Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

SKIZOFRENIA PARANOID

Disusun oleh
Elsa rahmadi januuastuti

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN(STIKES)


MATARAM
THN A 2017.2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasih-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul“Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Skizofrenia paranoid” yang diajukan sebagai tugas pemicu mata kuliah Keperawatan
jiwa. Dalam proses pembuatan makalah ini, penulis didukung oleh berbagai pihak sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
terimakasih kepada ibu Ns.IGA MIRAH ADHI,M.KES yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan tugas tutorial keperawatan jiwa.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
BAB II PEMBAHASAN
1. Skizofrenia paranoid
2. Gambaran Umum Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
B. Diagnosa
C. Intervensi
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta
sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial
budaya. Gangguan mental juga akan berpengaruh pada kondisi kesehatan secara fisik,
sosial serta ekonomi dari masyarakat tersebut, semuanya itu merupakan lingkara yang
tidak bisa dipisahkan karena saling terkait, diantara berbagai macam permasalahan
gangguan jiwa (Hawari, 2010).
Menurut Melinda Herman, mendefinisikan skizofrenia sebagai penyakit
neurologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara berfikir, bahasa, emosi, dan
perilaku sosialnya (Yosep, 2007). Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang
dipertahankan secara kuat / terus-menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan
(Keliat, BA, 2010). Waham curiga adalah individu meyakini bahw ada seseorang atau
kelompok yang berusaha merugikan atau mencederai dirinya dan diucapkan berulang
kali, tetapi tidak sesuai kenyataan (Keliat, 2010). Berdasarkan hasil pengamatan di
ruang jiwa A Rumkital Dr.Ramelan Surabaya, penulis menemukan klien dengan
diagnosa medis Skizofrenia Paranoid mengalami masalah keperawatan waham curiga.
Data WHO, prevelensi (angka kesakitan) penderita skizofrenia sekitar 0,2 - 2
%. Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menyebutkan 14,1 penduduk
indonesia mengalami gangguan jiwa dari ringan hingga berat, sedangkan lebih dari
80% penderita skizofrenia di Indonesia tidak dapat diobati dan dibiarkan
berkeliaran di jalanan, atau bahkan di pasung. Diperkirakan, 20-30% dari populasi
penduduk diperkotaan mengalami gangguan jiwa dan berat. Setelah melakukan
pengamatan di ruang Jiwa A Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, didapatkan data pada
bulan Januari 2015 sebanyak 12 pasien dengan 4 orang menderita waham. Pada bulan
Februari 2015 meningkat menjadi 13 pasien dengan 3 orang menderita waham. Pada
bulan Maret 2015 menurun menjadi 9 pasien dengan 3 orang pasien menderita
waham. Pada bulan April 2015 meningkat menjadi 14 pasien dengan 2 orang pasien
menderita waham. Sedangkan pada bulan Mei 2015 menurun menjadi 12 pasien
dengan 3 orang pasien menderita waham.
B. Rumusan masalah
1. Mengetahui apa itu Skizofrenia paranoid
2. Mengetahui bagaiman asuhan keperawatan pada pasien diagnosa medis
Skizofrenia paranoid
BAB II
PEMBAHASAN
A. Skizofrenia paranoid
1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan
pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).
Skizofrenia paranoid adalah karakteristik tentang adanya delusi (paham) karja
atau kebesaran dan halusinasi pendengaran , kadang-kadang individu tetrtekan,
menjadi korban dan beanggapan diawasi, dimusuhi, dan agresif. (Townsend,
2005)
Skizofrenia paranoid yaitu pada tipe ini adanya pikiran-pikiran yang absurd
(tidak ada pegangannya) tidak logis, dan delusi yang berganti-ganti. Sering diikuti
halusinasi dengan akibat kelemahan penilaian kritis (critical judgement)nya dan
aneh tidak menentu, tidak dapat diduga, dan kadang-kadang berperilaku yang
berbahaya. Orang-0rang dengan tipe ini memiliki halusinasi dan delusi yang
sangat mencolok,yang melibatkan tema-tema tentang penyiksaan dan kebesaran
(toernry, 1995, Susan Nolen Hoeksema, 2004).
Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang
ditandai oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, adanya perilaku menarik diri dari
interaksi social serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan
kognisi (Carson dan Butcher, 1992).
Menurut MAramis:1982 skizofrenia paranoid sedikit berlainan dari jenis-jenis
yang lain dalam jalan penyakit. Hebrefenia dan Katatonia sering lama-kelamaan
Hebrefenia dan Katatonia bercampuran. Tidal demikian dengan skizofrenia
paranoid yang jalannya agak konstan. Gejala-gejala yang mencolok ialah waham
primer, disertai waham-waham skunder, dan Halusinasi. Baru dengan
pemeriksaan yang teliti ternyata adanya gangguan proses berfikir dan adanya
gangguan afek berfikir.

2. Etiologi
a. Faktor Biologis
1) Herediter ( Pengaruh Gen terhadap Skizofrenia)
Studi terhadap keluarga, anak kembar dan anak adopsi melengkapi
bukti-bukti bahwa gen terlibat dalam transmisi (penyebaran) skizofrenia
(Liohtermann, Karbe & Maier, 2000). Beberapa peneliti berpendapat
bahwa banyak gen (polygenic) model tambahan, yang membentuk jumlah
dan konfigurasi gen abnormal untuk membentuk skizofrenia (Gottensman,
1991, Gottansman & Erlenmyer-kimling, 2001). Adanya lebih banyak gen
yang terganggu meningkatkan kemungkinan berkembangnya skizofrenia
dan menungkatakan kerumitan gangguan tersebut. Individu yang lahir
dengan beberapa gen tetapi tidak cukup untuk menunjukkan simtom-
simtom bertaraf sedang atau ringan skizofrenia, seperti keganjilan dalam
pola bicara atau proses berpikir dan keyakinan-keyakinan yang aneh.
Anak-anak yang memiliki kedua orang tuanya menderita skizofrenia
dan anak-anak kembar identik atau dari satu zigot (monozigot) dari
orangtua dengan skizofrenia, mendapat sejumlah besar gen skizofrenia,
memiliki resiko sangat besar mendapatkan skizofrenia. Sebaliknya
penurunan kesamaan gen dengan orang-orang skizofrenia, menurunkan
resiko individu mengembangkan gangguan ini.
Jika aman dari orang skizofrenia mengembangkan gangguan ini, tidak
berarti bahwa hal itu dikirimkan atau diwariskan secara genetic. Tumbuh
bersama orangtua skizofrenia dan secara khusus bersama dengan kedua
orangtua dengan gangguan tersebut, kemungkinan besar berarri tumbuh
berkembang dalam suasana yang penuh stress. Jika orangtua psikotik, anak
dapa terbuka untuk pemikiran-pemikiran yang tidak logis, perubahan
suasana hati dan perilaku yang kacau.
Bahkan jika orangtua bukanlah psikotik akut, sisa-sisa simtom
negative akut skizofrenia, kurangnya motivasi, dan disorganisasi mungkin
mengganggu kamampuan orangtua untuk peduli terhadap anak. Studi
adopsi yang dilakukan Leonard Heston di Amerika Serikat dan Kanada
menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup bersama orangtua skizofrenia
yang diadopsi jauh dari ibu, mempunyai tingkat pengembangan skizofrenia
yang lebih rendah.
2) Pembesaran Ventrikel
Struktur utama otak yang abnormal sesuai dengan skizofrenia adalah
pembesaran ventrikel. Ventrikel adalah ruang besar yang berisi cairan dalam
otak. Perluasan mendukung atropi (berhentinya pertumbuhan), deteriorasi di
jaringan otak lainnya. Orang-orang skizofrenia dengan pembesaran
ventricular cenderung menunjukkan penirinan secara social, ekonomi,
perilaku, lama sebelum mereka mengembangkan simtom utama atau inti dati
skizofrenia. Mereka juga cenderung untuk memiliki simtom yang lebih kuat
dari pada orang skizofrenialainnya dan kurang responsive terhadap
pengobatan karena dianggap sebagai pergantian yang buruk dalam
pemfungsian otak, yang sulit untuk ditangani/dikurangi melalui treatment.
Perbedaan jenis kelamin mungkin juga berhubungan dengan ukuran
ventricular. Beberapa studi menemukan bahwa laki-laki dengan skizofrenia
memiliki pelebaran ventrikel yang lebih kuat.
3) Faktor Anatomis Neuron
Abnormalitas neuron secara otomatis pada skizofrenia memiliki
beberapa penyebab, termasuk abnormalitas gen yang spesifik (khas), cedera
otak berkaitan dengan cedera waktu kelahiran, cedera kepala, infeksi virus
defisiensi (penurunan) dalam nutrisi dan defisiensi dalam stimulus kognitif
(Conklin & Lacono, 2002).
4) Komplikasi Kehamilan
Komplikasi serius selama prenatal dan masalah-masalah berkaitan
dengan kandungan pada saat kelahiran merupakan hal yang lebih sering
dalam sejarah orang-orang dengan skizofrenia dan mungkin berperan dalam
membuat kesulitan-kesulitan secara neurologist. Komplikasi dalam
pelepasan berkombinasi dengan keluarga beresiko terhadap terjadinya
karena menambah derajad pembesaran ventricle. Penelitian epidemiologi
telah menunjukkan angka yang tinggi dari skizofrenia dikalangan orang-
orang yang memiliki ibu terjangkit virus influenza ketika hamil.
Selain itu, apabila ada gangguan pada perkembangan otak janin selama
kehamilan(epigenetic faktor), maka interaksi antara gen yang abnormal yang
sudah ada sebelumnya dengan faktor epigenetik tersebut dapat
memunculkan gejala skizofrenia.( Dadang Hawari,2007)
5) Neurotransmiter
Neurotransmiter dopamine dianggap memainkan peran dalam
skizpfrenia ( Coklin & Lacono, 2002 ). Teori awal dari dopamine
menyatakan bahwa simtom-simton skizofrenia disebabkan oleh kelebihan
jumlah dopamine di otak, khususnya di frontal labus dan system limbic.
Aktivitas dopamine yang berlebihan / tinggi dalam system mesolimbik dapat
memunculkan simtom positif skizofrenia : halusinasi, delusi, dan gangguan
berfikir. Karena atipikal antipsikotis bekerja mereduksi simtom-simtom
skizofrenia dengan mengikat kepada reseptor D4 dalam system mesolimbik.
Sebaliknya jika aktivitas dopamine yang rendah dapat mendorong lahirnya
simtom negative seperti hilangnya motivasi, kemampuan untuk peduli pada
diri sendiri dalam aktivitas sehari-hari. Dan tidak adanya responsivitas
emosional. Hal ini menjelaskan bahwa phenothiazines, yang mereduksi
aktivitas dopamine, tidak meredakan atau mengurangi simtom.
Dalam penelitian lain bahwa taraf abnormalitas nuotansmiter
glutamate dan gamma aminobutyric acid ( GABA ) tampak pada orang-
orang dengan skizofrenia (Goff & Coyle, 2001, Tsai & Coyle,2002 ).
Glutamate dan GABA terbesar di otak manusia dan defisiensi pada
neurotransmitter akan memberikan kontribusi terhadap simtom-simtom
kognitif dan emosioanal. Neuro glutamate merupakan pembangkit jalan
kecil yang menghubungkan kekortek, system limbic dan thalamus bagian
otak yang membangkitkan tingkah laku abnormal pada orang-orang dengan
skizofrenia.
b. Faktor Psikososial
1) Teori Psikodinamika
Menurut Kohut & Wolf, ahli-ahli teori psikodinamika berpendapat
bahwa skizofrenia merupakan hasil dari paksaan atau tekanan kekuetan
biologis yang mencegah atau menghalangi individu untuk mengembangkan
dan mengintegrasikan persaan atau pemahaman atas dirinya. Freud(1942)
berargumen bahwa jika ibu secara ekstrim atau berlebihan kasar dan terus-
menerus mendominasi, anak akan mengalami taraf regresi dan kembali ke
taraf perkembangan bayi dalam hal pemfungsiannya, sehingga ego akan
kehilangan kemampuannya dalam membedakan realita.
Menurut Dadang Hawari, dalam teori homeostatis-deskriptif, diuraikan
gambaran gejala-gejala dari suatu gangguan jiwa yang menjelaskan
terjadinya gangguan keseimbangan atau homeostatis pada diri seorang,
sebelum dan seseudah terjadinya gangguan jiwa tersebut. Sedangkan dalam
teori Fasilitatif etiologik, diuraikan faktor yang memudahkan penyebab
suatu penyakit itu muncul, bagaimana perjalanan mekanisme psikologis dari
penyakit yang bersangkutan. Sebagai contoh misalnya menurut Melanie
Klein (1926),bahwa skizofrenia muncul karena terjadi fiksasi pada fase
paranoid-schizoid pada awal perkembangan masa bayi.
2) Pola-Pola Komunikasi
Menurur Gregory Bateson & koleganya bahwa orangtua (khususnya
ibu) pada anak-anak sklizofrenia menempatkan anak mereka dalam situasi
ikatan ganda (double binds) yang secara terus menerus mengkomunikasikan
pesan-pesan yang bertentangan pada anak-anak. Yang dimaksud ikatan
ganda adalah pemberian pendidikan dan informasi yang nilainya saling
bertentangan. Dalam teori doble-bind tentang pola-pola komunikasi dalam
keluarga orang-orang dengan skizofrenia, menampakkan keganjilan.
Keganjilan-keganjilan itu membentuk lingkungan yang penuh ketegangan
yang membuat lebih besar kemungkinan seorang anak memiliki kerawanan
secara biologis terhadap skizofrenia.
Selain itu, anak dalam berbicara sering tidak mneyambung atau kacau
atau tidak jelas arah pembicaraan, serta dalm berbicara disertai emosi yang
tinggi dan suara yang keras.
3) Stres dan Kekambuhan
Keadaan sekitar atau lingkungan yang penuh stress (stresfull) mungkin
tidak menyebabkan seseorang terjangkit skizofrenia, tetapi keadaan tersebut
dapat memicu episode baru pada orang-orang yang mudah terkena serangan
atau rawan terhadap skizofrenia. Berdasarkan penelitian bahwa lebih dari 50
% orang yang mengalami kekambuhan skizofrenia adalah mereka yang
dalam kehidupannya telah mengalami kejadian-kejadian buruk sebelum
mereka kambuh.
Menurut danang Hawari, stresor yang menyebabkan stres atau
kekambuhan skizofrenia paranoid adalah perkawinan, masalah orang tua,
hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan dan hukum.
4) Faktor Kesalahan Belajar
Yang dimaksud kesalahan belajar adalah tidak tepatnya mempelajari
yang benar atau dengan tepat mempelajari yang tidak benar. Dalam hal ini
penderita mempelajari dengan baik perilaku orang-orang skizofrenia atau
perilaku yang baik dengan cara yang tidak baik ( Wiramaharja,2005)
3. Tanda dan Gejala
a. Gejala Primer
1) Gangguan proses pikiran (bentuk,langkah dan isi pikiran) yang
terganggu terutama aspek asosiasi, kadang-kadang suatu ide belum selesai
diutarakan, sudah muncul ide uang lain. Sering ditandai oleh : menggunakan
arti simbolik, terdapat clang association, jalan pikirannya tidak dapat
dimengerti / inkoherensi, menyamakan hal-hal. Terjadi bloking beberapa
detik sampai beberapa hari, ada penderita yang mengatakan bahwa seperti
ada yang laindidalam dirinya yang berfikir dan tanda sejenis lainnya.
2) Gangguan afek dan emosi
Dapat berupa :
a) Kedangkalan afek dan emosi, klien menjadi acuh tak acuh pada hal-hal
yang penting dalam hidupnya.
b) Parathimi ; merasa sedih atau marah yang seharusnya timbul rasa tenang
dan gembira.
c) Paramimi ; klien menangis padahal merasa senang dan bahagia.
d) Emosi, afek dan ekspresinya tidak mengalami kesatuan.
e) Emosi yang berlebih. Hilang kemampuan untuk mengandalkan hubungan
emosi yang baik.
f) Ambivalensi pada afek : dua hal yang bertentangan berada pada satu
objek
3) Gangguan kemauan
Ditandai antara lain :
a) Tidak dapat mengambil keputusan
b) Tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan
c) Melamun dalam waktu tertentu yang lama.
d) Negativisme ; perbuatan yang berlawanan dengan perlawanan
e) Ambivalensi kemauan ; menghendaki dua hal yang berlawanan pada
waktu yang sama
f) Otomatisme ; merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau
tenaga dari luar sehingga ia berbuat otomatis.
4) Gangguan psikomotor
a) Stupor : tidak bergerak dalam waktu yang lama.
b) Hiperkinesa; terus bergerak dan tampak gelisah
c) Stereotipi ; berulang melakukan gerakan atau sikap
d) Verbigerasi ; stereotipi pembicaraan
e) Manerisme ; stereotipi tertentu pada pada skizofrenia, grimes pada muka
atau keanehan berjalan dan gaya.
f) Katalepsi ; posisi badan dipertahankan dalam waktu yang lama.
g) Fleksibilitas cerea ; bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu
tahanan seperti lilin.
h) Negativisme ; menentang atau justru melakukan berlawanan dengan apa
yang disuruh.
i) Otomatisme komando ; kebalikan daari negativisme.
j) Echolalia; meniru kata-kata yang diucapkan orang lain.
b. Gejala Sekunder
1) Waham atau delusi
Keyakinan yang salah yang tidak dapat diubah dengan penalaran atau
bujukan. Sangat tidak logis dan kacau tetapi klien tidak menyadari hal
tersebut dan menganggap sebagai fakta dan tidak dapat diubah oleh
siapapun.
Jenis-jenis waham mencakup :
a) kebesaran ; seseorang memiliki suatu perasaan berlebih dalam
kepentingan atau kekuasaan.
b) curiga ; seseorang merasa terancam dan yakin bahwa orang lain
bermaksud untuk membahayakan atau menncurigai dirinya.
c) Siar ; semua kejadian dalam, lingkungan sekitarnya diyakini merujuk /
terkait kepada dirinya.
d) kontrol ; seseorang percaya bahwa objek atau oang tertentu
mengontrol perilakunya.
2) Halusinasi ;
Istilah ini menggarbarkan persepsi sensori yang salah yang mungkin
meliputi salah satu dari kelima panca indra. Halusinasi pendengaran dan
penglihatan yang sering,halusinasi penciuman, perabaan, dan pengecapan
juga dapat terjadi ( Towsend, Mary S, 1998).
Tanda gangguan yang berlangsung secara terus menerus sedikitnya selama 6
bulan ( Stuard, 2006 )adalah :
a) Kecurigaan yang ekstrim terhadap orang lain.
b) Halusinasi
Modalitas sensori yang tercakup dalam halusinasi :
 Pendengaran / auditorius
Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara orang. Suara dapat
berkisar dari suara yang sederhana sampai suara orang bicara
mengenai pasien, untuk menyelesaikan percakapan antara dua orang
atau lebih tentang pasien yang berhalusinasi. Jenis lain termasuk
pikiran yang dapat didengar pasien yaitu pasien mendengar suara
orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkan oleh
pasien dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu, kadang-kadang
hal yang berbahaya.
 Penglihatan / visual
Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar
geometris, gambar kartun, dan gambar atau panorama yang luas dan
kopleks. Penglihatan dapat berupa sesuatu yang menyenangkan atau
yang menakutkan ( seperti melihat monster ).

B. Gambaran Umum Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan


1. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan
orang, diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexualitas ( Nanda, 2005 ).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam
Depkes, 2000). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman ( Stuart dan Sunden, 1997 ).
Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun perilaku yagn
dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfluktasi sepanajang rentang
adaptif dan maladaptiv. Rentang respon bagi individu dengan perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut

Respon Respon
Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Gambar 1. Rentang respon terhadap kemarahan (Stuart and Sundeen, 1995 dalam
Keliat, 2002).

Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat


menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan menyelesaikan
merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu
dan tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi
dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan
menantang. Respon melawan dan menantang merupakan respon yang maladaptif
yaitu agresif–kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai
tujuan. Dalam keadaan ini tidak ditemukan alternatif lain. Pasif adalah suatu
keadaan dimana individu tidak mampu untuk mengungkapkan perasaan yang
sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan nyata. Agresif adalah perilaku
yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk
destruktif dan masih terkontrol. Amuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Stuart and Sundeen, 1997 dalam Depkes,
2001).
Faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari perilaku kekerasan (Keliat,
2002) adalah :

a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor berikut dialami oleh individu:
1)Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi
penganiayaan.
2)Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau diluar rumah, semua aspek ini
mestimulasi individu mengadopsi perilaku kerasan.
3)Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan
seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permisive)
4)Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai atau pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
2. Tanda dan Gejala
Budi Anna Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda-tanda marah adalah
sebagai berikut :
a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam),
jengkel.
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit fisik,
penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
e. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan
humor.
Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1997) adalah:
a. Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap barang milik.
b. Ancaman verbal atau fisik.
c. Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai senjata
(misalnya : garpu, asbak).
d. Agitasi psikomator progresif.
e. Intoksikasi alkohol atau zat lain.
f. Ciri paranoid pada pasien psikotik.
g. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua pasien berada
pada resiko tinggi.
h. Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis, lebih jarang pada
temuan lobus temporalis (kontroversial).
i. Kegembiraan katatonik.
j. Episode manik tertentu.
k. Episode depresif teragitasi tertentu.
l. Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrol implus).
3. Patofisiologi Terjadinya Marah
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan
bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat
menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan
terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku
kekerasan. Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun
internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal
dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan
kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan
memberikan perasaan lega, menurunkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat
diatasi (Depkes, 2000).
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya
dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan
menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti tindakan
kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan. Perilaku yang tidak
asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena merasa tidak kuat. Individu
akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa
marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan
yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang
ditujukan kepada diri sendiri (Depkes, 2000)

Ancaman

Stress

Cemas

Marah

Merasa kuat Mengungkapkan secara Merasa tidak


verbal adekuat

Menantang Menjaga keutuhan orang lain Melarikan diri

Masalah tidak selesai Lega Mengingkari


marah

Marah Ketengangan menurun Marah tidak


berkepanjangan terungkap

Rasa marah teratasi

Muncul rasa bermusuhan


Rasa bermusuhan menahun
Marah pada diri sendiri Marah pada orang lain/lingkungan

Depresi/psikosomatik Agresi/Amuk

Gambar 2. Proses terjadinya marah (Rawlins and Beck, 1986 dalam Keliat dkk, 2001)

4. Penatalaksanaan
a. Tindakan Keperawatan
Keliat dkk. (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan keluarga
dalam mengatasi marah klien yaitu :
1) Berteriak, menjerit, memukul
Terima marah klien, diam sebentar, arahkan klien untuk memukul barang
yang tidak mudah rusak seperti bantal, kasur
2) Cari gara-gara
3) Bantu klien latihan relaksasi misalnya latihan fisik
maupun olahraga. Latihan pernafasan 2x/hari, tiap kali 10 kali tarikan dan
hembusan nafas.
4) Bantu melalui humor
Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka orang yang
menjadi sasaran dan diskusi cara umum yang sesuai.
b. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.
Menurut Depkes (2000), jenis obat psikofarmaka adalah :
1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa : agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-gejala
lain yang bisanya terdapat pda penderita skizofrenia, manik depresif,
gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil. Cara
pemberian untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan
intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini
dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu kali
pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala psikosa
belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan-lahan sampai 600 –
900 mg perhari. Kontra indikasi sebaiknya tidak diberikan kepada klien
dengan keadaan koma, keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika dan
penderita yang hipersensitif terhadap derifat fenothiazine. Efek samping
yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenorrhae pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya
untuk penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala
penurunan kesadaran karena depresi susunan saraf pusat, hipotensi,
ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran irama EKG.
Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
2) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilles
de la Tourette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan
perilaku yang berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg
sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg untuk keadaan berat. Dosis
parenteral untuk dewasa 2 – 5 mg intramuskuler setiap 1 – 8 jam,
tergantung kebutuhan. Kontra indikasinya depresi sistem saraf pusat atau
keadaan koma, penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih,
gelisah, gejala ekstrapiramidal atau pseudo parkinson. Efek samping yang
jarang adalah nausea diare, konstipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala
gangguan otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi
hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis
melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemasan otot atau kekakuan,
tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernafasan.
3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya
gejala skizofrenia. Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya
rendah (12,5 mg) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis
ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap
kali suntikan, tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg
sekali suntikan sebaiknya peningkatan perlahan-lahan. Kontra indikasinya
pada depresi susunan saraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan over dosis; hentikan obat berikan terapi simptomatis dan
suportif, atasi hipotensi dengan levarterenol hindari menggunakan
ephineprine.
Terapi Medis ( Kaplan dan Sadock, 1997 )
Rang paranoid atau dlam keadaan luapan katatonik memerlukan
trankuilisasi. Ledakan kekerasan yang episodic berespon terhadap lithium
( Eskalith ), penghambat – beta, dan carbamazepine ( Tegretol ). Jika
riwayat penyakit mengarahkan suatu gangguan kejang, penelitian klinis
dilakukan untuk menegakkan diagnosis, dan suatu pemeriksaan dilakukan
untuk memastikan penyebabnya. Jika temuan adalah positif, antikonvulsan
adalah dimulai, atau dilakukan pembedahan yang sesuai ( sebagai
contohnya, pada masa serebral ). Untuk intoksikasi akibat zat rekreasional,
tindakan konservatif mungkin adekuat. Pada beberapa keadaan, obat-obat
seperti thiothixene ( Navane ) dan haloperidol, 5 smaapi 10 mg setiap
setengah jam samapai satu jam, adalah diperlukan sampai pasien
distabilkan. Benzodiazepine digunkan sebagai pengganti atau sebgai
tambahan antipsikotik. Jika obat rekresinal memiliki sifat antikolinergik
yang kuat, benzodiazepine adalah lebih tepat dibandingkan antipsikotik.
Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling efektif
ditenangkan dengan sedative atau antipsikotik yang sesuai. Diazepam
( valium ), 5 sampai 10 mg, atau lorazepam ( Ativan ), 2 smapai 4 mg, dpat
diberikan intravena ( IV ) perlahan-lahan selama 2 menit. Klinis harus
memberikan mediksi IV dengan sangat hati-hati, sehingga henti pernafsan
tidak terjadi. Pasien yang memerlukan medikasi IM dapat disedasi dengan
haloperidol, 5 smapi 10 mg IM, atau dengan Chlorpromazine 25 mg IM.
Jika kemarahan disebabkan oleh alcohol atau sebagi bagian dari gangguan
psikomotor pascakejang, tidur yang ditimbulkan oleh medikasi IV dengan
jumlah relative kecil dapat berlangsung selama berjam-jam. Saat terjaga,
pasien seringkali sepenuhnya terjaga dan rasional dan biasanya memiliki
amnesia lengkap untuk episode kekerasan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan perilaku kekerasan (Depkes, 2000) adalah sebagai
berikut :
1. Faktor predisposisi
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan masalah ekspresi marah adalah :
biologis, psikologis, dan sosial kultural.
a. Faktor Biologis
(1) Teori Dorongan Naluri (Instinctual drive theory) perilaku agresif
disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.
(2) Teori Psikomatis (Psychosomatis theory) pengalaman marah adalah
akibat dari respons psikologis terhadap stimulus eksternal, internal
maupun lingkungan. Dan sistem limbic berperan sebagai pusat untuk
mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
b. Faktor Psikologis
(1) Teori agresif dan frustasi (Frustation aggression theory). Frustasi terjadi
bila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat.
Keadaan tersebut dapat mendorong individu berperilaku agresif.
(2) Teori Perilaku (Behavioral theory), kemarahan adalah respons belajar,
hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas/situasi yang mendukung.
(3) Teori Eksistensi (Existential theory), bertingkah laku adalah kebutuhan
dasar manusia, apabila kebutuhan tidak dapat dipenuhi melalui perilaku
konstruktif, maka individu akan melakukan dengan perilaku destruktif.
c. Faktor Sosial Kultural
(1) Teori Lingkungan Sosial (Social Environment Theory), lingkungan
sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan
marah. Norma kebudayaan dapat mendukung individu untuk berespons
asertif atau kasar.
(2) Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory), perilaku agresif dapat
dipelajari secara langsung maupun imitasi melalui proses sosialisasi.
2. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan rasa marah bagi setiap individu sifatnya unik.
Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dari dalam. Contoh
stressor yang berasal dari luar antara lain : serangan fisik, kehilangan,
kematian dan lain-lain. Sedangkan stressor yang berasal dari dalam ialah :
putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan
pada penyakit fisik dan lain-lain.
3. Faktor Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan marah antara lain :
a) Menyerang atau menghindar (fight or flight)
Pada keadaan tersebut respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem
saraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin menyebabkan tekanan
darah meningkat, tachikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi
HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva
meningkat, kewaspadaan juga meningkat disertai ketegangan otot, seperti
rahang tertutup, tangan terkepal, tubuh menjadi kaku dan disertai refleks
yang cepat.
b) Menyatakan dengan jelas (assertiviness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku
asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah disamping
dapat dipelajari juga akan mengembangkan pertumbuhan diri pasien.
c) Memberontak (acting out)
Perilaku biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku acting out
untuk menarik perhatian orang lain.
d) Kekerasan, amuk (violence)
Perilaku dengan kekerasan atau amuk dapat ditujukan pada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan

Tabel 1. Perbandingan Perilaku Pasif, Asertif, dan Agresif


Pasif Asertif Agresif

Isi Pembicaraan Negatif, Positif, menawarkan Menyombongkan


merendahkan diri diri (saya dapat, diri, merendahkan
saya akan) orang lain (kamu
selalu, kamu tidak
pernah)

Tekanan suara Cepat, lambat, Sedang Keras, ngotot


mengeluh
Posisi badan Menundukkan Tegap dan santai Kaku, condong
kepala kedepan

Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak


dengan sikap jarak yang nyaman akan menyerang
acuh/mengabaikan orang lain

Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi


tenang menyerang

Kontak mata Sedikit/sama sekali Mempertahankan Mata melotot dan


tidak kontak mata sesuai mempertahankan
dengan hubungan
yang berlangsung

Sumber : Depkes (2000)


4. Mekanisme Koping
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego antara
lain : displacement, sublimasi, proyeksi, represi, denial, reaksi formasi.

B. Diagnosa Keperawatan
Dari data yang dikumpulkan dengan format pengkajian, perawat langsung
merumuskan masalah keperawatan pada setiap kelompok data yang terkumpul dan
setelah diagnosa keperawatan tersusun kemudian perawat menentukan masalah utama
dari diagnosa keperawatan. Dimana masalah utama adalah prioritas masalah klien dari
beberapa masalah yang dimiliki oleh klien. Umumnya masalah utama berkaitan erat
dengan maslah utama klien atau ekluhan utama, alasan klien saat masuk rumah sakit
dan mengancam integritas diri sendiri, orang lain dan lingkungan ( keliat, 1998 ).
Perawat kesehatan jiwa menganalisa data pengkajian dalam menentukan diagnosa
yang didukung oleh data serta pendapat ilmiah terbaru. Dimana komponen rumusan
pernyataan diagnosa keperawatan meliputi : masalah dan pengkajian subyektif dan
obyektif ( SAK, 2006 )
Menurut Keliat (2002) diagnosa yang lazim muncul pada pasien dengan perilaku
kekerasan adalah :
1. Risiko mencederai orang lain berhubungan dengan perilaku
kekerasan.
2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
Menurut Keliat dan kawan-kawan, (1998), menyatakan dignosa yang lazim
muncul pada klien dengan perilaku kekerasan adalah
1. Resiko tinggi kekerasan
2. Koping individu tidak efektif
3. Harga diri rendah kronis
4. Intoleransi aktifitas
5. Koping keluarga tidak efektif
6. Ketegangan pemberi perawatan
Sedangkan diagnosa keperawatan yang lazim muncul (Carpenito, 1995 dalam
Depkes, 2000) adalah :
1. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku kekerasan.
2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi.
3. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
4. Perilaku kekerasan berhubungan dengan koping individu tidak efektif.

C. Perencanaan Keperawatan
Keliat (2002) mengemukakan perencanaan tindakan keperawatan pada klien
dengan perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
1. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku kekerasan.
Tujuan umum (TUM) : Klien tidak menciderai dengan melakukan manajemen
kekerasan.
Tujuan khusus (TUK) 1: klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria hasil : klien mau membalas salam, mau menjabat tangan, mau
menyebutkan nama, mau tersenyum, mau kontak mata, mau mengetahui nama
perawat.
Intervensi : bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik.
a. Beri salam/panggil nama.
b. Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan.
c. Jelaskan maksud hubungan interaksi.
d. Jelaskan tentang kontak yang akan dibuat.
e. Beri rasa aman dan sikap empati.
f. Lakukan kontak singkat tapi sering.
Rasional : sikap ramah, kejujuran, menepati janji, memperkenalkan diri, dan
menunjukkan sikap terbuka akan meningkatkan kepercayaan antara klien dan
perawat.
Tujuan khusus (TUK) 2 : klien dapat mendefinisikan penyebab perilaku
kekerasan.
Kriteria hasil : klien dapat mengungkapkan perasaannya, dapat
mengungkapkan perasaan jengkel atau kesal dari diri sendiri, orang lain, atau
lingkungan.
Intervensi :
a. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
Rasional : ungkapan perasaan sebagai bukti kepercayaan klien terhadap
perawat.
b. Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel (kesal).
Rasional : klien perlu belajar mengekspresikan perasaannya.
Tujuan khusus (TUK) 3 : klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku
kekerasan.
Kriteria hasil : klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau jengkel,
dapat menyimpulkan tanda-tanda jengkel atau kesal yang dialami.
Intervensi :
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel
atau kesal.
Rasional : ungkapan perasaan dapat menjelaskan dan menyerahkan
perasaannya.
b. Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : dapat diketahui perilaku yang berhubungan dengan kekerasan.
c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel (kesal) yang dialami klien.
Rasional : klien belajar mengekspresikan perasaannya.
Tujuan khusus (TUK) 4 : klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan, dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan, dapat dilakukan cara yang biasa dapat menyelesaikan masalah atau
tidak.
Intervensi :
a. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan klien.
Rasional : mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Rasional : klien perlu belajar mengekspresikan perasaannya.
c. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai.
Rasional : klien dapat memilih cara yang dapat dilakukan.
Tujuan khusus (TUK) 5 : klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku
kekerasan.
Kriteria hasil : klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakannya.
Intervensi :
1) Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan klien.
Rasional : meningkatkan pengetahuan klien tentang kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain.
2) Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang digunakan oleh klien.
Rasional : menunjukkan perhatian.
3) Tanyakan pada klien “Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat ?”.
Rasional : klien dapat menentukan pilihan.
Tujuan khusus (TUK) 6 : klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam
berespon terhadap kemarahan.
Kriteria hasil : klien dapat melakukan cara berespon terhadap kemarahan
secara konstruktif.
Intervensi :
a. Tanyakan pada klien “Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
Rasional : meningkatkan pengetahuan klien tentang cara menyalurkan
marah yang konstruktif.
b. Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
c. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat, misalnya secara fisik, tarik
nafas dalam, jika sedang kesal/memukul bantal (kasur) atau olahraga atau
pekerjaan yang memerlukan tenaga, secara verbal : katakan bahwa anda
sedang kesal atau tersinggung atau jengkel. Secara sosial : lakukan
kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif. Secara spiritual :
anjurkan klien sembahyang, berdoa/ibadah lain : meminta pada Tuhan
untuk diberi kesabaran.
Rasional : mengajak klien berfikir tentang cara menyalurkan marah.
Tujuan khusus (TUK) 7 : klien dapat memdemonstrasikan cara mengontrol
perilaku kekerasan.
Kriteria hasil : klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan, misalnya dengan nafas dalam, olah raga, pukul kasur maupun
bantal, mengatakan secara langsung dengan tidak menyakiti, sembahyang,
berdoa atau ibadah lain.
Intervensi :
a. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : klien mungkin mengalami kesulitan dalam menentukan cara
yang paling sesuai yang dapat dilakukan.
b. Bantu klien mengindentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
Rasional : klien perlu belajar mengidentifikasi manfaat dari cara yang
dipilih.
c. Bantu klien menstimulasi cara tersebut.
Rasional : klien perlu belajar melakukan cara yang telah dipilih.
d. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel
atau marah.
Rasional : klien mungkin kesulitan dalam melakukan cara yang telah ia
pilih.
e. Susun jadwal melakukan cara yang telah dicapai.
Rasional : mengetahui perkembangan latihan klien.
Tujuan khusus (TUK) 8 : klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai
program pengobatan).
Kriteria hasil : klien dapat menyebutkan obat-obatan yang diminum dan
kegunaannya (jenis, waktu, dosis dan efek).
Intervensi :
a. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien.
Rasional : meningkatkan pengetahuan klien tentang obat.
b. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa
seizin dokter.
Rasional : klien dapat berfikir sesuai realita.
c. Jelaskan prinsip benar minum obat (baca nama yang tertera pada botol
obat, dosis obat, waktu dan cara minum).
Rasional : meminimalkan efek samping dari obat yang tidak diinginkan.
d. Jelaskan manfaat minum obat dan efek obat yang perlu diperhatikan.
Rasional : menambah pengetahuan tentang manfaat dan efek obat.
e. Anjurkan klien minta obat dan minum obat tepat waktu.
Rasional : obat yang diminum teratur membantu klien untuk meningkatkan
kualitas hidup.
f. Anjurkan klien melaporkan para perawat atau dokter jika merasakan efek
yang tidak menyenangkan.
Rasional : perawat dapat mengidentifikasi dan melakukan penanganan
terhadap efek samping yang tidak diinginkan.
g. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
Tujuan khusus (TUK) 9 : klien mendapat dukungan keluarga mengontrol
perilaku kekerasan.
Kriteria hasil : keluarga klien dapat menyebutkan cara merawat klien yang
berperilaku kekerasan dan mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien.
Intervensi :
a. Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang
telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
Rasional : mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga dalam merawat
klien.
b. Jelaskan peran serta keluarga terhadap klien selama ini.
Rasional : memberikan sistem pendukung pada klien.
c. Jelaskan cara-cara merawat klien terkait dengan cara mengontrol perilaku
marah secara konstruktif dari sikap tenang.
Rasional : keluarga mengetahui cara yang tepat dalam merawat klien.
d. Bicara tenang dan jelas serta membantu klien mengenal penyebab marah.
Rasional : memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi penyebab
marahnya.
e. Bantu keluarga mendeomonstrasikan cara merawat klien.
Rasional : mengingatkan keluarga tentang cara merawat klien.
f. Bantu mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demontrasi.
Rasional : memberikan kesempatan keluarga untuk menilai kemampuan
klien.
2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah. Tujuan umum
(TUM) : Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan
dengan orang lain.
Tujuan khusus (TUK) 1 : klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria hasil : ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada
kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab
salam, mau duduk berdampingan dengan perawat.
Intervensi :
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik:
1) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
2) Perkenalkan diri dengan sopan.
3) Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan kesukaan klien.
4) Jelaskan tujuan pertemuan.
5) Jujur dan menepati janji.
6) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
7) Beri perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien.
Rasional : sikap ramah, kejujuran, menepati janji, memperkenalkan diri, dan
menunjukkan sikap terbuka akan meningkatkan kepercayaan antara klien dan
perawat.
Tujuan khusus (TUK) 2 : klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek
positif yang dimiliki.
Kriteria hasil : daftar kemampuan yang dimiliki klien di rumah sakit, rumah,
sekolah, dan tempat kerja, daftar positif keluarga klien dan daftar positif
lingkungan klien.
Intervensi :
1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki dan buat
daftarnya.
Rasional : meningkatkan dan mengidentifikasi pengetahuan klien tentang
aspek positif yang dimilikinya.
2) Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif,
diutamakan memberi pujian.
Rasional : meningkatkan harga diri.
Tujuan khusus (TUK) 3 : klien dapat meniliai kemampuan yang digunakan.
Kriteria hasil : klien menilai kemampuan yang dapat digunakan di rumah
sakit, dan dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan di rumah.
Intervensi :
1) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama
sakit.
Rasional : meningkatkan pengetahuan klien tentang kemampuan yang
dimiliki.
2) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaan di rumah
sakit.
Rasional : klien belajar mengidentifikasi kemampuan yang dimilikinya.
3) Berikan pujian.
Rasional : meningkatkan harga diri.
Tujuan khusus (TUK) 4 : klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan
sesuai dengan kemampuan yang menilai.
Kriteria hasil : klien bersedia akan dilatih, mau mencoba dan membuat jadwal
harian.
Intervensi :
1) Bantu klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah
sakit.
Rasional : memberikan kesempatan pada klien untuk menentukan pilihan.
2) Bantu klien melakukan jika perlu beri contoh.
Rasional : klien dapat berlatih secara mandiri.
3) Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan harga diri.
4) Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dipilih.
Rasional : perawat dapat mengobservasi dan mengawasi latihan klien.
Tujuan khusus (TUK) 5 : klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit
dan kemampuannya.
Kriteria hasil : klien melakukan kegiatan yang telah dilatih (mandiri, dengan
bantuan atau tergantung) dan mampu melakukan beberapa kegiatan secara
mandiri.
Intervensi :
1) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
Rasional : perawat mengetahui kegiatan yang dapat dilakukan oleh klien.
2) Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
3) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.
Rasional : memberi kesempatan pada klien untuk mandiri.
Tujuan khusus (TUK) 6 : klien dapat memanfaatkan sistem pendukung.
Kriteria hasil : keluarga memberi dukungan dan pujian serta memahami
jadwal kegiatan harian klien.
Intervensi :
1) Beri pendidikan kesehatan pada keluar tentang cara merawat klien dengan
harga diri rendah.
Rasional : menambah pengetahuan keluarga tentang perilaku menarik diri.
2) Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat.
Rasional : keluarga adalah sistem pendukung utama bagi klien.
3) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
Rasional : lingkungan yang sesuai bagi klien mempercepat proses
penyembuhan.
4) Jelaskan cara pelaksanaan jadwal kegiatan klien di rumah.
Rasional : klien belajar melaksanakan apa yang telah direncanakan.
5) Anjurkan memberi pujian pada klien setiap berhasil.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
Depkes (2000) menguraikan delapan prinsip yang perlu diperhatikan
pada pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
a. Seluruh staf sebaiknya diberi latihan mengenai pencegahan dan
pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan termasuk latihan bermain
peran atau role playing.
b. Untuk memberikan intervensi keperawatan perbandingan antara klien dan
perawat adalah 1 : 1.
c. Untuk memberikan tindakan pengamanan staf sebaiknya dilakukan secara
kompak, tidak dibenarkan menghadapi klien perilaku kekerasan seorang
diri.
d. Berikan informasi atas tindakan yang akan dilakukan ataupun pemberian
obat yang berkaitan dengan perilaku kekerasan.
e. Staf sebaiknya harus dapat melindungi bagian tubuh yang vital dari upaya
perlukaan.
f. Setelah situasi dapat diatasi, sesegera mungkin staf mendiskusikan insiden
yang terjadi.
g. Setelah klien tenang dan dapat mengontrol perilakunya berikan
kesempatan padanya untuk mengekspresikan perasaannya.
h. Berikan penguatan positif apabila klien dapat mengekspresikan perasaan
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Skizofrenia paranoid yaitu pada tipe ini adanya pikiran-pikiran yang absurd
(tidak ada pegangannya) tidak logis, dan delusi yang berganti-ganti. Sering diikuti
halusinasi dengan akibat kelemahan penilaian kritis (critical judgement)nya dan aneh
tidak menentu, tidak dapat diduga, dan kadang-kadang berperilaku yang berbahaya.
Orang-0rang dengan tipe ini memiliki halusinasi dan delusi yang sangat
mencolok,yang melibatkan tema-tema tentang penyiksaan dan kebesaran (toernry,
1995, Susan Nolen Hoeksema, 2004).
Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang
ditandai oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, adanya perilaku menarik diri dari
interaksi social serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan
kognisi (Carson dan Butcher, 1992).

B. Saran
DAFTAR PUTAKA
Mansjoer Arif,dkk:1971:kapita selekta kedokteran:jakarta media aesculapuius
Kusuma farida,S.keo.Ns hartono yudi,S.kep:2010:Buku Ajar Keperawatan Jiwa:PENERBIT
selemba medika jln raya lenteng Agung No.101 Jagaskara,jakarta 12610
Dr Anna Keliat Budi,S.Kp,M,App.Sc dan Akemat,Skp,M,Kes:2007 Model Keperawatan
Praktik Keperawatan pofesional Jiw:penerbit buku kedokteraan EGC.Jakarta 10042)

Anda mungkin juga menyukai