Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS INDIVIDU

MENINGOENSEFALITIS

Oleh:

Azmiyah Febri Pramawardani

201710401011038

Pembimbing:

dr. Kunadi, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

2017
BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia infeksi susunan saraf pusat menduduki urutan ke 10 dari urutan

prevalensi penyakit. Inflamasi yang terjadi pada susunan saraf pusat meliputi tiga diagnosis

yang sulit dibedakan secara klinis, yaitu meningitis, ensefalitis dan meningoensefalitis.

Meningoensefalitis merupakan salah satu infeksi susunan saraf pusat yang merupakan

masalah serius dan membutuhkan pengenalan serta penanganan segera untuk memperkecil

gejala sisa dan memastikan kelangsungan hidup pasien.

Meningitis merupakan inflamasi yang terjadi pada meningens, etiologi penyakit ini

beragam, dapat disebabkan bakteri, virus dan jamur. Ensefalitis adalah inflamasi pada otak

yang umumnya menyebabkan pasien mengalami demam, sakit kepala dan perubahan status

mental. Sebagian besar pasien juga mengalami inglamasi pada meningens sehingga tampakan

klinis yang ada tumpang tindih dengan meningoensefalitis.

Di Indonesia pada tahun 2010 jumlah kasus meningitis terjadi pada laki-laki

sebanyak 12.010 pasien, dan pada wanita sebanyak 7.371 pasien, dan dilaporkan pasien yang

meninggal dunia sebesar 1.025 pasien. Jumlah pasien meningitis di RSUD Dr. Soetomo pada

tahun 2010 sebesar 40 pasien. 60% diantaranya merupakan laki-laki dan 40% sisanya adalah

wanita dan dilaporkan sekitar 7% pasien meninggal dunia. Pada tahun 2011 dilaporkan 36

pasien dengan diagnosis meningitis, dan 11 pasien meninggal dunia, sekitar 67% pasien

berjenis kelamin laki-laki dan sekitar 33% adalah wanita.

Meningoensefalitis seringkali menyebabkan kematian dan kecacatan neurologis bagi

pasien-pasiennya. Diagnosis sedini mungkin disertai dengan penanganan yang tepat dan

adekuat dapat menurunkan angka mortalitas. Dari latar belakang tersebut dalam laporan
kasus ini akan dibahas kasus meningoensefalitis pada salah satu pasien atas nama Ny. M

yang datang ke IGD RSML pada tanggal 13 Oktober 2017 dengan penurunan kesadaran.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : Ny. M

Usia : 59 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Suku : Jawa

Agama : Islam

Alamat : Lamongan

Status : Menikah

Tanggal masuk : 13 okt 2017

Waktu pemeriksaan : 15.34 WIB

2.2 Anamnesis

Pasien dari PKM Mantup dengan rujukan susp. CVA bleeding

KU: penurunan kesadaran

RPS:(heteroanamnesa) pasien lemah anggota badan sebelah kanan. Keluhan dirasakan 4


jam SMRS, keluhan dirasakan tiba-tiba. Sebelumnya pasien mengeluhkan nyeri kepala.
Nyeri kepala dirasa semakin memberat sejak 2 hari SMRS. Mual(-), muntah (-), pasien
juga mengeluhkan demam. Demam dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Demam dirasakan
hilang timbul. Pasien mengeluhkan batuk. MRS di RSML dan dikatakan bronchitis,
sudah cek BTA; hasil negatif.

RPD:HT, DM disangkal. TB (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :Riwayat penyakit yang sama –


Riwayat Penyakit Sosial : –

2.3 Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum : Nampak sakit

 Kesadaran : Somnolen

 GCS : 356

Vital Sign

 Tekanan darah : 113/72 mmHg

 Nadi : 61x / menit

 Frekuensi nafas : 24x / menit

 Temperatur : 37.10C

Status Generalis

Kepala/Leher

Inspeksi : anemia -, ictus -, sianosis -, dispneu -, mata cowong -, KGB -, JVP -

Thorax

Paru : Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris, retraksi -

Palpasi : Thrill -, fremissment -, krepitasi -

Perkusi : Sonor/sonor

Auskultasi : Suara nafas vesikuler/vesikuler

Rh -/-, Wh -/-

Jantung : Inspeksi : Ictus cordis -, voussure cardiac -


Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, thrill/fremissment -

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : S1S2 Tunggal, Murmur -, gallop –

Abdomen : Inspeksi : Flat

Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium -, hepar lien tidak teraba

Perkusi : Tympani

Auskultasi : BU + N

Ekstremitas : Inspeksi : Deformitas(-) oedem (-)

Palpasi : Hangat, kering, merah, CRT<2 detik

Status Neurologis

1. Kepala

 Posisi : Normal

 Penonjolan : Tidak ada

 Bentuk dan ukuran : normocephali

2. Nervus Cranialis

Nervus I (olfakorius):

Penghidu : normal / normal

Nervus II (optikus)

 Tajam Penglihatan : visus ODS dbn

 Lapang pandang : dbn/dbn

 Funduskopi : Tidak dievaluasi

Nervus III, IV, VI


 Celah kelopak mata

 Ptosis: : -/-

 Exsoftalmus : -/-

 Pergerakan bola mata: normal/normal, diplopia (-)

Pupil

 Ukuran : 3 mm/ 3 mm

 Bentuk : bulat / bulat

 Reflek cahaya langsung : +/+

 Reflek cahaya tidak langsung : +/+

 Nistagmus: -/-

Nervus IV (Tokhlearis)

 Posisi bola mata : normal ditengah / normal ditengah

 Pergerakan bola mata : normal / normal

Nervus VI (Abdusens)

 Pergerakan bola mata : normal / normal

Nervus V (Trigeminus)

Sensibilitas : N. V I : normal / normal

N. V II : normal / normal

N. V III : normal / normal

Motorik : Inspeksi : wajah simetris

Palpasi : normal / normal

Mengunyah : normal

Menggigit : normal
Reflek dagu / masseter : tidak dievaluasi

Reflek kornea :+/+

Nervus VII (fasialis)

Inspeksi : Normal simetris

Motorik

 M. Occipitofrontalis : normal / normal

 M. Orbicularis okuli : normal / normal

 M. Orbicularis oris : normal / normal

Sensorik

 Pengecapan 2/3 depan lidah: tidak dievaluasi

Nervus VIII (vestibulocochlearis)

 Detik arloji : tidak dilakukan

 Suara berbisik : normal / normal

 Tes weber : tidak dilakukan

 Tes rinne : tidak dilakukan

Nervus IX (glossofaringeus)

 Sensibilitas faring : tidak dilakukan

 Pengecapan 1/3 belakang : tidak dilakukan

Nervus X (Vagus)

 Posisi arkus faring : sulit dievaluasi

 Reflek muntah : tidak dievaluasi

Nervus XI (aksesorius)

 Mengangkat bahu : normal / normal


 Memalingkan wajah : normal / normal

Nervus XII (Hipoglossus)

Deviasi lidah :-

Fasikulasi :-/-

Tremor :-

Atrofi :-/-

3. Leher

 Tanda-tanda perangsangan selaput otak

Kaku kuduk :+

Brudzinsky I :-

Brudzinsky II :-

Brudzinsky III :-

Brudzinsky IV :-

Kernig’s sign :-

 Kelenjar limfe: tidak membesar

 Arteri karotis: bruit -

 Kelenjar gondok: tidak membesar

4. Abdomen

Reflek kulit dinding perut :-

5. Ekstremitas

Motorik
- Pergerakan : normal / normal

- Kekuatan : kesan lateralisasi dextra


- Tonus otot : normal

- Tremor : -

Reflek fisiologis :

- BPR : +2 / +2

- TPR : +2 / +2

- KPR : +2 / +2

- APR : +2 / +2

Reflek patologis :

- Hoffman-tromner : - / -

- Babinski :-/-

- Chaddock :-/-

- Gordon :-/-

- Schaefer :-/-

- Oppenheim :-/-

- Mendel B :-/-

- Rossolimo :-/-

Sensibilitas

- Eksteroseptif

Nyeri : normal / normal

Suhu : tidak dievaluasi / tidak dievaluasi

Rasa raba halus : dalam batas normal / dalam batas normal

- Proprioseptif

Rasa sikap /posisi : dalam batas normal

Rasa getar : tidak dievaluasi


- Fungsi kortikal

stereognosis : tidak dievaluasi / tidak dievaluasi

Barognosis : tidak dievaluasi / tidak dievaluasi

Gangguan koordinasi

- Tes jari hidung : sulit dievaluasi karena adanya kelumpuhan

- Tes pronasi supinasi : sulit dievaluasi karena adanya kelumpuhan

- Tes tumit lutut : sulit dievaluasi karena adanya kelumpuhan

- Gait : sulit dievaluasi karena adanya kelumpuhan

Tes profokasi:

Patrick :-/-

Contra Patrick :-/-

Lasseque :-/-

Pemeriksaan fungsi luhur

- Kemampuan bahasa : dalam batas normal

- Memori : memori segera dan jangka panjang terganggu

- Visuospasial : tidak dievaluasi

- Intelegensia : dalam batas normal

2.4 Pemeriksaan Laboratorium

GDA : Hasil 88

HbsAg : Hasil : Negatif

Kalium Serum : Hasil 3.8 [3.6 – 5.5]

Natrium Serum : Hasil 137 [135 – 155]


Chlorida Serum : Hasil 106 [70 – 108]

Urea : Hasil 147 [15-43]

Serum creatinin : Hasil 3.9 [P 0.7-1.2 L 0.8-1.5]

SGOT : Hasil 54 [0-35]

SGPT : Hasil 29 [0-35]

PT : Hasil 17.20 [10.3-16.3]

APTT : Hasil 27.10 [24.2-38.2]

Metode 1 : Hasil Reaktif [non-reaktif]

Metode 2 : Hasil 21.12 [batas tes value <0.25]

Metode 3 : Hasil Reaktif [non-reaktif]

Leukosit : Hasil 18.9 [4.0 – 11.0]

Neutropil : Hasil 80.7 [49.0 – 67.0]

Limposit : Hasil 17 [25.0 – 33.0]

Monosit : Hasil 17.3 [3.0 – 7.0]

Eosinopil : Hasil 0.1 [1.0 – 2.0]

Basofil : Hasil 0.2 [0.0 – 1.0]

Eritrosit : Hasil 4.53 [3.80 – 5.30]

Hemoglobin : Hasil 12.5[ P 13.0 – 18.0, L 14.0 – 18.0]

Hematokrit : Hasil 38.2[ L 40 – 54, P 35 – 47]

MCV : Hasil 84.30 [ 87.00 – 100.00]

MCH : Hasil 27.60 [ 28.00 – 36.00]

MCHC : Hasil 32.70 [ 31.00 – 37.00]

RDW : Hasil 16 [ 10 – 16.5]


Trombosit : Hasil 71[ 150 – 450]

MPV : Hasil 9[ 5 – 10]

2.5 Ringkasan

Pasien datang ke IGD dengan nyeri kepala dan demam, selama MRS terjadi
penurunan kesadaran berangsur-angsur dan gelisah, dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik didapatkan tanda-tanda dari infeksi meningen dan parenkim otak.

2.6 Diagnosis

Diagnosis klinik : Penurunan kesadaran, cephalgia, kaku kuduk, kesan lateralisasi


dextra

Diagnosis topis : Meningen dan encephalon

Diagnosis etiologis : Meningoensefalitis bacterial

DD: Meningoensefalitis viral

2.7 Planning Diagnosis

- Lumbal pungsi

- CT scan

- Kultur CSS dan sensitifitas antibiotic

2.8 Planning Terapi

Terapi Umum

- MRS dengan tirah baring total

- Oksigen nasal kanul 3 lpm

- Pasang dower kateter


- Infus Ringer asetat 1500/24 jam IVFD

- Na metamizole inj. 3 x 1 gram IV

- Ondansenteron 8 mg IV prn

- Ranitidin inj. 2 x 50 mg IV

- Citicolin 3x250 mg IV

Terapi Spesifik

- Ceftriaxone inj. 2 x 2 gram

- Dexamethasone inj. 4 x 5 mg IV
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Meningoensefalitis

Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu

cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis. Meningitis adalah radang umum

pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang

dapat terjadi secara akut dan kronis, sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang

dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Meningitis dan

ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering

bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis.Alasannya yaitu selama meningitis bakteri,

mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim

otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak.Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai

cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping

gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat

menyerang meningen maupun otak misalnya enterovirus.

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada

cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.Meningitis serosa adalah radang

selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih.Penyebab yang paling

sering dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa, Toxoplasma gondii, Ricketsia dan

virus.Meningitis purulenta adalah radang bernanah araknoid dan piameter yang meliputi otak

dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok),

Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus,

Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas

aeuruginosa.

3.2. Etiologi Meningoensefalitis


Agen penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut:

Tabel 3.2. Etiologi Penyebab Meningoensefalitis

1 Virus
Togaviridae
Alfavirus
Virus Ensefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela
Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan
Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Jamestown Canyon
Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza
Morbilivirus
Virus Campak
Orthomyxoviridae
Influenza A
Influenza B
Arenaviridae
Virus khoriomeningitis limfostik
Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A
Koksakivirus B
Ekhovirus
Reoviridae
Orbivirus
Virus demam tengu Colorado
Rhabdoviridae
Virus Rabies
Retroviridae
Lentivirus
Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2
Onkornavirus
Virus limfotropik T manusia tipe 1
Virus limfotropik T manusia tipe 2
Herpesviridae
Herpes virus
Virus Herpes simpleks tipe 1
Virus Herpes simpleks tipe 2
Virus Varisela zoster
Virus Epstein Barr
Sitomegalovirus
Sitomegalovirus manusia
Adenoviridae
Adenovirus
2 Bakteri
Haemophilus influenza
Neisseria menigitidis
Streptococcus pneumonia
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Mycobacterium tuberkulosa
3 Parasit
Protozoa
Plasmodium falciparum,
Toxoplasma gondii,
Naegleria fowleri (Primary amebic
meningoencephalitis)
Granulomatous amebic encephalitis
Helminthes
Taenia solium,
Angiostrongylus cantonensis
Rickettsia
Rickettsia ( Rocky Mountain)
4 Fungi
Criptococcus neoformans
Coccidiodes immitis
Histoplasma capsulatum
Candida species
Aspergillus
Paracoccidiodes

Penyebab karena Mumpsvirus ditularkan melalui kontak langsung, titik ludah

atau muntahan penderita, serta dikeluarkan melalui urin penderita yang terinfeksi.

Penularan Mumpsvirus terjadi sekitar 4 hari sebelum sampai 7 hari sesudah

timbulnya gejala klinik. Diperlukan kontak yang lebih erat dengan penderita agar

terjadi penularan Mumpsvirus, bila dibandingkan dengan penularan virus Measles

atau Varicella-zoster.

Penyebab karena Togavirus dalam siklus biologiknya membutuhkan

invertebrata/arthropoda pengisap darah, misalnya nyamuk dan caplak. Infeksi pada


manusia terjadi melalui gigitan arthropoda, misalnya nyamuk yang mengandung

Togavirus. Manusia adalah hospes alami Herpes simpleks virus, namun banyak strain

yang patogenik terhadap berbagai hewan percobaan, misalnya kelinci, tikus, marmot,

anak ayam dan kera. Virus ini mencapai otak melalui saraf olfaktorius, kemudian

menyebar dari sel ke sel sehingga menimbulkan nekrosis neuron yang luas.

Ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa

disebabkan oleh infeksi virus kelompok Herpes simpleks, Virus Influenza, ECHO,

Coxsackie dan Arbovirus. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya dan

ensefalitis para infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit

virus yang sudah dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes zooster, Parotitis

epidemika, Mononukleosis infeksiosa.

Virus penyebab meningoensefalitis memiliki variasi geografis yang besar

yaitu: di negara berkembang, penyebab terbesar yaitu herpes simplex type-1 (HSV-1),

virus gondok, enterovirus, herpes zooster, adenovirus dan virus Epstein –Barr. Di

Amerika Serikat terdapat ensefalitis St.Louis, West Nile virus, Eastern and Weastern

equine virus, Bunyavirus termasuk Virus Ensefalitis California. Di Eropa Tengah

dan Timur, Virus Ensefalitis Tick-born adalah endemis. Herpes simpleks-type 2

merupakan penyebab penyakit paling banyak pada neonatus. Di Asia, Ensefalitis

Jepang adalah penyebab ensefalitis yang paling banyak. Virus Valley fever di Afrika

dan Timur tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di dunia. Ensefalomieletis

pasca infeksi dapat mengikuti semua tetapi yang paling sering dikaitkan dengan

campak. Sindrom Guillane Barre telah dikaitkan dengan infeksi Virus Epstein Barr,

cytomegalovirus, coxsackie B, Virus Herpes zooster. Pasien dengan imunodefisiensi

sangat rentan dengan virus tertentu yaitu orang-orang dengan sel imunitas yang

lemah termasuk pasien yang terinfeksi virus HIV dapat berkembang menjadi
ensefalitis yang disebabkan oleh Herpes zoster atau Cytomegalovirus.

Pada umumnya invasi jamur ke dalam otak merupakan penyebaran

hematogen dari infeksi di paru-paru. Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak

dan selaputnya sebanding dengan metastasis kuman tuberculosa ke ruang

intrakranial, baik di permukaan korteks maupun di araknoid dapat dibentuk

granuloma yang besar atau yang kecil, yang akhirnya berkembang menjadi abses.

Penyebab karena bakteri yang mencapai cairan serebrospinal akan

memperbanyak diri dengan cepat karena ruangan subaraknoid dan CSS tidak ada

komplemen, antibodi opsonin dan sel fagosit. Terbukti pada infeksi oleh H.

influenzae eksperimental, hanya memerlukan satu bakteri hidup untuk memulai

infeksi pada CSS. Bakteri Streptococcus dapat menyebabkan meningitis pada semua

kelompok umur, dan pada penderita umur lebih dari 40 tahun merupakan agen

penyebab yang paling sering.

3.3. Anatomi dan Fisiologi

3.3.1. Anatomi Otak

Otak bertanggung jawab dalam mengurus organ dan jaringan yang terdapat di

kepala. Otak terdiri atas otak besar atau serebrum (cerebrum), otak kecil atau

cerebelum (cerebellum) dan batang otak (trunkus serebri). Jaringan otak dibungkus

oleh tiga selaput otak (meninges) yang dilindungi oleh tulang tengkorak dan

mengapung dalam suatu cairan yang berfungsi menunjang otak yang lembek dan

halus sebagai penyerap goncangan akibat pukulan dari luar terhadap kepala.

3.3.2. Histologi Susunan Saraf Pusat

Bila dibuat penampang melintang bagian-bagian dari susunan saraf pusat,


akan terlihat adanya jaringan dengan warna berbeda. Sebagian tampak berwarna

putih dan sebagian lagi berwarna agak gelap (kelabu). Atas dasar itu, susunan saraf

pusat dibagi menjadi substansia grisea yang berwarna kelabu dan substansia alba

yang berwarna putih. Warna kelabu ini disebabkan oleh banyaknya badan sel saraf di

bagian tersebut, sedangkan warna putih ditimbulkan oleh banyaknya serabut saraf

yang bermielin, sel saraf yang terdapat dalam susunan saraf pusat juga dapat dibagi

menjadi sel saraf dan sel penunjang. Sel penunjang merupakan sel jaringan ikat yang

tidak berfungsi untuk menyalurkan impuls. Pada sel saraf serabut dengan diameter

besar ditandai dengan nama serabut alpha atau A, beta atau B untuk yang lebih kecil

dan gamma untuk yang lebih kecil lagi pada ujung-ujung saraf yang membentuk

sinaps, ternyata terdapat gelembung yang menghasilkan macam- macam zat kimia.

Karena demikian banyaknya sinaps yang terdapat di otak, secara keseluruhan otak

dapat dianggap sebagai sebuah kelenjar yang sangat besar.

3.3.3. Anatomi Selaput Otak

Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningen yang melindungi

struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan

serebrospinal. Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu:

a. Lapisan Luar (Durameter)

Durameter disebut juga selaput otak keras atau pachymeninx. Durameter

dapat dibagi menjadi durameter cranialis yang membungkus otak dan durameter

spinalis yang membungkus medula spinalis. Di samping itu, durameter masih dapat

dibagi lagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan meningeal yang lebih dekat ke otak

(lapisan dalam) dan lapisan endostium yang melekat erat pada tulang tengkorak.

b. Lapisan Tengah (Araknoid)

Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan


durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak

yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan di antara durameter dan araknoid

disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah bening.

Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang menghubungkan

sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh cairan serebrospinal, bagian ini

dapat dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang disebut lumbal fungsi.

c. Lapisan dalam (Piameter)

Lapisan piameter merupakan selaput tipis yang kaya akan pembuluh darah

kecil yang menyuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak dan lapisan ini

melekat erat pada permukaan luar otak atau medula spinalis. Ruangan di antara

araknoid dan piameter disebut subaraknoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel

radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang.

Gambar 3.1. Bagian Otak


Gambar 3.2. Anatomi Selaput Otak

3.4. Patofisiologi Meningoensefalitis

Terjadinya infeksi pada selaput otak dapat melalui beberapa cara, yaitu :
a. Hematogen atau bakterimia dari infeksi di nasofaring, faringitis, tonsilitis, pneumonia,

infeksi gigi.

b. Secara langsung melalui robeknya duramater pada fraktur basis kranii, tindakan bedah

kepala, implantasi benda asing (implant cochlea), VP shunt, deep brain stimulation dan

pungsi lumbal.

c. Fokus didekat kepala misalnya pada sinusitis, mastoiditis, furunkel di hidung dan didekat

orbita masuk melalui sinus cavernosus, biasanya merupakan meningitis yang purulenta.

d. Perluasan langsung dari tempat infeksi yang mengenai telinga tengah, sinus paranasalis,

kulit kepala atau muka.

e. Melalui faring terutama virus yang tetap berada di faring, bila daya tahan tubuh menurun

dan virus dapat masuk ke otak.

Proses masuknya bakteri ke dalam system saraf pusat merupakan mekanisme yang

kompleks. Awalnya bakteri melakukan kolonisasi nasofaring dengan berikatan pada sel epitel

menggunakan villi adhesive dan membran protein. Risiko kolonisasi epitel nasifaring

meningkat pada individu yang mengalami infeksi sistem pernafasan atau perokok.

Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut mengatasi

mekanisme pertahanan immunoglobulin A pada mukonsa inang. Bakteri kemudian melewati

sel epitel ke dalam ruang intreavaskuler dimana bakteri relatif terlindungi dari respons

humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang dimilikinya.

Bakteri memasuki ruang subarakhnoid dan cairan serebrospinal melalui pleksus koroid

atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel yang

disebabkannya. Seluruh area ruang subarakhnoid yang meliputi otak, medulla spinalis dan

nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar dengan cepat. Hal ini

menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan struktur serebro spinal baik secara
langsung melalui pleksus koroid maupun melalui refluks lewat foramina magendie dan

luscha/

Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons humoral

komplemen CSS. komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi proses

inflamasi di meningen dan parenkim otan. Akibatnya permeabilitas sawar darah otak

meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan memicu

inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang subarakhnoid. Eksudat akan

menumpuk dengan cepat dan akan terakumulasi di bagian basal otak serta meluas ke

selubung saraf-saraf kranial. Selain itu, eksudat akan menginfiltrasi dinding arteri dan

menyebabkan penebalan tunika intima serta vasokonstriksi yang dapat mengakibatkan

iskemia serebral. Tunika adventitia arteriola dan venula subarakhnoid sejatinya terbentuk

sebagai bagian dari membran arakhnoid.

Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses inflamasi

bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius)

Selanjutnya, dapat terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga dapat

mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, MB dapat menyebabkan trombosis sekinder

pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis pada vena-vena kortikal. Eksudat purulen yang

terbentuk dapat menyumbat resorpsi CSS oleh vili vili arakhnoidalis atau menyumbat aliran

pada sistem ventrikel yang hidrosefalus obstruktif atau komunikans yang disertai edema

serebral intersisiel. Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial dan

menyebabkan neuropati kranial fokal.

3.5. Gejala Klinis

Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis dan

ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran,
konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tanda-tanda peningkatan tekanan

intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik.Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang

paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian.Tingkat

kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk

disfungsi sistem persarafan.Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar

pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.Apabila klien sudah mengalami koma maka

penilaian GCS (The Glasgow Coma Scale) sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran

klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan. Dalam klinik

dikenal tingkat-tingkat kesadaran: composmentis, incomposmentis (apatis, delirium,

somnolen, sopor, coma).

- Compos mentis : sadar sepenuhnya baik terhadap dirinya maupun lingkungan.

- Apatis : sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan, tidak segera menjawab bila ditanya.

- Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang

terganggu. Pasien tampak gelisah, disorientasi dan meronta-ronta

- Somnolen : mengantuk yang masih dapat dipulihkan bila diberi rangsangan tetapi saat

rangsangan dihentikan, pasien tertidur lagi

- Sopor : penurunan kesadaran yang dalam, dimana penderita hanya dapat dibangunkan

dalam waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat dan berulang-ulang

- Coma adalah penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak

ada respon terhadap nyeri.

Pada riwayat pasien meliputi demam, muntah, sakit kepala, letargi, lekas marah, dan kaku

kuduk.Neonatus memiliki gambaran klinik berbeda dengan anak dan orang

dewasa.Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan panas tinggi,

mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat

berkurang, konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan penyebab
Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10%

oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Pada

bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah,

mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk

dan tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi,

sakit kepala, muntah yang diikuti oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan

teragitasi, halusinasi, perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan

Brudzinski positif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga

terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan,

nyeri otot dan nyeri punggung.Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian

atas.Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan

takikardi karena septikimia.

Meningitis yang disebabkan Mumpsvirus ditandai dengan anoreksia dan malaise,

diikuti pembesaran kelenjar parotid sebelum terjadinya invasi ke susunan saraf pusat.Pada

meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, sakit

tenggorok, nyeri otot, dan demam, disertai dengan timbulnya ruam kulit makulo papular yang

tidak disertai gatal terdapat pada wajah, leher, dada dan badan.

Keluhan utama pada penderita ensefalitis yaitu sakit kepala, demam, kejang disertai

penurunan kesadaran.Ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi Famili Togavirus (memiliki

gejala yang sangat bervariasi, mulai dari yang tanpa gejala sampai terjadinya sindrom demam

akut disertai demam berdarah dan gejala-gejala sistem saraf pusat).Western Equine Virus

(WEE) pada umumnya menimbulkan infeksi yang sangat ringan, gejala pada orang dewasa

dapat berupa letargi, kaku kuduk dan punggung, serta mudah bingung dan koma yang tidak

tetap. Gejala berat pada anak berupa konvulsi, muntah dan gelisah, yang sesudah sembuh

akan menimbulkan cacat fisik dan mental yang berat. Gejala yang mungkin tampak dengan
penyebab Japanese B enchephalitis virus adalah panas mendadak, nyeri kepala, kesadaran

yang menurun, fotofobi, gerak tidak terkoordinasi, hiperhidrosis.Pemeriksaan laboratorium

berupa uji serologis misalnya ELISA terhadap bahan atau cairan serebrospinal menunjukkan

adanya IgM.Uji fiksasi komplemen menunjukkan nilai titer yang meningkat 4 kali lipat.

Gambar 2.3.Pemeriksaan tanda Kernig Gambar 2.4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski


Tanda Kernig positif: ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke

arah abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna.

Tanda Brudzinski: tanda ini didapat apabila leher klien difleksikan, maka hasilnya

fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas yang berlawanan.

Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi pada jaringan otak, juga sering

mengenai jaringan selaput otak. Pada umumnya terdapat 4 jenis atau bentuk manifestasi

klinik, yaitu:

3.5.1. Bentuk asimtomatik

Umumnya gejalanya ringan, vertigo, diplopia.Diagnosis hanya ditegakkan atas

pemeriksaan CSS.

3.5.2. Bentuk abortif

Gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan kaku kuduk

ringan.Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas atau

gastrointestinal.

3.5.3. Bentuk fulminan


Bentuk ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir dengan

kematian. Pada stadium akut terdapat demam tinggi, nyeri kepala difus yang hebat, apatis,

kaku kuduk, sangat gelisah dan dalam waktu singkat masuk ke dalam koma yang dalam.

3.5.4. Bentuk khas ensefalitis

Bentuk ini mulai secara bertahap dengan gejala awal nyeri kepala ringan, demam,

gejala infeksi saluran nafas bagian atas, kemudian muncul tanda radang sistem saraf Pusat

(SSP) seperti kaku kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah, sukar tidur. Selanjutnya

kesadaran mulai menurun sampai koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis,

gangguan koordinasi, gangguan bicara, gangguan mental.

Manifestasi klinis yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans berupa

nyeri kepala akut atau subakut, demam dan kadang kejang tetapi jarang ditemukan defisit

neurologis fokal.Gejala awal pada amuba meningoensefalitis adalah radang hidung dan sakit

tenggorokan yang diikuti oleh demam dan sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan gangguan

kesadaran yang dapat diikuti oleh kematian penderita 1 minggu kemudian.

3.6. Epidemiologi Meningoensefalitis

3.6.1. Distribusi Frekuensi Meningoensefalitis

a. Orang/Manusia

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberkulosa varian hominis

dapat terjadi pada segala umur, yang tersering adalah pada anak umur 6 bulan - 5

tahun.Insiden meningoensefalitis mumps lebih banyak ditemui pada laki-laki yaitu sekitar 3-5

kali lebih banyak.Usia yang tersering ialah tujuh tahun dan 40% berusia di atas 15 tahun.

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Japanese B encephalitis virus banyak

menyerang anak berusia antara 3 tahun dan 15 tahun.Ensefalitis herpes virus dapat terjadi

pada semua umur, paling banyak kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun.Ensefalitis
herpes virus memiliki angka mortalitas 15-20% dengan pengobatan dan 70-80% tanpa

pengobatan.Neonatus masih mempunyai imunitas maternal.Tetapi setelah umur 6 bulan

imunitas itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks.Infeksi

dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan

hidung.Infeksi-infeksi tersebut jinak sekali.Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh

imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan

virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat

berkembang menjadi viremia.

H. influenzae penyebab yang paling sering di Amerika Serikat, mempunyai insiden

tahunan 32-71/100.000 anak di bawah 5 tahun.Insiden ini jauh lebih tinggi pada anak-anak

Indian Navayo dan Eskimo Alaska (masing-masing 173 dan 409/100.000/tahun). Insiden

yang tinggi pada populasi ini mungkin juga menggambarkan status sosio-ekonomi yang

rendah, yang beberapa cara tidak diketahui dapat mengurangi daya tahan terhadap

mikroorganisme ini. Insiden dengan infeksi H. influenzae juga empat kali lebih besar pada

orang kulit hitam daripada orang kulit putih.

Tabel 3.2. Perkiraan insidensi dengan pada meningitis bakteri

No Kelompok usia Insidensi (%)


1 Neonatus
Streptococcus grup B 60
E.coli, enteri gram negatif lain 30
L. monocytogenes 5
2 Batita
N. meningitidis 45
S. pneumoniae 40
H. influenzae 10
Lain-lain 5
3 Anak yang lebih tua
S. pneumoniae 50
N. meningitidis 40
Lain-lain 10

b. Tempat
Frekuensi penyakit yang tinggi dilaporkan pada orang-orang Afrika-Amerika,

penduduk asli Amerika, dan masyarakat di daerah pedesaan.Sekitar 20.000 kasus ensefalitis

terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan ensefalitis herpes simpleks menyebabkan

sekitar 10% dari kasus ini.Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Tick born encephalitis

dengan CFR di Asia yaitu 20% dan di Eropa (1-5%).

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Ensefalitis Jepang tersebar luas di Asia

Timur dari Korea sampai Indonesia, Cina, India dan Kepulauan Pasifik Barat.Infeksi West

Nile Virus meningkat di Amerika Serikat dengan kasus pertama dilaporkan di New York

pada tahun 1999. Tahun 2002 ada 4.161 kasus yang dilaporkan di 41 negara, dan dari catatan

8.500 kasus dilaporkan pada tahun 2003. Infeksi Plasmodium falciparum tersebar di

Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara.Taenia Solium tersebar di Amerika Latin dan

Rickettsia di Amerika bagian tenggara.

c. Waktu

Meningoensefalitis arbovirus sebagian besar terjadi selama bulan-bulan musim panas

karena penularan virus terjadi oleh arthropoda seperti nyamuk atau kutu yang aktif selama

waktu itu.Infeksi virus parotitis lebih sering pada akhir musim dingin dan awal musim

semi.Infeksi herpes virus dan virus imunodefisiensi manusia terjadi sporadis selama

setahun.Infeksi dengan mumps virus bersifat endemik sepanjang tahun.Di daerah 4 musim,

puncak periode terjadi pada musim dingin dan musim semi.

Bakteri dengan penyebab N. meningitidis dan S. pneumoniae yang memuncak pada

bulan-bulan musim dingin, H.influenzae memperlihatkan penyebaran bifasik yang memuncak

pada permulaan musim dingin dan musim semi, dan L. monocytogenes yang terjadi paling

sering pada bulan-bulan musim panas. Penjelasan atas pola musiman ini terletak pada cara

penularan organisme; Meningokokus, Pneumokokus, dan Haemofilus menyebar melalui jalur


pernapasan biasa, dan Listeria didapat akibat kontaminasi melalui makanan atau akibat

berkontak dengan hewan ternak.

3.6.2. Determinan Meningoensefalitis

a. Host/Pejamu

Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkal infeksi mencakup kesehatan

umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak

yang adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang berfungsi sempurna. Neonatus

selamanya kekurangan antibodi IgM yang spesifik, oleh karena ia tidak dapat melintasi

plasenta. Maka dari itu, neonatus mudah terkena infeksi kuman enterik gram

negatif.Prematuritas mempermudah infeksi susunan saraf pusat, demikian juga kelainan

kongenital, seperti meningomielokel ataupun sinus neurodermal.Pada anak-anak dan orang

dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan manifestasi re-aktivasi dari infeksi yang

latent.Virus herpes simpleks tersebut berdiam di dalam jaringan otak secara endosimbiotik,

mungkin di ganglion Gasseri.Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor-

faktor yaitu penyinaran ultraviolet dan gangguan hormonal.Penyinaran ultraviolet dapat

terjadi secara iatrogenik atau dapat terjadi sewaktu bepergian ke tempat-tempat yang tinggi

letaknya.

Kerentanan terhadap agent penyebab infeksi tidak hanya dipengaruhi oleh umur dan

genetik tetapi juga oleh defisiensi didapat atau kongenital dalam mekanisme pertahanan

hospes. Individu dengan defisiensi IgG atau komplemen, penderita yang mengalami

splenektomi, atau mereka yang asplenia kongenital menambah insiden septikimia dan

meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae dan H.influenzae tipe B. Penderita dengan

anemia sel sikel dan hemoglobinopati akan berisiko terinfeksi meningitis karena fungsi limpa

yang tidak baik dan cacat pada jalur komplemen. Infeksi meningokokus beresiko pada individu

yang menderita defisiensi komponen terminal sistem komplemen.


Meningoensefalitis mumps terutama menyerang secara akut anak-anak dan dewasa

muda.Angka kejadian yang sukar dipastikan karena infeksi subklinis dari sistem saraf pusat

dilaporkan terjadi lebih dari 65% kasus. Bang dan Bang menemukan adanya peningkatan sel

yang abnormal pada cairan otak dari 62% kasus, dimana hanya 28% dari penderita

memberikan gambaran pembesaran kelenjar. Parotitis epidemika merupakan penyebab 10-

15% kasus aseptik meningitis di Amerika.Paramyxovirus ini memiliki infeksi yang tinggi

pada individu dengan sistem imun yang rendah.Kematian karena virus gondongan ini jarang,

mayoritas kematian (>50%) terjadi pada orang yang lebih tua dari 19 tahun.

Biasanya bentuk meningoensefalitis mumps jinak pada anak dan ditandai dengan

demam, muntah, kaku kuduk, letargi, parotitis, sakit kepala, konvulsi, nyeri perut, diare dan

delirium.Faktor pejamu yang merupakan predisposisi infeksi termasuk keadaan defisiensi

imun didapat atau kongenital, hemoglobinopati sabit, asplenia, dan penyakit hati atau ginjal

kronis.Umumnya individu ini memperlihatkan peningkatan kerentanan terhadap organisme

berkapsul seperti S. pneumoniae.Pemberian imunisasi efektif dini terhadap H. influenzae tipe

b telah menurunkan insidensi meningitis akibat organisme ini sebesar 90%.

b. Agent

Banyak bakteri dengan spektrum etiologi yang berbeda pada usia yang berbeda dan

pada kelompok pasien yang berbeda. Eschericia coli, Streptococcus grup B, Listeria biasanya

terjadi pada Neonatus, Haemophilus influenzae pada umur < 5 tahun, Neisseria meningitidis

(meningitis meningokokus), Streptococcus pnemoniae pada dewasa, Mycobacterium tuberculosa

dan Cryptococcus pada pasien yang immunosuppressed.

Meningoensefalitis mumps disebabkan oleh virus RNA yang termasuk famili

Paramyxoviridae yang merupakan virus RNA. Virus mumps stabil pada Ph 5,8-8 dan tetap

hidup bertahun-tahun pada suhu < -200 - 700C. Virulensi virus mumps akan hilang bila virus

ini dipanaskan pada suhu 550C sampai dengan 600C, selama 20 menit. Virus mumps dapat
diisolasi dari kelenjar air liur, hasil swab dari orificium ductus Stensen atau dari mulut, darah,

kencing, air susu ibu dan cairan otak. Meningoensefalitis biasanya terjadi setelah 3-10 hari

pembesaran kelenjar parotis.Meskipun demikian pernah dilaporkan bahwa meningoensefalitis

dapat terjadi lebih awal, bahkan dapat terjadi tanpa adanya pembesaran kelenjar.

Di daerah endemik, meningoensefalitis yang disebabkan oleh Japanese B encephalitis

virus termasuk dalam kelompok virus yang ditularkan oleh serangga atau arthropoda lainnya,

serangga penular di Indonesia adalah nyamuk Culex tritaeniohynchus. Sebelum tahun 1974,

semua strain H. influenzae sensitif terhadap ampisilin.Pada waktu tersebut, akibat munculnya

strain penghasil ß-laktamase, terapi akibat organisme ini diperluas hingga meliputi ampisilin

dan kloramfenikol sampai uji kepekaan selesai.Beberapa belahan dunia sekarang melaporkan

bahwa insidensi organisme yang resisten terhadap ampisilin dan kloramfenikol sudah

melebihi 50%, sehingga regimen pengobatan ini sudah tidak dapat digunakan di daerah

tersebut. Menurut statistik dari 214 ensefalitis 54% (115 orang) dari penderita adalah

anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus Herpes simpleks (31%), yang

disusul oleh virus ECHO (17%). Ensefalitis primer dengan penyebab yang tidak diketahui

dan ensefalitis para-infeksiosa masing-masing mencakup 40% dan 41% dari semua kasus

ensefalitis yang telah diselidiki.

Enterovirus adalah penyebab signifikan dari meningoensefalitis pada periode

neonatal, tetapi jarang menyebabkan ensefalitis pada bayi yang lebih tua, anak-anak atau

orang dewasa.Penyebab amuba meningoensefalitis adalah amuba terutama Naegleria

fowleri.N.fowleri merupakan organisme termofilik golongan amuba flagelata yang hidup

bebas di air tawar yang panas.

Infeksi saraf yang disebabkan oleh infeksi oportunistik telah dilaporkan menjadi

manifestasi utama dari AIDS.


Tabel 3.3. Resiko Infeksi Oportunistik Sistem Saraf Pusat pada Pasien dengan

HIV/AIDS berdasarkan jumlah CD4

No Jumlah CD4 Infeksi Sistem Saraf Pusat

1 Jumlah CD4<100 - Toxoplasma gondii


- Cryptococcus neoformans
2 Jumlah CD4 <50 - Primary Amoeba Meningoencephalitis,
Epstein Barr virus
- Cytomegalovirus

Toxoplasma gondii memiliki 3 macam bentuk, menyebabkan bermacam-macam cara

penularan penyakit dan patogenesis yang berbeda-beda. Bentuk takhizoit adalah bentuk

proliferatif yang ditemukan selama infeksi akut.Bentuk bradizoit ada dalam kista

jaringan.Bentuk ookista ditemukan hanya dalam usus kucing.Ookista menjadi infeksius

sesudah mengalami sporulasi yang terjadi dari 1 sampai 21 hari pasca defekasi.Hanya sekitar

10% individu yang terinfeksi menunjukkan gejala-gejala.

c. Lingkungan

Infeksi meningokokus dan H.influenzae berkolerasi dengan kontak antar individu.

Kolonisasi nasofaringeal dari N.meningitidis meningkat jumlahnya jika banyak anak muda

wajib dinas militer dikumpulkan di barak-barak. Amuba meningoensefalitis dapat bersangkut

paut dengan berenang di danau segar yang mengandung amuba. Infeksi arbovirus terjadi jika

ada kontak dengan vektor yang berupa arthropoda yang telah terinfeksi.Binatang peliharaan

sering terinfeksi Toksoplasma gondii dan mudah menularkan infeksinya kepada manusia di

sekelilingnya.

Meningoensefalitis (tuberkulosa) banyak terdapat pada penduduk dengan keadaan

sosio-ekonomi rendah, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, perumahan tidak

memenuhi syarat kesehatan minimal, hidup dan tinggal atau tidur berdesakan, higiene yang

buruk, dan tidak mendapat fasilitas imunisasi.


3.7. Prognosis Meningoensefalitis

Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan,

di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit seperti

hidrosefalus, gangguan mental, yang dapat muncul selama perawatan.Bila meningoensefalitis

(tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya jelek sekali.Penderita dapat meninggal dalam waktu

6-8 minggu.Angka kematian pada umumnya 50%.Prognosisnya jelek pada bayi dan orang

tua.Prognosis juga tergantung pada umur dan penyebab yang mendasari, antibiotik yang

diberikan, hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat,

serta adanya kondisi patologik lainnya.Tingkat kematian virus mencakup 40-75% untuk herpes

simpleks, 10-20% untuk campak, dan 1% untuk gondok. Penyakit pneumokokus juga lebih

sering menyebabkan gejala sisa jangka panjang (kurang dari 30% kasus) seperti hidrosefalus,

palsy nervus kranials, defisit visual dan motorik, serta epilepsi. Gejala sisa penyakit terjadi

pada kira-kira 30% penderita yang bertahan hidup, tetapi juga terdapat predileksi usia serta

patogen, dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi

oleh bakteri gram negatif dan S. pneumoniae. Gejala neurologi tersering adalah tuli, yang

terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf kranial pada 2-7% pasien; dan cedera berat

seperti hemiparesis atau cedera otak umum pada 1-2% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan

gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari rumah sakit akan membaik seiring waktu,

dan keberhasilan dalam implan koklea belum lama ini memberi harapan bagi anak dengan

kehilangan pendengaran.

3.8. Komplikasi

Komplikasi dari meningitis tuberkulosa adalah hidrosefalus, epilepsi, gangguan jiwa,

buta karena atrofi N.II, kelumpuhan otot yang disarafi N.III, N.IV, N.VI,
hemiparesis.Komplikasi dari meningitis purulenta adalah efusi subdural, abses otak,

hidrosefalus, paralisis serebri, epilepsi, ensefalitis, tuli, renjatan septik.

3.9. Pencegahan Meningoensefalitis

3.9.1. Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko

meningoensefalitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan

pola hidup sehat. Pencegahan terhadap infeksi dilakukan dengan cara imunisasi pasif atau

aktif.

Kemoprofilaksis terhadap individu rentan yang diketahui terpajan pada pasien yang

mengidap penyakit (pasien indeks) serta imunisasi aktif.Imunisasi aktif terhadap H.

influenzae telah menghasilkan pengurangan dramatis pada penyakit invasif, dengan

pengurangan sebanyak 70-85% akibat organisme tersebut.Imunisasi untuk pencegahan

infeksi Haemophilus influenzae (menggunakan vaksin H.influenzae tipe b) direkomendasikan

untuk diberikan secara rutin pada anak berusia 2, 3, dan 4 bulan.

Amuba penyebab meningoensefalitis, yang hidup dalam kolam renang dapat

dimusnahkan dengan memberikan kaporit pada air kolam secara teratur, hindari berenang

pada kolam air tawar yang mempunyai temperatur di atas 25º C. Meningoensefalitis dengan

penyebab Mycobacterium tuberkulosa dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan

tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian

sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2/orang), dan

pencahayaan yang cukup.

Pencegahan untuk Virus Japanese B Encephalitis yaitu vaksinasi inaktif diberikan

pada anak-anak, karena kelompok tersebut sensitif terhadap infeksi virus.Selain itu dilakukan
pencegahan terhadap gigitan nyamuk dan dilakukan prosedur pengamanan tindakan dan

pekerjaan laboratorium.

3.9.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih

tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan

penyakit.Deteksi dini anak-anak yang mengalami kelainan neurologis sangat penting karena

adanya kemungkinan untuk mengembangkan potensinya di kemudian hari melalui program

intervensi diri.Untuk mengenal kelainan neurologik, pemeriksaan neurologik dasar

merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan.

a. Diagnosis

a.1. Pemeriksaan Penunjang

a.1.1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal

a. Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang keruh

karena mengandung pus, nanah yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati,

jaringan yang mati dan bakteri.

b. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan serebrospinal, biasanya

disertai limfositosis, peningkatan protein, dan kadar glukosa yang normal.

c. Penyebab dengan Mycobacterium tuberculosa pada pemeriksaan cairan otak ditemukan

adanya protein meningkat, warna jernih, tekanan meningkat, glukosa menurun, klorida

menurun.

d. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amoeba meningoensefalitis yang diperiksa secara

mikroskopik, mungkin dapat ditemukan trofozoit amoeba.


Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat protein yang meningkat, kadar glukosa

normal atau turun. Penyebab dengan Criptococcal, tekanan cairan otak normal atau

meningkat, protein meningkat, kadar glukosa menurun.

Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi peningkatan

tekanan intrakranial. Pada kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat ditunda sampai

kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT scan atau MRI

kepala.

a.1.2. Pemeriksaan darah

a. Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, kadar glukosa, kadar

ureum. Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri

pada hitung jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah leukosit.Gangguan elektrolit sering

terjadi karena dehidrasi.Di samping itu hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran

hormon ADH (Anti Diuretic Hormon) yang menurun.

b. Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm3 dengan sel

mononuklear yang dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah leukosit meningkat

sampai 20.000, dan test tuberkulin sering positif.

a.1.3. Pemeriksaan Radiologis

a. CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat menyingkirkan kemungkinan

lesi massa dan menunjukkan edema otak.

b. Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa dini dapat

dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk amplifikasi DNA virus.

c. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi otak difus.

b. Pengobatan

Pengobatan suportif dalam kebanyakan kasus meningitis virus dan ensefalitis. Satu-

satunya pengobatan spesifik adalah asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam selama 10-14 hari
untuk infeksi herpes simpleks. Asiklovir juga efektif terhadap virus Varicella zoster. Tidak

ada manfaat yang terbukti untuk kortikosteroid, interferon, atau terapi ajuvan lain pada

ensefalitis virus, dan yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan klorampinikol 50-75

mg/kg bb/hari maksimum 4 gr/hari.

Meningitis pada neonatus (organisme yang mungkin adalah E.Coli, Steptococcus grup

B, dan Listeria) diobati dengan sefotaksim dan aminoglikosida, dengan menambahkan

ampisilin jika Listeria dicurigai.Akibat Haemophilus memerlukan pengobatan

sefotaksim.Meningitis tuberkulosis diobati dengan rifampisin, pirazinamid, isoniazid, dan

etambutol.Herpetik meningoensefalitis diobati dengan asiklovir intravenous, cytarabin atau

antimetabolit lainnya.Pengobatan amoeba meningoensefalitis dilakukan dengan memberikan

amfoterisin B secara intravena, intrateka, atau intraventrikula.Pemberian obat ini dapat

mengurangi angka kematian akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak berhasil mengobati

meningoensefalitis yang disebabkan oleh amoeba lainnya.

3.9.3. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau

mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan

untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan, dan membantu penderita untuk melakukan

penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan

untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli, ketidakmampuan belajar,

oleh karena itu fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi

kecacatan.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada laporan ini diajukan kasus penderita seorang wanita berusia 59 tahun yang

datang ke IGD RSML dengan keluhan penurunan kesadaran. Dari riwayat anamnesis pasien

tidak memiliki riwayat trauma kepala, diabetes mellitus, penyakit hepar ataupun penyakit

ginjal, sehingga kemungkinan penurunan kesadaran yang terjadi lebih mengarah ke proses

dari intrakranial. Sebelum mengalami penurunan kesadaran, pasien mengalami gejala demam

dan didapatkan riwayat nyeri kepala.

Pada pemeriksaan umum yang dilakukan saat pasien datang ke IGD didapatkan

penurunan kesadaran dengan GCS 356, dengan tekanan darah 113/72 mmHg, nadi 61x per

menit, suhu badan 37.1 derajat celcius. Tidak didapatkan tanda-tanda anemis maupun ikterik

pada konjungtiva dan sclera, pada pemeriksaan leher, thorax, abdomen dan extrimitas dalam

batas normal.Pada pemeriksaan neurologis di IGD didapatkan tanda meningeal sign kaku

kuduk positif sedangkan pemeriksaan motorik didapatkan kesan lateralisasi dectra dan

sensorik dalam batas normal.Dari hasil pemeriksaan fisik dan anamnesis yang dilakukan,

penurunan kesadaran, nyeri kepala, dan kaku kuduk yang terjadi dapat mengkonfirmasi

penyebab yang terjadi di meningen (meningitis) dengan ditemukannya tanda keradangan

meningen.

Meningoensefalitis kebanyakan disebabkan oleh agen infeksi akan tetapi pada sedikit

kasus dapat pula non infeksius seperti pada proses demyelinisasi pada acute disseminated

enchepalitis. Pada pasien ini, baik anamnesis maupun pemeriksaan fisik belum bisa

menunjukkan secara pasti agen apa yang menyebabkan meningoensefalitis tersebut.

Selama masa perawatan, pasien mendapatkan terapi supportif berupa infus ringer

asetat 1500 cc dalam 24 jam, ceftriaxone 2 x 2 gram sebagai terapi antibiotik empiris untuk

kasus meningoensefalitis bakteri, dexamethasone 3 x 5 mg untuk mengurangi proses


inflamasi serta membantu distribusi obat melewati sawar darah otak, lalu diberi pula ranitidin

2 x 50 mg untuk mencegah stress ulcer akibat faktor psikologis maupun akibat dari kerja

steroid.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Meningoensefalitis merupakan penyakit yang harus didiagnosis dan diberikan

penanganan yang cepat, sehingga dapat menurunkan angka kematian dan

kecacatan.Meningoensefalitis dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab diantaranya

adalah oleh karena adanya infeksi bateri yang menyerang sistem saraf pusat dengan berbagai

mekanismenya.

Pada meningoensefalitis keradangan terjadi pada selaput otak maupun pada parenkim

otak itu sendiri, sehingga tanda klinis yang didapatkan adalah tanda-tanda keradangan selaput

otak yang paling mudah adalah ditandai dengan meningeal sign positif serta tanda-tanda

keradangan parenkim otak yang ditandai dengan berbagai gejala klinis seperti penurunan

kesadaran, defisit neurologis fokal dan lain-lain.

Diagnosis yang tepat dan pemberian antibiotik empiris dapat memberikan perbaikan

klinis dan prognosis dari meningoensefalitis.Idealnya seluruh pasien dengan kecurigaan

meningitis harus dilakukan lumbal pungsi untuk tujuan diagnosis maupun penunjang terapi.
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, Moch. 2012. Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis. Penerbit: UMM
press.
Bahrudin, Moch. 2014. Buku Ajar neurologi blok neuromuskuloskeletal. Penerbit: UMM
press.
Koppel BS. 2011. Bacterial, Fungal & Paracitic Infections of the Nervous System. In. Burst
JCM: Current Diagnosis & Treatment. The McGraw-Hill Companies, Inc: 2007; 403-
448.
Ross KL: Bacterial Meningitis. In. Evans RS: Saunders Manual of Neurologic Practice.
Philadelphia, Saunders: 2003; 699-713.
Verma A: Infections of the Nervous System. In Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, et al:
Neurology in Clinical Practise. The Neurological Disorders. Butterworth Heinemann,
Philadelphia: 2004; 1473-1630.

Anda mungkin juga menyukai