Anda di halaman 1dari 42

Disajikan pada tanggal:

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Toksoplasma pada Anak

Oleh:

Abudzar Alghifari

NIM. 16507010xxx

Residen Pembimbing :

dr. Fika

Supervisor Pembimbing:

dr. Savitri Laksmi Winaputri, SpA(K)

LABORATORIUM/ SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG

2022
DAFTAR ISI

Halaman

Daftar isi ........................................................................................................................ ii

Daftar Tabel .................................................................................................................. iv

Daftar Gambar .............................................................................................................. v

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………...................... 1

1.2 Tujuan ...................…………………………………………………....................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ..........................................……………...........……………………......... 3

2.2 Epidemiologi ..…………………………………………........................................ 3

2.3 Faktor Risiko ................................................................................................... 4

2.4 Parasit Toxoplasma gondii .......………………………………………................ 7

2.4.1. Morfologi .............................................................................................. 9

2.5. Patofisiologi ................................................................................................... 12

2.5.1. Transmisi Vertikal ................................................................................ 13

2.6. Manifestasi Klinis .......................................................................................... 14

2.7. Penegakan Diagnosis ................................................................................... 16

2.7.1. Diagnosis Prenatal .............................................................................. 18

2.7.2. Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 19

2.8. Tatalaksana ................................................................................................... 22

2.8.1. Tujuan ................................................................................................... 22

2.8.2. Pengobatan pada Ibu Hamil ................................................................. 23


2.8.3. Pengobatan pada Bayi ......................................................................... 26

2.9. Toksoplasma dan Permasalahan Tumbuh Kembang ................................... 26

2.9.1. Korioretinitis ......................................................................................... 27

2.9.2. Keterlibatan SSP .................................................................................. 29

2.10. Pencegahan Infeksi Toksoplasma pada Ibu Hamil ...................................... 30

BAB 3 PENUTUP

3.1 Penutup ...............………………………………………………………................. 32

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 34


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Faktor Risiko Toksoplasmosis di Indonesia ........................................... 5

Tabel 2.2 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Serologis Toksoplasma ....... ................ 17


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Distribusi Toksoplasmosis .................................................................. 6

Gambar 2.2 Daur Hidup Toxoplasma gondii .......................................................... 8

Gambar 2.3 Toxoplasma gondii stadium Tachyzoites ............................................ 10

Gambar 2.4 Toxoplasma gondii stadium Ookista ................................................... 11

Gambar 2.5 Bentukan parasit yang dapat Menginfeksi Ibu Hamil ......................... 11

Gambar 2.6 Linimasa Perkembangan Antibodi Infeksi Toksoplasma ................... 18

Gambar 2.7 Alur Tatalaksana Suspek Toksoplasmosis Kongenital ...................... 21

Gambar 2.8 Sediaan Spiramisin ................................................................ .................. 24

Gambar 2.9 Sediaan Obat Kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin ............................ 26

Gambar 2.10 Toksoplasmosis Korioretinitis .......................................................... 28


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Toksoplasmosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa

Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii merupakan parasit coccidian uniseluler dengan

distribusi di seluruh dunia. Diperkirakan lebih dari sepertiga populasi dunia telah

terinfeksi parasit hanya saja seroprevalensinya tidak merata di seluruh negara akibat

strata sosial ekonomi yang berbeda. Toksoplasmosis biasanya tanpa gejala pada

wanita hamil, tetapi dapat menimbulkan dampak yang parah pada janin. Infeksi

ditransmisikan ke janin pada sekitar 40% kasus. Sekitar 30-70% bayi baru lahir dengan

toksoplasmosis kongenital tidak memiliki tanda klinis penyakit ini saat lahir. Namun,

Toksoplasmosis kongenital dapat menyebabkan prematuritas, hambatan pertumbuhan

intrauterin, ikterus, hepatosplenomegali, miokarditis, pneumonitis, ruam, korioretinitis,

hidrosefalus, kalsifikasi intrakranial, mikrosefali, kejang, hingga kematian (Moncada

and Montoya, 2014). Hal tersebut diperparah dengan adanya gejala sisa jangka

panjang seperti kebutaan, keterbelakangan mental, defisit neurologik, dan tuli,

terutama pada bayi yang tidak mendapatkan pengobatan (Torgerson and

Mastroiacovo, 2013).

Angka kejadian (insidensi) yang diperkirakan oleh WHO tahun 2013 adalah 1.5

kasus toxoplasmosis kongenital per 1000 kelahiran hidup. Secara umum, prevalensi

toxoplasmosis di dunia diasumsikan sebesar 25–30% dan bervariasi bergantung dari

berbagai faktor di setiap negara. Infeksi tertinggi ditemukan di wilayah dunia yang

beriklim panas, lembab, dan dataran rendah. Pencegahan morbiditas dari

toksoplasmosis tergantung pada pencegahan infeksi pada wanita hamil, serta

1
pengenalan dini dan pengobatan agresif infeksi pada ibu (Torgerson and

Mastroiacovo, 2013). Penyakit yang tidak terlalu parah umumnya dilaporkan di negara-

negara di mana skrining dan pengobatan pranatal telah diterapkan secara sistematis.

Sebaliknya, penyakit ini dapat sangat parah dan dengan mudah ditemukan terutama

pada bayi yang lahir dari ibu yang tidak diobati. Untuk tujuan definisi, istilah terbaik

adalah menggunakan istilah toksoplasma atau infeksi Toxoplasma gondii saat merujuk

pada pasien asimtomatik dengan infeksi primer atau kronis, dan toksoplasmosis saat

merujuk pada pasien dengan gejala atau tanda (Kieffer and Wallon, 2013).

1.2. Tujuan

1. Mengetahui pedoman pencegahan dan screening toksoplasmosis kongenital

2. Mengetahui diagnosis dan tatalaksana infeksi toksoplasma kongenital

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii,

sebuah parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini termasuk

golongan protozoa yang bersifat obligat intraseluler. Infeksi toksoplasmosis saat hamil

dapat menyebabkan abortus spontan atau anak yang dilahirkan mengalami kelainan

kongenital seperti hidrosefalus, korioretinitis, iridosiklisis, hingga retardasi mental. Di

Indonesia, diagnosis penyakit ini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium (Aryani,

2017)

2.2. Epidemiologi

Toksoplasmosis tersebar hampir di seluruh dunia karena toksoplasma pada

hakekatnya mampu menginfeksi setiap sel pejamu yang berinti. Sekitar 85% wanita

usia produktif di Amerika Serikat mengalami infeksi akut parasit Toxoplasma gondii.

Insidens toksoplasmosis kongenital tergantung proporsi wanita hamil yang terinfeksi

toksoplasma selama kehamilan. Estimasi infeksi kongenital di Amerika Serikat berkisar

antara 1 per 3000 sampai 1 per 10.000 kelahiran. Berdasarkan data studi regional, 400

sampai 4.000 kasus toksoplasmosis kongenital terjadi di Amerika Serikat setiap

tahunnya. Sedangkan di Indonesia, FKUI dalam buku Infeksi Tropik Pediatri

menuturkan bahwa prevalensi zat anti IHA terhadap T.gondii berkisar 2–51%. Pada

penelitian prevalensi seropositif pada ibu hamil di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta

berturut – turut 14.3%, 21.5%, dan 22.8% pada ibu hamil, riwayat abortus dan lahir

mati. Sedangkan pada pemeriksaan 2.920 sampel di Makmal terpadu FKUI,

serokonversi ditemukan pada 36.7% wanita usia subur (FKUI, 2010). Penelitian terbaru

3
Epidemiologi Toksoplasmosis di Indonesia dipaparkan oleh Retmanasari dkk (2016)

khususnya di Jawa Tengah. Dari total 630 sampel rumah tangga yang di survey,

sebanyak 394 (62.5%) teridentifikasi toksoplasmosis dengan 9.9% seropositif IgG dan

IgM serta 355 (90.1%) seropositif IgG (Retmanasari et al, 2017).

2.3. Faktor Risiko

Seorang wanita yang baru terinfeksi Toksoplasma selama atau sebelum

kehamilan dapat menularkan infeksi ke janinnya melalui transplasenta (congenital).

Wanita tersebut mungkin tidak memiliki gejala, tetapi dapat menimbulkan konsekuensi

yang parah pada janinnya, seperti penyakit pada sistem saraf dan mata. Beberapa

faktor risiko berhasil di Identifikasi, khusunya di Jawa Tengah (Tabel 1). Risiko terbesar

ditunjukkan oleh ketinggian pada atau di bawah 200m, dibandingkan dengan

ketinggian lebih dari 200m. Responden yang pekerjaan sehari-hari atau aktivitas

lainnya termasuk kontak langsung dengan daging mentah berisiko lebih tinggi

dibandingkan dengan mereka yang tidak rutin melakukan kontak dengan daging

mentah. Risiko toksoplasmosis juga lebih tinggi pada responden yang tidak menyaring

airnya, serta pada mereka yang tinggal di daerah dengan populasi kucing yang tinggi

(Retmanasari et al. 2017).

Faktor risiko toksoplasmosis bervariasi tergantung pada lokasi geografis; setiap

kabupaten menyajikan risiko yang berbeda (Gambar 1 Kiri). Kabupaten di dataran

tinggi, Wonosobo dan Banjarnegara, tidak memiliki kasus toksoplasmosis (Gambar 1

Kanan). Kabupaten Purworejo, Kebumen, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, dan

Wonosobo memiliki proporsi responden yang tidak menggunakan air saring tertinggi,

berkisar antara 91.4% di Kebumen hingga 55.7% di Purbalingga. Proporsi tertinggi

responden yang melaporkan populasi kucing di kabupatennya cukup tinggi adalah

4
Purworejo (58.6%) dan Kebumen (52.9%). Kabupaten Purworejo, Kebumen,

Banyumas, Purbalingga, dan Wonosobo dilaporkan sebagai proporsi responden

terbesar dengan tingkat kontak dengan daging mentah yang tinggi selama bekerja atau

melakukan kegiatan lain, berkisar dari 75% di Kebumen hingga 57.1% di Purbalingga.

Selain itu, 570 responden (90.5%) tidak menggunakan sarung tangan saat menangani

daging mentah (Retmanasari et al. 2017).

Tabel 1 Faktor Risiko Toksoplasmosis di Indonesia, khususnya Jawa Tengah

Variable Prevalence n (%) P value

Sex   0.023*

 Women (n = 353) 236 (66.85)  

 Men (n = 247) 158 (63.97)  

Density of cat   0.045*

 High (n = 263) 177 (67.30)  

 Low (n = 367) 217 (59.12)  

Contact with raw meat   0.001*

 Yes (n = 385) 261 (67.80)  

 No (n = 245) 133 (54.28)  

Water resource   0.003*

 Without filtration (n = 458) 303 (66.16)  

 With filtration (n = 172) 91 (52.91)  

Temperature   0.002*

 <29°C (n = 192) 103 (53.65)  

 ≥29°C (n = 437) 291 (66.59)  

Elevation   0.000*

 ≤200 m (n = 487) 385 (79.05)  

 >200 m (n = 143) 9 (6.29)  

Distance from river   0.000*

 ≤500 m (n = 336) 236 (70.24)  

 >500 m (n = 52) 42 (80.77)  

5
Gambar 1 (Kiri) Distribusi spasial toksoplasmosis berdasarkan batas administrasi

(Kanan) Korelasi toksoplasmosis dengan elevasi DAS di Jawa Tengah, Indonesia

2014

Infeksi Toxoplasma gondii juga dapat menyebar melalui transimisi foodborne.

Bentuk jaringan parasit (kista mikroskopis yang terdiri dari bradyzoites) dapat

ditularkan ke manusia melalui makanan. Orang terinfeksi oleh:

 Makan daging yang kurang matang dan terkontaminasi (terutama babi, domba,

dan daging rusa) atau kerang (seperti tiram, kerang, dan kerang)

 Secara tidak sengaja menelan daging atau kerang yang kurang matang,

terkontaminasi setelah ditangani dan tidak mencuci tangan secara menyeluruh

(Toxoplasma tidak dapat diserap melalui kulit utuh), atau

 Makan makanan yang terkontaminasi pisau, perkakas, talenan, atau makanan

lain yang bersentuhan dengan daging mentah atau kerang yang

terkontaminasi.

 Minum susu kambing yang tidak dipasteurisasi (tachyzoites) (CDC, 2020).

6
2.4. Parasit Toxoplasma gondii

Etiologi toxoplasmosis adalah protozoa Toxoplasma gondii yang merupakan

parasit obligat intrasel yang memanfaatkan hewan berdarah panas sebagai

inangnya. Toxoplasma gondii yang menginfeksi inang utamanya, seperti kucing,

berbeda siklus hidupnya dengan Toxoplasma gondii yang menginfeksi manusia.

Bradizoit dan takizoit penting untuk diketahui berkaitan dengan pengobatannya

(Furtado et al., 2011).

Klasifikasi Toxoplasma gondii di bawah ini (Randall and Hunter, 2011):

Domain : Eukaryota

Kingdom : Alveolata

Filum : Apicomplexa

Kelas : Coccidia

Ordo : Eimeriorina

Famili : Sarcocystidae

Genus : Toxoplasma

Spesies : Toxoplasma gondii

7
Gambar 2 Daur Hidup Toxoplasma gondii (CDC, 2020)

Satu-satunya inang definitif yang diketahui untuk Toxoplasma gondii adalah

anggota famili Felidae (kucing domestik). Ookista yang belum bersporulasi akan keluar

dari kotoran kucing (1). Ookista membutuhkan waktu 1-5 hari untuk bersporulasi di

lingkungan dan menjadi infektif. Inang perantara di alam (termasuk burung dan hewan

pengerat) terinfeksi setelah menelan tanah, air, atau bahan tanaman yang

terkontaminasi ookista (2). Ookista berubah menjadi tachyzoites dengan segera

setelah terkonsumsi. Tachyzoites ini terlokalisasi di jaringan saraf dan otot kemudian

berkembang menjadi bradyzoites kista jaringan (3). Kucing menjadi terinfeksi setelah

memakan inang perantara yang menyimpan kista jaringan (4). Kucing juga dapat

terinfeksi secara langsung dengan menelan ookista bersporulasi. Hewan yang

8
diternakkan untuk tujuan konsumsi manusia juga dapat terbentuk kista jaringan setelah

menelan ookista bersporulasi di lingkungan (5). Manusia dapat terinfeksi melalui salah

satu dari beberapa cara berikut:

 Makan daging hewan yang kurang matang yang mengandung kista jaringan (6)

 Mengkonsumsi makanan atau air yang terkontaminasi kotoran kucing atau

sampel lingkungan yang terkontaminasi (seperti tanah yang tercemar feses

atau kotak kotoran berisi pasir/tanah yang dikhususkan untuk kucing

peliharaan) (7)

 Transfusi darah atau transplantasi organ (8)

 Transplasenta dari ibu ke janin (9).

Dalam tubuh manusia, parasit membentuk kista jaringan, paling sering di otot

rangka, miokardium, otak, dan mata. Kista ini mungkin tetap ada sepanjang hidup

inang. Diagnosis biasanya ditegakkan melalui serologi, meskipun kista jaringan dapat

diamati pada pewarnaan spesimen biopsi (10). Diagnosis infeksi kongenital dapat

dilakukan dengan mendeteksi DNA T. gondii dalam cairan ketuban (amniotic fluid)

menggunakan metode molekuler seperti PCR (11) (CDC, 2020).

2.4.1. Morfologi Toxoplasma gondii

Toxoplasma gondii memiliki dua bentukan yaitu aseksual dan seksual.

Bentukan aseksual terdiri dari tachyzoites dan bradyzoites atau kista jaringan

sedangkan bentukan seksual merupakan ookista. T. gondii memiliki 3 fase hidup, yaitu

takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit, dan ookista (berisi sporozoit). Bentuk

takizoit menyerupai bulan sabit dengan satu ujung runcing dan ujung lain agak

membulat. Takizoit ditemukan pada infeksi akut berbagai organ tubuh, seperti otot

termasuk otot jantung, hati, limpa, limfonodi, dan sistem saraf pusat. Selanjutnya, kista

9
dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding.

Kista dapat ditemukan dalam tubuh hospes seumur hidup terutama di otak, otot

jantung, dan otot bergaris. Fase hidup ketiga T. gondii adalah sporozoit; pada fase ini

ditemukan ookista. Ookista berbentuk lonjong, mempunyai dinding, berisi satu

sporoblas yang membelah menjadi dua; selanjutnya kedua sporoblas membentuk

dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista berisi 4 sporozoit berukuran

8x2 mikron dan sebuah benda residu (Maeda et al., 2011; CDC, 2020).

Infeksi akut bisa menjadi kronis jika tachyzoite berubah menjadi bradyzoite.

Bradyzoite masuk ke jaringan inang (otak, jantung, otot dan retina) dan tinggal di sana

selama hidup inang dalam kondisi dorman. Perubahan tahapan tachyzoite menjadi

bradyzoite tergantung pada kecepatan perkalian, pH, suhu area dan adanya anti

mitokondria Nitric Oxide (NO) dalam tubuh inang. Jika manusia mengkonsumsi daging

atau air minum yang tercemar oocyst maka bradiizoit atau spozoite yang resisten

dengan pH asam dan enzim pencernaan akan mencapai usus, menyerang sel epitel

dan setelah beberapa jam berubah menjadi tachyzoite (Maeda et al., 2011).

10
Gambar 3 Toxoplasma gondii stadium Tachyzoites (Maeda et al., 2011).

Kucing merupakan hospes definitif T. gondii. Selama infeksi akut, ookista yang

keluar bersama tinja kucing belum bersifat infektif. Setelah beberapa minggu,

tergantung kondisi lingkungan, ookista akan mengalami sporulasi dan menjadi bentuk

infektif. Manusia dan hospes perantara lain, seperti kambing dan domba, akan

terinfeksi jika menelan ookista tersebut. Kondisi cuaca panas dan tanah lembap dapat

mempertahankan ookista selama sekitar 1 tahun. Ookista tidak dapat bertahan hidup

di tanah gersang dan cuaca dingin (Maeda et al., 2011).

Gambar 4 Toxoplasma gondii (Kiri) stadium bradyzoites (Kanan) Ookista (Maeda et


al., 2011)

Gambar 5 Bentukan Parasit yang dapat menginfeksi manusia khususnya wanita hamil
(McAuley, 2014)

11
2.5. Patofisiologi

Patofisiologi toksoplasmosis pada populasi imunokompeten bersifat

asimtomatik akibat adanya proteksi dari sistem imun. Pada bayi dan pasien

imunokompromais, toksoplasmosis akan menyebabkan terjadinya abses dan inflamasi

dari jaringan lokal. Hal ini menyebabkan terjadinya komplikasi dan gejala

toksoplasmosis, baik toksoplasmosis kongenital, toksoplasmosis okular, maupun

toksoplasmosis serebral (McAuley, 2014).

Secara rinci, respons imun seluler, humoral, dan bawaan akan segera

teraktovasi saat invasi parasit, ini penting untuk mencegah proliferasi tachyzoite yang

tidak terkendali. Respon imun telah diketahui bertanggung jawab untuk mengendalikan

replikasi parasit, termasuk aktivasi sistem monosit-makrofag, sel dentritik, sel Natural

Killer (NK), Sel T CD4+ sitotoksik dan sel T CD8+. Molekul-molekul kostimulatori

(misalnya ligan CD28 dan CD40) dan sitokin, termasuk IFN-g, IL-12, TNF-a, IL-10 dan

TGF-β juga terlibat. Peran Toll-like receptors (TLRs) dalam respon imunitas bawaan

terhadap T. gondii baru-baru ini diketahui dalam percobaan model tikus. Tampaknya

pengenalan TLR, seperti TLR11, juga dapat menjadi step penting untuk pencegahan

kerusakan kekebalan yang disebabkan oleh patogen pada jaringan diri (self

destruction). MyD88, IL-12 dan IFN-ϒ memiliki peran utama selama tahap awal infeksi

(di tempat masuknya parasit di mukosa dan organ perifer lainnya), sedangkan sel T

CD8+ akan berperan dalam pengendalian replikasi parasit serta pembentukan kista di

SSP. Dalam kasus infeksi toksoplasma kongenital, respons sel T CD4 spesifik antigen

menurun. Padahal peran sel tersebut efektif dalam membunuh sebagian besar

tachyzoite. Alhasil sangat sedikit tachyzoite yang terbunuh. Bentuk bradyzoite, di

dalam kista jaringan, berhasil lolos dari kapasitas efektor sistem kekebalan. Jika terjadi

12
penipisan yang signifikan dari respon imun yang dimediasi oleh sel-T, transformasi

bradyzoites menjadi tachyzoites yang berkembang biak dengan cepat akan

menghasilkan reaktivasi parasit yang menyebabkan penyakit; ini adalah kasus

ensefalitis toksoplasma atau toksoplasmosis diseminata pada pasien AIDS atau pasien

gangguan sistem imun lainnya, juga pada bayi yang secara umum belum matur

imunnya (Wellington et al., 2010)

Risiko toksoplasmosis kongenital sekitar 10 – 25% apabila infeksi akut maternal

terjadi pada trimester pertama kehamilan dan meningkat hingga 60 – 90% apabila

terjadi pada trimester ketiga. Namun, manifestasi toksoplasmosis kongenital lebih

parah jika infeksi terjadi pada trimester pertama imunnya (Wellington et al., 2010;

Aryani, 2017).

2.5.1. Transmisi Vertikal

Setelah terjadi infeksi T. gondii akan terjadi proses parasitemia, di mana parasit

menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel

inang. Pada toksoplasmosis kongenital, infeksi primer pada janin diawali dengan

masuknya darah ibu yang mengandung parasit ke dalam plasenta, sehingga terjadi

plasentitis. Hal ini ditandai dengan gambaran plasenta dengan reaksi inflamasi

menahun pada desidua kapsularis dan fokal reaksi pada vili. Inflamasi tali pusat jarang

dijumpai. Parasit akan menimbulkan keadaan patologik yang manifestasinya

tergantung usia kehamilan (Aryani, 2017).

Secara lebih rinci, ketika infeksi terlah terjadi, parasit harus melewati plasenta.

Penularan vertikal umumnya terbatas pada kasus-kasus di mana ibu mengalami infeksi

T. gondii primer selama masa gestasi. Di dalam plasenta, satu lapisan sel trofoblas

janin bersentuhan dengan darah ibu untuk pertukaran metabolisme gas dan nutrisi.

13
Lapisan ini juga dapat berperan sebagai penghalang, melindungi janin dari infeksi yang

terjadi pada ibunya. Namun terdapat patogen parasit, bakterial dan virus, seperti T.

gondii yang dapat membahayakan janin melalui infeksi langsung. Meskipun infeksi

awal pada janin menyebabkan manifestasi yang parah, penularan melalui plasenta

lebih sering terjadi pada tahap akhir infeksi dan efek jangka panjang dapat mencakup

retinochoroiditis selama masa kanak-kanak dan remaja (McAuley, 2014; Aryani, 2017).

T. gondii menginfeksi trofoblas manusia, menunjukkan bahwa keluarnya parasit

secara alami akan memungkinkan parasit melewati plasenta walaupun terdapat tanda

tanya apakah T. gondii tachyzoites melakukan transit paraseluler melintasi penghalang

ini atau tidak. Studi in vitro menunjukkan bahwa sel trofoblas manusia mengatur ICAM-

1 dan molekul adhesi lainnya di hadapan sel yang terinfeksi T. Gondii. Hasilnya ialah

ICAM-1 diperlukan untuk pengikatan sel-sel ini ke trofoblas. Mengingat bahwa sel yang

terinfeksi T. gondii memungkinkan parasit ini melewati penghalang biologis di tempat

lain, dan memberikan dukungan untuk model kuda Troya (suatu mekanisme T. gondii

dalam bermigrasi) selama toksoplasmosis kongenital (McAuley, 2014).

2.6. Manifestasi Klinik

Toksoplasmosis akuisita (yang didapat pada orang dewasa) biasanya bersifat

asimtomatik. Bila seorang ibu hamil mendapat infeksi primer, kemungkinan 50% bayi

yang dilahirkan menderita toksoplasmosis kongenital, yang umumnya hanya

bermanifestasi sebagai limfadenopati asimtomatik pada kelenjar getah bening leher

bagian belakang, dapat menyebar atau terlokalisasi pada satu nodul di area tertentu.

Tanda dan gejala yang sering timbul pada ibu hamil ialah demam, sakit kepala, dan

kelelahan. Beberapa pasien menunjukkan tanda mononucleosis like syndrome seperti

14
demam, ruam makulopapular (Blueberry muffin) yang mirip dengan kelainan kulit pada

demam tifoid (Yuliawati and Nasronudin, 2015; Aryani, 2017).

Pada janin, transmisi toksoplasmosis kongenital terjadi bila infeksi T. gondii

didapat selama masa gestasi. Terdapat korelasi positif yang sangat bermakna antara

isolasi toksoplasma dari jaringan plasenta dan infeksi neonatus. Korelasi ini

merupakan hasil penelitian otopsi toksoplasmosis kongenital dan mengindikasikan

bahwa infeksi tersebut didapat melalui sirkulasi uteroplasenta. Sekitar setengah dari

wanita yang terinfeksi toksoplasmosis dapat menularkan infeksi melintasi plasenta ke

janin in utero. Transmisi penyakit ke janin lebih jarang terjadi pada awal kehamilan,

namun infeksi pada awal kehamilan ini dapat menyebabkan gejala yang lebih parah

pada janin, meskipun ibunya tidak merasakan tanda dan gejala infeksi toksoplasma

(Maldonado and Read, 2017).

Terdapat trias klasik pada toksoplasmosis kongenital berat, yaitu:

Hidrosefalus, Korioretinitis, dan Kalsifikasi intrakranial. Pada bayi baru lahir yang

bergejala, salah satu atau keseluruhan tanda dari trias klasik mungkin timbul, disertai

gejala infeksi lainnya meliputi hepatosplenomegali, ikterus, trombositopenia,

limfadenopati, dan kelainan susunan saraf pusat (Maldonado and Read, 2017).

Lesi pada mata merupakan salah satu manifestasi yang paling sering pada

toksoplasmosis kongenital. Gambaran lesi toksoplasmosis okular ialah adanya fokus

nekrosis pada retina. Pada fase akut, lesi ini timbul sebagai bercak putih kekuningan di

fundus dan biasanya berhubungan dengan ruam pada vitreus. Gejala yang timbul pada

infeksi mata antara lain penglihatan kabur, fotofobia, nistagmus, strabismus epifora,

dan katarak (Yuliawati and Nasronudin, 2015).

15
Manifestasi neurologik pada anak menunjukkan gejala-gejala neurologik

termasuk kalsifikasi intrakranial, hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental, dan

mikrosefalus. Fungsi intelektual anak yang terinfeksi juga mengalami penurunan

(Yuliawati and Nasronudin, 2015).

Sekuele yang didapatkan pada bayi baru lahir dapat dikategorikan atas sekuele

ringan dan berat. Pada sekuele ringan, ditemukan sikatriks korioretinal tanpa

gangguan visus atau adanya kalsifikasi serebral tanpa diikuti kelainan neurologik. Pada

sekuele berat, terjadi kematian janin intrauterin atau neonatal, adanya sikatriks

korioretinal dengan gangguan visus berat atau kelainan neurologik. Sebagian besar

bayi yang terinfeksi intrauterin lahir dengan gejala tidak khas, lebih dari 80%

berkembang menjadi gangguan penglihatan, pendengaran, perkembangan, dan IQ

yang lebih rendah pada masa anak-anak. Hal tersebut sangat mengganggu dan

menimbulkan masalah bagi Pertumbuhan serta Perkembangan buah hati (Yuliawati

and Nasronudin, 2015).

2.7. Penegakan Diagnosis

Toksoplasmosis kongenital hanya akan terjadi jika seorang wanita mendapat

infeksi selama hamil. Satu-satunya cara untuk menentukan infeksi pada saat

kehamilan adalah dengan skrining serologi. Tidak semua wanita hamil menunjukkan

gejala saat terinfeksi toksoplasmosis dan hanya sebagian kecil janin yang

menunjukkan tanda abnormal yang dapat dideteksi dengan ultrasonografi rutin. Hal ini

menjadi pertimbangan perlunya skrining dan tes serial terhadap setiap wanita hamil.

Beberapa negara yang mengimplementasikan program skrining rutin prenatal antara

lain Austria, Belgia, Prancis, Norwegia, Uruguay, dan beberapa wilayah di Italia dan

Brazil (Yuliawati and Nasronudin, 2015).

16
Diagnosis toksoplasmosis pada kehamilan ditegakkan menurut Hariadi (2008)

dalam buku Ilmu Kedokteran Fetomaternal berdasarkan, antara lain:

 Kehamilan dengan imun seropositif, yaitu ditemukan adanya antibodi IgG anti-

toksoplasma dengan titer 1/20 – 1/1000

 Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik dengan titer tinggi (biasanya

disertai juga hasil positif uji Sabin-Feldman), yang menunjukkan bahwa ibu

hamil dengan seropositif mengalami reinfeksi. Keadaan ini sering juga disebut

kehamilan dengan toksoplasmosis eksaserbasi akut.

 Kehamilan dengan seronegatif, yaitu darah ibu tidak mengandung antibodi

spesifik. Dalam hal ini ibu hamil dianjurkan untuk mengulangi uji serologik

(cukup lateks aglutinasi) tiap trimester.

 Kehamilan dengan serokonversi, yaitu adanya perubahan dari seronegatif

menjadi seropositif selama kehamilan. Penderita memiliki risiko tinggi transmisi

vertikal dari maternal ke janin serta mengakibatkan toksoplasmosis kongenital.

Hal ini merupakan indikasi pengobatan antiparasit selama kehamilan (Yuliawati

and Nasronudin, 2015).

Tabel 2 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Serologis Toksoplasma

Hasil IgG Hasil IgM Relevansi Klinis


Tidak terdapat infeksi T. gondii. Pemeriksaan berseri
selama kehamilan sangat dianjurkan. Jika ibu hamil
Negatif Negatif
tersebut mengalami infeksi primer ketika hamil, mereka
berisiko tinggi mentransmisikan infeksi ke janinnya
Selama trimester pertama atau kedua, merefleksikan
Positif Negatif
infeksi terjadi sebelum kehamilan sekarang
IgM anti-toksoplasma terdeteksi di awal infeksi akut dan
antibodi tersebut dapat bertahan dalam waktu panjang.
Positif atau IgM antitoksoplasma dapat dideteksi pada wanita yang
Negatif
Ekuivokal terinfeksi sebelum kehamilan; oleh karena itu hasil IgM
positif sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan lanjutan
untuk konfirmasi

17
Positif atau Sama dengan diatas
Positif
Ekuivokal

Gambar 6 Linimasa pembentukan Antibodi oleh Infeksi Toksoplasma

2.7.1. Diagnosis Prenatal

Dengan menyadari besarnya dampak toksoplasmosis kongenital pada janin,

bayi, dan anak-anak, serta kebutuhan akan konfirmasi infeksi janin prenatal pada ibu

hamil, maka para klinisi/ahli kedokteran kebidanan memperkenalkan metode baru yang

merupakan koreksi atas konsep dasar pengobatan toksoplasmosis kongenital yang

lampau. Diagnosis prenatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu

(trimester II) dan dapat ditegakkan melalui pemeriksaan-pemeriksaan di bawah ini:

1. Kordosintesis, yaitu pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat (1.5-3

mL) atau amniosentesis (aspirasi cairan ketuban 15-20 mL) dengan tuntunan

ultrasonografi

2. Biakan darah janin atau cairan ketuban dalam kultur fibroblas, atau

diinokulasikan ke rongga peritoneum tikus, diikuti isolasi parasit, yang ditujukan

untuk mendeteksi adanya parasit.

18
3. Pemeriksaan PCR untuk identifikasi DNA T. gondii pada darah janin atau cairan

ketuban

4. Pemeriksaan ELISA pada darah janin untuk mendeteksi antibodi IgM spesitik

5. Petanda nonspesifik darah fetus yang terinfeksi seperti hitung trombosit, hitung

eritrosit, fetal IgM, eosinofil, dan enzim-enzim hati.

Diagnosis toksoplasmosis kongenital ditegakkan dengan adanya IgM dan IgA spesifik

dari darah janin, ditemukannya parasit dari hasil kultur atau inokulasi pada tikus, dan

adanya DNA T. gondii pada pemeriksaan PCR darah janin atau cairan ketuban

(Hariadi, 2008; Aryani, 2017).

2.7.2. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa metode diagnosis toksoplasmosis kongenital antara lain deteksi

respons imunitas humoral spesifik Toksoplasma, amplifikasi DNA Toksoplasma,

identifikasi antigen spesifik Toksoplasma pada jaringan, dan isolasi parasit. Selama

kehamilan, adanya parasit dalam cairan atau jaringan fetus (amplifikasi DNA,

pewarnaan antigen, mikroskopik, atau isolasi organisme) dapat mendiagnosis

toksoplasmosis kongenital. Metode diagnosis yang paling sering untuk toksoplasmosis

kongenital selama kehamilan adalah PCR dalam cairan amnion; hasil tes positif

mendiagnosis toksoplasmosis kongenital. Pada periode post-natal, gold standard

penegakan diagnosis toksoplasmosis kongenital adalah IgG Toksoplasma persisten

hingga usia 12 bulan. Sedangkan, kriteria eksklusi diagnosis toksoplasmosis

kongenital yaitu dengan adanya penurunan titer IgG Toksoplasma yang menghilang

dalam usia 12 bulan. Pada keadaan terbatasnya riwayat klinis dan hasil tes

laboratorium, diagnosis toksoplasma kongenital pada satu tahun awal kehidupan dapat

rancu dengan kemungkinan bayi mendapat infeksi selama periode postnatal. Oleh

19
karena itu, perlu mendiagnosis atau mengeksklusi toksoplasmosis kongenital selama

periode gestasi atau satu tahun awal kehidupan (Cunningham et al., 2005; Hoshino et

al., 2014).

Metode laboratorium yang umum digunakan untuk diagnosis toksoplasmosis

kongenital pada bayi baru lahir adalah deteksi serologi berbagai antibodi Toksoplasma

dalam serum darah perifer. IgG, IgM, IgA Toksoplasma harus selalu diperiksa.

Kombinasi hasil pemeriksaan IgM dan IgA, ditambah dengan pemeriksaan IgG

memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan dengan hanya satu jenis pemeriksaan.

Pemeriksaan Toksoplasma PCR pada cairan serebrospinal (CSF), darah perifer, dan

urin dapat menjadi cara lain untuk diagnosis awal toksoplasmosis kongenital

(Cunningham et al., 2005; Hoshino et al., 2014).

20
Suspek infeksi toksoplasmosis kongenital dan/atau
gejala klinis saat lahir (+). Tidak dilakukan skrining
antenatal, serum maternal saat lahir diperlukan untuk
pemeriksaan paralel dengan serum bayi baru lahir

Serum Maternal = Pemeriksaan PCR pada cairan


Seronegatif saat Adanya IgG, IgM, IgA Diagnosis serebrospinal,
lahiran, dikonfirmasi IgG, IgM, menggunakan belum darah, urin,
hasil negaitif 1 bulan dan/atau pemeriksaan dapat ditambah klinis
pasca-lahir, atau IgA serologis ditegakkan pada bayi
infeksi maternal konvensional meyakinkan
terjadi menjelang
proses kelahiran
Toksoplasmosis Negatif Positif
Kongenital

Tidak perlu Pemeriksaan ulang IgG, IgM, dan


tindak lanjut Toksoplasmosis
IgA pada usia 1 bulan dan setiap 2
Terapi Kongenital
bulan dengan indikasi

Terapi

Adanya salah satu kriteria


diagnosis toksoplasmosis
kongenital dibawah ini:
Diagnosis toksoplasmosis
 Adanya IgM dan/atau IgA kongenital dapat dieksklusi
pada umur >10 hari apabila:
dan/atau selama follow
 Tidak ada titer IgG tanpa
up
terapi hingga usia ≤ 12
 Persisten atau
bulan
peningkatan titer IgG
tanpa terapi selama umur
≤ 12 bulan

21
Toksoplasmosis Bukan
Kongenital Toksoplasmosis
Selama periode post-natal, deteksi IgG Toksoplasma neonatus bergantung

pada IgG maternal yang dapat menembus plasenta secara pasif. Pada periode awal

kehidupan, IgG neonatus masih diperoleh dari IgG ibu, setelah 2 bulan akan mulai

menurun. Pada usia 6 bulan IgG akan hilang 50% dan 100% saat usia 1 tahun. Deteksi

IgM dan IgA Toksoplasma pada neonatus juga dapat terkontaminasi oleh IgM maternal

pada 5 hari pertama kehidupan dan IgA pada 10 hari awal. Oleh karena itu,

pemeriksaan IgA ataupun IgM dilakukan saat usia >10 hari. Apabila diagnosis belum

dapat ditegakkan, pemeriksaan IgG, IgM, dan IgA selanjutnya dilakukan pada usia 1

bulan dan setiap 2 bulan sesuai indikasi. Diagnosis toksoplasmosis kongenital dapat

dieksklusi jika tidak terdapat titer IgG tanpa terapi hingga usia 12 bulan (Hariadi, 2008;

Paquet et al., 2013).

2.8. Tata Laksana

2.8.1. Tujuan

Terapi toksoplasmosis kongenital dapat dilakukan pada periode pre-natal dan

postnatal. Terapi pre-natal bertujuan untuk mencegah transmisi infeksi maternal ke

fetus, sedangkan tujuan terapi post-natal adalah untuk mengobati infeksi pada bayi

yang positif terdiagnosis toksoplasmosis kongenital. Terapi post-natal berfungsi untuk

mengurangi risiko retinokoroiditis. Penelitian-penelitian terkait terapi toksoplasmosis

kongenital masih jarang dilakukan. Pada sebuah studi kohort oleh Phan, dkk. tahun

22
2008, tidak mendapatkan perbedaan signifikan risiko retinokoroiditis hingga usia 3

tahun pada anak yang diterapi post-natal dengan anak yang diterapi postnatal dan pre-

natal (Phan et al., 2008).

2.8.2. Pengobatan pada Ibu Hamil

Spiramisin

Spiramisin merupakan antibiotik makrolid paling aktif terhadap Toxoplasma

gondii dibandingkan dengan antibiotika lainnya, dengan mekanisme kerja yang serupa

dengan klindamisin. Spiramisin menghambat pergerakan mRNA pada bakteri/parasit

dengan cara menghambat 50s ribosom, sehingga sintesis protein bakteri/parasit akan

terhambat dan kemudian mati. Penggunaan antibiotik spiramisin selama kehamilan

dengan infeksi T. gondii akut dilaporkan menurunkan frekuensi transmisi vertikal

hingga 60%. Proteksi ini terlihat lebih nyata pada wanita yang terinfeksi selama

trimester pertama. Spiramisin tidak dapat melewati plasenta, dan sebaiknya tidak

digunakan sebagai monoterapi pada kasus yang diduga telah terjadi infeksi pada janin.

Sampai saat ini, tidak terdapat fakta bahwa obat ini bersifat teratogenik. Pada wanita

yang diduga mengalami infeksi toksoplasma akut pada trimester pertama atau awal

trimester kedua, spiramisin diberikan hingga persalinan meskipun hasil pemeriksaan

PCR negatif. Hal ini berdasarkan teori yang menyatakan bahwa kemungkinan infeksi

janin dapat terjadi pada saat kehamilan dari plasenta yang sebelumnya telah terinfeksi

di awal kehamilan (Paquet et al., 2013).

Spiramisin diberikan hingga persalinan, juga pada pasien dengan hasil

pemeriksaan cairan amnion negatif, karena secara teoritis kemungkinan infeksi janin

23
dapat terjadi pada kehamilan lanjut dari plasenta yang terinfeksi pada awal kehamilan.

Untuk ibu hamil yang memiliki kemungkinan infeksi tinggi atau infeksi janin telah

terjadi, pengobatan dengan spiramisin harus ditambahkan pirimetamin, sulfadiazin,

dan asam folat setelah usia kehamilan 18 minggu. Pada beberapa pusat pengobatan,

penggantian obat dilakukan lebih awal (usia kehamilan 12-14 minggu). Spiramisin

sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap antibiotik makrolid.

Sejumlah kecil ibu hamil menunjukkan gejala gangguan saluran cerna atau reaksi

alergi. Dosis spiramisin yang diberikan ialah 3 gram/hari (Hariadi, 2008; Paquet et al.,

2013).

Gambar 8 Sediaan Spiramisin (Google Images)

Kombinasi Pirimetamin-Sulfadizin-Asam Folat

Kombinasi pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folat diindikasikan untuk ibu

hamil yang mengalami infeksi T. gondii akut pada akhir trimester kedua (>18 minggu)

atau pada trimester ketiga. Kombinasi ini juga diindikasikan untuk ibu hamil dengan

infeksi janin atau janin dengan toksoplasmosis kongenital yang terdeteksi melalui

ultasonografi (USG). Pirimetamin bersifat teratogenik dan penggunaannya

dikontraindikasikan pada trimester pertama. Pirimetamin dapat menyebabkan depresi

24
sumsum tulang belakang sehingga perlu dilakukan perhitungan jumlah sel darah

lengkap untuk mencegah toksisitas hematologi. Tingkat kejadian toksoplasmosis

kongenital pada bayi ibu hamil yang terinfeksi sebelum kehamilan hampir tidak pernah

ditemukan. Di beberapa negara, pengobatan tetap diberikan pada ibu hamil sehat

dengan diagnosis infeksi T. gondii laten. Hal tersebut didasarkan fakta bahwa kondisi

imun setiap individu berbeda, fluktuatif, dan tidak dapat terkontrol sebelumnya.

Reaktivasi mungkin saja terjadi ketika imunitas seseorang menurun, terutama pada ibu

hamil yang memiliki kondisi untuk berbagi nutrisi dengan janinnya. Selain itu, aviditas

IgG setiap individu juga belum tentu tinggi dan matang meskipun infeksi terjadi setelah

bertahun-tahun yang lalu. Jika pemberian terapi ditunda hingga hasil pemeriksaan

aviditas IgG pada trimester pertama hasil IgG dan IgM (-), maka infeksi terjadi akibat

reaktivasi. Untuk lebih memastikan bahwa infeksi tidak terjadi, maka pemberian terapi

menggunakan spiramisin tetap dilakukan. Disamping itu risiko minimal spiramisin tidak

menghalangi penggunaannya sebagai terapi pada trimester pertama (Hariadi, 2008;

Paquet et al., 2013; PIONAS, 2017).

Pirimetamin merupakan antiparasit yang secara kimiawi dan farmakologi

menyerupai trimetroprin. Didalamnya terdapat zat aktif diaminopirimidin yang bekerja

sebagai inhibitor poten dari enzim dihidrofolat reduktase dan bekerja secara sinergis

dengan sulfonamid. Dosis pirimetamin 25-50 mg per oral sekali sehari dan

dikombinasikan dengan sulfonamid selama 1-3 minggu; kemudian dosis obat dikurangi

setengah dari dosis sebelumnya, dan terapi dilanjutkan 4-5 minggu. Kekurangan asam

folat akan memicu agranulositosis, sehingga pemberian pirimetamin harus bersama

dengan asam folat (Hariadi, 2008; Paquet et al., 2013).

Sulfadiazin merupakan golongan sulfonamida dengan masa kerja sedang.

Mekanisme kerjanya bersifat bakteriostatik dengan menghambat sintesis asam folat,

25
serta menghambat enzim yang membentuk asam folat dan paraamino benzoic acid

(PABA). Sebagian bahan ini menginaktivasi enzim seperti dehidrogenase atau

karboksilase yang berperan pada respirasi bakteri. Dosis pemberian 2-4 gram per oral

sehari sekali selama 1-3 minggu, kemudian dosis dikurangi setengah dari dosis

sebelumnya dan terapi dilanjutkan hingga 4-5 minggu (Hariadi, 2008; Paquet et al.,

2013).

Gambar 9 Sediaan Obat Kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin (Google Images)

2.8.3. Pengobatan pada Bayi

Kombinasi sulfadiazin, pirimetamin, dan asam folat biasanya diberikan untuk

bayi yang lahir dari ibu dengan hasil positif pada cairan amnionnya atau yang sangat

dicurigai menderita T. gondii. Dosis pirimetamin 2 mg/kgBB/hari (maksimal 50 mg),

dilanjutkan 1mg/kgBB/hari untuk 2-6 bulan, dan setelah itu 1mg/kgBB/hari 3 kali

perminggu. Dosis sulfadiazin 50 mg/kgBB setiap 12 jam, dan dosis asam folat 5 – 20

mg 3 kali perminggu (Hariadi, 2008).

2.9. Toksoplasma dan Permasalahan Tumbuh Kembang

Telah diketahui di awal pembahasan referat bahwa toksoplasmosis kongenital

sangat penting selama 2 periode kehamilan. Pertama, infeksi toksoplasmosis pada

trimester pertama mempengaruhi kehamilan dalam waktu kurang dari 5% kasus, tetapi

26
dapat menyebabkan infeksi fetoplasenta yang parah yang umumnya menyebabkan

keguguran atau, pada beberapa kehamilan yang berlanjut, ke lesi janin mayor,

terutama SSP. Kedua, infeksi ibu trimester lanjut dikaitkan dengan peningkatan

insidensi secara progresif dan penurunan keparahan toksoplasmosis kongenital.

Insiden toksoplasmosis kongenital meningkat hingga 60-80% pada akhir kehamilan

dengan lesi janin yang terutama terdiri dari korioretinitis toksoplasma. Lesi ini juga

dapat muncul di kemudian hari selama masa kanak-kanak atau awal masa dewasa

dan terkadang mengganggu fungsi visual. Kerusakan janin yang disebabkan oleh

toksoplasmosis dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi hanya jika terdapat

anomali SSP yang parah. Namun, korioretinitis toksoplasma, yang terjadi terutama

setelah infeksi ibu lanjut, biasanya tidak terdeteksi pada skrining antenatal bahkan

diagnosis toksoplasma prenatal. Diagnosis korioretinitis toksoplasma hanya dapat

ditegakkan dengan pemeriksaan fundus okular, yang dilakukan saat lahir dan secara

teratur selama masa tindak lanjut pascakelahiran. Padahal, fungsi penglihatan begitu

vital dalam proses perkembangan anak (Berrebi et al., 2010; Basri, 2017).

Penelitian prospektif oleh Berrebi dkk (2010) pada 666 anak lahir hidup di

Prancis yang di follow-up selama 20 tahun (1985-2005). Semua ibu menerima

pengobatan spiramisin, tunggal ataupun dikombinasi dengan pirimetamin-sulfadoksin,

menjalani amniosentesis, serta skrining ultrasonografi bulanan. Anak-anak yang

terinfeksi kemudian di follow-up setiap 3-6 bulan. Dari 666 anak lahir hidup (676 ibu),

112 (17%) mengalami toksoplasmosis kongenital. Di antaranya, 107 pasien

ditindaklanjuti selama 12-250 bulan: 79 tidak menunjukkan gejala (74%) dan 28

menderita korioretinitis (26%). Hanya 1 anak yang memiliki keterlibatan neurologis

yang serius (Berrebi et al., 2010).

2.9.1. Korioretinitis

27
Toksoplasmosis okuler adalah suatu bentuk korioretinitis yang disebabkan oleh

Toxoplasma gondii yang merupakan penyebab potensial uveitis posterior yang dapat

menyebabkan kebutaan. Ini adalah kondisi progresif, berulang, dan nekrosis, dikaitkan

dengan peradangan pada struktur vaskular retina dan vitreous, dan memiliki predileksi

untuk terjadi di kutub posterior pada lebih dari 50% kasus. Gejala toksoplasmosis mata

biasanya meliputi penurunan penglihatan unilateral dengan floaters, disertai dengan

tanda uveitis anterior, dan sekitar 20% pasien mengalami peningkatan tekanan

intraokular. Pada segmen posterior, kondisi klasik muncul sebagai fokal, retinitis putih

keabu-abuan dengan peradangan vitreus sedang di atasnya, seringkali berdekatan

dengan bekas luka chorioretinal berpigmen. Meskipun dalam banyak kasus diagnosis

toksoplasma chorioretinitis didominasi oleh klinis, adanya anti-T.gondii IgG antibodi

mendukung diagnosis sampai batas tertentu, sedangkan titer antibodi negatif pada

dasarnya menyingkirkan diagnosis (Basri et al, 2017).

Gambar 10 Toxoplasmosis Chorioretinitis (atlasophtalmology.net)

28
Pada pasien dalam penelitian oleh Berrebi dkk, didapatkan 20 pasien unilateral

peripheral (71%), 2 pasien bilateral peripheral (7%), dan 6 pasien unilateral macular

(21%). Faktor-faktor yang terkait dengan krparahan korioretinitis adalah diagnosis yang

terlambat, pengobatan yang tertunda, kelahiran prematur, adanya tanda-tanda klinis

atau keterlibatan okular saat lahir, dan adanya lesi intrakranial terkait. Berrebi dkk

menganggap infeksi dini sebagai faktor keparahan, sedangkan yang lain melaporkan

bahwa infeksi hanya mempengaruhi persentase lesi intrakranial. Output ini tidak begitu

mengecewakan, menurut penulis, merupakan hasil dari manajemen tes serologi

bulanan selama kehamilan yang kemudian dapat memberikan perawatan pranatal

sedini mungkin yang mencakup perawatan pascakelahiran berkelanjutan (2 tahun).

Hasil ini mendorong penulis untuk menyarankan sebuah kebijakan manajemen pasien

dengan serokonversi toksoplasmosis selama kehamilan secara jangka panjang

(Berrebi et al., 2010).

Penelitian terbaru dari Cicendo Eye Center, Bandung, Indonesia,

membandingkan efektivitas terapi paket-4-obat yang terdiri dari kotrimoksazol

(trimetopin dan sulfametoksazol), antibiotik klindamisin, dan kortikosteroid oral VS.

terapi paket-tiga-obat yang terdiri dari pirimetamin, sulphadiazine, dan kortikosteroid

oral dalam meresolusi korioretinitis toksoplasma.

Dalam studi oleh Kartasasmita dkk tersebut, efek terapeutik dari terapi paket-4-

obat mencapai efek maksimal pada minggu pertama masa follow-up. Oleh karena itu,

pengurangan lesi pada follow-up minggu pertama pada kelompok ini lebih tinggi

daripada kelompok terapi paket-3-obat. Kartasasmita dkk menemukan bahwa terapi

paket-4-obat memiliki efek terapeutik yang lebih cepat, sehingga mengurangi durasi

pengobatan di mana pengobatan jangka panjang berpotensi menyebabkan efek

samping pengobatan. Pengurangan lesi yang cepat ini juga memiliki keuntungan dari

29
pemulihan yang cepat pada ketajaman visual, menghasilkan proses pemulihan yang

lebih cepat secara keseluruhan (Kartasasmita et al., 2017).

2.9.2. Keterlibatan SSP

Pada penelitian Barrabe dkk, hanya terdapat 1 pasien yang mengalami

keterlibatan SSP. Itupun membaik seiring waktu. Barrabe dkk berpendapat manifestasi

neonatal yang parah, termasuk gangguan neurologis, menjadi jarang terjadi akibat

kemampuan Ultrasonografi janin yang dapat menunjukkan lesi intrakranial. Ketika

terjadi kelainan SSP parah, maka terminasi kehamilan dapat dipertimbangkan. Faktor

pendukung keterlibatan SSP terjadi pada kasus infeksi ibu trimester awal, kurangnya

perawatan prenatal, dan adanya korioretinitis ataupun tanda klinis saat lahir.

Pengobatan yang tepat untuk anak-anak dengan kelainan neurologis (hidrosefalus,

kejang, tonus otot abnormal) dapat secara nyata memperbaiki prognosis dan

menghasilkan hasil yang hampir normal. Ini adalah kasus untuk satu-satunya anak

dalam penelitian Barbara yang memiliki gangguan neurologis serius dan membaik

dengan pengobatan antiparasit serta dukungan perkembangan/stimulasi yang tepat

baik oleh pengasuh, terapis, maupun pediatrik. Faktor prognostik keparahan dalam

kasus keterlibatan SSP ini ialah infeksi ibu dini di trimester pertama (12 minggu),

korioretinitis didiagnosis saat lahir, dan toksoplasmosis simtomatik (kejang) pada hari-

hari pertama kehidupan (Berrebi et al., 2010).

2.10. Pencegahan Infeksi Toksoplasma pada Ibu Hamil

Pencegahan primer merupakan kunci untuk mencegah manifestasi klinis yang

disebabkan infeksi Toxoplasma gondii. Hal tersebut mutlak dilakukan mengingat

permasalahan tumbuh kembang yang akan memengaruhi kualitas hidup anak akibat

infeksi. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan beberapa langkah antisipatif

30
ataupun melakukan skrining. Beberapa langkah antisipatif baik oleh ibu hamil ataupun

oleh tenaga kesehatan yang dapat dilakukan antara lain (Moncada and Montoya,

2014):

 Ibu hamil dapat memasak masakan khususunya daging dengan suhu diatas

160°F atau 71.1°C untuk mencegah food-borne illness salah satunya

toksoplasmosis

 Buah dan sayur dikupas dan dibersihkan seluruhnya sebelum dikonsumsi

 Papan potong, peralatan memotong, dan peralatan dapur lainnya, juga

termasuk tangan harus rutin dibersihkan dengan sabun terutama setelah

kontak dengan daging mentah, daging unggas, seafood, atau buah dan sayur

yang belum dicuci

 Ibu hamil dianjurkan untuk menggunakan sarung tangan apabila ingin

berkebun atau menyentuh tanah/pasir, karena kemungkinan adanya feses

kucing. Setelah itu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir

 Jika memungkinkan ibu hamil dapat menjauhi aktivitas berpotensi menularkan

seperti menggantu pasir kucing. Jika terpaksa, memakai sarung tangan dan

mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Selain itu, diusahakan pasir

kucing diganti tiap hari sekali mengingat ookista Toxoplasma gondii

membutuhkan >1 hari untuk menjadi infeksius.

 Ibu hamil harus meyakinkan bahwa kucing mereka tetap diam di dalam rumah

dan tidak mengadopsi atau merawat kucing liar. Kucing diusahakan diberi

makan makanan kaleng atau makanan yang dimasak matang. Jangan beri

kucing makanan mentah atau setengah matang.

 Pendidikan kesehatan bagi wanita usia subur harus mencakup informasi

tentang pencegahan penularan T. gondii dari makanan dan tanah. Pada

31
kunjungan pranatal pertama, penyedia layanan kesehatan harus mendidik ibu

hamil tentang kebersihan makanan dan menghindari paparan kotoran kucing.

 Penyedia layanan kesehatan yang merawat ibu hamil harus dididik tentang

dua masalah potensial yang terkait dengan tes serologi T. gondii: (1) tidak ada

tes yang dapat menentukan secara tepat kapan infeksi awal T. gondii terjadi;

(2) pada populasi dengan insiden infeksi T. gondii yang tinggi (populasi

Indonesia khsusunya dataran rendah dan memiliki populasi kucing yang

padat), sebagian besar hasil tes IgM positif mungkin akan menjadi benar-

benar infeksi akut

 Pemerintah dan industri daging harus terus berupaya untuk mengurangi

keberadaan T. gondii dalam daging, serta berperan aktif dalam mengadvokasi

upaya skrining TORCH yang termasuk toksoplasma bagi seluruh wanita subur

serta pengadaan Air bersih yang merata.

32
BAB 3

PENUTUP

3.1. Penutup

Infeksi toksoplasmosis dapat terjadi pada janin melalui sirkulasi uteroplasenta.

Pemeriksaan laboratorium yang lazim dilakukan ialah IgG dan IgM anti-toksoplasma

serta aviditas anti-toksoplasma IgG. Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada ibu

yang diduga terinfeksi T. gondii dan juga pada janin, umumnya dilakukan pada usia

kehamilan 14-27 minggu. Untuk ibu hamil yang memiliki kemungkinan infeksi tinggi

atau infeksi janin telah terjadi, pengobatan dengan spiramisin harus ditambahkan

pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folat setelah usia kehamilan 18 minggu.

Infeksi Toksoplasma kongenital memiliki pola tertentu, pada trimester dini

prevalensinya rendah namun memiliki tingkat keparahan dan kecacatan janin tinggi.

Hal tesrsebut terjadi akibat pada trimester awal terjadi pembentukan organogenesis

vital bagi kehidupan. Sedangkan pada trimester lanjut, prevalensi akan semakin

banyak namun keparahan yang ditimbulkan lebih bersifat asimtomatik hanya saja

korioretinitis tetap sering terjadi walau infeksi mengenai trimester lanjut. USG antenatal

dapat digunakan sebagai alat skrining keterlibatan SSP oleh toksoplasmosis. Walau

demikian, kejadian korioretinitis tampaknya mustahil dilihat menggunakan USG.

Skrining TORCH yang mencakup toksoplasmosis pada masa pra-nikah bagi wanita

subur digadang sebagai langkah bijak dalam memerangi permasalah tumbuh kembang

akibat infeksi toksoplasmosis. Hal tersebut didukung oleh beberapa langkah antisipatif

baik bagi Ibu, Pemberi Pelayanan Kesehatan, serta pemerintah dalam menekan dan

mencegah kejadian toksoplasmosis kongenital.

33
Ketika permasalahan tumbuh kembang telah terjadi pada anak yang terinfeksi

toksoplasmosis kongenital, Barbara dkk (2010), McLeod dkk (2014), dan Kartasasmita

dkk (2017) telah memberikan banyak pelajaran bagi manajemen permasalah tumbuh

kembang anak dengan gejala toksoplasmosis kongenital seperti keterlibatan SSP dan

Korioretinits: Pendiagnosis sedini mungkin, pemberian obat antiparasit antenatal dan

post natal, serta pemberian paket-4-obat diketahui ampuh dalam mensupresi

korioretinitis bahkan pada minggu pertama dan juga mampu dalam mendukung

perkembangan SSP pada anak dengan gejala neurologis. Hanya saja, pada anak

dengan gejala neurologis, diperlukan follow-up rutin selama 3 bulan sekali selama 2

tahun untuk monitoring terapi yang diberikan baik oleh pengasuh, terapis, dan dokter

anak (pediatrik) Berrebi et al., 2010; McLeod et al., 2014; Kartasasmita et al., 2017).

34
Daftar Pustaka

Aryani, I., 2017. Toksoplasmosis Kongenital. CDK Journal, 44(8), pp.530-9.

Basri, S., 2017. Toksoplasmosis Okular Kongenital. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala,

17(2), pp.133-139.

Berrebi, J., Myringen, S., Kennard, C., Rust, C. and Mahfoudz, J., 2010. Long-term

outcome of children with congenital toxoplasmosis. Yearbook of Obstetrics,

Gynecology and Women's Health, 2011, pp.133-135.

CDC, 2020. CDC - Toxoplasmosis - Biology. [online] cdc.gov. Available at:

<https://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/biology.html> [Accessed 13

December 2020].

Cunningham FG, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K. 2005.

Toxoplasmosis. In: Cunningham FG, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L,

Wenstrom K, editors. Williams Obstetric (Twenty second Edition). New York:

McGraw Hill, p.1475-7.

Furtado, J., Smith, J., Belfort, R., Gattey, D. and Winthrop, K., 2011. Toxoplasmosis: A

global threat. Journal of Global Infectious Diseases, 3(3), p.281.

Hariadi R. 2008. Infeksi Toxoplasma gondii pada kehamilan. In: Ilmu kedokteran

Fetomaternal (Edisi Pertama). Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi, 2004; p.657-661.

Hiroki Maeda, T., Damdinsuren Boldbattar, R. and Hiroshi Suzuki, R., 2011. Tick

Longicin Implicated in the Arthropod Transmission of Toxoplasma

Gondii. Journal of Veterinary Science & Technology, 03(02).

35
Hoshino, T., Kita, M., Imai, Y., Yamakawa, M. and Takoka, H., 2014. Incidence of

death from congenital toxoplasmosis in 0-4-year-old children in

Japan. Pediatrics International, 56(4), pp.637-639.

Kartasasmita, A., Muntur, W., Enus, S., Iskandar, E. and Sutisna, E., 2017. Rapid

resolution of toxoplasma chorioretinitis treatment using quadruple

therapy. Clinical Ophthalmology, Volume 11, pp.2133-2137.

Kieffer, F. and Wallon, M., 2013. Congenital toxoplasmosis. Pediatric Neurology Part II,

pp.1099-1101.

Maldonado, Y. and Read, J., 2017. Diagnosis, Treatment, and Prevention of

Congenital Toxoplasmosis in the United States. Pediatrics, 139(2),

p.e20163860.

McLeod, R., Lykins, J., Gwendolyn Noble, A., Rabiah, P., Swisher, C., Heydemann, P.,

McLone, D., Frim, D., Withers, S., Clouser, F. and Boyer, K., 2014.

Management of Congenital Toxoplasmosis. Current Pediatrics Reports, 2(3),

pp.166-194.

Moncada, P. and Montoya, J., 2014. Toxoplasmosis in the fetus and newborn: an

update on prevalence, diagnosis and treatment. Expert Review of Anti-infective

Therapy, 10(7), pp.815-828.

Paquet, C., Yudin, M., Yudin, M., Allen, V., Bouchard, C., Boucher, M., Caddy, S.,

Castillo, E., Money, D., Murphy, K., Ogilvie, G., Paquet, C., van Schalkwyk, J.

and Senikas, V., 2013. Toxoplasmosis in Pregnancy: Prevention, Screening,

and Treatment. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada, 35(1), pp.78-

79.

36
Randall, L. and Hunter, C., 2011. Parasite dissemination and the pathogenesis of

toxoplasmosis. European Journal of Microbiology and Immunology, 1(1), pp.3-

9.

Retmanasari, A., Widartono, B., Wijayanti, M., Artama, W. and Prakoso, D., 2017.

Prevalence and Risk Factors for Toxoplasmosis in Middle Java,

Indonesia. EcoHealth, 14(1), pp.162-170.

Torgerson, P. and Mastroiacovo, P., 2013. The global burden of congenital

toxoplasmosis: a systematic review. Bulletin of the World Health Organization,

91(7), pp.501-508.

Wellington, A., Oladipo, O., Chimere, O., Oladele, T., Anunobi, C. and Soyebi, K.,

2010. Congenital Toxoplasmosis: A Review of its Pathology, Immune Response

and Current Treatment Options. Sierra Leone Journal of Biomedical Research,

1(1).

Yuliawati, I. and Nasronudin, 2015. Pathogenesis, Diagnostic and Management of

Toxoplasmosis. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Diseases, 4(5),

pp.100-110.

37

Anda mungkin juga menyukai