Anda di halaman 1dari 26

TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth :

Dipresentasikan pada :
Hari/Tanggal :
Waktu :

LIMFOGRANULOMA VENEREUM

Oleh:
Made Kusuma Dewi Maharani

Pembimbing :
Dr. dr. AAGP Wiraguna Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH
DENPASAR
2016
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................... ........... i


DAFTAR TABEL.............................................................................. ........... ii
BAB I. PENDAHULUAN................................................................. ........... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3
2.1 Limfogranuloma Venereum............................................................... 3
2.2 Epidemiologi Limfogranuloma Venereum........................................ 3
2.3 Etiologi Limfogranuloma Venereum................................................. 4
2.4 Patogenesis Limfogranuloma Venereum........................................... 6
2.5 Manifestasi Klinis Limfogranuloma Venereum................................ 7
2.5.1 Limfogranuloma Primer............................................................7
2.5.2 Limfogranuloma Sekunder....................................................... 9
2.5.3 Limfogranuloma Tersier........................................................... 12
2.6 Pemeriksaan Penunjang Limfogranuloma Venereum....................... 14
2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium....................................................... 14
2.6.2 Tes Frei..................................................................................... 15
2.6.3 Pemeriksaan Mikroskopik........................................................ 15
2.6.4 Kultur Jaringan..........................................................................15
2.6.5 Pemeriksaan Serologi................................................................15
2.6.5.1 Tes Fiksasi Komplemen............................................. 15
2.6.5.2 Tes Mikroimunofluoresen.......................................... 16
2.6.7 Nucleic Acid Amplification Test (NAAT)................................. 16
2.7 Diagnosis Banding Limfogranuloma Venereum............................... 17
2.8 Komplikasi Limfogranuloma Venereum........................................... 18
2.9 Penatalaksanaan Limfogranuloma Venereum................................... 19
2.9.1 Terapi Antibiotik Sistemik........................................................19
2.9.2 Terapi Pembedahan................................................................... 21
2.10 Pencegahan Limfogranuloma Venereum........................................... 21
BAB III RINGKASAN.................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 24

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Lokasi infeksi primer LGV menentukan limfatik yang terlibat...... 9


Tabel 2. Diagnosis banding LGV.................................................................. 18
Tabel 3. Rekomendasi regimen pengobatan LGV......................................... 20

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Chlamydia trachomatis (badan elementer)...................................... 5
Gambar 2. Siklus hidup Chlamydia trachomatis............................................6
Gambar 3. Lesi erosi di preputium yang tidak nyeri..................................... 8
Gambar 4. Bubo awal dengan pembesaran KGB unilateral.......................... 10
Gambar 5. Bubo inguinal yang ruptur dan mengering.................................. 10
Gambar 6. Sindrom inguinal yang menunjukkan “sign of the groove”......... 11
Gambar 7. Elefantiasis penis dan skrotum “Saxophone penis”..................... 12
Gambar 8. Elefantiasis vulva dengan ulserasi genital kronik........................ 13
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi menular seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan
ekonomi di banyak negara. Infeksi ini terutama ditularkan melalui hubungan seksual, namun
dapat juga melalui ibu kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran serta melalui produk
darah yang tercemar. Risiko terkena IMS mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya migrasi penduduk, berkembangnya sektor pariwisata dan tingkat sosial
masyarakat. Hal ini berdampak pada ekonomi suatu negara untuk mengatasi berbagai
persoalan yang ditimbulkan dari IMS.
Limfogranuloma venereum (LGV) merupakan suatu penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serovar L1, L2 dan L3. Serovar LGV ini bersifat
invasif dan sering diikuti oleh respon inflamasi berat. Limfogranuloma venereum mengenai
sistem pembuluh limfe dan kelenjar limfe tertentu. Perjalanan klinis penyakit ini dibagi
menjadi 3 stadium. Stadium primer ditandai oleh lesi berupa papul yang tidak nyeri dan dapat
sembuh sendiri dalam waktu sekitar 1 minggu. Stadium sekunder berupa proktitis,
limfadenitis, limfadenopati dan stadium tersier berupa limfedema, striktur anal. Mekanisme
terjadinya LGV melibatkan proses trombolimfangitis dan perilimfangitis.1,2
Limfogranuloma venereum bersifat endemik pada negara yang sedang berkembang
seperti Afrika, Asia Tenggara, India, Amerika Selatan dan Karibia. Insiden LGV mencapai 2-
10% di Afrika dan India. Pada kurun waktu 1997-2001 telah dilaporkan 57 kasus LGV di
Indonesia dengan 47 kasus ditemukan pada laki-laki dan 10 kasus pada wanita. Secara historis
angka kejadian LGV sangat rendah pada negara-negara industri sejak pertengahan tahun
1960.3,4 Puncak insiden terjadi pada usia dengan aktivitas seksual yang tinggi sekitar 15-40
tahun. Laki-laki memiliki risiko 5 kali lebih besar dari wanita terkena penyakit ini. Wabah
LGV dilaporkan muncul kembali sejak tahun 2003 di Belanda dan negara Eropa lainnya,
Amerika serta Kanada.5
Keunikan wabah ini yaitu sebagian besar kasus LGV disebabkan oleh C. trachomatis
serovar L2, mengenai kalangan laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL)
dengan gambaran klinis utama berupa proktitis.5 Diagnosis LGV sulit ditegakkan karena
sekitar 5-27% pasien tidak memiliki keluhan atau asimptomatis dan tidak tersedianya
pemeriksaan penunjang. Diagnosis awal LGV sangat penting untuk mencegah komplikasi
yang irreversible. Doksisiklin merupakan pilihan terapi untuk penyakit LGV. Ibu hamil dan
menyusui yang terinfeksi LGV di terapi dengan eritromisin atau azitromisin. Prognosis
umumnya baik bila diagnosis dan pengobatan dilakukan sedini mungkin dengan dosis yang
tepat.2,6
Berdasarkan data tersebut, diagnosis dini dan terapi yang tepat merupakan hal yang
penting dalam menangani kasus LGV. Tinjauan pustaka ini disusun untuk membahas
mengenai manifestasi klinis, penatalaksanaan dan komplikasi LGV.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limfogranuloma Venereum


Limfogranuloma venereum merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
Chlamydia trachomatis serovar L1,L2 dan L3. LGV memiliki manifestasi akut dan kronis
yang bervariasi. Penyakit ini juga dikenal dengan nama tropical bubo, climatic bubo,
strumous bubo, poradenitis inguinalis, penyakit Durand-Nicolas Favre, limfogranuloma
inguinal, limfopatia venera dan the fourth, fifth, sixth venereal disease. Limfogranuloma
venereum mengenai pembuluh limfe dan kelenjar limfe terutama pada daerah genital,
inguinal, anus dan rektum. Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan sekret infeksius,
umumnya melalui berbagai macam hubungan seksual baik oral, genital atau anal.7,8

2.2 Epidemiologi Limfogranuloma Venereum


Limfogranuloma venereum terjadi pada semua usia dengan puncak insiden usia antara 15-40
tahun. Gotz dkk di Belanda melaporkan bahwa wabah LGV mengenai seluruh pasien dengan
rentang usia antara 26-48 tahun. Studi Halioua dkk di Paris menunjukkan bahwa rata-rata usia
pasien dengan LGV adalah 39,2 tahun. Limfogranuloma venereum akut lebih sering
dilaporkan pada laki-laki daripada wanita dengan rasio 5:1. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena kasus pada wanita bersifat asimptomatis.5
Limfogranuloma venereum bersifat endemik pada heteroseksual di sebagian besar
Afrika, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Karibia. Pada tahun 2003 dilaporkan kasus LGV
tersebar sporadis di Eropa, Amerika Utara, Australia, sebagian besar Asia dan Amerika
Selatan. Kasus ini banyak ditemukan terutama di kalangan pelaut, militer dan wisatawan yang
terinfeksi selama melakukan kunjungan ke daerah endemik. Pada tahun 2003 Gotz dkk
melaporkan 13 kasus LGV proktitis pada laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki
dari klinik rawat jalan di kota Rotterdam, Belanda. Wabah LGV diikuti oleh negara-negara
tetangga seperti Prancis, Inggris, Jerman dan Kanada serta Amerika Utara dan Australia.9
Pada bulan Oktober 2004 hingga April 2007 terdapat 327 kasus LGV di Inggris.4 Klint dkk
melaporkan 3 kasus LGV di Swedia pada tahun 2004.10 Liassine dkk di Switzerland
mengkonfirmasi 1 kasus LGV pada seorang laki-laki berusia 31 tahun.11 Pada November
2004 hingga Januari 2006 terdapat 180 kasus LGV, dengan 27 orang diidentifikasi terinfeksi
dari laki-laki homoseksual. Gambaran khas wabah LGV ini yaitu sebagian besar kasus
disebabkan oleh varian baru yaitu L2b (varian Amsterdam), mengenai kalangan LSL,
melakukan hubungan seksual per anal dengan manifestasi klinis berupa lesi genital atau
proktitis.6

2.3 Etiologi Limfogranuloma Venereum


Agen etiologi yang terlibat dalam patogenesis LGV adalah C. trachomatis. C. trachomatis
telah diidentifikasi menjadi 15 serovar yaitu A, B, Ba, C-K, L1-L3. LGV disebabkan oleh C.
trachomatis serovar L1-L3. Serovar L2 dibagi menjadi L2, L2’, L2a dan L2b berdasarkan
perbedaan komponen asam amino. Serovar A-C merupakan penyebab infeksi okular trakoma.
Serovar D-K menyebabkan infeksi urogenital. Serovar A-K hanya terbatas pada mukosa,
sedangkan serovar L1-L3 bersifat lebih invasif.12,13
C. trachomatis merupakan organisme dengan sifat sebagian seperti bakteri dalam hal
pembelahan sel, metabolisme, struktur maupun kepekaan terhadap antibiotika dan sebagian
bersifat seperti virus yaitu memerlukan sel hidup untuk berkembang biak. Berdasarkan hal ini
maka dikatakan bahwa C. trachomatis bersifat parasit obligat intraseluler. Organisme ini
memiliki ukuran lebih kecil dari bakteri, berdiameter 250-500 mm, namun lebih besar dari
ukuran virus pada umumnya. Tanda patognomonik infeksi ini adalah ditemukannya bentukan
badan inklusi Chlamydia di dalam jaringan host. Organisme ini memiliki 2 fase siklus hidup.
Fase 1 (fase non infeksius) atau badan retikuler dan fase 2 (fase penularan) atau badan
elementer.14,15

Gambar 1. Chlamydia trachomatis (badan elementer) dengan menggunakan elektron


fotomikrograf.16

C. trachomatis dibedakan dari organisme yang lain berdasarkan siklus pertumbuhannya


yang unik. Siklus pertumbuhannya diawali dengan perlekatan dan penetrasi pada hospes yang
cocok. Proses perlekatan ini melibatkan reseptor yang spesifik. Molekul heparan sulfat akan
memediasi perlekatan C.trachomatis pada sel hospes yang cocok hingga memicu proses
endositosis dan menghambat fusi fagosom. Siklus hidup C.trachomatis dapat dibagi menjadi
beberapa tahap:
1. Perlekatan partikel awal yang infeksius pada sel hospes
2. Masuknya partikel ke sel hospes
3. Perubahan morfologi menjadi partikel retikuler yang berada di dalam intraseluler dan
mengalami replikasi di dalam vakuola, letaknya melekat pada inti sel hospes. Bentuk ini
disebut sebagai badan inklusi
4. Vakuola yang pecah menyebabkan perubahan morfologi dari partikel retikuler menjadi badan
elementer
5. Pelepasan partikel yang infeksius
Badan elementer relatif resisten terhadap lingkungan ekstraseluler, namun tidak pada metabolit
aktifnya. Partikel ini berubah menjadi metabolit aktif dan terbagi menjadi bentuk yang disebut
badan retikuler dalam waktu 6-8 jam setelah masuk ke dalam sel hospes. Setelah mencapai
stadium badan retikuler, C.trachomatis mensintesis makromolekul RNA, DNA dan protein
menggunakan prekursor dari sel hospes. Glikogen tampak menumpuk dan tampak sebagai inklusi
pada C.trachomatis. Badan retikuler membelah diri melalui fusi biner dalam waktu kurang lebih 8
hingga 18 atau 24 jam setelah masuk sel hospes. Selanjutnya badan retikuler akan berubah
menjadi badan elementer yang infeksius. Dalam waktu 18-24 jam, jumlah badan elementer akan
meningkat. Badan elementer bersifat toksik. Apabila sel hospes memakan >100 partikel badan
elementer, hal ini dapat mematikan sel tersebut.

Gambar 2. Siklus hidup Chlamydia trachomatis.16

2.4 Patogenesis Limfogranuloma Venereum


Limfogranuloma venereum merupakan penyakit jaringan limfatik. C. trachomatis tidak dapat
menembus kulit sehat. Organisme ini masuk ke pembuluh limfatik melalui mikrotrauma pada
kulit atau sel epitel membran mukosa. Kuman patogen menginfeksi kelenjar getah bening dan
menyebabkan limfangitis serta limfadenitis. Prosesnya melibatkan trombolimfangitis dan
perilimfangitis disertai penyebaran reaksi inflamasi kelenjar getah bening yang terinfeksi
menuju ke jaringan sekitar.7,17
Limfangitis ditandai adanya proliferasi sel endotel yang menyebabkan pembesaran
kelenjar getah bening dan pembentukan area nekrosis. Area nekrosis menarik leukosit
polimorfonuklear (PMN) dan membentuk stelate absceses berbentuk segitiga atau segiempat
yang dikelilingi oleh sel epiteloid, makrofag dan giant cell. Abses dapat bergabung dan pecah
spontan membentuk fistula atau saluran sinus. Pada proses inflamasi terjadi penyembuhan
dengan fibrosis setelah beberapa minggu atau bulan. Pembentukan fibrosis akan
menghancurkan struktur normal dari kelenjar getah bening dan menghalangi aliran limfe.7,18
Limfangitis yang kronis progresif menyebabkan edema kronis dan fibrosis sklerosis
sehingga aliran limfe terbendung. Hal ini mengakibatkan striktur dan fistula yang dapat
menyebabkan elefantiasis dari genital, esthiomene dan frozen pelvis syndrome. Fibrosis juga
mengakibatkan gangguan suplai darah menuju kulit atau membran mukosa. Hal ini
menyebabkan terjadinya ulserasi mukosa rektum, inflamasi transmural dinding usus,
obstruksi drainase limfatik, perlekatan antara kolon sigmoid dan rektum ke dinding panggul
atau organ sekitar serta pembentukan striktur fibrotik. Proses patologi pada LGV bersifat
lokal pada satu atau dua kelenjar getah bening, namun organisme ini dapat menyebar secara
sistemik di pembuluh darah dan mencapai sistem saraf pusat. Imunitas host, persistensi
bakteri di jaringan atau infeksi berulang yang diakibatkan serovar serupa atau serovar yang
terkait C. trachomatis berperan penting dalam perkembangan sistemik penyakit ini.7,19

2.5 Manifestasi Klinis Limfogranuloma Venereum


Manifestasi klinis LGV bervariasi tergantung pada jenis kelamin pasien, stadium penyakit dan
cara penularan. Limfogranuloma venereum bersifat kronis progresif dengan 3 stadium klinis
yaitu primer, sekunder dan tersier.
2.5.1 Limfogranuloma primer
Lesi primer LGV muncul dalam bentuk papul yang tidak nyeri, pustul, nodul, erosi yang
dangkal, atau ulkus herpetiform. Lesi muncul setelah masa inkubasi selama 3-30 hari. Lokasi
lesi primer LGV pada laki-laki paling sering di sulkus koronarius, frenulum, preputium, penis,
glans penis, skrotum sedangkan pada wanita di dinding vagina posterior, fourchette, serviks
posterior dan vulva. Lesi primer bersifat sementara, membaik dalam waktu 1 minggu dan
dapat tidak diketahui apabila terdapat lesi di uretra, serviks atau rektum. Sekret mukopurulen
dari uretra, serviks atau rektum dapat muncul tergantung pada tempat inokulasi. Lesi ekstra
genital telah dilaporkan dalam bentuk ulkus dan fisura di area perianal pada LSL, bibir atau
kavum oris (tonsil) dan kelenjar getah bening ekstra genital. Bentuk lesi primer yang jarang
yaitu balanitis, balanopostitis, bubonulus, servisitis, salpingitis atau parametritis.7,8,20

Gambar 3. Lesi erosi di preputium yang tidak nyeri.8

Proktitis akibat rectal intercourse merupakan manifestasi klinis utama dari infeksi
primer pada kalangan LSL. Gejala proktitis berupa nyeri anorektal, perdarahan anorektal, duh
tubuh mukoid dan atau hemopurulen pada rektal, tenesmus, konstipasi, diare dan gejala lain
dari inflamasi saluran gastrointestinal bawah. Studi terbaru menurut Ward dkk (2007) di
Inggris menunjukkan bahwa hampir 96% pasien memiliki gejala dan tanda proktitis. Pada
studi ini gejala dan tanda proktitis yang paling sering ditemui yaitu duh tubuh rektal (79%),
nyeri anorektal (69%) dan perdarahan anorektal (58%). Beberapa kasus infeksi LGV faringeal
pada LSL telah dilaporkan akhir-akhir ini.5,17
2.5.2 Limfogranuloma sekunder
Dua sampai enam minggu setelah muncul lesi primer, terjadi diseminasi melalui kelenjar
getah bening dan hematogen. Limfogranuloma sekunder dapat menyebabkan sindrom
inguinal dan sindrom anorektal bergantung pada lokasi inokulasi. Sindrom inguinal muncul
setelah lesi primer pada vulva anterior, penis atau uretra. Sindrom ini ditandai dengan
keterlibatan kelenjar limfe inguinal dan atau femoral yang sering ditemukan pada laki-laki.
Pada sindrom ini yang terkena yaitu kelenjar limfe inguinal medial yang merupakan kelenjar
regional bagi genitalia eksterna. Episode limfadenitis sering menyembuh secara spontan
dalam 8-12 minggu. Kelenjar getah bening lain dapat terlibat tergantung dari lokasi lesi
primer.18,21,22

Tabel 1. Lokasi infeksi primer LGV menentukan limfatik yang terlibat.7

Bubo inguinal ditemukan pertama kali oleh William Wallace pada tahun 1833. Kulit
disekitar kelenjar limfe terkena menjadi eritema, kelenjar limfe membesar dalam 1-2 minggu
kemudian bergabung membentuk massa padat apabila melibatkan satu atau lebih kelenjar
limfe yang berdekatan, nyeri berdenyut, tidak bisa digerakkan. Kondisi ini disertai dengan
peningkatan denyut nadi (takikardi), demam tinggi, nafsu makan menurun dan gangguan
tidur. Gejala konstitusi yang muncul berkaitan dengan penyebaran sistemik dari C.
trachomatis. Manifestasi penyebaran sistemik yang jarang seperti meningoensefalitis,
pneumonitis, hepatitis, hepatosplenomegali, arthritis dan iritis. Kelenjar limfe mengalami
perlunakan yang tidak serentak ditandai dengan fluktuasi pada 75% kasus dan terbentuk abses
multipel. Kulit yang melapisi bubo berubah warna menjadi merah kebiruan (blue balls) yang
menandai adanya ruptur bubo. Bubo yang ruptur akan keluar mengalir ke kulit melalui
pembentukan saluran sinus pada 1/3 kasus. Bubo juga dapat berkembang menjadi massa yang
keras dan pecah tanpa mengalami supurasi. Keterlibatan kelenjar limfe unilateral terjadi pada
2/3 kasus.7,8,20
Gambar 4. Bubo awal berupa pembesaran KGB unilateral yang berkoalesen. Kulit
dibawahnya eritema dan berindurasi.8

Gambar 5. Bubo inguinal yang ruptur dan mengering.18


Pembesaran kelenjar limfe inguinal dan femoral yang dipisahkan oleh ligamentum
inguinal Pouparti menyebabkan terbentuknya celah yang disebut sign of groove (Greenblatt’s
sign). Tanda ini patognomonik untuk LGV, namun hanya ditemukan pada 15-20% kasus.
Pembesaran kelenjar femoralis, inguinalis superfisialis dan profundus menyebabkan bentukan
seperti tangga yang disebut ettage bubo. Sindrom inguinal hanya ditemukan 20-30% pada
wanita. Lesi primer wanita terutama pada vagina 2/3 atas dan serviks. Keterlibatan lesi primer
rektum dijumpai pada wanita yang reseptif anal seks. Pada lokasi ini, drainase limfatik ke
kelenjar limfe iliaka profundus/perirektal. Hal ini menyebabkan limfadenopati intraabdominal
atau retroperitoneal dengan gejala nyeri abdomen bawah atau nyeri punggung bawah (low
back pain).6,7,8

Gambar 6. Sindrom inguinal yang menunjukkan “sign of the groove”. 23

Sindrom anorektal akut ditandai dengan keterlibatan kelenjar limfe perirektal, proktitis
hemoragik akut dan gejala sistemik. Sindrom ini merupakan gambaran umum pada wanita
dan laki-laki homoseksual yang melakukan anal seks. Gejalanya berupa pruritus ani,
perdarahan anus yang diikuti duh anal purulen, tenesmus, diare, konstipasi dan nyeri abdomen
bawah. Studi terkini menunjukkan 96% pasien LSL disertai gejala dan tanda proktitis.
Sebagian besar kasus LSL disertai Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif, namun
gambaran klinis antara kasus HIV positif dan HIV negatif tidak dibedakan.8,18
2.5.3 Limfogranuloma tersier
Limfogranuloma venereum sering juga disebut sebagai sindroma genitoanorektal atau
anogenitorektal. Stadium ini banyak ditemukan pada wanita dengan sindrom anorektal yang
tidak diterapi dan laki-laki homoseksual. Mukosa rektal wanita terinokulasi langsung saat
berhubungan anal atau melalui penyebaran limfatik dari serviks dan dinding posterior vagina.
Pada laki-laki, mukosa rektal terinokulasi langsung dengan Chlamydia saat berhubungan anal
atau melalui penyebaran limfatik dari uretra posterior. Gambaran khasnya berupa proktitis
atau proktokolitis kronis diikuti pembentukan abses perirektal, striktur anorektal, stenosis
rektal, sinus perineal, fistula rektovaginal/rektovesika, fistula anal, limfedema genital
(elefantiasis genital), esthiomene dan lymphorrhoids (hiperplasia jaringan limfatik perirektal).
Sindrom inguinal yang tidak diterapi dapat menyebabkan terbentuknya fibrosis pada kelenjar
inguinal medial. Akibatnya aliran limfe terbendung dan terjadi edema serta elefantiasis. Pada
pria, elefantiasis terjadi di penis dan skrotum, sedangkan wanita di labia dan klitoris. Edema
pada penis dan skrotum sering disebut “saxophone penis”. Elefantiasis penoskrotal muncul 1-
20 tahun setelah infeksi. Jika meluas terbentuk elefantiasis genitoanorektal yang disebut
sindrom Jersild.6,8,18

Gambar 7. Elefantiasis penis dan skrotum “Saxophone penis”.24


Esthiomene berawal dari infeksi primer pada kelenjar limfe skrotum, penis dan vulva
yang mengalami limfangitis kronis progresif, edema kronis dan sklerosis fibrosis jaringan
subkutan. Hal ini menyebabkan terjadinya indurasi, pembesaran bagian yang terkena dan
akhirnya menjadi ulserasi. Pada tahap awal, ulserasi terjadi superfisial namun kemudian
menjadi invasif dan destruktif. Sebagian besar pasien dengan esthiomene adalah wanita.
Ulserasi kronis terasa sangat nyeri dengan lokasi tersering di permukaan eksternal labium
mayor, lipatan genitokrural dan bagian lateral perineum. Pada wanita dapat terjadi
pembentukan papiler di mukosa meatus uretra, berupa tumor poliploid pada permukaan
elefantiasis akibat tekanan paha yang disebut buchblatt condiloma. Infertilitas dan “frozen
pelvis syndrome” merupakan sekuele dari ruptur kelenjar limfe pelvis profundus pada wanita.
Konjungtivitis folikuler disertai dengan limfadenitis maksila dan aurikula posterior dapat
terjadi pada setiap stadium LGV. Infeksi konjungtiva akibat autoinokulasi dari sekret genital
yang infeksius. Kondisi ini serupa dengan Parinaud’s oculoglandular syndrome. Lesi primer
LGV pada mulut dan faring akibat felasio atau cunnilingus, sehingga menyebabkan
limfadenitis kelenjar limfe submaksila atau servikal.6,7,20
Gambar 8. Elefantiasis vulva dengan ulserasi genital kronik.25

2.6 Pemeriksaan Penunjang Limfogranuloma Venereum


Diagnosis LGV ditegakkan melalui anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding dan membedakan
serovar C. trachomatis dengan serovar lainnya. Pemeriksaan penunjang untuk LGV terdiri
dari berbagai macam diantaranya:
2.6.1 Pemeriksaan laboratorium
Pada gambaran darah tepi tampak leukositosis ringan dengan peningkatan monosit dan
eosinofil berkaitan dengan adanya bubo dan LGV anogenitorektal. Leukositosis PMN yang
signifikan ditemukan pada bubo yang superinfeksi dengan bakteri piogenik. Laju endap darah
(LED) juga mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan keaktifan dari penyakit, namun
tidak khas untuk LGV. Abnormalitas laboratorium klinis lain yang ditemukan berupa
peningkatan konsentrasi gamma globulin yang disebabkan oleh peningkatan IgA, IgG dan
IgM.7,14

2.6.2 Tes Frei


Tes Frei merupakan tes intradermal pertama yang dikembangkan pada tahun 1925. Tes ini
bergantung pada delayed hypersensitivity reaction yang serupa dengan tes tuberkulin. Antigen
Frei berasal dari pus bubo yang tidak ruptur. Pus diencerkan dengan salin dan disterilisasikan
dengan pemanasan. Antigen berisiko terkontaminasi bakteri dan virus serta mudah
terinaktivasi karena overheating. Hasil positif menunjukkan adanya infeksi saat ini atau
infeksi lampau. Tes Frei akan tetap positif selama beberapa tahun dan dapat seumur hidup
meskipun telah diterapi.5,7
Kultur LGV pada yolk sac embrio ayam merupakan awal pembuatan antigen yang
terstandardisasi (Lygranum) secara komersial pada tahun 1940. Injeksi intradermal 0,1mL
Lygranum pada kulit lengan bawah dan material yolk sac pada lengan bawah tangan yang lain
sebagai kontrol. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam. Hasil positif bila ditemui papul dengan
diameter minimal 6x6 mm. Pada kontrol tampak papul dengan diameter 5x5 mm atau lebih
kecil.7,26
Hasil tes Frei menjadi positif apabila muncul bubo 2-8 minggu setelah infeksi. Pada
95% pasien LGV dengan bubo dan 90% pasien LGV dengan elefantiasis genital ulseratif
menunjukkan hasil tes frei positif. Kerugian tes ini adalah sensitivitas rendah pada stadium
awal LGV dan spesifisitas terbatas karena reaksi silang dengan C. trachomatis serovar D-K.
Pembuatan antigen Frei tidak dilanjutkan lagi secara komersial pada tahun 1974.5,7

2.6.3 Pemeriksaan Mikroskopik


Pemeriksaan ini menggunakan sarana obyek gelas. Bahan diambil dari sekret atau jaringan
terinfeksi. Bahan yang diperiksa diwarnai dengan pewarnaan giemsa, iodine atau metode
pewarnaan antibodi fluoresen dan diperiksa dibawah mikroskop cahaya biasa. Hasil positif
apabila ditemukan badan inklusi Chlamydia yang nampak berwarna ungu tua pada pewarnaan
giemsa. Kerugian tes ini adalah spesimen sering terkontaminasi bakteri dan artefak lain,
sensitivitas rendah dan tidak dianjurkan pada infeksi asimptomatik.7,14

2.6.4 Kultur Jaringan


Kultur C. trachomatis menunjukkan bukti langsung adanya infeksi Chlamydia, namun metode
ini jarang tersedia. Organisme ini dapat diisolasi dari jaringan yang terinfeksi atau sekret
dengan cara inokulasi pada otak tikus, yolk sac atau kultur jaringan. Pus bubo adalah bahan
klinis paling praktis untuk dilakukan inokulasi. Aspirasi bubo harus dilakukan dengan injeksi
2-5 ml saline steril untuk mendapatkan sejumlah cairan dari aspirasi. Media yang digunakan
untuk isolasi Chlamydia adalah Hella-229 dan McCoy tissue culture cell lines.1,6,7

2.6.5 Pemeriksaan Serologi


2.6.5.1 Tes Fiksasi Komplemen
Tes serologi fiksasi komplemen dapat membantu diagnosis LGV. Tes ini lebih sensitif dan
positif lebih awal dibandingkan tes Frei. Metodenya dengan cara mengukur kadar antibodi
yang melawan antigen lipoposakarida (LPS) spesifik dari bakteri. Tes ini spesifik untuk genus
Chlamydia sehingga tidak dapat membedakan antara infeksi C. trachomatis, C. psittaci dan C.
pneumonia. C. trachomatis bersifat invasif sehingga titer antibodi pada LGV lebih tinggi
dibandingkan C. trachomatis serovar D-K. Berdasarkan Center for Disease Control and
Prevention (CDC) titer fiksasi komplemen 1:64 atau lebih menunjukkan infeksi LGV aktif
serta dapat ditemui pada pasien asimtomatis dan dengan infeksi Chlamydia lain. Titer
dibawah 1:64 pada pasien yang secara klinis diduga LGV harus diinterpretasikan secara hati-
hati.7,19

2.6.5.2 Tes Mikroimunofluoresen


Tes mikroimunofluoresen lebih sensitif dan spesifik dibandingkan tes fiksasi komplemen. Tes
ini dapat mendeteksi antibodi yang spesifik terhadap serovar dari C. trachomatis. Hasil tes
positif apabila titer lebih besar dari 1:256. Pada LGV fase akut didapatkan titer antibodi
imunofluoresense yang tinggi. Kekurangan tes ini adalah dapat bereaksi dengan strain C.
trachomatis lain sehingga peningkatan titer antibodi tidak dapat diandalkan dalam
mendiagnosis LGV. Tes ini hanya tersedia di laboratorium khusus penelitian dan tidak
tersedia komersial.6,7

2.6.6 Nucleic Acid Amplification Test (NAAT)


Diagnosis LGV sulit ditegakkan karena tidak ada tes yang mudah tersedia untuk
membedakan antara infeksi C. trachomatis serovar D-K dengan serovar L. Teknologi
Polymeration Chain Reaction (PCR) adalah NAAT pertama yang digunakan untuk
mendeteksi asam nukleat spesifik C. trachomatis. Tes ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas
tinggi untuk mendiagnosis infeksi Chlamydia. Deteksi serovar C. trachomatis dapat
menggunakan sampel deoxyribonucleic acid (DNA) dari: (1) swab lesi primer anogenital
(eksudat dasar ulkus) (2) swab mukosa rektal (apabila curiga LGV anorektal) (3) aspirasi
kelenjar limfe yang membesar atau fluktuan atau bubo (apabila curiga LGV inguinal) (4)
swab uretra atau first catch urine specimen (apabila ada uretritis dan atau limfadenopati
dengan kecurigaan ke arah LGV). Prosedur yang dilakukan terdiri dari 2 tahapan. Tahap
pertama adalah C. trachomatis NAAT test (tes untuk mengkonfirmasi adanya C. trachomatis
dan tidak dapat mengidentifikasi serovar C. trachomatis). Tes NAAT tidak diperbolehkan
menguji sampel dari lesi ekstragenital, namun beberapa studi menunjukkan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi pada infeksi rektal chlamydia. Prosedur tahap kedua adalah LGV
biovar spesifik DNA NAAT dari sampel yang sama digunakan pada prosedur tahap pertama.
Peningkatan penggunaan tes ini diharapkan dapat membantu diagnosis awal LGV agar pasien
dapat segera diberikan terapi yang tepat dan mencegah sekuele kronis LGV.6,7,27
2.7 Diagnosis Banding Limfogranuloma Venereum
Diagnosis banding LGV sangat bervariasi tergantung pada stadiumnya. Berikut tabel
mengenai diagnosis banding LGV berdasarkan stadiumnya:

Tabel 2. Diagnosis banding LGV.8


2.8 Komplikasi Limfogranuloma Venereum
Ruptur bubo menyebabkan pembentukan sinus yang membutuhkan waktu lama untuk
sembuh. Limfogranuloma venereum tersier juga menyebabkan striktur anorektal dan fistula
serta elefantiasis penis dan vulva. Komplikasi sistemik seperti hepatitis dan meningitis jarang
terjadi pada LGV. Dougan dkk (2007) di Eropa Barat melaporkan sekitar 75% dari seluruh
kasus LGV disertai dengan seropositif HIV. Hal ini menunjukkan bahwa adanya lesi LGV
meningkatkan risiko terkena HIV.28 Macdonald dkk (2005) di Inggris melaporkan bahwa
sebanyak 21% pasien LGV terkait dengan hepatitis C.29 Gotz dkk (2005) melaporkan 5 kasus
LGV disertai hepatitis C selama wabah LGV di Belanda.30 Berdasarkan temuan tersebut
disimpulkan bahwa LGV juga meningkatkan risiko terinfeksi hepatitis C. Studi saat ini
menunjukkan hubungan antara LGV dengan sexually acquired reactive arthritis (SARA)
pada individu dengan human leucocyte antigen-B27 (HLA-B27).8
2.9 Penatalaksanaan Limfogranuloma Venereum
2.9.1 Terapi antibiotik sistemik
Regimen terapi yang tepat dapat mengobati infeksi dan mencegah kerusakan jaringan lebih
lanjut. Limfogranuloma venereum menyebabkan infeksi berat dengan sekuele yang tidak
dapat kembali seperti normal jika terapi tidak adekuat. Diagnosis awal dan akurat sangat
penting untuk penyakit ini. C. trachomatis harus diterapi dengan obat antibakterial yang
mencapai konsentrasi tinggi pada intraseluler. Obat-obat yang bersifat intracellular-acting
agents yaitu doksisiklin, eritromisin, azitromisin serta golongan quinolon tertentu. Doksisiklin
merupakan terapi utama untuk penyakit ini. Pada wanita hamil dan menyusui diterapi dengan
eritromisin atau azitromisin. Selama terapi pasien harus di follow up hingga tanda dan gejala
penyakit telah sembuh.6,31,32

Tabel 3. Rekomendasi regimen pengobatan untuk LGV.6


Penatalaksanaan LGV tidak hanya terbatas pada pasien saja, namun juga pasangan
seksualnya. Pada pasien yang terdiagnosis LGV, maka pasangan seksual selama 30 hari
terakhir juga harus dievaluasi. Apabila menunjukkan gejala klinis, maka harus diterapi seperti
pasien yang telah terdiagnosis LGV. Pasangan seksual yang tidak menunjukkan gejala atau
asimptomatis harus diterapi dengan doksisiklin 100 mg 2 kali sehari diberikan selama 7 hari
per oral atau azitromisin 1 gram dosis tunggal per oral.6,33,34

2.9.2 Terapi pembedahan


Terapi pembedahan sindroma inguinal terbatas pada aspirasi kelenjar limfe yang fluktuan dan
insisi atau drainase abses. Risiko insisi atau aspirasi bubo yang fluktuan berupa pembentukan
sinus. Ekstirpasi pembedahan bubo berisiko terjadi elefantiasis paska operasi pada genital.
Elefantiasis ini disebabkan oleh karena adanya hambatan drainase limfatik. Resolusi spontan
fibrosis striktur rektal LGV tidak pernah terjadi. Proses inflamasi dan diameter striktur dapat
membaik dengan terapi antibiotik. Dilatasi striktur menggunakan elastic bougies dibawah
pengawasan langsung mungkin perlu dilakukan tetapi dapat menyebabkan resiko perforasi
usus yang signifikan. Tindakan ini hanya terbatas pada striktur yang kecil dan pendek, tidak
meluas hingga peritoneal dan harus dihindari bila striktur rapuh atau terjadi perdarahan.7,35
Berbagai prosedur pembedahan dibutuhkan untuk striktur rektal yang berat. Indikasi
operasi apabila didapatkan obstruksi usus, fistula rektovaginal persisten, dan destruksi pada
kanal anal, spinter ani dan perineum. Operasi plastik pada vulva, penis dan skrotum
dipertimbangkan pada esthiomene dan elefantiasis genital. Semua prosedur ini membutuhkan
antibiotik dan disarankan antibiotik diberikan selama beberapa bulan sebelum dilakukan
tindakan pembedahan.7,8

2.10 Pencegahan Limfogranuloma Venereum


Pencegahan LGV berfokus pada identifikasi dan terapi pada pasien yang terinfeksi
LGV atau terduga LGV. Pasien harus segera mendapatkan terapi antibiotik jika gejala klinis
mendukung ke arah infeksi LGV. Hal ini untuk mencegah reinfeksi dan mengeliminasi
sumber penularan. Mengingat adanya peningkatan prevalensi dari anorektal LGV pada
kalangan LSL di Eropa Barat dan Amerika Serikat, maka setiap pasien yang datang dengan
gejala proktitis patut diwaspadai. Penggunaan kondom dan tidak berganti-ganti pasangan
merupakan pencegahan yang paling utama.6,36
BAB III
RINGKASAN

Limfogranuloma venereum merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh C.


trachomatis serovar L1, L2 dan L3. Limfogranuloma venereum mengenai pembuluh limfe
dan kelenjar limfe terutama pada daerah genital, inguinal, anus dan rektum. Manifestasi klinis
LGV bervariasi tergantung pada jenis kelamin pasien, stadium penyakit dan cara penularan.
Penyakit ini dibagi menjadi 3 stadium yaitu stadium primer, stadium sekunder dan stadium
tersier. Penularan terjadi melalui hubungan seksual baik melalui oral, genital atau anal.
Mekanisme LGV melibatkan proses trombolimfangitis dan perilimfangitis.
Diagnosis LGV sulit ditegakkan, karena sebagian besar pasien tidak disertai dengan
keluhan atau asimptomatis. Beberapa pemeriksaan penunjang untuk LGV memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Butuh kemampuan seorang tenaga medis dalam
menegakkan diagnosis LGV berdasarkan anamnesis dan gejala klinis dengan terlebih dahulu
menyingkirkan diagnosis banding yang lain. Diagnosis awal LGV sangat penting untuk
mencegah komplikasi yang irreversible.
Doksisiklin merupakan pilihan terapi utama untuk LGV. Pada ibu hamil dan menyusui
yang terinfeksi LGV disarankan pemberian eritromisin atau azitromisin. Pasien harus di
follow up selama terapi, hingga tanda dan gejala penyakit telah sembuh. Evaluasi infeksi LGV
juga dilakukan pada pasangan seksual selama 30 hari terakhir. Tindakan pembedahan
disarankan pada beberapa kondisi tertentu. Hal yang paling penting agar tidak terinfeksi
penyakit ini adalah dengan melakukan tindakan pencegahan berupa penggunaan kondom dan
tidak berganti-ganti pasangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. White J., O’Farrell N., Daniels D. 2013 UK National Guideline for the management of
lymphogranuloma venereum. International Journal of STD & AIDS. 2013; 24(8): 593-
601.
2. Workowski K.A. and Bolan G.A. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines
2015. MMWR. 2015; 64(3): 33-4.
3. Stock I. and Henrichfreise B. Infection with Chlamydia Trachomatis. Med Monatsschr
Pharm. 2012; 35: 209-22.
4. Jebbrari H., Alexander S., Ward H. UK LGV Incident Group. Update On
Lymphogranuloma Venereum in the United Kingdom. Sex Transm Infect. 2007; 83:
324-6.
5. Kapoor S. Re-emergence of lymphogranuloma venereum. JEADV. 2008; 22: 409-16.
6. Ceovic R. and Gulin S.J. Lymphogranuloma venereum: diagnostic and treatment
challenges. Infection and Drug Resistance. 2015; 8: 39-47.
7. Stamm W.E. Lymphogranuloma Venereum. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stamm
W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., Cohen M.S. and Watts D.H, editors. Sexually
Transmitted Diseases. 4thed. United States of America: Mc-Graw Hill Companies;
2008.p.595-605.
8. Ishak R.S. and Ghosn S.H. Lymphogranuloma Venereum. In: Goldsmith L.A., Katz S.I.,
Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffell D.J., Wolff K., editors. Fitzpatrick's Dermatology
in General Medicine. 8thed. New York: McGraw Hill; 2012.p.2505-10.
9. Gotz H.M., Ossewaarde J.M., Nieuwenhuis R.F. A Cluster of Lymphogranuloma
venereum among homosexual men in Rotterdam with implications for other countries
in western Europe. Ned Tijdschr Geneeskd. 2004; 148: 441-2.
10. Klint M., Lofdahl M., Ek C., Airell A., Berglund T., Herrmann B. Lymphogranuloma
venereum prevalence in Sweden among men who have sex with men and
characterization of Chlamydia trachomatis ompA genotypes. J Clin Microbiol. 2006;
44: 4066-71.
11. Liassiane N., Caulfield A., Ory G. First confirmed case of lymphogranuloma venereum
(LGV) in Switzerland. Euro Surveill. 2005; 10: E050714.4
12. Stark D., Hal S.V., Hillman R., Harkness J. and Marriot D. Lymphogranuloma Venereum
in Australia: Anorectal Chlamydia trachomatis Serovar L2b in Men Who Have Sex
With Men. J of Clin Microbiology. 2007; 45(3): 1029-31.
13. Spaargaren J., Fennema H.S., Morre S.A., De Vries H.J., Coutinho R.A. New
Lymphogranuloma venereum Chlamydia trachomatis variant Amsterdam. Emerg
Infect Dis. 2005; 11: 1090-2.
14. Sentono H.K. Limfogranuloma Venereum. Dalam: Daili S.F., Makes W.I.B., Zubier F.,
Judanarso J., editor. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Kelompok Studi Penyakit
Menular Seksual Indonesia; 2010. Hal. 128-34.
15. Abdelrahman Y.M. and Belland R.J. The chlamydial developmental cycle. FEMS
Microbiology Reviews. 2005; 29: 949-59.
16. Schachter J. and Stephens R.S. Biology of Chlamydia trachomatis. In: Holmes K.K.,
Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., Cohen M.S. and Watts
D.H, editors. Sexually Transmitted Diseases. 4thed. United States of America: Mc-
Graw Hill Companies; 2008.p.555-574.
17. Richardson D. and Goldmeier D. Lymphogranuloma venereum: an emerging cause of
proktitis in men who have sex with men. International Journal of STD & AIDS. 2007;
18: 11-15.
18. Stary A. and Stary G. Sexually Transmitted Infections. In: Bolognia J.L., Jorizzo J.L. and
Schaffer J.V. editors. Dermatology. 3rded. China: Elsevier; 2009.p.1386-7.
19. Stary G. and Stary A. Lymphogranuloma venereum outbreak in Europe. JDDG. 2008; 6:
935-9.
20. James W.D., Berger T.G., Elston D.M. Andrews’ diseases of the skin clinical
dermatology. 11th ed. USA: Elsevier. 2011.p.285-6.
21. De Vries H.J.C., Zingoni A., Kreuter A., Moi H., and White J.A. 2013 European
guideline on the management of lymphogranuloma venereum. JEADV. 2015; 29: 1-6.
22. Simms I., Ward H., Martin I., Alexander S. and Ison C. Lymphogranuloma venereum in
Australia. Sexual Health. 2006; 3: 131-3.
23. Kinghorn G.R. Syphilis and Bacterial Sexually Transmitted Infections. In: Burns T.,
Breathnach S., Cox N., Griffiths C. editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed.
Wiley-Blackwell: United Kingdom; 2010.p.34.32-4.
24. Gupta G., Achar D.R., Bhandari B. Lymphogranuloma venereum: Saxophone penis with
bilateral groove sign. Med J DY Patil Univ. 2013; 6: 490-1.
25. Pai A., Umadevi V., Narayanasamy S. Esthiomene: An unusual presentation of
elephantiasis. IJCRI. 2012; 3(9): 57-59.
26. Peate I. Sexually transmitted infections in men who have sex with men. Br J Nurs. 2012;
21: 811-5.
27. De Vries H.J.C. and Morre S. Lymphogranuloma Venereum: A Concise Outline of an
Emerging Infection among Men Who Have Sex With Men. In: Black C.M. eds.
Chlamydial Infection: A Clinical and Public Health Perspective. Basel: Karger;
2013.vol 7.p.151-7.
28. Dougan S., Evans B.G., Elford J. Sexually transmitted infection in western europe among
HIV-positive men who have sex with men. Sex Trans Dis. 2007; 34(10): 783-90.
29. Macdonald N., Ison C., Martin I. Initial results of enhanced surveillance for
lymphogranuloma venereum (LGV) in England. Euro Surveill. 2005; 10: E050127.5.
30. Gotz H.M., Van Doornum G., Niesters H.G., den Hollander J.G., Thio H.B., de Zwart O.
A Cluster of acute hepatitis C virus infection among men who have sex with men-
results from contact tracing and public health implication. AIDS. 2005; 19: 969-74.
31. De Vrieze N.H.N. and De Vries H.J.C. Lymphogranuloma venereum among men who
have sex with men. An epidemiological and clinical review. Expert Rev. Anti Infect.
Ther. 2014; 12(6): 697-704.
32. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted diseases treatment
guidelines 2006. MMWR Recomm Rep. 2006; 55: 1-94.
33. Van der Bij A.K., Spaargaren J., Morre S.A. Diagnostic and clinical implications of
anorectal lymphogranuloma venereum in men who have sex with men: a retrospective
case control study. Clin Infect Dis. 2006; 42(2): 186-94.
34. De Vries H.J., Zingoni A., White J.A., Ross J.D., Kreuter A. 2013 European guideline on
the management of proctitis, proctocolitis and enteritis caused by sexually
transmissible pathogens. Int J STD AIDS. 2013; 25(7): 465-74.
35. Modolin M., Mitre A.I., da Silva J.C. Surgical treatment of lymphedema of the penis and
scrotum. Clinics. 2006; 61: 289-94.
36. Annan N.T., Sullivan A.K., Nori A. Rectal chlamydia- a reservoir of undiagnosed
infection in men who have sex with men. Sex Transm Infect. 2009; 85(3): 176-9.

Anda mungkin juga menyukai