“Kejang-Demam ”
3. Angel T. S (19000039)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan laporan tutorial ini. Laporan ini disusun berdasarkan pemicu
“Nyeri kepala”. Dalam kesempatan ini, kami juga mengucapkan terimakasih kepada tutor
dan semua pihak yang membantu dalam menyelesaikan laporan tutorial ini.
Kami menyadari laporan yang kami buat ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata kami mengharapkan
laporan tutorial ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Hormat kami,
Kelompok 9
DATA PELAKSANAAN TUTORIAL
I. JUDUL BLOK
Nervous system
Kejang Demam
A. TUTORIAL I
B. TUTORIAL II
More info
Sens: GCS 15. Denyut jantung 100x/menit, pernafasan 20 x/menit. Pharynx Hiperemis. Kaku kuduk
negative, reaksi meningeal negative, jantung dan paru normal. Hepar dan lien tidak teraba, anggota
gerak baik.
Pungsi lumbal : cairan otak jerni, menetes, sedang, Nonne(-), Pandy (-), sel 0/3/mm 3, glukosa 60.
Riwayat keluarga : saudara laki laki anak tersebut perna mengalami sakit serupa seperti yang dialami
si anak.
Unfamiliar Terms
Poblem Defenitions
1. Anak perempuan usia 10 bulan mengalami kejang dan demam( 39,5 C). onset kejang kurang lebih
10 menit. kejang timbul diseluruh tubuh.
5. Leukosit meningkat.
6. Faring hiperemis.
BrainStorming
1. Penyebab demam terjadi akibat infeksi, respon tubuh ( non infeksi ), dehidrasi, dll.
2. Penyebab kejang seluruh tubuh antara lain hipoksia, infeksi sepsis, keracunan, factor genetic.
3. Epidemiologi terjadi pada anak rentang usia 6 bulan – 5 tahun, rentan mengalami kejang demam
karna perkembangan otak belum sempurna, sehingga mudah tersensitisasi, sehingga mudah kejang
dan demam
Analyzing the problem
2. Akibat hipoksia menyebabkan perubahan struktur enzim pada tubuh berakhir pada kejang
3.Kenaikan suhu meningkatkan resiko kejang. Dimana kenaikan suhu menyababkan peningkatan
metabolism basal dan kebutuhan oksigen sehingga terjadi perubahan difus natrium dan kalium pada
membrane potensial, terjadi pelepasan muatan listrik dan berakhir dengan kejang.
4. Faktor genetik adanya riwayat kejang dalam keluarga meningkatkan resiko kejang dan demam
5. Dari hasil pemeriksaan pungsi lumbal menunjukan hasil yang normal, ditemukan infeksi
ekstrakranial dari pemeriksaan fisik faring hiperemis
6. Dari onset kurang lebih 10 menit kategori kejang demam simple/ sederhana
Mind map
HIPOTESA
Kejang demam Kejang demam adalah • Kejang demam Lab darah ,kultur
kejang yang terjadi pada berlangsung darah ,glukosa
anak berusia 3 bulan singkat darah,elektrolit,magnesiu
• Sering kali kejang
sampai dengan 5 tahun m,kalsium,fosfor,urinalis
berhenti sendiri
dan berhubungan dengan • Setelah kejang a,kultur urin
demam serta tidak berhenti,anak tidak
didapatkan infeksi atau bereaksi sejenak
kelainan yang jelas pada • Peningkatan suhu
intra kranial tubuh mendadak
hingga >38
Meningitis Meningitis adalah infeksi Gejala klinis yang timbul Tes darah,CT scan atau
akut yang mengenai pada meningitis bacterial MRI,spinal tap (lumbal
selaput mengineal yang berupa sakit kepala, lemah, pungsi),tes PCR
dapat disebabkan oleh menggigil, demam, mual,
berbagai mikroorganisme muntah, nyeri punggung,
dengan ditandai adanya kaku kuduk, kejang, peka
gejala spesifik dari sistem pada awal serangan, dan
saraf pusat yaitu gangguan kesadaran menurun menjadi
kesadaran, gejala rangsang koma.
meningkat, gejala
peningkatan tekanan
intrakranial dan gejala
defisit neurologi
Meningoensefalitis Meningitis adalah infeksi Peningkatan tekanan Uji serologi, ,CT scan
akut pada selaput intracranial,demam akibat atau MRI,pemeriksaan
meningen (selaput yang infeksi,kaku kuduk,kejang pungsi lumbal
menutupi otak dan dan gerakan abnormal
medulla spinalis).
Encephalitis adalah
infeksi virus pada otak.
Meningoencephalitis
adalah peradangan pada
selaput meningen dan
jaringan otak.
Definisi demam adalah keadaan suhu tubuh di atas suhu normal, yaitu suhu tubuh di atas 38 o Celsius.
Atau demam ( respon febrile atau pyrexia) adalah perubahan sementara thermostat hipotalamik ke
tingkat yang lebih tinggi dalam menanggapi sitokin piogenic (yang sebelumnya dikenal sebagai
pyrogen endogen) dan pyrogens yang eksogen.
Suhu tubuh adalah suhu viseral, hati, otak, yang dapat diukur lewat oral, rektal, dan aksila.
Patofisiologi demam
Sebuah perilaku terpadu, endokrin, dan sistem saraf otonomik kemudian dimulai. Berpusat
pada hipotalamus dan sinyal batang otak peningkatan produksi panas dan konservasi panas untuk
meningkatkan titik yang ditetapkan untuk pengaturan suhu tubuh. Vasokonstriksi periferal (tepi)
terjadi dengan gumpalan darah dari kulit sampai inti tubuh. Epinefrin rilis meningkatkan kecepatan
metabolisme, dan nada otot meningkat. Penurunan rilis vasopressin mengurangi volume tubuh fluid
untuk dipanaskan. Hal ini juga dapat timbul. Sang individu mengenakan pakaian yang lebih hangat,
mengurangi luas permukaan tubuh dengan merapatkan tubuhnya, dan mungkin pergi tidur untuk
mendapatkan kehangatan. Suhu tubuh tetap stabil sampai demam berhenti.
"Respons akut terhadap fase" adalah reaksi yang terjadi sewaktu pirogenik dan sitokin lainnya
dilepaskan sebagai tanggapan terhadap infeksi dan peradangan. Selain demam, gejala-gejala lain juga
menimbulkan anoreksia, kelelahan, malaise, somnolence, dan hilangnya konformasi. Pada tingkat sel,
radang sitoksit dapat merangsang katalisme otot dan hiperglikemia (gluconeogenesis, glikolitik, dan
resistansi insulin) dengan merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropik dan glukokortikoid
untuk mendukung sel glukosentrasi. Respons fase hepatic akut melibatkan peningkatan atau
penurunan sintesis protein. Protein c-reaktif, protein pengikat manusia, faktor pelengkap, ferritin,
ceruloplasmin, serum amyloid A, fibrinogen, dan haptoglobin meningkat. Albumin, transferrin (besi
pengikat), protein yang mengikat pada retina, dan transtimretin (pengangkut hormon tiroid) akan
berkurang. Tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) meningkat seraya peningkatan fibrinogen dan protein
plasma lainnya menurunkan formasi rouleaux, sehingga sel-sel darah merah dapat jatuh lebih cepat.
Protein fase akut dan ESR dapat berfungsi sebagai biomarkers untuk respon inflamasi. Fungsi umum
dari protein tahap akut yang meningkat adalah untuk opsonize dan menjebak mikroorganisme dan
produknya, mengaktifkan pelengkap, memroduksi enzim, dan memodulasi respon kekebalan tubuh
inang
Selama demam, arginine vasopressin (AVP), alfa melanosit stimulating hormone dan factor
releasing cortikotropin keluar dari otak dan infeksi sitokin sistemik( IL-1 reseptor agonis dan IL-10)
dapat menyebabkan cryogens endogen atau memberi efek antipiretik ini merupakan loop umpan balik
negatif. Efek antipiretik ini dapat membantu menjelaskan fluktuasi respons janin. Sewaktu demam
berhenti, titik yang ditetapkan kembali menjadi normal. Hipotalamus menanggapi dengan memberi
sinyal penurunan produksi panas dan meningkatnya mekanisme pengurangan panas. Akibatnya,
terbentuklah warna kulit pucat, kulit yang memerah, dan keringat. Orang itu merasa sangat hangat,
menggantikan pakaian hangat dengan pakaian yang lebih dingin, membuang selimut, dan
menjangkau. Setelah tubuh disetel kembali ke suhu normal, individu merasa lebih nyaman dan
hipotalamus menyesuaikan mekanisme thermoregulasi untuk mempertahankan suhu baru.
4. Definisi, Etiologi dan Klasifikasi kejang demam pada anak
Kejang demam adalah kejang yang disebabkan oleh lonjakan suhu tubuh yang tiba-tiba
dengan demam lebih besar dari 39C
Kejang demam tergantung umur dan jarang sebelum umur 9 bulan dan sesudah umur 5
tahun. Puncak umur mulainya adalah sekitar 14-18 bulan
Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orangtua,
menunjukkan kecenderungan genetik 3.
Infeksi virus saluran pernapasan atas, roseola, dan otitis media akut adalah penyebab kejang
demam yang paling sering
Kejang demam dikategorikan sebagai kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks.
Sebagian besar anak pada kelompok kasus yang mengalami demam dengan suhu lebih dari 390 C
(Tabel 2).Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kategori distribusi
tinggi demam dengan bangkitan kejang demam. Hasil tersebut berarti anak dengan demam lebih
390 C mempunyai risiko untuk mengalami demam 4,5 kali lebih besar dibanding anak yang
mengalami demam kurang 390 C (CI 2,33-10,83, p=0,005).
2. Faktor usia
Pada faktor usia menunjukkan bahwa kelompok kasus dan kontrol sebagian besar mengalami
kejang pertama kali pada usia kurang dari dua tahun. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang
bermakna antara usia kurang dua tahun dengan bangkitan kejang demam. Hal ini berarti anak
dengan kejang usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko bangkitan kejang demam 3,4 kali lebih
besar dibanding yang lebih dari dua tahun (CI 1,39-8,30, p=0,006) (Tabel 2).
3. Faktor riwayat kejang dalam keluarga Riwayat kejang dalam keluarga (first degree relative)
Persentase adanya riwayat kejang pada keluarga terdekat (first degree relative) yaitu kedua orang
tua ataupun saudara kandung, pada kelompok kasus lebih besar dibanding kelompok kontrol (Tabel
2). Hal ini menunjukkan anak dengan riwayat kejang dalam keluarga terdekat (first degree relative)
mempunyai risiko untuk menderita bangkitan kejang demam 4,5 kali lebih besar dibanding yang
tidak (CI 1,22-16,65, p=0,02). Faktor riwayat kejang pada ibu, ayah, dan saudara kandung hasil uji
statistik tidak menunjukkan hubungan yang bermakna karena mempunyai sel yang kosong dan
p>0,055.
Kejang demam terjadi pada anak saat ketika anak-anak rentan terhadap
infeksi seperti ISPA (infeksi saluran pernapasan atas), otitis media dan sindrom
virus. Kejang yang terjadi pada anak berhubungan dengan peningkatan suhu,
dimana patofisiologi yang mendasari belum diketahui tetapi predisposisi genetik
jelas berkontribusi terhadap terjadinya gangguan. Pada penelitian hewan
menunjukkan kemungkinan ada peran endogen (seperti interleukin 1 beta) yang
meningkatkan rangsangan saraf dapat menghubungkan demam dan aktivitas
kejang. Studi awal pada anak-anak tampa mendukung hipotesis bahwa jaringan
sitokin diaktifkan dan memiliki peran dalam patogenisasi kejang demam, tetapi
gambaran klinis dan patologis yang tepat belum jelas 6.
Metabolism Kebutuhan
e basal ↑ oksigen ↑
Perubahan
keseimbang
Difusi ion
kalium dan
Pelepasan
muatan
Kejang
1. ANAMNESIS
Riwayat yang ditanyakan meliputi:
Riwayat kejang sebelumnya, apakah disertai dengan demam atau tanpa demam
Riwayat tumbuh kembang anak sebelum dan setelah kejang
Riwayat penyakit lain yang menyertai
Gejala yang digali dari anamnesis meliputi:
Kejang umum: sering dideskripsikan sebagai “kelojotan” (tonik-klonik)
Kejang fokal: kejang pada satu sisi tangan / kaki atau satu sisi tubuh atau bagian
tubuh tertentu
Durasi kejang
Frekuensi kejang atau kejang berulang
Tanda-tanda neurologis sebelum, saat dan setelah kejang
Ada tidaknya gejala demam sebelum kejang
Dicari mengenai sumber infeksi yang bisa menyebabkan demam
Meskipun masih belum jelas angka pastinya, suhu rektal di bawah 38oC yang disertai
kejang, perlu dipikirkan bahwa kejang demam tersebut adalah kejang demam
kompleks
2. PEMERIKSAAN FISIK
Kejang pertama akan muncul pada suhu di bawah 390 C
Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang
Kepala anak seperti terlempar ke atas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku,
bagian tubuh anak menjadi terguncang
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT-SCAN atau MRI
CT-Scan (Computed Tomography Scan) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) tidak
dianjurkan untuk dilakukan pada pasien dengan kejang demam sederhana karena kerugian
tidak sebanding dengan keuntungan (contohnya: dapat mendeteksi gangguan struktural di
dalam otak). Efek samping dari CT-Scan adalah paparan radiasi yang besar dan efek yang
tidak diinginkan dari MRI adalah biaya yang tinggi dan efek samping sedasi dimana obat-
obatan sedatif biasa diberikan kepada anak-anak sebelum MRI. CT Scan dipertimbangkan
dilakukan pada Unit Gawat Darurat pada kejang demam kompleks bila terdapat indikasi
kuat adanya perdarahan akut/subakut atau lesi struktural dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik. MRI yang tidak segera dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam
kompleks yang memiliki defisit neurologis iktal dan post-iktal.
Pungsi Lumbal
Pungsi Lumbal tidak rutin dilakukan pada saat terjadi kejang demam, kecuali bila ada
indikasi tanda dan gejala adanya meningitis atau pada kondisi-kondisi yang akan
dijelaskan pada poin berikutnya.Pungsi lumbal dilakukan pada anak dengan demam dan
kejang yang memiliki tanda dan gejala meningitis (contoh: kaku kuduk, tanda Kernig dan
Brudzinski) atau dengan riwayat dan pemeriksaan yang mengarah ke meningitis atau
infeksi intrakranial.
Bayi usia 6 – 12 bulan dengan demam dan kejang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
pungsi lumbal bila tidak menerima imunisasi Haemophilus influenzae tipe B (HiB)
atau Streptococcus pneumoniae, atau pada status imunisasi yang tidak jelas.
Pungsi lumbal dipertimbangkan pada anak dengan kejang dan demam bila pasien sudah
menerima antibiotik sebelumnya, dikarenakan pemberian antibiotik bisa memudarkan
tanda dan gejala meningitis.
Pasca kejang demam kompleks, pungsi lumbal dapat dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis karena kemungkinan tanda dan gejala meningitis menjadi sulit
untuk dievaluasi.
Elektroensefalografi (EEG)
EEG tidak disarankan secara rutin dilakukan pada kejang demam sederhana karena selain
tidak efektif biaya, juga berpotensi menimbulkan kecemasan orang tua.
Tidak ada studi yang kuat yang menyimpulkan EEG bisa memprediksi kemungkinan risiko
epilepsi, meskipun EEG yang abnomal terus menerus memiliki nilai prediksi yang lebih
tinggi (hal ini juga masih membutuhkan studi lanjutan). Tidak banyak studi yang bisa
menyimpulkan apakah EEG efektif dilakukan untuk pasien dengan kejang demam kompleks
EEG dipertimbangkan pada semua pasien kejang demam kompleks dengan salah satu hal
berikut:
Bangkitan kejang tanpa disertai demam
Terdapat keterlambatan atau gangguan tumbuh kembang
Tanda dan gejala neurologis yang tidak normal7
SIFAT-SIFAT KEJANG
1. Kejang total
Kejang total terjadi ketika aktivitas listrik yang tidak normal memengaruhi seluruh bagian
otak sehingga gejalanya muncul di hampir seluruh tubuh. Kejang total terdiri dari beberapa
tipe, yaitu:
Kejang tonik-klonik
Kejang ini ditandai dengan tegang di seluruh tubuh, penurunan kesadaran, dan
kontraksi otot yang tidak terkendali. Kejang tonik-klonik juga ditandai dengan
tergigitnya lidah dan sulit bernapas.
Kejang absans (petit mal)
Kejang yang lebih sering terjadi pada anak-anak ini ditandai dengan tatapan mata
yang kosong. Kejang ini juga dapat menyebabkan penderitanya hilang kesadaran
untuk sementara.
Kejang atonik
Kejang atonik menyebabkan penderitanya lemas dan mengalami penurunan kesadaran
dan pingsan, tetapi hanya sesaat.
Kejang mioklonik
Kejang mioklonik disebabkan oleh kontraksi otot yang terjadi tiba-tiba. Tipe kejang
ini dapat memengaruhi seluruh tubuh, tetapi lebih sering terjadi pada salah satu atau
kedua lengan.
2. Kejang parsial
Kejang parsial, aktivitas listrik yang tidak normal di otak hanya memengaruhi satu bagian
otak. Kejang ini terbagi menjadi dua tipe, yaitu:
Antipiretik
- Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level II, rekomendasi B)
- Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali
sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
Kejang demam terjadi <1 tahun, risiko berulang adalah 50%. Kejang demam
terjadi >1 tahun, risiko berulang adalah 28%;
Riwayat keluarga kejang demam atau epilepsi;
Cepatnya kejang setelah demam;
Kejang yang terjadi pada suhu tidak terlalu tinggi (38°C)
Adanya keempat faktor tersebut meningkatkan risiko kejang demam berulang hingga
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam
hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.
Anak yang mengalami kejang demam simpleks tidak memiliki risiko lebih tinggi
mengidap epilepsi dibandingkan populasi normal. Risiko epilepsi dikemudian hari akan
meningkat apabila terdapat:
Adanya satu faktor risiko meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 4-6%, sementara
bila terdapat beberapa faktor risiko sekaligus kemungkinan naik hingga 10-49%9.
DAFTAR PUSTAKA