Anda di halaman 1dari 62

MODUL 3

PENYAKIT JANTUNG INFEKSI DAN PENYAKIT KATUP JANTUNG

SKENARIO 3 : REMATIK JANTUNG

Farah seorang anak laki-laki berusia 9 th di antar ibunya ke puskesmas dengan keluhan
batuk, disertai sesak nafas berat, Farah dari kecil sering menderita demam, batuk, pilek. Sejak
beberapa tahun yang lalu, Farah mengalami demam di sertai bengkak pada sendi – sendi tangan.
Dokter melakukan pemberian tatalaksana awal dengan pemberian Oksigen dan melakukan
pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik di dapatkan RR : 45 x/ menit HR : 115 x / menit TVJ :
5 + 2 cm. H2O, pemeriksaan jantung di dapatkan bising (+) Vouscure Cardiac, apek kordis di
RJC VI kiri di jari lateral linea mid klavikula kiri serta bising , sistolik di apek cordis. Dokter
menerangkan kemungkinan Farah mengalami penyakit jantung rematik dan ada kelainan katub
dan harus di rujuk untuk di lakukan pemeriksaan dan terapi lanjutan. Bagaimanakah anda
menjelaskan kelainan yang terjadi pada Farah……???

JUMP 1 : TERMINOLOGI

1. Rematik jantung
adalah kondisi di mana katup jantung mengalami kerusakan akibat komplikasi dari
demam reumatik, yaitu sebuah penyakit peradangan yang dapat memengaruhi berbagai
organ tubuh
2. Bising jantung
Suara jantung yang tidak normal disebut bising jantung. Bising jantung adalah suara
tiupan, hembusan atau parutan yang terjadi saat jantung Anda berdetak
3. TVJ
Tekanan vena jugularis (Jugular Venous Pressure “JVP” adalah pengukuran tidak
langsung dari tekanan vena kava
4. Vouscure cardiac
Merupakan penonjolan setempat yang lebar di daerah precordium, di antara sternum dan
apeks codis
5. RJC VI

JUMP 2 : RUMUSAN MASALAH

1. Apa factor resiko & gejala dari penyakit jantung infeksi ?


2. Bagaimana patofisiologi dari penyakit jantung infeksi ?
3. Apa factor resiko & gejala dari penyakit katup jantung ?
4. Bagaimana patofisiologi dari penyakit katup jantung ?
5. Apa penyebab rematik jantung ?
6. Apa dampak bagi tubuh terutama jantung dari penyakit katup jantung dan penyakit
jantung infeksi ?
7. Bagaimana kaitannya keluhan yang dirasakan farah dari kecil dengan rematik jantung?
8. Mengapa farah mengalami demam disertai bengkak sendi tangan ?
9. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik ?
10. Apa interpretasi dari pemeriksaan jantung ?
11. Apa kemungkinan pemeriksaan selanjutnya yang dilakukan pada farah ?
12. Apa kemungkinan terapi lanjutan yang dilakukan pada farah ?

JUMP 3 : HIPOTESA
1. Infeksi jantung (endokarditis), umumnya disebabkan oleh virus atau bakteri. (infeksi
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A .

beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko infeksi jantung :

• Penggunaan katup jantung buatan.


• Penyalahgunaan NAPZA suntik.
• Menderita penyakit jantung bawaan.
• Pernah menderita endokarditis.
• Kerusakan pada katup jantung.
Gejala endokarditis berkembang dalam hitungan minggu atau bulan (subacute
endocarditis) dan secara mendadak dalam beberapa hari (acute endocarditis). Hal tersebut
tergantung pada kuman penyebab infeksi.
Gejala meliputi: Demam, Menggigil, Lemas, Nyeri otot dan sendi, Sakit kepala,
Berkeringat di malam hari, Nafsu makan menurun, Nyeri dada terutama saat bernapas,
Sesak napas terutama saat beraktivitas, Batuk, Bising jantung, Bengkak pada tungkai atau
perut dan kulit pucat.

2. jadi patofisiologi dari penyakit jantung infeksi ini atau penyakit jantung rematik ini
berawal dari bakteri streptococcus.bakteri streptococus ini biasanya masuk ke dalam
faring atau tertular melalui kulit.ketika bakteri streptococus masuk ke dalam tubuh,dalam
dinding sel bakteri ini terdapat yang namanya protein M.
Protein M ini akan merangsang reaksi sistem imub sehingga akan diproduksi antibodi
oleh sel b untuk menghancurkan protein M ini. Ternyata struktur protein M ini mirip
dengan yang di jantung.nah pada kasus penyakit jantung rematik ini antibodi tadi salah
tanggap,yang harusnya menghancurkan protein M yang ada di streptococus tpi malah
menghancurkan yg di jantung dan menyebabkan inflamasi pd jantung karena itulah
terjadi penyakit jantung infeksi.

3. Faktor resiko
• Tekanan darah tinggi atau hipertensi yang sudah berkembang.
• Gagal jantung.
• Aterosklerosis di pembuluh darah arteri besar atau aorta.
• Kerusakan jaringan akibat serangan jantung atau cedera di jantung.
• Demam rematik
• Endokarditis infektif
• Aneurisma aorta
• Penyakit autoimun, seperti lupus
• Sindrom karsinoid
• Obat-obatan diet, seperti fenfluramine dan phentermine.
• Gangguan metabolisme, seperti penyakit fabry dan kolesterol darah tinggi.
• Terapi radiasi untuk mengobati kanker.

Gejala

• Nyeri dada.
• Pingsan.
• Pusing.
• Kelelahan.
• Sesak napas, terutama ketika sangat aktif atau ketika beristirahat.
• detak jantung yang cepat
• murmur jantung
• Detak jantung tidak beraturan.
• Bengkak pada kaki dan pergelangan kaki

4. jadi kelainan katup jantung terdiri dari :

Katup mitral

a.stenosis mitral

• Pada stenosis mitral terdapat obstruksi aliran darah menuju ventrikel kiri sehingga
atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih tinggi dibanding kondisi
normal agar darah tetap dapat mengalir dengan jumlah yang adekuat. Kondisi ini
menimbulkan perbedaan tekanan (gradien) antara atrium dengan ventrikel kiri.
Semakin berat derajat stenosis, maka akan semakin besar pula perbedaan tekanan
ini. Gangguan hemodinamik umumnya baru bermakna bila luas daerah katup
mitral yang terbuka pada fase diastolik kurang dari 2-2.5 cm (luas pada kondisi
normal 4-6 cm).

b. regurgitasi mitral

• Pada kondisi normal katup mitral menutup sempurna pada fase sistolik sehingga
tidak ada darah yang mengalir menuju atrium kiri, akan tetapi pada regurgitasi
mitral ada sebagian volume darah yang mengalir kembali ke atrium kiri. Hal ini
mengakibatkan pada fase diastolik ventrikel kiri menerima darah dari atrium kiri
yang merupakan gabungan darah vena pumonalis dan volume regurgitasi pada
fase sistolik sebelumnya, sehingga regurgitasi mitral menyebabkan beban volume
berlebih (volume overload) pada ventrikel kiri.

Katup aorta

a.stenosis aorta

• Stenosis aorta ditandai dengan menyempitnya pembukaan dari katup aorta,


menyebabkan aliran darah menurun dari ventrikel kiri ke aorta dan dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan di atrium kiri.

b.regurgitasi aorta

• Pada keadaan regurgitasi aorta, katup aorta tidak dapat menutup rapat sehingga
mengakibatkan peningkatan beban volume. Darah yang akan diejeksikan ke
seluruh tubuh kembali lagi ke dalam ventrikel kiri.

5. Penyakit jantung reumatik merupakan komplikasi dari demam reumatik, yang disebabkan
infeksi tenggorokan oleh bakteri Streptococcus tipe A. Penularan
infeksi Streptococcus tipe A dapat terjadi secara langsung melalui percikan ludah atau
dahak yang keluar ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk. Selain secara langsung,
penularan juga dapat terjadi melalui benda-benda yang terkontaminasi bakteri.
Penyakit jantung reumatik dapat terjadi pada usia berapa pun, namun paling sering terjadi
pada anak usia 5-15 tahun.
6. Terdapat dua tipe dari penyakit katup jantung:
• Stenosis katup
• Regurgitasi katup

Penyakit katup mitral

• Stenosis Mitral
• Stenosis mitral adalah keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri
melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada katup mitral. Kelainan katup mitral ini
menyebabkan gangguan pembukaannya sehingga dampaknya akan timbul gangguan
pengisian ventrikel kiri pada saat diastol. Kemudian Volume dan tekanan darah di
atrium kiri juga meningkat sehingga menyebabkan pembesaran atrium kiri dan
penumpukan cairan di paru-paru sehingga biasanya keluhan utama berupa sesak napas,
dapat juga berupa kelelahan akibat kurangnya darah yang beredar di tubuh. Selain itu
terdapat pula gejala penyerta berupa fibrilasi atrial dan emboli.
• Regurgitasi mitral
• adalah suatu keadaan ketidakmampuan katup mitral menutup dengan sempurna
sehingga menyebabkan aliran darah balik dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri pada
saat sistol, kemudian juga volume akhir diastolik ventrikel akan meningkat progresif
dan kardiomegali karena dipertrofi ekstrinsik ventrikel kiri akan menyertai .

Penyakit katup aorta

• Stenosis aorta
• ditandai dengan menyempitnya pembukaan dari katup aorta, menyebabkan aliran
darah menurun dari ventrikel kiri ke aorta dan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan di atrium kiri. Penderita dapat mengalami asimptomatik maupun merasakan
salah satu dari gejala yaitu angina, sinkop, atau gagal jantung.
• Regurgitasi aorta
• terjadi ketika adanya malfungsi dari aorta yang tidak dapat menutup saat fase diastolik
sehingga darah dari aorta kembali lagi menuju ventrikel kiri. Hal ini dapat
menyebabkan pembesaran dan peningkatan tekanan pada ventrikel kiri. Gejala klinis
yang sering dikeluhkan yaitu sesak napas. Etiologi dari penyakit ini bermacam-macam
mulai dari diakibatkan oleh dilatasi pangkal aorta, penyakitkatup artifisial, dan genetic.

penyakit infeksi jantung

Endokarditis

• Endokarditis infektif (EI) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi


mikroorganisme pada permukaan endokardium jantung. Bakteri atau jamur yang
menyebabkan endokarditis bisa masuk melalui luka pada tubuh atau luka di mulut,
pemasangan kateter, pemakaian jarum yang tidak steril untuk tato atau tindik, dan
penggunaan NAPZA suntikan.

Gejala endokarditis yang sering muncul adalah demam dan menggigil, sesak napas,
dan nyeri dada saat menarik napas, keringat berlebih pada malam hari, pembengkakan
pada tungkai atau perut, serta terdengar bising jantung atau bunyi jantung tidak
normal.

7. Diduga bahwa farah mengalami demam reumatik ,Proses reumatik ini merupakan reaksi
peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan system
saraf pusat.
Perjalanna klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dibagi atas 4
satdium yaitu :
• stadium I : stadium ini berupa infeksi saluran napas atas oleh kuman beta-
streptokokus hemolitikus grup A. seperti infeksi slauran napas,keluhan biasanya
berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, muntah, pada anak kecil dapat
terjadi diare. Infeksi ini sembuh dalam 2-4 hari tanpa pengobatan
• stadium II : (periode laten), yaitu masa antara infeksi streptokokus dengan permulaan
tanda dan gejala demam reumatik.
• stadium III : timbul fase akut demam reumatik , ditemukannya manifestasi minor dan
Manifestasi mayor berupa polyarthritis migrans yang biasanya menyerang sendi
sendi besar seperti pergelangan tangan . sendi yang terkena akan mengalami
peradangan seperti bengkak, merah , panas dll.

8. Penyakit jantung reumatik merupakan komplikasi dari demam reumatik, demam rematik
adalah akibat respon imun yang berlebihan dari infeksi faring oleh streptokokus grup
A. Dimana demam merupakan kriteria minor dan polyarthritis migrans merupakan
kriteria mayor.

Poliartritis migrans → Biasanya menyerang sendi-sendi besar seperti sendi lutut,


pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi yang terkena menunjukkan gejala
peradangan yang jelas seprti bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan terjadi
gangguan fungsi sendi. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah

9. Dari pemeriksaan fisik di dapatkan RR : 45 x/menit, sudah termasuk takipnea , normal


(14-20) HR : 115 x / menit , sudah termasuk takikardi, normal ( 60-100)Tinggi TVJ : 5 +
2 cm H2O masih dalam batas normal

10. Voussure cardiac -> penonjolan setempat yang lebar di daerah precordium, diantara
sternum dan apeks cordis.
Kemungkinan farah mengalami regurgitasi mitral, yang mana ketidakmampuan katup
mitral menutup dengan sempurna sehinhga menyebabkan aliran balik dari ventrikel kiri
ke dalam atrium kiri pada saat sistol.

11. Dilakukan pemeriksaan echocardiografi, akan ditemukan gambaran tergantung etiologi,


mitral regurgitation, doopler severity dan disfungsi ventrikel kiri.

12. Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral adalah obat
pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa
riwayat alergi terhadap penisilin.
JUMP 4 : SKEMA

JUMP 5 : LEARNING OBJEKTIF (LO)


1. Infeksi jantung
• endokarditis
• miokarditis
• perikarditis
• Penyakit jantung rematik
2. Kelainan katup jantung
A. katup mitral
• stenosis mitral
• regurgutasi mitral
B. katup aorta
• stenosis aorta
• regurgitasi aorta
3. Tindakan operatif kelainan katup jantung
• farmakologi
• non farmakologi
LO 1
INFEKSI JANTUNG
A. ENDOKARDITIS

Pendahuluan

Endokarditis infektif (EI) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme
pada permukaan endotel jantung. Infeksi biasanya paling banyak mengenai katup jantung,
namun dapat juga terjadi pada lokasi defek septal, atau korda tendinea atau mural endokardium.
Lesi yang khas berupa vegetasi yaitu massa yang terdiri dari platelet, fibrin, mikroorganisme dan
sel-sel inflamasi, dengan ukuran yang bervariasi. Dahulu infeksi pada endokardium banyak
disebabkan oleh bakteri sehingga disebut endokarditis bakterial. Sekarang infeksi bukan
disebabkan oleh bakteri saja, namun dapat disebabkan oleh mikroorganisme lain, seperti jamur,
virus, dan lain-lain. Banyak jenis bakteri dan jamur, Mycobacteria, Rickettsiae, Chlamydiae, dan
mikoplasma menjadi penyebab endokarditis, Staphylococci, Enterococci, dan Cocobacilli gram
negatif merupakan penyebab tersering.

Endokarditis tidak hanya terjadi pada endokardium dan katup yang telah mengalami
kerusakan, namun juga pada endokardium dan katup yang sehat, misalnya pada penyalahgunaan
narkotika intravena atau pada penyakit kronik. Perjalanan penyakit endokarditis bisa akut,
subakut, ataupun kronik, bergantung pada virulensi mikroorganisme dan imun penderita. Infeksi
subakut hampir selalu berakibat fatal yang berkembang dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan dengan penyebab biasanya Streptococcus viridans, Enterococci, Staphylococci koagulase
negatif atau Cocobacilli gram negatif, sedangkan hiperakut/akut menunjukkan toksisitas yang
nyata dan berkembang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu,mengakibatkan destruksi
katup jantung dan infeksi metastatik dan penyebab khasnya staphylococcus aureus.

Epidemiologi

Insiden endokarditis di negara maju berkisar antara 3 sampai 10 kasus per 100.000
populasi per tahun. Endokarditis infektif lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan rasio 2:1. Insidens EI rendah pada usia muda dan meningkat seiring
bertambahnya usia dengan puncak insiden 14.4 kasus per 100.000 populasi per tahun pada usia
70 sampai 80 tahun. Sekitar 36-75% pasien dengan endokarditis infektif katup asli memiliki
faktor predisposisi seperti penyakit jantung rematik, penyakit jantung kongenital, prolaps katup
mitral, penyakit jantung degeneratif, hipertrofi septal asimetrik, atau pengguna obat intravena.
Sedangkan untuk kejadian endokarditis pada katup prostetik berkisar 7-25% kasus.
Menurut data, 2371 kasus dari 7 negara berkembang (Denmark, Perancis, Italia, Belanda,
Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat) menunjukkan kenaikan insiden Endokarditis infektif
berhubungan dengan katup prostetik dan kasus dengan penyakit dasar prolaps katup mitral.
Faktor predisposisi baru (katup prostetik, sklerosis katup degeneratif, pengguna obat intravena)
berhubungan. dengan peningkatan pelaksanaan prosedur invasif yang berisiko terjadinya
bakteremia (EI yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan).

ETIOLOGI

El dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau fungi. El pada katup asli dengan kerusakan
umumnya disebabkan oleh Streptococcus viridans (50-60%). Golongan HACEK (Haemophillus,
Actinobacillus, Cardiobacterium, Eikenella, dan Kingella) merupakan mikroorganisme komensal
mulut juga dapat menyebabkan EI. Pada katup prostetik, El biasanya disebabkan oleh
Staphylococcus koagulasi negatif (misalnya S. epidermidis). El juga dapat terkait pemasangan
kateter (Staphylococcus aureus) dan dapat berupa nosokomial (paskabedah atau pemasangan
ICD, biasanya disebabkan S. aureus atau Staphylococcus koagulase negatif).

PATOFISIOLOGI

El dapat disebabkan oleh kelainan struktural baik valvular (kelainan regurgitasi lebih
sering dibanding stenosis) maupun nonvalvular yang menyebabkan turbulensi aliran darah
sehingga terjadi kerusakan endotel lalu deposisi dari platelet dan fibrin (nonbacterial thrombotic
endocarditis) akan menjadi tempat perlekatan dan kolonisasi mikroorganisme yang beredar
sistemik (bakteremia). Gejala dan tanda El tidak selalu muncul pada setiap pasien karena sangat
dipengaruhi oleh virulensi, derajat kerusakan endotel, perluasan ke berbagai organ, dan
sebagainya.
GEJALA DAN TANDA

Temuan pada anamnesis antara lain: demam tinggi (80-85%), menggigil (42-75%), tidak
nafsu makan, penurunan berat badan, lemas, sesak, nyer otot, nyeri sendi, nyeri dada. Identifikasi
riwayat EI sebelumnya, adanya katup prostetik, atau penyakt jantung bawaan (PJB).

Pemeriksaan fisis fokus untuk mencari gejala jantung dan luar jantung:

•Gejala jantung meliputi gejala gagal jantung, murmur (biasanya regurgitasi mitral), dan emboli
yang dapat memicu penyakit jantung iskemik.

•Gejala luar jantung meliputi fenomena imunologis (lesi Janeway, nodus Osler,
glomerulonefritis) dan gejala terkait organ akibat emboli dari arterial meliputi nyeri atau gagal
organ terkait dengan iskemia. Gejala dapat melibatkan ginjal, limpa, usus, ekstremitas, dan
sistem serebrovaskular (stroke, ensefalopati, aneurisma, kejang, dan abses serebri).

Kondisi khusus seperti pengguna jarum suntik biasanya hanya melibatkan katup trikuspid (IE
kanan) dengan gambaran yang kurang Kie murmur yang sulit terdengar, dan lebih mengar pada
kelainan paru (batuk, nyeri pleuritik, nodul pada paru).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Darah lengkap: El subakut dapat menyebabkan anemia mikrositik normokromik, serum besi
rendah, TIBC rendah, leukositosis shift to the left (terutama pada El akut), dan trombositopenia.

•Kultur darah: positif pada 85% kasus (Tabel 60.2).


Elektrokardiografi tidak spesifik, tetapi dapat terjadi AV blok/RBBB karena fokus infeksi
dekat nodus AV dan sistem konduksi interventrikuler. Pencitraan: Transthoracic
echocardiography (TTE) merupakan lini pertama pada kecurigaan El dan untuk evaluasi terapi
antibiotik. Ekokardiografi transesophageal (TEE) hanya direkomendasikan pada pasien curiga El
dengan katup prostetik. MSCT dilakukan bila TEE masih meragukan. MRI berfungsi melihat
komplikasi serebral.

• Pemeriksaan lain: ANA, dsDNA (menyingkirkan LES), ASTO, kultur tenggorokan bila curiga
demam reumatik akut/penyakit jantung reumatik.

DIAGNOSIS

Ditegakkan dengan kriteria Duke

(Tabel 60.3).
DIAGNOSIS BANDING

Manifestasi klinis IE mirip dengan kelainan jantung terkait penyakit seperti rheumatoid
arthritis (RA), LES, dan penyakit jantung reumatik (PJR). KLASIFIKASI

Klasifikasi El dapat dilihat pada Tabel 60.2.

TERAPI DAN PENCEGAHAN

Antibiotik empiris diberikan sebelum hasil kultur keluar Pemilihan antibiotik empiris
pada katup asli sapat berupa ampisilin-sulbaktam IV 4x3 g/hari etau amoksisilin-klavulanat IV
4x3 g/hari. Dapat

Antibiotik empiris diberikan sebelum hasil kultur keluar Pemilihan antibiotik empiris
pada katup asli sapat berupa ampisilin-sulbaktam IV 4x3 g/hari etau amoksisilin-
klavulanat IV 4x3 g/hari. Dapat juga dipilih gentamisin atau vankomisin bila alergi
penisilin atau dengan katup prostetik. Tindakan bedah dapat dilakukan dan dapat bersifat
emergensi (dalam 24 jam), urgensi (dalam 7 hari), atau elektif bergantung dari kondisi
pasien. Tiga indikasi utama bedah yaitu komplikasi gagal jantung, infeksi tidak
terkendali, dan pencegahan emboli (El besar atau dengan riwayat emboli). Profilaksis
dapat dipertimbangkan pada pasien risiko tinggi El, yaitu pasien riwayat El, dengan katup
prostetik, dan dengan PJB. Profilaksis diberikan pada prosedur dental yang melibatkan
manipulasi gusi, periapikal gigi, atau berisiko perforasi mukosa oral. Profilaksis prosedur
lain masih kontroversial, umumnya diberikan bila prosedur terkait infeksi yang sudah
diketahui (misalnya drainase abses). Profilaksis (amoksisilin atau klindamisin) diberikan
30-60 menit sebelum prosedur.

KOMPLIKASI

Gagal jantung, emboli, kematian.

KRITERIA RUJUKAN

Semua pasien curiga El harus dirujuk.

PROGNOSIS

Tingkat kematian di RS bervariasi dari 9,6-26% bergantung kondisi pasien yang dipengaruhi
oleh (1) karakteristik pasien, (2) ada tidaknya komplikasi kardiak dan non-kardiak, (3)
mikroorganisme penyebab, (4) temuan pada ekokardiografi. Risiko kematian tertinggi terjadi
pada pasien gagal jantung, komplikasi perianular, dan infeksi S. aureus yang mencapai 79%.
B. MIOKARDITIS

PENDAHULUAN

merupakan penyakit inflamasi pada miokard, yang bisa disebabkan karena infeksi
maupun non infeksi. Patofisologi miokarditis belum sepenuhnya dimengerti. Miokarditis primer
diduga karena infeksi virus akut atau respons autoimun pasca infeksi viral. Miokarditis sekunder
adalah inflamasi miokard yang disebabkan patogen spesifik. Patogen ini mencakup bakteri,
spiroseta, riketsia, jamur, protozoa, obat, bahan kimia, obat fisika dan penyakit inflamasi lain
seperti lupus eritematosus sistemik. Etiologi miokarditis karena infeksi yang terbanyak adalah
infeksi viral. Dengan perkembangan teknik molekular baru seperti polymerase chain reaction
(PCR) dan hibridisasi in situ, spektrum virus yang paling sering ditemukar pada biopsi
endomiokard bergeser dari enterovirus dan adenovirus menjadi terutama parvovirus B19 (PVB
9) and human herpes virus.

Pada sebagian besar pasien, miokarditis tak dapat diduga karena disfungsi jantung
bersifat subklinis, asimtomatik dan sembuh sendiri (self limited). Oleh karena miokarditis
biasanya asimtomatik, maka data epidemiologi yang ada berasal dari penelitian pasca mortem.
Pada pemeriksaan pasca mortem miokarditis ditemukan sekitar 8,6-12% kasus kematian
mendadak pada usia muda. Penelitian jangka panjang pada pasien miokarditis akut menunjukkan
perkembangan menjadi kardiomiopati dilatasi pada 21% pasien dalam pemantauan selama 3
tahun.

MIOKARDITIS VIRAL

Patogenesis

Patogenesis miokarditis manusia belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa peneliti


melaporkan bahwa disfungsi miokard membaik setelah eradikasi penyebab infeksi dan menduga
bahwa patogenesis miokarditis mungkin disebabkan 2 fase berbeda kerusakan sel miokard;
pertama akibat infeksi virus langsung dan kedua akibat respons imun pejamu.

Pengertian respons imun spesifik yang mengakibatkan kerusakan miokard sebagian besar
berasal dari model penelitian miokarditis pada hewan oleh virus kardiotropik. Model murine
pada miokarditis enterovirus menduga perjalanan miokarditis virus dibagi menjadi 3 fase.
Pertama, masuknya virus ke dalam miosit dimediasi melalui reseptor spesifik. Tahapan fase
miokarditis viral pada penelitian eksperimental dapat dilihat pada gambar 1. Setelah masuk
tubuh melalui saluran cerna (enterovirus) atau melalui saluran napas (adenovirus dan
enterovirus), virus kadiotropik ini akan mengikat coxsackie adenoviral receptor (CAR), untuk
penggabungan genom virus ke dalam miosit.

Pada fase akut miokarditis viral (hari 0-3), tikus yang diinjeksi dengan virus koksaki
menunjukkan bukti sitotoksisitas virus langsung, dengan nekrosis miokard tanpa infiltrasi sel
inflamasi. Makrofag yang teraktivasi mulai mengekspresikan interleukin (IL)-1a, IL-2, TNF-a
dan interferon gamma (IFN-a).

Pada fase subakut (hari 4-14) terdapat infiltrasi sel natural killer (sel NK) yang
memproduksi neutralizing antibody dan sel patogen yang dimediasi imun. Gelombang pertama
infiltrasi sel terutama terdiri dari sel NK yang mempunyai 2 peran penting yaitu menghambat
replikasi virus (protektif) dan melepaskan perforin dan granzymes yang membentuk lesi inti
sirkular pada permukaan membran sel yang terinfeksi virus (menimbulkan kerusakan miosit).
Sitokin merupakan mediator utama aktivasi imun. Kadar IL-1, IL-2 dan IL-6 meningkat pada
pasien miokarditis akut, seperti juga TNF-a dan ekspresi protein. Nitrik oksida yang bermanfaat
mempertahankan tonus vaskular, mungkin mempunyai efek buruk pada miokarditis akut dan
berperan pada progresivitas kerusakan miosit.

Pada sebagian besar pasien miokarditis, respons imun akan menurun setelah hilangnya
virus dan fungsi ventrikel kiri membaik tanpa gejala sisa. Namun pada beberapa model murine
dan mungkin pasien, proses autoimun akan menetap, independen terahadap genom virus di
dalam miokard yang mengakibatkan fase kronik dengan ciri remodeling miokard dan
perkembangan menjadi kardiomiopati dilatasi.

Pada fase kronis (hari 15-90) terjadi eliminasi virus dan kerusakan miokardial yang terus
berlanjut. Jantung tikus yang terinfeksi mengalami hipertrofi dan fibrosis miokard menetap. Sel
inflamasi tak tampak lagi. Mekanisme yang melibatkan transisi stadium ini menjadi
kardiomiopati dilatasi belum sepenuhnya dipahami (Gambar 1).

Apoptosis atau kematian sel terprogram, mungkin merupakan mekanisme patogenesis ketiga
yang mengakibatkan miokarditis menjadi kardiomiopati dilatasi.
Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis miokarditis bervariasi, mulai dari asimtomatik (self-limited disease)


sampai syok kardiogenik. Keterlibatan jantung biasanya muncul 7 sampai 10 hari setelah
penyakit sistemik. Gejala paling jelas yang menunjukkan miokarditis adalah sindrom infeksi
viral dengan demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan malaise. Sebagian besar pasien tidak
mempunyai keluhan kardiovaskular yang spesifik namun mungkin memiliki kelainan segmen ST
dan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Nyeri dada ditemukan sampai dengan 35
persen pasien dan mungkin berupa iskemia yang khas, atau pada umumnya perikardial. Nyeri
dada biasanya menunjukkan perikarditis yang terkait, namun terkadang dikarenakan adanya
iskemia miokard.

Kardiomiopati dilatasi akut pada miokarditis limfositik dapat menyebabkan gagal jantung
ringan, sedang, atau gagal jantung berat. Sebagian besar pasien dengan gejala ringan mengalami
tahap penyembuhan spontan fungsi ventrikel dan normalisasi pada ukuran jantung. Pasien
dengan gagal jantung New York Heart Association (NYHA) kelas III atau IV umumnya
memiliki derajat pelebaran dan disfungsi ventrikel yang lebih besar. Meskipun sebagian sembuh
spontan, diperkirakan separuh pasien akan mengalami gejala sisa disfungsi miokard dan
seperempatnya akan meninggal atau membutuhkan transplantasi jantung. Pasien dengan
miokarditis berat seringkali disertai dengan kolaps sirkulasi dan tanda-tanda disfungsi organ.
Pasien seringkali mengalami demam, disfungsi miokard global berat, dan peningkatan minimal
dimensi ventrikel kiri dan dimensi pada akhir diastolik. Dibutuhkan support sirkulasi mekanik
sebagai jembatan untuk transplantasi jantung atau penyembuhan.

Kadang-kadang pasien mengalami sindrom klinis yang serupa dengan infark miokard
akut, dengan nyeri dada iskemia dan elevasi segmen ST pada EKG. Disfungsi ventrikel kiri
mungkin ditemukan pada kurang dari setengah pasien dan cenderung bersifat difus. Pada autopsi,
arteri koroner biasanya masih paten, meskipun arteritis koroner viral pernah dilaporkan.
Vasopasme koroner juga pernah dihubungkan dengan miokarditis akut

Pasien mungkin mengalami sinkop atau palpitasi dengan blok atrioventrikular (AV) atau
aritmia ventrikular. Blok AV lengkap umum dijumpai, dan sebagian pasien mengalami serangan
Stokes-Adams. Blok jantung lengkap umumnya bersifat sementara dan jarang membutuhkan alat
bantu jantung permanen.

Kecenderungan familial pada miokarditis dapat terjadi. Pada beberapa laporan, terdeteksi
adanya defek sel supresor, menjadi predisposisi perkembangan ke arah miokarditis aktif. Pasien
dengan kardiomiopati peripartum memiliki frekuensi miokarditis yang lebih tinggi pada biopsi
endomiokardial. Perubahan-perubahan imunoregulasi pada saat kehamilan dan setelahnya
mungkin meningkatkan miokarditis viral, dan pajanan terhadap antigen trofoblastik mungkin
akan menyebabkan kerusakan miokard yang dimediasi imun.
Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya sindrom seperti flu atau mungkin
asimtomatik.

Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan leukositosis, eosinofilia, laju endap darah yang
meningkat atau peningkatan MB band of creatine phosphokinase (CKMB). Peningkatan CKMB
ditemukan pada kurang lebih 10 persen pasien, namun pemeriksaan troponin lebih sensitif untuk
mendeteksi kerusakan miokard pada kecurigaan miokarditis. Dapat dijumpai peningkatan titer
virus kardiotrofik.

Dibutuhkan peningkatan empat kali lipat pada titer IgG setelah lebih dari 4-6 minggu untuk
mendokumentasikan infeksi akut. Peningkatan titer antibodi IgM mungkin menunjukkan infeksi
akut secara lebih spesifik dibandingkan dengan peningkatan pada titer antibodi IgG. Sayangnya,
peningkatan pada titer antibodi hanya menangkap respons infeksi virus yang masih baru dan
tidak menunjukkan keberadaan miokarditis aktif. Dilaporkan kelainan pada hitung limfosit T and
B, namun tidak konsisten dan tidak dapat digunakan sebagai penentu diagnostik. Tiga hal klinis
yaitu infeksi viral sebelumnya, perikarditis, dan kelainan laboratorium terkait yang digunakan
untuk mendiagnosis miokarditis karena coxsackie B dijumpai pada kurang dari 10 persen kasus
yang terbukti secara histologis.

Elektrokardiografi

EKG hampir selalu abnormal pada pasien miokarditis. Gambaran EKG pada pasien
miokarditis bervariasi mulai dari perubahan gelombang T dan segmen ST yang tidak khas
sampai elevasi segmen ST yang menyerupai infark miokard akut. EKG paling sering
menunjukkan sinus takikardia. Lebih khas adalah perubahan gelombang ST-T. Dapat ditemukan
perlambatan interval QTc dan voltase rendah (low voltage). Interval QT yang memanjang >440
mdetik, aksis QRS abnormal dan denyut ektopik ventrikular dikaitkan dengan outcome klinis
yang buruk. Durasi QRS yang memanjang >120 mdetik merupakan prediktor independen
kematian jantung atau transplantasi jantung. Sehingga EKG merupakan sarana mudah yang
tersedia untuk stratifikasi risiko pada pasien yang dicurigai miokarditis. Aritmia jantung
seringkali ditemukan, termasuk blok jantung total, takikardia ventrikular dan aritmia
supraventrikular terutama dengan adanya gagal jantung kongestif atau inflamasi perikard.

Foto Rontgen Dada

Rasio kardiotorasik biasanya normal, terutama pada fase awal penyakit sebelum terjadi
kardiomiopati. Fungsi ventrikel kiri yang menurun progresif dapat mengakibatkan kardiomegali.
Dapat ditemukan manifestasi gagal jantung kongestif seperti sefalisasi atau edema paru.
Ekokardiografi

Tidak ada gambaran ekokardiografi yang spesifik untuk miokarditis. Ekokardiografi


dapat menunjukkan disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengan dimensi ventrikel kiri
yang berukuran normal. Kelainan gerakan dinding segmental mungkin ditemukan. Ketebalan
dinding jantung mungkin bertambah, terutama saat permulaan penyakit, saat inflamasi sedang
hebat. Trombus ventrikel terdeteksi sekitar 15 persen. Gambaran ekokardiografi pada miokarditis
aktif dapat meniru restriktif, hipertropik, atau kardiomiopati dilatasi.

Biomarker dan Serologi Virus

Biomarker seperti troponin atau kreatin kinase mempunyai spesifisitas yang rendah
namun dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis miokarditis. Pada pasien miokarditis akut,
kadar troponin I dan T serum meningkat lebih sering daripada CKMB, dan kadar troponin T
yang lebih tinggi menunjukkan nilai prognostik.

Biopsi Endomiokardial

Biopsi endomiokardial masih merupakan baku emas untuk diagnosis miokarditis.


Spesimen miokard ventrikel kanan bisa didapatkan dengan mengakses vena jugulariş interna
kanan atau vena femoralis. Biopsi intravaskular dari ventrikel kiri jarang dilakukan dikarenakan
angka kematian yang lebih tinggi. Bioptom ventrikular kanan yang tepat diletakkan di bawah
fluoroskopi atau ekokardiografi untuk mengambil sampel septum interventrikel. Karena
miokarditis dapat terjadi setempat, maka sampel diambil minimal empat sampai enam fragmen.
Dengan menggunakan bioptom Stanford, sampel-sampel pada umumnya memiliki diameter
maksimal 2 sampai 3 mm dan berat basah 5 mg. Sampel-sampel tersebut diproses, ditempel pada
parafin, diletakkan dan diwarnai dengan hematocylin-eosin dan trichrome. Beberapa peneliti
melakukan biopsi endomiokardial pada pasien dengan gagal jantung kongestif yang tak jelas
dan/atau aritmia ventrikular,

Kriteria Histologis Miokarditis

Persentase pasien dengan hasil biopsi yang diinterpretasi sebagai miokarditis bervariasi
luas. Hal ini pada dasarnya karena adanya perbedaan kriteria diagnosis untuk miokarditis aktif
yang digunakan oleh peneliti. Ketidakpastian kriteria biopsi endomiokardial ini menyebabkan
adanya pertemuan bagi patologi jantung untuk mencapai kesepakatan umum definisi patologis
miokarditis, yang sekarang dikenal sebagai kriteria Dallas.

Kriteria ini membagi hasil biopsi menjadi miokarditis, miokarditis borderline, atau tidak
ada miokarditis. Miokarditis aktif didefinisikan sebagai infiltrat inflamasi pada miokard dengan
nekrosis dan atau degenerasi miosit, tidak khas adanya kerusakan iskemia yang terkait dengan
PJK. Miokarditis borderline digunakan jika infiltrat inflamasi terlalu ringan atau saat kerusakan
miosit tidak tampak. Frekuensi miokarditis aktif yang tinggi dikonfirmasi dengan pengulangan
biopsi pada pasien yang sampel histologis terdahulunya menunjukkan miokarditis borderline.
Kriteria Dallas dibatasi oleh variabilitas interobserver dalam interpretasi spesimen biopsi dan
karena proses inflamasi non selular tidak dapat dideteksi.

Meskipun kriteria Dallas menyamakan deskripsi sampel biopsi, gambaran histopatologis


sendiri mungkin tidak cukup untuk mengidentifikasi keberadaan miokarditis aktif. Skema
klasifikasi alternatif sudah dianjurkan, termasuk satu yang menggabungkan kriteria
histopatologis dan klinis. Miokarditis terbagi menjadi empat sub-grup fulminan (kuat), akut,
kronik aktif, dan kronik persisten. Penggunaan petanda inflamasi imunohistologis, seperti
histocompatibility leukocyte antigens (HLAS) pada miosit atau pendeteksian terhadap
autoantibodi, mungkin membantu diagnosis.

Biopsi endomiokardial harus dilaksanakan secepat mungkin untuk memaksimalkan hasil


diagnosis. Resolusi miokarditis aktif dapat dijumpai dalam waktu 4 hari dari biopsi awal, dengan
penyembuhan progresif dalam waktu beberapa minggu pada biopsi serial. Perkembangan
miokarditis aktif menjadi kardiomiopati dilatasi didapatkan saat biopsi serial dilakukan.

Studi Noninvasif

Meskipun skintigrafi technetium 99m-pyrophosphate telah terbukti berguna dalam


mendeteksi miokarditis pada model murin, namun tidak efektif dalam mendiagnosis miokarditis
pada manusia. Proses penggambaran dengan gallium 67, radioisotop inflammation-avid, cukup
menjanjikan sebagai metode skrining untuk miokarditis aktif, dengan spesifisitas dan sensitivitas
sebesar 83 persen dan nilai prediksi negatif sebesar 98 persen pada miokarditis yang terbukti
dengan biopsi. Scan dengan Indium 111-labeled antimyosin antibody dapat digunakan untuk
mendeteksi nekrosis miosit. Penggunaan teknik ini pada pasien miokarditis menunjukkan
sensitivitas 83 persen, spesifisitas 53 persen, dan nilai prediksi negatif scan normal sebesar 92
persen. Pada pasien-pasien yang antibodi antimiosin positif dan biopsi negatif, kemungkinan
tidak terdeteksinya inflamasi dapat terjadi.

Proses penggambaran antimiosin dapat mendeteksi kerusakan miosit tanpa membutuhkan


etiologi, dan penyebab kerusakan otot jantung non inflamasi. Pada pasien muda dapat terjadi
scan positif palsu. Kegunaan skintigrafi dalam mendiagnosis miokarditis terbatas oleh rendahnya
spesifisitas dan pajanan terhadap radiasi.

Perubahan jaringan sehubungan dengan miokarditis mungkin bisa diidentifikasi dengan


menggunakan magnetic resonance imaging (RMI). Hasil-hasil awal menunjukkan inflamasi
miokard mungkin menyebabkat intensitas sinyal dinding miokard abnormal. Penggunaan T2-
weighted images untuk memvisualkan edema jaringan telah dilaporkan dalam beberapa laporan
kasus pasien miokarditis aktif. Baru-baru ini, contrast medium-enhanced RMI telah digunakan
untuk mendeteksi perubahan miokardial pada miokarditis. Obat kontras dalam proses pencitraan
RMI yaitu gadopentetate dimeglumine berkumpul pada lesi-lesi inflamasi. Bahan tersebut
bersifat hidrofilik yang berkumpul pada ruang ekstraselular jaringan yang mengandung air.
Gadolinium meningkatkan sinyal T1-weighted images. Pada sejumlah 19 pasien dengan, dugaan
miokarditis secara klinis dan 18 subyek normal melalui contrast-enhanced RMI, menunjukkan
peningkatan global relatif lebih tinggi pada pasien dibandingkan dengan kontrol. RMI kontras
dan pemprosesan gambar ekokardiografi digital dapat memvisualkan area inflamasi dan berapa
besar inflamasi tersebut, dan juga terbukti berguna sebagai teknik dalam diagnosis dan
pemantauan aktivitas penyakit. Meskipun teknik-teknik noninvasif cukup menjanjikan, biopsi
endomiokardial tetap menjadi standar baku dalam diagnosis.

Penatalaksanaan

Perawatan suportif merupakan terapi lini pertama pada pasien miokarditis akut. Tidak ada
bukti terapi spesifik patogen pada miokarditis viral dapat memperbaiki survival gagal jantung.
Terapi farmakologis gagal jantung diberikan sesuai dengan guideline terakhir. Pada pasien
dengan gejala gagal jantung, terapi mencakup diuretik untuk menurunkan tekanan pengisian
ventrikel; inhibitor angiotensin-converting enzyme untuk menurunkan resistensi vaskular, dapat
menghambat remodeling jantung dan menurunkan perkembangan menjadi kardiomiopati
dilatasi; penyekat beta jika kondisi klinis sudah stabil, dapat memperbaiki fungsi ventrikel,
menurunkan risiko perawatan karena perburukan gagal jantung serta meningkatkan survival;
antagonis aldosteron dianjurkan pada pasien gagal jantung sistolik dengan klas fungsional
NYHA II-IV, dapat menurunkan risiko kunjungan ke rumah sakit karena perburukan gagal
jantung dan meningkatkan survival.

Digitalis dapat menurunkan morbiditas pada pasien gagal jantung klas NYHA II-IV. Karena
digoksin telah terbukti dapat meningkatkan ekspresi sitokin inflamasi dan mortalitas pada model
murin miokarditis viral, maka obat tersebut harus digunakan secara hati-hati dan dalam dosis
rendah.

Pada pasien dengan keluhan hebat, seperti kolaps hemodinamik, perawatan suportif mencakup
terapi inotropik intravena dan alat support sirkulasi mekanis yang dapat digunakan untuk
menjembatani pasien yang akan dilakukan transplantasi jantung. Adanya aritmia atrial atau
ventrikular dapat diberikan antiaritmia yang tepat atau mungkin implantasi defibrilator

Antiinflamasi

Diterimanya hipotesis immune-mediated injury telah mendorong penelitian untuk


membuktikan apakah terapi anti-inflamasi dapat memberikan keuntungan klinis tambahan pada
pasien dengan kardiomiopati dilatasi inflamasi yang dirawat dengan regimen gagal jantung
konvensional. Parillo mempelajari 102 pasien dengan kardiomiopati dilatasi dan
mengklasifikasikannya sebagai "reaktif", dengan bukti endomiokardial atau laboratorium adanya
inflamasi yang berlanjut, atau "nonreaktif." Titik akhir primer studi tersebut adalah peningkatan
pada fraksi ejeksi ventrikel kiri sebesar atau lebih besar dari 5 persen.
Pada pemantauan setelah 3 bulan, 67 persen pasien reaktif yang mendapat terapi prednison
mencapai titik akhir ini, dibandingkan dengan hanya 28 persen pada kelompok kontrol reaktif.
Setelah 9 bulan pemantauan, peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang disebabkan oleh
prednison sudah tidak ditemukan. Pasien-pasien nonreaktif tidak mengalami peningkatan fraksi
ejeksi dengan terapi prednison. Meskipun didapat hasil-hasil negatif tersebut, para pengamat
menyimpulkan bahwa terapi prednison dapat memberikan peningkatan yang cukup dalam titik
akhir klinis, tapi hanya pada subpopulasi reaktif tertentu.

Imunosupresif

Terapi dengan obat imunosupresif (siklosporin, prednisolon, azatioprin) pada miokarditis


akut menunjukkan hasil yang kontroversial. Pada kardiomiopati dilatasi kronik, azatioprin dan
prednisolon menunjukkan perbaikan terhadap fungsi ventrikel kiri dan klas NYHA. Penelitian
TIMIC (Immunosuppressive Therapy in Patients With Virus Negative Inflammatory
Cardiomyopathy) merupakan uji klinis acak pertama di mana biopsi elektromiokardial dilakukan
untuk melihat inflamasi dengan kriteria histologis dan imunohistologis. Dilakukan analisis
biologis pada semua spesimen biopsi untuk menyingkirkan infeksi virus. Terdapat perbaikan
bermakna pada fraksi ejeksi ventrikel kiri dan penurunan dimensi ventrikel kiri dengan terapi
prednison dan azatioprin.

Imunoglobulin

Intravena Dasar penggunaan imunoglobulin pada miokarditis viral adalah melalui efek
antivirus dan modulasi imun. Pada miokarditis onset baru atau kardiomiopati dilatasi, tidak
terdapat bukti perbaikan terhadap fungsi ventrikel kiri. Namun, miokarditis akut pada anak
menunjukkan perbaikan fungsi ventrikel kiri dan survival pada tahun pertama setelah terapi.

Antivirus

Rasionalisasi penggunaan obat antivirus berdasarkan fakta bahwa sebagian besar kasus
miokarditis dipicu oleh infeksi virus. Pada miokarditis yang diinduksi oleh coxsackievirus B3,
terapi interferon (IFN)-beta dan IFN- alpha2 menunjukkan proteksi terhadap kerusakan miosit
dan menurunkan infiltrasi sel-sel inflamasi. Namun, hanya IFn-be:a yang berhasil mengeliminasi
viral load di jantung. Terapi IFN-beta pada pasien dengan miokarditis enteroviral dan adenoviral
yang menetap serta disfungsi ventrikel kiri menunjukkan eliminasi geno virus pada semua pasien
dan perbaikan fungsi ventrikel kiri pada 15 dari 22 pasien. Pada penelitian Europewide
multicenter BICC (Betaferon in patients with chronic viral cardiomyopathy), 143 pasien dengan
kardiomiopati dilatasi dan terbukti ada infeksi virus diberikan terapi betaferon (IFN-beta-1b)
dibandingkan dengan plasebo. Terapi betaferon menurunkan secara bermakna viral load
(enterovirus) pada miokard, namun eliminasi virus lengkap tidak terjadi pada semua pasien.
Dilakukan evaluasi terahadap berbagai parameter, tapi hanya klas fungsional NYHA dan
penilaian secara keseluruhan yang menunjukkan perbaikan.
Prognosis

Prognosis pasien miokarditis tergantung pada presentasi klinis dan hasil biopsi
endomiokardial. Pasien miokarditis akut dan fraksi ejeksi ventrikel kiri normal mempunyai
prognosis baik dengan perbaikan spontan yang tinggi tanpa gejala sisa. Pasien miokarditis viral
fulminan dan gangguan hemodinamik mempunyai prognosis jangka panjang yang sangat baik
dan biasanya akan sembuh kembali dibandingkan dengan pasie miokarditis akut, jika diberikan
terapi farmakologis agresif dan atau bantuan sirkulasi mekanis diberikan secara dini selama fase
fuiminan.

Nilai prognostik gambaran biopsi endomiokardial masih merupakan kontroversi yang


berkepanjangan karena tidak ada pilihan terapi spesifik. Peran prognostik biopsi endomiokardial
dilaporkan pada penelitian Kinderman dkk, dengan analisis rinci terhadap spesimen miokardial
mencakup pewarnaan imunohistokimia untuk karakterisktik inflamasi dan analisis patologi
molekular untuk mendeteksi genom viral, pada 181 pasien yang dicurigai miokarditis. Bukti
imunohistologis ilfiltrat inflamasi dalam miokardium (dengan atau tanpa bukti adanya genom
viral) dapat memprediksi kematian kardiovaskular dan kebutuhan akan transplantasi jantung.
Pendekatan stratifikasi risiko berdasarkan hasil biopsi, gambaran klinis, dan terapi obat
menunjukkan pasien dengan klas fungsional NYHA IIl atau IV dengan imunohistologis positif
dan tanpa terapi penyekat beta mempunyai prognosis terburuk dengan survivai bebas
transplantasi dalam 5 tahun hanya 39%

C. PERIKARDITIS

DEFINISI

Sindroma klinis karena peradangan pada perikardium yang ditandai dengan nyeri dada,
gesekan perikardial, dan kelainan pada EKG. Perikarditis dapat bersifat akut (<6 minggu),
subakut (6 minggu-6 bulan), dan lebih dari 6 bulan.

EPIDEMIOLOGI

Tidak diketahui epidemiologi pasti dari perikarditis karena sering terlewatnya diagnosis.
Perikarditis diperkirakan terjadi pada 5% kasus nyeri dada noniskemik.

ETIOLOGI

Penyebab umum dari perikarditis adalah idiopatik (sebagian besar diperkirakan


etiologinya virus tetapi pemeriksaan penunjang tidak dilakukan karena biaya), virus, bakteri,
uremia, pasca infark miokard (sindrom Dressler), autoimun, trauma, dan neoplasma. Sindrom
Dressler (24-72 jam pasca sindrom koroner akut) diperkirakan sudah jarang terjadi setelah era
reperfusi.
PATOFISIOLOGI

Gejala dan tanda dari perikarditis timbul karena radang pada perikardium (efusi
perikardium, akumulasi fibrin, kalsifikasi, dan sebagainya). Hal menurunkan cardiac output
sehingga akan dikompensasi oleh timbulnya takikardia. Penurunan cardiac output ini lama
kelamaan akan menyebabkan hiootensi hingga terjadi syok. Inflamasi kronik dapat mengganggu
pengisian ventrikel sehingga timbul kongesti.

Perikarditis konstriktif merupakan merupakan tahap akhir dari akumulasi atau penyembuhan
penyakit perikardium sebelumnya (perikarditis akut atau efusi perikardium yang kronis)
Penyebab tersering di negara berkembang adalah tuberculosis. Selain itu, dapat juga disebabkan
oleh perikaditis yang berulang.

GEJALA DAN TANDA

Terdapat 4 gambaran khas dari perikarditis akut yang dapat mengarahkan ke diagnosis:

• Nyeri dada: pasien hampir selalu datang dengan keluhan nyeri dada yang bersifat tajam,
retrosternal atau di perikordial kiri, dan hampir selalu bersifat pleuritik. Nyeri dada yang sangat
spesifik untuk perikarditis adalah penjalaran ke trapezius. Namun, juga dapat menjalar ke leher,
fahang, lengan, dan perut bagian atas. Nyeri berkurang dengan posisi duduk dan memberat
dengan berbaring.

Gejala lain dapat berupa sesak (karena nyeri atau komplikasi akumulasi cairan pada perikardial)
dan batuk. Pada anamnesis, dapat ditemukan riwayat infeksi virus sebelumnya. Perlu juga
ditanyakan riwayat kanker, kelainan autoimun, demam tinggi, ruam, penurunan berat badan, dan
sebagainya.

• Pleural friction rub dihasilkan oleh kontak antara perikardium viseral dan parietal (bersifat
patognomonik). Suara ini terdengar paling jelas pada garis sternal kiri bawah dengan posisi
pasien condong ke depan. Pada pemeriksaan fisis, pasien dapat diminta menahan napas guna
membedakan friction rub berasal dari perikardium atau pleura.

• Efusi perikardium dapat ditemukan Ewart's sign yaitu perkusi redup pada paru kiri yang
timbul pada kasus efusi perikardium berat. Dapat juga ditemukan gambaran EKG low voltage
atau electrical alternans bila sudah terjadi efusi perikard berat dengan tamponade. Foto polos
dada akan menunjukkan gambaran "water bottle" yaitu gambaran kardiomegali menyerupai botol
kendi.

• EKG: gambaran EKG dapat berupa ST elevasi di seluruh lead kecuali pada lead aVR, V1, dan
V2. ST elevasi yang muncul berupa gambaran cembung ke atas. Pada STEMI, akan didapatkan
gambaran ST depresi resiprokal, sementara pada perikarditis tidak didapatkan hal tersebut.
STEMI biasanya akan berevolusi menjadi gelombang Q sedangkan pada perikarditis EKG dapat
kembali normal. Gambaran EKG yang juga khas pada pericarditis adalah tanda Spodick yaitu
terjadi depresi segmen PR pada hampir seluruh sadapan. Bila terdapat efusi perikardium atau
perikarditis konstriktif, dapat ditemukan gambaran low-voltage QRS.

Pada perikarditis konstriktif, masalahnya adalah disfungsi diastol sehingga gejala berupa
gejala gagal jantung seperti lemas, cepat lelah, edema, perut membesar karena akumulasi cairan.
Tanda dapat ditemukan pulsus paradoksus, tanda Kussmaul (tekanan vena jugularis tidak
menurun saat inspirasi), suara jantung lemah atau menjauh, asites, hepatomegali, ikterus (akibat
overload cairan yang menyebabkan gangguan fungsi hati), dan murmur trikuspid regurgitasi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Hematologi: peningkatan penanda inflamasi seperti leukositosis, peningkatan LED dan CRP.
Troponin juga dapat meningkat bila peradangan mencapai miokardium

•Ekokardiografi: untuk membantu diagnosis perikarditis dan menyingkirkan diagnosis sindrom


koroner akut (biasanya ditemukan gambaran hipokinetik pada STEMI dan tidak ditemukan pada
perikarditis). Pada perikarditis konstriktif dapat ditemukan penebalan perikardium

• Foto toraks, umumnya normal kecuali sudah terjadi efusi perikadium > 300 ml.

•Pencitraan CT scan atau cardiac magnetic untuk mencari bukti inflamasi resonance
perikardium.

DIAGNOSIS

Kecurigaan perikarditis akut dapat ditegakkan bila ada dua dari empat gambaran khas, dapat
didukung pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS BANDING

• STEMI: nyeri dada tipikal, dibedakan berdasarkan fitur EKG dan ekokardiografi.

• Pneumonia: demam, sesak, batuk, ronki basah kasar, tentukan friction rub berasal dari perikard
atau pleura.

• Manifestasi perikarditis konstriktif mirip dengan kardiomiopati restriktif.

TERAPI DAN PENCEGAHAN

Prinsip manajemen perikarditis akut adalah tirah baring, membatasi aktivitas fisik hingga
perbaikan dan antiinflamasi, yaitu:

•Aspirin 3 x 750-1.000 mg selama 1-2 minggu dosis diturunkan 250-500 mg setiap 1-2 minggu.

• Ibuprofen 3 x 600 mg selama 1-2 minggu, dosis diturunkan 200-400 mg setiap 1-2 minggu.
• Kolkisin 1 x 0,5 mg atau 2 x 0,5 mg (berat > 70 kg) selama 3 bulan sebagai pencegahan.

• Glukokortikoid hanya jika pasien intoleransi aspirin/OAINS. Manajemen spesifik lainnya


sesuai dengan etiologi. Tata laksana spesifik perikarditis konstriktif adalah perikardiektomi.
Beberapa prinsip tata laksana yang dapat dijelaskan dokter umum pada pasien:

• Menentukan etiologi dari perikarditis dapat membantu penentuan terapi.

• Apabila parikarditis hanya bersifat idiopatik, dapat sembuh sendiri (self-limiting disease).

• Perikardiektomi dapat dilakukan pada perikarditis rekuren yang kualitas hidupnya sangat
terganggu.

Penting untuk mengenali adanya tanda bahaya pada perikarditis yaitu: (1) demam > 38°C; (2)
Tiwayat penggunaan antikoagulan; (3) efusi perikardium besar (> 2 cm) dari ekokardiografi; (4)
riwayat penyakit penyerta (keganasan, autoimun); (5) trauma/pembedahan; (6) imunosupresi; (7)
miokarditis; (8) evolusi EKG atipikal; (9) pulsus paradoksus.

Apabila ditemukan tanda bahaya, nilai apakah ada tanda tamponade jantung dan apakah
diperlukan perikardiosentesis.

KOMPLIKASI

Perikarditis konstriktif kronis sebagai efek fibrosis pada miokardium, mioperikarditis, efusi
perikardium, tamponade jantung.

KRITERIA RUJUKAN

Setelah penangan awal, pasien yang dicurigai perikarditis harus dirujuk ke spesialis jantung atau
penyakit dalam.

PROGNOSIS

Prognosis jangka panjang cukup baik. Tingkat kematian dalam rumah sakit adalah sekitar 1,1%.
Perikarditis yang disebabkan oleh virus lebih baik, tetapi bila penyebab tuberkulosis, tingkat
kematian sekitar 40% meskipun dengan pengobatan.
D. PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung didapat
yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung
yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%),
aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.
Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.1

• Epidemiologi

Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000 kematian bayi


premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat penyakit jantung pada anak-anak
dan remaja di negara berkembang.2Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29
Oktober–1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per
100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang di
daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-
332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.Prevalensi demam
rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai
0,8 per 1.000 anak sekolah.

• Etiologi

Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik. Demam
reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah infeksi
Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktorpredisposisi. Keterlibatan
kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui
suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat
melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling banyak
mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan katup aorta (97%).
Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.

• Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif misalnya
faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif
misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus
beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5
hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis. Pasien masih
tetap terinfeksi selama berminggu-minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi
reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat
menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup Asaja
yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.Penyakit jantung rematik
merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan
endokardium. Lebih dari 60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic
heart disease.

Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan katup
jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini
akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar(jaringan parut), kalsifikasi dan
dapat berkembang menjadi valvular stenosis. Sebagai dasar dari rheumatic heart disease,
penyakit rheumatic fever dalam patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun
beberapa faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor
organisme, faktor host dan faktor sistem imun. Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
sebagai organisme penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever.
Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini
memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2
(MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan
melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A yang terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M yang
merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase,
DNA-ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif. Antibodi
yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir toksin
bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan kerusakan
patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri
Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadireaktivitas silang antara epitop organisme
dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.Kemiripan atau mimikri
antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticusgrup A dengan jaringan tubuh yang
dikenali oleh antibodi adalah:

1) Urutan asam amino yang identik,

2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik,

3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan
peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan
sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.

Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta
hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama dengan protein miosin, tropomiosin,
keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang
mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever.
Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang
terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti protein M.
Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat, Streptococcus beta
hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan katup jantung yang menyebabkan
kerusakan valvular. Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga
memainkan peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki
potensi terinfeksi rheumatic fever.

Penelitian tentang genetik marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated


antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic
heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam kontrol imun
respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang
nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II,
HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular.Lesi
valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun fibrin
dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan
menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan
terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea
akan ikutmengalami kerusakan.Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup
mitral (65-70% kasus).

Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda tendinea
menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang masuk dan
proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat
regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti
dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan
jantung kanan juga dapat terjadi.Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa
regurgitasi katup aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke
ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain, dapat
terjadistenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang terjadi pada cincinkatup
mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri,menyebabkan hipertensi vena
pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.

• Diagnosis

Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fevermenunjukan


keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic feverbergantung pada sistem organ
yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapattunggal atau merupakan gabungan beberapa
sistem organ yang terlibat.

a. Anamnesis

Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-5 minggu
sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakanpernah mengalami sakit
tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, sepertidemam, tidak enak badan, sakit kepala,
penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien
juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.Gejala spesifik yang
kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawahkulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan
atensi, perubahan kepribadian sepertigangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi
Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.
b. Manifestasi Klinis

Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteriaini membagi
gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.

• Kriteria Mayor
➢ Karditis

Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelahpoli artritis.
Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada stadium lanjut, pasien
mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada dada
pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaanfisik, karditis paling sering ditandai
dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuaidengan tingginya demam. Gagal jantung
kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang parah atau miokarditis, yang
ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena jugularis, ronki, hepatomegali, irama
gallop, dan edema perifer.Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang
redup, suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi pericardium dan
tamponade perikardium yang mengancam.

➢ Poliartritis Migrans

Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi padasekitar 70%
pasien rheumati fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi Streptococcus yakni saat
antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandaidengan nyeri hebat, bengkak, eritema
pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif
merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi
lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan
berpindah-pindah (poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa
jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasiendapat
sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tigaminggu.

➢ Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance


Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali lebih sering
pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan setelah infeksi
Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkanketerlibatan proses radang pada
susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini
cukup lama, sekitar tiga minggu sampaitiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal
biasanya emosi yang lebihlabil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak
disengaja, tidakbertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun
ototekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberatdengan
adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.

➢ Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadikurang dari
10% kasus. Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang kemudian ditengahnya memudar
pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelokseperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh
(dada atau punggung) dan ekstremitas.Nodulus SubkutanNodulus subkutan ini jarang dijumpai,
kurang dari 5% kasus. Nodulus terletakpada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas
jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di
atas kolumnavertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu setelah
rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini selalu menyertai
karditis rematik yang berat.

- Kriteria Minor

Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3 minggu,
walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertaitanda-tanda objektif (misalnya
bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai.Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar.
Penanda peradangan akut padapemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP
umumnya meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai
perkembangan penyakit.

c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendukung
diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :

a. Pemeriksaan Laboratorium

- Reaktan Fase Akut

Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada pemeriksaan darah
lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase akut/aktif, namun sifatnya tidak
spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED).
Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada
rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan congestive failure
atau meningkat pada anemia. CRP merupakan indikatordalam menetukan adanya jaringan
radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic
fever aktif.

- Rapid Test Antigen Streptococcus

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A secara tepat
dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.

- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus

Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis rheumatic
fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan adalah antistreptolisin
O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B. Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih
dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO
biasanya mulai meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi.
Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase
B mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapaipuncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-
DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah.

- Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya streptococcus beta
hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Kultur
ini umumnya negatif bila gejala rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.

b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi

Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan kongesti


pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis. Sedangkan pada pemeriksaan
EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PRyang bersifat tidak spesifik. Nilai normal
batas atas interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17
tahun = 0,20 detik.

c. Pemeriksaan Ekokardiografi

Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk mengidentifikasi dan


menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada
pasien rheumatic fever dengan karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa
bulan. Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi
mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi
chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero-lateral.

• Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar bertujuan
untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan inflamasi dari
respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat
fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan
memantau komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa.
Selain terapi medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada
juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.

a. Terapi Antibiotik

Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat penting untuk
mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A.
Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti
dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus
beta hemolyticus grup A faring yang berulangPemilihan regimen terapi sebaiknya
mempertimbangkan aspek bakteriologi dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk
mematuhi regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum obat),
harga, dan juga efek samping.Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan
amoxicilin oral adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring
pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam,
pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta hemolyticus group A.
Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan penisilin G benzathine karena lebih resisten
terhadap asam lambung. Namun terapi dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien
yang tidak dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau
gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena
rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah)

Profilaksis Sekunder

Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya rheumatic


heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring
yang berulang adalah metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart disease yang
parah.

b. Terapi Anti Inflamasi

Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat terhadap
terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk pasien dengan
karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah
kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik
dengan aspirin dan terus mengalami perburukan.Penggunaan kortikosteroid dan aspirin
sebaiknya menunggu sampai diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin
adalah 100-125 mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat
diturunkan menjadi60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin
bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari. Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama
adalah prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan
1 kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi
yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi
terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.

c. Terapi Gagal Jantung

Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah baring,
restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan gejala yang berat,
terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan
diet restriksi garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan
ACE Inhibitor dan atau digoxin.

d. Diet dan Aktivitas

Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada
pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi. Suplemen kalium
diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.Tirah baring sebagai terapi
rheumatic fever pertama kali diperkenalkan pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut
sejak saat itu. Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda
fase akut terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap.

e. Terapi Operatif

Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami perburukan
meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan rheumatic heart disease,
operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan
nyawa pasien.Pasien yang simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan
katup yang berat, juga memerlukan tindakan intervensi.
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat dilakukan ballon mitral
valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan operasi.

b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut (mungkin akibat ruptur
khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart diseaseyang tak teratasi dengan obat, perlu
segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.

c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka. Intervensi dengan balon
biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak dikerjakan.

d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi dengan lesi
lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup.

• Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami kekambuhan. Resiko
kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode awal. Semakin muda
rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar. Kekambuhan rheumatic
fever secara umum mirip dengan serangan awal, namun risiko karditis dan kerusakan
katup lebih besar. Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12
minggu. Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa
serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic fever
yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.

SUMBER:BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM ED VI JILID 1

KAPITA SELEKTA ED V JILID 1

KARDIOVASKULAR JILID II
LO 2
KELAINAN KATUP JANTUNG
A. KATUP MITRAL
• STENOSIS MITRAL

Katup mitral normal terbuka sempurna pada fase diastolik sehingga darah dapat mengalir
tanpa hambatan dari atrium kiri menuju ventrikel kiri. Stenosis mitral terjadi bila terdapat
gangguan pembukaan katup mitral pada fase diastolik oleh berbagai sebab. Penyakit ini
merupakan kelainan katup yang paling sering dijumpai pada usia produktif di negara- negara
berkembang termasuk Indonesia.Diagnosis dini dan tata laksana optimal dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas stenosis mitral.

Etiologi dan Patogenesis

Demam rematik merupakan penyebab stenosis mitral yang paling sering ditemukan.
Inflamasi akibat episode demam rematik yang berulang dalam waktu yang lama akan
menimbulkan fibrosis dan kalsifikasi serta fusi komisura pada katup mitral. Fibrosis dan
kalsifikasi dimulai dari ujung kuspis menuju ke daerah anulus. Selain kuspis, proses patologi
juga terjadi pada aparatus katup mitral lain seperti korda tendinea berupa perlengketan antara
korda yang satu dengan yang lainnya. Berbagai proses patologis ini diperberat oleh trauma katup
mitral akibat turbulensi aliran darah akibat melewati katup yang sempit sehingga kerusakan
katup semakin berat.

Kombinasi kuspis mitral yang kaku akibat kalsifikasi, fusi komisura dan kerusakan korda
tendinae menyebabkan gangguan pembukaan katup pada fase diastolik. Proses ini memakan
waktu cukup lama, sebagian besar stenosis mitral yang bermakna dijumpai pada antara dekade
ketiga hingga keempat kehidupan dengan waktu antara episode demam rematik pertama hingga
keluhan pertama timbul berkisar antara 15-20 tahun, Sayangnya sekitar setengah pasien dengan
stenosis mitral tidak mengetahui demam rematik pertama terjadi." Stenosis mitral akibat rematik
serimg disertai dengan regurgitasi mitral dan kelainan pada katup lain.

Penyebab stenosis mitral yang lain mencakup proses kalsifikasi degeneratif (mitral annular
calcification) yang dialami oleh pasien usia lanjut atau yang menjalani dialisis, kelainan
kongenital seperti parachute mitral valve, SLE, reumatoid artritis dan penggunaan obat-obat
anoreksia. Lutembacher syndrome adalah stenosis mitral kongenital atau rematik yang dijumpai
bersamaan dengan defek septum atrium.
Patofisiologi

Pada kondisi normal tidak terdapat hambatan aliran darah dari atrium menuju ventrikel
kiri pada fase diastolik sehingga hampir tidak dijumpai perbedaan tekanan antara kedua rongga
tersebut. Pada stenosis mitral terdapat obstruksi aliran darah menuju ventrikel kiri sehingga
atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih tinggi dibanding kondisi normal agar darah
tetap dapat mengalir dengan jumlah yang adekuat. Kondisi ini menimbulkan perbedaan tekanan
(gradien) antara atrium dengan ventrikel kiri. Semakin berat derajat stenosis, maka akan semakin
besar pula perbedaan tekanan ini. Gangguan hemodinamik umumnya baru bermakna bila luas
daerah katup mitral yang terbuka pada fase diastolik kurang dari 2-2.5 cm (luas pada kondisi
normal 4-6 cm).

Mekanisme kompensasi peningkatan tekanan di atrium kiri ini dapat mempertahankan aliran
darah menuju ventrikel kiri akan tetapi juga memiliki efek yang tidak diinginkan yakni:

(1). dilatasi atrium kiri yang dapat menekan berbagai organ di sekitarnya seperti bronkus dan
nervus laringeus rekurens kiri;

(2). peningkatan tekanan di atrium kiri akan diikuti dengan peningkatan tekanan di vena
pulmonal dan alvelous sehingga dapat menimbulkan kongesti dan edema paru;

(3). hipertensi arteri pulmonal dan gagal jantung kanan;

(4). mencetuskan fibrilasi atrium akibat dilatasi dan perubahan struktur atrium kiri.Hipertensi
arteri pulmonal pada stenosis mitral selain timbul akibat transmisi retrograd tekanan di atrium
kiri juga diakibatkan oleh vasokonstriksi arteriol pulmonal, edema interstisial, hiperplasia intima
dan hipertrofi lapisan media pembuluh darah paru.

Mekanisme kompensasi ini pada suatu saat akan menjadi tidak adekuat bila stenosis
makin berat sehingga aliran darah menuju ventrikel tidak cukup dan terjadi penurunan curah
jantung dengan berbagai konsekuensi akibat dari penurunan perfusi ke jaringan lain. Stasis
darah, pelepasan berbagai mediator inflamasi akibat regangan di atrium serta fibrilasi atrium
akan mempermudah terbentuknya trombus di atrium kiri.Trombus ini bila terlepas dapat
menimbulkan emboli di berbagai organ lain termasuk otak dan ginjal.

Presentasi Klinis

Pada fase awal penyakit umumnya tidak didapatkan gejala saat istirahat atau aktivitas
ringan. Faktor-faktor yang membuat denyut nadi meningkat seperti demam, anemia, aktivitas
berat atau fibrilasi atrium dengan denyut yang cepat dapat mencetuskan gejala.Pada kondisi
takikardia fase diastolik akan menjadi lebih singkat sehingga darah yang mengalir dari atrium
menuju ventrikel kiri berkurang, Gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak napas akibat
kongesti paru. Sesak napas berat atau distress pernapasan dapat timbul bila terjadi edema paru
akut.
Suara serak (hoarseness) timbul akibat kompresi nervus laringeus rekurens kiri oleh
atrium kiri yang membesar dan arteri pulmonal. Batuk darah atau hemoptisis timbul bila terjadi
pecah pembuluh darah anastomosis antara arteri dan venal pulmonal. Hemoptisis akibat stenosis
mitral umumnya tidak fatal, berbeda dengan hemoptisis akibat penyebab lain seperti penyakit
paru, Hemoptisis harus dibedakan dengan dahak berbusa berwarna kemerahan (pink frothy
sputum yang dapat dijumpai pada kasus edema paru akut karena tata laksananya akan sangat
berbeda. Pada sekitar 15% pasien dapat dijumpai gejala akibat emboli pada berbagai organ yakni
stroke, gagal ginjal dan infark miokard akut. Emboli umumnya terjadi pada pasien dengan
fibrilasi atrium akam tetapi dapat dijumpai pula pada pasien dengan irama sinus.

Pada kondisi lanjut dapat terjadi penurunan curah jantung dengan manifestasi penurunan perfusi
jaringan atau syok.

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai:

-Fasies mitral yaitu bercak ungu-kebiruan pada pipi yang menandakan penurunan curah jantung
dan vasokonstriksi akibat stenosis mitral berat.

-Diastolic thrill dapat teraba pada daerah apeks saat pasien dalam posisi left lateral decubitus.

-Bunyi jantung pertama yang mengeras. Perbedaan tekanan transmitral yang tinggi membuat
katup mitral terbuka maksimal (terbuka maksimal sesuai dengan derajat stenosis mitral) selama
fase diastolik dan pada fase sistolik tekanan di ventrikel kiri yang meningkat melebihi tekanan di
atrium akan menutup katup mitral dari pembukaan maksimal tersebut secara mendadak sehingga
akan terdengar mengeras. Pada kondisi lanjut bunyi jantung pertama dapat terdengar melemah
akibat pembukaan katup mitral yang sangat terbatas.

-Komponen pulmonal bunyi jantung kedua yang mengeras dapat terdengar bila sudah terjadi
hipertensi pulmonal.

-Opening snap, timbul akibat pembukaan maksimal mendadak katup mitral pada awal fase
diastolik. Interval antara bunyi jantung kedua dengan opening snap berkaitan dengan derajat
keparahan stenosis, semakin pendek interval tersebut maka semakin berat stenosis mitral.

-Bising mid-diastolik dengan frekuensi rendah (mid- diastolic rumble) yang terdengar paling
jelas di daerah apeks saat pasien dalam posisi left lateral decubitus. Bising dapat terdengar pada
seluruh fase diastolik dan menguat sesaat sebelum bunyi jantung pertama (presystolic
accentuation) pada pasien dengan irama sinus..

-Graham Steell murmur, yakni bising jantung sistolik dengan frekuensi yang tinggi (high-
pitched) yang terdengar di daerah basal jantung dan timbul akibat regurgitasi pulmonal (bila
sudah terjadi hipertensi pulmonal) atau regurgitasi aorta.
-Bising pansistolik pada daerah basal jantung terdengar bila sudah terjadi regurgitasi trikuspid
akibat hipertensi pulmonal.

-Peningkatan JVP, hepatomegali, asites dan edema perifer dapat dijumpai bila sudah terjadi
gagal jantung kanan.

Pendekatan diagnostik

Elektrokardiografi.Pada fase awal penyakit gambaran EKG sering tidak spesifik.Fibralasi


atrium merupakan gangguan irama jantung yang paling sering dijumpai pada pasien dengan
mitral stenosis.Temuan lainnya mencakup pembesaran atrium kiri dan bila sudah terjadi
hipertensi pulmonal dapat dijumpai hipertrofi ventrikel kanan dan pembesaran atrium kanan.

Foto toraks. Gambar radiografi yang dapat dijumpai pada stenosis mitral adalah pembesaran
atrium kiri (double contour dan meaghilangnya pinggang jantung), gambaran kongesti vena
pulmonal dan bila sudah terjadi hipertensi pulmonal dapat tampak gambaran dilatasi arteri
pulmonal.

Ekokardiografi. Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal (ETT) merupakan pemeriksaan rutin


pada semua kasus stenosis mitral untuk menilai morfologi katup, derajat stenosis, dimensi ruang
jantung, fungsi ventrikel kiri dan kanan, derajat hipertensi pulmonal serta kelainan pada katup
lain.Derajat keparahan stenosis mitral dapat ditentukan berdasarkan luas area katup mitral
(MVA), gradien transmitral dan tekanan sistolik arteri pulmonal (Tabel 51.10).

Pengukuran MVA dihitung melalui metode planimetri dan Doppler-derived pressure


half-time (PHT) sedangkan gradien transmitral dan tekanan sistolik arteri pulmonal dihitung
sesuai konsep Bernoulli equation. Pada pemeriksaan ekokardiografi juga harus ditentukan
apakah morfologi katup mitral sesuai untuk dilakukan percutaneous mitral balloon
commissurotomy atau PMBC yang dinilai berdasarkan wilkins score.

Pemeriksaan ekokardiografi transesofageal (ETT) dilakukan pada pasien yang akan


menjalani PMBC untuk menilai ada atau tidaknya trombus di atrium kiri dan untuk menilai
derajat keparahan regurgitasi mitral Ekokardiografi 3 dimensi dapat menilai morfologi katup
mitral dan luas area katup dengan lebih akurat. Pemeriksaan uji latih jantung disertai
ekokardiografi atau pengukuran invasif dilakukan untuk mengukur perubahan gradien
transmitral dan tekanan sistolik arteri pulmonal saat latihan bila terdapat ketidaksesuaian antara
pemeriksaan ekokardiografi saat istirahat (resting) dengan manifestasi klinis.

Klasifikasi stadium mitral stenosis menurut ACC/AHA 2014 dapat dilihat pada Tabel 51.12.

Perbedaan dengan klasifikasi sebelumnya adalah pada panduan terbaru ini MVA <1.5 cm
digolongkan sebagai stenosis mitral berat sedangkan pada panduan sebelumnya MVA 1.0-1.5
cm2 masih tergolong stenosis mitral sedang, selain itu tidak dikenal lagi istilah stenosis mitral
derajat ringan atau sedang dan diganti menjadi stenosis mitral progresif.

Pada klasifikasi ini pasien tanpa stenosis mitral akan tetapi memiliki resiko untuk mengalami
stenosis mitral di kemudian hari juga telah dimasukkan ke dalam klasifikasi (Stadium A)

Angiografi koroner. Pemeriksaan ini rutin dilakukan sebelum operasi katup aorta pada pasien
dengan faktor resiko atau diduga memiliki penyakit jantung koroner. Pada masa lalu penyadapan
(kateterisasi) jantung adalah pemeriksaan rutin pada semua pasien dengan stenosis mitral, akan
tetapi saat ini perannya telah dapat digantikan oleh ekokardiografi pada sebagian besar kasus.
Penyadapan jantung dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara manifestasi klinis dengan
pemeriksaan ekokardiografi yakni misalnya pada kasus dengan gejala dan tanda yang berat akan
tetapi pada ekokardiografi tidak didapatkan stenosis yang bermakna.

Diagnosis Banding

Sesak napas, penurunan kapasitas fungsional dan hemoptisis dapat dijumpai pada
berbagai kelainan paru seperti pneumonia, tuberkulosis paru dan penyakit paru obstruktif kronik.
Beberapa kelainan jantung lain seperti LA myxoma, cor triatriatum dan vegetasi pada katup
mitral akibat endokarditis dapat memiliki mekanisme patofisiologi dan manifestasi klinis yang
mirip dengan stenosis mitral. Pemeriksaan ekokardiografi dapat digunakan untuk menyingkirkan
berbagai kondisi ini.

Tata Laksana

Tata laksana medikamentosa pada stenosis mitral bertujuan untuk mengatasi keluhan,
mengontrol irama ventrikel bila terdapat fibrilasi atrium, mencegah endokarditis dan rekurensi
demam rematik serta mencegah tromboemboli. Pencegahan endokarditis dan demam rematik
akan dibahas pada bagian lain. Diuretik diberikan untuk mengatasi kongesti paru sesuai dengan
status volume tubuh, pemberian diuretik berlebihan sehingga menyebabkan dehidrasi dapat
menurunkan curah jantung. Obat golongan penyekat beta digunakan untuk menurunkan denyut
jantung karena pada denyut jantung yang rendah fase diastolik akan lebih lama sehingga aliran
darah dari atrium menuju ventrikel kiri bertambah.

Pengontrolan irama ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrium dilakukan dengan
memberikan penyekat beta, digoksin atau antagonis kalsium. Obat golongan antagonis kalsium
sebaiknya dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri.Warfarin atau antagonis
vitamin K merupakan antikoagulan pilihan utama untuk mencegah tromboemboli pada pasien
stenosis mitral yang disertai dengan fibrilasi atrium dan diberikan juga pada pasien dengan irama
sinus bila terdapat riwayat emboli atau ditemukan trombus pada atrium kiri. Warfarin diberikan
dengan target INR 2.0-3.0. Hingga saat ini belum ada antikoagulan oral lain yang
direkomendasikan pada kasus fibrilasi atrium akibat kelainan katup.Vasodilator tidak diberikan
rutin karena dapat menimbulkan hipotensi. Pemberian statin dilaporkan dapat menghambat
progresivitas stenosis mitral dengan etiologi rematik.

Terapi definitif stenosis mitral adalah dengan melebarkan katup yang menyempit dengan
metode perkutan (PMBC) atau operasi (Gambar 51.8).Pada PMBC perlengketan komisura katup
dilebarkan dengan balon yang dimasukkan melalui vena femoralis. Teknik ini direkomendasikan
pada stenosis mitral berat dengan morfologi katup yang sesuai serta tidak ditemukan trombus di
atrium kiri dan tidak ada regurgitasi mitral sedang hingga berat. Metode PMBC dinilai berhasil
apabila MVA setelah prosedur menjadi >1.5 cm dan tidak didapatkan regurgitasi mitral derajat
2/4 atau lebih. Operasi katup mitral (perbaikan katup, penggantian katup atau komisurotomi)
diindikasikan pada pasien stenosis mitral berat disertai gejala (NYHA kelas III dan IV) yang
tidak memenuhi syarat atau pernah gagal PMBC dan tidak memiliki risiko operasi jantung yang
tinggi.

Prognosis

Angka kesintasan 5 tahun pasien stenosis mitral menjalani tata laksana definitif berkisar
40-50% dan dapat lebih buruk lagi pada pasien dengan NYHA kelas IV yakni hanya 15%.%
Penyebab kematian paling sering adalah gagal jantung dan emboli sistemik.Prognosis akan
menjadi jauh lebih baik bila dilakukan tata laksana definitif akan tetapi yang tidak tetap
tergantung pada penyulit yang sudah timbul sebelum dilakukannya prosedur seperti fibrilasi
atrium, hipertensi arteri pulmonal dan gagal jantung kanan.

• REGURGITASI MITRAL

Kompleks katup mitral atau mitral valve apparatus terdiri dari kuspis, korda tendineae,
otot papilaris dan anulus katup mitral. Kompleks ini membuat katup mitral berbeda dengan katup
lain seperti katup aorta yang hanya terdiri dari kuspis dan anulus. Katup mitral dapat berfungsi
dengan baik bila semua komponen dalam kompleks ini berfungsi secara normal. Gangguan
fungsi pada salah satu atau lebih komponen kompleks katup mitral atau gangguan fungsi
ventrikel kiri yang berat dapat membuat katup mitral tidak menutup sempurna pada fase sistolik
sehingga terjadi regurgitasi mitral

Etiologi dan Patogenesis

Regurgitasi mitral dapat dibagi menjadi dua bagian besar berdasarkan penyebabnya yakni
regurgitasi mitral primer dan sekunder, sedangkan berdasarkan waktu terjadinya dapat dibagi
lagi menjadi regurgitasi mitral akut dan kronik.Regurgitasi mitral primer terjadi akibat gangguan
pada satu atau lebih komponen kompleks katup mitral (kuspis, korda tendineae, otot papilaris
dan anulus katup mitral) sedangkan pada regurgitasi mitral sekunder atau fungsional, kompleks
katup mitral umumnya normal akan tetapi terdapat gangguan fungsi ventrikel kiri yang berat
akibat penyakit jantung koroner, infark miokard atau penyakit jantung lain yang mengakibatkan
penurunan fungsi ventrikel kiri. Dilatasi ventrikel kiri menyebabkan perubahan posisi otot
papilaris relatif terhadap komponen katup mitral lain sehingga menimbulkan gangguan
penutupan (koaptasi) katup mitral. Regurgitasi mitral akut terjadi bila proses timbulnya
regurgitasi yang bermakna timbul mendadak, sedangkan pada regurgitasi mitral kronik
regurgitasi terjadi secara perlahan-lahan.

Penyebab regurgitasi mitral akut antara lain adalah infark miokard akut (45% kasus
regurgitasi mitral akut), endokarditis (28%), ruptur korda atau otot papilaris, disfungsi otot
papilaris akibat iskemia, demam rematik akut dengan karditis, miokarditis, kardiomiopati
Takotsubo dan disfungsi katup prostetik. Demam rematik merupakan penyebab regurgitasi mitral
kronik primer yang paling sering dijumpai pada negara berkembang, sedangkan pada negara-
negara maju didominasi oleh penyebab degeneratif perti prolaps katup mitral atau mitral valve
prolapse (MVP) dan mitral annular calcification. MVP mencakup berbagai spektrum kelainan
seperti Barlow's syndrome dan fibroelastic dysplasia. Pembahasan lebih detail terkait MVP akan
diuraikan pada bagian lain. Penyebab regurgitasi mitral kronik primer lainnya adalah
endokarditis, penyakit jaringan ikat, riwayat radiasi di daerah dada dan cleft mitral valve.
Patofisiologi

Pada kondisi normal katup mitral menutup sempurna pada fase sistolik sehingga tidak
ada darah yang mengalir menuju atrium kiri, akan tetapi pada regurgitasi mitral ada sebagian
volume darah yang mengalir kembali ke atrium kiri. Hal ini mengakibatkan pada fase diastolik
ventrikel kiri menerima darah dari atrium kiri yang merupakan gabungan darah vena pumonalis
dan volume regurgitasi pada fase sistolik sebelumnya, sehingga regurgitasi mitral menyebabkan
beban volume berlebih (volume overload) pada ventrikel kiri.

Pada regurgitasi mitral akut, penambahan volume mendadak ini menyebabkan


peningkatan drastis diastolik akhir ventrikel kiri. Ventrikel kiri kemudian melakukan kompensasi
sesuai dengan hukum Frank Starling yaitu meningkatkan panjang sarkomer(preload) dan
kontraktilitas (inotropik), akan tetapi ini juga menyebabkan peningkatan tekanan pengisian
ventrikel kiri yang selanjutnya diikuti peningkatan tekanan di atrium kiri dan vena pulmonal
dengan manifestasi klinis kongesti paru dan pada kasus yang sangat berat dapat mencetuskan
edema paru akut. Hipotensi dan syok dapat timbul bila curah jantung tidak adekuat akibat
berkurangnya volume darah yang dipompa ventrikel kiri menuju aorta.

Sebagian pasien yang dapat melewati fase gangguan hemodinamik akut ini selanjutnya akan
mengalami tahap kompensasi regurgitasi mitral kronik.

Pada regurgitasi mitral kronik penambahan beban volume di ventrikel kiri terjadi secara
perlahan sehingga ventrikel kiri memiliki waktu untuk beradaptasi. Ada beberapa tahapan yang
dilalui yakni: (1). Tahap kompensasi kronik; (2). Tahap transisi; dan (3). Tahap dekompensasi
dengan gangguan fungsi ventrikel menetap.

Pada tahap kompensasi kronik terjadi dilatasi ventrikel kiri sehingga volume ventrikel
bertambah dan dapat menampung peningkatan aliran darah dari atrium kiri dengan tekanan yang
relatif normal. Tekanan pada dinding ventrikel (wall stress) berkat penurunan afterload (darah
sebagian mengalir ke atrium kiri yang memiliki tekanan lebih rendah dibandingkan aorta). Tahap
ini dapat berlangsung hingga puluhan tahun setelah awitan regurgitasi mitral dan pasiennya
umumnya tanpa gejala

Regurgitasi mitral menyebabkan dilatasi ventrikel progresif sedangkan dilatasi ventrikel


akan diikuti oleh yang membuat regurgitasi mitral bertambah berat, sehingga dikenal istilah
mitral regurgitation annulus mitral begets mitral regurgitation, memperberat regurgitasi mitral itu
sendiri. regurgitasi mitral akan Pada regurgitasi mitral berat pada akhirnya akan terjadi dilatasi
ventrikel progresif melampaui kapasitas kompensasi sehingga pasien akan masuk ke tahap
dekompensasi. Pada tahap ini pengisian ventrikel bertambah yang diikuti peningkatan tekanan
di atrium kiri dan sirkulasi pulmonal. Peningkatan wall stress akan menurunkan jaringan fibrosa
sehingga terjadi penurunan kontraktilitas ventrikel kiri." jumlah serat otot dan meningkatkan
Pada tahap ini pasien akan mulai mengeluhkan gejala. Gangguan fungsi ventrikel kiri pada tahap
ini umumnya akan menetap walau telah dilakukan terapi definitif. Tahap transisi adalah
peralihan dari tahap kompensasi kronik menuju dekompensasi, akan tetapi sulit sekali
menentukan kapan terjadinya tahap ini. Timbulnya gejala tidak dapat dijadikan panduan karena
bila telah timbul gejala yang bermakna biasanya telah terjadi gangguan fungsi ventrikel yang
menetap.

Parameter ekokardiografi rutin seperti fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak menggambarkan
peralihan menuju tahap dekompensasi. Selain gangguan pada ventrikel kiri dan curah jantung,
regurgitasi mitral juga menimbulkan efek lain seperti fibrilasi atrium akibat dilatasi atrium kiri
dan risiko tromboemboli yang menyertainya.Pada tahap lanjut dapat timbul juga hipertensi arteri
pulmonal dan gagal jantung kanan.

Presentasi Klinis

Pasien dengan regurgitasi mitral akut berat memiliki gejala dan tanda gagal jantung yang
timbul mendadak karena ventrikel kiri tidak memiliki waktu yang cukup untuk beradaptasi.
Sesak napas bahkan distress pernapasan akibat edema paru akut sering dijumpai dan pada
sebagian kasus dapat disertai hipotensi dan syok akibat penurunan curah jantung.

Pada regurgitasi mitral kronik pasien tidak memiliki gejala saat melakukan aktivitas
sehari-hari bila masih berada pada tahap kompensasi, keluhan baru tampak bila pasien sampai
pada tahap dekompensasi. Sesak napas, cepat lelah dan berdebar-debar adalah keluhan yang
sering dijumpai pada tahap dekompensasi. Pasien juga dapat mengeluhkan gejala lain yang
berkaitan dengan etiologi regurgitasi mitral tersebut seperti keluhan angina bila terdapat penyakit
jantung koroner atau demam pada pasien dengan endokarditis.

Temuan pada pemeriksaan fisik pasien dengan regurgitasi mitral akut berbeda dengan
kasus kronik. Pada kasus akut dapat ditemui gangguan hemodinamik berat seperti tanda edema
paru akut, takikardia, akral dingin dan penurunan kesadaran akibat penurunan perfusi ke
berbagai jaringan.

Bising sistolik seringkali terdengar sangat lemah atau bahkan tidak terdengar sama sekali
akibat perbedaan tekanan antara ventrikel dengan atrium kiri yang tidak terlalu besar.Pada
sebagian kasus hanya dapat terdengar bunyi jantung ketiga dan bising diastolik awal (early
diastolic flow rumble) yang timbul akibat peningkatan volume darah yang melewati katup mitral.
Pada regurgitasi mitral kronik dapat ditemui:

-Pergeseran impuls apikal jantung ke lateral pada regurgitasi mitral yang berat.

-Bunyi jantung pertama yang melemah akibat gangguan koaptasi kuspis.

-Bising pansistolik merupakan temuan auskultasi yang paling sering terdengar. Bising terdengar
paling jelas di daerah apeks. Intensitas bising pansistolik tidak berkaitan dengan derajat
keparahan regurgitasi.Bising pansistolik sering dijumpai pada regurgitası mitral dengan
mekanisme ruptur korda dan flail leaflet, penjalaran bising sesuai dengan arah aliran regurgitasi,
bila regurgitasi mengarah ke anterior (flail kuspis posterior) bising akan menjalar ke anterior atau
daerah aksila sedangkan bila aliran mengarah ke posterior Glail kuspis anterior) penjalaran akan
terdengar di punggung

-Bising sistolik akhir (late systolic murmur) dapat terdengar pada kasus prolaps katup mitral atau
disfungsi otot papilaris,

-Bunyi jantung ketiga dan bising diastolik awal

-Bila sudah timbul hipertensi pulmonal dapat terdengar P2 yang mengeras dan bising pansistolik
pada daerah basal jantung (regurgiasi trikuspid).

-Peningkatan JVP, hepatomegali, asites dan edema perifer dapat dijumpai bila terjadi gagal
jantung kanan.

Pendekatan Diagnostik

Elektrokardiografi. Pembesaran atrium dan ventrikel kiri adalah gambaran EKG yang sering
dijumpai pada regurgitasi mitral kronik. Temuan lainnya mencakup fibrasi atrium dan hipertrofi
ventrikel kanan(15% kasus) pada regurgitasi mitral akut umumnya tidak spesifik berupa sinus
takikardia ang mencerminkan usaha tubuh untuk meningkatkan curah jantung. Pada EKG dapat
pula dijumpai gambaran penyakit lain yang merupakan etiologi regurgitasi mitral seperti infark
miokard akut atau penyakit jantung koroner.

Foto toraks. Pada regurgitasi mitral akut dapat dijumpai gambaran edema paru pada foto toraks
dan umumnya tanpa disertai kardiomegali, sedangkan pada kasus kronik yang telah berlangsung
cukup lama dapat tampak kardiomegali akibat pembesaran ventrikel dan atrium kiri.Tanda
bendungan paru yang ringan hingga berat juga dapat disertai pada regurgitasi mitral kronik
tergantung dari derajat keparahan penyakit. Gambaran radiografi regurgitasi mitral kronik tidak
khas karena temuan serupa dapat dijumpai pada berbagai penyakit jantung lain yang disertai
pembesaran ventrikel kiri.

Ekokardiografi transtorakal adalah pemeriksaan rutin pada pasien dengan kecurigaan


regurgitasi mitral baik akut maupun kronik. Ekokardiografi berperan untuk konfirmasi diagnosis,
menentukan derajat keparahan, etiologi, mekanisme, konsekuensi hemodinamik dan menentukan
strategi tata laksana terbaik.Fungsi dan dimensi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kanan dan
kelainan pada katup lain termasuk dalam parameter yang harus dinilai melalui ekokardiografi.
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan seperti planimetri aliran
regurgitasi, lebar vena contracta, pengukuran EROA dengan prinsip continuity equation dan
metode Proximal Isovelocity Surface Area (PISA)

Saat ini metode planimetri sudah tidak dianjurkan karena karena hasil pengukuran sangat
tergantung banyak faktor. Pengukuran vena contracta memberikan hasil yang lebih akurat
dibanding planimetri dan relatif lebih cepat dikerjakan. PISA merupakan metode yang paling
direkomendasikan untuk menentukan derajat keparahan regurgitasi, akan tetapi metode ini cukup
rumit dan memakan yang relatif lebih panjang

Parameter lain seperti morfologi katup, dimensi atrium dan ventrikel kiri serta tekanan arteri
pulmonal juga harus dipertimbangkan dalam penentuan derajat keparahan. Ekokardiografi
transesofageal dapat menghasilkan gambar morfologi katup mitral dengan lebih baik
dibandingkan transtorakal dan lebih sesuai dengan perspektif dokter ahli bedah saat operasi
(surgeon's view) sehingga saat bermanfaat untuk evaluasi preoperatif bila direncanakan untuk
memperbaiki katup mitral. Ekokardiografi transesofageal juga harus dilakukan pada saat operasi
setelah katup mitral diperbaiki untuk menilai hasil perbaikan katup, sehingga bila ternyata belum
baik hasilnya dapat segera dilakukan perbaikan ulang atau penggantian katup. Penggunaan probe
3 dimensi ETE dapat memberikan informasi yang lebih banyak lagi terkait morfologi katup.
Klasifikasi Stadium regurgitasi mitral kronik primer dan sekunder menurut ACC/AHA dapat
dilihat pada Tabel 51.17 dan Tabel 51.18.Keduanya memiliki pembagian stadium yang sama
yakni mulai stadium A hingga D, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan nilai parameter
ekokardiografi untuk menentukan derajat keparahan.
Uji latih jantung dengan ekokardiografi dipertimbangkan untuk menilai kapasitas fungsional dan
perubahan parameter ekokardiografi setelah diberi beban exercise) pada pasien dengan
ketidaksesuaian antara gejala ng dikeluhkan dengan hasil pemeriksaan ekokardiografi saat
istirahat.Parameter ekokardiografi yang dinilai setelah diberi beban adalah perubahan derajat
keparahan regurgitasi mitral, tekanan sistolik arteri pulmonal dan fungsi ventrikel kiri.

Angiografi koroner. Pemeriksaan ini rutin dilakukan sebelum operasi katup mitral pada pasien
dengan faktor risiko atau diduga memiliki penyakit jantung koroner.Penyadapan jantung
dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara manifestasi klinis dengan hasil pemeriksaan
ekokardiografi. Angiografi ventrikel kiri dengan proyeksi right anterior oblique (RAO) dapat
digunakan untuk visualisasi dan penentuan derajat regurgitasi mitral (Tabel 51.17 dan Tabel
51.18).

Magnetic Resonance Imaging dapat digunakan untuk mengukur volume regurgitasi dan
dimensi ventrikel kiri dengan akurat akan tetapi saat ini belum digunakan secara rutin karena
relatif mahal dan membutuhkan waktu pengolahan data yang lebih lama.

Pemeriksaan laboratorium. Kadar BNP berkaitan erat dengan keparahan gagal jantung dan
kelas fungsional pada kasus regurgitasi mitral. Pasien tanpa gejala dengan kadar BNP lebih dari
105 pg/ml memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gagal jantung, penurunan fungsi ven.
kel kiri dan kematian akibat gagal jantung pada masa mendatang, sedangkan kadar BNP yang
rendah memiliki negative predictive value yang tinggi dan dapat digunakan sebagai tindak lanjut
(follow-up) pasien regurgitasi mitral tanpa hejala.

Diagnosis Banding Regurgitasi mitral

harus dibedakan dengan berbagai pervakit jantung lain yang disertai keluhan sesak napas,
penbesaran ventrikel kiri dan bising sistolik. Pada kenyataannya banyak sekali kelainan jantung
disertai dengan berbagai temuan tersebut. Pemeriksaan fisik yang tepat didukung dengan
pemeriksaan penunjang seperti foto toraks, EKG dan ekokardiografi dapat menyingkirkan
berbagai diagnosis banding tersebut.

Tata Laksana

Tata laksana regurgitasi mitral sangat tergantung dari waktu terjadi dan penyebabnya.
Regurgitasi mitral akut memiliki prognosis yang sangat buruk bila tidak segera diatasi sehingga
diagnosis dan tata laksana definitif harus dilakukan secepat mungkin, sedangkan pada kasus
kronik umumnya masih terdapat waktu yang relatif lebih banyak untuk melakukan evaluasi
secara menyeluruh.Pada kasus regurgitasi mitral primer, masalah utama terletak pada kelainan
katup mitral sehingga tata laksana untuk memperbaiki kelainan pada katup tersebut dapat
mengatasi masalah pada sebagian besar kasus. Sebaliknya, pada regurgitasi mitral sekunder,
regurgitasi mitral merupakan akibat dari kondisi lain sehingga tata laksana tidak akan efektif bila
hanya difokuskan pada mengatasi kebocorarn katup tanpa memperbaiki penyebab awalnya.

Tata laksana medikamentosa pada regurgitasi mitral akut bertujuan untuk menstabilkan
kondisi hemodinamik pasien sambil menunggu persiapan operasi yang merupakan terapi
definitif. Terapi pada kondisi akut berupa pemberian nitrat dan diuretik intravena untuk
menurunkan tekanan di ventrikel kiri, sayangnya pada sebagian kasus juga disertai hipotensi
sehingga dosis obat-obat tersebut tidak dapat maksimal. Pemberian nitrat selain menurunkan
afterload juga dapat mengurangi volume regurgitasi. Bila terjadi hipotensi atau syok dapat
diberikan inotropik seperti dobutamin dan pemasangan IABP bila tersedia.
Pada regurgitasi mitral kronik primer, pemberian obat vasodilator seperti penyekat EKA
dan ARB dapat menurunkan afterload, akan tetapi dilaporkan tidak berguna bila diberikan pada
pasien tanpa gagal jantung sehingga tidak direkomendasikan untuk diberikan rutin bila tidak ada
hipertensi atau penurunan fungsi ventrikel kiri (LV <60%). Diuretik diberikan bila ada gejala dan
tand kongesti. Pemberian vasodilator atau penyekat beta jugabri terbukti dapat menghambat
progresivitas penyakit sel yang paling penting adalah pengawasan ketat perjalanan penyakit dan
tata laksana definitif segera dilakukan begitu ada indikasi. Terapi medikamentosa yang optimal
untuk gagal jantung merupakan salah satu tata laksana utama pada regurgitasi mitral kronik
sekunder atau fungsional selain tata laksana untuk mengatasi penyebab asalnya. Obat-obat yang
dapat diberikan adalah penyekat EKA atau ARB, penyekat beta, spironolakton, diuretik dan
nitrat sesuai dengan kondisi pasien.Tata laksana medikamentosa lain mencakup terapi fibrilasi
atrium berikut pencegahan tromboemboli, mencegah endokarditis dan profilaksis demam rematik
(pada kasus dengan etiologi rematik).

Waktu pembedahan atau tata laksana definitif pada regurgitasi mitral kronik sangat
penting dan hingga saat ini masih banyak yang menjadi kontröversi. Pada sebagian besar kasus
gangguan hemodinamik dapat ditoleransi oleh pasien berkat mekanisme kompensasi sehingga
operasi ditunda selama mungkin untuk mengurangi risiko pembedahan dan meminimalkan biaya
yang dibutuhkan, akan tetapi operasi harus segera dilaksanakan sebelum terjadi penurunan fungsi
ventrikel kiri. Penurunan fungsi ventrikel kiri sebelum operasi merupakan salah satu prediktor
prognosis yang kurang baik pascaoperasi.Operasi katup mitral untuk regurgitasi mitral kronik
primer yang berat diindikasikan pada: (1). Pasien dengan gejala dan LVEF >30%(2). Pasien
tanpa gejala dengan LVEF 30-60% atau LVESD >40 mm; dan (3), Pasien yang menjalani
operasi jantung untuk indikasi lain (misal operasi katup aorta atau BPAK).

Pada regurgitasi mitral kronik sekunder karena penyakit jantung koroner, regurgitasi
mitral pada sebagian pasien, karena regurgitasi mitral timbul akibat iskemia yang mengganggu
kerja struktur pendukung katup mitral. Sayang sekali, sangat sulit untuk menentukan apakah
dengan hanya dengan dilakukannya revaskularisasi akan memperbaiki regurgitasi mitra semua
pasien.

Operasi katup mitral diindikasian pada pasien dengan regurgitasi mitral kronik sekunder
berat yang akan menjalani operasi jantung untuk indikasi dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan keluh. sulit dikontrol dengan terapi medikamentosa.

Saat ini terdapat dua jenis teknik operasi pada regurgitasi mitral yakni operasi perbaikan
(repair) dan operasi penggantian katup (replacement). Operasi perbaikan memiliki angka
mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan penggantian katup (1-2% vs. 6%), preservasi
fungsi ventrikel kiridan kesintasan yang lebih baik.Sebuah studi melaporkan bahwa angka
mortalitas operasi perbaikan katup mitral pada pasien berusia di bawah 75 tahun kurang dari 1%
dengan resiko operasi ulang setiap tahunnya hanya sekitar 0,5%.
Daya tahan katup mitral setelah menjalani operasi perbaikan serupa dengan katup
prostetik (angka operasi ulang 0,74%). Keputusan untuk memperbaiki atau mengganti katup
mitral ditentukan oleh beberapa hal yakni etiologi, morfologi katup, pengalaman ahli bedah serta
penyakit penyerta . fibrilasi atrium yang membutuhkan antikoagulan seumur hidup.

Bila memungkinkan, operasi perbaikan katup lebih dipilih dibandingkan penggantian katup
karena dapat menghindari risiko terkait katup prostetik seperti kejadian tromboemboli. Korda
dan struktur pendukung katup mitral lainnya tetap dipertahankan pada operasi perbaikan katup,
sehingga membantu mempertahankan fungsi sistolik dan bentuk ventrikel kiri.

Pembedahan merupakan pilihan utama tata laksana definitif untuk regurgitasi mitral dari
segi efektivitas, akan tetapi sebagian pasien memiliki banyak komorbid yang akhirnya kurang
ideal untuk menjalani operasi karena risikonya dianggap terlalu tinggi. Oleh karena itu
dikembangkan teknik intervensi perkutan yang dianggap memiliki resiko prosedur lebih rendah.
Salah satu teknik yang dikembangkan adalah Mitral Clip. Prosedur ini bertujuan untuk
memperbaiki katup mitral tanpa operasi bedah jantung terbuka dengan segala risikonya.
Beberapa studi seperti EVEREST I dan EVEREST II telah melaporkan keamanan dan efektivitas
teknik ini. Tingkat keberhasilan tindakan mencapai 74%.

Prognosis

Pasien dengan regurgitasi mitral akut memiliki prognosis yang buruk bila tidak dilakukan
tata laksana definitif karena perubahan hemodinamik mendadak tersebut tidak dapat ditoleransi
pada sebagian besar kasus. Prognosis diperburuk lagi dengan penyakit penyerta yang merupakan
etiologi dari regurgitasi mitral akut tersebut seperti infark miokard atau endokarditis yang
masing-masing memiliki efek buruk lain di luar regurgitasi mitral. Pada kasus regurgitasi mitral
kronik tanpa gejala, angka mortalitas tahun akibat masalah kardiovaskular mencapai 11-
17%.Timbulnya fibrilasi atrium merupakan salah satu prediktor prognosis yang buruk. Prediktor
prognosis yang buruk lainnya mencakup gejala, usia, keparahan regurgitasi, hipertensi pulmonal,
dilatasi atrium dan ventrikel kiri serta penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri.

SUMBER:BUKU AJAR KARDIOVASKULAR FK UI JILID II

B. KATUP AORTA
• STENOSIS AORTA

Stenosis aorta adalah kelainan katup umum yang menyebabkan obstruksi aliran keluar
ventrikel kiri. Kecepatan anterograde melintasi katup harus minimal 2 m / detik, sedangkan
sklerosis katup aorta adalah penebalan dan kalsifikasi tanpa gradien tekanan yang signifikan.
Etiologi termasuk penyakit bawaan (bikuspid / unikuspid), kalsifikasi, dan rematik. Gejala
seperti dispnea saat beraktivitas atau kelelahan berkembang secara bertahap setelah periode laten
asimtomatik yang lama sekitar 10 hingga 20 tahun. Pasien terus mengalami nyeri dada, gagal
jantung, dan sinkop. Perawatan definitif untuk stenosis aorta termasuk penggantian katup aorta,
baik melalui pendekatan bedah atau perkutan. Kelangsungan hidup sangat baik selama fase
asimtomatik, tetapi mortalitas lebih dari 90% dalam beberapa tahun setelah timbulnya gejala.

Etiologi
Bawaan

Katup yang abnormal secara bawaan dengan kalsifikasi yang berlebihan dapat
menyebabkan stenosis aorta. Katup aorta bikuspid adalah penyebab tersering dari stenosis aorta
pada pasien yang berusia kurang dari 70 tahun di negara maju.

Diakuisisi

Penyakit katup rematik merupakan penyebab tersering di negara berkembang. Komisura


selebaran menyatu untuk meninggalkan lubang tengah kecil. Penyebab lain termasuk kalsifikasi
katup tri-leaflet, alkaptonuria, lupus eritematosus sistemik, ochronosis, iradiasi, lipoproteinemia
tipe II homozigot, dan penyakit metabolik seperti penyakit Fabry. Gangguan metabolisme
mineral, seperti penyakit ginjal stadium akhir, juga terbukti berkontribusi pada kalsifikasi
katup. Obstruksi aliran keluar ventrikel kiri (LV) dapat terjadi di atas atau di bawah katup,
masing-masing menyebabkan stenosis supravalvular dan stenosis subvalvular. Kardiomiopati
hipertrofik dapat menyebabkan stenosis subvalvular dinamis.

Epidemiologi
Prevalensi kalsifikasi aorta stenosis adalah sekitar 1% sampai 2% pada pasien berusia 65
atau lebih, 12% pada pasien berusia 65 atau lebih, dan sekitar 3,4% pasien berusia lebih dari 75
memiliki stenosis aorta berat. Prevalensi sklerosis aorta berkisar antara 9-45% pada pasien
dengan usia rata-rata 54 hingga 81 tahun dan meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi
relatif dari stenosis aorta pada pasien dengan tri-leaflet versus katup abnormal bawaan bervariasi
dengan usia. Penyebab stenosis aorta bervariasi secara geografis karena stenosis kalsifikasi lebih
sering terjadi di Amerika Utara dan Eropa, sedangkan penyakit katup rematik lebih sering terjadi
di negara berkembang. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat dua atau tiga kali lipat
dalam beberapa dekade mendatang seiring dengan bertambahnya usia penduduk.

Patofisiologi
Obstruksi ventrikel kiri (LV) yang disebabkan oleh stenosis katup meningkatkan tekanan
sistolik LV. Hal ini juga mengakibatkan peningkatan waktu pengeluaran ventrikel kiri (LVET),
penurunan tekanan aorta, dan peningkatan tekanan diastolik akhir LV. Peningkatan afterload,
sebagai tambahan, peningkatan volume LV yang berlebihan, menyebabkan peningkatan massa
LV, yang pada akhirnya menyebabkan disfungsi dan kegagalan LV. Konsumsi oksigen miokard
meningkat dengan peningkatan tekanan sistolik LV, massa LV, dan LVET, sementara waktu
perfusi miokard berkurang dengan peningkatan LVET. Oleh karena itu, fungsi LV semakin
memburuk dengan peningkatan konsumsi oksigen miokard dan penurunan suplai oksigen
miokard.

Evaluasi
Ekokardiografi tetap menjadi metode pendekatan standar untuk mengevaluasi dan
menindaklanjuti pasien dengan stenosis aorta dan menyusunnya untuk pembedahan. Ini
memungkinkan pencitraan anatomi katup, dan tingkat keparahan kalsifikasi katup dan juga
memungkinkan pencitraan langsung dari area lubang. Ukuran yang lebih sensitif dari fungsi LV
yang memprediksi efek samping, termasuk kematian, adalah pencitraan regangan sistolik
longitudinal. Tes latihan membantu mengungkap gejala pada pasien asimtomatik, tetapi harus
dihindari pada pasien bergejala. Penggunaan CT (CT) jantung berkembang pada pasien dengan
penyakit katup aorta kalsifikasi. Ini digunakan ketika semua tes non-invasif tidak
meyakinkan. Pencitraan resonansi magnetik jantung (MRI) dapat menilai massa, fungsi, dan
volume LV jika tidak dapat diperoleh dengan mudah di ekokardiografi.

Perawatan / Manajemen
Penelitian telah menunjukkan bahwa terapi medis tidak secara signifikan mempengaruhi
perkembangan penyakit pada stenosis aorta. Penggantian katup aorta (AVR) lebih baik daripada
terapi medis pada stenosis aorta bergejala berat, sebagaimana dibuktikan dalam studi
observasional dan uji coba kontrol acak. Karena hipertensi menyertai penyakit hampir sepanjang
waktu, dapat dimengerti bahwa mungkin ada beberapa keengganan dalam mengobati hipertensi
pada subset pasien ini karena stenosis aorta diketahui merupakan kondisi dengan afterload tetap
dan vasodilatasi tidak akan diimbangi dengan peningkatan stroke volume. Namun, penelitian
menunjukkan bahwa, bahkan pada pasien dengan stenosis aorta yang parah, vasodilatasi disertai
dengan peningkatan volume stroke. Penghambat enzim pengubah angiotensin dan penghambat
reseptor angiotensin dipertimbangkan secara istimewa. AVR diindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung dan kelebihan volume,tetapi diuretik dapat membantu mengurangi kemacetan dan
meredakan gejala sebelum operasi. Valvuloplasti aorta balon memiliki sedikit perbaikan pada
status hemodinamik pasien. Meskipun memberikan peningkatan jangka pendek dalam
kelangsungan hidup dan kualitas hidup, manfaatnya tidak dipertahankan.

AVR dianjurkan pada orang dewasa dengan gejala stenosis aorta meskipun gejala ringan. Hal ini
juga direkomendasikan pada pasien asimtomatik dengan stenosis aorta berat dengan

(1) LV ejection fraction (LVEF) lebih dari 50%,

(2) yang menjalani coronary artery bypass grafting (CABG) atau bentuk lain dari operasi
jantung,

(3) Tes treadmill latihan abnormal,

(4) kecepatan puncak> 5m / detik dan gradien tekanan rata-rata lebih besar dari 60, dan
(5) perkembangan tahunan kecepatan puncak lebih besar dari 0,3 m / s / tahun. AVR dapat
dilakukan dengan pendekatan bedah atau transkateter.

Gejala seperti dispnea saat beraktivitas dan angina berkurang pada sebagian besar pasien,
dan sebagian besar akan mengalami peningkatan toleransi terhadap olahraga. LVEF sering
membaik setelah operasi, tetapi regangan longitudinal mungkin masih terganggu. Kematian
operasi pada AVR bedah sekitar 3,2% pada pasien yang menjalani AVR terisolasi. Kurang dari
1% pada pasien berusia kurang dari 70 tahun dan memiliki komorbiditas minimal. Usia lanjut
tidak boleh dianggap sebagai kontraindikasi operasi, dan mortalitas 30 hari adalah sekitar 4,2%.
AVR transkateter telah mengubah pengobatan pasien dengan stenosis aorta kalsifikasi, selama
dekade terakhir. Ini awalnya terbukti lebih unggul dari terapi medis pada pasien yang bukan
kandidat untuk operasi. Tapi kemudian, AVR itu ternyata lebih unggul daripada bedah AVR
pada pasien risiko tinggi dan juga risiko menengah. Ketahanan jangka panjang dari prosedur ini
belum ditentukan. Pendekatan yang paling umum digunakan adalah pendekatan transfemoral,
terutama karena ada penurunan ukuran selubung secara progresif. Tim ahli bedah katup jantung,
ahli jantung intervensi, ahli klinis dan pencitraan dalam penyakit katup, serta perawat,ahli
anestesi, dan ahli geriatri jika diperlukan, sangat penting untuk merekomendasikan pilihan AVR
bedah versus AVR transkateter, mengingat kompleksitas masalah. Panduan merekomendasikan
AVR untuk pasien stenosis aorta tergantung pada stadium kondisi (gambar 3) dan faktor lainnya.
Rekomendasi untuk mempertimbangkan AVR d Pilihan intervensi berlaku untuk AVR bedah
dan AVR transkateter. Pilihan untuk melanjutkan dengan AVR bedah atau AVR transkateter,
termasuk beberapa faktor dan ditunjukkan pada gambar 1 dan 3.

Perbedaan diagnosa
Mayoritas gejala seperti sinkop dan angina tumpang tindih dengan proses penyakit lain,
dan akibatnya, diagnosis dapat terlewat dalam keadaan akut. Kardiomiopati dan penyakit arteri
koroner merupakan penyebab utama dari penyakit ini. Dispnea saat beraktivitas juga dapat
disebabkan oleh kondisi non-jantung seperti penyakit paru. Diagnosis dapat menjadi tantangan,
tetapi tes fungsi paru standar dan tes latihan kardiopulmoner dapat membantu membedakan
kondisi tersebut. Penyebab lain murmur sistolik ejeksi dengan atau tanpa obstruksi aliran keluar
ventrikel kiri termasuk kardiomiopati hipertrofik, sklerosis aorta, dan stenosis subvalvular.
Stenosis subvalvular dapat terjadi dari berbagai lesi tetap dan dapat memiliki komponen dinamis.
Frekuensi tinggi stenosis supravalvular terjadi pada sindrom Williams,dan mayoritas pasien
memiliki deformitas jam pasir dengan penyempitan aorta asendens yang menebal pada aspek
superior dari sinus Valsalva.

Prognosis
Prognosis tetap baik pada pasien ini setelah stenosis aorta sedang sampai berat, asalkan
pasien asimtomatik. Kurangnya cadangan kontraktil pada pasien dengan aliran rendah, gradien
rendah, stenosis aorta EF rendah, BNP sangat tinggi, kelemahan, gradien rata-rata sangat rendah
(kurang dari 20 mm Hg), penyakit paru tergantung oksigen, disfungsi ginjal lanjut , dan skor STS
yang sangat tinggi adalah faktor yang berguna untuk stratifikasi risiko dalam memprediksi onset
gejala dan kelangsungan hidup bebas kejadian pada pasien bergejala. Jika tingkat keparahan
stenosis sedang, atau gejalanya samar-samar, peningkatan kadar BNP dapat membantu, tetapi
perannya dalam perkembangan penyakit belum sepenuhnya ditentukan. Kelangsungan hidup
pada pasien simptomatik buruk meskipun gejalanya ringan kecuali obstruksi aliran keluar
berkurang. Kelangsungan hidup rata-rata tanpa AVR hanya sekitar 1 sampai 3 tahun setelah
onset gejala.

Komplikasi
1. Pasien stenosis aorta bergejala berat berisiko tinggi mengalami kematian mendadak. Oleh
karena itu, pasien ini perlu segera dirujuk untuk AVR. Meskipun kematian mendadak
umum terjadi pada pasien bergejala, kadang-kadang juga dapat terjadi pada pasien
asimtomatik.
2. Gagal jantung adalah salah satu komplikasi tersering pada stenosis aorta. Sebagian besar
pasien akan mengalami hipertrofi ventrikel kiri dengan fungsi sistolik normal. Disfungsi
diastolik berkembang menjadi sekunder akibat hipertrofi dan fibrosis dan sering menetap
bahkan setelah AVR. Namun, beberapa pasien dapat datang dengan disfungsi sistolik
akibat ketidakcocokan afterload, yang mengakibatkan fraksi ejeksi rendah.
3. Hipertensi pulmonal akibat peningkatan kronis tekanan pengisian diastolik ventrikel
kiri. Komplikasi lain yang terkait dengan stenosis aorta adalah kelainan
konduksi. Mereka terjadi karena hipertrofi, perpanjangan kalsium dari katup ke septum
interventrikular, atau penyakit jantung yang sudah ada.
4. Pasien dengan stenosis aorta juga berisiko tinggi mengalami endokarditis infektif,
terutama pasien dengan katup aorta bikuspid.
5. Mereka juga berisiko tinggi mengalami perdarahan, terutama perdarahan GI akibat
sindrom von Willebrand yang didapat.
6. Emboli serebral atau sistemik dapat terjadi karena emboli kalsifikasi dari katup.

• REGURGITASI AORTA

Regurgitasi aorta (AR), juga dikenal sebagai insufisiensi aorta, adalah aliran darah balik
dari aorta ke ventrikel kiri (LV) selama diastol. AR dapat disebabkan oleh salah satu dari daun
katup atau penyakit akar aorta primer.

Etiologi
AR terjadi akibat mal-koaptasi pada selebaran aorta karena kelainan pada selebaran aorta,
struktur pendukungnya seperti akar aorta dan anulus, atau keduanya.

Penyakit Katup Primer


Penyebab umum termasuk penyakit katup aorta kalsifikasi, yang biasanya berhubungan
dengan stenosis aorta (AS) tetapi dapat dikaitkan dengan beberapa derajat AR; endokarditis
infektif, yang mengubah anatomi selebaran; robekan atau laserasi di aorta asendens yang
menyebabkan prolaps dari puncak aorta karena hilangnya dukungan komisural. Katup aorta
bikuspid kongenital (BAV) dapat menyebabkan AR karena penutupan yang tidak lengkap atau
prolaps katup, meskipun AS merupakan komplikasi yang lebih umum dari BAV. AR kongenital
akibat katup unicommissural dan quadricuspid, atau ruptur katup fenestrat lebih jarang terjadi.
Prolaps dari katup aorta terjadi pada beberapa pasien dengan defek septum ventrikel (VSD).
Penyakit rematik menyebabkan infiltrasi fibrosa dari katup AV yang mengarah ke retraksi yang
mencegah pembukaan yang tepat selama sistol dan penutupan selama diastol.Fusi terkait dari
komisura dapat menyebabkan gabungan AS dan AR. Penyakit katup aorta rematik sering
dikaitkan dengan penyakit katup mitral rematik. Degenerasi myxomatous pada katup aorta juga
dapat menyebabkan AR progresif. Stenosis subaorta membranosa dapat menyebabkan penebalan
dan jaringan parut pada selebaran AV yang menyebabkan AR sekunder. AR juga dilaporkan
sebagai komplikasi valvotomi balon aorta perkutan dan penggantian katup aorta
transkateter Kerusakan struktural katup bioprostetik merupakan penyebab yang semakin umum
dari katup AR. Ruptur atau avulsi traumatis dari titik puncak aorta merupakan penyebab AR
akut yang tidak umum. Penyebab AR lain yang kurang umum terjadi dalam kaitannya dengan
lupus eritematosus sistemik, penyakit Takayasu, penyakit Whipple, artritis reumatoid, spondilitis
ankilosa, artropati Jaccoud, sifilis, penyakit Crohn, dan obat penekan nafsu makan.

Epidemiologi
Prevalensi AR kronis dan kejadian AR akut tidak diketahui secara pasti. Jejak AR
dengan ekokardiogram adalah temuan umum bahkan pada pasien sehat. Tampaknya
mempengaruhi lebih banyak pria daripada wanita (13% vs. 8,5%). Prevalensi AR meningkat
seiring bertambahnya usia dan sebagian besar terlihat setelah usia 50 tahun. Prevalensi AR di
Amerika Serikat dilaporkan antara 4,9% dan 10%.

Patofisiologi
AR menyebabkan kelebihan volume ventrikel kiri. Peningkatan volume akhir diastolik
ventrikel kiri menyebabkan dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri eksentrik. Ini memungkinkan
pengusiran volume kayuhan yang lebih besar. Pada pasien AR, total stroke volume yang
dikeluarkan oleh LV adalah jumlah dari stroke volume efektif dan volume regurgitan. Jadi, AR
dikaitkan dengan peningkatan preload. Dilatasi ventrikel kiri meningkatkan ketegangan sistolik
ventrikel kiri sesuai dengan hukum Laplace. Hal ini, dalam kombinasi dengan peningkatan
tekanan darah sistolik sebagai akibat dari peningkatan total volume gerakan maju, menyebabkan
peningkatan afterload. Fungsi LV dikompensasi karena kombinasi dilatasi LV dan hipertrofi.
Namun, seiring waktu, penebalan dinding gagal mengimbangi beban hemodinamik yang
mengakibatkan penurunan fungsi sistolik dan fraksi ejeksi.
Dekompensasi LV menyebabkan penurunan komplians dan peningkatan tekanan dan
volume diastolik akhir LV. Pada stadium lanjut, atrium kiri, irisan arteri pulmonalis, arteri
pulmonalis, ventrikel kanan (RV), dan tekanan atrium kanan meningkat, dan curah jantung
efektif (maju) menurun. Gejala gagal jantung berkembang, termasuk dispnea, ortopnea, dan
dispnea nokturnal paroksismal akibat sumbatan paru.

Peningkatan massa LV menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Juga, tekanan


perfusi koroner berkurang. Hal ini menyebabkan iskemia miokard dan nyeri dada saat
beraktivitas.

Pada pasien dengan AR berat akut, mekanisme kompensasi LV tidak berkembang cukup
cepat untuk menangani beban volume regurgitasi. Tekanan diastolik ventrikel kiri meningkat
dengan cepat dan dapat menyebabkan edema paru akut dan syok kardiogenik. Bahkan regurgitasi
mitral diastolik dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan volume dan tekanan ventrikel kiri
yang tiba-tiba.

Pemeriksaan fisik

AR dikaitkan dengan tekanan nadi yang melebar akibat hipertensi sistolik dan penurunan
tekanan diastolik. Impuls ventrikel kiri apikal bersifat hiperdinamik dan bergeser ke lateral dan
inferior. Sensasi sistolik yang menonjol dapat teraba di dasar jantung atau takik suprasternal dan
di atas arteri karotis. Hal ini disebabkan oleh volume pukulan ke depan yang besar dan tekanan
diastolik aorta yang rendah. S1 normal, tetapi S2 meningkat (dengan akar aorta berdilatasi) atau
menurun (bila daun aorta menebal). Murmur diastolik dengan frekuensi tinggi, bertiup,
dekresendo, terdengar paling baik di ruang interkostal ketiga sepanjang batas sternum kiri. Lebih
mudah untuk mengenali murmur AR pada akhir ekspirasi saat pasien mencondongkan tubuh ke
depan.Murmur meningkat dengan latihan jongkok atau isometrik dan menurun dengan manuver
yang menurunkan tekanan darah. Murmur ini merupakan diastolik awal dengan AR ringan dan
menjadi holodiastolik dengan AR berat.

Tanda Perifer dari AR kronis parah akibat tekanan nadi yang melebar dijelaskan di bawah ini.

• Murmur Austin Flint: Murmur diastolik tengah bergemuruh bernada rendah terdengar
paling baik di puncak. Hal ini diduga disebabkan oleh penutupan katup mitral secara dini
karena pancaran AR.
• Tanda Becker: Adanya pulsasi arteri retinal yang terlihat melalui ophthalmoscope
• Denyut bisferiens: Denyut biphasik akibat aliran balik darah pada diastol awal
• Tanda Corrigan: Denyut palu air dengan distensi mendadak dan cepat runtuh.
• de Musset sign: Kepala terayun-ayun dengan denyut arteri. [8]
• Tanda Duroziez: Murmur sistolik terdengar di atas arteri femoralis saat dikompresi
secara proksimal dan murmur diastolik saat dikompresi ke distal dengan stetoskop.
• Tanda Gerhardt: Pulsasi limpa terdeteksi dengan adanya splenomegali.
• Tanda bukit: Tekanan darah di ekstremitas bawah lebih besar daripada tekanan darah di
ekstremitas atas
• Tanda Mayne: Penurunan tekanan darah diastolik lebih dari 15 mmHg saat mengangkat
lengan
• Tanda Muller: Denyut sistolik uvula
• Tanda Quincke: Pulsasi kapiler (pembilasan dan pucat paling baik terlihat di akar kuku
saat tekanan diterapkan ke ujung kuku).
• Tanda Rosenbach: Denyut hati
• Tanda Traube: Suara sistolik dan diastolik "tembakan pistol" yang meledak terdengar di
atas arteri femoralis
Perlu dicatat bahwa tanda eponim ini memiliki berbagai kepekaan dan spesifisitas. Bukti
mengenai dampak beratnya regurgitasi aorta pada manifestasi dari tanda-tanda ini masih jarang.

Pada AR akut, gejala dan temuan fisik berhubungan dengan penurunan volume stroke. Pasien
datang dengan takikardia, takipnea, dan edema paru. Karena temuan pemeriksaan fisik dari AR
akut lebih halus daripada AR kronis, diagnosis sulit dibuat ketika pasien datang dengan gejala
dispnea dan syok. Indeks kecurigaan yang tinggi penting untuk diagnosis cepat.

Evaluasi
Pemeriksaan regurgitasi aorta meliputi tes berikut.

Ekokardiografi

Ekokardiografi adalah alat diagnostik utama karena memberikan penilaian akurat tentang
anatomi katup aorta, akar aorta, dan ventrikel kiri.

Dilatasi ventrikel kiri terlihat pada AR kronis. Fungsi sistolik normal sampai tahap selanjutnya,
ditandai dengan penurunan EF atau peningkatan dimensi sistolik akhir.

Dengan AR parah, lebar jet sentral dinilai oleh aliran warna Doppler melebihi 65% dari saluran
aliran keluar LV (LVOT), volume regurgitan ≥60 mL / denyut, area lubang regurgitan efektif>
0,30, fraksi regurgitasi ≥50% , vena contracta> 0,6 cm, dan terjadi pembalikan aliran diastolik di
aorta toraks desendens proksimal.

Profil Doppler gelombang kontinu dari jet AR menunjukkan waktu perlambatan yang cepat pada
pasien dengan AR berat. Kemiringan yang curam menunjukkan pemerataan tekanan yang lebih
cepat antara aorta dan LV selama diastol.

Fluttering diastolik frekuensi tinggi dari leaflet mitral anterior yang dihasilkan oleh dampak jet
regurgitan dapat terlihat pada AR akut dan kronis.
Pada pasien dengan AR akut, diagnosis dapat ditegakkan dengan ekokardiogram 2-dimensi dan
M-mode transthoracic (TTE) dan / atau transesophageal echocardiogram (TEE).

Resonansi Magnetik Jantung

Cardiac MRI (CMR) adalah alat diagnostik alternatif yang terutama digunakan pada
pasien yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut meskipun ekokardiografi karena jendela akustik
yang kurang optimal. Ini adalah teknik noninvasif paling akurat untuk menilai volume akhir
sistolik ventrikel kiri, volume diastolik, dan massa. Ini dapat secara akurat mengukur tingkat
keparahan AR berdasarkan volume aliran antegrade dan retrograde di aorta asendens.

Kateterisasi Jantung

Angiografi juga dapat memberikan informasi tentang tingkat keparahan AR,


hemodinamik, dan anatomi arteri koroner jika terdapat perbedaan antara gambaran klinis dan
pencitraan noninvasif. Ini melibatkan injeksi cepat bahan kontras ke dalam akar aorta, dan
pembuatan film di proyeksi miring anterior kanan dan kiri.

Perawatan / Manajemen
AR akut

Untuk AR berat akut, operasi darurat diindikasikan. Penatalaksanaan medis dibatasi dan
digunakan untuk menstabilkan pasien sementara. Pengurangan afterload dicapai dengan
menggunakan diuretik intravena dan vasodilator (seperti natrium nitroprusside) untuk
meningkatkan aliran ke depan. Inotropik seperti dopamin atau dobutamin dapat digunakan untuk
meningkatkan curah jantung. Beta-blocker dihindari karena mengurangi CO, dan memperlambat
denyut jantung memungkinkan lebih banyak waktu untuk pengisian diastolik LV. Kontraindikasi
konterpulsi balon intraaortik.

Pembedahan dapat ditunda pada pasien dengan AR akut sekunder akibat endokarditis infektif
aktif yang secara hemodinamik stabil selama 5 sampai 7 hari terapi antibiotik. Namun, operasi
harus dilakukan jika terjadi ketidakstabilan hemodinamik atau jika ada pembentukan abses.

AR kronis

Pemantauan selama perjalanan penyakit: Pasien asimtomatik dengan AR ringan atau sedang
dengan ukuran jantung normal harus diikuti secara klinis dan dengan ekokardiografi setiap 12
atau 24 bulan. Pasien dengan AR berat kronis dan fungsi LV normal yang asimtomatik harus
diperiksa setiap 6 bulan.

Perawatan medis: Indikasi perawatan medis pada AR terbatas. Hipertensi arteri sistemik
dengan AR kronis harus diobati dengan terapi vasodilator. Penghambat saluran kalsium
dihidropiridin atau penghambat enzim pengubah angiotensin / penghambat reseptor angiotensin
(ACEIs / ARB) lebih disukai.

Stadium AR Kronis: AR Kronis diklasifikasikan ke dalam 4 tahapan berdasarkan Pedoman


ACC / AHA 2014 untuk Penatalaksanaan Pasien Penyakit Jantung Katup dengan tidak ada
perubahan pada update 2017.

Stadium A: Pasien dengan risiko AR. Pasien-pasien ini tidak memiliki konsekuensi atau gejala
hemodinamik.

Tahap B: AR Progresif. Pasien mengalami AR ringan sampai sedang tetapi fungsi sistolik
ventrikel kiri normal dan tidak ada gejala klinis.

Stadium C: AR berat asimtomatik. Pasien akan memiliki lebar jet AR lebih besar atau sama
dengan 65% dari saluran keluar ventrikel kiri (LVOT). Stadium C selanjutnya disubklasifikasi
tergantung pada fungsi sistolik ventrikel kiri. C1: LVEF normal (> 50%) dan dilatasi ventrikel
kiri ringan sampai sedang (LVESD <50 mm). C2: LVEF berkurang (<50%) dengan dilatasi LV
parah (LVESD> 50 mm).

Stadium D: AR berat bergejala. Temuan jet AR berat pada ekokardiografi. LVEF dapat normal
atau abnormal. Gejala berupa dispnea saat beraktivitas, angina, atau gagal jantung.

Sebagai catatan, mengingat perbedaan luas permukaan tubuh (BSA) di antara pasien,
penggunaan indeks diameter sistolik akhir telah dimasukkan dalam pedoman sebagai
alternatif. [14]

Perawatan bedah: Panduan perawatan untuk AR didasarkan pada rekomendasi oleh American
Heart Association / American College of Cardiology 2014. Perawatan pilihan adalah
penggantian katup aorta (AVR) untuk pasien dengan AR kronis bergejala parah dan pasien
dengan AR kronis asimtomatik parah dengan Disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF <50%).

AVR juga merupakan pilihan yang masuk akal untuk pasien dengan AR berat yang asimtomatik
dengan fungsi LV normal (LVEF ≥50%) tetapi dengan dilatasi ventrikel kiri parah (indeks
LVESD> 25 mm / m2 atau dimensi akhir sistolik LV [LVESD]> 50 mm).

AVR juga dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan AR berat yang asimtomatik dan memiliki
fungsi sistolik ventrikel kiri normal saat istirahat (LVEF ≥50%, stadium C1) tetapi terdapat
dilatasi ventrikel kiri parah yang progresif (dimensi diastolik akhir ventrikel kiri> 65 mm).
mengingat risiko prosedur pembedahan rendah.

Meskipun pedoman menyarankan bahwa operasi katup dianjurkan dengan perkembangan gejala,
disfungsi sistolik ventrikel kiri, atau dilatasi ventrikel kiri, penelitian lebih baru yang
menunjukkan bukti disfungsi miokard subklinis dan fibrosis miokard ireversibel pada pasien
dengan AR kronis menantang rekomendasi saat ini tentang waktu intervensi.
Prognosis
AR akut

Risiko operasi pada regurgitasi aorta berat mendadak jauh lebih tinggi daripada
regurgitasi aorta berat kronis. Pasien dengan AR akut memiliki penyakit komplikasi yang
berdampingan seperti endokarditis infektif atau pembedahan aneurisma, membuat prognosisnya
buruk.

AR kronis

AR kronis asimtomatik, meskipun parah, sering dikaitkan dengan prognosis yang


umumnya menguntungkan selama bertahun-tahun. Pengukuran kuantitatif keparahan AR
memprediksi hasil klinis, dan ukuran ventrikel kiri serta fungsi sistolik juga merupakan prediktor
kuat dari hasil klinis. Disfungsi ventrikel kiri lebih mungkin pulih jika terdeteksi lebih awal,
sebelum EF menjadi sangat tertekan, sebelum dilatasi LV, dan sebelum gejala
berkembang. Intervensi bedah diperlukan sebelum perubahan ireversibel terjadi karena
pembedahan mengurangi angka kematian jantung pada pasien berisiko tinggi.

Begitu pasien AR menjadi bergejala, perjalanan menurun dengan cepat terjadi. Bisa terjadi gagal
jantung kongestif, edema paru akut, dan kematian mendadak. Kelangsungan hidup 4 tahun tanpa
operasi pada pasien dengan gejala NYHA Klas III atau IV hanya 30%.

Komplikasi
AR kronis

Fase awal AR kronis bersifat subklinis dan mungkin tidak menunjukkan tanda dan gejala
apa pun. Namun, seiring perkembangannya, hal itu memengaruhi hemodinamik dan fungsi
jantung. Dapat bermanifestasi sebagai disfungsi sistolik LV progresif, gagal jantung kongestif,
kardiomiopati iskemik, aritmia, dan bahkan kematian mendadak. Manfaat pembedahan lebih
besar daripada risiko pada pasien dengan gejala kongestif atau intoleransi olahraga; dengan
demikian, operasi katup pada pasien ini dibenarkan untuk mencegah komplikasi.

Pencegahan dan Pendidikan Pasien


Perawatan yang berpusat pada pasien adalah prinsip inti dalam merawat pasien dengan
AR. Pasien perlu dididik tentang penyakitnya dan gejala AR kronis. Penting bagi pasien untuk
berpartisipasi aktif dalam modifikasi gaya hidup seperti kontrol tekanan darah dan tindak lanjut
yang teratur.
LO 3
TINDAKAN OPERATIF KELAINAN KATUP JANTUNG

Operasi Katup Jantung

Operasi katup jantung adalah operasi yang dilakukan dengan memperbaiki atau
mengganti katup jantung yang tidak berfungsi dengan baik. Biasanya dilakukan selama 4-6 jam.
Terdapat 2 jenis operasi katup jantung:

a. Perbaikan katup jantung

Keabnormalan katup dapat diperbaiki dengan memotong jaringan yang berlebih pada
cuspis katup dan menjahit ujung-ujungnya bersama. Dapat juga dengan memperpendek atau
menghubungkan chorda tendinea.

Annuloplasty ring dapat digunakan untuk memperkecil pelebaran katup dan memperkuat
perbaikan. Cara lain digunakan untuk membuka katup yang sempit disebut dengan balloon
valvotomy. Dalam prosedur ini, kateter dimasukkan ke dalam arteri di lengan atau pangkal paha
dan didorong sampai ke jantung. Setelah diposisikan di dalam katup yang bermasalah, balon
diujung kateter digelembungkan untuk memperlebar katup.

b. Penggantian katup jantung

Jika katup tidak dapat diperbaiki, maka akan diganti dengan katup yang baru. Katup baru dijahit
di tepi jaringan dari katup asli. Terdapat beberapa jenis katup yang digunakan, yaitu

- Katup biologis

Berasal dari katup manusia atau hewan. Katup hewan biasanya dari babi atau sapi, dipasang
diatas logam yang ditutupi kain atau rangka plastik agar mudah disisipkan. Katup manusia
berasal dari donor jantung dan bisa dijahit langsung.

- Katup mekanik

Memiliki beberapa kelebihan karena bertahan lebih lama. Namun bekuan darah bisa terjadi pada
bahan sintetiknya sehingga memerlukan obat anti koagulan. Indikasi penggantian katup adalah
stenosis dengan gradien >50 mmHg atau regurgitasi dengan gejala berast yang tidak mampu
diterpi dengan medikamentosa atau terjadi hipeprtensi pulmonal. Kebanyakan penggantian katup
jantung terjadi pada katup aorta dan mitral

Anda mungkin juga menyukai