Anda di halaman 1dari 25

JOURNAL READING

CURRENT CONCEPTS OF OSTEOMYELITIS FROM PATHOLOGIC MECHANISMS


TO ADVANCED RESEARCH METHODS

Oleh :

Muhammad Alfarizi 220702110008


Daru Darma P 220702110012
Nadiya Salma Kustiawan 220702110026
Anis Khoirinnisa 220702110015
Vinsa Surya Amanda 220702110043

Pembimbing : dr. Bambang Widiwanto, Sp. OT

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSU KARSA HUSADA BATU
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2022

1
DAFTAR ISI

Abstrak....................................................................................................... 3
Bab I Pendahuluan.................................................................................... 4
Bab II Isi……............................................................................................. 7
BAB III Penutup…………………………………………………………22
Daftar Pustaka...........................................................................................24

2
ABSTRAK

Osteomielitis adalah peradangan tulang dan sumsum tulang yang paling sering
disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus. Banyak pemahaman tentang patofisiologi yang
mendasari osteomielitis, dari perspektif host dan patogen, telah direvisi dalam beberapa tahun
terakhir, dengan penemuan penting termasuk peran yang dimainkan oleh osteosit dalam
perekrutan sel imunitas, invasi dan persistensi S. aureus dalam saluran submikron tulang
kortikal, dan peran diagnostik dari sel polimorfonuklear dalam osteomielitis terkait implan.
Model kultur sel in vitro lanjutan, seperti seperti model kultur ex vivo atau organoid, juga telah
dikembangkan selama dekade terakhir, dan telah telah tersebar luas di banyak bidang, termasuk
penyakit menular. Model-model ini lebih baik meniru lingkungan in vivo, memungkinkan
penggunaan sel manusia, dan dapat mengurangi ketergantungan kita pada hewan dalam
penelitian osteomyelitis penelitian. Dalam ulasan ini, kami memberikan gambaran umum tentang
konsep patologis utama dalam osteomielitis, dengan fokus pada penemuan baru dalam beberapa
tahun terakhir. Selanjutnya, kami menguraikan nilai dari teknik kultur sel in vitro modern,
dengan fokus pada aplikasi mereka saat ini untuk penyakit menular dan osteomielitis pada
khususnya.

Kata kunci: Osteomielitis, patofisiologi osteomilitis, Staphylococcus aureus, model kultur sel in
vitro, model kultur ex vivo

3
BAB I

PENDAHULUAN

Osteomielitis adalah penyakit infeksi yang menyerang tulang dan sumsum tulang, dengan
Staphylococcus aureus sebagai menjadi patogen penyebab pada 30% hingga 60% kasus pada
manusia Staphylococci secara kolektif menyebabkan sekitar 75% kasus. Osteomielitis
umumnya berkembang dari sumber hematogen atau traumatis.Osteomielitis hematogen
paling sering terjadi pada anak-anak berusia <16 tahun sebagai akibat dari penyebaran
bakteri secara hematogen (misalnya, karena bakteremia). Rute kedua, traumatis, dapat terjadi
sekunder akibat patah tulang atau pembedahan. Di sini, pelindung kulit terganggu, sehingga
memungkinkan bakteri kontaminan masuk ke dalam luka dan menyerang jaringan tulang.
Faktanya, semua operasi ortopedi berisiko mengembangkan osteomielitis melalui rute
traumatis karena risiko translokasi bakteri dari kulit ke lokasi bedah di dalam tubuh. dari
kulit ke tempat pembedahan intraoperatif. Pasien osteomielitis dapat menunjukkan gejala
klinis, seperti nyeri, pembengkakan, drainase purulen, fistula dan/atau sinus, kerusakan luka,
eritema, dan peningkatan suhu lokal. Selain itu, parameter berikut dipertimbangkan: i) tanda-
tanda kerusakan tulang dan adanya sekuestra dan kumpulan purulen dalam jaringan lunak
yang dinilai dengan pencitraan, ii) terjadinya organisme di lebih dari satu spesimen dalam
spesimen dalam yang diverifikasi dengan kultur mikrobiologi, dan iii) jumlah leukosit, laju
endap darah, dan kadar protein C-reaktif. Infeksi dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
histopatologis sampel jaringan dalam; adanya mikroorganisme dalam jaringan dalam
diperiksa menggunakan teknik pewarnaan spesifik untuk bakteri (misalnya, pewarnaan Gram
atau pewarnaan Ziehl-Neelsen untuk tuberkulosis) atau jamur (mis, Grocott methenamine
silver stain). Untuk pasien dengan kultur negative pasien, diagnosis osteomielitis dapat
dikonfirmasi secara histologis jika terdapat tanda-tanda resorpsi tulang aktif dan remodeling
dan adanya sel inflamasi akut dan kronis. Infiltrasi sel inflamasi akut ditunjukkan dengan
mengidentifikasi lebih dari lima sel polimorfonuklear (PMN) per bidang dengan daya tinggi
(pembesaran 400). Kriteria ini juga digunakan untuk infeksi ortopedi lainnya, seperti infeksi
sendi periprostetik dan infeksi terkait fraktur kronis/lateonset. Tidak adanya PMN sangat
berkorelasi dengan nonunion aseptik (spesifisitas,98%; nilai prediksi positif, 98%).Regimen

4
pengobatan pada kasus osteomielitis akut tanpa komplikasi dapat terdiri dari antibiotic
osteomielitis akut tanpa komplikasi dapat terdiri dari terapi antibiotik saja jika prasyarat
terpenuhi, yang biasanya diberikan selama 4 sampai 6 minggu dan dikaitkan dengan sampai
6 minggu dan dikaitkan dengan tingkat keberhasilan sekitar 80%. Sebaliknya, untuk kasus
osteomielitis kronis dan yang terkait implant keberhasilan terapi antibiotik saja antibiotik saja
relatif rendah dan membutuhkan debridemen (yaitu,operasi pengangkatan tulang dan
komponen implan yang terinfeksi) untuk mencapai tingkat keberhasilan yang memuaskan.
Pembedahan debridemen atau operasi revisi ini sering kali menantang, mengingat bahwa
tingkat debridemen tulang bisa sulit untuk dinilai, dan pengelolaan ruang mati yang
dihasilkan juga dapat membutuhkan intervensi yang kompleks dan waktu penyembuhan yang
lama. Meskipun praktik terbaik dalam terapi medis dan bedah, masih ada20% kemungkinan
kegagalan pengobatan dalam kasus yang rumit tersebut.
Pemahaman kita tentang patofisiologi osteomielitis telah berkembang selama beberapa tahun
terakhir, dan sekarang kita memiliki wawasan tentang mengapa kronisitas dan adanya
implant memerlukan pengobatan yang lebih kuat. Misalnya, kita tahu bahwa pembentukan
biofilm bakteri dan invasi bakteri di dalam sistem lakuna-kanalikular osteosit terlibat dalam
osteomielitis kronis. Selanjutnya, kita tahu bahwa osteomielitis kronis. Lebih jauh lagi,
respons inang terhadap infeksi dan perubahan morfologi tulang selanjutnya (mis,sequester
atau pembentukan involucrum) juga lebih baik dipahami pada saat ini. Banyak dari
pemahaman baru tentang patofisiologi yang mendasari osteomielitis (misalnya, pergantian
tulang, osteolisis, dan perubahan bakteriologis dari waktu ke waktu) telah ditentukan dari
analisis histologis spesimen manusia12e14 dan studi hewan laboratorium. Di bidang lain,
model kultur sel in vitro yang canggih telah dikembangkan untuk telah dikembangkan untuk
mengurangi ketergantungan kita yang berlebihan pada hewan laboratorium. Secara khusus,
kultur sel tiga dimensi (3D) telah menjadi standar di bidang rekayasa jaringan dan biologi
kanker, di mana organotipebiologi kanker, di mana konstruksi 3D organotipik telah terbukti
i) memiliki lingkungan mikro mereka sendiri, ii) menyerupai organisasi jaringan in vivo, dan
iii) memiliki perilaku seluler yang lebih setia mencerminkan pengaturan in vivo.
Saat menggunakan sel manusia, sistem ini mungkin lebih mencerminkan situasi manusia
daripada sistem kultur dua dimensi in vitro praklinis yang saat ini digunakan. Model-model
ini juga dapatberfungsi untuk meningkatkan pemahaman kita tentang osteomielitis, meskipun

5
hingga saat ini, hanya satu penelitian yang telah menggunakan sistem kultur sel yang canggih
untuk mempelajari penelitian osteomielitis, dengan fokus pada penemuan-penemuan terbaru
dan penemuan dan pemahaman mekanistik yang lebih baik dari patofisiologi osteomielitis.
Selanjutnya, kami meninjau menerbitkan model in vitro multiseluler canggih yang
diterbitkan dan mereka multiseluler yang dipublikasikan dan potensi mereka untuk
memajukan pemahaman kita tentang osteomielitis manusia, tanpa memerlukan penggunaan
hewan percobaan.

6
BAB II

ISI

2.1 Patofisiologi Osteomielitis

Faktor Patogen

Bakteri Staphylococcus aureus menuju tulang dapat melalui jalur hematogen atau
iatrogenic yang kemudian menempel pada jaringan lunak, tulang, atau implant logam. Bakteri
dapat mencapai hal itu dengan berikatan pada protein matriks ekstraselluler (ECM) oleh
komponen permukaan bakteri yang mengenali molekul matriks seperti kolagen dan sialoprotein
tulang. S. aureus menggunakan beberapa strategi untuk bertahan hidup dari pengaruh sel imun
dan terapi (Gambar 1 A). S. aureus yang melekat dapat berkembangbiak, beragregasi, dan
membentuk mikrokoloni yang dikenal dengan Staphylococcal Abscess Communities (SAC)
(Gambar 1. D). SAC tidak secara eksklusif ditemukan di jaringan tulang namun dapat ditemukan
pada kulit, ginjal, dan jaringan otak. Pada banyak kasus, SAC membentuk pusat sebuah abses
dengan deposit fibrin disekitarnya. Secara khusus, S. aureus dapat membentuk fibrin oleh
polimerasi fibrinogen dan mensekresikan enzim seperti koagulase dan protein pengikat faktor
von Willebrand yang mana mengaktifkan prothrombin endogen dan berkontribusi pada formasi
fibrin. Jaringan fibrin disekitar SAC bakteri melindungi bakteri dari invasi dan pembersihan oleh
sel imun seperti PMN yang mengakibatkan sel imun berkumpul disekitar nidus bakteri (Gambar
1 D).

Staphylococcus aureus yang menempel pada perangkat implan atau sequestra dapat
membentuk struktur yang lebih kompleks yang dikenal sebagai biofilm (Gambar 1D). Bakteri
dalam biofilm kurang rentan terhadap antibiotik, karena beberapa faktor, antara lain penurunan
kadar oksigen dan metabolisme. Selain itu, koloni S. aureus dalam biofilm dapat mengeluarkan
apa yang disebut matriks polimer ekstraseluler yang terdiri dari polisakarida dan protein yang
diproduksi sendiri dan kemungkinan DNA ekstraseluler dari sel bakteri mati, membentuk
matriks yang berfungsi sebagai penghalang fisik terhadap infiltrasi sel imun.

7
Selain membentuk SAC atau menjadi biofilm, S. aureus juga dapat menginvasi jaringan
osteosit lacuna canaliculi dalam tulang. Invasi S. aureus didalam jaringan kanalikuli berpotensi
untuk membatasi akses ke sel imun. Mekanisme ini awalnya diidentifikasi dalam model tikus
dari osteomyelitis terkait implant dan kemudian dikonfirmasi pada infeksi S. aureus diabetic
foot pada manusia. Penemuan ini sangat memperihatinkan dalam konteks osteomyelitis akibat S.
aureus karena jaringan kanalikuli ini mungkin tidak dapat ditembus oleh sel imun, dan bakteri
mungkin dapat bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama dengan menggunakan matriks
tulang sebagai sumber nutrisi. Namun hal ini belum terbukti.S. aureus memiliki mekanisme
pertahanan lain yaitu menargetkan berbagai toksin pada sel inang. Toksin ini yaitu eksfoliatif
toksin, pore forming toxin, dan superantigen. Toksin sindrom syok toksik superantigen 1
memiliki hubungan dengan infeksi tulang. Telah ditunjukkan bahwa sindrom syok toksik 1 dapat
mendorong osteoklastogenesis dan aktivitas resorpsi tulang osteoklas in vitro. Selain itu pore
forming toxin juga memiliki hubungan dengan infeksi tulang. Pore forming toxin dibagi menjadi
leukotoksin, hemolisin-a, hemolisin-b, dan modulin yang larut dalam fenol yang mana
memengaruhi integritas membran sel inang. Untuk modulin yang larut dalam fenol telah
dibuktikan secara in vitro memiliki efek sitotoksik pada osteoblast, sedangkan hemolisin-a
menyebabkan kematian sel osteoblast dan osteoklas secara in vitro. Hemolisin-b mungkin
terlibat dalam pelarian fagosomal, seperti yang ditunjukkan secara in vitro pada PMN dan secara
in vivo merangsang pembentukan biofilm. Selanjutnya pasien osteomyelitis yang terinfeksi strain
S. aureus yang dapat mengeluarkan leukotoxin Panton Valentine Leucocidin memiliki infeksi
yang lebih agresif dan lebih sulit diobati.

Selain itu, S. aureus dapat menginvasi dan bertahan hidup secara intraseluler dalam
fagosit (Gambar 1D). Staphylococcus aureus memicu internalisasi fagositik dengan
mengekspresikan protein pengikat fibronektin (A dan B), melekat pada fibronektin, dan
terhubung ke integrin a5b1 pada makrofag atau neutrofil. Setelah internalisasi, S. aureus
menghindari kematian sel dengan bertahan di dalam vakuola atau dengan menghambat fusi
phagolysosomal. Kegigihan intraseluler ini memberi patogen perlindungan penting yang
diperlukan terhadap serangan sistem kekebalan dan perawatan antibiotik. Osteoblas manusia
yang terinfeksi Staphylococcus aureus juga dapat matang menjadi osteosit dan tetap terinfeksi.
Untuk bertahan hidup intraseluler, S. aureus sering mengadopsi fenotipe varian koloni kecil yang

8
tidak aktif, ditandai dengan pertumbuhan yang lambat dan aktivitas metabolisme yang
berkurang. Berbagai mekanisme dimana S. aureus mampu bertahan hidup intraseluler dalam
tulang untuk waktu yang lama merupakan penyebab utama dari osteomyelitis kronis dan
berulang.

Faktor Host

Kehadiran bakteri di dalam jaringan tulang memicu respons inang, yang mencakup
respons imun bawaan yang terutama didorong oleh PMN, makrofag, dan respons adaptif yang
dimediasi oleh sel T, sel B, dan antibodi spesifik patogen (Gambar 1B). Pada pengenalan bakteri,
kumpulan makrofag di tulang, osteosit, dan osteoblast semuanya tampak mampu mengeluarkan
kemoatraktan untuk memulai masuknya sel imun ke tempat infeksi. Masuknya PMN selama
osteomielitis akut terjadi pada manusia dan model osteomielitis tikus. Makrofag inflamasi
[protein terkait myeloid 8 (MRP8)/MRP14 positif] dan sel T CD4, berpotensi mengaktifkan
PMN juga telah diamati pada manusia. dan banyak sel imun nekrotik hadir dalam model
osteomielitis tikus. PMN dapat secara efisien membunuh planktonik S. aureus melalui
fagositosis, semburan oksidatif, dan produksi peptida antimikroba, sedangkan sekresi sitokin dan
kemokin proinflamasi, seperti tumor necrosis factor (TNF)-a, IL-1b, CXCL2, CXCL3, dan lain-
lain mengaktifkan dan merekrut PMN yang pada akhirnya mengarah pada pembersihan
pathogen. PMN dan makrofag juga menimbulkan respons pertahanan inang langsung
membentuk perangkap ekstraseluler neutrofil, untuk menjebak bakteri, yang akhirnya
dibersihkan oleh sel imun.

Respons imun adaptif terhadap infeksi tulang mencakup respons sel T dan sel B.
Sayangnya, patogen, seperti S. aureus telah mengembangkan banyak mekanisme penghindaran
terhadap respons ini, mengakibatkan osteomielitis kronis. Misalnya, dalam model infeksi
osteomielitis babi, diamati bahwa respons antibodi terhadap S. aureus intraseluler dalam biofilm
condong ke respons imun bias sel T helper tipe 1 dan tipe 17 yang dominan, yang tidak dapat
membersihkan patogen intraseluler secara efektif. Staphylococcus aureus juga dapat
memanipulasi sel B secara efisien, memengaruhi kelangsungan hidup dan fungsinya melalui
sekresi staphylococcus protein A (SpA), yang berhubungan dengan domain Fcy dan Fab dari

9
antibodi tertentu, memblokir fagositosis yang dimediasi antibodi dan secara bersamaan
menyebabkan apoptosis sel B proliferatif.

Selain itu, antibodi spesifik patogen yang diproduksi oleh plasmablast dan sel plasma
yang bersirkulasi seringkali tidak protektif terhadap infeksi tulang kronis. Meskipun penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk memahami hal ini sepenuhnya, mungkin karena SpA, antibodi
interferensi yang disekresikan terhadap S. aureus tidak memberikan perlindungan terhadap
infeksi ulang atau infeksi muskuloskeletal kronis atau bahwa antibodi ini adalah antibodi
nonneutralizing. Faktanya, respons IgG anti S. aureus terhadap antigen tertentu dapat
menyebabkan kematian. Meskipun demikian, respons antibodi ini dapat menjadi biomarker
diagnostik dan prognostik yang berguna untuk mengidentifikasi infeksi ortopedi.

Sebuah ilustrasi mekanistik dari patofisiologi osteomyelitis. Gambar A. Strategi kelangsungan


hidup Staphylococcus aureus dalam tulang untuk menghindari respons dan terapi sel imun
adalah i) membentuk biofilm yang mengandung matriks zat polimer ekstraseluler, ii) tumbuh
sebagai komunitas abses stafilokokus (SAC) sebagai bagian dari abses yang dienkapsulasi, atau
iii ) melakukan kolonisasi intraseluler sel inang. Gambar B. Host: kehadiran bakteri di tulang
memicu masuknya sel imun bawaan. Selama peradangan akut, sel polimorfonuklear (PMN)
mendominasi, dan selama peradangan kronis, jumlah makrofag meningkat. PMN mengeluarkan
sitokin proinflamasi, termasuk IL-1b dan faktor nekrosis tumor (TNF) -a, dan melepaskan
perangkap ekstraseluler neutrofil (NET) untuk memfasilitasi pembunuhan bakteri. Makrofag
condong ke arah penyembuhan luka dan fenotip profibrotik. Respons imun adaptif meliputi
respons sel T dan B. Namun, respons sel-T dimiringkan oleh S. aureus ke arah respons imun bias
sel T helper tipe 1 dan tipe 17. Staphylococcus aureus protein A (SpA) berikatan dengan antibodi
yang disekresikan oleh sel B dan akibatnya memblokir fagositosis yang dimediasi antibodi.
Gambar C. Tulang: kehadiran bakteri mempromosikan i) sel inang untuk mengeluarkan sitokin
resorptif probone, menyebabkan, bersama dengan pengikatan SpA, resorpsi tulang oleh

10
osteoklas, ii) osteoblas untuk membentuk tulang baru karena internalisasi bakteri dan pengikatan
SpA, dan iii) sekresi dari chemoattractants C-X-C motif chemokine ligand 1 (CXCL1) dan C-C
motif chemokine ligand 5 (CCL5) untuk perekrutan PMN dan kemokin pengikat CXCR3
CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 untuk perekrutan limfosit-T oleh osteosit (invasi).

Gambar D. Tinjauan komponen osteomielitis yang berbeda disertai dengan gambar in vivo
sebagai berikut: 1, Staphylococcal Abses Community (SAC) (tanda bintang) dikelilingi oleh sel
imun (panah), seperti yang diamati pada bagian yang tertanam parafin yang diwarnai dengan
hematoksilin dan eosin mengandung murine femur yang terinfeksi S. aureus; 2, biofilm pada
pelat fiksasi keton polieter eter yang dicitrakan dengan pemindaian mikroskop elektron; 3, S.
aureus di dalam kanalikulus osteosit; dan 4, bakteri S. aureus (panah) dalam PMN, keduanya
diamati dengan mikroskop elektron transmisi. Sel hijau, S. aureus; untaian hitam, jaringan
berserat; sel abu-abu, sel mati; sel merah muda, PMN; sel ungu, makrofag; sel oranye, sel
generik; sel merah muda dengan untaian ungu/abu-abu, PMN yang mengalami NETosis; sel
hijau muda, sel T; sel biru, sel B; sel kuning multinuklear, osteoklas; sel kuning, osteoblas; sel
kuning memanjang, osteosit.

Interaksi Bakteri dengan Sel Tulang

Tulang adalah matriks organik termineralisasi yang mengandung osteosit, osteoblas


pembentuk tulang, dan osteoklas penyerap tulang. Ketiga sel tulang dipengaruhi secara langsung
dan tidak langsung oleh S. aureus (Gambar C). Secara langsung, pengikatan SpA ke reseptor
TNF-1 pada osteoblas menghasilkan peningkatan apoptosis dan penurunan diferensiasi dan
deposisi kalsium dari osteoblas. Selain itu, internalisasi S. aureus melalui jembatan pengikat
protein fibronektin A/B-α5β1 integrin mempengaruhi viabilitas dan fungsi osteoblas. Kedua
internalisasi S. aureus dan pengikatan SpA menyebabkan penurunan pembentukan tulang dan
penghambatan mineralisasi matriks. Sebaliknya, infeksi S. aureus meningkatkan pembentukan
tulang periosteal oleh osteoblas (seperti yang ditunjukkan pada kelinci) (Gambar 1A)

11
dibandingkan dengan kontrol yang tidak terinfeksi (Gambar 1B). Osteoklas meningkatkan
kapasitas resorpsi tulang mereka karena TNF dan aksi aktifasi reseptor growth faktor epidermal
melalui SpA yang disekresikan oleh S. aureus. Hal ini mengarah ke pembentukan resorpsi
lakuna dan bagian tulang nekrotik, seperti yang diamati pada biopsi pasien osteomielitis manusia
(Gambar 1C) dan model osteomielitis in vivo (Gambar 1D). Secara tidak langsung, osteoklas
teraktivasi dan meningkatkan aktivitas osteolisis oleh osteoblas, osteosit, dan PMN. Jenis sel ini
mengeluarkan aktivator reseptor ligan NF-kB (RANK-L), yang mendorong osteoklastogenesis
dan mengaktifkan osteoklas untuk menyerap tulang. Osteosit melakukannya sebagai respons
terhadap osteosit sekitarnya yang mengalami apoptosis (misalnya, karena invasi kekosongannya
oleh S. aureus). Selain itu, osteoblas mengatur ekspresi RANK-L saat SpA terikat pada reseptor
TNF-1 dan oleh bakteri internalisasi, sedangkan PMN meningkatkan sekresi RANK-L melalui
aktivasi toll-like receptor 4. PMN juga menggerakkan osteoklastogenesis dan resorpsi tulang
melalui sekresi IL-8. Kontributor lain untuk aktivitas osteoklastogenesis dan osteoklas adalah
inflamasi persisten lingkungan itu sendiri. Ini terjadi awalnya karena sekresi sitokin proresorptif
IL-6, TNF-α, dan IL-1β oleh sel-sel imun dan osteoblas, dan kemudian karena hipoksia yang
dihasilkan dari peradangan persisten.

12
Gambar 1. Infeksi Staphylococcus aureus berdampak dramatis pada tulang. A: Infeksi menyebabkan
pembentukan tulang periosteal, seperti yang diamati pada metil bagian metakrilat dari tibia kelinci yang terinfeksi
diwarnai dengan metilen fuchsin biru/dasar. B: Tidak ada tulang periosteal yang terbentuk pada sampel tibia kontrol.
C dan D: Selanjutnya, infeksi menyebabkan osteonekrosis dan osteolisis oleh osteoklas (panah) secara aktif
menyerap tulang (bintang), seperti yang ditunjukkan pada hematoksilin dan bagian histologis bernoda eosin dari
tertanam parafin biopsi manusia (C) dan tibia tikus (D).

Peran krusial dari osteosit adalah untuk mematangkan dan mempertahankan matriks
termineralisasi, yang dicapai dengan ekspresi enzim mereka yang mampu menghilangkan
mineral secara reversibel dan membentuk kembali fase organik matriks tulang, sebuah proses
yang digambarkan sebagai osteolisis osteositik atau remodeling perilakunar. Keterlibatan proses
ini selama osteomyelitis saat ini kurang dijelaskan, meskipun ekspresi matriks metalloproteinase
diamati diinduksi pada osteosit manusia yang terinfeksi S. aureus, menunjukkan bahwa osteolisis
osteositik dipengaruhi oleh S. aureus. Fungsi lain yang menarik dari osteosit adalah peran
potensial mereka dalam perekrutan sel kekebalan. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan

13
bahwa kultur seperti osteosit manusia yang terpapar S. aureus menghasilkan ekspresi diferensial
lebih dari 1500 gen, termasuk induksi yang kuat dari sejumlah besar kemokin dan sitokin.
Meskipun kemoatraktan PMN klasik, seperti CXCL1 dan kemokin (C-C motif) ligan 5,
terdeteksi, CXC chemokine receptor 3 (CXCR3)-mengikat kemokin CXCL9, CXCL10, dan
CXCL11 juga diekspresikan dalam jumlah besar, menunjukkan kemungkinan partisipasi osteosit
dalam respon imun adaptif terhadap infeksi bakteri dengan merekrut sitotoksik dan/atau subset
T-limfosit supresif ke sel yang terinfeksi. Studi lebih lanjut tentang pengaruh osteosit dalam hal
ini akan menarik. Secara bersama-sama, infeksi S. aureus meningkatkan resorpsi tulang
osteoklastik, memungkinkan osteolisis tulang osteositik, dan menghambat pembentukan tulang,
menyebabkan hilangnya keseluruhan jaringan tulang.
2.2 Metode in Vitro Konvensional untuk Memodelkan Aspek Osteomielitis

Kultur Bakteri dan Biofilm

Metode ini dapat digunakan untuk pengujian senyawa antimikroba dan mengukur kolonisasi
bakteri/pembentukan biofilm berbagai substrat. Salah satu metode paling umum yang saat ini
digunakan untuk menilai efikasi anti-biofilm adalah uji konsentrasi eradiksi biofilm minimum
yang merupakan sistem biofilm 96-sumur menggunakan polystyrene pegs. Biofilm bakteri yang
tumbuh pada pegs dapat diuji secara bersamaan dengan beberapa kombinasi antibiotik pada
konsentrasi yang berbeda untuk menilai bakterisidal dan/atau bakteriostatik dari anitmikroba.

Metode ini juga dapat memeriksa kolonisasi bakteri pada bahan seperti polimetil metakrilat
dan efikasi lapisan antibakteri. Contoh bahan dan pelapis implan ortopedi yang telah diuji untuk
kolonisasi bakteri. Lapisan antibakteri yang menarik yang telah diuji adalah pelapis yang
mengandung aktivator plasminogen jaringan untuk mengaktifkan plasminogen dan
meningkatkan degradasi fibrin. Fibrin dapat membentuk lapisan pada biomaterial dan
mendorong perlekatan patogen terhadap biomaterial. Fibrin juga merupakan komponen matriks
biofilm S. aureus yang memfasilitasi resistensi antibiotik karena penetrasi antibiotik yang buruk
ke dalam biofilm. Terlihat bahwa lapisan yang mengandung aktivator plasminogen jaringan
mengurangi perlekatan bakteri pada biomaterial. Selain itu, bakteri yang melekat lebih rentan
terhadap antibiotik karena bakteri tersebut tidak dilindungi oleh matriks fibrin. Dalam model
tikus di mana implan yang terinfeksi S. aureus ditempatkan secara subkutan, lapisan tersebut
mencegah infeksi yang berhubungan dengan biofilm.

14
Kokultur Bakteri dengan Sel Inang

Dalam upaya untuk meningkatkan kompleksitas dan relevansi studi in vitro, kokultur bakteri
dengan imun inang atau sel tulang yang diidentifikasi sebagai bagian dalam osteomielitis juga
telah dilakukan. Kokultur didefinisikan sebagai kultur yang menggabungkan bakteri dengan
setidaknya satu jenis sel inang.

Berbagai model kokultur osteoblas telah dikembangkan menggunakan sel hewan rodent dan
manusia, serta sel osteoblastik primer manusia. Studi menggunakan kultur osteoblas manusia
yang terinfeksi S. aureus melaporkan bahwa sel inang mengalami kematian sel yang cepat
setelah infeksi. Satu penelitian meneliti respon sel inang terhadap beberapa galur S. aureus pada
multiplisitas infeksi tetap dan menunjukkan bahwa osteoblas primer manusia yang terpajan
secara akut atau untuk jangka waktu singkat tidak mengalami kematian sel. Meskipun relatif
sedikit bakteri intraseluler yang ditemukan, sel-sel primer mengeluarkan tingkat kemokin dan
sitokin sel imun bawaan yang dapat dideteksi, menunjukkan potensi osteoblas untuk
berpartisipasi dalam respons imun bawaan dan kegunaan model ini untuk mempelajari fenomena
ini. Sebuah studi menggunakan sel-sel yang berasal dari eksplan tulang dari caput femoral pasien
yang menjalani operasi hip replacement menemukan bahwa infeksi hingga 48 jam hanya
menghasilkan respons kemokin dan sitokin tingkat rendah, yang ditafsirkan oleh penulis sebagai
indikasi bahwa osteoblas dapat berfungsi untuk menginternalisasi bakteri tetapi tidak
berkontribusi secara signifikan terhadap respon imun bawaan. Ada kemungkinan bahwa
mencocokkan sumber sel primer manusia dan patologi yang sedang diselidiki (osteomielitis)
dapat mempengaruhi hasil percobaan.

Studi lain telah memasukkan biomaterial asing ke dalam model infeksi. Sebuah aplikasi
tipikal adalah kokultur S. aureus dan osteoblas pada permukaan biomaterial untuk memodelkan
apa yang disebut “race for the surface”. Di sini, idenya adalah jika sel inang mengkoloniasasi
biomaterial terlebih dahulu, adhesi bakteri dapat dicegah. Salah satu cara untuk mempelajari
“race for the surface” adalah dengan menyemai ruang aliran dengan stafilokokus dan osteoblas.
Dengan menggunakan metode ini, lapisan berbeda yang mencegah adhesi bakteri dan
selanjutnya mendorong lebih banyak perlekatan sel inang dapat dipelajari, seperti lapisan yang
mengandung antibiotik levofloxacin. Biomaterial yang dilapisi dengan levofloxacin memiliki

15
lebih sedikit S. aureus yang melekat dibandingkan dengan lapisan nonelevofloxacin dan ini
memungkinkan kolonisasi oleh preosteoblas.

Efek S. aureus pada osteoklastogenesis yang diinduksi osteoblas juga telah dipelajari dalam
kokultur. Studi-studi ini mengungkapkan bahwa protein permukaan bakteri dapat mendorong
pembentukan osteoklas karena S. aureus yang difiksasi formaldehida menginduksi ekspresi
RANK-L61 dan sekresi IL-660 oleh osteoblas. Selanjutnya, hal ini membuat remodeling tulang
yang tidak seimbang ini mendukung resorpsi tulang. Selanjutnya, kokultur dari S. aureus dengan
osteoklas telah dilakukan; osteoklas disemai ke matriks kalsium fosfat kristal anorganik yang
menyerupai tulang dengan adanya S. aureus. Infeksi memicu pembentukan osteoklas
multinuklear, yang memiliki area seluler empat kali lipat lebih tinggi daripada osteoklas yang
tidak terinfeksi dan peningkatan kapasitas resorpsi tulang, yang dihasilkan dari aktivasi jalur NF-
kB oleh S. aureus. Oleh karena itu, penargetan aktivitas osteoklas menggunakan obat
antiresorptif, seperti bifosfonat atau denosumab (antibodi monoklonal yang menargetkan RANK-
L), dapat menjadi sarana untuk mencegah osteolisis yang diinduksi infeksi. Bifosfonat atau
denosumab efektif pada pasien dengan osteomielitis mandibula tetapi pemberian obat
antiresorptif ini secara sistemik juga dapat menyebabkan osteonekrosis rahang.

Biofilm bakteri juga dapat dikokultur dengan sel imun. Biofilm imatur dan matur telah
dikokultur dengan PMNs85 untuk menilai fagositosis bakteri dalam biofilm dan migrasi PMN ke
biofilm. PMN bermigrasi ke biofilm dan terlibat dalam fagositosis biofilm, terutama ketika
biofilm dalam keadaan imatur (<6 hari). Biofilm matur kurang sensitif terhadap serangan PMN
daripada biofilm imatur karena biofilm berumur 15 hari secara signifikan lebih sedikit
difagositosis oleh PMN daripada biofilm berumur 2 dan 6 hari. Alasan yang mungkin untuk hal
ini mungkin karena biofilm penutup ECM menjadi matang dari waktu ke waktu, sehingga
mencegah PMN mencapai bakteri dalam biofilm matur yang menetap.

Sepengetahuan kami, hanya satu model multiseluler yang melibatkan bakteri yang
dikokultur dengan tulang dan sel imun inang yang telah dilaporkan. Untuk menyelidiki “race for
the surface” plat polimetil metakrilat, bakteri (S. aureus, Staphylococcus epidermidis, atau
Pseudomonas aeruginosa) dikultur dalam ruang aliran dengan garis sel osteoblas dengan ada
tidaknya makrofag. Terlihat bahwa kolonisasi pelat polimetil metakrilat oleh osteoblas tidak
meningkat dengan adanya makrofag, dan terutama dikolonisasi oleh bakteri. Hal ini sejalan

16
dengan pengamatan klinis di mana, meskipun terdapat sel inang, bakteri memenangkan “race for
the surface”. Kehadiran makrofag memperpanjang kelangsungan hidup osteoblas dalam kultur
multiseluler baik dengan S. aureus atau P. aeruginosa, dan osteoblas mampu tumbuh dan
menyebar dengan adanya S. epidermidis virulensi rendah.

Meskipun model konvensional sangat berguna, namun hanya dapat memodelkan aspek
osteomielitis berikut: pembentukan biofilm dan interaksi bakteri dengan satu atau beberapa jenis
sel inang (Tabel 1).

2.3 Model Infeksi In Vitro 3D Terbaru

Sistem in vitro 3D menjadi standar di banyak bidang biologi, termasuk penelitian


mengenai penyakit-penyakit infeksi. Struktur kultur sel 3D dapat dihasilkan dengan
menggunakan metode berbasis scaffold atau scaffold-free (misalnya, metode floating atau
hanging drop). Karena sel tumbuh dalam lingkungan 3D yang terdiri dari matriks ekstraseluler,
sel dalam model in vitro 3D dapat memiliki interaksi kompleks tidak hanya satu sama lain tetapi
juga dengan matriks ekstraseluler. Dampak dari hal ini antara lain sel dalam kultur 3D tidak
kehilangan polaritas selnya, memiliki viabilitas yang lebih baik, dan memiliki fitur morfologis
yang mirip dengan sel yang diamati secara in vivo. Selain itu, keunggulan model kultur sel 3D
dibandingkan model hewan adalah sel dan cairan manusia dapat digunakan. Ini menarik karena
S. aureus memiliki beberapa fungsi khusus manusia (misalnya, ditunjukkan bahwa
staphylokinase memiliki sedikit aktivitas terhadap plasminogen murine dibandingkan dengan
aktivitas terhadap plasminogen manusia).

17
Model 3D yang dikembangkan untuk infeksi lain mungkin mengandung informasi yang
relevan untuk pengembangan model osteomyelitis in vitro. Di bawah ini dijelaskan mengenai
contoh terbaru dari model infeksi in vitro 3D berdasarkan organoid, bioreaktor rotating wall
vessel (RWV), mikrokoloni dalam gel kolagen, tinta cetak yang mengandung bakteri, tiruan kulit
manusia, model ex vivo, model mikrofluida 3D, dan model osteomielitis 3D. Gambar 3
mengilustrasikan model infeksi in vitro 3D ini.

Kultur organoid yang terinfeksi telah digunakan untuk mempelajari interaksi inang-agen
mikroba untuk beberapa patogen. Organoid adalah versi organ yang disederhanakan, diletakkan
di dalam matriks dengan kondisi lingkungan yang sesuai agar dapat tumbuh sendiri dari sel
punca tunggal. Gambar 3A mengilustrasikan kultur organoid lambung dengan Helicobacter
pylori. Organoid lambung tumbuh dari sel punca lambung, dan model ini telah digunakan untuk
mempelajari perubahan yang disebabkan oleh infeksi pada sel epitel lambung. Telah dibuktikan
bahwa infeksi H. pylori menyebabkan pengaturan jalur NF-kB yang meningkat pada organoid
lambung yang terinfeksi dan, selanjutnya, peningkatan IL-8, suatu kemoatraktan neutrofil yang
memicu peradangan. Dalam model yang lebih kompleks, organoid usus dari garis sel induk
embrionik manusia digunakan untuk mensimulasikan infeksi usus Escherichia coli. Organoid
yang terinfeksi E. coli kemudian ditantang dengan PMN untuk memeriksa respons imun bawaan
secara menyeluruh, seperti produksi spesies oksigen reaktif. Menariknya, infeksi E. coli
mengakibatkan produksi spesies oksigen reaktif oleh PMN dan migrasi PMN, tetapi jumlah
bakteri tidak berkurang.

18
Gambar 3. Ringkasan model infeksi tiga dimensi (3D) dan pro dan kontra dari masing-masing
model dicantumkan. Model infeksi in vitro 3D ini mencakup: (A) kultur organoid usus; (B)
kultur agregat usus menggunakan bioreaktor rotating wall vessel (RWV); (C) mikrokoloni
Staphylococcus aureus dalam gel kolagen; (D) cetakan 3D dengan tinta yang mengandung

19
bakteri; (E) tiruan kulit manusia (F), model tulang ex vivo (G); model 3D mikrofluida; dan (H)
model tulang trabekuler 3D.

Metode lain untuk mendapatkan struktur organ 3D adalah dengan menggunakan


bioreaktor RWV. Sel pertama kali ditanam dalam lapisan tunggal dan dibiarkan membentuk
agregat hingga menjadi kerangka, (seperti butiran kecil berlapis matrik ekstraseluler) kemudian
dipindahkan ke bioreaktor RWV, atau secara langsung mentransfer sel ke dalam bioreaktor
RWV hingga kemudian membentu agregat sendiri. Dalam bioreaktor RWV, sel mengalami gaya
geser rendah dan jatuh di orbit terbatas, kemudian mendorong agregasi sel 3D dan terjadi
diferensiasi. Untuk mempelajari interaksi inang-patogen dengan bioreaktor RWV, agregat 3D
telah dibentuk untuk jaringan (mis. jaringan paru-paru, kandung kemih, dan usus). Agregat usus
3D digunakan untuk mempelajari infeksi Salmonella enterica serovar typhimurium (Gambar
3B). Dalam penelitian ini, bioreaktor RWV menghasilkan agregat usus 3D atau kultur sel epitel
usus kecil lapisan tunggal (digunakan secara standar) terinfeksi S. enterica serovar typhimurium.
Salmonella kurang mampu menempel dan menyerang agregat 3D usus dibandingkan dengan sel
dengan tunggal. Disimpulkanbahwa agregat 3D usus lebih akurat mereplikasi lingkungan in
vivo, di mana sebagian besar S. enterica serovar typhimurium tetap ekstraseluler. Hasil serupa
diamati untuk agregat paru-paru berbentuk bioreaktor RWV yang terinfeksi P. aeruginosa.
Sebaliknya, sel-sel dengan lapisan tunggal mudah ditembus oleh P. aeruginosa, menunjukkan
bahwa agregat pembentuk bioreaktor RWV memungkinkan lebih banyak infeksi in vivo oleh
bakteri mengingat bahwa agregat memiliki lebih banyak junction in vivo yang kompleks.

Mikrokoloni Staphylococcus aureus dalam gel kolagen yang dilengkapi dengan


fibrinogen manusia telah dikembangkan untuk menguji interaksi fagosit-mikroba (Gambar 3C).
Suplementasi gel kolagen dengan fibrinogen dilakukan untuk memfasilitasi pembentukan
pseudokapsul bagian dalam yang tergantung fibrin di sekitar mikrokoloni stafilokokus dan
jaringan mikrokoloni padat di luar yang mengelilingi pseudokapsul. Pembentukan pseudokapsul
bagian dalam terbukti sebagian bergantung pada koagulase, dan pembentukan jaringan
mikrokoloni luar bergantung pada protein pengikat faktor von Willebrand. Ketika diuji dengan
PMN, mikrokoloni stafilokokus dilindungi oleh pseudokapsul bagian dalam dan jaringan padat
mikrokoloni di bagian luar terhadap infiltrasi PMN.

20
Alternatif lain, yaitu penggunaan tinta pencetakan 3D yang mengandung bakteri dibuat
menjadi suatu bentuk tertentu. Acetobacter xylinum, yang menghasilkan selulosa bakteri, telah
dimasukkan ke dalam tinta hidrogel dengan asam hialuronat, k-carrageenan (sejenis agar), dan
mikrosilika (Gambar 3D). Tinta hidrogel sarat bakteri ini tidak beracun bagi bakteri dan telah
berhasil dicetak secara 3D ke dalam berbagai bentuk. Selain itu, karena bakteri yang ada di
dalam hidrogel mempertahankan kemampuan metabolismenya, teknologi ini menghasilkan
bahan fungsional yang dapat digunakan untuk aplikasi biomedis.

Model infeksi yang meneliti interaksi antara organisme komensal kulit, seperti
staphylococci dan epidermin, telah dilakukan dengan tiruan kulit manusia. Kultur tiruan kulit
manusia dikembangkan dengan melapisi fibroblas dan keratinosit, dan kemudian meningkatkan
diferensiasinya melalui paparan udara. Ini menghasilkan tiruan kulit manusia yang terdiri dari
dermis dan epidermis berlapis-lapis, dengan penghalang epitel fungsional yang menghalangi
masuknya bakteri ke dalam dermis. Untuk menginfeksi tiruan kulit manusia, suspensi bakteri
diterapkan di atas model dan bakteri, dalam hal ini S. aureus, dibiarkan mengkolonisasi tiruan
kulit manusia tersebut (Gambar 3E). Pendekatan serupa digunakan untuk mempelajari infeksi
saluran napas; model epitel bronkial digunakan untuk mengklarifikasi perubahan yang terjadi
pada epitel bronkial sebagai respons terhadap infeksi Hemophilus influenza tanpa tipe tertentu,
yang diterapkan secara apikal. Menariknya, H. influenzae tanpa tipe tertentu ini tampaknya
secara khusus bermigrasi ke arah kompartemen stroma model epitel bronkial di mana bakteri
mengeluarkan struktur berbasis lipid.

Model ex vivo telah dibuat untuk menyelidiki kerusakan tulang akibat proses inflamasi.
Untuk model ini, irisan rahang bawah hewan pengerat setebal 1 mm—dikultur dalam permukaan
udara-cairan. Sel terus berkembang biak, dan sintesis protein tidak berubah. Jaringan tidak
terinfeksi bakteri, tetapi inflamasi dicapai dengan melengkapi media dengan lipopolisakarida
dari Porphyromonas gingivalis, menghasilkan peningkatan jumlah osteoklas dalam kultur ex
vivo. Studi lain menggunakan model infeksi tulang manusia ex vivo untuk penyelidikan interaksi
osteosit-bakteri (Gambar 3F). Fragmen tulang segar tanpa sumsum tulang, diperoleh dari pasien
dengan fraktur femur (ukuran 1 mm3) dikultur dengan S. aureus selama 12 jam untuk mencapai
kondisi infeksi. Menariknya, S. aureus menginvasi osteosit dan lacunae dari fragmen tulang ex
vivo, dan sel inang merespons dengan cara yang mirip dengan kultur dua dimensi in vitro dari sel

21
mirip osteosit primer manusia yang terpapar S. aureus. Diusulkan bahwa osteosit dapat menjadi
sel inang yang ideal untuk kelangsungan hidup bakteri dalam jangka panjang, karena ia
mengadopsi fenotipe varian koloni kecil.

Model 3D mikrofluida juga telah dihasilkan, dimana model ini mendorong sel untuk
membentuk struktur 3D mengingat ruang terbatas dan mikrosirkulasi nutrisi dan produk sisa
dalam sistem ini. Untuk pengembangannya, lapisan fibronektin manusia, S. epidermidis, dan
osteoblas diaplikasikan ke dalam perangkat mikofluida. Ini menghasilkan model jaringan tulang
yang terinfeksi yang terdiri dari osteoblas dalam matriks esktraseluler yang diproduksi sendiri
dari serat kolagen dan kristal kalsium fosfat, bersama dengan S. epidermidis yang membentuk
biofilm (Gambar 3G). Model ini memungkinkan pengujian perawatan, seperti antibiotik atau
akselerator penyembuhan luka, dengan menempatkan model 3D mikofluida pada cetakan pola
kecil yang berisi perawatan. Model ini digunakan untuk menguji rifampicin-eluting biphasic
calcium phosphate yang mengandung butiran kecil, dan ditunjukkan bahwa butiran-butiran kecil
ini mempercepat proliferasi osteoblas dan produksi matriks ekstraseluer, sekaligus mencegah
pembentukan biofilm.

Untuk evaluasi efek biofilm pada hematopoiesis selama infeksi sumsum tulang, model
osteomielitis 3D dikembangkan (Gambar 3H). Lebih khusus lagi, model ini adalah analog
sumsum tulang yang terdiri dari kerangka serum albumin sintestis (berasal dari sapi) yang
menyerupai tulang trabekular yang diunggulkan dengan sel punca hematopoietik dan sel stroma
mesenkimal untuk meniru sumsum tulang. Untuk menginfeksi analog sumsum tulang ini, ia
dikultur bersama dengan biofilm dari S. aureus atau P. aeruginosa yang resisten methicillin yang
ditumbuhkan pada pelat titanium sebagai bahan implan yang relevan secara klinis. Pseudomonas
aeruginosa menyebabkan kematian sel, baik sel punca hematopoietik dan sel stroma mesenkim,
sedangkan S. aureus yang resisten terhadap methicillin menstimulasi sekresi IL-6 oleh sel stroma
mesenkim dan gangguan diferensiasi sel punca hematopoietik. Sepengetahuan penulis, ini adalah
hanya melaporkan model in vitro 3D yang secara realistis meniru patofisiologi osteomielitis.
Model ini berfungsi sebagai titik awal yang sangat baik untuk pengembangan model in vitro
osteomielitis 3D lebih lanjut.

22
BAB III
PENUTUP
3.1 Prospek Untuk Model Osteomielitis 3D In Vitro Pengembangan

Model 3D yang telah dijelaskan sebelumnya di bidang penyakit menular lainnya


menawarkan peluang besar untuk menerjemahkan model kemungkinan teknologi model 3D
untuk lebih setia model osteomyelitis. Perancah albumin serum sapi kationisasi yang dijelaskan
sebelumnya yang sebelumnya dijelaskan oleh Raic et al18 menawarkan titik awal yang sangat
baik karena menyerupai sumsum tulang. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa perancah
tersebut juga dapat diunggulkan dengan osteoblas dan osteoklas, di mana osteoblas dapat
membentuk tulang, dan osteoklas dapat menyerap tulang. Selanjutnya, akan menarik untuk
mengadaptasi kultur pemuatan mekanis ex vivo jangka panjang secara mekanis, seperti sistem
Zetos, untuk studi osteomielitis. Dengan sistem Zetos, jaringan tulang kanselus 3D dapat
dipertahankan secara ex vivo di bawah fisiologis dan pembebanan dan/atau pengobatan dengan
berbagai intervensi biokimia dapat diterapkan. Dengan menggunakan sistem Zetos
dikombinasikan dengan tomografi mikroekomputasi (atau teknik pencitraanyang setara),
remodeling tulang sebagai respons terhadap infeksi dapat dipantau yang akan memungkinkan
pengamatan longitudinalperubahan tulang dari waktu ke waktu dan respon terhadap terapi.
Pilihan lain yang menarik adalah menggunakan RWV bioreaktor untuk membudidayakan
sequestra dari tulang atau mimik tulang, dan coculture dengan sel inang untuk model 3D
osteomielitis. Sekali sumber infeksi hadir, model dapat terpapar sel kekebalan yang berbeda pada
beberapa titik waktu. Difusi yang buruk nutrisi, limbah, dan oksigen secara tradisional dianggap
sebagai komplikasi untuk model 3D, tetapi abses tulang yang diinduksi osteomyelitis, yang bisa
dengan demikian dapat dengan mudah diakomodasi dalam sistem model ini.

3.2 Kesimpulan

Fitur utama osteomielitis dari perspektif patogen meliputi pembentukan biofilm;


pembentukan SAC, infeksi intraseluler; fenotip varian koloni kecil dan invasi saluran submikron
dari submikron dari jaringan kanalikuli. Respons imun dan terapi antibiotic sering tidak efektif
melawan bakteri di lokasi ini, yang menyebabkan osteomielitis rekuren kronis dan remodeling
tulang yang mendukung osteolisis.

23
Osteosit sendiri juga dapat berkontribusi terhadap degradasi tulang pada infeksi melalui sekresi
matriks metaloproteinase. Multiseluler, model in vitro 3D dari osteomielitis sekarang juga telah
muncul sebagai pilihan menarik untuk mempelajari patologi osteomielitis menggunakan sel
manusia, yang menawarkan menjanjikan dalam kemajuan pemahaman kita tentang penyakit ini
penyakit ini, sementara juga mengurangi penggunaan hewan

24
DAFTAR PUSTAKA

Hofstee, M. I., Muthukrishnan, G., Atkins, G. J., Riool, M., Thompson, K., Morgenstern, M.,
Stoddart, M. J., Richards, R. G., Zaat, S. A. J., & Moriarty, T. F. (2020). Current Concepts
of Osteomyelitis: From Pathologic Mechanisms to Advanced Research Methods. American
Journal of Pathology, 190(6), 1151–1163. https://doi.org/10.1016/j.ajpath.2020.02.007

25

Anda mungkin juga menyukai