.
Karena peningkatan insidensi efek samping metabolik (hipokalemia,
resistansi insulin, peningkatan kolesterol), dosis yang lebih tinggi tidaklah
dianjurkan. Dua diuretik hemat kalium, amiloride dan triamterene, bekerja
dengan menghambat kanal natrium epitel di nefron distal. Agen-agen ini
adalah agen antihipertensif yang lemah namun dapat digunakan dalam
kombinasi dengan thiazide untuk melindungi terhadap hipokalemia. Target
farmakologis utama untuk diuretik loop adalah kotransporter Na+-K+-2Cl-
di lengkung Henle ascenden tebal. Diuretik loop umumnya dicadangkan
bagi pasien hipertensif dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerular
[kreatinin serum refleksi >220 mol/L (>2.5 mg/dL)], CHF, atau retensi
natrium dan edema karena alasan-alasan lain seperti penatalaksanaan
dengan vasodilator yang poten, seperti monoxidil.
35
menambah efek hipotensif. Kedua kelas agen-agen ini adalah agen
antihipertensif yang efektif yang dapat digunakan sebagai terapi tunggal
atau dalam kombinasi dengan diuretik, antagonis kalsium, dan agen-agen
penyekat alfa. Efek samping ACE inhibitor dan penyekat reseptor
angiotensin antara lain adalah insufisiensi ginjal fungsional karena dilatasi
arteriol eferen ginjal pada ginjal dengan lesi stenotik pada arteri renalis.
Kondisi-kondisi predisposisi tambahan terhadap insufisiensi ginjal yang
diinduksi oleh agen-agen ini antara lain adalah dehidrasi, CHF, dan
penggunaan obat-obat antiinflamasi non steroid. Batuk kering terjadi pada
~15% pasien, dan angioedema terjadi pada <1% pasien yang mengkonsumsi
ACE inhibitor. Angioedema paling sering terjadi pada individu yang berasal
dari Asia dan lebih lazim terjadi pada orang Afrika Amerika dibanding
orang Kaukasia. Hiperkalemia yang disebabkan hipoaldosteronisme
merupakan efek samping yang kadang terjadi baik pada penggunaan ACE
inhibitor maupun penyekat reseptor angiotensin.
Antagonis aldosteron
Spironolakton adalah antogonis aldosteron nonselektif yang dapat
digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan diuretik thiazide. Ia adalah
agen yang terutama efektif pada pasien dengan hipertensi esensial rendah-
renin, hipertensi resistan, dan aldosteronisme primer. Pada pasien dengan
CHF, spironolakton dosis rendah mengurangi mortalitas dan perawatan di
rumah sakit karena gagal jantung ketika diberikan sebagai tambahan
terhadap terapi konvensional dengan ACE inhibitor, digoxin, dan diuretik
loop. Karena spironolakton berikatan dengan reseptor progesteron dan
androgen, efek samping dapat berupa ginekomastia, impotensi, dan
abnormalitas menstruasi. Efek-efek samping ini dihindari oleh agen yang
lebih baru, eplerenone, yang merupakan antagonis aldosteron selektif.
Eplerenone baru-baru ini disetujui di US untuk penatalaksanaan hipertensi
Beta blocker
36
Penyekat reseptor adrenergik mengurangi tekanan darah melalui
penurunan curah jantung, karena reduksi kecepatan detak jantung dan
kontraktilitas. Mekanisme lain yang diajukan mengenai bagaimana beta
blocker mengurangi tekanan darah adalah efek pada sistem saraf pusat, dan
inhibisi pelepasan renin. Beta blocker terutama efektif pada pasien
hipertensif dengan takikardia, dan potensi hipotensif mereka dikuatkan oleh
pemberian bersama diuretik. Pada dosis yang lebih rendah, beberapa beta
blocker secara selektif menghambat reseptor 1 jantung dan kurang memiliki
pengaruh pada reseptor2 pada sel-sel otot polos bronkus dan vaskular;
namun tampak tidak terdapat perbedaan pada potensi antihipertensif beta
blocker kardio selektif dan non kardio selektif. Beta blocker tertentu
memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik, dan tidaklah jelas apakah
aktivitas ini memberikan keuntungan atau kerugian dalam terapi jantung.
Beta blocker tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik mengurangi tingkat
kejadian kematian mendadak (sudden death), mortalitas keseluruhan, dan
infark miokardium rekuren. Pada pasien dengan CHF, beta blocker telah
dibuktikan mengurangi risiko perawatan di rumah sakit dan mortalitas.
Carvedilol dan labetalol menyekat kedua reseptor 1 dan 2 serta reseptor
adrenergik perider. Keuntungan potensial dari penyekatan kombinasi dan
adrenergik dalam penatalaksanaan hipertensi masih perlu ditentukan.
Penyekat adrenergik
Antagonis adrenoreseptor selektif postsinaptik mengurangi tekanan
darah melalui penurunan resistansi vaskular perifer. Mereka adalah agen
antihipertensif yang efektif, yang digunakan sebagai monoterapi maupun
dalam kombinasi dengan agen-agen lain. Namun dalam uji klinis pada
pasien hipertensif, penyekatan alfa tidak terbukti mengurangi morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular ataupun menyediakan perlindungan terhadap
CHF sebesar kelas-kelas agen antihipertensif lain. Agen-agen ini juga
efektif dalam menangani gejala tractus urinarius bawah pada pria dengan
hipertropi prostat. Antagonis adrenoreseptor nonseletif berikatan dengan
37
reseptor postsinaptik dan presinaptik dan terutama digunakan untuk
penatalaksanaan pasien dengan pheokromositoma.
Agen-agen simpatolitik
Agonis simpatetik yang bekerja secara sentral mengurangi resistansi
perifer dengan menghambat aliran simpatis. Mereka terutama berguna pada
pasien dengan neuropati otonom yang memiliki variasi tekanan darah yang
luas karena denervasi baroreseptor. Kerugian agen ini antara lain somnolens,
mulut kering, dan hipertensi rebound saat penghentian. Simpatolitik perifer
mengurangi resistansi perifer dan konstriksi vena melalui pengosongan
cadangan norepinefrin ujung saraf. Walaupun merupakan agen
antihipertensif yang potensial efektif, kegunaan mereka dibatasi oleh
hipotensi orthostatik, disfungsi seksual, dan berbagai interaksi obat.
Vasodilator Langsung
Agen-agen ini mengurangi resistensi perifer, lazimnya mereka tidak
dianggap sebagai agen lini pertama namun mereka paling efektif ketika
38
ditambahkan dalam kombinasi yang menyertakan diuterik dan beta blocker.
Hydralazine adalah vasodilator direk yang poten yang memiliki efek
antioksidan dan penambah NO, dan minoxidil merupakan agen yang amat
poten dan sering digunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang
refrakter terhadap semua obat lain. Hydralazine dapat menyebabkan
sindrom mirip-lupus, dan efek samping minoxidil antara lain adalah
hipertrikosis dan efusi perikardial.
3.10. Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat
berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka
mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala
ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif.
Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat
(fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas
(konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder,
hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat. Sekitar 40-50%
kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa
kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan
akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis.
Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung progresif atau penyakit
lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium lanjut dapat
menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat
cermat.14
39
BAB IV
ANALISIS KASUS
40
Paroksismal Nokturnal Dispnea (+) Edema ekstremitas (+)
Distensi Vena Leher (+) Batuk malam hari (+)
Ronkhi Paru (+) Dispnea deffort (+)
Edema Paru Akut (+) Hepatomegali (+)
Gallop S3 (-) Efusi Pleura
Peninggian Tekanan Vena Jugularis Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
(+) normal
Refluks Hepatojugular (+) Takikardia (>120x/menit)
41
DAFTAR PUSTAKA
42
Holistik Penyakit Kardiovaskuler II. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2003
12. Kusmana D, Setianto B, Tobing, PL. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Standar
Pelayanan Medik RS. Jantung Harapan dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Edisi kedua. Jakarta. 2003; 170-80
13. Lily Ismudiati Rilantono,dkk.;Buku Ajar Kardiologi;Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,2004,hal 173-181
14. Rani A A, dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta. h. 83-6.
43