Anda di halaman 1dari 18

Topik : Atrial Fibrilasi

Tanggal (kasus) : 29 November 2018 Presenter : dr. Yose Natasa


Tanggal Presentasi : 15 Desember 2018 Pendamping : dr. Komarrudin
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RS BAKTI TIMAH
Objektif Presentasi :
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi : Perempuan, usia 27th, mengeluh jantung berdebar-debar
□ Tujuan : Penegakkan diagnose, memberikan terapi pendahuluan
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Nama : Nn.D, P, 27 tahun, BB :
Data Pasien : No. Registrasi : 40.72.50
±56kg TB : ± 158cm
Nama Klinik : RS BAKTI TIMAH Telp : Terdaftar sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis:
Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluhkan jantung berdebar-debar sejak
pasien berumur ±6 tahun, namun keluhan hilang sendiri. ±1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
pasien pingsan setelah berolahraga. Riwayat pingsan sebelumnya (-).

2. Riwayat Pengobatan :Pasein belum ada berobat untuk keluhan saat ini
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Riwayat hipertensi (-). Riwayat DM (-). Riwayat alergi obat sebelumnya (-).
4. Riwayat Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.
Riwayat hipertensi (-). Riwayat DM (-).
5. Riwayat Pekerjaan :
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :-
7. Lain-lain :-
Daftar Pustaka :
1. Kirchoff P et al. 2016. 2016 ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation
developed in collaboration with EACTS. European heart journal
doi:10.1093/eurheartj/ehw210.
2. Yuniadi Y et al. 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Indonesia: Centra
Communication.
3. Rosenthal L et al. 2018. Atrial Fibrillation. Diakses pada 08 Desember 2018.
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview#
4. January CT et al. 2014. 2014 /AHA/ACC/HRS Guideline for the Managements of Patients

1
with Atrial Fibrillation. Journal of The American College of Cardiology Vol. 64, No. 21,
2014.
5. Wakai A, O’neill JO. 2003. Emergency management of atrial fibrillation. Postgrad Med J
2003;79:313-319
Hasil Pembelajaran :
1. Penegakan Diagnosis
2. Rencana Tatalaksana dan Pencegahan Stroke
3. Kegawatdaruratan

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif :
Keadaan umum tampak sakit ringan dengan keluhan utama jantung berdebar-
debar jantung berdebar-debar sejak pasien berumur ±6 tahun, namun keluhan hilang
sendiri. ±1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien pingsan setelah berolahraga.
Riwayat pingsan sebelumnya (-).

2. Objektif :
Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : CM
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 100x/menit
 Frekuensi Nafas : 20 x/ menit
 Suhu : 36,50 C
 SpO2 : 98-99 %
 BB : 158cm
 TB : 56kg
 IMT : 22.4 kg/m2

 Status Internus
 Kepala : Tidak ada kelainan
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
 Kulit : Turgor kulit baik
 Thoraks

2
o Paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler + / + , rhonki -/- basah halus, wheezing -/-
o Jantung
Inspeksi : Iktus jantung tidak terlihat
Palpasi : Iktus jantung teraba di linea midclavicula sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Irama reguler, Bising tidak ada, bunyi jantung tambahan
tidak ada

 Abdomen
Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada bekas operasi, simetris, dilatasi
vena (-), darm countour (-), defans muscular (+)
Auskultasi : Bising usus (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
 Ekstremitas : Akral hangat (+) Refilling capiller baik, edem (-)

Hasil Pemeriksaan Darah Rutin (29 November 2018)

3
Hasil Pemeriksaan Elektrolit (30 November 2018)

4
EKG (4 juli 2018)

Interpretasi : Atrial Fibrilasi

3. Assesment (penalaran klinis) :


Seorang pasien perempuani usia 27 tahun diantar oleh keluarga ke IGD RS
Bakti Timah dengan keluhan jantung berdebar sejak pasien berumur ±6 tahun, namun
keluhan hilang sendiri. ±1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien pingsan setelah
berolahraga. Dari keluhan utama pasien dapat dipikirkan beberapa kemungkinan
penyebab, seperti atrial fibrilasi, atrial flutter, atrial takikardi.
Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Riwayat hipertensi (-). Riwayat
DM (-). Riwayat alergi obat sebelumnya (-). Tidak ada keluarga pasien yang
mengalami keluhan serupa.. Diperlukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
laboratorium, dan EKG untuk memastikan diagnosa tersebut dan menyingkirkan
masalah lainnya.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan dengan
frekuensi nafas 20 x/ menit dan suhu 36,5° C, Nadi 100x/menit teraba dalam. Dari
pemeriksaan fisik didapati dalam batas normal.

5
Untuk memastikan diagnosis maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
EKG. Untuk laboratorium didapatkan dalam batas normal, dan pada EKG ditemukan
gambaran fibrilasi atrium . Maka tatalaksana yang sesuai adalah rawat inap, di rujuk
ke spesialis jantung.

4. Plan :
Diagnosis : Fibrilasi Atrium
a. Tatalaksana :
o Rawat inap
o IVFD Ringer Lactate 2liter/24jam
o Inj. Amiodarone 30mg/jam
o Inj. Ranitidine 2x1amp
o Pemeriksaan Lab => cek Elektrolit

FOLLOW UP

Tanggal Perkembangan pasien

Jumat, 30-11- S/ : Keluhan berkurang


O/ : TD : 100/80 mmHg RR : 18x/menit
2018
Nadi : 98x/menit T : 36.3°C
SpO2 : 98-99%%
A/ : Fibrilasi Atrium
P/ : IVFD RL 2L/24jam
Amiodarone 3x200mg
Inj. Ranitidine 2x1amp

Sabtu, 01-12- S/ : Keluhan berkurang


O/ : TD : 100/70 mmHg RR : 19x/menit
2018
Nadi : 100x/menit T : 36.5°C
SpO2 : 98-99%%
A/ : Fibrilasi Atrium
P/ : IVFD RL 2L/24jam
Amiodarone 3x200mg
Inj. Ranitidine 2x1amp

Minggu, 02- S S/ : Keluhan berkurang


O/ : TD : 100/70 mmHg RR : 19x/menit
12-2018
Nadi : 100x/menit T : 36.5°C
SpO2 : 98-99%%
A/ : Fibrilasi Atrium

6
P/ : Pasien berobat jalan
Amiodarone 3x200mg

TINJAUAN PUSTAKA

7
1. Definisi Fibrilasi Atrium1,2
Fibrilasi Atrium (FA) merupakan takiaritmia supraventrikular dengan aktivasi atrium
yang tidak terkoordinasi dan kontraksi atrium yang tidak efektif. Karakteristik AF pada
elektrokardigram meliputi (1) Interval R-R ireguler, (2) Tidak ada gelombang P yang
berulang, (3) Aktivitas Atrium yang ireguler.
Gangguan Hemodinamik pada FA disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, kontrol laju
ventrikel yang tidak optimal, kontraksi atrial yang tidak terkoordinasi, variabilitas pada
pengisian ventrikel, dan aktivasi simpatis. Manifestasi gangguan ini berbeda pada setiap
penderita, dimulai dari tidak ada keluhan, rasa lelah, palpitasi, dispnea, hipotensi, sinkop,
atau gagal jantung. Keluhan yang paling sering dikeluhkan yaitu rasa lelah.

Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi dan
durasinya, yaitu:

1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama
kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau berat
ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam, namun
dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau FA
yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan hingga ≥1
tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter (dan
pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi
kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten lama.

Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain. Artinya, seorang
pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode FA paroksismal, dan pada waktu lain
kadang-kadang FA persisten, atau sebaliknya. Untuk itu, secara praktis, pasien dapat
dimasukkan ke salah satu kategori di atas berdasarkan manifestasi klinis yang paling
dominan.

Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh awitan dan
durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-ciri dari pasien:

8
1. FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya,
termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung seperti
pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
2. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup
jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu FA,
seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis, hipertiroidisme,
emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan FA sekunder
yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA valvular. Respon ventrikel terhadap
FA, sangat tergantung pada sifat elektrofisiologi dari NAV dan jaringan konduksi
lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada atau tiadanya jaras konduksi
tambahan, dan reaksi obat.

Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA dapat dibedakan
menjadi:

1. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/menit


2. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit
3. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit

2. Epidemiologi Atrial Fibrilasi2


FA merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik sehari-hari. Prevalensi
FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang. Framingham
Heart Study yang merupakan suatu studi kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan 5209
subjek penelitian sehat (tidak menderita penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa
dalam periode 20 tahun, angka kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada
perempuan. Sementara itu data dari studi observasional (MONICAmultinational
MONItoring of trend and determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di
Jakarta menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan. Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase populasi usia
lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO
tahun 2045-2050), maka angka kejadian FA juga akan meningkat secara signifikan.
Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin pada data di Rumah Sakit Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang menunjukkan bahwa persentase kejadian FA
pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010,
meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).

9
Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk stroke,
gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA memiliki risiko stroke 5
kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa FA.
Stroke merupakan salah satu komplikasi FA yang paling dikhawatirkan, karena stroke
yang diakibatkan oleh FA mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu,
stroke akibat FA ini mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali
lipat. Fibrilasi atrium juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti
hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus,
obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit
ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Gagal jantung simtomatik
dengan kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi
pada 30% pasien FA, namun sebaliknya FA dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan
gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium
dapat menyebabkan gagal jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium,
peningkatan beban volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang
kronis. Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien
penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek septal
atrium. Sekitar 20% populasi pasien FA mengalami penyakit jantung koroner meskipun
keterkaitan antara FA itu sendiri dengan perfusi koroner masih belum jelas.

3. Diagnosis Atrial Fibrilasi2,3


Anamnesis
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga syok
kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50% episode FA tidak
menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa gejala ringan yang mungkin
dikeluhkan pasien antara lain:
• Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai:pukulan genderang, gemuruh
guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
• Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
• Presinkop atau sinkop
• Kelemahan umum, pusing
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, kardiomiopati yang
diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik. Penilaian awal dari pasien
dengan FA yang baru pertama kali terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas
hemodinamik dari pasien.
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang dicurigai
mengalami FA harus meliputi pertanyaanpertanyaan yang relevan, seperti:

10
• Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan frekuensi gejala.
• Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol). Peran kafein
sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.
• Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
• Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.
• Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.
• Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze) atau perkutan (dengan
kateter).
• Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk berkontribusi
terhadap I nisiasi FA (misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus,
hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK).

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus selalu diawali dengan airways, breathing dan circulation (ABC)
dan tanda vital, karena pemeriksaan ini akan menentukan intervensi. Pemeriksaan fisik
juga dapat memberikan informasi penyebab dan sekuel dari FA.
Tanda Vital
Denyut nadi, tekanan darah, frekuensi pernafasan, dan saturasi oksigen penting untuk
mengevaluasi stabilitas hemodinamik dan adekuasi kontrol laju pada FA. Penderita
memiliki denyut nadi yang ireguler dan umumnya takikardi, dengan denyut jantung
berkisar antara 110-140, namun jarang melewati 160-170.
Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat ditemukan exopthalmos, thyromegaly, peningkatan
tekanan vena jugularis, atau sianosis. Bruit arteri karotis menunjukkan adanya penyakit
arteri perifer dan meningkatkan kejadian penyakit arteri koroner.
Paru
Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda gagal jantung.
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA. Palpasi dan
auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit jantung katup
atau kardiomiopati.
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik.
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau edema.
Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan embolisasi perifer.
Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah
jantung yang menurun

Elektrokardiografi

11
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler.
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-kadang
dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling
sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi, umumnya
kecepatannya melebihi 450x/ menit.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan lab merupakan salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada
pasien FA, yaitu untuk mencari gangguan/ penyakit yang tersembunyi.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
• Darah lengkap (anemia, infeksi)
• Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
• Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai
pencetus FA)
• Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi
dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut meningkat pada
pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan menurun kembali
dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
• D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
• Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
• Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
• Uji toksikologi atau level etanol

4. Penatalaksanaan Atrial Fibrilasi2


Tatalaksasa fase akut
Kendali laju fase akut
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat mengontrol
respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non-
dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil. Antagonis
kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik
ventrikel yang masih baik. Obat intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk
mengontrol respon irama ventrikel. Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk
mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal jantung atau adanya
hipotensi. Namun pada FA dengan preeksitasi obat terpilih adalah antiaritmia kelas I
(propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat yang menghambat NAV
tidak boleh digunakan pada kondisi FA dengan preeksitasi karena dapat menyebabkan
aritmia letal. Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-100 kpm.

12
Terapi Intravena untuk Kendali Laju Fase Akut
Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan sekunder/tersier, untuk
sementara kendali laju dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia oral.
Diharapkan laju jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian
antagonis kanal kalsium (diltiazem 30 mg atau verapamil 80 mg), penyekat beta
(propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg). Dalam hal ini penting
diperhatikan untuk menyingkirkan adanya riwayat dan gejala gagal jantung. Kendali laju
yang efektif tetap harus dengan pemberian obat antiaritmia intravena di layanan
kesehatan sekunder/tersier.
Fibrilasi atrium dengan respon irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik dengan
pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan pemberian atropin pasien
masih simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung
sementara.
Kendali irama fase akut
Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan hemodinamik
pada pasien FA. Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil akibat FA harus
segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Pasien yang
masih simtomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun strategi kendali laju telah
optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan obat antiaritmia intravena
atau kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia intravena pasien harus
dimonitor untuk kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat, disfungsi nodus sinoatrial
(henti sinus atau jeda sinus) atau blok atrioventrikular. Obat intravena untuk kardioversi

13
farmakologis yang tersedia di Indonesia adalah amiodaron. Kardioversi dengan
amiodaron terjadi beberapa jam kemudian setelah pemberian.
Terapi pil dalam saku (pildaku)
Pemberian propafenon oral (450-600 mg) dapat mengonversi irama FA menjadi irama
sinus. Efektivitas propafenon oral tersebut mencapai 45% dalam 3 jam. Strategi terapi ini
dapat dipilih pada pasien dengan simtom yang berat dan FA jarang (sekali dalam
sebulan).Oleh karena itu, propafenon (450-600 mg) dapat dibawa dalam saku untuk
dipergunakan sewaktu-waktu pasien memerlukan (pil dalam saku – pildaku).

Tatalaksana Jangka Panjang


Simtom akibat FA adalah hal penting untuk menentukan pemilihan kendali laju atau
irama. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah FA yang sudah lama, usia tua,
penyakit kardiovaskular berat, penyakit lain yang menyertai, dan besarnya atrium kiri.
Pada pasien dengan FA simtomatik yang sudah terjadi lama, terapi yang dipilih adalah
kendali laju. Namun, apabila pasien masih ada keluhan dengan strategi kendali laju,
kendali irama dapat menjadi strategi terapi selanjutnya. Kendali laju dipertimbangkan
sebagai terapi awal pada pasien usia tua dan keluhan minimal. Kendali irama
direkomendasikan pada pasien yang masih simtomatik meskipun telah dilakukan kendali
laju optimal. Kendali laju yang optimal dapat menyebabkan keluhan berkurang dan
memperbaiki hemodinamik dengan memperpanjang waktu pengisian ventrikel dan
mencegah kardiomiopati akibat takikardia.

Indikasi Kendali Laju dan Kendali Irama

14
Kendali laju jangka panjang
Penyekat beta direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama pada pasien FA dengan
gagal jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark miokard.
Apabila monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk kendali laju.
Digoksin tidak dianjurkan untuk terapi awal pada pasien FA yang aktif, dan sebaiknya
hanya diberikan pada pasien gagal jantung sistolik yang tidak memiliki aktivitas tinggi.
Hal ini disebabkan karena digoksin hanya bekerja pada parasimpatis. Amiodaron untuk
kendali laju hanya diberikan apabila obat lain tidak optimal untuk pasien.

Kendali irama jangka panjang


Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi simtom. Strategi ini dipilih pada
pasien yang masih mengalami simtom meskipun terapi kendali laju telah dilakukan
secara optimal. Pilihan pertama untuk terapi dengan kendali irama adalah memakai obat
antiaritmia. Pengubahan irama FA ke irama sinus (kardioversi) dengan menggunakan
obat paling efektif dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya FA. Kardioversi
farmakologis kurang efektif pada FA persisten. Terapi pengembalian irama ke sinus
mempunyai kelebihan mengurangi risiko tromboemboli, memperbaiki hemodinamik
dengan mengembalikan ‘atrial kick’, mencegah terjadinya respon ventrikel cepat yang
dapat menginduksi kardiomiopati akibat takikardia, serta mencegah remodelling atrium
yang dapat meningkatkan ukuran atrium dan menyebabkan kardiomiopati atrium.
Kendali irama harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung akibat FA untuk
memperbaiki keluhan, pasien muda yang simptomatik, atau FA sekunder akibat kelainan
yang telah dikoreksi (iskemia, hipertiroid). Beberapa obat antiaritmia untuk mengubah
irama ke sinus juga memiliki efek samping dan seringkali membutuhkan perawatan di
rumah sakit untuk inisiasinya. Keberhasilan kardioversi farmakologis juga tidak terlalu
tinggi. Obat antiaritmia yang ada di Indonesia untuk kardioversi farmakologis adalah
amiodaron dan propafenon. Namun amiodaron dalam penggunaan jangka panjang
mempunyai efek toksik.
Propafenon tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau
gagal jantung sistolik. Efektivitas obat antiaritmia untuk mengembalikan irama ke sinus
hanyalah untuk mengurangi namun tidak menghilangkan kekambuhan FA. Obat
antiaritmia tidak jarang mempunyai efek pro-aritmia dan efek samping lainnya di luar
jantung.

15
5. Pencegahan Stroke3,4
Terapi oral antikoagulan dapat mencegah kejadian stroke iskemi pada penderita FA dan
dapat memperpanjang kehidupan. Penderita dengan skor CHA2DS2-VASc 1 (pada laki-
laki) atau 2 (pada perempuan) direkomendasikan untuk memulai pengobatan oral
antikoagulan.

Tabel Skoring CHA2DS2-VASc

Antagonis Vitamin K (AVK)


Antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin) adalah obat antikoagulan yang paling
banyak digunakan untuk pencegahan stroke pada FA. Pengaturan dosis yang terus-
menerus harus dilakukan untuk memperoleh nilai target INR 2-3. Kesulitan pemakaian
AVK di Indonesia ialah tidak tersedianya fasilitas pemeriksaan INR di daerah-daerah
perifer.
Antikoagulan Baru (AKB)
Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan merupakan AVK di pasaran Indonesia, yaitu
abigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara menghambat

16
langsung thrombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya bekerja dengan cara
menghambat faktor Xa.

Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan dengan risiko perdarahan


akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial yang bersifat fatal atau
menimbulkan disabilitas. Skor HAS-BLED yang merupakan kependekan dari
Hypertension, Abnormal renal or liver function, history of Stroke, history of Bleeding,
Labile INR value, Elderly, dan antithrombotic Drugs and alcohol telah divalidasi pada
banyak studi kohor berkorelasi baik dengan perdarahan intrakranial. Evaluasi risiko
perdarahan pada setiap pasien FA harus dilakukan dan jika skor HAS-BLED ≥3 maka
perlu perhatian khusus, pengawasan berkala dan upaya untuk mengoreksi faktor-faktor
risiko yang dapat diubah. Skor HAS-BLED tidak digunakan untuk melakukan eksklusi
pemakaian antikoagulan tetapi sebagai panduan sistematis dalam menaksir risiko
perdarahan dan memikirkan faktorfaktor risiko yang dapat dikoreksi seperti tekanan
darah yang belum terkontrol, penggunaan aspirin atau non-steroid anti-inflammatory
drugs (NSAIDs), dsb. Hal yang penting untuk diperhatikan bahwa pada skor HAS-
BLED yang sama, risiko perdarahan intrakranial dan perdarahan mayor lain dengan
pemberian aspirin atau warfarin sama saja. Penggabungan skor CHA2DS2-VASc dan
HAS-BLED sangat bermanfaat dalam keputusan tromboprofilaksis pada praktik sehari-
hari.

6. Kegawatdaruratan Fibrilasi Atrium5


FA merupakan kasus aritimia yang paling sering ditemukan pada unit gawat darurat. FA
berperan dalam meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular dan
kejadian stroke, sehingga perlu dilakukan penilaian awal terhadap kejadian FA terutama
yang menimbulkan gejala.
Penilaian awal yang dilakukan berupa penilaian terhadap status hemodinamik. Parameter
yang digunakan terdiri dari :
- Penurunan kesadaran
- Nyeri dada
- Sesak nafas
- Dypsnea on effort
- Penurunan tekanan darah (sistol <90mmHg)
- Diaforesis
Pasien yang tidak stabil memerlukan tindakan langsung berupa kardioversi untuk
mencegah perburukan yang dapat berakhir dengan gagal jantung.
Pada seluruh pasien FA di unit gawat darurat, pemberian oksigen, pemasangan IV line
dan monitoring EKG secara berkala merupakan suatu keharusan. Prinsip penanganan

17
emergensi FA adalah pencegahan tromboemboli, stabilisasi status hemodinamik, dan
perbaikan gejala melalui tiga tahap pengobatan yaitu pemberian antikoagulan, kontrol
laju, dan kontrol irama.

18

Anda mungkin juga menyukai