Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

TETANUS

Disusun oleh :

Alfi Saqiyah

Residen Pembimbing :

dr.Maya

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020

1
DEPARTEMENNEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

STATUSNEUROLOGI

No. Status : ..........

No.Register RSWS/RSP/RSLB/RSIS/RSIF :

Nama :Tn.A Tgl. Pemeriksaan :

Umur :50 Tahun Oleh asisten/dr.bangsal :

Kelamin :Laki-laki Bangsal/kamar :

Agama :Islam Masuk RS. Tgl………...........jam....

Suku/bangsa : Bugis/Indonesia Keluar RS. Tgl......………….jam.....

Alamat : Majenne Meninggal Tgl......………….jam.....

DIAGNOSA MASUK :

DIAGNOSA KELUAR : Code :

I. ANAMNESE :

1. Keluhan utama : Kejang

2. Anamnese terpimpin :

- Riwayat penyakit sekarang

2
Seorang lai-laki 50 tahun masuk rumah sakit dengan kejang. Kejang dialami
empat hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang kaku seluruh tubuh. Lama kejang 5
menit hilang timbul. Frekuensi 5-6 kali per hari. Setelah kejang pasien sadar.
Sebelumnya pasien tidak pernah kejang dan tidak mengkonsumsi obat. Riwayat
tertusuk paku pada tangan kanan 13 hari sebelum kejang dan tidak diobati. Pasien
juga sulit membuka mulut dan sulit menelan. Demam ada terus menerus. Sesak ada.
Mual dan muntah tidak ada. Riwayat vaksinasi toksoid tetanus tidak diketahui.

- Riwayat penyakit dahulu

 Riwayat trauma disangkal


 Riwayat kejang disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat stroke disangkal
 Riwayat penyakit jantung bawaan disangkal
 Riwayat DM disangkal
 Riwayat penyakit ginjal : disangkal
 Keganasan : Disangkal

- Riwayat penyakit keluarga


 Riwayat penyakit serupa disangkal

 Riwayat hipertensi disangkal

 Riwayat DM disangkal

- Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi


Pasien tinggal bersama anak dan istrinya. Pasien seorang petani dan memiliki bengkel
motor di depan rumahnya.

- Riwayat Pengobatan :
Keluarga pasien mengatakan pasien sedang tidak mengonsumsi obat-obatan

3
II. PEMERIKSAAN FISIS

Pemeriksaan Umum

- Kesan : sakit sedang - Tensi : 110/80 mmHg - Kesadaran : GCS E4-M6-V5

- Nadi : 104 x/mennit - Gizi : baik - Suhu : 38°c

- Pernafasan : 30x/menit

KEPALA : - Anemi : tidak ada - Ikteru : tidak ada

- Sianose : tidak ada - Trismus : 2 jari

- Rhisus sardonicus : positif

TORAKS : - Inspeksi : Pergerakan simetris, retraksi intercostal (+).


- Palpasi : Vokal fremitus normal kanan = kiri
* Paru-paru : - Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi : SD paru vesikuler (+), suara tambahan paru: wheezing (-),
ronki basah halus (+/+)
* Jantung : - Inspeksi : tidak tampak ictus cordistidak tampak ictus cordis

- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV LMCS

- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

- Auskultasi : Bunyi jantung I & II (+) normal, bising (-), gallop (-)

ABDOMEN : - Inspeksi : Dinding abdomen datar, spider naevi (-), warna kulit
sama dengan warna kulit sekitar

- Auskultasi : Bising usus (+) normal


- Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, ascites (-)
- Palpasi : Hepar & lien tak terabaAuskultasi : Bising usus (+) normal,
perut tegang seperti papan, Opisthotonus (+)
EKSTREMITAS : Akral hangat, tidak ada edema, tedapat luka di tangan kanan.
Status lokalis : Luka pada jari ke-4 tangan kanan, luka
terbuka diameter 2 cm, kedalaman 5 mm dasar kehitaman, pus (+)
berbau.

4
Pemeriksaan Psikiatris

- Emosi dan effek : - - Penyerapan : -

- Proses berfikir : - - Kemauan :-

- Kecerdasan : - - Psikomotor : -

Status Neurologis : G C S = E4 M6 V5

1. Kepala : - Posisi : simetris - Bentuk/ukuran : normosefali


- Penonjolan : tidak ada
2. Urat saraf kranial :

- N.I (olfaktorius) : penghidu, normosmia (+/+)

- N.II (optikus) : OD OS

- Ketajaman penglihatan 6/6 6/6

- Lapangan penglihatan normal norml

- Funduskopi .........……………. ........... …………

- N.III, IV, VI

- Celah kelopak mata normal normal

- ptosis - -

- exoftalmus - -

- Ptosis bola mata - -

- Pupil :-ukuran/bentuk 2,5mm/bulat 2,5mm/bulat

- isokor/anisokor isokor isokor

- Refleks cahaya langsung/ RCL + RCL +

tak langsung .........……………. ........... …………

- refleks akomodasi .........……………. ........... …………

-Gerakan bola mata :

- Parese kearah tidak ada tidak ada

- Nistagmus tidaak dilakukan tidak dilakukan

5
- N.V (Trigeminus) :

* Sensibilitas : - N.V1 : normal

- N.V2 : normal

- N.V3 : normaal

* Motorik : Inspeksi/palpasi : normal

(istirahat/menggigit)

* Refleks dagu/masseter : otot masseter kejang, trismus 2 jari

* Refleks cornea :

- N.VII (Facialis) :

* Motorik : m. frontalis m.orbik.okuli m.orbik.oris

- Istirahat : simetris simetris simetris

- gerakan mimik :simetris simetris simetris

* Pengecap 2/3 lidah bagian depan : tidak dilakuan

- N.VIII (Auskultasi) :

* pendengaran : normal

* Test rinne/weber : tidak dilakukan

* Fungsi vestibularis : tidak dilakukan

- N.IX/X (Glossopharingeus/vagus) :

* Posisi arkus pharinks (istirahat/AAH) : sdn

* Refleks telan/Muntah : sdn

* Pengecap 1/3 lidah bahagian belakang : sdn

*Suara : normal

* Takhikardi/bardikardi :normal

- N.XI (Accecorius) :

* Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan : -/-

* Angkat bahu : +/+

- N.XII (Hypogosus) :

6
* Deviasi lidah : tidak ada deviasi

* Fasciculasi :-

* Atrofi :-

* Tremor :-

* Ataxia :-

3. L e h e r :

* Tanda-tanda perangsangan selaput otak : - kuduk kaku : negatif

- Kernig's sign : -

* Kelenjar lymphe : tidak ada pembesaran

* Arteri karotis : palpasi :-

auskultasi :-

* Kelenjar gondok : -

4. A b d o m e n :

* Refleks kulit dinding perut : -

5. Kolumna vertebralis :

- Inspeksi : - - Palpasi : -

- Pergerakan : - - Perkusi : -

6. Ekstremitas : Superior Interior

Kanan Kiri Kanan Kiri

- Motorik :

* Pergerakan normal normal normal normal

* Kekuatan 5 5 5 5

* Tonus otot meningkat meningkat meningkat meningkat

* Bentuk otot eutrophy eutrophy eutrophy eutrophy

7
- Refleks fisiologik : Superior Interior

Kanan Kiri Kanan Kiri

* Biceps meningkat meningkat KPR meningkat meningkat

* Tripes meningkat meningkat APR meningkat meningkat

* Radius meningkat meningkat ……........ .......……..

* Ulna meningkat meningkat ……........ .......……..

- Klonus :

lutut :……......... ……..........

Kaki :……......... ……..........

- Refleks patologik : negatif

 Hoffmann -
 Tromner: ………..... …….
 Babinski :
 Chaddock……..... ……...........
 Gordon………...... ……..........
 Schaefer……….... ……...........
 Oppenheim……... ……...........
- Tropik …........... ……........ ……........ .......……..

- Sensibilitas :

* ekstroseptif :

- nyeri + + + +

- suhu + + + +

- rasa raba halus + + + +

* proprioseptif : -

- rasa sikap + + + +

- rasa nyeri dalam + + + +

8
7. Pergerakan abnormal yang spontan : tidak ada

8. Gangguan koordinasi :

- test jari hidung : dbn - test tumit :-

- test pronasi-supinasi : dbn - test pegang jari : -

9. Gangguan keseimbangan: -

- test Romberg :sdn

10. G a i t :normal

11. Pemeriksaan fungsi luhur : -

- Memori : dbn - Fungsi Eksekutif :dbn

- Fungsi Bahasa : dbn - fungsi psikomotorik (praksia) :dbn

- Visuospasial :dbn - Kalkulasi :dbn

- Gnosis :dbn

III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM :

Pemeriksaan CBC Hasil Nilai Normal


WBC 9,00 4,00-10,00 x 10
RBC 4.28 3,50-5,50 x 10
HGB 12.9 11,0-16,0 g/dL
MCH 30 26,5-33,5 pg
MCHC 33 31,5-35,1 gr/dL
MCV 90 80-97 fL
PLT 335 150-400 x 10

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


SGOT 21 6-30 U/l
SGPT 11 7 – 32 U/l

9
Kreatinin 1.45 0.8-1.3 mg/dl
Ureum 65.9 10-50 mg/dl
GDS 88 <200 mg/dl

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan


Elektrolit
Kalium (K) 3.61 3.5 – 5.0 mEq/L
Natrium (Na) 128 133 – 145 mEq/L
Klorida (Cl) 106 96 - 106 mEq/L

IV. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK dan PEMERIKSAAN LAIN-LAIN.

Tidak dilakukan pemeriksaan radiologi

V. R E S U M E

Seorang lai-laki 50 tahun masuk rumah sakit dengan kejang. Kejang dialami empat
hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang dirasakan seluruh tubuh. Lama kejang 5
menit hilang timbul. Frekuensi 5-6 kali per hari. Setelah kejang pasien sadar.
Sebelumnya pasien tidak pernah kejang dan tidak mengkonsumsi obat. Riwayat
tertusuk paku pada jari ke-4 tangan kanan, luka terbuka diameter 2 cm, kedalaman
5 mm dasar kehitaman, pus (+) berbau, 13 hari sebelum kejang dan tidak diobati.
Ada trismus 2 jari, hipersaliva, disfagia, meningismus, Rhisus sardonicus,
Opisthotonus. Refleks fisiologis meningkat keempat ekstremitas dan gangguan
sensorik negatif. Tensi : 110/80 mmHg, Nadi : 104 x/mennit , Suhu : 38°c,
Pernafasan : 30x/menit

VI. D I A G N O S A
Kalau dapat ditetapkan :

- Diagnose klinis : Trismus, kejang

-Topis : SelInterneuron Renshaw

-Etiologis : Tetanus generalisata

VII. DIAGNOSA BANDING :

10
 Epilepsi
 Kejang demam komplikta

VIII. T H E R A P I :

 perawatan luka: luka dibersihkan dan debridemen terhadap benda asing


 Tabung nasogastrik
 Kateter urin
 Tetes Cairan Intravena Dextrose 5%: RL = 1: 1
Diazepam 100mg (10 ampul) drips dalam 500 ml Dextrose 5% (kocok setiap 30
menit)
Toksin netralisasi: HTIG 3000 IU / intramuskuler (dosis tunggal)
Histamine 2 Blocker: Ranitidine 50mg / 12 jam / intravena
Neurotropik: Mecobalamin 1 ampul / 24 jam / intravena
Antibiotik:
 Ampisilin 2 gram / 8 jam / intravena
 Ceftriaxone 1 gram / 12 jam / intravena
 Metronidazole 0,5 gram / 6 jam / drips intravena

IX. P R O G N O S A :

- qua ad vitam : dubia et bonam

- qua ad sanationem : dubia et bonam

DISKUSI

11
Pada pasien yang datang dengan keluhan spasme pada otot-otot tubuh disertai
adanya trismus dan riwayat trauma disertai luka sebagai sumber infeksi yang tidak
mengarah pada suatu diagnosa tertentu harus dipikirkan akan penyakit tetanus.
Diagnosa tetanus ditegakkan melalui manifestasi klinis berupa hipertonia dengan
kontraksi atau spasme otot. Tiga gejala tersering pada pasien tetanus adalah trismus,
rigiditas, dan spasme otot. Masa inkubasi dari tetanus umumnya sekitar 3 sampai 21
hari, namun dapat lebih.13-15 Semakin pendek masa inkubasi pasien, semakin buruk
prognosanya yang berhubungan dengan resiko kematian. Pada kasus didapatkan
adanya keluhan mulut terasa kaku sehingga sulit untuk dibuka disertai dengan nyeri
dan kaku pada seluruh badan dengan disfagia sejak 4 hari SMRS. Selain itu, dari
anamnesa didapatkan adanya riwayat tertusuk benda pada telapak tangan kanan
sejak 13 hari SMRS yang tidak diobati. Transmisi tetanus bisa terjadi melalui luka
tusuk, luka bakar, operasi, otitis media, infeksi dental, gigitan binatang, kehamilan
dan lain sebagainya. Namun, paling sering melalui luka yang terkontaminasi yang
pada kasus ini, port d entry adalah melalui luka akibat tertusuk benda pada telapak
tangan kanan sejak 13 hari SMRS yang tidak mendapatkan perawatan sebagaimana
mestinya.
Tetanus terjadi ketika spora, yang biasa terdapat pada objek yang sudah
terkontaminasi, masuk kedalam tubuh melalui kulit yang terbuka seperti pada luka
tusuk, laserasi, luka bakar dan lain sebagainya. Kemudian spora C.tetani akan berubah
menjadi bentuk vegetatif dan akan berkembangbiak di dalam jaringan tempat
terjadinya luka dan akan menghasilkan neurotoksin yaitu tetanolisin yang akan
menghancurkan jaringan sekitar. Setelah berada di sistem saraf pusat, toksin akan
berikatan dengan inhibitor GABA atau saraf glisinergik sehingga toksin tetanus dapat
memotong VAMP dan menghambat pelepasan GABA dan glisin sehingga
menyebabka manifestasi patognomonik berupa kontraksi, rigiditas otot dan spasme
dari otot yang hiperaktif dan nyeri. Gejala yang kurang spesifik seperti irritable, susah
menelan, kaku pada leher, rigiditas pada otot abdomen dan thoraks. Toksin akan
berikatan secara ireversibel sehingga setelah toksin berikatan, toksin tidak akan dapat
dinetralisir oleh tetanus immunoglobulin (TIG). Ketika toksin sampai di sistem saraf
pusat dan menimbulkan gangguan neurologi, diperlukan tatalaksana medik yang cepat
dan tepat. Kekakuan biasanya terjadi pada daerah otot leher yang menyebabkan
terjadinya retraksi leher, pada otot faring yang menyebabkan terjadinya disfagia, pada
otot maseter menyebabkan terjadinya trismus (lock jaw) pada sekitar 50% pasien, otot
wajah memberikan gambaran menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut
dengan risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke
bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), pada otot dada dan interkostal menyebabkan
keterbatasan dalam pergerakan napas, pada otot abdomen menyebabkan rigiditas yang
disebut juga sebagai perut papan, dan pada otot punggung yang memberikan
gambaran opistotonus.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya trismus (lockjaw) sebesar 2
jari, risus sardonikus, meningismus pada leher, tanpa tanda rangsang meningeal,
opistotonus, abdomen yang keras seperti papan dengan hipertonia pada otot-otot
tubuh. Secara klinis, tetanus dibagi dalam beberapa tipe yaitu tipe general, neonatal,

12
sefalik dan lokal. Tetanus tipe general biasanya disebabkan oleh luka yang luas dan
dalam misalnya pada luka tusuk yang dalam seperti pada kasus ini tertusuk benda,
luka bakar yang luas, ulkus dekubitus, ekstraksi gigi dan lain sebagainya. Pasien pada
kasus ini merupakan tetanus tipe general dimana spasme terdapat pada otot leher,
abdomen, ekstremitas dan juga disertai trismus, risus sardonikus, opistotonus tanpa
adanya trauma kraniofasial maupun riwayat penyakit telinga.
Penegakkan diagnosis tetanus berdasarkan manifestasi klinis dan anamnesa.
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosa tetanus. Pada
pemeriksaan darah rutin tidak terdapat nilai yang signifikan, leukosit dapat normal
atau dapat meningkat. Pemeriksaan serologi terhadap antibodi antitetanus juga dapa
dilakukan, namun biasanya untuk mengetahui kadar vaksinasi yang masih kurang.
Pada kasus in tidak dilakukan pemeriksaan kultur luka maupun serologi karena sudah
dapat ditegakkan melalui klinis, anamnesa dan adanya riwayat luka. Diagnosis tetanus
tetap tidak dapat disingkirka walaupun didapatkan antibodi antitetanus dalam kadar
yang tinggi pada penderita. Selain kekakuan otot luas, biasanya pasien tetanus
mengalami kejang umum tonik yang dapat timbul spontan.
Tatalaksana dari penyakit tetanus dibagi menjadi 3 yaitu netralisasi toksin
dengan tetanus imunogloblulin, eliminasi bakteri dengan pemberian agen antimikroba
(penisilin, metronidazole), dan tatalaksana suportif untuk meminimalisir
ketidaknyamanan dan stimulasi berlebihan . Tatalaksana yang dapat diberikan yaitu
dengan menghentikan produksi toksin dengan kontrol sumber misalnya dengan operas
debridement dan menetralisir tetanospasmin yang belum berikatan dan belum
mencapai sistem saraf pusat dengan pemberian tetanus immunoglobulin (TIG) yang
merupakan tatalaksana utama. Selain itu, dapat diberikan antimikroba berupa
metronidazole Pemberian obat untuk mengontrol spasme pada otot seperti obat
golongan benzodiazepine yang menjadi pilihan utama dan relaksan otot.

Definisi dan Etiologi Tetanus

Tetanus adalah suatu kelainan neurologis yang dicirikan dengan spasme dan rigiditas
1,2
otot. Penyebab tetanus adalah bakteri anaerob pembentuk spora bernama Clostridium

13
tetani. Basil Gram positif ini ditemukan dalam feses manusia dan hewan, serta di tanah.
Spora dapat dorman selama bertahun-tahun, tetapi jika terkena luka, spora akan berubah
menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan toksin.3

Gambar. Clostridium tetani

Patofisiologi Tetanus

Bakteri (spora) masuk melalui luka yang kotor dan terkontaminasi. Bentuk vegetatif
dari spora kemudian melepaskan toksin bernama tetanospasmin yang akan berikatan dengan
ujung neuron motorik perifer. Toksin selanjutnya memasuki akson dan ditranspor retrograd
ke inti sel saraf di batang otak dan medula spinalis. Toksin kemudian bermigrasi ke ujung
presinaps. Di tempat ini, toksin memblok pelepasan glisin dan GABA yang bersifat
inhibisi.1,2

Akibatnya, resting fire rate α-motor neuron meningkat sehingga menimbulkan


rigiditas. Selain itu, hilangnya inhibisi juga menyebabkan spasme. Toksin juga dapat bekerja
secara langsung pada otot skeletal di mana akson membentuk ujung (pada tetanus lokal).
Toksin juga bekerja di korteks serebri dan sistem saraf simpatis, serta di hipotalamus.1,2

14
Gambar. Patofisiologi tetanus

Manifestasi Klinis Tetanus

Berdasarkan manifestasi klinis, tetanus dapat diklasifikasikan menjadi tetanus generalisata,


lokal, atau sefalik.4,5

• Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling sering dijumpai. Awalnya dapat
berupa tetanus lokal yang berkembang luas setelah beberapa hari. Gejala yang sering
muncul antara lain hipertonus otot, spasme, trismus (kekakuan pada rahang dan leher
yang menyebabkan penderita sulit membuka mulutnya), kaku dari leher hingga
ekstremitas (biasanya terekstensi), abdomen papan (abdomen terasa keras dan rata),
risus sardonicus (kontraksi pada otot wajah), opistotonus (kontraksi pada otot
punggung sehingga menyebabkan perubahan bentuk menjadi melengkung), dan
spasme pada otot-otot pernapasan.
• Tetanus lokal merupakan yang paling ringan dibandingkan tetanus lainnya. Biasanya
gejala yang muncul berupa rasa kaku, kencang, dan nyeri pada otot di sekitar luka.
Sering kali terjadi spasme dan twitching dari otot yang terkena.
• Tetanus sefalik biasanya terjadi setelah adanya luka pada kepala atau wajah. Periode
inkubasi biasanya pendek, hanya sekitar 1–2 hari. Terjadi kelemahan dan paralisis
otot-otot wajah. Pada periode spasme, otot wajah biasanya berkontraksi. Spasme
dapat melibatkan lidah dan tenggorokan sehingga terjadi disartria, disfonia, dan
disfagia. Sering kali tetanus sefalik berkembang menjadi tetanus generalisata.

15
Diagnosis Tetanus

Diagnosis tetanus yang utama adalah melalui anamnesis dan gejala klinis. Masa
inkubasi tetanus berkisar antara 3 – 21 hari sejak inokulasi spora pada luka. Interval median
dari kejadian luka dan timbulnya gejala tetanus adalah 7 hari. Pada beberapa kasus gejala
dapat timbul paling cepat <2 hari dari kejadian luka.4,5

 Anamnesis
o Pertanyaan seputar luka sangat penting, terutama waktu terkena luka serta
waktu dari luka hingga munculnya gejala. Selain itu tanyakan lokasi luka dan
jenis luka (kotor atau bersih).
o Riwayat operasi dan tindakan medis (misalnya sirkumsisi, pencabutan gigi,
persalinan, dan sebagainya).
o Port d'entrée lain seperti penggunaan jarum suntik, adanya otitis media
supuratif kronis berulang, dan lainnya.
o Riwayat imunisasi tetanus.
 Pemeriksaan fisis
o Pada pemeriksaan fisik pasien tetanus umumnya tanda vital normal, kecuali
jika sudah terjadi gangguan sistem saraf otonom. Demam tidak selalu ada pada
pasien tetanus. Pemeriksaan fisik yang terutama untuk tetanus adalah
penemuan salah satu tanda klinis yakni trismus atau risus sardonikus atau
spasme otot yang nyeri. Trismus adalah kekakuan pada daerah rahang dan
leher yang menyebabkan pasien sulit membuka mulut. Risus sardonikus
adalah gambaran yang khas pada tetanus berupa spasme pada otot wajah
dimana otot bibir mengalami retraksi, mata tertutup sebagian, elevasi alis yang
membuat wajah pasien tampak seperti sedang menyeringai. Saat mengalami
spasme otot, kesadaran pasien tetap baik dan dapat merasakan nyeri.
o Tes spatula dapat dilakukan dengan memasukkan spatula lidah ke dalam mulut
pasien untuk memicu refleks muntah. Hasil negatif jika pasien berusaha
mengeluarkan spatula. Pada pasien tetanus tes ini akan merangsang spasme
otot masseter, sehingga pasien akan menggigit spatula yang dimasukkan.
o Pada pemeriksaan fisik tetanus neonatorum dapat ditemukan refleks hisap
yang lemah. Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah bayi gelisah,
menangis terus menerus, risus sardonikus, rigiditas, dan opistotonus.
 Pemeriksaan penunjang
o Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak menunjukkan perubahan. Hasil
pemeriksaan laboratorium darah biasanya normal pada pasien tetanus,
walaupun dapat ditemukan sedikit leukositosis. Pemeriksaan elektrolit dapat
digunakan untuk menyingkirkan spasme otot akibat hipokalsemia.
Pemeriksaan kadar striknin dalam darah atau urin dapat dilakukan untuk
menyingkirkan spasme akibat keracunan striknin, bila pada pasien tidak
ditemukan port d'entrée dan ada riwayat penggunaan pestisida.

16
o Kultur sekret luka belum tentu memberikan hasil yang positif. Di lain pihak,
hasil kultur yang positif Clostridium tetani juga dapat ditemukan pada pasien
yang tidak menderita tetanus.
o Pemeriksaan lain seperti lumbal pungsi tidak diperlukan karena biasanya
hasilnya normal. Pemeriksaan radiologis juga tidak perlu dilakukan.

Pengukuran trismus dinilai menggunakan Maximum Interincisal Opening Distances


(MID), yaitu mengukur jarak antara insisal gigi insisif rahang atas dan gigi insisif rahang
bawah. Menurut Osmani (2001), parameter derajat trismus adalah sebagai berikut.6

Tabel 1. Parameter derajat trismus7

Derajat Trismus Jarak Interinsisal (cm)


I 0,09
II 1 – 1,9
III 2–3
Beberapa jenis penilaian diagnostik dan prognostik dibuat berdasarkan manifestasi
klinis dicantumkan sebagai berikut.

Tabel 2. Skor Phillip7,8

Faktor Skor
Masa inkubasi
<48 jam 5
2 – 5 hari 4
6 – 9 hari 3
10 – 14 hari 2
>14 hari 1
Lokasi infeksi
Internal/umbilikal 5
Kepala/leher/batang tubuh 4
Proksimal perifer 3
Distal perifer 2
Tidak diketahui 1
Riwayat imunisasi
Tidak pernah dapat 10
Mungkin dapat 8
>10 tahun 4
<10 tahun 2
Imunisasi komplit 0
Penyulit/penyakit penyerta
Trauma/penyulit yang mengancam nyawa 10
Trauma berat/penyulit tidak segera mengancam nyawa 8
Trauma/penyulit tidak mengancam nyawa 4
Trauma/penyulit ringan 2
Tidak ada penyulit 0

17
Interpretasi: skor <9 dapat rawat jalan; skor 10 – 16 dirawat dalam ruangan biasa; skor 17
atau lebih di ruang rawat intensif.

Diagnosis Banding Tetanus

Diagnosis banding tetanus tergantung dari tanda klinis yang muncul pada
pemeriksaan fisik pasien. Tanda klinis trismus selain ditemukan pada pasien tetanus dapat
pula muncul pada kasus infeksi intraoral, keracunan striknin, penggunaan obat distonik
seperti metoklopramid atau fenotiazin, dan hipokalsemia. Meningoensefalitis dapat menjadi
diagnosis banding tetanus saat tanda klinis kaku kuduk muncul. Namun, pada
meningoensefalitis biasanya ditemukan penurunan kesadaran, demam tinggi, dan kejang.
Rigiditas abdomen yang ditemukan pada tetanus, dapat didiagnosis banding dengan akut
abdomen atau kelainan lain intraabdomen (peritonitis, perdarahan intraabdomen, kehamilan
ektopik terganggu). Bell's palsy dan neuritis trigeminal bisa menjadi diagnosis banding pada
tetanus sefalik. Namun, tetanus sefalik seringkali disertai dengan disfagia, trismus, dan kaku
kuduk.4,5

Manajemen Tetanus

Setiap pasien dengan diagnosis tetanus, sebaiknya dinilai dengan skor Phillip untuk
menentukan tata laksana yang tepat. Tujuan dari penatalaksanaan pada pasien dengan tetanus
meliputi hal-hal berikut, yakni menginisiasi terapi suportif, membersihkan luka untuk
menghilangkan spora dan mengatasi infeksi pada luka, menghentikan produksi toksin pada
luka, mengontrol manifestasi penyakit, dan mencegah komplikasi.3,9

• Tata laksana non-medikamentosa


o Pembersihan dan debridement luka yang kotor.
o Ruang rawat yang gelap (cahaya cenderung mencetuskan spasme dan kejang).
o Diet diberikan melalui nasogastrik bila diperlukan. Diberikan diet tinggi
kalori.
o Pencegahan ulkus dekubitus.
• Tata laksana medikamentosa
o Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000 – 6000 unit secara
intramuskular.
o Penicilin prokain 1,2 juta unit setiap hari, diberikan selama 10 hari.
o Metronidazole 4 × 500 mg atau tetrasiklin 2 g/hari selama 10 hari.
o Antiepilepsi untuk mencegah spasme otot, dapat diberikan diazepam atau
fenobarbital atau MgCl2.
o Pemberian vitamin B12.

Setiap pasien yang telah mengalami tetanus sebaiknya mendapatkan vaksinasi tetanus
yang lengkap. Untuk dewasa, vaksin dibagi dalam 3 dosis. Dosis pertama dan kedua
diberikan dalam jarak 4 – 8 minggu. Dosis ketiga diberikan 6 – 12 bulan setelah dosis kedua.
Diperlukan booster setiap 10 tahun.3

18
Tatalaksana umum pasien di ruang intensif

Tatalaksana umum untuk pasien di RTI adalah kecukupan cairan dan nutrisi, menjaga
saluran nafas tetap bebas (bila pasien terintubasi lebih dari 10 hari trakeostomi sebaiknya
dilakukan), anal-gesia yang adekuat, mengurangi dan mengatasi spasme dengan pemberian
sedasi (diazepam atau midazolam) maupun magnesium sulfat (beberapa studi menyarankan
penggunaan propofol untuk sedasi), pencegahan tromboemboli, sandaran kepala maupun
profilaksis ulkus akibat stress (stress ulcer prophylaxis). Magnesium sulfat menghambat
presinaps neuromuskuler, pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla adrenal, serta
mengurangi respon reseptor terhadap katekolamin. Dengan mengan-tagonis metabolisme
kalsium, overdosis magne-sium sulfat menyebabkan kelemahan dan paralisis otot.

Obat ini dapat digunakan dengan atau tanpa kombinasi dengan benzodiazepine untuk
mengon-trol spasme dan disfungsi otonom dengan dosis awal intravena 5 gram (75 mg/kg)
diteruskan dengan peningkatan 2-3 gram per jam hingga tercapai kontrol spasme. Untuk
menghindari over-dosis maka diperlukan pemantauan refleks patella; dimana hilangnya
refleks patella akan terjadi pada batas atas kadar magnesium yaitu 4 mmol/L, jika arefleksia
ini terus terjadi, dosis terapi harus diturunkan. Selain tatalaksana umum diatas, untuk pasien
tetanus perlu mendapatkan anti tetanus serum (100,000 IU) atau human tetanus immunoglob-
ulin (HTIG) (3,000-6,000IU im); intravenous Immunoglonulin (IVIG) yang mengandung
anti-toksin tetanus dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Pemberian antibiotika berguna
untuk mengurangi kuman C. tetani. Antibiotika yang direkomendasikan adalah
metronidazole (15 mg/ kgbb IV tiap 6 jam) selama 7-10 hari; dan sebagai lini kedua, penisilin
prokain 50,000-100,000 U/ kgBB/hari dapat diberikan selama 7-10 hari.13,14,15,16

Kriteria Pemulangan Pasien Tetanus

Dari beberapa kasus, pasien tetanus memberikan perkembangan yang baik dalam 5–
10 hari. Terdapat beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan sebelum dokter
memperbolehkan pasien untuk pulang, di antaranya bebas kejang selama minimal 2 hari,
pasien dapat mengunyah dan menelan makanan dengan konsistensi padat, bebas demam
selama minimal 2 hari, luka mengering setelah beberapa hari, serta gejala-gejala khas pada
tetanus mereda.10,11

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP, penyunting. Disorders of the nervous system due
to drugs, toxins, and other chemical agents. Dalam. Adams and Victor's principle of
neurology. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill; 2014.
2. Rowland LP, Pedley TA. Merrit's neurology. Edisi ke-12. Philadelpia: Lippincot
Williams & Wilkins; 2009.
3. CDC. Tetanus. Dalam. Immunology and Vaccine-Preventable Diseases. CDC; 2008.
4. Ismanoe G. in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata K, Setiati S, Interna Publishing, Jakarta, 2009, vol. 1, p.1799-1807
5. Roper MH, Wassilak SGF, Tiwari TSP, Orenstein WA. in Vaccines. ed. Plotkin SA,
Orenstein WA, Offit PA. Elsevier Inc, Philadelphia, 2013, p.747-772.
6. Fakhrurrazi, Hakim RF, Rifani R. Hubungan Tingkat Kesulitan dengan Komplikasi
Post-Odontektomi Gigi Impaksi Molar Ketiga Rahang Bawah pada Pasien di Instalasi
Gigi dan Mulut RSUDZA Banda Aceh. Cakradonya Dental Journal. 2015. 7(1):761–
7.
7. Osmani S. Efek pemberian dexamethason untuk mencegah terjadinya trismus
pascaodontektomi molar ketiga rahang bawah terpendam. Dentika Dental Journal.
2001; 6:260.
8. Farrar, J.J. & Yen, L.M. & Cook, Timothy & Fairweather, N & Binh, N & Parry, J &
Parry, Christopher. (2000). Tetanus.. Journal of neurology, neurosurgery, and
psychiatry. 69. 292–301.
9. Surya R. Skoring Prognosis Tetanus Generalisata pada Pasien Dewasa. CDK Journal.
2016. 43(3):199–203.
10. Tetanus—Puerto Rico, 2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2002. 51(28):613–5.
11. Pieter R. Laporan Kasus: Tetanus Otogenik pada orang dewasa. Majalah Kedokteran
UKI. 2016. 32(1).
12. Lubis MY, Lubis NU. Tetanus pada Anak tanpa Imunisasi DPT Lengkap. CDK
Journal. 2017. 44(7):496–8.
13. Lubis CP. Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak. Revisi 2008. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
14. Michael J dkk. FAST HUG: ICU Prophylaxis. Last updated June 1, 2011. [diakses
tanggal: 26Agustus 2014]. Diunduh dari:
http://www.ashp.org/DocLibrary/MemberCenter/ NPF/2011Pearls/Fast-HUG-ICU-
Prophylaxis.aspx
15. Ahmadsyah I, Salim A. Treatment of tetanus: an open study to compare the efficacy
of procaine penicil-lin and metronidazole. Br Med J (Clin Res Ed). Sep 7:
1985;291(6496):648-50.
16. NN. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies. WHO; 2010.

20
21

Anda mungkin juga menyukai