Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

Atrial Fibrillation

Pembimbing:
dr. Lendy Delyanto

Disusun oleh:
dr. Shelarosa Arumdita

RSUD KOTA CILEGON


MARET 2015
LAPORAN KASUS
No. ID Peserta :
Nama Peserta : dr. Shelarosa Arumdita
No. ID Wahana :
Nama Wahana : RSUD Cilegon
Topik : Atrial Fibrilasi (Cardiac Arrythmia)
Tanggal Kasus : 18/2/2015
Nama Pasien : Ny. A No. Rekam Medis :
Nama Pendamping :
dr. Lendy Delyanto
Tanggal Presentasi : Maret 2015
Narasumber :
dr. Ibnu Adam Sp.JP
Tempat Presentasi : RSUD Cilegon
Obyektif Presentasi :

☐Tinjauan
☐Keilmuan ☐Keterampilan ☐Penyegaran
pustaka

☐Diagnostik ☐Manajemen ☐Masalah ☐Istimewa

☐Neonatus ☐Bayi ☐Anak ☐Remaja ☐Dewasa ☐Lansia ☐Bumil

Deskripsi : membahas kasus Atrial Fibrillation


Tujuan : mengetahui kasus Atrial Fibrillation

Bahan ☐Tinjauan
☐Riset ☐Kasus ☐Audit
bahasan : pustaka
Cara
☐Diskusi ☐Presentasi ☐E-mail ☐Pos
Membahas :
DATA PASIEN
Nama : Ny. A Umur: 58 tahun No. RM:
Nama Klinik : RSUD Cilegon Telp: Terdaftar Sejak :

|Diskusi Kasus: Aritmia| 1


BAB I
ILUSTRASI KASUS

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio:

1. Subyektif:
A. Keluhan Utama
Sesak saat aktivitas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak yang selalu dirasakan ketika pasien
sedang beraktivitas, ketika pasien jalan pergi ke pasar. Sesak disangkal saat
melakukan pekerjaan rumah ringan (menyapu, memasak). Sesak dimalam hari
dan tidur dengan bantal yang tinggi disangkal. Keluhan sesak sudah dirasakan
sekitar kurun waktu satu tahun belakangan, sebelumnya pasien hanya berobat
kontrol ke poli penyakit dalam dan di diagnosa sebagai CHF. Selain itu, pasien
juga merasakan mudah kelelahan bila melakukan aktivitas rumah.
Keluhan nyeri dada disangkal. Keluhan berdebar-debar disangkal.
Riwayat bengkak pada kedua tungkai disangkal.
Riwayat kelemahan anggota gerak badan disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat merokok disangkal.
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat DM dan hiperlipidemia disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa disangkal.
Kelainan jantung pada keluarga disangkal.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 2


2. Objektif:
Status generalis
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Keadaan gizi : baik
Tekanan Darah : 110/50 mmHg
Frekuensi nadi : 102 x/ menit, irreguler, isi cukup.
Frekuensi nafas : 16 x/menit, torakoabdominal, kedalaman cukup
Suhu : 36,5 oC
Kepala : CA -/- SI -/-
Leher : JVP 5+3, KGB tidak teraba, tiroid tidak teraba.
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : iktus kordis teraba pada sela iga 5, linea midklavicula.
Perkusi : batas jantung kanan di sela iga 5, 2 jari lateral linea
sternalis dekstra,
batas jantung kiri di sela iga 5, 3 jari lateral linea
midklavikula sinistra,
pinggang jantung di sela iga 3 linea parasternal kiri.
Kesan cardiomegaly (-)
Auskultasi : BJ I-II irreguler, terdengar murmur gr 3/6, diastolik,
lokasi apeks (ln.midclavicula sin – SIC V).
Paru Inspeksi : hemitoraks simetris statis dinamis.
Palpasi : ekspansi dada simetris, fremitus kanan = kiri.
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : vesikuler +/+, RBB -/-, wheezing –/–.
Abdomen Inspeksi : datar
Palpasi : supel, NT (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, edema –/–, CRT < 2”

|Diskusi Kasus: Aritmia| 3


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hematologi
Masa Perdarahan 2 menit 1-6 menit
Masa Pembekuan 11 menit 5-15 menit
PT 27,7 detik 9,7-13,1 detik
APTT 49,1 detik 25,5-42,1 detik

INR : 2,32

EKG

|Diskusi Kasus: Aritmia| 4


Irama AF dengan ventricular response 60-110x/m.
Axis : normal
Gelombang P : variable
Tidak ada Q patologis
Gelombang QRS normal
Gelombang U (-)

3. Assesment:
Pasien datang dengan keluhan utama sesak saat aktivitas (dyspneu on effort)
yang dirasakan dalam setahun belakangan. Dari keluhan utama tersebut kita dapat
berpikir kemungkinan diagnosis mengarah kepada kelainan pada jantung mulai dari
yang paling sering ditemukan yaitu gagal jantung kongestif (CHF) dan penyakit
jantung koroner (CAD). Sesak pada onset yang lama dan kronis tidak
menggambarkan CAD yang umumnya onset akut dan disertai nyeri dada khas
angina, sedangkan pada pasien ini tidak demikian. Namun tidak menutup
kemungkinan terdapat riwayat dari CAD (sebelum melihat kepada hasil EKG). Pada
pasien ini masih dimungkinkan diagnosa CHF mengingat adanya dyspneu on effort,
namun disangkal adanya gejala pendukung seperti paroxysmal nocturnal dyspneu
(PND), orthostatic dyspneu (OD). Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya
peningkatan tekanan vena jugular, tidak adanya kesan cardiomegaly, tidak adanya
tanda dari edema pulmo (ronkhi basah basal paru) yang mungkin berasal dari CHF.
Namun pada pemeriksaan pasien ditemukan irama nadi yang irregular yang
menandakan kemungkinan adanya aritmia jantung (dikonfirmasikan melalui EKG).
Pada auskultasi jantung terdengar adanya bising jantung pada area apex jantung,
yaitu area mitral. Bising jantung terdengar pada fase diastolik pada area apex
dengan kualitas low pitched sound. Bising jantung fase diastolik pada area mitral
bisa jadi menunjukkan adanya mitral valve stenosis. Adanya aritmia dan kelainan
katup jantung bisa jadi merupakan penyebab gejala pada pasien tersebut, karena
aritmia dan kelainan katup juga dapat menurunkan fungsi sistolik/diastolik jantung.
Jadi pada pasien ini kelainan jantung tidak murni hanya CHF.
Dari EKG dikonfirmasikan adanya aritmia dengan assessment EKG meliputi
adanya irama atrial fibrilasi dengan respon ventrikel 60-110x/m. Pada EKG tidak

|Diskusi Kasus: Aritmia| 5


terlihat gelombang P normal dan jarak RR interval yang irregular, mengarahkan
pada AF. Setelah melihat adanya kemungkinan gangguan katup dan aritmia pada
pasien, dilakukan anamnesis tambahan untuk risiko terjadinya stroke akibat
thromboemboli meliputi adanya riwayat kelemahan anggota gerak. Selain itu
dilakukan anamnesis tambahan mengenai riwayat penyakit metabolisme lainnya
serta faktor risiko pendukung kemungkinan diagnosa (riwayat HT, DM, kolesterol).
Pada makalah ini tidak ditampilkan hasil laboratorium penunjang lengkap,
melainkan hanya profil koagulasi saja. Hal ini disebabkan pemeriksaan dan
pengumpulan data dilakukan pada kunjungan kesekian pasien ke poli jantung dan
data laboratorium belum dapat dilacak dari poli penyakit dalam sebelumnya. Sangat
disayangkan karena perlu penilaian darah rutin dan kimia darah meliputi nilai
ureum-kreatinin, nilai elektrolit (terutama kalium), gula darah sewaktu, profil lipid
dan sebagainya.
Pasien ini didiagnosa kerja sebagai Rheumatic Heart Disease Mitral Stenosis
(RHD MS) dengan AF normo.

4. Plan:
Terapi :

▪ Furosemide 1 x 10mg
▪ Spironolacton 1 x 25mg
▪ Digoxin 1 x ½ tab (0.125mg)
▪ Warfarin 1 x 2mg, cek INR 1 minggu lagi

Rencana pemeriksaan penunjang :

▪ Darah rutin, GDS


▪ Faal ginjal (ureum-creatinin)
▪ Elektrolit darah
▪ Profil lipid
▪ Ro. Thorax
▪ Echocardiografi

|Diskusi Kasus: Aritmia| 6


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cardiac Arrythmia


Fungsi jantung normal tergantung kepada aliran impuls listrik melalui
jantung yang berjalan secara terkoordinasi. Irama jantung yang abnormal
dikatakan sebagai aritmia (juga dapat dikatakan disritmia). Presentasi klinis dari
aritmia beragam mencakup palpitasi ringan sampai dengan gejala berat dari low
cardiac output dan kematian. Oleh karena itu, pemahaman terhadap aritmia
jantung sangat penting bagi praktisi klinis sehari-hari.
Dikatakan irama jantung normal adalah bila heart rate 60-100x/m, impuls
listrik berasal dari SA nodal dan impuls berjalan dalam jalur konduksi normal
dengan kecepatan yang normal. Irama jantung yang lambat abnormal dikatakan
sebagai bradikardia atau bradiaritmia. Sementara irama cepat dikatakan
takikardia atau takiaritmia. Takikardia dikatakan sebagai supraventricular
takikardia bila mencakup atrium dan AV nodal.
Gangguan irama jantung dapat dihasilkan dari perubahan pembentukan
impuls, konduksi impuls, ataupun keduanya.
Gambar 1.1 Aritmia akibat perubahan dari pembentukan dan/atau
konduksi impuls.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 7


Perubahan pembentukan impuls dapat terjadi akibat peningkatan automatisasi
dan triggered activity.
Automatisasi adalah kemampuan sel untuk mendepolarisasikan sel itu
sendiri hingga threshold voltage dalam sifat yang ritmis dan berulang, sehingga
potensial aksi spontan terbentuk. Walaupun sel atrium dan ventrikel tidak
memiliki kemampuan tersebut dalam kondisi normal, beberapa sel dalam sistem
konduksi khusus memiliki automatisasi alami dan sehingga dinamakan sebagai
pacemaker cells. Sistem konduksi tersebut meliputi sinoatrial (SA) nodal,
atrioventricular (AV) nodal, dan sistem konduksi ventrikel yang terdiri dari
bundle of His, bundle branches, dan serabut Purkinje. Pada keadaan patologis,
sel jantung diluar sistem konduksi menjadi dapat memiliki kemampuan
automatisasi tersebut. Berikut adalah kurva yang menunjukkan terjadinya
potensial aksi pada sel pacemaker.
Gambar 1.2 Potensial aksi pada sel pacemaker.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 8


Peningkatan automatisasi pada SA nodal salah satunya dapat diakibatkan oleh
rangsangan epinefrin melalui reseptor beta adrenergik. Rangsangan tersebut
mengakibatkan ion Ca lebih banyak yang masuk ke dalam sel sehingga threshold
menjadi lebih cepat tercapai. Hal ini juga menyebabkan SA nodal mencetuskan
impuls lebih frequent dari normal. Sementara, penurunan automatisasi dapat
diakibatkan oleh rangsang kolinergik yang ditunjukan pada gambar berikut.
Gambar 1.3 Efek stimulasi beta adrenergik dan cholinergic pada
pergerakan ion kalsium dalam sel myocard.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Perubahan pembentukan impuls lainnya adalah triggered activity. Pada


kondisi tertentu, potensial aksi dapat mencetuskan depolarisasi abnormal yang
menyebabkan extra heart beat atau rapid aritmia. Proses tersebut dapat terjadi

|Diskusi Kasus: Aritmia| 9


ketika potensial aksi pertama menuju ketidakseimbangan ion pada membran sel,
yang dikenal sebagai aafterdepolarizations. Ada dua tipe afterdepolarization,
yaitu early afterdepolarization (EAD) yang muncul pada fase repolarisasi, dan
delayed afterdepolarization (DAD) yang muncul seketika setelah peristiwa
repolarisasi berakhir. Salah satu yang dapat mencetuskan afterdepolarization
adalah pada kasus iskemia jantung. Iskemia yang terjadi pada sel ventrikel dapat
menyebabkan membran sel tercederai sehingga menyebabkan penumpukan sel
kation kalsium intraselular dan menyebabkan membran sel tidak dapat
mengalami resting state.
Gambar 1.4 Early afterdepolarization dan Delayed afterdepolarization.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Selain dari perubahan pembentukan impuls, adalah perubahan konduksi


impuls yang meliputi peristiwa reentry. Pada irama reentry, impuls listrik
bersirkulasi berulang-ulang kali pada jalur reentry, dan kembali mendepolarisasi
area jantung tersebut.
Gambar 1.5 Mekanisme reentry

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 10


Gambar 1.5 di atas menjelaskan bahwa bila konduksi yang melalui jalur
retrograde adalah lambat, maka impuls mencapai point x setelah jalur α
recovered. Pada kondisi tersebut, impuls dapat mengeksitasi kembali jalur α dan
lingkaran reentry terbentuk. Pada kondisi normal, impuls yang melewati lintasan
multipe α dan β akan saling menetralkan. Bila terdapat unidirectional block,
impuls tidak akan melewati lintasan β dari arah anterograde tapi bisa melewati
lintasan α dari arah retrograde dengan kecepatan yang lebih rendah, akibatnya
lintasan α telah menyelesaikan repolarisasinya sehingga impuls dari lintasan β
dapat melalui lintasan α. Terjadilah sirkuit reentry.
Selain reentry, perubahan konduksi impuls dapat berupa conduction block.
Conduction block pada sistem konduksi meliputi AV nodal atau sistem His-
Purkinje menyebabkan hantaran impuls normal dari SA nodal ke daerah distal
tidak normal.
Pada makalah ini hanya dibahas mengenai Atrial Fibrillasi yang
merupakan salah satu gangguan irama jantung cepat yang disebabkan oleh
peningkatan automatisitas dan/atau peristiwa reentry. Gangguan irama jantung
lainnya tidak dibahas dalam makalah ini.

2.2 Pembahasan Atrial Fibrillasi

Atrial fibrillasi (AF) adalah gangguan irama jantung yang paling sering
ditemukan, dan prevalensinya meningkat seiring usia populasi.Walaupun sering
terkait dengan penyakit jantung lainnya, AF terkadang muncul pada pasien tanpa
keluhan jantung tertentu. Gangguan hemodinamik dan kejadian tromboemboli
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 11


Tabel 1.1 Definisi pada tiap klasifikasi Atrial Fibrilasi (AF).

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

AF adalah supraventrikular aritmia yang ditandai dengan tidak


terkontrolnya aktivasi atrium diikuti dengan menurunnya aktivitas mekanik
atrial. Pada EKG dapat terlihat gelombang P normal menghilang dan
digantikan oleh gelombang fibrilasi yang bervariasi ukuran, bentuk, dan waktu
munculnya serta berhubungan dengan respon ventrikel ireguler apabila
konduksi AV intak. Peningkatan frekuensi denyut jantung pada AF sebesar
350-650 x/menit, sehingga menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau
pompa darah jantung.

Gambar 1.6 Gambaran EKG pada atrial fibrillasi.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Atrial fibrilasi diklasifikasikan menurut kejadian episodenya. Ketika


pasien mengalami dua episode atau lebih, AF dikatakan rekuren. Ketika sudah
diterminasi, AF rekuren dikatakan paroksismal, dan apabila AF terus

|Diskusi Kasus: Aritmia| 12


berlangsung maka dikatakan persisten. Bila terapi farmakologis dan cardioversi
tidak dapat merubah irama AF, maka dikatakan AF persistent, dan umumnya
menuju kepada AF permanen. Definisi pada tiap klasifikasi terdapat pada Tabel
1.1. tersebut di atas.

2.3 Patofisiologi (Mekanisme) Atrial Fibrilasi


Teori yang melandasi terjadinya AF mencakup proses peningkatan
automatisitas pada 1 atau beberapa foci yang terdepolarisasi cepat, dan reentry
yang melibatkan 1 atau beberapa sirkuit. Foci yang tercetus secara cepat dan
terlokasi pada 1 atau lebih tempat pada v.pulmonalis superior dapat
menimbulkan AF pada pasien tertentu. Foci juga bisa terdapat pada atrium
kanan dan jarang sekali pada vena cava superior atau sinus coronarius. Ablasi
pada foci tersebut dapat menjadi tindakan kuratif pada beberapa pasien.
Proses yang abnormal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam
hal mencakup kelainan struktural maupun elektrikal (fungsional), seperti yang
digambarkan dalam bagan tersebut dibawah. Kelainan struktural dapat
diakibatkan oleh proses fibrosis (atrial remodelling), iskemia, infiltrasi pada
atrial myocard (pada amyloidosis, sarcoidosis, hemochromatosis), dilatasi
atrium, dan hipertrofi atrium. Sementara itu kelainan fungsional salah satunya
adalah akibat dari peningkatan automatisitas ataupun kondisi dimana aliran
kation pada sel jantung abnormal.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 13


Gambar 1.7 Bagan mekanisme atrial fibrillasi.

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

AV nodal merupakan suatu faktor yang dapat membatasi konduksi


selama AF. AV nodal terlokasi pada anterior dari trigonum Koch, yang
dikelilingi oleh sel transisional. Terdapat 2 jalur impuls dari atrium ke AV nodal
yaitu dari posterior melalui crista terminalis dan dari anterior melalui septum
interatrial. Pada suatu kasus bisa jadi terdapat jalur aksesori (mis.pada sindroma
WPW), yang merupakan serabut otot yang menghubungkan atrium dan ventrikel
dan mempunyai kapasitas untuk konduksi cepat. Konduksi melalui jalur aksesori
selama AF berlangsung dapat menyebabkan very rapid ventricular response dan
dapat berakibat fatal. Obat-obatan seperti digitalis, calcium channel antagonist,
dan beta-blocker umumnya diberikan untuk memperlambat konduksi pada AV
nodal selama AF, namun tidak menghentikan aliran impuls yang melalui jalur
aksesori, sehingga dapat meningkatkan konduksi dan menyebabkan hipotensi
ataupun cardiac arrest.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 14


Gambar 1.8 Trigonum Koch

Pada AF, ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi fungsi hemodinamik,


yaitu : hilangnya aktivitas mekanik atrial yang sinkron, respon ventrikular yang
irregular, dan nadi yang sangat cepat. Respon ventrikular yang cepat dapat
menurunkan cardiac output, sehingga dapat terjadi hipotensi dan kongesti
pulmo. Hilangnya aktivitas mekanik atrial yang sinkron dapat menyebabkan
darah menjadi stasis di atrium, sehingga meningkatkan risiko thrombus, yang
merupakan penyebab penting dari kejadian stroke. Thrombus yang terkait
dengan AF seringkali berasal dari left atrial appendage (LAA). Namun karena
patofisiologi dari thromboembolisme pada pasien AF belum dapat dijelaskan
secara pasti, maka mekanisme yang menghubungkan faktor risiko stroke
iskemik pada AF juga belum dapat secara lengkap dijabarkan.
Oleh karena itu, fokus tatalaksana pada AF adalah pada tiga aspek, yaitu:
(1) ventricular rate control, (2) mengembalikan ke irama sinus, dan (3) penilaian
kebutuhan antikoagulan untuk mencegah thromboembolisme.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 15


2.4 Evaluasi Klinis dan Diagnosis
Presentasi klinis dari AF tidak selalu simptomatik, bisa jadi
asimptomatik, walaupun pada satu pasien yang sama. Gejala bervariasi dari
ventricular rate, status fungsional jantung, durasi AF, maupun persepsi
individual pasien. Disritmia dapat terjadi pada pertama kali dengan komplikasi
emboli ataupun eksaserbasi dari gagal jantung. Seringkali pasien dijumpai
datang dengan keluhan palpitasi, nyeri dada, sesak napas, kelelahan/ fatigue,
ataupun lightheadedness. Sinkop merupakan komplikasi yang sangat jarang
namun serius yang umumnya mengindikasikan disfungsi sinus nodal, valvular
aortic stenosis, HCM, cerebrovascular disease, atau adanya jalur aksesori pada
AV nodal.
Evaluasi inisial untuk pasien yang suspek ataupun terbukti AF meliputi
penentuan karakteristik pola aritmia (apakah paroksismal atau persisten),
penentuan penyebab aritmia, dan penentuan faktor cardiac serta extracardiac.
Pada pemeriksaan fisik dapat dicurigai AF bila adanya nadi irregular, pulsasi
vena jugular yang irregular, dan variasi kerasnya suara bunyi suara jantung satu
(S1). Untuk mendiagnosis AF diperlukan rekam jantung (EKG). Jika episode
frekuen, dapat dipasang 24 jam Holter monitor. Pada kasus AF pada EKG dapat
ditemukan irama AF, heart rate 350-650x/m, tidak adanya gelombang P dan
digantikan oleh gelombang fibrillasi, interval RR yang irregular, bisa juga
disertai dengan gambaran bundle branch block, old myocard infarct, atrial
arrythmia lainnya.
Selain itu pemeriksaan penunjang dapat meliputi pemeriksaan
laboratorium, foto rontgen thorax, transthoracic echocardiogram, exercise
testing, dan sebagainya seperti tertera pada tabel berikut di bawah.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 16


Tabel 1.2 Evaluasi klinis inisial pada pasien AF

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary

|Diskusi Kasus: Aritmia| 17


Tabel 1.3 Pemeriksaan penunjang pada pasien AF

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary

|Diskusi Kasus: Aritmia| 18


2.5 Terapi AF
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa fokus tatalaksana pada
AF adalah pada ventricular rate control, mengembalikan ke irama sinus, dan
penilaian kebutuhan antikoagulan untuk mencegah thromboembolisme.
Mengembalikan irama sinus
Alasan yang mendasari kepentingan untuk mengembalikan dan menjaga
irama sinus pada pasien AF adalah untuk meredakan gejala, mencegah
embolisme, dan sebagai upaya pencegahan cardiomyopathy. Cardioversi sering
dilakukan untuk mengembalikan irama sinus pada pasien persistent AF.
Kebutuhan akan cardioversi bisa jadi immediate, yaitu ketika aritmia tersebut
merupakan faktor utama penyebab gagal jantung akut, hipotensi, atau
perburukan angina pectoris pada pasien CAD. Meskipun begitu, tindakan
cardioversi memiliki risiko thromboembolisme kecuali antikoagulasi profilaksis
telah diberikan secara inisial sebelum prosedur, dan risiko paling tinggi
terjadinya thromboembolisme adalah pada aritmia >48 jam.
Cardioversi dapat dicapai dengan pemberian obat-obatan ataupun
electrical shock. Pemberian obat-obatan umumnya dilakukan sebelum electrical
cardioversion menjadi prosedur standar. Perkembangan obat-obat baru telah
meningkatkan popularitas pharmacological cardioversion, walaupun ada
beberapa kerugiannya seperti risiko terjadinya drug-induced torsade de pointes
ventricular tachycardia atau aritmia serius lainnya. Pharmacological
cardioversion masih kurang efektif bila dibandingkan dengan electrical
cardioversion, namun pada electrical cardioversion diperlukan sedasi atau
anestesia, sementara pharmacological cardioversion tidak. Risiko
thromboembolisme atau stroke pada kedua metode cardioversi tersebut tidak
berbeda bermakna, sehingga rekomendasi pemberian antikoagulan adalah sama
untuk keduanya.
Pharmacological cardioversion paling efektif diberikan pada 7 hari
setelah onset AF. Kebanyakan pasien mengalami paroksismal AF, dan sebagian
besar mengalami spontaneous cardioversion dalam 24 – 48 jam. Namun hal
tersebut kecil kemungkinan terjadi pada AF yang telah berlangsung lebih dari 7
hari. Dosis, rute, dan kecepatan pemberian obat antiaritmia mempengaruhi

|Diskusi Kasus: Aritmia| 19


efficacy. Cardioversi secara farmakologis meliputi pemberian antiaritmia kelas
IA, IC, atau III (Tabel 1.3 dan 1.4).
Tabel 1.3 Klasifikasi obat antiaritmia.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Electrical cardioversion meliputi pemberian electrical shock yang


tersinkronasi dengan aktivitas intrinsik jantung, sehingga stimulasi listrik tidak
terjadi pada fase vulnerable dari siklus jantung. Keberhasilan cardioversi pada
AF bergantung pada penyakit jantung yang mendasari dan densitas arus listrik
yang diberikan. Densitas arus listrik tersebut tergantung kepada voltase
defibrillator, output waveform, ukuran dan posisi electrode paddles, dan
impedansi transthorakal. Kebutuhan energi lebih rendah dan tingkat
keberhasilan lebih tinggi pada posisi paddle anterior-posterior (sternum dan left
scapular), dibandingkan dengan anterior-lateral (ventricular apex dan right
infraclavicular).

|Diskusi Kasus: Aritmia| 20


Tabel 1.4 Agen antiaritmia untuk mempertahankan irama sinus.

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

|Diskusi Kasus: Aritmia| 21


Cardioversi dilakukan pada pasien yang dipuasakan dan dalam
pemberian anesthesia short acting yang adekuat. Inisial shock 100 J seringkali
terlalu rendah dan inisial energi 200 J atau lebih direkomendasikan untuk
electrical cardioversion pada pasien AF. Energi yang lebih kecil juga dapat
diberikan pada arus listrik dengan biphasic waveform, dibandingkan dengan
monophasic waveform. Irama sinus dapat dikembalikan dengan direct-current
cardioversion, namun tingkat relaps tinggi kecuali obat antiaritmia diberikan
bersamaan. Risiko electrical cardioversion adalah kejadian emboli dan aritmia.
Ventricular rate control
Alternatif untuk menjaga irama sinus pada pasien dengan paroksismal
atau persisten AF adalah dengan mengontrol ventricular rate. Ventricular rate
umumnya dianggap terkontrol bila ventricular response antara 60 hingga 80 x/m
saat istirahat, dan 90 hingga 115 x/m saat exercise. Terapi dengan kronotropik
negatif didasari oleh tujuan depresi konduksi melalui AV nodal. Sinus
bradikardia dan heart block dapat muncul pada pasien usia tua, sebagai efek
yang tidak diinginkan dari terapi farmakologis dengan beta-blocker, digitalis,
ataupun CCB. Pada pasien bradikardia dengan gejala diperlukan permanent
pacing. AV nodal ablasi dan implantasi permanent pacemaker sangat efektif
untuk memperbaiki gejala pada apasien AF dengan gejala terkait rapid
ventricular rate yang tidak dapat dikendalikan dengan obat antiaritmia ataupun
agen kronotropik negatif.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 22


Tabel 1.5 Terapi farmakologis untuk rate control pada AF

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

Pencegahan thromboembolisme
Faktor risiko independent terjadinya thromboembolisme pada
nonvalvular AF termasuk gagal jantung, hipertensi, usia tua, dan diabetes
mellitus. Pada pemeriksaan penunjang transthoracic echocardiography (TTE)
kita dapat menghitung diameter atrium kiri (LA) serta menilai adanya disfungsi
ventrikel kiri (LV) sebagai prediktor dari kejadian iskemia. Pemeriksaan
transesophageal echocardiography (TEE) lebihs sensitif dan spesifik untuk
mendeteksi thrombus pada LA dan LAA, dibandingkan dengan TTE. Adanya
thrombus pada LA/LAA merupakan kontraindikasi dari tindakan elective
cardioversion pada AF. Tidak terdeteksinya thrombus tidak menjamin tidak
terjadinya thromboembolisme setelah cardioversi jika pasien tidak diberikan
terapi antikoagulan.
Target dari pemberian antikoagulan mempertimbangkan keseimbangan
dari pencegahan stroke iskemia dan menghindari komplikasi perdarahan. Sangat
penting untuk memberikan antikoagulan dgn target adekuasi terendah untuk
meminimalisasi risiko perdarahan, terutama pada pasien usia tua pada AF.
Proteksi maksimum untuk stroke iskemia pada AF dapat dicapai pada
international normalized ratio (INR) 2 sampai 3.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 23


Pasien dengan nonvalvular AF, direkomendasikan untuk dilakukan
penilaian CHA2DS2-VASc score, seperti pada tabel di bawah.
Tabel 1.6 Penilaian faktor risiko terjadinya stroke pada AF

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

Pada pasien nonvalvular AF dengan riwayat stroke, transient ischemic


attack (TIA), atau skor CHA2DS2-VASc ≥ 2, pemberian oral antikoagulan
direkomendasikan, dengan pilihannya adalah warfarin (INR 2 hingga 3) (Level
of Evidence : A). Pada pasien yang diberikan warfarin, INR harus dipantau
setiap minggu selama inisiasi terapi antitrombotik dan minimal setiap bulan jika
INR terpantau stabil. Pada pasien nonvalvular AF dengan INR tak terkontrol
walaupun dengan pemberian warfarin, direkomendasikan untuk pemberian
direct thrombin atau factor Xa inhibitor (dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban)
dengan evaluasi fungsi ginjal sebelumnya dan dilakukan evaluasi ulang
berikutnya.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 24


Pada pasien nonvalvular AF dengan skor CHA2DS2-VASc ≥ 2, dan
terdapat end-stage chronic kidney disease (CKD) (creatinine clearance
<15mL/min) atau dalam pengobatan dengan hemodialisa, warfarin tetap
diberikan sebagai oral antikoagulan (INR 2 hingga 3).
2.6 Agen Antiaritmia
Obat antiaritmia merupakan salah satu golongan obat yang berbahaya
karena potensial efek sampingnya yang serius. Dengan demikian pemahaman
menyeluruh mengenai mekanisme aksi, indikasi, dan toksisitas sangat penting.
Obat antiaritmia terbagi menjadi 4 kelompok besar berdasarkan
mekanisme aksinya.
1. Class I : menghambat kanal sodium cepat yang bertanggung
jawab pada fase 0 depolarisasi. Class I dibagi menjadi 3 subtipe
berdasarkan derajat kemampuan memblokade kanal sodium dan
efeknya terhadap durasi potensial aksi.
2. Class II : beta-adrenergic receptor antagonist (beta-blocker)
3. Class III : menghambat kanal potassium yang bertanggungjawab
pada fase repolarisasi, sehingga memperpanjang potensial aksi
dengan sedikit efek pada peningkatan fase 0 depolarisasi.
4. Class IV : menghambat L-type kanal kalsium.
Terlepas dari penggolongan antiaritmia tersebut, tujuan utama
pemberiannya adalah untuk menghentikan mekanisme takiaritmia, yaitu
peningkatan automatisitas, reentry, dan triggered activity.
Pada kasus aritmia akibat peningkatan automatisitas, terapi ditujukan
untuk menurunkan slope dari fase 4 diastolic depolarization, dan/atau
memperpanjang masa refrakter.
Obat antiaritmia yang menginhibisi irama reentrant dengan mekanisme
yang berbeda. Terbentuknya reentrant adalah bila pada salah satu area jantung
terdapat unidirectional block atau slow conduction. Irama reentrant dapat
bertahan bila lamanya waktu yang dibutuhkan impuls untuk propogasi
mengelilingi sirkuit melebihi masa refrakternya. Jika impuls yang kembali ke
area myocardium yang telah terdepolarisasi sebelumnya namun belum mencapai
masa recover, maka jaringan tersebut tidak akan terstimulasi kembali, sirkuit

|Diskusi Kasus: Aritmia| 25


tidak akan terbentuk. Oleh karena itu, strategi untuk menghentikan reentry
adalah dengan memperpanjang masa refrakter myocard. Selain dari itu, untuk
menghentikan reentry bisa juga dengan mengganggu propagasi impuls pada
jalur lambat sirkuit reentry, yaitu dengan memblokade kanal sodium yang
bertanggung jawab untuk fase 0 depolarisasi. Dengan demikian blokade tersebut
menghentikan konduksi impuls pada aliran balik jalur lambat dan memutuskan
aliran sirkuit reentry.
Gambar 1.9 Mekanisme agen antiaritmia dalam inhibisi reentry

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Eliminasi tipe ketiga dari takiaritmia, triggered activity, adalah dengan


menekan early dan delayed afterdepolarization.
Agen antiaritmia yang ideal adalah yang dapat menekan foci ektopik dan
menghambat sirkuit reentrant tanpa mempengaruhi jalur konduksi normal.
Namun yang disayangkan adalah ketika konsentrasi obat antiaritmia melebihi
rentang terapeutiknya yang sempit, bahkan aktivitas listrik normal dapat
tersupresi. Beberapa obat antiaritmia memang memiliki potensi untuk memicu
gangguan irama (dinamakan efek proaritmik). Contohnya adalah, ketika obat
antiaritmia memperpanjang potensial aksi dan menginduksi early
afterdepolarization, menghasilkan triggered-type aritmia, seperti torsade de
pointes. Drug induced proaritmia seringkali muncul pada pasien dengan

|Diskusi Kasus: Aritmia| 26


disfungsi LV atau pada pasien dengan pemanjangan interval QT (suatu tanda
bahwa potensial aksi sudah prolonged sebelumnya).

2.7 Kesimpulan
Atrial fibrilasi adalah takiaritmia atrial yang ditandai dengan tidak
terkontrolnya aktivasi atrium dengan konsekuensi gangguan fungsi mekanis
atrium. Klasifikasi dari atrial fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu AF
deteksi pertama, paroksismal AF, persisten AF dan kronik/permanen AF.
Mekanisme AF terdiri dari proses, yaitu peningkatan automatisitas dan
reentry. Mekanisme ini sangat berhubungan dengan bentuk klinis AF, lokasi
pencetus, dan kelainan fungsional, struktur, dan otonom yang mendasari
progresivitas AF.
Terjadinya AF menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu
hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon
ventrikel dan ketidakteraturan denyut jantung serta komplikasi tromboemboli
yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Diagnosis AF ditegakkan dari klinis dan EKG.
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol
ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 27


DAFTAR PUSTAKA

A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task


Force on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology
Committee for Practice Guidelines and Policy Conferences (Committee to
Develop Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation).
2001. ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation : Executive Summary. Journal of the American College of
Cardiology Vol 38, No.4
A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines and Heart Rythm Society. 2014. ACC/AHA/ESC
Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation : Executive
Summary. Journal of the American College of Cardiology Vol 64, No.21.
Lilly, L.S. 2011. Pathophysiology of Heart Disease – A Collaborative Project of
Medical Students and Faculty 5th ed. Lippincott & Wilkins.

|Diskusi Kasus: Aritmia| 28

Anda mungkin juga menyukai